BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas...
Transcript of BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas...
BAB I
1.1 LATAR BELAKANG
Negara yang berdaulat adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi
hukum dan hak asasi manusia dalam konstitusinya. Suatu negara tanpa supremasi
hukum dan hak asasi manusia adalah negara yang berdasarkan atas kekuasaan dan
kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi
manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terdapat di dalam
landasan dasar negara Indonesia (staatfundamentalnorm) yaitu Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945) tepatnya pada Pasal 27 (1) dimana setiap warga negara
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara
yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Adapun unsur-unsur rechsstaat
menurut Scheltema antara lain: 1) kepastian hukum; 2) persamaan; 3) demokrasi; dan
4) pemerintahan yang melayani kepentingan umum.1
Adanya instrumen perundang-undangan yang menjunjung tinggi HAM serta
adanya jaminan persamaan kedudukan baik dalam hukum (equality before the law)
maupun dalam pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk kewajiban untuk
1 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, h. 47.
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik utama
yang melekat pada konsep negara hukum.2
Hukum di ciptakan untuk suatu tujuan yang mulia, yakni memberikan
pelayanan kepada masyarakat agar tercipta suatu keselarasan, keadilan, ketertiban,
dan keamanan yang berujung pada kesejahteraan. Namun, pada kenyataannya masih
tetap terjadi penyimpangan, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak
sengaja. Terhadap penyimpangan hukum tersebut tentunya harus ditindaklanjuti
dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai
dengan hukum acara yang berlaku dan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia dalam penerapannya.
Hukum pada hakekatnya adalah perlindungan kepentingan manusia, yang
merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak.3 Hal
tersebut merupakan ungkapan yang pas hendaknya diberikan bagi keberlakuan
hukum di belahan dunia manapun di bumi ini, disatu sisi mengatur mengenai
larangan seseorang untuk melakukan sesuatu yang menurut masyarakat tersebut
terlarang, di satu sisi membolehkan seseorang untuk melakukan sesuatu bahkan
menjaminnya dengan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Pergolakan dua sisi yang
saling bertentangan ini seolah tidak pernah ada habisnya, sepanjang manusia masih
dapat hidup dan berpikir untuk memenuhi kesejahteraannya, menjamin
2 Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 1.
3 Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta (Selanjutnya
disebut Sudikno Mertokusumo I), h. 107.
keselamatannya juga mempertahankan populasinya. Hukum menghendaki stabilitas
dan keadilan dan dalam suatu tata hukum masyarakat yang bebas, yang di dalamnya
orang-orang dapat hidup dengan hak mendapat perlakuan sama sebagai warga negara
yang mandiri.4
Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari masyarakat) pada dasarnya berlaku
dan untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta ketenteraman dan ketertiban.
Menurut Mohchtar Kusumaatmadja sebagaimana dikutip Samidjo dan A. Sahal,
menyatakan: „Hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asasnya yang
mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara
ketertiban juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan
berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat‟.5
Menurut John Locke manusia itu sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan
dan hak-hak asasi. Hak asasi itu ialah: hak kehidupan, kemerdekaan, kesehatan dan
harta milik, hal ini dijumpai pada manusia dalam keadaan alami dan hak asasi
manusia itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, terkecuali oleh pemiliknya.
Adapun pendapat John Locke (terjemahan bebasnya) yakni: „Negara secara alamiah
diatur oleh hukum alam yang harus dipatuhi setiap orang sebagai hukum, memberi
arahan dalam kehidupan manusia dimana setiap orang mempunyai kebebasan dan
4 B. Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 68.
5 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakarya, Jakarta, h. 32.
persamaan, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan, kemerdekaan atau
memenjarakan yang lain‟.6 Berdasarkan hal tersebut, menurut John Locke, tujuan
negara adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi
manusia. Eratnya hubungan manusia dalam hal ini masyarakat dengan hukum
melahirkan prinsip ubi societas ibi ius.7
Negara dalam proses untuk mencapai tujuannya yakni menjamin
terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia sering kali mendapati masalah-
masalah yang umumnya dihadapi oleh negara-negara manapun di belahan dunia ini,
diantaranya kesenjangan sosial, kemiskinan, pencemaran lingkungan, kejahatan
konvensional maupun internasional, korupsi serta gejala-gejala sosial lain yang
berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rakyat yang hidup
dalam negara tersebut.
Permasalahan yang paling mendasar dan substansial yang terjadi di Indonesia
sekarang adalah masalah korupsi yang merupakan penyakit sosial yang sangat akut
dan sangat menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan terutama pada suatu negara
yang sedang berkembang, dimana penegakan hukumnya masih lemah. Korupsi
adalah kejahatan pokok yang sangat berbahaya dan susah untuk diberantas karena
sering kali melibatkan oknum pejabat-pejabat penting di dalamnya serta melintasi
berbagai sektor profesi, terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan dan menggunakan
6 Bernard arief sidharta, Op.Cit., h. 65.
7 Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, h. 3.
alat-alat yang canggih guna menutupi jejak kejahatan korupsinya. Faktor tersedianya
sumber daya alam yang memadai, faktor lingkungan, faktor budaya yang
menyimpang dan faktor-faktor negatif lainnya seakan memperburuk dan membuat
korupsi semakin merajalela di suatu negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia
yang tingkat korupsinya belum berubah secara signifikan pasca era reformasi.
Sebagaimana dikemukakan diatas, faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya korupsi sebenarnya dapat dijelaskan oleh Teori GONE8 yang terdiri dari G
yakni Greed yang berarti keserakahan dari pelaku korupsi yang ingin melanggengkan
kekuasaan, disamping itu O yakni Opportunity berarti Kesempatan dimana sistem
yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi ataupun
adanya momentum dimana penegakan hukum lemah, alat-alat pendukung
pengungkapan kejahatan kurang dan integritas penegak hukum yang lemah sehingga
terciptalah kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selanjutnya N yakni
Neccessity yang berarti kebutuhan yang tak kunjung ada batasnya, Neccesity lebih ke
arah mencari kepuasan. Adapun E yakni Exposure yang berarti pengungkapan
dimana pengungkapan kasus korupsi terutama di Indonesia sangat kecil, selain
dikarenakan ketiga hal diatas juga karena wilayah Indonesia yang luas dan terpisah-
pisah karena kontur pegunungan dan lautan disamping itu juga moral dari aparat
penegak hukum.
8 I Ketut Mertha, 2014, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana, Udayana University
Press, Denpasar, h. 98.
Adapun menurut indeks korupsi dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-107
dari 175 negara terkorup di dunia. Posisi Indonesia jauh berada di bawah
Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85). Untuk urusan korupsi,
Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste (133), Laos (145),
serta Kamboja dan Myanmar (156). Indonesia juga lebih baik ketimbang Rusia
(136), Ukraina (142), Paraguay (150), Kolombia (161), dan sejumlah negara di
Afrika.9
Oleh karenanya diperlukan suatu gebrakan atau terobosan baru dari aparat
penegak hukum baik pada tingkat penuntutan dan persidangan dalam melakukan
tindakan represif yang di dalamnya juga terdapat unsur preventif dan preemtif
terhadap tindak pidana korupsi agar negara ini terhindar dari penghancuran secara
sistematis serta masif terhadap aspek-aspek pembangunan yang potensial, untuk
menanggulangi kerugian negara itu sendiri akibat perilaku korup, juga
menyelamatkan bangsa khususnya generasi muda dari dampak negatif yang dapat
dicontoh oleh mereka.
Indonesia sebagai peringkat ke-107 negara terkorup di dunia perlu berbenah
diri dari segi hukuman konvensional seperti pidana penjara, denda, hingga
pengembalian aset negara yang belum berdampak signifikan terhadap kasus-kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut juga belum mengakomodir rasa
keadilan rakyat Indonesia yang telah di lukai oleh perilaku-perilaku korup oknum
pejabat baik di pusat maupun di daerah, oleh karenanya diperlukan sanksi tambahan
dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi agar perilaku-perilaku korup
9 Ervan Hardoko, 2014, Indeks Korupsi Dunia: Denmark Terbersih, Indonesia Ke-107,
terdapat pada
http://internasional.kompas.com/read/2014/12/03/12444781/Indeks.Korupsi.Dunia.Denmark.Ter
bersih.Indonesia.Ke-107, diakses pada tanggal 26 April 2015 pukul 2.16 Wita.
tersebut dapat ditekan seminimal mungkin dan nantinya hukuman tambahan tersebut
dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sejalan dengan proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia serta pengakuan dan penegakan hak asasi manusia, maka diperlukan
langkah progresif dari aparat penegak hukum sebagai langkah preventif maupun
represif agar para koruptor tidak melakukan tindak pidana korupsi lain yang baru dan
menjadi jera melakukan korupsi. Salah satu terobosan tersebut adalah dengan
memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih bagi
terpidana korupsi yang belakangan ini marak di jatuhkan oleh Majelis Hakim pada
tingkat Banding dan Kasasi. Sebut saja terpidana kasus suap sengketa Pemilihan
Kepala Daerah Lebak Banten di Mahkamah Konstitusi yakni Ratu Atut Chosiyah
yang mana menyeret juga Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar,
keduanya dicabut hak memilih dan dipilihnya.
Pada kasus lain yakni, pengadaan kuota impor daging sapi oleh Luthfi Hasan
Ishaaq oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dicabut hak memilih dan
dipilihnya, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo pada tingkat banding yang dicabut
hak memilih dan dipilihnya sehubungan dengan pengadaan alat simulator SIM (Surat
Izin Mengemudi). Terhadap putusan-putusan tersebut seharusnya menjadi acuan bagi
aparat penegak hukum pada tingkat Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan tingkat
Banding pada setiap provinsi dalam menjatuhkan putusan bagi terdakwa tindak
pidana korupsi sebagai konsistensi dari solidnya aparat penegak hukum dalam
memberantas tindak pidana korupsi pada semua lini kehidupan.
Pencabutan hak-hak tertentu memang di atur dalam beberapa pasal pada
undang-undang yang berbeda, diantaranya yakni:
Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok:
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana Tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Selanjutnya Pasal 35 KUHP menegaskan:
1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal
yang ditentukan dalam kitab Undang-undang ini, atau dalam aturan umum
lainnya ialah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. Hak memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,
hak menjadi wali, wali pengawas, pengampun atau pengampun
pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan mata pencarían tertentu.
Juga diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) yakni:
Pasal 18 ayat (1)
Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
sebagai pidana tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud barang
tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyak dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
Pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana korupsi memang
sedang hangat-hangatnya mendapat sorotan masyarakat, terlebih dari para pakar
hukum yang menilai bahwa pencabutan hak memilih dan dipilih adalah merupakan
suatu bentuk keadilan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan
dicabutnya hak memilih dan dipilih terpidana kasus korupsi selain memberikan efek
jera juga mengakomodir aspirasi rakyat selama ini yang sudah gerah akan keberadaan
perilaku korup di negara ini.
Faktanya, pencabutan hak memilih dan dipilih ini masih terganjal dengan
pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia di satu sisi kejahatan korupsi
merupakan suatu kejahatan yang digolongkan dengan extraordinary crime oleh
karena korupsi telah merampas hak-hak asasi manusia orang banyak sehingga
dibutuhkan extraordinary measure atau tindakan luar biasa dalam
penanggulangannya khususnya pada saat keadaan indonesia seperti sekarang ini yang
segera membutuhkan tindakan yang tegas, cepat dan progresif. Tetapi di sisi lain hak
memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang dapat dikurangi tetapi
terdapat prosedur yang mesti dipatuhi oleh suatu negara yang mana diatur dalam
UUD 1945 jo., Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang International Covenant on
Civil and Political Rights (selanjutnya disebut UU ICCPR) jo., Undang-undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM).
Extraordinary crime adalah istilah yang masih banyak penafsiran dan belum
ada standarisasi yang baku, dalam artian, kejahatan seperti apa yang patut untuk
dimasukkan dalam kategori extraordinary crime. Dengan tidak diberikannya ruang
bagi extraordinary crime berupa kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme maka hal
tersebut akan menumbuhkan kepercayaan kepada rakyat bahwa pemerintah memang
konsekwen dan tegas terhadap perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dapat
berujung pada stabilitas Ipoleksosbud (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya)
serta Hankam (Pertahanan dan Keamanan) sehingga berdampak pada meningkatnya
taraf hidup rakyat indonesia layaknya negara-negara maju di dunia.
Pakar hukum pidana, Muladi mencoba mengemukakan beberapa dasar
pemikiran pengelompokan sebuah kejahatan termasuk kategori extraordinary crime.
Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat kriminogen dan
victimogen dan secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi
kepentingan, dari keamanan ketertiban, sistematis atau terorganisasi,
mengancam stabilitas politik, masa depan pembangunan dan lain-lain. Beliau
memberikan contoh korupsi yang termasuk dalam kategori extraordinary crime,
karena potensial mengakibatkan kerugian dalam berbagai dimensi.10
Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan Muladi, antara lain sebagai
berikut:
a. Ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat;
b. Merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan,
bersifat diskriminatif dan etika dalam kompetisi bisnis yang jujur;
c. Mencederai pembangunan berkelanjutan dan “the rule of law”.
d. Kemungkinan keterkaitan antara korupsi dengan bentuk kejahatan lain,
khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi termasuk “Money
Laundering” (tindak pidana korupsi merupakan “predícate crime” atau
disebut juga kejahatan asal), terorisme, perdagangan manusia dan lain-lain;
e. Tindak pidana korupsi yang besar (high level corruption) berpotensi
merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam jumlah besar
sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan
membahayakan stabilitas politik;
f. Korupsi tidak mustahil sudah bersifat “transnational” dengan
memberdayakan sarana-sarana canggih;
g. Menimbulkan bahaya terhadap “human security”, termasuk dunia
pendidikan, pelayanan pendidikan, fungsi-fungsi pelayanan sosial, dan lain-
lain;
h. Merusak mental pejabat dan mereka yang bekerja dalam wilayah
kepentingan umum.11
Perilaku korup dari para pejabat negara yang telah dipercaya dan dipilih oleh
masyarakat untuk mengemban aspirasi rakyat jelas sangat mencederai dan melukai
perasaan, kehidupan serta Hak Asasi Manusia dari seluruh rakyat Indonesia, dimana
rakyat diambil haknya berupa dana dari negara yang serharusnya dialokasikan kepada
rakyat guna menunjang agar tiap-tiap individu dalam Negara Kesatuan Republik
10
Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court
System & Out Court System, Gramata Publishing, Depok, h. 20. 11
Ibid., h. 21.
Indonesia dapat hidup sejahtera tetapi oleh koruptor kemudian diambil untuk
kepentingannya sendiri.
Bayangkan saja apabila hak memilih dan dipilih terpidana korupsi tersebut
tidak di cabut, otomatis koruptor tersebut atau orang lain yang dipilihnya dapat
terpilih kembali atau terpilih dan melakukan perbuatan korup yang sama atau bahkan
lebih parah dikarenakan pelaku berpikiran sudah terlanjur akan terstigmatisasi. Hal
ini tentunya akan mencederai demokrasi di negara kita dan berimbas pada runtuhnya
falsafah hidup kita yakni Pancasila di sisi lain juga berdampak fatal, yakni menjadi
contoh bagi generasi-generasi muda dikemudian hari.
Sebenarnya di indonesia sudah ada lembaga super body atau lembaga yang
maha kuat yang bertugas untuk menyadap, menyelidiki, menyidik, menuntut bahkan
mengambil alih suatu kasus korupsi apabila menurut penilaian mereka
penanganannya berlarut-larut dan cenderung akan menimbulkan kasus korupsi baru.
Lembaga tersebut adalah KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan KPK dapat
berkoordinasi dengan Interpol atau penegak hukum internasional dalam rangka
memberantas korupsi12
, KPK juga dapat bekerja sama dengan Departemen Hukum
dan HAM atau lembaga pemerintah lain guna pencegahan tersangka keluar negeri13
12
Aziz Syamsuddin, 2011,Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h. 209.
13
Wahyu Satya Kuncahyo, 2015, Tiga Pejabat BBJ dicegah ke Luar Negeri, terdapat di:
http://hukum.rmol.co/read/2015/03/11/194968/1/Tiga-Pejabat-BBJ-Dicegah-ke-Luar-Negeri, diakses
tanggal 4 April 2015, pukul 3.18.
maupun seharusnya dalam rangka membekukan atau menuntut agar hak memilih dan
dipilih seseorang tersangka atau terdakwa dicabut apalagi bagi terpidana guna
melindungi rasa keadilan rakyat Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini melakukan pendataan
tentang praktik korupsi di Indonesia. Hasilnya, 50 persen kasus korupsi di
Indonesia berbentuk penyuapan. Itu sebabnya mengapa KPK mengategorikan
korupsi sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime). Penasihat KPK Abdullah
Hehamahua mengatakan ada tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi
kejahatan luar biasa. Pertama, korupsi di Indonesia sifatnya transnasional.
"Koruptor Indonesia banyak mengirim uangnya ke negara lain," ujarnya kepada
Republika di kantor PLN pusat, Kamis (23/2). Hasil pendataan KPK, kata
Abdullah, 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia. Itu berarti
orang terkaya di Singapura bukanlah orang Singapura, melainkan orang
Indonesia. Oleh sebab itu juga Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi
perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.14
Tujuan dari perjanjian ini adalah meminta buronan dari suatu negara yang lari ke
negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Singapura, kata Abdullah,
menjadi tempat nyaman untuk pelarian koruptor di Indonesia. Kedua,
pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya membutuhkan usaha ekstra
keras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan.
Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara
hukum, pembuktiannya cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi
kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi.15
Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, hutang
Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 triliun. Hutang ini dibayar tiga tahap,
2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042. „sehingga Masalahnya apakah kita
dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang tahun itu banyak timbul
hutang-hutan baru dari korupsi baru‟, kata Abdullah.16
14
Edwin Dwi Putranto, 2012, Inilah 3 Alasan Mengapa Korupsi di sebut Kejahatan Luar Biasa,
terdapat pada: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/23/lztpqj-inilah-3-alasan-
mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa, diakses tanggal 27 Agustus 2015, pukul 22.10. 15
Ibid.
16
Ibid.
Pencabutan hak memilih dan dipilih pada perkara korupsi sangat gencar di
lakukan pada saat penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
belakangan ini oleh karena disatu sisi pidana penjara dan denda seakan tidak
berdampak signifikan terhadap tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin
banyak terjadi di negara ini.
Terobosan baru dalam hal pencabutan hak memilih dan dipilih tersebut
diharapkan sedikit dapat mengurangi gencarnya perilaku korup elit politik dan
diharapkan dapat memberikan rasa keadilan masyarakat, mengingat terdapat banyak
kasus korupsi yang hak memilih dan dipilihnya tidak dicabut sehingga terpidana
korupsi tetap dapat memperoleh suara bahkan terpilih sebagai calon legislatif, ada
pula bahkan sedang menunggu untuk dilantik. Sungguh ironi di negara yang kaya
seperti Indonesia rakyatnya masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan akibat
dampak sistemik dari korupsi. Contoh kasus yakni Susno Duaji yang diusung oleh
Partai Bulan Bintang untuk DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Barat I di nomor urut
pertama.17
Sedangkan contoh lain yang sampai dilantik adalah kasus Bupati Boven
Digoel-Papua dan Bupati Tomohon dimana pelaku sudah diputus bersalah namun
masih menang dalam pemilihan kepala daerah.18
17
Hazliansyah, 2013, Putri Susno Duadji Gantikan Ayahnya Jadi Caleg, terdapat di:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/17/mmw8nf-putri-susno-duadji-gantikan-
ayahnya-jadi-caleg, diakses tanggal 24 November 2014, Pukul 20:37.
18
Sie/Aik/Why, 2011, Terdakwa Korupsi Dana APBD Tomohon Dilantik Jadi Wali Kota,
terdapat di: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=8334&l=terdakwa-korupsi-dana-apbd-tomohon-
dilantik-jadi-wali-kota, diakses tanggal 24 November 2014, Pukul 20:37.
Terkait hal tersebut diatas, Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menunjukkan data di KPK hingga April
2014, sudah 74 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlibat kasus
korupsi. Hal ini disampaikan untuk menunjukkan adanya kerawanan konflik
kepentingan jika pimpinan KPK harus dipilih DPR. „Cukup banyak terdakwa
yang berasal dari partai politik kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman,‟ kata Bambang di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 15 April 2015,
lansir tempo.co. Bambang mengatakan jumlah politikus yang tersandung kasus
korupsi ini diduga akan lebih besar lagi jika ditambah dari data penanganan
kasus serupa oleh kepolisian dan kejaksaan. Kejahatan korupsi sendiri dinilai
semakin masif, sistematis, dan terstruktur yang mengharuskan adanya lembaga
antikorupsi independen. KPK juga mencatat total kepala lembaga atau
kementerian yang terlibat korupsi ada 12 orang, duta besar 4 orang, komisioner
7 orang, gubernur 10 orang, wali kota atau bupati 35 orang, pejabat eselon 114
orang, hakim 10 orang, swasta 94 orang, dan lainnya 41 orang. Total seluruh
terdakwa yang ditangani KPK yaitu 401 orang.19
Data mengenai jumlah politikus yang terlibat kasus korupsi juga terdapat data
jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi yang tidak kalah
fantastis, hal ini dikarenakan kelemahan undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi indonesia yang hanya mengenakan maksimum pidana denda sebesar 1 (satu)
milyar rupiah, sementara dampak sistemiknya masih luput dari jangkauan
penghitungan hasil kerugian negara yang belum tercantum dalam undang-undang
tersebut, hal ini terdapat pada:
Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UGM, merilis hasil analisis terhadap 1365 kasus korupsi yang sudah
mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung. „Ada 1842 terdakwa
koruptor selama 2001 sampai 2012, dengan nilai total hukuman finansial
Rp15,09 triliun,‟ kata Rimawan kepada media seusai diskusi diseminasi hasil
19
A.Z. Muttaqin, 2014, Hingga April 2014, Sudah 74 Anggota DPR Terlibat Korupsi, terdapat
pada: http://www.arrahmah.com/news/2014/04/15/hingga-april-2014-sudah-74-anggota-dpr-
korupsi.html, diakses tanggal 22 Mei 2015, pukul 6.45.
riset mengenai "Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasarkan Putusan MA
2001-2012" di Yogyakarta, Senin, 4 Maret 2013. Namun, Rimawan juga
menyodorkan data pembanding nilai denda finansial tadi dengan besaran jumlah
nilai uang yang dikorupsi atau ia sebut biaya eksplisit korupsi, yakni Rp 168,19
triliun. Data itu jauh sekali dibandingkan dengan nilai denda finansial untuk
koruptor yang hanya sebesar 8,9 persennya saja atau berarti negara kehilangan
uang sebanyak Rp 153,1 triliun. Dia juga memperkirakan kerugian negara jauh
lebih besar jika dimasukkan pula biaya antisipasi dan penanganan kasus korupsi,
biaya implisit atau efek beban finansial negara akibat korupsi. Kerugian negara
di luar uang yang dikorup itu, dia kategorikan sebagai biaya sosial korupsi yang
rumusan penghitunganya belum ada di Indonesia. "Semestinya ada, karena di
negara maju biaya sosial kejahatan itu ada rumusan hitungannya," ujar dia.
Kata Rimawan, besaran biaya sosial bisa membengkak jika ada praktek
pencucian uang yang terjadi dan mengalir hingga ke luar negeri. Biaya
pengejaran aset yang dicuci itu tentu sangat besar. Sementara efeknya bisa
membuat dinamika ekonomi nasional terkena imbasnya sebab ada dana yang lari
ke kawasan asing. "Kalau ada pencucian uang, kerugian makin besar.20
Data terakhir yang diambil melalui Editorial Media Indonesia yakni „pada
tahun 2014 sebesar Rp. 1792 triliun yang mana nyaris setara dengan APBN kita pada
tahun yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila ada perbaikan indeks
korupsi satu poin saja, laju investasi meningkat 4% dan laju pertumbuhan ekonomi
naik menjadi lebih dari 0.5 %‟.21
Berdasarkan data-data tersebut dapat dikemukakan bahwa dampak dari tindak
pidana korupsi belum sebanding dengan pengembalian aset yang menjadi kerugian
20
Addi Mawahibun Idhom, 2013, Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp168,19 triliun,
terdapat pada: http://nasional.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/akibat-korupsi-uang-
negara-menguap-rp168-19-triliun, diakses tanggal 22 Mei 2015, pukul 7:44.
21
Media Indonesia, 2015, Korupsi Membonsai Ekonomi, terdapat pada:
http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/520/Korupsi-Membonsai-Ekonomi/2015/09/04,
diakses tanggal 4 September 2015, pukul 15.00.
negara, dalam hal ini terjadi ketimpangan yang cenderung mengarah kepada keadaan
ketidakadilan yang tentunya sangat di rasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, hal
mana berimbas pada ketidakmerataan pembangunan, kesenjangan sosial yang tinggi
serta menimbulkan efek domino pada seluruh sendi kehidupan rakyat Indonesia serta
menjurus ke kebangkrutan negara akibat korupsi. Oleh karenanya tidak salah
kemudian KPK menggolongkan tindak pidana korupsi sebagai extra-ordinary
crime/kejahatan luar biasa.
Berbicara mengenai keadilan, hakikat keadilan itu sendiri adalah penilaian
seseorang kepada orang lain, umumnya dilihat dari pihak yang menderita akibat
putusan hakim. Pemberian keadilan dalam putusan hakim yang ideal bisa dikaitkan
dengan pendapat Gustav Radbruch, bahwa suatu putusan pengadilan idealnya harus
mengandung idee des recht, yaitu aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek kepastian
hukum (rechtssicherkeit) dan aspek kemanfaatan (gerechtigheid).22
Disatu sisi, adanya jaminan terhadap kebebasan hakim dalam mengadili yang
sangat memadai dalam konsitusi dan peraturan perundang-undangan, sudah
seharusnya dipergunakan secara proporsional, jangan menonjolkan sikap arrogance
of power, memperalat kebebasan untuk menghalalkan cara, maka digunakan dengan
acuan:
22
Bambang Sutijoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-aspek Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 87.
1. Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang
tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang
diperiksanya, sesuai dengan asas dan status law must prevail (ketentuan
Undang-undang harus diunggulkan);
2. Menafsirkan hukum yang tepat dengan cara-cara pendekatan yang dibenarkan
(penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa (gramatika), analogis dan a
contrario) atau mengutamakan keadilan daripada peraturan perundang-
undangan, apabila ketentuan undang-undangan tidak potensial melindungi
kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan dengan doktrin
equity must prevail (keadilan harus diunggulkan).
3. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechtvinding), dasar-dasar
dan asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis
(hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni
mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral,
agama kepatutan dan kelaziman.23
Putusan hakim merupakan puncak dari pemeriksaan perkara pidana dalam
keseluruhan proses peradilan pidana. Dalam putusan hakim diharapkan akan
ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran hakiki, hak asasi manusia,
penguasaan hukum dan fakta secara mapan, mumpuni dan faktual. Putusan hakim
mencerminkan visualisasi etika, mentalitas, moralitas hati nurani hakim serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada justiabelen, ilmu hukum/doktrin-doktrin hukum,
masyarakat dan „Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‟.24
Para hakim dalam memutus perkara sebenarnya sudah mendapat
kebebasan/independensi di negara kita guna mengakomodir rasa keadilan yang
berada di dalam masyarakat, dimana hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 24
23
Yahya Harahap, 2005, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 60. 24
Lilik Mulyadi, 2010, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung h. 135.
ayat (1) yakni “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan” jo., Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan juga:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Mantan Hakim Agung, J. Johansyah, menggarisbawahi bahwa independensi
dalam rumusan pasal-pasal tersebut pengertiannya bukan pada kelembagaan, tetapi
pada fungsi utama lembaga peradilan di tengah masyarakat, yaitu pemutus suatu
sengketa hukum. Karena itu, kalimat berikutnya dalam Pasal konstitusi tersebut
adalah „berdasarkan hukum dan keadilan‟.25
Independensi hakim dapat bersifat normatif, dapat juga bersifat
kenyataan/realita. Kedua independensi itu tidak dapat dipisahkan. Ada pula ahli
hukum yang memilah antara independensi sempit dan Independensi luas. Pada
dasarnya, independensi kekuasaan kehakiman tidak hanya semata independensi
kelembagaan, tetapi juga independensi perseorangan hakim. Independensi hakim
karena itu adalah kondisi di mana para hakim bebas dari pengaruh apalagi tekanan
25
J. Johansyah, 2010, Independensi Hakim di Tengah Benturan Politik dan Kekuasaan dalam
Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Komisi Yudisial, Jakarta, h. 74.
lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya berdasarkan fakta yang terbukti di
pengadilan dan berdasarkan hukum.26
Suatu hal yang merupakan kewajiban dalam menjatuhkan putusan, hakim
harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi, khusus di Indonesia, hakim
bukan merupakan corong undang-undang. Hakim merupakan cerminan kepatutan,
keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, hakim
wajib memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sudah semestinya
menerapkannya. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk memperhatikan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat hal mana ditujukan agar putusan hakim sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lagipula, penting di ingat
bahwa sumber hukum tidak saja berupa undang-undang, adat istiadat atau kebiasaan
yang masih hidup yang tidak bertentangan dengan hukum juga merupakan sumber
hukum. Oleh karenanya, hakim dapat memakai adat istiadat atau kebiasaan sebagai
referensi.
Meskipun Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim
mengakomodir nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi ada suatu waktu
hakim tidak tunduk pada kewajiban itu. Bahkan, kadangkala hakim „menyimpang‟
dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan.
26
Muchsin. 2004, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, STIH IBLAM,
Jakarta, h. 10.
Misalnya, Putusan MA No. 1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat
yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tidak bisa dipertahankan
lagi.
Landasan rasionalitas argumentasi hukum dalam pertimbangan hukum
putusan hakim memberikan gambaran tentang paradigma pemikiran hakim, apakah
masih terkurung dalam formalitas legisme atau pembebasan dan pencarían kebenaran
dan keadilan yang lebih progresif keluar dari tawanan undang-undang.
Putusan hakim bersifat profesional jika dibangun struktur konseptual yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum dan kemanfaatan sosial. Secara
doktrinal, putusan hakim sudah seharusnya mendasarkan pada sumber hukum yang
lengkap yaitu: fakta hukum, peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, asas-
asas hukum, doktrin hukum pidana dan yurisprudensi.
Proses peradilan pidana yang menekankan pada tujuan mengadili dan tujuan
hukum menimbulkan pandangan para hakim bahwa hukum bukanlah merupakan
satu-satunya dasar memutus perkara. Cara pandang hakim bahwa putusan hanya
semata-mata demi hukum atau pernyataan “hukum untuk hukum” (justice for the sake
of law). Hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai alat, cara dan
keluaran (hasil) putusan pengadilan harus mampu mewujudkan keadilan, ketertiban,
ketentraman.
Keterikatan hakim dengan tujuan hukum dan tujuan mengadili seperti yang
dikemukakan oleh Wiarda-Koopmans tentang „3 typen van vinding yaitu terdapat tiga
fungsi hakim dalam memutuskan perkara antara lain menerapkan hukum
(rechtoepassing); penemuan hukum (rechtvinding/legal finding) dan menciptakan
hukum (rechtchepping)‟.27
Sejalan dengan fungsi hakim dalam menerapkan hukum (rechtoepassing),
penjatuhan pidana berupa pencabutan atau pembekuan hak memilih dan dipilih tidak
serta merta menghilangkan hak untuk berpolitisi dari terdakwa maupun terpidana
pada kasus korupsi, hal tersebut juga berkaitan erat dengan penemuan hukum
(rechtvinding/legal finding) yang menjadi fungsi dari hakim itu sendiri serta tidak
terlepas dari konsepsi putusan hakim yang profesional sebagaimana disebutkan
sebelumnya. Penemuan hukum itu sendiri berkaitan erat dengan pendekatan
hermeneutika hukum, produk suatu putusan hukum selalu mengimplikasikan
hubungan antara kaidah dengan fakta, yaitu relasi momen-momen normatif dalam
Undang-undang dengan fakta yaitu situasi konkret secara sirkular. Hubungan antara
kaidah hukum dengan fakta situasional bersifat saling mempengaruhi dalam
hubungan yang bersifat sirkular (lingkaran tidak berujung pangkal), yaitu fakta-fakta
dikualifikasi dari sudut kaidah hukum, sedangkan kaidah hukum diseleksi (reduksi)
berdasarkan kejadian fakta-fakta.28
27
Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum, Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Inonesia-
MMIX, Jakarta, h. 135. 28
Ibid., h. 136.
Putusan pengadilan pidana terlepas dianggap adil atau tidak sangat tergantung
dari penilaian terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik yang menjadi tujuan
hukum pidana adalah usaha mempertahankan ketertiban dan keamanan masyarakat
sehingga keadilan yang diargumentasikan dalam putusan pengadilan berkaitan
dengan realitas terlindunginya kepentingan sosial (social interest) masyarakat.
Aspek keadilan dalam perkara pidana sebagaimana dinyatakan Aristoteles
yakni:
Sebagai keadilan vindikatif atau korektif atau pembalasan merupakan keadilan
yang berorientasi pada kepentingan hukum masyarakat, yaitu terjaminnya
ketertiban dan keamanan. Prinsip keadilan korektif menggunakan instrument
pidana atau hukuman, sehingga nilai keadilan sangat tergantung dari penjatuhan
pidana atau hukuman yang tepat, dikenal pula istilah penjatuhan hukuman yang
setimpal dengan perbuatan.29
Dengan dicabutnya hak untuk memilih maupun dipilih terhadap terdakwa atau
terpidana kasus korupsi diharapkan dapat memenuhi aspek keadilan sebagaimana
dinyatakan oleh Aristoteles diatas, pada sisi lain hal ini juga menandakan keseriusan
penegak hukum dalam memberantas korupsi serta menandakan era baru dalam
penegakan hukum terutama penjatuhan sanksi bagi koruptor di Indonesia telah
dimulai. Penjatuhan sanksi tersebut terlebih dahulu haruslah mendapat telaah yang
lebih dalam dari sisi ilmu hukum itu sendiri, oleh karena Indonesia pada tahun 2005
telah meratifikasi produk-produk hukum dari International Covenant on Civil and
29
J. Pajar Widodo, 2013, Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publishing, Bandar Lampung, h. 43.
Political Rights (ICCPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan sebelumnya telah
diatur juga Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:
1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak
kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi
kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang
sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-
langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya
berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi
semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama atau asal-usul sosial.
2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16,
18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.
3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk
melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya
kepada Negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan
yang dikuranginya dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya.
Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama
pada berakhirnya pengurangan tersebut.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:
1. Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat
ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau
seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan
yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang
diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang
ditetapkan dalam Kovenan ini.
2. Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau penyimpangan HAM
mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan
hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa
Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara
lebih sempit.
Pasal 25 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: hak setiap warga
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih
dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama
pada jabatan publik di negaranya.
Hal ini juga perkuat dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 73
dan 74 yang menegaskan:
Pasal 23 ayat (1): setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.
Pasal 26 ayat (2): setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa
diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada
kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 ayat (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat
dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar
orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Pasal 74: tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan
bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan
mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan
dasar yang diatur dalam undang-undang.
Juga terdapat pada pasal 28 D ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Dari pembahasan latar belakang yang telah diuraikan diatas, jelaslah terdapat
beberapa Undang-undang atau aturan yang tidak harmonis atau terdapat
disharmonisasi norma satu dengan yang lainnya sehingga menarik untuk diangkat
dalam suatu penulisan tesis berjudul “TINJAUAN YURIDIS
PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH SEBAGAI
PIDANA TAMBAHAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut diatas, beberapa permasalahan pokok yang akan
diteliti antara lain sebagai berikut:
1. Apakah penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan terhadap hak
memilih dan dipilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sudah sesuai
dengan pengaturan HAM di Indonesia?
2. Apakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana
tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih pada tindak pidana korupsi?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara
pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai berikut:
1. Permasalahan pertama dibahas mengenai penjatuhan putusan pencabutan hak
memilih dan dipilih dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi
ditinjau dari hukum positif yang mengatur tentang HAM di Indonesia.
2. Permasalahan kedua dibahas mengenai dasar yuridis dan hal-hal substansial
dari Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak
memilih dan dipilih terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana
korupsi.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas,
maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan
penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait
dengan paradigma science as a process (ilmu pengetahuan sebagai proses),
dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah berhenti/final dalam
penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana ilmu hukum mengkaji
mengenai fakta hukum maraknya penjatuhan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih oleh Majelis Hakim khususnya pada
tingkat kasasi terhadap terpidana kasus korupsi dan relevansinya terhadap
pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia melalui UU
ICCPR dan UU HAM.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar hukum pertimbangan Majelis
Hakim dalam putusannya yang memberikan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih dalam tindak pidana korupsi yang
dihubungkan dengan teori-teori hukum maupun pendapat-pendapat para
sarjana hukum serta falsafah negara Indonesia sehingga menjadi acuan
bagi aparat penegak hukum ke depannya dalam menerapkan hukum yang
berbasis pada rasa keadilan masyarakat luas.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana
khususnya yang berkaitan dengan penjatuhan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana pada kasus korupsi di
Indonesia mengenai hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana
yang dihubungkan dengan teori dan asas yang dipakai dalam penulisan karya
ilmiah ini.
2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
lembaga yudikatif, khususnya aparat penegak hukum dalam menyikapi kasus
serupa agar visi pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
berjalan maksimal serta rasa keadilan masyarakat terpenuhi.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset
(penelitian) yang pada pokoknya membahas mengenai korupsi dan penjatuhan
pemidanaan terhadap pelakunya namun kajiannya masih belum progresif dan belum
kritis terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam Hukum Pidana (KUHP) dan/atau
aturan-aturan lain di luar KUHP yang bersifat khusus, adapun karya ilmiah tersebut
sebagai berikut:
1. Nama : Ifransko Pasaribu;
NIM : 057005009/HK;
Universitas : Universitas Sumatera Utara;
Judul Tesis :“Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan
Analisis Terhadap Sistem Pembebanan dan Sanksi dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi”.
Lingkup rumusan masalah:
- Bagaimanakah perumusan pembebanan pembuktian dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
- Bagaimanakah perumusan sanksi dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Nama : Erfan Efendi Yudi Arianto;
NIM : 11010110400046;
Universitas : Universitas Diponegoro;
Judul Tesis :“Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan Dalam Upaya
Penanganan Masalah Barang Rampasan Hasil Tindak
Pidana Korupsi”.
Lingkup rumusan masalah:
- Bagaimana formulasi sistem pemidanaan dalam upaya penanganan
masalah barang rampasan hasil tindak pidana korupsi untuk
pengembalian kerugian keuangan negara saat ini?
- Bagaimana kebijakan formulasi sistem pemidanaan dalam upaya
penanganan masalah barang rampasan hasil tindak pidana korupsi untuk
pengembalian kerugian keuangan negara pada masa yang akan datang?
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
A. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan-aturan hukum, norma
hukum, dan lain-lain yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas
masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal
dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.30
Konsep (concept) adalah
kata yang merupakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.31
Sedangkan kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan
abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan
untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan untuk penelitian. Kriteria teori yang ideal adalah:
1. Suatu teori secara logis harus konsisten, tidak ada hal-hal yang saling
bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan.
2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala tertentu,
pernyataan yang mempunyai interrelasi yang serasi.
3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori, harus dapat mencakup semua
unsur gejala yang menjadi ruang lingkupnya dan masing-masing bersifat
tuntas.
4. Tidak ada pengulangan ataupun duplikasi di dalam pernyataan tersebut.
30
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta (Selanjutnya
disebut Sudikno Mertokusumo II), h. 4.
31
Sudikno Mertokusumo (Sudikno Mertokusumo I), Op. Cit., h. 5.
5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian, mengenai hal ini ada asumsi
tertentu yang membatasi diri pada pernyataan, bahwa pengujian tersebut
senantiasa harus bersifat empiris. 32
Ditinjau dari latar belakang masalah yang telah dikemukaan di awal tulisan,
maka landasan teori utama (Grand Theory) yang digunakan dalam kajian ini adalah
Teori Keadilan. Untuk mendukung teori utama (Grand Theory) maka digunakan
Teori Hukum Progresif sebagai Middle Range Theory, sedangkan untuk Applied
Theory33
menggunakan Teori Relatif Dalam Hukum Pidana, Model Pendekatan
Keadilan atau Model Just Desert dan Asas Proporsionalitas. Berikut penjelasan dari
teori dan asas tersebut:
1. Teori Keadilan
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Gustav Radbruch:
menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai
keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian,
keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia
normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari
tiap hukum positif yang bermanfaat. Ia menjadi landasan moral hukum dan
sekaligus tolak ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah, hukum
positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi
unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan
tidak pantas sebagai hukum.34
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
I), h. 123.
33
Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan
Antar Generasi), Alumni, Bandung, h. 24.
34
Bernard L. Tanya, Dkk., 2010, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, h. 129.
Menurut Gustav Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak
bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee, yakni keadilan.
Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles, tidak
dapat mengatakan lain kecuali: „yang sama diperlakukan sama, dan yang
tidak sama diperlakukan tidak sama‟. Untuk mengisi cita keadilan ini
dengan isi yang konkret, kita harus menengok pada segi finalitasnya. Jadi
bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas dan
kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada „kesamaan hak di depan
hukum‟. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan
kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum.
Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi
keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar
berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang
disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek
ketiga (kepastian merupakan kerangka operasional hukum.35
Sebelum perang dunia kedua, Gustav Radbruch telah berkali-kali
mengemukakan bahwa berkenaan dengan keberlakuan hukum positif harus
diberikan arti yang paling utama pada kepastian hukum. Namun, dibawah
pengaruh pengalaman-pengalaman dengan rezim Nazi, Radbruch telah
mengubah pandangannya. Wawasannya sekarang adalah bahwa pada
asasnya hukum positif tetap mempertahankan keberlakuannya juga jika
isinya tidak adil, „es sei denn, dass der Widerspruch des positiven Gesetzes
zur Gerechtigkeit ein so unertragliches mass erreich, dass das Gesetz
als’unrichtiges Recht’der Gerechtigkeit zu weichen hat‟ (seandainya
kontradiksi dari hukum positif terhadap keadilan mencapai ukuran yang
begitu tidak sesuai, sehingga hukum tersebut sebagai “hukum yang tidak
benar‟ harus menyingkir demi keadilan).36
2. Teori Hukum Progresif
Satjipto Rahardjo mengidentifikasi karakteristik hukum progresif sebagai
prinsip-prinsip dasar ideal, yaitu
(1) Paradigm „hukum adalah untuk manusia‟, manusia (penegak hukum)
sebagai sentral dalam berhukum, (2) menolak status quo dari hukum yang
legal-positivistik, (3) tidak menyerahkan sepenuhnya berhukum dalam teks
35
Ibid.
36
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit., h. 90.
formal undang-undang, tetapi membebaskan dari isolasi tersebut, (4)
memberikan perhatian pada perilaku manusia (penegak hukum), tidak
menyerah pada teks undang-undang saja, (5) membangun diri meningkatkan
kualitas manusia untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada
masyarakat.37
Hukum Progresif mempunyai relevansi dengan kebebasan hakim dalam
proses mengadili perkara pidana, karena prinsip-prinsip hukum progresif
memberikan spirit kreativitas dan inovasi konseptual kepada hakim dalam
mengadili. Artidjo Alkostar menggambarkan hakim progresif, tidak lepas dari
kompetensi keilmuan, kecakapan dan kualitas kepribadian sebagai penegak
hukum. Predikat sebagai hakim progresif membawa konsekuensi etis dalam
membuat putusan yang memuat kecerdasan moral, intelektual dan emosional.38
3. Teori Relatif Dalam Hukum Pidana
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut
dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeaneaes
berpendapat teori ini dapat disebut teori perlindungan masyarakat (the theory of
social defence).39
Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif
(the “reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut
37
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta
(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 61-69.
38
J. Pajar Widodo, Op.cit., h. 134.
39
Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 61.
teori ini adalah mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekadar
untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang
bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini disebut teori tujuan (utilitarian
theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak
pada tujuannya pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena yang
membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan
melakukan kejahatan).40
Menurut Karl O. Christiansen, ada perbedaan pokok atau perbedaan
karakteristik antara teori retributif dan teori utilitarian, yaitu
1) Teori Retribution:
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan
masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.
2) Teori Utilitarian:
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi
syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat
mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun
pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.41
40
Ibid. 41
Ibid., h. 62.
Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan
yaitu:
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de
maatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai
akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad
onstanemaatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de
misdadiger);
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).42
Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan,
bahwa Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga
disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia
peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur”
(supaya orang jangan melakukan kejahatan).43
Tujuan pidana menurut teori relatif
adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.
Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah
42
Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 12.
43
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, h. 16.
untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban
umum.44
4. Teori Just Desert
Teori Just Desert atau Model Pendekatan Keadilan atau Model Just
Desert (ganjaran setimpal):
Di dasarkan atas dua teori (tujuan) pemidanaan, yaitu pencegahan
(prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi menganggap bahwa
pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka
mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Juga dianggap
bahwa sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal itu melakukan
tindakan-tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain
melakukan kejahatan.45
Sehubungan dengan model keadilan yang didasarkan pada tujuan
pencegahan dan retribusi itu, Gerry A. Ferguson mengatakan bahwa:
„Pencegahan bertujuan mencegah pengulangan pelanggaran dikemudian hari.
Sedangkan retribusi memusatkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh
perbuatan kriminal pelanggar dan dimasudkan untuk memastikan si
pelanggar membayar tindak pidana yang dilakukannya‟. Ganjaran yang
setimpal (Just Desert) menjelaskan konsepsi bahwa alasan retribusi yang
mendasari bukan balas dendam, namun lebih tepatnya adalah beratnya sanksi
seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan si pelanggar. Dengan
demikian, sanksi „ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan
si pelanggar dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar.46
5. Asas Preferensi Hukum
44
Ibid. 45
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 62 46
Ibid., h. 63.
Penyelesaian konflik hukum di selesaikan melalui asas preferensi, yaitu:
1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan
melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang
khususlah yang harus didahulukan;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru
mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.47
6. Asas Proporsionalitas
Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan
hukum orang lain dilarang, kalau kepentingan hukum yang dilindungi tidak
seimbang dengan pelanggarannya. Jadi harus ada keseimbangan antara
kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang dilanggar. Sehubungan
dengan pembelaan terpaksa, ini berarti bahwa delik yang dilakukan untuk
pembelaan tidak boleh demikian beratnya sehingga tidak seimbang dengan
beratnya sekarang. Contoh dari literatur, seorang petani penderita rematik
yang sulit berdiri dari kursinya tidak boleh menembaki anak-anak yang
sedang mencuri buah apel di kebunnya, sekalipun dalam hal ini diperlukan
pembelaan, tetapi caranya tidak “diperintahkan (patut)”.48
Adapun Roeslan Saleh menjelaskan mengenai asas proporsionalitas dalam
hukum pidana yakni “jika sebagai dasar dari kejahatan itu yang dilihat adalah
kerugian yang ditimbulkan pada masyarakat atau orang tertentu, maka
proporsionalitas berarti: jumlah yang sebanding antara kerugian yang ditimbulkan
dan pidana yang dijatuhkan.49
47
Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty,
Yogyakarta, h. 37. 48
D. Schaffmeister, 1995, Hukum Pidana, Liberty (Edisi pertama), Yogyakarta, h. 60.
49
Roeslan Saleh, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta,
h. 41.
Lebih lanjut dilihat dari optik tujuan yang lebih tinggi, maka menurut teori
hukum pidana abad ke-18 proporsionalitas tidak hanya batas bagian atas dari
ukuran pidana, tetapi juga batas bagian bawah. Menurut penulis-penulis pada
waktu itu kedua batas itu tidak boleh dilewati. Barulah pidana akan berfungsi
sebagai sesuatu yang berguna. Memidana haruslah dilakukan dengan tepat secara
matematis.50
B. Kerangka Berpikir
Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih maupun dipilih
terhadap terdakwa atau terpidana kasus korupsi adalah selaras dengan tujuan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang sekarang sedang gencar-gencarnya
dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi di sisi lain Indonesia juga
telah meratifikasi Kovenan mengenai Hak Sipil dan Politik (International Convenant
on Civil and Political Rights) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005
Tentang Pengesahan ICCPR, sehingga terdapat kontradiksi baik antara aturan hukum
yang berlaku di Indonesia maupun penerapannya yang kiranya perlu dikaji secara
mendalam dan serius guna menjamin kepastian, keadilan serta kemanfaatan dari
hukum itu sendiri juga bagi masyarakat. Adapun skemanya dapat digambarkan secara
sederhana sebagai berikut:
50
Ibid.
Bagan: Kerangka Berpikir
Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih
Sebagai Pidana Tambahan Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi
Latar Belakang Masalah:
1. Konflik Norma antara UU No. 12 Tahun 2005 Tentang ICCPR jo.,
UU Hak Asasi Manusia dengan KUHP jo., UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK);
2. Putusan Ratu Atut Choisyah, Putusan M. Akil Mochtar tentang
Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih.
1.8 Metode Penelitian
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode
yuridis Normatif yang sering juga disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu merupakan suatu penelitian yang mengacu pada analisis hukum, baik
Rumusan Masalah I:
Apakah Pencabutan Hak Memilih dan
Dipilih sudah sesuai dengan
perlindungan HAM yang berlaku di
Indonesia?
Rumusan Masalah II:
Apakah dasar pertimbangan Majelis
Hakim dalam menjatuhkan pidana
tambahan pencabutan hak memilih dan
dipilih?
Landasan Teoritis:
1. Teori Keadilan;
2. Teori Relatif dalam Hukum
Pidana;
3. Teori Hukum Progresif;
4. Asas Preferensi Hukum.
Landasan Teoritis:
1. Teori Relatif dalam Hukum
Pidana;
2. Model Pendekatan Keadilan/Just
Desert;
3. Teori Hukum Progresif;
4. Teori GONE;
5. Asas Proporsionalitas.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian: Hukum
Normatif;
2. Sifat Penelitian: Deskriptif;
3. Sumber data Primer dan data
sekunder.
4. Teknik Pengumpulan Bahan
Hukum: Menggunakan sistem
pencatatan dan sistem kartu 5. Teknik Analisis Bahan Hukum:
Deskripsi, Konstruksi, Evaluasi,
argumentasi, interpretasi,
sistematisasi.
Sasaran yang Ingin di Capai:
1. Pencegahan sekaligus
pemberantasan tindak
pidana korupsi;
2. Penjeraan terhadap pelaku
korupsi;
3. Hukuman yang
proporsional bagi koruptor
dan mengakomodir rasa
keadilan masyarakat;
dalam arti law as it is written in the book, maupun dalam arti law as it is decided by
judge through judicial process.51
Penelitian hukum normatif ini disebut juga
penelitian hukum perpustakaan. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen
penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang
ada di perpustakaan.52
Sejalan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji pun
menjelaskan bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum kepustakaan.53
Penelitian tersebut mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematik hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;
d. Perbandingan hukum, dan
e. Sejarah hukum.54
Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menemukan dan
mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter
Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
51
Ronald Dworking, 1973, Legal Research, Daendalus, h. 250, dalam Yenti Garnasih, 2003,
Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, h. 40.
52
Bambang Waluyo, 1991, Penelitan Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31.
53
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji II), h. 14.
54
Ibid.
hukum yang dihadapi.55
Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson mengemukakan
bahwa “Legal research is an essential component of legal practice. It is the process
of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that
law”.56
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa dalam ilmu hukum terdapat dua
jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
sosiologis atau empiris.57
Penelitian tesis ini adalah mengenai Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak
Memilih dan Dipilih Sebagai Pidana Tambahan Dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi, dalam hal ini terdapat disharmoni peraturan perundang-undangan
antara yang membolehkan dicabutnya hak memilih dan dipilih melalui putusan
pemidanaan dalam rangka penanggulangan korupsi yakni Undang-undang Nomor 1
Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo., Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999. Sedangkan yang melarang dicabutnya Hak memilih
dan dipilih yakni International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
berdasarkan ratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 jo., Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
1.8.2 Jenis Pendekatan
55
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, h. 35.
56
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press,
Jakarta, h. 51.
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif, sehingga dilakukan studi
kepustakaan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Pendekatan perundang-undangan melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan sentral penelitian.58
Dalam penelitian
hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan dan
memecahkan masalah yang dihadapi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach)59
. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan
yang dilakukan untuk meneliti konsepsi, pengaturan, landasan hukum bagi
Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap
terdakwa pada kasus korupsi dihubungkan dengan upaya-upaya preventif
yang bersifat progresif terkait penggunaan hak memilih dan dipilih dengan
tetap berpegangan teguh pada nilai-nilai Pancasila dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
58
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, h. 302.
59
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h. 93.
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan melalui
konsep-konsep dan asas-asas yang berkaitan dengan konsepsi, pengaturan
dan kinerja bagi para hakim, mahasiswa, praktisi ataupun akademisi
hukum dalam bertindak secara aktif pada proses peradilan pidana dengan
memberikan masukan atas sistem pemidanaan ataupun berkaitan dengan
penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih
yang juga harus selaras dengan asas-asas hukum pidana, doktrin,
yurisprudensi beserta segala batasan serta pengakuan HAM yang diakui
oleh konstitusi Republik Indonesia.
c. Pendekatan sejarah (historical approach) yaitu dengan melakukan telaah
latar belakang pengaturan hukum, latar belakang timbulnya putusan
tentang pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih,
serta sanksi hukum yang telah pernah diberikan terhadap para terpidana
kasus korupsi yang telah dijatuhi hukuman pencabutan hak memilih dan
dipilih.
d. Pendekatan kasus (case approach)
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti
adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio
decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiel.
Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang
menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Adapun dalam
pendekatan kasus ini penulis mendapati adanya Majelis Hakim yang
menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan
dipilih terhadap terdakwa kasus korupsi misalnya saja putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat terhadap Akil Mochtar dan Ratu Atut Chosiyah yang
mencabut hak memilih dan dipilih mereka, juga terhadap putusan-putusan
dalam bidang hukum lain yang relevan diambil sebagai pembanding
dalam rangka pembandingan dan pendekatan kasus.
e. Pendekatan Perbandingan (Comparative approach)
Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi
perbandingan hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum
merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum. Gutteridge
membedakan antara perbandingan hukum yang bersifat deskriptif yang
tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan
hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu, misalnya keinginan
untuk menciptakan keseragaman hukum.
Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan
hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu
waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di samping itu juga
membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan
pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat
bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu
untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih. Penyingkapan ini
dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-
undangan.60
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer dan sekunder,
mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari UUD 1945, KUHP, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
ICCPR dan undang-undang terkait lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang terdiri dari karya
ilmiah yang berupa buku teks (text book), jurnal hukum, karya tulis dan
makalah hukum baik yang ditulis dari para sarjana di Indonesia maupun di
para sarjana di luar negeri, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa
asing yang dimuat di media cetak, media massa maupun media elektronik
yang menyangkut dan berhubungan dengan materi “aturan hukum
60
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 172-173.
mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih
terhadap pejabat publik, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur
atau Pejabat Pemerintah lainnya yang melakukan tindak pidana korupsi”.
Selain itu rancangan undang-undang, pendapat para sarjana, kasus-kasus
hukum, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian.
c. Bahan hukum tertier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus hukum, ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara
etimologi/arti kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah tertentu
terutama yang terkait dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni
terkait istilah-istilah yang berkorelasi dengan “hukuman tambahan,
pencabutan hak memilih dan dipilih dan penanggulangan tindak pidana
korupsi”, dan lain-lain.61
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan data pada tesis ini menggunakan studi dokumen yang dilakukan
atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teknik
pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan
pencatatan dengan menggunakan sistem kartu. Dalam sistem kartu ini dilakukan
61
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji II, Op.Cit., h. 13.
suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh
dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis sebagai berikut:
- Deskripsi
- Konstruksi
- Evaluasi
- Argumentasi
- Interpretasi
- Sistimatisasi
Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti penggambaran/uraian apa adanya terhadap suatu
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
Teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi
dan pembalikan proposisi (acontrario).
Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum
seperti penafsiran gramatikal, historis, sistimatis, teleologis, konteksktual, dan lain-
lain.
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak
setuju, benar atau salah, syah atau tidak syah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan
primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan
permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman
penalaran hukum.
Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat
maupun antara yang tidak sederajat.62
62
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis
Program Studi Magister (S 2) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, h.
34-36.