BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas...

50
BAB I 1.1 LATAR BELAKANG Negara yang berdaulat adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia dalam konstitusinya. Suatu negara tanpa supremasi hukum dan hak asasi manusia adalah negara yang berdasarkan atas kekuasaan dan kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terdapat di dalam landasan dasar negara Indonesia (staatfundamentalnorm) yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) tepatnya pada Pasal 27 (1) dimana setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Adapun unsur-unsur rechsstaat menurut Scheltema antara lain: 1) kepastian hukum; 2) persamaan; 3) demokrasi; dan 4) pemerintahan yang melayani kepentingan umum. 1 Adanya instrumen perundang-undangan yang menjunjung tinggi HAM serta adanya jaminan persamaan kedudukan baik dalam hukum (equality before the law) maupun dalam pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk kewajiban untuk 1 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 47.

Transcript of BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas...

Page 1: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

BAB I

1.1 LATAR BELAKANG

Negara yang berdaulat adalah negara yang menjunjung tinggi supremasi

hukum dan hak asasi manusia dalam konstitusinya. Suatu negara tanpa supremasi

hukum dan hak asasi manusia adalah negara yang berdasarkan atas kekuasaan dan

kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi

manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia terdapat di dalam

landasan dasar negara Indonesia (staatfundamentalnorm) yaitu Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya

disingkat UUD 1945) tepatnya pada Pasal 27 (1) dimana setiap warga negara

bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung

tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan ini dapat

ditarik kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara

yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Adapun unsur-unsur rechsstaat

menurut Scheltema antara lain: 1) kepastian hukum; 2) persamaan; 3) demokrasi; dan

4) pemerintahan yang melayani kepentingan umum.1

Adanya instrumen perundang-undangan yang menjunjung tinggi HAM serta

adanya jaminan persamaan kedudukan baik dalam hukum (equality before the law)

maupun dalam pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk kewajiban untuk

1 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, 2008, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, PT.

Pradnya Paramita, Jakarta, h. 47.

Page 2: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik utama

yang melekat pada konsep negara hukum.2

Hukum di ciptakan untuk suatu tujuan yang mulia, yakni memberikan

pelayanan kepada masyarakat agar tercipta suatu keselarasan, keadilan, ketertiban,

dan keamanan yang berujung pada kesejahteraan. Namun, pada kenyataannya masih

tetap terjadi penyimpangan, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak

sengaja. Terhadap penyimpangan hukum tersebut tentunya harus ditindaklanjuti

dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai

dengan hukum acara yang berlaku dan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia dalam penerapannya.

Hukum pada hakekatnya adalah perlindungan kepentingan manusia, yang

merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak.3 Hal

tersebut merupakan ungkapan yang pas hendaknya diberikan bagi keberlakuan

hukum di belahan dunia manapun di bumi ini, disatu sisi mengatur mengenai

larangan seseorang untuk melakukan sesuatu yang menurut masyarakat tersebut

terlarang, di satu sisi membolehkan seseorang untuk melakukan sesuatu bahkan

menjaminnya dengan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Pergolakan dua sisi yang

saling bertentangan ini seolah tidak pernah ada habisnya, sepanjang manusia masih

dapat hidup dan berpikir untuk memenuhi kesejahteraannya, menjamin

2 Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 1.

3 Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta (Selanjutnya

disebut Sudikno Mertokusumo I), h. 107.

Page 3: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

keselamatannya juga mempertahankan populasinya. Hukum menghendaki stabilitas

dan keadilan dan dalam suatu tata hukum masyarakat yang bebas, yang di dalamnya

orang-orang dapat hidup dengan hak mendapat perlakuan sama sebagai warga negara

yang mandiri.4

Hukum ada (baik dibuat ataupun lahir dari masyarakat) pada dasarnya berlaku

dan untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta ketenteraman dan ketertiban.

Menurut Mohchtar Kusumaatmadja sebagaimana dikutip Samidjo dan A. Sahal,

menyatakan: „Hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asasnya yang

mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara

ketertiban juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan

berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat‟.5

Menurut John Locke manusia itu sejak dilahirkan telah memiliki kebebasan

dan hak-hak asasi. Hak asasi itu ialah: hak kehidupan, kemerdekaan, kesehatan dan

harta milik, hal ini dijumpai pada manusia dalam keadaan alami dan hak asasi

manusia itu tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, terkecuali oleh pemiliknya.

Adapun pendapat John Locke (terjemahan bebasnya) yakni: „Negara secara alamiah

diatur oleh hukum alam yang harus dipatuhi setiap orang sebagai hukum, memberi

arahan dalam kehidupan manusia dimana setiap orang mempunyai kebebasan dan

4 B. Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum

dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 68.

5 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakarya, Jakarta, h. 32.

Page 4: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

persamaan, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan, kemerdekaan atau

memenjarakan yang lain‟.6 Berdasarkan hal tersebut, menurut John Locke, tujuan

negara adalah menjaga dan menjamin terlaksananya kebebasan dan hak asasi

manusia. Eratnya hubungan manusia dalam hal ini masyarakat dengan hukum

melahirkan prinsip ubi societas ibi ius.7

Negara dalam proses untuk mencapai tujuannya yakni menjamin

terlaksananya kebebasan dan hak asasi manusia sering kali mendapati masalah-

masalah yang umumnya dihadapi oleh negara-negara manapun di belahan dunia ini,

diantaranya kesenjangan sosial, kemiskinan, pencemaran lingkungan, kejahatan

konvensional maupun internasional, korupsi serta gejala-gejala sosial lain yang

berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap rakyat yang hidup

dalam negara tersebut.

Permasalahan yang paling mendasar dan substansial yang terjadi di Indonesia

sekarang adalah masalah korupsi yang merupakan penyakit sosial yang sangat akut

dan sangat menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan terutama pada suatu negara

yang sedang berkembang, dimana penegakan hukumnya masih lemah. Korupsi

adalah kejahatan pokok yang sangat berbahaya dan susah untuk diberantas karena

sering kali melibatkan oknum pejabat-pejabat penting di dalamnya serta melintasi

berbagai sektor profesi, terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan dan menggunakan

6 Bernard arief sidharta, Op.Cit., h. 65.

7 Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, h. 3.

Page 5: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

alat-alat yang canggih guna menutupi jejak kejahatan korupsinya. Faktor tersedianya

sumber daya alam yang memadai, faktor lingkungan, faktor budaya yang

menyimpang dan faktor-faktor negatif lainnya seakan memperburuk dan membuat

korupsi semakin merajalela di suatu negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia

yang tingkat korupsinya belum berubah secara signifikan pasca era reformasi.

Sebagaimana dikemukakan diatas, faktor-faktor yang melatarbelakangi

terjadinya korupsi sebenarnya dapat dijelaskan oleh Teori GONE8 yang terdiri dari G

yakni Greed yang berarti keserakahan dari pelaku korupsi yang ingin melanggengkan

kekuasaan, disamping itu O yakni Opportunity berarti Kesempatan dimana sistem

yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi ataupun

adanya momentum dimana penegakan hukum lemah, alat-alat pendukung

pengungkapan kejahatan kurang dan integritas penegak hukum yang lemah sehingga

terciptalah kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selanjutnya N yakni

Neccessity yang berarti kebutuhan yang tak kunjung ada batasnya, Neccesity lebih ke

arah mencari kepuasan. Adapun E yakni Exposure yang berarti pengungkapan

dimana pengungkapan kasus korupsi terutama di Indonesia sangat kecil, selain

dikarenakan ketiga hal diatas juga karena wilayah Indonesia yang luas dan terpisah-

pisah karena kontur pegunungan dan lautan disamping itu juga moral dari aparat

penegak hukum.

8 I Ketut Mertha, 2014, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana, Udayana University

Press, Denpasar, h. 98.

Page 6: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Adapun menurut indeks korupsi dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-107

dari 175 negara terkorup di dunia. Posisi Indonesia jauh berada di bawah

Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85). Untuk urusan korupsi,

Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste (133), Laos (145),

serta Kamboja dan Myanmar (156). Indonesia juga lebih baik ketimbang Rusia

(136), Ukraina (142), Paraguay (150), Kolombia (161), dan sejumlah negara di

Afrika.9

Oleh karenanya diperlukan suatu gebrakan atau terobosan baru dari aparat

penegak hukum baik pada tingkat penuntutan dan persidangan dalam melakukan

tindakan represif yang di dalamnya juga terdapat unsur preventif dan preemtif

terhadap tindak pidana korupsi agar negara ini terhindar dari penghancuran secara

sistematis serta masif terhadap aspek-aspek pembangunan yang potensial, untuk

menanggulangi kerugian negara itu sendiri akibat perilaku korup, juga

menyelamatkan bangsa khususnya generasi muda dari dampak negatif yang dapat

dicontoh oleh mereka.

Indonesia sebagai peringkat ke-107 negara terkorup di dunia perlu berbenah

diri dari segi hukuman konvensional seperti pidana penjara, denda, hingga

pengembalian aset negara yang belum berdampak signifikan terhadap kasus-kasus

korupsi yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut juga belum mengakomodir rasa

keadilan rakyat Indonesia yang telah di lukai oleh perilaku-perilaku korup oknum

pejabat baik di pusat maupun di daerah, oleh karenanya diperlukan sanksi tambahan

dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi agar perilaku-perilaku korup

9 Ervan Hardoko, 2014, Indeks Korupsi Dunia: Denmark Terbersih, Indonesia Ke-107,

terdapat pada

http://internasional.kompas.com/read/2014/12/03/12444781/Indeks.Korupsi.Dunia.Denmark.Ter

bersih.Indonesia.Ke-107, diakses pada tanggal 26 April 2015 pukul 2.16 Wita.

Page 7: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

tersebut dapat ditekan seminimal mungkin dan nantinya hukuman tambahan tersebut

dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Sejalan dengan proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

di Indonesia serta pengakuan dan penegakan hak asasi manusia, maka diperlukan

langkah progresif dari aparat penegak hukum sebagai langkah preventif maupun

represif agar para koruptor tidak melakukan tindak pidana korupsi lain yang baru dan

menjadi jera melakukan korupsi. Salah satu terobosan tersebut adalah dengan

memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih bagi

terpidana korupsi yang belakangan ini marak di jatuhkan oleh Majelis Hakim pada

tingkat Banding dan Kasasi. Sebut saja terpidana kasus suap sengketa Pemilihan

Kepala Daerah Lebak Banten di Mahkamah Konstitusi yakni Ratu Atut Chosiyah

yang mana menyeret juga Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar,

keduanya dicabut hak memilih dan dipilihnya.

Pada kasus lain yakni, pengadaan kuota impor daging sapi oleh Luthfi Hasan

Ishaaq oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dicabut hak memilih dan

dipilihnya, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo pada tingkat banding yang dicabut

hak memilih dan dipilihnya sehubungan dengan pengadaan alat simulator SIM (Surat

Izin Mengemudi). Terhadap putusan-putusan tersebut seharusnya menjadi acuan bagi

aparat penegak hukum pada tingkat Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan tingkat

Banding pada setiap provinsi dalam menjatuhkan putusan bagi terdakwa tindak

Page 8: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

pidana korupsi sebagai konsistensi dari solidnya aparat penegak hukum dalam

memberantas tindak pidana korupsi pada semua lini kehidupan.

Pencabutan hak-hak tertentu memang di atur dalam beberapa pasal pada

undang-undang yang berbeda, diantaranya yakni:

Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang menegaskan Pidana terdiri atas:

a. Pidana Pokok:

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Pidana kurungan;

4. Pidana denda;

5. Pidana tutupan.

b. Pidana Tambahan:

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu;

3. Pengumuman putusan hakim.

Selanjutnya Pasal 35 KUHP menegaskan:

1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal

yang ditentukan dalam kitab Undang-undang ini, atau dalam aturan umum

lainnya ialah:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

2. Hak memasuki angkatan bersenjata;

3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum;

4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,

hak menjadi wali, wali pengawas, pengampun atau pengampun

pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

5. Hak menjalankan mata pencarían tertentu.

Page 9: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Juga diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK) yakni:

Pasal 18 ayat (1)

Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

sebagai pidana tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud barang

tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana

korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi

dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyak dengan harta

benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)

tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau

sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

Pemerintah kepada terpidana.

Pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana korupsi memang

sedang hangat-hangatnya mendapat sorotan masyarakat, terlebih dari para pakar

hukum yang menilai bahwa pencabutan hak memilih dan dipilih adalah merupakan

suatu bentuk keadilan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan

dicabutnya hak memilih dan dipilih terpidana kasus korupsi selain memberikan efek

jera juga mengakomodir aspirasi rakyat selama ini yang sudah gerah akan keberadaan

perilaku korup di negara ini.

Faktanya, pencabutan hak memilih dan dipilih ini masih terganjal dengan

pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia di satu sisi kejahatan korupsi

merupakan suatu kejahatan yang digolongkan dengan extraordinary crime oleh

karena korupsi telah merampas hak-hak asasi manusia orang banyak sehingga

Page 10: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

dibutuhkan extraordinary measure atau tindakan luar biasa dalam

penanggulangannya khususnya pada saat keadaan indonesia seperti sekarang ini yang

segera membutuhkan tindakan yang tegas, cepat dan progresif. Tetapi di sisi lain hak

memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang dapat dikurangi tetapi

terdapat prosedur yang mesti dipatuhi oleh suatu negara yang mana diatur dalam

UUD 1945 jo., Undang-undang No. 12 tahun 2005 tentang International Covenant on

Civil and Political Rights (selanjutnya disebut UU ICCPR) jo., Undang-undang No.

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM).

Extraordinary crime adalah istilah yang masih banyak penafsiran dan belum

ada standarisasi yang baku, dalam artian, kejahatan seperti apa yang patut untuk

dimasukkan dalam kategori extraordinary crime. Dengan tidak diberikannya ruang

bagi extraordinary crime berupa kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme maka hal

tersebut akan menumbuhkan kepercayaan kepada rakyat bahwa pemerintah memang

konsekwen dan tegas terhadap perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dapat

berujung pada stabilitas Ipoleksosbud (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya)

serta Hankam (Pertahanan dan Keamanan) sehingga berdampak pada meningkatnya

taraf hidup rakyat indonesia layaknya negara-negara maju di dunia.

Pakar hukum pidana, Muladi mencoba mengemukakan beberapa dasar

pemikiran pengelompokan sebuah kejahatan termasuk kategori extraordinary crime.

Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat kriminogen dan

victimogen dan secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi

Page 11: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

kepentingan, dari keamanan ketertiban, sistematis atau terorganisasi,

mengancam stabilitas politik, masa depan pembangunan dan lain-lain. Beliau

memberikan contoh korupsi yang termasuk dalam kategori extraordinary crime,

karena potensial mengakibatkan kerugian dalam berbagai dimensi.10

Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan Muladi, antara lain sebagai

berikut:

a. Ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat;

b. Merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan,

bersifat diskriminatif dan etika dalam kompetisi bisnis yang jujur;

c. Mencederai pembangunan berkelanjutan dan “the rule of law”.

d. Kemungkinan keterkaitan antara korupsi dengan bentuk kejahatan lain,

khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi termasuk “Money

Laundering” (tindak pidana korupsi merupakan “predícate crime” atau

disebut juga kejahatan asal), terorisme, perdagangan manusia dan lain-lain;

e. Tindak pidana korupsi yang besar (high level corruption) berpotensi

merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam jumlah besar

sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan

membahayakan stabilitas politik;

f. Korupsi tidak mustahil sudah bersifat “transnational” dengan

memberdayakan sarana-sarana canggih;

g. Menimbulkan bahaya terhadap “human security”, termasuk dunia

pendidikan, pelayanan pendidikan, fungsi-fungsi pelayanan sosial, dan lain-

lain;

h. Merusak mental pejabat dan mereka yang bekerja dalam wilayah

kepentingan umum.11

Perilaku korup dari para pejabat negara yang telah dipercaya dan dipilih oleh

masyarakat untuk mengemban aspirasi rakyat jelas sangat mencederai dan melukai

perasaan, kehidupan serta Hak Asasi Manusia dari seluruh rakyat Indonesia, dimana

rakyat diambil haknya berupa dana dari negara yang serharusnya dialokasikan kepada

rakyat guna menunjang agar tiap-tiap individu dalam Negara Kesatuan Republik

10

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court

System & Out Court System, Gramata Publishing, Depok, h. 20. 11

Ibid., h. 21.

Page 12: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Indonesia dapat hidup sejahtera tetapi oleh koruptor kemudian diambil untuk

kepentingannya sendiri.

Bayangkan saja apabila hak memilih dan dipilih terpidana korupsi tersebut

tidak di cabut, otomatis koruptor tersebut atau orang lain yang dipilihnya dapat

terpilih kembali atau terpilih dan melakukan perbuatan korup yang sama atau bahkan

lebih parah dikarenakan pelaku berpikiran sudah terlanjur akan terstigmatisasi. Hal

ini tentunya akan mencederai demokrasi di negara kita dan berimbas pada runtuhnya

falsafah hidup kita yakni Pancasila di sisi lain juga berdampak fatal, yakni menjadi

contoh bagi generasi-generasi muda dikemudian hari.

Sebenarnya di indonesia sudah ada lembaga super body atau lembaga yang

maha kuat yang bertugas untuk menyadap, menyelidiki, menyidik, menuntut bahkan

mengambil alih suatu kasus korupsi apabila menurut penilaian mereka

penanganannya berlarut-larut dan cenderung akan menimbulkan kasus korupsi baru.

Lembaga tersebut adalah KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 30

Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan KPK dapat

berkoordinasi dengan Interpol atau penegak hukum internasional dalam rangka

memberantas korupsi12

, KPK juga dapat bekerja sama dengan Departemen Hukum

dan HAM atau lembaga pemerintah lain guna pencegahan tersangka keluar negeri13

12

Aziz Syamsuddin, 2011,Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h. 209.

13

Wahyu Satya Kuncahyo, 2015, Tiga Pejabat BBJ dicegah ke Luar Negeri, terdapat di:

http://hukum.rmol.co/read/2015/03/11/194968/1/Tiga-Pejabat-BBJ-Dicegah-ke-Luar-Negeri, diakses

tanggal 4 April 2015, pukul 3.18.

Page 13: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

maupun seharusnya dalam rangka membekukan atau menuntut agar hak memilih dan

dipilih seseorang tersangka atau terdakwa dicabut apalagi bagi terpidana guna

melindungi rasa keadilan rakyat Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini melakukan pendataan

tentang praktik korupsi di Indonesia. Hasilnya, 50 persen kasus korupsi di

Indonesia berbentuk penyuapan. Itu sebabnya mengapa KPK mengategorikan

korupsi sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime). Penasihat KPK Abdullah

Hehamahua mengatakan ada tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi

kejahatan luar biasa. Pertama, korupsi di Indonesia sifatnya transnasional.

"Koruptor Indonesia banyak mengirim uangnya ke negara lain," ujarnya kepada

Republika di kantor PLN pusat, Kamis (23/2). Hasil pendataan KPK, kata

Abdullah, 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia. Itu berarti

orang terkaya di Singapura bukanlah orang Singapura, melainkan orang

Indonesia. Oleh sebab itu juga Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi

perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.14

Tujuan dari perjanjian ini adalah meminta buronan dari suatu negara yang lari ke

negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Singapura, kata Abdullah,

menjadi tempat nyaman untuk pelarian koruptor di Indonesia. Kedua,

pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya membutuhkan usaha ekstra

keras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan.

Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara

hukum, pembuktiannya cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi

kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi.15

Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, hutang

Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 triliun. Hutang ini dibayar tiga tahap,

2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042. „sehingga Masalahnya apakah kita

dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang tahun itu banyak timbul

hutang-hutan baru dari korupsi baru‟, kata Abdullah.16

14

Edwin Dwi Putranto, 2012, Inilah 3 Alasan Mengapa Korupsi di sebut Kejahatan Luar Biasa,

terdapat pada: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/23/lztpqj-inilah-3-alasan-

mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa, diakses tanggal 27 Agustus 2015, pukul 22.10. 15

Ibid.

16

Ibid.

Page 14: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Pencabutan hak memilih dan dipilih pada perkara korupsi sangat gencar di

lakukan pada saat penuntutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

belakangan ini oleh karena disatu sisi pidana penjara dan denda seakan tidak

berdampak signifikan terhadap tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin

banyak terjadi di negara ini.

Terobosan baru dalam hal pencabutan hak memilih dan dipilih tersebut

diharapkan sedikit dapat mengurangi gencarnya perilaku korup elit politik dan

diharapkan dapat memberikan rasa keadilan masyarakat, mengingat terdapat banyak

kasus korupsi yang hak memilih dan dipilihnya tidak dicabut sehingga terpidana

korupsi tetap dapat memperoleh suara bahkan terpilih sebagai calon legislatif, ada

pula bahkan sedang menunggu untuk dilantik. Sungguh ironi di negara yang kaya

seperti Indonesia rakyatnya masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan akibat

dampak sistemik dari korupsi. Contoh kasus yakni Susno Duaji yang diusung oleh

Partai Bulan Bintang untuk DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Barat I di nomor urut

pertama.17

Sedangkan contoh lain yang sampai dilantik adalah kasus Bupati Boven

Digoel-Papua dan Bupati Tomohon dimana pelaku sudah diputus bersalah namun

masih menang dalam pemilihan kepala daerah.18

17

Hazliansyah, 2013, Putri Susno Duadji Gantikan Ayahnya Jadi Caleg, terdapat di:

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/17/mmw8nf-putri-susno-duadji-gantikan-

ayahnya-jadi-caleg, diakses tanggal 24 November 2014, Pukul 20:37.

18

Sie/Aik/Why, 2011, Terdakwa Korupsi Dana APBD Tomohon Dilantik Jadi Wali Kota,

terdapat di: http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=8334&l=terdakwa-korupsi-dana-apbd-tomohon-

dilantik-jadi-wali-kota, diakses tanggal 24 November 2014, Pukul 20:37.

Page 15: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Terkait hal tersebut diatas, Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menunjukkan data di KPK hingga April

2014, sudah 74 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlibat kasus

korupsi. Hal ini disampaikan untuk menunjukkan adanya kerawanan konflik

kepentingan jika pimpinan KPK harus dipilih DPR. „Cukup banyak terdakwa

yang berasal dari partai politik kemudian dinyatakan bersalah dan dijatuhi

hukuman,‟ kata Bambang di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 15 April 2015,

lansir tempo.co. Bambang mengatakan jumlah politikus yang tersandung kasus

korupsi ini diduga akan lebih besar lagi jika ditambah dari data penanganan

kasus serupa oleh kepolisian dan kejaksaan. Kejahatan korupsi sendiri dinilai

semakin masif, sistematis, dan terstruktur yang mengharuskan adanya lembaga

antikorupsi independen. KPK juga mencatat total kepala lembaga atau

kementerian yang terlibat korupsi ada 12 orang, duta besar 4 orang, komisioner

7 orang, gubernur 10 orang, wali kota atau bupati 35 orang, pejabat eselon 114

orang, hakim 10 orang, swasta 94 orang, dan lainnya 41 orang. Total seluruh

terdakwa yang ditangani KPK yaitu 401 orang.19

Data mengenai jumlah politikus yang terlibat kasus korupsi juga terdapat data

jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi yang tidak kalah

fantastis, hal ini dikarenakan kelemahan undang-undang pemberantasan tindak pidana

korupsi indonesia yang hanya mengenakan maksimum pidana denda sebesar 1 (satu)

milyar rupiah, sementara dampak sistemiknya masih luput dari jangkauan

penghitungan hasil kerugian negara yang belum tercantum dalam undang-undang

tersebut, hal ini terdapat pada:

Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan

Bisnis UGM, merilis hasil analisis terhadap 1365 kasus korupsi yang sudah

mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung. „Ada 1842 terdakwa

koruptor selama 2001 sampai 2012, dengan nilai total hukuman finansial

Rp15,09 triliun,‟ kata Rimawan kepada media seusai diskusi diseminasi hasil

19

A.Z. Muttaqin, 2014, Hingga April 2014, Sudah 74 Anggota DPR Terlibat Korupsi, terdapat

pada: http://www.arrahmah.com/news/2014/04/15/hingga-april-2014-sudah-74-anggota-dpr-

korupsi.html, diakses tanggal 22 Mei 2015, pukul 6.45.

Page 16: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

riset mengenai "Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasarkan Putusan MA

2001-2012" di Yogyakarta, Senin, 4 Maret 2013. Namun, Rimawan juga

menyodorkan data pembanding nilai denda finansial tadi dengan besaran jumlah

nilai uang yang dikorupsi atau ia sebut biaya eksplisit korupsi, yakni Rp 168,19

triliun. Data itu jauh sekali dibandingkan dengan nilai denda finansial untuk

koruptor yang hanya sebesar 8,9 persennya saja atau berarti negara kehilangan

uang sebanyak Rp 153,1 triliun. Dia juga memperkirakan kerugian negara jauh

lebih besar jika dimasukkan pula biaya antisipasi dan penanganan kasus korupsi,

biaya implisit atau efek beban finansial negara akibat korupsi. Kerugian negara

di luar uang yang dikorup itu, dia kategorikan sebagai biaya sosial korupsi yang

rumusan penghitunganya belum ada di Indonesia. "Semestinya ada, karena di

negara maju biaya sosial kejahatan itu ada rumusan hitungannya," ujar dia.

Kata Rimawan, besaran biaya sosial bisa membengkak jika ada praktek

pencucian uang yang terjadi dan mengalir hingga ke luar negeri. Biaya

pengejaran aset yang dicuci itu tentu sangat besar. Sementara efeknya bisa

membuat dinamika ekonomi nasional terkena imbasnya sebab ada dana yang lari

ke kawasan asing. "Kalau ada pencucian uang, kerugian makin besar.20

Data terakhir yang diambil melalui Editorial Media Indonesia yakni „pada

tahun 2014 sebesar Rp. 1792 triliun yang mana nyaris setara dengan APBN kita pada

tahun yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila ada perbaikan indeks

korupsi satu poin saja, laju investasi meningkat 4% dan laju pertumbuhan ekonomi

naik menjadi lebih dari 0.5 %‟.21

Berdasarkan data-data tersebut dapat dikemukakan bahwa dampak dari tindak

pidana korupsi belum sebanding dengan pengembalian aset yang menjadi kerugian

20

Addi Mawahibun Idhom, 2013, Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp168,19 triliun,

terdapat pada: http://nasional.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/akibat-korupsi-uang-

negara-menguap-rp168-19-triliun, diakses tanggal 22 Mei 2015, pukul 7:44.

21

Media Indonesia, 2015, Korupsi Membonsai Ekonomi, terdapat pada:

http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/520/Korupsi-Membonsai-Ekonomi/2015/09/04,

diakses tanggal 4 September 2015, pukul 15.00.

Page 17: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

negara, dalam hal ini terjadi ketimpangan yang cenderung mengarah kepada keadaan

ketidakadilan yang tentunya sangat di rasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, hal

mana berimbas pada ketidakmerataan pembangunan, kesenjangan sosial yang tinggi

serta menimbulkan efek domino pada seluruh sendi kehidupan rakyat Indonesia serta

menjurus ke kebangkrutan negara akibat korupsi. Oleh karenanya tidak salah

kemudian KPK menggolongkan tindak pidana korupsi sebagai extra-ordinary

crime/kejahatan luar biasa.

Berbicara mengenai keadilan, hakikat keadilan itu sendiri adalah penilaian

seseorang kepada orang lain, umumnya dilihat dari pihak yang menderita akibat

putusan hakim. Pemberian keadilan dalam putusan hakim yang ideal bisa dikaitkan

dengan pendapat Gustav Radbruch, bahwa suatu putusan pengadilan idealnya harus

mengandung idee des recht, yaitu aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek kepastian

hukum (rechtssicherkeit) dan aspek kemanfaatan (gerechtigheid).22

Disatu sisi, adanya jaminan terhadap kebebasan hakim dalam mengadili yang

sangat memadai dalam konsitusi dan peraturan perundang-undangan, sudah

seharusnya dipergunakan secara proporsional, jangan menonjolkan sikap arrogance

of power, memperalat kebebasan untuk menghalalkan cara, maka digunakan dengan

acuan:

22

Bambang Sutijoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-aspek Kekuasaan Kehakiman di

Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 87.

Page 18: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

1. Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang

tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang

diperiksanya, sesuai dengan asas dan status law must prevail (ketentuan

Undang-undang harus diunggulkan);

2. Menafsirkan hukum yang tepat dengan cara-cara pendekatan yang dibenarkan

(penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa (gramatika), analogis dan a

contrario) atau mengutamakan keadilan daripada peraturan perundang-

undangan, apabila ketentuan undang-undangan tidak potensial melindungi

kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan dengan doktrin

equity must prevail (keadilan harus diunggulkan).

3. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechtvinding), dasar-dasar

dan asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis

(hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni

mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral,

agama kepatutan dan kelaziman.23

Putusan hakim merupakan puncak dari pemeriksaan perkara pidana dalam

keseluruhan proses peradilan pidana. Dalam putusan hakim diharapkan akan

ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran hakiki, hak asasi manusia,

penguasaan hukum dan fakta secara mapan, mumpuni dan faktual. Putusan hakim

mencerminkan visualisasi etika, mentalitas, moralitas hati nurani hakim serta dapat

dipertanggungjawabkan kepada justiabelen, ilmu hukum/doktrin-doktrin hukum,

masyarakat dan „Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‟.24

Para hakim dalam memutus perkara sebenarnya sudah mendapat

kebebasan/independensi di negara kita guna mengakomodir rasa keadilan yang

berada di dalam masyarakat, dimana hal tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 24

23

Yahya Harahap, 2005, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 60. 24

Lilik Mulyadi, 2010, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung h. 135.

Page 19: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

ayat (1) yakni “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan” jo., Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan juga:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Mantan Hakim Agung, J. Johansyah, menggarisbawahi bahwa independensi

dalam rumusan pasal-pasal tersebut pengertiannya bukan pada kelembagaan, tetapi

pada fungsi utama lembaga peradilan di tengah masyarakat, yaitu pemutus suatu

sengketa hukum. Karena itu, kalimat berikutnya dalam Pasal konstitusi tersebut

adalah „berdasarkan hukum dan keadilan‟.25

Independensi hakim dapat bersifat normatif, dapat juga bersifat

kenyataan/realita. Kedua independensi itu tidak dapat dipisahkan. Ada pula ahli

hukum yang memilah antara independensi sempit dan Independensi luas. Pada

dasarnya, independensi kekuasaan kehakiman tidak hanya semata independensi

kelembagaan, tetapi juga independensi perseorangan hakim. Independensi hakim

karena itu adalah kondisi di mana para hakim bebas dari pengaruh apalagi tekanan

25

J. Johansyah, 2010, Independensi Hakim di Tengah Benturan Politik dan Kekuasaan dalam

Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Komisi Yudisial, Jakarta, h. 74.

Page 20: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya berdasarkan fakta yang terbukti di

pengadilan dan berdasarkan hukum.26

Suatu hal yang merupakan kewajiban dalam menjatuhkan putusan, hakim

harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi, khusus di Indonesia, hakim

bukan merupakan corong undang-undang. Hakim merupakan cerminan kepatutan,

keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, hakim

wajib memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan sudah semestinya

menerapkannya. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk memperhatikan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat hal mana ditujukan agar putusan hakim sesuai dengan

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lagipula, penting di ingat

bahwa sumber hukum tidak saja berupa undang-undang, adat istiadat atau kebiasaan

yang masih hidup yang tidak bertentangan dengan hukum juga merupakan sumber

hukum. Oleh karenanya, hakim dapat memakai adat istiadat atau kebiasaan sebagai

referensi.

Meskipun Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim

mengakomodir nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi ada suatu waktu

hakim tidak tunduk pada kewajiban itu. Bahkan, kadangkala hakim „menyimpang‟

dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan.

26

Muchsin. 2004, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, STIH IBLAM,

Jakarta, h. 10.

Page 21: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Misalnya, Putusan MA No. 1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat

yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tidak bisa dipertahankan

lagi.

Landasan rasionalitas argumentasi hukum dalam pertimbangan hukum

putusan hakim memberikan gambaran tentang paradigma pemikiran hakim, apakah

masih terkurung dalam formalitas legisme atau pembebasan dan pencarían kebenaran

dan keadilan yang lebih progresif keluar dari tawanan undang-undang.

Putusan hakim bersifat profesional jika dibangun struktur konseptual yang

dapat dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum dan kemanfaatan sosial. Secara

doktrinal, putusan hakim sudah seharusnya mendasarkan pada sumber hukum yang

lengkap yaitu: fakta hukum, peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, asas-

asas hukum, doktrin hukum pidana dan yurisprudensi.

Proses peradilan pidana yang menekankan pada tujuan mengadili dan tujuan

hukum menimbulkan pandangan para hakim bahwa hukum bukanlah merupakan

satu-satunya dasar memutus perkara. Cara pandang hakim bahwa putusan hanya

semata-mata demi hukum atau pernyataan “hukum untuk hukum” (justice for the sake

of law). Hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah sebagai alat, cara dan

keluaran (hasil) putusan pengadilan harus mampu mewujudkan keadilan, ketertiban,

ketentraman.

Page 22: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Keterikatan hakim dengan tujuan hukum dan tujuan mengadili seperti yang

dikemukakan oleh Wiarda-Koopmans tentang „3 typen van vinding yaitu terdapat tiga

fungsi hakim dalam memutuskan perkara antara lain menerapkan hukum

(rechtoepassing); penemuan hukum (rechtvinding/legal finding) dan menciptakan

hukum (rechtchepping)‟.27

Sejalan dengan fungsi hakim dalam menerapkan hukum (rechtoepassing),

penjatuhan pidana berupa pencabutan atau pembekuan hak memilih dan dipilih tidak

serta merta menghilangkan hak untuk berpolitisi dari terdakwa maupun terpidana

pada kasus korupsi, hal tersebut juga berkaitan erat dengan penemuan hukum

(rechtvinding/legal finding) yang menjadi fungsi dari hakim itu sendiri serta tidak

terlepas dari konsepsi putusan hakim yang profesional sebagaimana disebutkan

sebelumnya. Penemuan hukum itu sendiri berkaitan erat dengan pendekatan

hermeneutika hukum, produk suatu putusan hukum selalu mengimplikasikan

hubungan antara kaidah dengan fakta, yaitu relasi momen-momen normatif dalam

Undang-undang dengan fakta yaitu situasi konkret secara sirkular. Hubungan antara

kaidah hukum dengan fakta situasional bersifat saling mempengaruhi dalam

hubungan yang bersifat sirkular (lingkaran tidak berujung pangkal), yaitu fakta-fakta

dikualifikasi dari sudut kaidah hukum, sedangkan kaidah hukum diseleksi (reduksi)

berdasarkan kejadian fakta-fakta.28

27

Bagir Manan, 2009, Menegakkan Hukum, Suatu Pencarian, Asosiasi Advokat Inonesia-

MMIX, Jakarta, h. 135. 28

Ibid., h. 136.

Page 23: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Putusan pengadilan pidana terlepas dianggap adil atau tidak sangat tergantung

dari penilaian terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik yang menjadi tujuan

hukum pidana adalah usaha mempertahankan ketertiban dan keamanan masyarakat

sehingga keadilan yang diargumentasikan dalam putusan pengadilan berkaitan

dengan realitas terlindunginya kepentingan sosial (social interest) masyarakat.

Aspek keadilan dalam perkara pidana sebagaimana dinyatakan Aristoteles

yakni:

Sebagai keadilan vindikatif atau korektif atau pembalasan merupakan keadilan

yang berorientasi pada kepentingan hukum masyarakat, yaitu terjaminnya

ketertiban dan keamanan. Prinsip keadilan korektif menggunakan instrument

pidana atau hukuman, sehingga nilai keadilan sangat tergantung dari penjatuhan

pidana atau hukuman yang tepat, dikenal pula istilah penjatuhan hukuman yang

setimpal dengan perbuatan.29

Dengan dicabutnya hak untuk memilih maupun dipilih terhadap terdakwa atau

terpidana kasus korupsi diharapkan dapat memenuhi aspek keadilan sebagaimana

dinyatakan oleh Aristoteles diatas, pada sisi lain hal ini juga menandakan keseriusan

penegak hukum dalam memberantas korupsi serta menandakan era baru dalam

penegakan hukum terutama penjatuhan sanksi bagi koruptor di Indonesia telah

dimulai. Penjatuhan sanksi tersebut terlebih dahulu haruslah mendapat telaah yang

lebih dalam dari sisi ilmu hukum itu sendiri, oleh karena Indonesia pada tahun 2005

telah meratifikasi produk-produk hukum dari International Covenant on Civil and

29

J. Pajar Widodo, 2013, Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publishing, Bandar Lampung, h. 43.

Page 24: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Political Rights (ICCPR) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan sebelumnya telah

diatur juga Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:

1. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan

keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, negara-negara pihak

kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi

kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang

sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-

langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya

berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi

semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

agama atau asal-usul sosial.

2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16,

18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.

3. Setiap negara pihak kovenan ini yang menggunakan hak untuk

melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya

kepada Negara-negara pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris

Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan

yang dikuranginya dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya.

Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama

pada berakhirnya pengurangan tersebut.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan:

1. Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat

ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau

seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan

yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang

diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang

ditetapkan dalam Kovenan ini.

2. Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau penyimpangan HAM

mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan

hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa

Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara

lebih sempit.

Page 25: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Pasal 25 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyatakan: hak setiap warga

negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih

dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama

pada jabatan publik di negaranya.

Hal ini juga perkuat dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 43 ayat (1), Pasal 73

dan 74 yang menegaskan:

Pasal 23 ayat (1): setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan

politiknya.

Pasal 26 ayat (2): setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa

diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada

kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 ayat (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam

pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 73: hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat

dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang semata untuk menjamin

pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar

orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.

Pasal 74: tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan

bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan

mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan

dasar yang diatur dalam undang-undang.

Juga terdapat pada pasal 28 D ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:

Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan.

Page 26: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Dari pembahasan latar belakang yang telah diuraikan diatas, jelaslah terdapat

beberapa Undang-undang atau aturan yang tidak harmonis atau terdapat

disharmonisasi norma satu dengan yang lainnya sehingga menarik untuk diangkat

dalam suatu penulisan tesis berjudul “TINJAUAN YURIDIS

PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH SEBAGAI

PIDANA TAMBAHAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut diatas, beberapa permasalahan pokok yang akan

diteliti antara lain sebagai berikut:

1. Apakah penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan terhadap hak

memilih dan dipilih dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sudah sesuai

dengan pengaturan HAM di Indonesia?

2. Apakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana

tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih pada tindak pidana korupsi?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian antara

pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai berikut:

Page 27: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

1. Permasalahan pertama dibahas mengenai penjatuhan putusan pencabutan hak

memilih dan dipilih dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi

ditinjau dari hukum positif yang mengatur tentang HAM di Indonesia.

2. Permasalahan kedua dibahas mengenai dasar yuridis dan hal-hal substansial

dari Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak

memilih dan dipilih terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana

korupsi.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas,

maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan

penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait

dengan paradigma science as a process (ilmu pengetahuan sebagai proses),

dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah berhenti/final dalam

penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana ilmu hukum mengkaji

mengenai fakta hukum maraknya penjatuhan pidana tambahan berupa

Page 28: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

pencabutan hak memilih dan dipilih oleh Majelis Hakim khususnya pada

tingkat kasasi terhadap terpidana kasus korupsi dan relevansinya terhadap

pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia melalui UU

ICCPR dan UU HAM.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar hukum pertimbangan Majelis

Hakim dalam putusannya yang memberikan pidana tambahan berupa

pencabutan hak memilih dan dipilih dalam tindak pidana korupsi yang

dihubungkan dengan teori-teori hukum maupun pendapat-pendapat para

sarjana hukum serta falsafah negara Indonesia sehingga menjadi acuan

bagi aparat penegak hukum ke depannya dalam menerapkan hukum yang

berbasis pada rasa keadilan masyarakat luas.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk

mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana

khususnya yang berkaitan dengan penjatuhan pidana tambahan berupa

pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana pada kasus korupsi di

Indonesia mengenai hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana

yang dihubungkan dengan teori dan asas yang dipakai dalam penulisan karya

ilmiah ini.

Page 29: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada

lembaga yudikatif, khususnya aparat penegak hukum dalam menyikapi kasus

serupa agar visi pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dapat

berjalan maksimal serta rasa keadilan masyarakat terpenuhi.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset

(penelitian) yang pada pokoknya membahas mengenai korupsi dan penjatuhan

pemidanaan terhadap pelakunya namun kajiannya masih belum progresif dan belum

kritis terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam Hukum Pidana (KUHP) dan/atau

aturan-aturan lain di luar KUHP yang bersifat khusus, adapun karya ilmiah tersebut

sebagai berikut:

1. Nama : Ifransko Pasaribu;

NIM : 057005009/HK;

Universitas : Universitas Sumatera Utara;

Judul Tesis :“Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan

Analisis Terhadap Sistem Pembebanan dan Sanksi dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi”.

Lingkup rumusan masalah:

Page 30: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

- Bagaimanakah perumusan pembebanan pembuktian dalam Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

- Bagaimanakah perumusan sanksi dalam Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Nama : Erfan Efendi Yudi Arianto;

NIM : 11010110400046;

Universitas : Universitas Diponegoro;

Judul Tesis :“Kebijakan Formulasi Sistem Pemidanaan Dalam Upaya

Penanganan Masalah Barang Rampasan Hasil Tindak

Pidana Korupsi”.

Lingkup rumusan masalah:

- Bagaimana formulasi sistem pemidanaan dalam upaya penanganan

masalah barang rampasan hasil tindak pidana korupsi untuk

pengembalian kerugian keuangan negara saat ini?

- Bagaimana kebijakan formulasi sistem pemidanaan dalam upaya

penanganan masalah barang rampasan hasil tindak pidana korupsi untuk

pengembalian kerugian keuangan negara pada masa yang akan datang?

Page 31: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

A. Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum

umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan-aturan hukum, norma

hukum, dan lain-lain yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas

masalah penelitian. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal

dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.30

Konsep (concept) adalah

kata yang merupakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.31

Sedangkan kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan

abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan

untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan untuk penelitian. Kriteria teori yang ideal adalah:

1. Suatu teori secara logis harus konsisten, tidak ada hal-hal yang saling

bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan.

2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala tertentu,

pernyataan yang mempunyai interrelasi yang serasi.

3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori, harus dapat mencakup semua

unsur gejala yang menjadi ruang lingkupnya dan masing-masing bersifat

tuntas.

4. Tidak ada pengulangan ataupun duplikasi di dalam pernyataan tersebut.

30

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta (Selanjutnya

disebut Sudikno Mertokusumo II), h. 4.

31

Sudikno Mertokusumo (Sudikno Mertokusumo I), Op. Cit., h. 5.

Page 32: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian, mengenai hal ini ada asumsi

tertentu yang membatasi diri pada pernyataan, bahwa pengujian tersebut

senantiasa harus bersifat empiris. 32

Ditinjau dari latar belakang masalah yang telah dikemukaan di awal tulisan,

maka landasan teori utama (Grand Theory) yang digunakan dalam kajian ini adalah

Teori Keadilan. Untuk mendukung teori utama (Grand Theory) maka digunakan

Teori Hukum Progresif sebagai Middle Range Theory, sedangkan untuk Applied

Theory33

menggunakan Teori Relatif Dalam Hukum Pidana, Model Pendekatan

Keadilan atau Model Just Desert dan Asas Proporsionalitas. Berikut penjelasan dari

teori dan asas tersebut:

1. Teori Keadilan

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Gustav Radbruch:

menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai

keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian,

keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia

normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari

tiap hukum positif yang bermanfaat. Ia menjadi landasan moral hukum dan

sekaligus tolak ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah, hukum

positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi

unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan

tidak pantas sebagai hukum.34

32

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji

I), h. 123.

33

Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup

dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan

Antar Generasi), Alumni, Bandung, h. 24.

34

Bernard L. Tanya, Dkk., 2010, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, h. 129.

Page 33: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Menurut Gustav Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak

bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee, yakni keadilan.

Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles, tidak

dapat mengatakan lain kecuali: „yang sama diperlakukan sama, dan yang

tidak sama diperlakukan tidak sama‟. Untuk mengisi cita keadilan ini

dengan isi yang konkret, kita harus menengok pada segi finalitasnya. Jadi

bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas dan

kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada „kesamaan hak di depan

hukum‟. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan

kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum.

Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi

keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar

berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang

disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek

ketiga (kepastian merupakan kerangka operasional hukum.35

Sebelum perang dunia kedua, Gustav Radbruch telah berkali-kali

mengemukakan bahwa berkenaan dengan keberlakuan hukum positif harus

diberikan arti yang paling utama pada kepastian hukum. Namun, dibawah

pengaruh pengalaman-pengalaman dengan rezim Nazi, Radbruch telah

mengubah pandangannya. Wawasannya sekarang adalah bahwa pada

asasnya hukum positif tetap mempertahankan keberlakuannya juga jika

isinya tidak adil, „es sei denn, dass der Widerspruch des positiven Gesetzes

zur Gerechtigkeit ein so unertragliches mass erreich, dass das Gesetz

als’unrichtiges Recht’der Gerechtigkeit zu weichen hat‟ (seandainya

kontradiksi dari hukum positif terhadap keadilan mencapai ukuran yang

begitu tidak sesuai, sehingga hukum tersebut sebagai “hukum yang tidak

benar‟ harus menyingkir demi keadilan).36

2. Teori Hukum Progresif

Satjipto Rahardjo mengidentifikasi karakteristik hukum progresif sebagai

prinsip-prinsip dasar ideal, yaitu

(1) Paradigm „hukum adalah untuk manusia‟, manusia (penegak hukum)

sebagai sentral dalam berhukum, (2) menolak status quo dari hukum yang

legal-positivistik, (3) tidak menyerahkan sepenuhnya berhukum dalam teks

35

Ibid.

36

Bernard Arief Sidharta, Op.Cit., h. 90.

Page 34: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

formal undang-undang, tetapi membebaskan dari isolasi tersebut, (4)

memberikan perhatian pada perilaku manusia (penegak hukum), tidak

menyerah pada teks undang-undang saja, (5) membangun diri meningkatkan

kualitas manusia untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada

masyarakat.37

Hukum Progresif mempunyai relevansi dengan kebebasan hakim dalam

proses mengadili perkara pidana, karena prinsip-prinsip hukum progresif

memberikan spirit kreativitas dan inovasi konseptual kepada hakim dalam

mengadili. Artidjo Alkostar menggambarkan hakim progresif, tidak lepas dari

kompetensi keilmuan, kecakapan dan kualitas kepribadian sebagai penegak

hukum. Predikat sebagai hakim progresif membawa konsekuensi etis dalam

membuat putusan yang memuat kecerdasan moral, intelektual dan emosional.38

3. Teori Relatif Dalam Hukum Pidana

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut

dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai

sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeaneaes

berpendapat teori ini dapat disebut teori perlindungan masyarakat (the theory of

social defence).39

Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif

(the “reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut

37

Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta

(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), h. 61-69.

38

J. Pajar Widodo, Op.cit., h. 134.

39

Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 61.

Page 35: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

teori ini adalah mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekadar

untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang

bermanfaat. Oleh karena itu, teori ini disebut teori tujuan (utilitarian

theory). Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak

pada tujuannya pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena yang

membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan

melakukan kejahatan).40

Menurut Karl O. Christiansen, ada perbedaan pokok atau perbedaan

karakteristik antara teori retributif dan teori utilitarian, yaitu

1) Teori Retribution:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung

sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan

masyarakat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni

dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau

memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2) Teori Utilitarian:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si

pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi

syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan;

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat

mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun

pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat.41

40

Ibid. 41

Ibid., h. 62.

Page 36: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar

pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan

yaitu:

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de

maatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai

akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad

onstanemaatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de

misdadiger);

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).42

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan,

bahwa Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga

disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana

menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia

peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur”

(supaya orang jangan melakukan kejahatan).43

Tujuan pidana menurut teori relatif

adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.

Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah

42

Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan

Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 12.

43

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, h. 16.

Page 37: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban

umum.44

4. Teori Just Desert

Teori Just Desert atau Model Pendekatan Keadilan atau Model Just

Desert (ganjaran setimpal):

Di dasarkan atas dua teori (tujuan) pemidanaan, yaitu pencegahan

(prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi menganggap bahwa

pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka

mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Juga dianggap

bahwa sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal itu melakukan

tindakan-tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain

melakukan kejahatan.45

Sehubungan dengan model keadilan yang didasarkan pada tujuan

pencegahan dan retribusi itu, Gerry A. Ferguson mengatakan bahwa:

„Pencegahan bertujuan mencegah pengulangan pelanggaran dikemudian hari.

Sedangkan retribusi memusatkan pada kerugian yang ditimbulkan oleh

perbuatan kriminal pelanggar dan dimasudkan untuk memastikan si

pelanggar membayar tindak pidana yang dilakukannya‟. Ganjaran yang

setimpal (Just Desert) menjelaskan konsepsi bahwa alasan retribusi yang

mendasari bukan balas dendam, namun lebih tepatnya adalah beratnya sanksi

seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan si pelanggar. Dengan

demikian, sanksi „ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan

si pelanggar dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar.46

5. Asas Preferensi Hukum

44

Ibid. 45

Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 62 46

Ibid., h. 63.

Page 38: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Penyelesaian konflik hukum di selesaikan melalui asas preferensi, yaitu:

1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah;

2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan

melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang

khususlah yang harus didahulukan;

3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru

mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.47

6. Asas Proporsionalitas

Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan

hukum orang lain dilarang, kalau kepentingan hukum yang dilindungi tidak

seimbang dengan pelanggarannya. Jadi harus ada keseimbangan antara

kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang dilanggar. Sehubungan

dengan pembelaan terpaksa, ini berarti bahwa delik yang dilakukan untuk

pembelaan tidak boleh demikian beratnya sehingga tidak seimbang dengan

beratnya sekarang. Contoh dari literatur, seorang petani penderita rematik

yang sulit berdiri dari kursinya tidak boleh menembaki anak-anak yang

sedang mencuri buah apel di kebunnya, sekalipun dalam hal ini diperlukan

pembelaan, tetapi caranya tidak “diperintahkan (patut)”.48

Adapun Roeslan Saleh menjelaskan mengenai asas proporsionalitas dalam

hukum pidana yakni “jika sebagai dasar dari kejahatan itu yang dilihat adalah

kerugian yang ditimbulkan pada masyarakat atau orang tertentu, maka

proporsionalitas berarti: jumlah yang sebanding antara kerugian yang ditimbulkan

dan pidana yang dijatuhkan.49

47

Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty,

Yogyakarta, h. 37. 48

D. Schaffmeister, 1995, Hukum Pidana, Liberty (Edisi pertama), Yogyakarta, h. 60.

49

Roeslan Saleh, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta,

h. 41.

Page 39: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Lebih lanjut dilihat dari optik tujuan yang lebih tinggi, maka menurut teori

hukum pidana abad ke-18 proporsionalitas tidak hanya batas bagian atas dari

ukuran pidana, tetapi juga batas bagian bawah. Menurut penulis-penulis pada

waktu itu kedua batas itu tidak boleh dilewati. Barulah pidana akan berfungsi

sebagai sesuatu yang berguna. Memidana haruslah dilakukan dengan tepat secara

matematis.50

B. Kerangka Berpikir

Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih maupun dipilih

terhadap terdakwa atau terpidana kasus korupsi adalah selaras dengan tujuan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang sekarang sedang gencar-gencarnya

dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi di sisi lain Indonesia juga

telah meratifikasi Kovenan mengenai Hak Sipil dan Politik (International Convenant

on Civil and Political Rights) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005

Tentang Pengesahan ICCPR, sehingga terdapat kontradiksi baik antara aturan hukum

yang berlaku di Indonesia maupun penerapannya yang kiranya perlu dikaji secara

mendalam dan serius guna menjamin kepastian, keadilan serta kemanfaatan dari

hukum itu sendiri juga bagi masyarakat. Adapun skemanya dapat digambarkan secara

sederhana sebagai berikut:

50

Ibid.

Page 40: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Bagan: Kerangka Berpikir

Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih

Sebagai Pidana Tambahan Dalam Penanggulangan

Tindak Pidana Korupsi

Latar Belakang Masalah:

1. Konflik Norma antara UU No. 12 Tahun 2005 Tentang ICCPR jo.,

UU Hak Asasi Manusia dengan KUHP jo., UU No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK);

2. Putusan Ratu Atut Choisyah, Putusan M. Akil Mochtar tentang

Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih.

Page 41: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

1.8 Metode Penelitian

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode

yuridis Normatif yang sering juga disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu merupakan suatu penelitian yang mengacu pada analisis hukum, baik

Rumusan Masalah I:

Apakah Pencabutan Hak Memilih dan

Dipilih sudah sesuai dengan

perlindungan HAM yang berlaku di

Indonesia?

Rumusan Masalah II:

Apakah dasar pertimbangan Majelis

Hakim dalam menjatuhkan pidana

tambahan pencabutan hak memilih dan

dipilih?

Landasan Teoritis:

1. Teori Keadilan;

2. Teori Relatif dalam Hukum

Pidana;

3. Teori Hukum Progresif;

4. Asas Preferensi Hukum.

Landasan Teoritis:

1. Teori Relatif dalam Hukum

Pidana;

2. Model Pendekatan Keadilan/Just

Desert;

3. Teori Hukum Progresif;

4. Teori GONE;

5. Asas Proporsionalitas.

Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian: Hukum

Normatif;

2. Sifat Penelitian: Deskriptif;

3. Sumber data Primer dan data

sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Bahan

Hukum: Menggunakan sistem

pencatatan dan sistem kartu 5. Teknik Analisis Bahan Hukum:

Deskripsi, Konstruksi, Evaluasi,

argumentasi, interpretasi,

sistematisasi.

Sasaran yang Ingin di Capai:

1. Pencegahan sekaligus

pemberantasan tindak

pidana korupsi;

2. Penjeraan terhadap pelaku

korupsi;

3. Hukuman yang

proporsional bagi koruptor

dan mengakomodir rasa

keadilan masyarakat;

Page 42: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

dalam arti law as it is written in the book, maupun dalam arti law as it is decided by

judge through judicial process.51

Penelitian hukum normatif ini disebut juga

penelitian hukum perpustakaan. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen

penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang

ada di perpustakaan.52

Sejalan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji pun

menjelaskan bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum kepustakaan.53

Penelitian tersebut mencakup:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematik hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

d. Perbandingan hukum, dan

e. Sejarah hukum.54

Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menemukan dan

mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter

Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

51

Ronald Dworking, 1973, Legal Research, Daendalus, h. 250, dalam Yenti Garnasih, 2003,

Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta, h. 40.

52

Bambang Waluyo, 1991, Penelitan Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31.

53

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji II), h. 14.

54

Ibid.

Page 43: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

hukum yang dihadapi.55

Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson mengemukakan

bahwa “Legal research is an essential component of legal practice. It is the process

of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that

law”.56

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa dalam ilmu hukum terdapat dua

jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum

sosiologis atau empiris.57

Penelitian tesis ini adalah mengenai Tinjauan Yuridis Pencabutan Hak

Memilih dan Dipilih Sebagai Pidana Tambahan Dalam Penanggulangan Tindak

Pidana Korupsi, dalam hal ini terdapat disharmoni peraturan perundang-undangan

antara yang membolehkan dicabutnya hak memilih dan dipilih melalui putusan

pemidanaan dalam rangka penanggulangan korupsi yakni Undang-undang Nomor 1

Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo., Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999. Sedangkan yang melarang dicabutnya Hak memilih

dan dipilih yakni International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

berdasarkan ratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 jo., Undang-

undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

1.8.2 Jenis Pendekatan

55

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, h. 35.

56

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press,

Jakarta, h. 51.

Page 44: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Metode penelitian yang digunakan adalah normatif, sehingga dilakukan studi

kepustakaan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach). Pendekatan perundang-undangan melakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan sentral penelitian.58

Dalam penelitian

hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan dan

memecahkan masalah yang dihadapi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam

penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan

kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach)59

. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan

yang dilakukan untuk meneliti konsepsi, pengaturan, landasan hukum bagi

Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana tambahan terhadap

terdakwa pada kasus korupsi dihubungkan dengan upaya-upaya preventif

yang bersifat progresif terkait penggunaan hak memilih dan dipilih dengan

tetap berpegangan teguh pada nilai-nilai Pancasila dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.

58

Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,

Malang, h. 302.

59

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h. 93.

Page 45: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan melalui

konsep-konsep dan asas-asas yang berkaitan dengan konsepsi, pengaturan

dan kinerja bagi para hakim, mahasiswa, praktisi ataupun akademisi

hukum dalam bertindak secara aktif pada proses peradilan pidana dengan

memberikan masukan atas sistem pemidanaan ataupun berkaitan dengan

penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih

yang juga harus selaras dengan asas-asas hukum pidana, doktrin,

yurisprudensi beserta segala batasan serta pengakuan HAM yang diakui

oleh konstitusi Republik Indonesia.

c. Pendekatan sejarah (historical approach) yaitu dengan melakukan telaah

latar belakang pengaturan hukum, latar belakang timbulnya putusan

tentang pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih,

serta sanksi hukum yang telah pernah diberikan terhadap para terpidana

kasus korupsi yang telah dijatuhi hukuman pencabutan hak memilih dan

dipilih.

d. Pendekatan kasus (case approach)

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti

adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh

hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio

decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiel.

Page 46: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang

menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Adapun dalam

pendekatan kasus ini penulis mendapati adanya Majelis Hakim yang

menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan

dipilih terhadap terdakwa kasus korupsi misalnya saja putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat terhadap Akil Mochtar dan Ratu Atut Chosiyah yang

mencabut hak memilih dan dipilih mereka, juga terhadap putusan-putusan

dalam bidang hukum lain yang relevan diambil sebagai pembanding

dalam rangka pembandingan dan pendekatan kasus.

e. Pendekatan Perbandingan (Comparative approach)

Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi

perbandingan hukum. Menurut Gutteridge, perbandingan hukum

merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum. Gutteridge

membedakan antara perbandingan hukum yang bersifat deskriptif yang

tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi dan perbandingan

hukum terapan yang mempunyai sasaran tertentu, misalnya keinginan

untuk menciptakan keseragaman hukum.

Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan

hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu

waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di samping itu juga

membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan

Page 47: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat

bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu

untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih. Penyingkapan ini

dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-

undangan.60

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer dan sekunder,

mencakup:

a. Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat dan

terdiri dari UUD 1945, KUHP, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

ICCPR dan undang-undang terkait lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang terdiri dari karya

ilmiah yang berupa buku teks (text book), jurnal hukum, karya tulis dan

makalah hukum baik yang ditulis dari para sarjana di Indonesia maupun di

para sarjana di luar negeri, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa

asing yang dimuat di media cetak, media massa maupun media elektronik

yang menyangkut dan berhubungan dengan materi “aturan hukum

60

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., h. 172-173.

Page 48: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih

terhadap pejabat publik, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur

atau Pejabat Pemerintah lainnya yang melakukan tindak pidana korupsi”.

Selain itu rancangan undang-undang, pendapat para sarjana, kasus-kasus

hukum, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan hukum tertier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

kamus hukum, ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara

etimologi/arti kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah tertentu

terutama yang terkait dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni

terkait istilah-istilah yang berkorelasi dengan “hukuman tambahan,

pencabutan hak memilih dan dipilih dan penanggulangan tindak pidana

korupsi”, dan lain-lain.61

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan data pada tesis ini menggunakan studi dokumen yang dilakukan

atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teknik

pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara

mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan

pencatatan dengan menggunakan sistem kartu. Dalam sistem kartu ini dilakukan

61

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji II, Op.Cit., h. 13.

Page 49: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh

dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang

lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat

digunakan berbagai teknik analisis sebagai berikut:

- Deskripsi

- Konstruksi

- Evaluasi

- Argumentasi

- Interpretasi

- Sistimatisasi

Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya. Deskripsi berarti penggambaran/uraian apa adanya terhadap suatu

kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

Teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi

dan pembalikan proposisi (acontrario).

Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum

seperti penafsiran gramatikal, historis, sistimatis, teleologis, konteksktual, dan lain-

lain.

Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, syah atau tidak syah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,

Page 50: BAB I 1.1 LATAR BELAKANG · 2017. 4. 1. · kesewenang-wenangan belaka, tidak berdasarkan atas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia

proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan

primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus

didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan

permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman

penalaran hukum.

Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep

hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat

maupun antara yang tidak sederajat.62

62

Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis

Program Studi Magister (S 2) Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, h.

34-36.