Menghindarkan Warga dari Kesewenang-wenangan Negara filekoh, yaitu Sekjen Transpa rency...

1
FARDIANSAH NOOR P EMERINTAH menilai penetapan masa jabat- an pimpinan Komisi Pemberantasan Ko- rupsi (KPK) tidak multitafsir seperti yang kerap disorot publik selama ini. Demikian diutarakan Direk- tur Litigasi Peraturan Perun- dang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi sebagai tanggapan peme- rintah atas pengujian Pasal 34 Undang-Undang (UU) 30/2002 tentang KPK. “Dalam implementasinya (UU tersebut) tidak menimbul- kan keraguan, kerancuan, keru- gian, atau dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan,” ujar Mualimin dalam sidang pengujian Pasal 33 dan 34 UU KPK di Gedung MK, Jakarta, kemarin. Sidang panel terse- but dipimpin hakim konstitusi Achmad Sodiki. Penegasan tersebut, lan- jut Mualimin, ditandai de- ngan Keputusan Presiden No 129/P/Tahun 2010 yang me- netapkan M Busyro Muqoddas sebagai pemimpin KPK yang melanjutkan sisa masa jabatan pemimpin KPK periode 2007- 2011. Busyro dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Desember 2010. Satu hal, menurut Mualimin, pihaknya menganggap pemo- hon tidak memiliki kedudukan untuk menguji pasal tersebut karena para pemohon diang- gap tidak memiliki kerugian konstitusional. “Semestinya yang menguji adalah pihak yang terpilih menjadi penggan- ti pimpinan KPK (Busyro).” Sebelumnya jabatan ketua KPK dipegang Antasari Azhar. Namun karena terlilit kasus pembunuhan Direktur PT Pu- tra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, jabatan Antasari dicabut. Pengujian UU ini diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama sejumlah to- koh, yaitu Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar, pegiat LBH Padang Ardisal, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Dalam risalah sidang, para pemohon mengajukan peng- u jian pasal tersebut karena masa jabatan empat tahun bagi pemimpin KPK ditafsirkan keliru oleh Komisi III DPR. Pemimpin KPK pengganti Antasari Azhar, Busyro Muqod- das, ditetapkan jabatannya selama satu tahun. Mereka menilai penetapan satu tahun itu mubazir karena seharusnya Busyro menjabat selama empat tahun sesuai amanat UU KPK dan dapat dipilih kembali ha- nya untuk sekali masa jabatan. Sistematis Di tempat terpisah, TII dan Masyarakat Transparansi In- donesia (MTI) menduga DPR melakukan upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Gerakan parlemen itu terlihat dalam revisi UU KPK yang jus- tru menumpulkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. “Ini terlihat dari tidak adanya satu pun partai menolak revisi UU KPK,” kata peneliti MTI Jamil Mubarok. Jamil berpendapat, DPR memosisikan keberadaan KPK sebagai ancaman. DPR, lanjut- nya, merasa terusik dan merasa takut terhadap KPK. “Karena sampai hari ini KPK yang pa- ling berani mengusut korupsi di DPR dibanding kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya. Manajer Departemen Keuangan TII Vidya Dyasanti menambahkan, indikasi se- rangan terhadap KPK, mulai dari mengancam pengurangan anggaran politik DPR sampai judicial review kewenangan KPK. (*/P-3) fardiansah @mediaindonesia.com Jabatan Busyro 1 Tahun Selalu ada upaya sistematis dari pihak tertentu untuk melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. PENGUJIAN PASAL 34 UU KPK: Pemohon prinsipal Feri Amsari (kiri) dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas memberikan tanggapan saat sidang pengujian Pasal 34 Undang-Undang (UU) 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin. DOK. HUMAS MK/ANDHINI 4 JUMAT, 29 APRIL 2011 P OLKAM D PR RI menjadwal- kan pembahasan aturan baru ten- tang intelijen ram- pung pada Juni 2011. Diharap- kan melalui aturan itu, ada jaminan yang lebih kuat untuk menghindarkan warga negara dari berbagai ancaman. Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen Negara sejatinya telah dikonsepkan sejak 2002, yakni saat pemerintahan Presi- den Megawati Soekarnoputri. Namun, pembahasan RUU itu sempat tersendat-sendat dan akhirnya terhenti pada tataran konsep belaka. Baru pada Juli 2010, draf RUU itu masuk dalam pemba- hasan DPR. Kini, bakal aturan perundangan tersebut telah memasuki fase pembahasan daftar isian masalah (DIM) yang diajukan pemerintah. Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, pada perte- ngahan Mei 2011 dijadwalkan pembahasan akan masuk pada tahapan tanggapan fraksi-frak- si di DPR. “Setelah tanggapan fraksi, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan kelom- pok kerja pemerintah dengan DPR untuk membahas RUU itu secara detail dan intensif,” paparnya, kemarin, kepada Media Indonesia, di Jakarta. TB Hasanuddin menegas- kan, RUU Intelijen memang perlu untuk segera disahkan. Sebab, sambung dia, RUU itu memberikan aturan terkait kewenangan intelijen yang selama ini tidak ada dalam UU manapun. “Termasuk pula diatur dalam RUU tersebut soal peraturan dan mekanisme intelejen dalam menjalankan tugasnya,” ujarnya. Di dalam proses pemba- hasan yang tengah berlang- sung di dewan, menurut TB Hasanuddin, terdapat se- jumlah pasal yang dinilai krusial dan masih terus diper- debatkan. Antara lain, kata dia, pasal yang menyangkut mekanisme penyadapan oleh intejilen. Dalam Pasal 31 ayat 1 RUU Intelijen yang berbicara tentang wewenang khusus disebutkan bahwa lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komu- nikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, sepa- ratisme, dan ancaman gang- guan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait mekanisme in- tersepsi komunikasi itu, TB Hasanuddin mengungkapkan, adanya perdebatan tentang perlunya izin dari lembaga peradilan. Namun diketahui, izin pengadilan seringkali terlambat keluar sehingga kerap menghambat proses penggalian informasi oleh intelijen. TB Hasanuddin lantas me- nilai, seharusnya kewenangan penyadapan diatur sendiri dalam RUU Penyadapan. Hanya saja, sambung dia, secara prinsip memang harus ada izin dari pengadilan ter- lebih dahulu, setelah terdapat bukti awal, agar tidak terjadi penyalahgunaan. Masalah krusial lain yang masih terus dibahas terkait isi ayat 3 pasal 15 RUU tersebut. Dinyatakan dalam aturan itu, pemerintah mengusul- kan pemeriksaan intensif ter- hadap orang yang diduga kuat terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, subver- si, sabotase, dan kegiatan atau tindakan yang mengancam keamanan nasional dilakukan dalam waktu paling lama 7 x 24 jam. Seharusnya, menurut TB Hasanuddin, penangkapan dan pemeriksaan merupakan kerja sama antara intelijen dan polisi yang mempunyai kewenangan antiteror. Sehingga, sambung dia, bila intelijen mengetahui suatu informasi, harus langsung di- koordinasikan dengan polisi agar bisa dilakukan penang- kapan. Setelah itu, TB Hasanuddin menambahkan, penyidikan, penyelidikan, dan interogasi pun dilakukan bersama-sama. Hal itu, kata dia, ditujukan agar intelijen tidak melang- gar UU dan tugasnya sebagai intelijen pun tetap tertutup. Pasal yang dinilai krusial adalah Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen tentang rahasia informasi intelijen. Dalam bagian tersebut diatur ten- tang perlunya pembentukan Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) di luar BIN. Terkait itu, TB Hasanuddin mengingatkan, yang terpen- ting lembaga intelijen da- pat bekerja secara efektif dan esien. Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gol- kar Jeffrie Geovanie menan- daskan, tidak lagi ada alasan untuk menunda pengesahan RUU Intelejen, setelah tuntas- nya pembahasan di dewan. Sebab, kata dia, adanya aturan yang lebih spesifik untuk mengatur intelejen tidak bisa ditawar lagi. “Jangan sampai terulang lagi intelijen dijadikan se- bagai alat kekuasaan dan digunakan untuk kepenting- an kekuasaan seperti zaman dahulu. Namun jangan pula, akibat dari produk UU yang kelak ada, intelijen kemudian malah menjadi lembaga yang mandul dan tidak efektif,” tandasnya. Melalui UU itu kelak, menu- rut Jeffrie, intelijen harus diberi keleluasaan agar dapat melakukan penyadapan. In- telijen juga dapat melakukan pemeriksaan intensif, sam- bung dia, tapi dalam rentang waktu yang lebih singkat yakni sesuai aturan yang telah ada yakni 1 x 24 jam dan tetap berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Pentingnya RUU Intelijen juga diungkapkan Direktur Program The Ridep Institute Anton Aliabbas. Pasalnya, kata dia yang juga merupakan anggota koalisi advokasi RUU Intelijen Negara, kini dari un- sur keamanan yang ada di In- donesia, yakni TNI, Polri, dan kejaksaan, hanya intelijenlah yang belum dipayungi UU. Se- lama ini, Anton menuturkan, intelijen hanya eksis melalui keppres. (S-25) Menghindarkan Warga dari Kesewenang-wenangan Negara Aturan hukum yang teliti sangat diperlukan demi meminimalisasi penggunaan intelijen negara bagi kepentingan penguasa semata. Komentar Umum tentang RUU Intelijen 1. Penyadapan Penolakan penyadapan melalui ijin pengadilan seperti yang dimaksud dalam penjelasan pasal 31 bukan hanya berpotensi mengancam hak-hak asasi warganegara. Tapi juga rentan penyalahgunaan (abuse of power), demi kepentingan ekonomi maupun politik kekuasaan. 2. Rahasia Informasi Intelijen Pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 jo pasal 39 RUU Intelijen masih menimbulkan multitafsir dan bersifat karet. Hal itu mengancam kebebasan informasi, kebebasan pers, dan demokrasi itu sendiri. 3. Penangkapan (DIM Pemerintah) Pemberian kewenangan pada intelijen untuk melakukan penangkapan mengancam HAM dan merusak mekanisme criminal justice system. Itu sama saja melegalisasi penculikan, mengingat kerja intelijen tertutup dan rahasia. 4. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) Sebagai lembaga baru yang diatur dalam RUU itu, LKIN akan menggantikan kedudukan BIN, yang memiliki kewenangan sangat luas. Oleh karena itu, LKIN tidak boleh memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi dan pemeriksaan aliran dana. 5. Pengawasan Pengaturan mekanisme pengawasan dalam RUU Intelijen hanya dilakukan dalam bentuk pengawasan parlemen yang dilaksanakan oleh perangkat kelengkapan DPR yang membidangi pengawasan intelijen. Di titik ini, pengawasan oleh parlemen sebaiknya dilakukan komisi intelijen. 6. Organisasi dan Peran Dari sisi organisasi, RUU Intelijen tidak menganut diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. RUU Intelijen Negara tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas. 7. Struktur dan Kedudukan RUU Intelijen belum memisahkan akuntabilitas antara struktur yang bertanggungjawab dalam membuat kebijakan dan yang secara operasional melaksanakan kebijakan. Ke depan, seluruh lembaga intelijen berada di bawah atau menjadi bagian struktur departemen setingkat menteri. 8. Personel dan Rekruitmen Terkait dengan anggota intelijen, RUU Intelijen masih secara sumir mengatur tentang personel intelijen. Dalam rancangan itu tidak diatur tentang mekanisme rekrutmen yang baik, apakah dilakukan secara terbuka maupun tertutup. 9. Kode Etik dan Larangan Aturan perundangan yang tengah dibahas di Dewan itu juga masih belum mengatur mengenai pengaturan atau kode etik intelijen. Baik yang mencakup kewajiban, hak, ataupun larangan bagi seluruh aktivitas dan aspek intelijen. 10. Sipilisasi Intelijen RUU juga belum mengatur tentang agenda sipilisasi intelijen. Sudah seharusnya di era demokratisasi seluruh lembaga intelijen adalah sipil dan bukan TNI aktif, kecuali intelijen militer. Hingga kini, BIN masih diisi prajurit TNI aktif. Padahal Kepala BIN berasal dari sipil. 11. Hak Korban Rancangan perundangan tersebut belum juga mengatur tentang hak-hak korban. Khususnya, terkait dengan complain korban apabila terdapat tindakan intelijen yang menyimpang dan menimbulkan persoalan serius terhadap hak-hak masyarakat 12. Mekanisme Complain RUU tersebut juga tidak menyebutkan mengenai mekanisme untuk menyampaikan complain. Dengan kata lain, mekanisme pelibatan intelijen, termasuk soal informasi atau personel, di dalam peradilan (penegakan hukum).

Transcript of Menghindarkan Warga dari Kesewenang-wenangan Negara filekoh, yaitu Sekjen Transpa rency...

FARDIANSAH NOOR

PEMERINTAH menilai penetapan masa jabat-an pimpinan Komisi Pemberantasan Ko-

rupsi (KPK) tidak multitafsir seperti yang kerap disorot publik selama ini.

Demikian diutarakan Direk-tur Litigasi Peraturan Perun-dang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi sebagai tanggapan peme-rintah atas pengujian Pasal 34 Undang-Undang (UU) 30/2002 tentang KPK.

“Dalam implementasinya (UU tersebut) tidak menimbul-kan keraguan, kerancuan, keru-gian, atau dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan,” ujar Mualimin dalam sidang pengujian Pasal 33 dan 34 UU KPK di Gedung MK, Jakarta, kemarin. Sidang panel terse-but dipimpin hakim konstitusi Achmad Sodiki.

Penegasan tersebut, lan-jut Mualimin, ditandai de-ngan Keputusan Presiden No 129/P/Tahun 2010 yang me-netapkan M Busyro Muqoddas sebagai pemimpin KPK yang melanjutkan sisa masa jabatan pemimpin KPK periode 2007-2011. Busyro dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Desember 2010.

Satu hal, menurut Mualimin, pihaknya menganggap pemo-hon tidak memiliki kedudukan untuk menguji pasal tersebut karena para pemohon diang-gap tidak memiliki kerugian konstitusional. “Semestinya yang menguji adalah pihak yang terpilih menjadi penggan-ti pimpinan KPK (Busyro).”

Sebelumnya jabatan ketua KPK dipegang Antasari Azhar. Namun karena terlilit kasus pembunuh an Direktur PT Pu-tra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, jabatan Antasari dicabut.

Pengujian UU ini diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama sejumlah to-koh, yaitu Sekjen Transpa rency International Indonesia (TII) Teten Masduki, dosen Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar, pegiat LBH Padang Ardisal, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.

Dalam risalah sidang, para pemohon mengajukan pe ng-u jian pasal tersebut karena masa jabatan empat tahun bagi pemimpin KPK ditafsirkan

keliru oleh Komisi III DPR. Pemimpin KPK pengganti Antasari Azhar, Busyro Muqod-das, ditetapkan jabatannya selama satu tahun. Mereka menilai penetapan satu tahun itu mubazir karena seharusnya Busyro menjabat selama empat tahun sesuai amanat UU KPK dan dapat dipilih kembali ha-nya untuk sekali masa jabatan.

Sistematis

Di tempat terpisah, TII dan Masyarakat Transparansi In-donesia (MTI) menduga DPR melakukan upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Gerak an parlemen itu terlihat dalam revisi UU KPK yang jus-tru menumpulkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. “Ini terlihat dari tidak adanya

satu pun partai menolak revisi UU KPK,” kata peneliti MTI Jamil Mubarok.

Jamil berpendapat, DPR memosisikan keberadaan KPK sebagai ancaman. DPR, lanjut-nya, merasa terusik dan merasa takut terhadap KPK. “Karena sampai hari ini KPK yang pa-ling berani mengusut korupsi di DPR dibanding kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya.

M a n a j e r D e p a r t e m e n Keuang an TII Vidya Dya santi menambahkan, indikasi se-rangan terhadap KPK, mulai dari mengancam pengurangan anggar an politik DPR sampai judicial review kewenangan KPK. (*/P-3)

[email protected]

Jabatan Busyro 1 TahunSelalu ada upaya sistematis dari pihak tertentu untuk melemahkan

kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.

PENGUJIAN PASAL 34 UU KPK: Pemohon prinsipal Feri Amsari (kiri) dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas memberikan tanggapan saat sidang pengujian Pasal 34 Undang-Undang (UU) 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin.

DOK. HUMAS MK/ANDHINI

4 JUMAT, 29 APRIL 2011POLKAM

DPR RI menjadwal-kan pembahasan aturan baru ten-tang intelijen ram-

pung pada Juni 2011. Diharap-kan melalui aturan itu, ada jaminan yang lebih kuat untuk menghindarkan warga negara dari berbagai ancaman.

Rancangan Undang-undang (RUU) Intelijen Negara seja tinya telah dikonsepkan sejak 2002, yakni saat pemerintahan Presi-den Megawati Soekarnoputri.

Namun, pembahasan RUU itu sempat tersendat-sendat dan akhirnya terhenti pada tataran konsep belaka.

Baru pada Juli 2010, draf RUU itu masuk dalam pemba-hasan DPR. Kini, bakal aturan perundangan tersebut telah memasuki fase pembahasan daftar isian masalah (DIM) yang diajukan pemerintah.

Menurut Waki l Ketua Komisi I DPR Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, pada perte-ngahan Mei 2011 dijadwalkan pembahasan akan masuk pada tahapan tanggapan fraksi-frak-si di DPR. “Setelah tanggapan fraksi, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan kelom-pok kerja pemerintah dengan DPR untuk membahas RUU itu secara detail dan intensif,” paparnya, kemarin, kepada Media Indonesia, di Jakarta.

TB Hasanuddin menegas-kan, RUU Intelijen memang perlu untuk segera disahkan. Sebab, sambung dia, RUU itu memberikan aturan terkait

kewenangan intelijen yang selama ini tidak ada dalam UU manapun. “Termasuk pula diatur dalam RUU tersebut soal peraturan dan mekanisme intelejen dalam menjalankan tugasnya,” ujarnya.

Di dalam proses pemba-hasan yang tengah berlang-sung di dewan, menurut TB Hasanuddin, terdapat se-jumlah pasal yang dinilai krusial dan masih terus diper-debatkan. Antara lain, kata dia, pasal yang menyangkut mekanisme penyadapan oleh intejilen.

Dalam Pasal 31 ayat 1 RUU Intelijen yang berbicara tentang wewenang khusus disebutkan bahwa lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komu-nikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, sepa-ratisme, dan ancaman gang-guan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terkait mekanisme in-tersepsi komunikasi itu, TB Hasanuddin mengungkapkan, adanya perdebatan tentang perlunya izin dari lembaga peradilan. Namun diketahui, izin pengadilan seringkali terlambat keluar sehingga kerap menghambat proses penggalian informasi oleh intelijen.

TB Hasanuddin lantas me-

nilai, seharusnya kewenangan penyadapan diatur sendiri dalam RUU Penyadapan. Hanya saja, sambung dia, secara prinsip memang harus

ada izin dari pengadilan ter-lebih dahulu, setelah terdapat bukti awal, agar tidak terjadi penyalahgunaan.

Masalah krusial lain yang

masih terus dibahas terkait isi ayat 3 pasal 15 RUU tersebut. Dinyatakan dalam aturan itu, pemerintah mengusul-kan pemeriksaan intensif ter-

hadap orang yang diduga kuat terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, subver-si, sabotase, dan kegiatan atau tindakan yang mengancam keamanan nasional dilakukan dalam waktu paling lama 7 x 24 jam.

Seharusnya, menurut TB Hasanuddin, penangkapan dan pemeriksaan merupakan kerja sama antara intelijen dan polisi yang mempunyai kewenangan antiteror.

Sehingga, sambung dia, bila intelijen mengetahui suatu informasi, harus langsung di-koordinasikan dengan polisi agar bisa dilakukan penang-kapan.

Setelah itu, TB Hasanuddin menambahkan, penyidikan, penyelidikan, dan interogasi pun dilakukan bersama-sama. Hal itu, kata dia, ditujukan agar intelijen tidak melang-gar UU dan tugasnya sebagai intelijen pun tetap tertutup.

Pasal yang dinilai krusial adalah Pasal 24 jo Pasal 39 RUU Intelijen tentang rahasia informasi intelijen. Dalam bagian tersebut diatur ten-tang perlunya pembentukan Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) di luar BIN.

Terkait itu, TB Hasanuddin mengingatkan, yang terpen-ting lembaga intelijen da-pat bekerja secara efektif dan efisien. Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gol-kar Jeffrie Geovanie menan-daskan, tidak lagi ada alasan

untuk menunda pengesahan RUU Intelejen, setelah tuntas-nya pembahasan di dewan. Sebab, kata dia, adanya aturan yang lebih spesifik untuk mengatur intelejen tidak bisa ditawar lagi.

“Jangan sampai terulang lagi intelijen dijadikan se-bagai alat kekuasaan dan digunakan untuk kepenting-an kekuasaan seperti zaman dahulu. Namun jangan pula, akibat dari produk UU yang kelak ada, intelijen kemudian malah menjadi lembaga yang mandul dan tidak efektif,” tandasnya.

Melalui UU itu kelak, menu-rut Jeffrie, intelijen harus diberi keleluasaan agar dapat melakukan penyadapan. In-telijen juga dapat melakukan pemeriksaan intensif, sam-bung dia, tapi dalam rentang waktu yang lebih singkat yakni sesuai aturan yang telah ada yakni 1 x 24 jam dan tetap berkoordinasi dengan pihak kepolisian.

Pentingnya RUU Intelijen juga diungkapkan Direktur Program The Ridep Institute Anton Aliabbas. Pasalnya, kata dia yang juga merupakan anggota koalisi advokasi RUU Intelijen Negara, kini dari un-sur keamanan yang ada di In-donesia, yakni TNI, Polri, dan kejaksaan, hanya intelijenlah yang belum di payungi UU. Se-lama ini, Anton menuturkan, intelijen hanya eksis melalui keppres. (S-25)

Menghindarkan Warga dari Kesewenang-wenangan Negara

Aturan hukum yang teliti sangat diperlukan demi meminimalisasi penggunaanintelijen negara bagi kepentingan penguasa semata.

Komentar Umum tentang RUU Intelijen1. Penyadapan Penolakan penyadapan melalui ijin pengadilan

seperti yang dimaksud dalam penjelasan pasal 31 bukan hanya berpotensi mengancam hak-hak asasi warganegara. Tapi juga rentan penyalahgunaan (abuse of power), demi kepentingan ekonomi maupun politik kekuasaan.

2. Rahasia Informasi Intelijen Pengaturan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud

dalam pasal 24 jo pasal 39 RUU Intelijen masih menimbulkan multitafsir dan bersifat karet. Hal itu mengancam kebebasan informasi, kebebasan pers, dan demokrasi itu sendiri.

3. Penangkapan (DIM Pemerintah) Pemberian kewenangan pada intelijen untuk

melakukan penangkapan mengancam HAM dan merusak mekanisme criminal justice system. Itu sama saja melegalisasi penculikan, mengingat kerja intelijen tertutup dan rahasia.

4. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) Sebagai lembaga baru yang diatur dalam RUU itu,

LKIN akan menggantikan kedudukan BIN, yang memiliki kewenangan sangat luas. Oleh karena itu, LKIN tidak boleh memiliki kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi dan pemeriksaan aliran dana.

5. Pengawasan Pengaturan mekanisme pengawasan dalam RUU

Intelijen hanya dilakukan dalam bentuk pengawasan parlemen yang dilaksanakan oleh perangkat kelengkapan DPR yang membidangi pengawasan intelijen. Di titik ini, pengawasan oleh parlemen sebaiknya dilakukan komisi intelijen.

6. Organisasi dan Peran Dari sisi organisasi, RUU Intelijen tidak menganut

diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi. RUU Intelijen Negara tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas.

7. Struktur dan Kedudukan RUU Intelijen belum memisahkan akuntabilitas antara

struktur yang bertanggungjawab dalam membuat kebijakan dan yang secara operasional melaksanakan kebijakan. Ke depan, seluruh lembaga intelijen berada di bawah atau menjadi bagian struktur departemen setingkat menteri.

8. Personel dan Rekruitmen Terkait dengan anggota intelijen, RUU Intelijen masih

secara sumir mengatur tentang personel intelijen. Dalam rancangan itu tidak diatur tentang mekanisme rekrutmen yang baik, apakah dilakukan secara terbuka maupun tertutup.

9. Kode Etik dan Larangan Aturan perundangan yang tengah dibahas di Dewan

itu juga masih belum mengatur mengenai pengaturan atau kode etik intelijen. Baik yang mencakup kewajiban, hak, ataupun larangan bagi seluruh aktivitas dan aspek intelijen.

10. Sipilisasi Intelijen RUU juga belum mengatur tentang agenda sipilisasi

intelijen. Sudah seharusnya di era demokratisasi seluruh lembaga intelijen adalah sipil dan bukan TNI aktif, kecuali intelijen militer. Hingga kini, BIN masih diisi prajurit TNI aktif. Padahal Kepala BIN berasal dari sipil.

11. Hak Korban Rancangan perundangan tersebut belum juga

mengatur tentang hak-hak korban. Khususnya, terkait dengan complain korban apabila terdapat tindakan intelijen yang menyimpang dan menimbulkan persoalan serius terhadap hak-hak masyarakat

12. Mekanisme Complain RUU tersebut juga tidak menyebutkan mengenai

mekanisme untuk menyampaikan complain. Dengan kata lain, mekanisme pelibatan intelijen, termasuk soal informasi atau personel, di dalam peradilan (penegakan hukum).