MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember...

12
62 | ISSN: 2356-2447-XIII MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTREN Abdul Majid Wakil Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sains Al Qur’an, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yokyakarta Abstrak Perguruan Tinggi Nasional belum mampu secara optimal, membekali sarjananya dari sisi yang lain, yaitu jiwa dan mental yang beriman dan bertakwa, sehingga alumninya belum menjadi sarjana yang “utuh” sebagaimana yang diharapkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU. SPN Nomor. 20/2003, yakni “….manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.” Karena minimnya sarjana yang “utuh” itulah, maka alumni perguruan tinggi (khusus) nasional dan (umum) luar negeri yang sekarang menjadi pengelola pemerintahan dan negara, menurut Sumitro Djoyohadikusumo telah mencapai 30% dari mereka mudah melakukan penyelewengan, kolusi dan korupsi. Sehingga lebih 10 tahun dari era reformasi sekarang ini, tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, belum bisa terwujud. Sekarang ini, diperlukan adanya format Pendidikan Tinggi yang kokoh dari sisi ideologi atau moral dan kuat dalam mengembangkan sains untuk kemajuan peradaban Islam. Format kelembagaan perguruan tinggi itu adalah Perguruan Tinggi Pesantren. Ada beberapa alasan dalam memformulasi Perguruan Tinggi Pesantren, Pertama, jumlah peserta didik usia 13-24 tahun di pedesaan masih di bawah 30% (survey BPS tahun 2008). Jumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama belum cukup memadai. Kedua, keinginan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi semakin kuat. Namun kemampuan ekonominya untuk membayar sumbangan pembiayaan pendidikan sangat rendah. Sementara itu, pesantren dapat mengelola dana pembiayaan pendidikan yang sangat terbatas secara lebih efesien. Ketiga, dosen-dosen yang dibutuhkan dalam berbagai studi 5-10 tahun ke depan semakin mudah diperoleh, karena lulusan S.2 dan S.3 PTN/PTS dan PTAIN/STAIN/UIN semakin meningkat dan memerlukan pengembangan diri. Untuk kemanfaatan ilmunya pada masyarakat yang lebih memerlukan di pedesaan. Kata Kunci: Perguruan Tinggi, Pesantren A. Pendahuluan Menurut data dari situs resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, saat ini sudah ada 100 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia (berbentuk universitas, sekolah tinggi, akademi, politeknik) dan 3.078 Perguruan Tinggi Swasta yang tersebar dari Aceh Sampai Papua, dengan jumlah mahasiswa sekitar 5 jutaan orang. Sementara itu jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ada 52 perguruan tinggi yang berada dibawah pengelolaan Kementrian Agama, dan perguruan tinggi swasta agama Islam ada 272 perguruan tinggi. 1 1 Kompas, Statistika Perguruan Tinggi di Indonesia, http://edukasi.kompasiana.com/2014/03/04/statistika- perguruan-tinggi-di-indonesia-639224.html, di akses tanggal 10 November 2014

Transcript of MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember...

Page 1: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

62 | ISSN: 2356-2447-XIII

MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTREN

Abdul Majid

Wakil Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sains Al

Qur’an, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yokyakarta

Abstrak

Perguruan Tinggi Nasional belum mampu secara optimal, membekali sarjananya

dari sisi yang lain, yaitu jiwa dan mental yang beriman dan bertakwa, sehingga

alumninya belum menjadi sarjana yang “utuh” sebagaimana yang diharapkan dalam

rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU. SPN Nomor. 20/2003, yakni

“….manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggungjawab.” Karena minimnya sarjana yang “utuh” itulah,

maka alumni perguruan tinggi (khusus) nasional dan (umum) luar negeri yang

sekarang menjadi pengelola pemerintahan dan negara, menurut Sumitro

Djoyohadikusumo telah mencapai 30% dari mereka mudah melakukan

penyelewengan, kolusi dan korupsi. Sehingga lebih 10 tahun dari era reformasi

sekarang ini, tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat

Indonesia yang adil dan makmur, belum bisa terwujud.

Sekarang ini, diperlukan adanya format Pendidikan Tinggi yang kokoh dari sisi

ideologi atau moral dan kuat dalam mengembangkan sains untuk kemajuan

peradaban Islam. Format kelembagaan perguruan tinggi itu adalah Perguruan Tinggi

Pesantren. Ada beberapa alasan dalam memformulasi Perguruan Tinggi Pesantren,

Pertama, jumlah peserta didik usia 13-24 tahun di pedesaan masih di bawah 30%

(survey BPS tahun 2008). Jumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikembangkan

oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama belum cukup

memadai. Kedua, keinginan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pendidikan

sampai ke tingkat perguruan tinggi semakin kuat. Namun kemampuan ekonominya

untuk membayar sumbangan pembiayaan pendidikan sangat rendah. Sementara itu,

pesantren dapat mengelola dana pembiayaan pendidikan yang sangat terbatas secara

lebih efesien. Ketiga, dosen-dosen yang dibutuhkan dalam berbagai studi 5-10 tahun

ke depan semakin mudah diperoleh, karena lulusan S.2 dan S.3 PTN/PTS dan

PTAIN/STAIN/UIN semakin meningkat dan memerlukan pengembangan diri.

Untuk kemanfaatan ilmunya pada masyarakat yang lebih memerlukan di pedesaan.

Kata Kunci: Perguruan Tinggi, Pesantren

A. Pendahuluan

Menurut data dari situs resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, saat ini sudah ada 100 Perguruan Tinggi

Negeri di Indonesia (berbentuk universitas, sekolah tinggi, akademi, politeknik) dan 3.078

Perguruan Tinggi Swasta yang tersebar dari Aceh Sampai Papua, dengan jumlah

mahasiswa sekitar 5 jutaan orang. Sementara itu jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam

Negeri (PTAIN) ada 52 perguruan tinggi yang berada dibawah pengelolaan Kementrian

Agama, dan perguruan tinggi swasta agama Islam ada 272 perguruan tinggi.1

1 Kompas, Statistika Perguruan Tinggi di Indonesia, http://edukasi.kompasiana.com/2014/03/04/statistika-

perguruan-tinggi-di-indonesia-639224.html, di akses tanggal 10 November 2014

Page 2: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 63

Perguruan-perguruan tinggi tersebut di atas telah banyak memberikan andil, bagi

pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia. Karena secara nasional, kepemimpinan

dan pengelola negara atau pemerintahan mayoritas merupakan alumni perguruan tinggi

nasional -baik negeri atau swasta-. Hanya sekitar 10% dari mereka yang lulusan luar

negeri. Namun hanya kurang 10% lulusan luar negeri itu hampir semuanya terserap dan

menduduki posisi-posisi penting di setiap departemen, BUMN, dan lembaga

pemerintahan/negara.

Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu yang membanggakan, namun

dalam praktek kerja sosial, mereka memiliki ‘sesuatu yang kurang’ dari lulusan perguruan

tinggi tersebut. ‘Sesuatu yang kurang’ itu menurut Wajoetomo adalah sarjana atau

ilmuwan yang dilahirkan dari perguruan tinggi nasional baru mencerminkan keberhasilan

dari sisi ilmu pengetahuan.

Perguruan Tinggi Nasional belum mampu secara optimal, membekali sarjananya dari

sisi yang lain, yaitu jiwa dan mental yang beriman dan bertakwa, sehingga alumninya

belum menjadi sarjana yang “utuh” sebagaimana yang diharapkan dalam rumusan tujuan

pendidikan nasional dalam UU. SPN Nomor. 20/2003, yakni “….manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”2

Karena minimnya sarjana yang “utuh” itulah, maka alumni perguruan tinggi (khusus)

nasional dan (umum) luar negeri yang sekarang menjadi pengelola pemerintahan dan

negara, menurut Sumitro Djoyohadikusumo telah mencapai 30% dari mereka mudah

melakukan penyelewengan, kolusi dan korupsi.3 Sehingga lebih 10 tahun dari era

reformasi sekarang ini, tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat

Indonesia yang adil dan makmur, belum bisa terwujud.

Sistemik memang, namun jika dirunut ketimpangan lulusan itu, salah satunya

disebabkan sistem pendidikan nasional yang belum terintegratif. Pendidikan Tinggi Islam

dalam realitas, baru bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana di bidang “ilmu-ilmu

pengetahuan agama Islam”. Meskipun jumlahnya sangat banyak, tetapi dalam peta

perguruan di Indonesia kebanyakan menempati posisi pinggiran.4 Sementara pendidikan

tinggi secara nasional dalam peta perguruan tinggi di Asia apalagi di dunia tidak atau

belum mampu bersaing menempati prestasi yang menggembirakan.

Mungkin salah satu sebab karena masih ada dikotomi pendidikan antara perguruan

tinggi umum dan perguruan tinggi agama. Memang, sudah ada beberapa perguruan tinggi

yang memberikan kurikulumnya secara integratif dengan menambah pendidikan -agama

dan moral- secara khusus, misalnya Universitas Islam Malang, Universitas Wahid

Hasyim, UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, dan juga beberapa perguruan tinggi negeri

seperti pengembangan IAIN menjadi UIN. Semua itu, merupakan ikhtiar untuk

meluluskan sarjana yang “utuh” tadi, yakni menguasai saintek dan kokoh memegang

nilai-nilai agama dan moral.

2 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1997, hal. 13. 3 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi , hal. 13.

4 Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008), hal. 80

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 3: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

64 | ISSN: 2356-2447-XIII

Upaya pemerintah itu bahkan sudah lebih konkrit, dimana sejak tahun 1990

memberikan kebijakan dan strategi pembangunan pendidikan nasional bersama-sama,

antara lain menjadikan madrasah sebagai bagian dari pendidikan nasional, 6 IAIN telah

menjadi UIN dan 6 Universitas/Institut Negeri ‘Unggulan’ dibawah Kementerian

Pendidikan Nasional (UI, ITB, IPB, UGM, ITS, dan UNAIR) mendidik ribuan santri

pilihan, yang sekarang ini menyelesaikan studinya dalam bidang sains dan teknologi.5

Meskipun demikian, langkah-langkah pemerintah itu belum cukup optimal, karena

bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan yang sangat berat, yaitu memberikan

kesempatan pendidikan secepatnya kepada 60% generasi muda yang masih belum

memperoleh haknya dalam pendidikan menengah dan tinggi. 60% generasi muda itu, kata

Zamakhsyari Dhofier (usia antara 14 sampai 24 tahun) suatu jumlah yang sangat besar

(sekitar 25 juta) dan hampir semuanya mereka tinggal di pedesaan. Padahal fasilitas

pendidikan menengah dan tinggi di wilayah pedesaan baru tersedia 30%, dan lebih dari

setengah dari itu disediakan oleh pesantren.6 Karenanya, meskipun pesantren dan

perguruan tinggi adalah dua dimensi pendidikan yang berbeda, namun potensi dan

kekuatan dua jenis lembaga pendidikan ini dapat dipadukan untuk masa depan kemajuan

bangsa. Dimana pesantren dapat ditempatkan sebagai lembaga pendidikan tradisional dan

universitas sebagai representasi lembaga pendidikan tinggi “super” modern. Jaringan

keduanya akan terus menguat dan penguatan itu akan lebih cepat lagi, apabila

kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama memberikan bantuan

pengembangan perguruan tinggi di lingkungan pesantren.

Jika mungkin bahkan kedua kementerian tersebut secara simultan mendirikan

“perguruan tinggi pesantren”. Yakni perguruan tinggi yang maju saintek dengan dosen

yang memiliki standar kualifikasi, kompetensi dan professional, dilengkapi perpustakaan

dan sarana prasarana, laboratorium untuk penelitian dan praktek sesuai disiplin ilmu yang

dikembangkan. Sedangkan mahasiswa ditempatkan dalam asrama pesantren dibekali

nilai-nilai agama, moral, etika, budaya adiluhung bangsa dalam kesehariannya untuk

membentuk karakter building keIndonesiaan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.

B. Metode Penelitian

Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kolaborasi library

research and field research. Untuk penelitian kepustakaan digunakan pada waktu peneliti

merumuskan konsep-konsep tentang perguruan tinggi dan dinamikanya, serta

perkembangan pesantren dari yang salaf maupun khalaf. Sedangkan untuk penelitian

lapangan dalam rangka mengkaji model-model perguruan tinggi yang memiliki pesantren

atau boarding bagi para mahasiswanya. Bagaimana proses pendidikan berlangsung di

ruang kuliah, di laboratorium, melakukan penelitian ilmiah, dan pembentukan karakter

mahasiswa di dalam pesantren kampus.

Dalam analisis data peneliti akan mengembangkan metode penelitian dengan

pendekatan triangulasi secara mendalam ataupun pendekatan interkoneksitas dengan

5 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, (Yogyakarta:

Pesantren Nawesea Press, 2009), hal. 153.

6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 154.

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 4: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 65

memperhatikan aspek sosiologis, antropologis, historis, agama dan sains dari berbagai sisi

perguruan tinggi pesantren, seperti model pendekatan Geertz, Martin Van Buerneisen,

Karel Amstrong, Zamakhsyari Dhofier, HM. Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan dan

juga digunakan oleh para peneliti dalam studi agama, sosial, budaya dan sains.

C. Kerangka Penelitian

jika proses habituasi pendidikan terintegratif di pesantren dilakukan oleh sistem

manajemen PTP yang baik, maka kekuatan mindset sarjana PTP terwujud dan dengan

kata lain tujuan pendidikan nasional menjadi niscaya.

TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

SARJANA

SAINTEK

SEMI AHLI

AGAMA &

SARJANA

SAINTEK

SEKULE

R

PROSES

NORMATIF

PROSES

NORMATIF

PTP

PROSES HABITUASI

PENDIDIKAN

TERINTEGRATIF DI

PESANTREN

SARJANA

SAINTEK

PLUS

MORAL

SARJANA

ULAMA

TRANSFORMA

TIF, HUMANIS,

QUR’ANI

SARJANA

BERMORAL

PLUS

SAINTEK

T

A

N

T

A

N

G

A

N

T

A

N

T

A

N

G

A

N

G

L

O

B

A

L

I

S

A

S

I

G

L

O

B

A

L

I

S

A

S

I

MANAJEMEN PTP*

SARJANA BERIMAN BERTAQWA, BERAKHLAK MULIA,

SEHAT, BERILMU, CAKAP, KREATIF MANDIRI,

DEMOKRATIS DAN BERTANGGUNG JAWAB

PTA PT

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 5: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

66 | ISSN: 2356-2447-XIII

D. Kerangka Teori

1. Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang

mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang

diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem

terbuka.7 Selanjutnya perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah

tinggi, institut, dan universitas. Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan

pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dalam penyelenggaraan pendidikan

dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik

dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.8

Ada dua jenis pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu: perguruan tinggi di

bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional yang terbagi 2 yaitu : perguruan tinggi

negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), dan perguruan tinggi di bawah nauangan

Kementerian Agama yaitu: perguruan tinggi agama negeri (STAIN/IAIN/UIN) dan

perguruan tinggi agama swasta -baik Islam atau non-Islam-. Antara lain Sekolah Tinggi

Ilmu Tarbiyah, Sekolah Tinggi Teologi, Institut Agama Islam Sunan Giri, Institut Ilmu

Al-Qur’an dan lain-lain.

Sebagai perbandingan, di Australia, Jerman, Perancis, dan sejumlah negeri di Timur

Tengah, tidak dikenal istilah perguruan tinggi negeri (PTN). Di negara-negara tersebut,

semua perguruan tinggi sepenuhnya dibiayai oleh pemerintahnya masing-masing.

Besarnya dana yang di terima oleh masing-masing PT didasarkan pada perhitungan

proporsional dari banyaknya jumlah mahasiswa. Pengelolanya bukan pemerintah

melainkan professional board yang menetapkan seluruh kebijakan PT, termasuk

pengangkatan pimpinan universitas, fakultas, kepala jurusan, dan jabatan-jabatan lain. Di

USA sejak berdiri sampai berkembang menjadi negara super power mulai abad ke-20,

hampir seluruh universitas adalah swasta. Pemerintah USA baru mendirikan PTN setelah

terus menginginkan menjadi negara super power untuk memacu percepatan kemajuan

sains dan teknologi, dengan menyediakan dana pengembangan sebesar-besarnya dalam

pembangunan laboratorium sains dan teknologi.9

Demikian, di negara Islam seperti Mesir. Pembaharuan pendidikan di Mesir tidaklah

terjadi dalam kevakuman kebudayaan dan peradaban masyarakatnya. Bermula dari

pembaharuan Muhammad Ali Pasha ketika menjadi Gubernur Mesir (1220 H/1805 M10

Dimana, Mesir ketika itu mempunyai system pendidikan tradisional yang berpusat pada

Kuttab, masjid, madrasah dan Universitas Al-Azhar. Ali Pasha melihat bahwa pendidikan

sangat perlu bagi kemajuan suatu negara. Tetapi bukan pendidikan yang bercorak

tradisional. Sebaliknya hanya sekolah-sekolah modern seperti Baratlah yang dapat

7 Lihat, Pasal 19 UU. SPN Nomor 20 Tahun 2003 8 Undang-Undang RI, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

(Bandung : Citra Umbara, 2010), hal. 69-71.

9 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 153. 10 Trevon Mostyn (ed), at al., Cambridge Encyclopedia of the Moddle East and North Africa,

(Sydney:Cambridge University Press, 1998), hal. 78.

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 6: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 67

mengeluarkan tenaga-tenaga ahli dalam berbagai bidang pekerjaan11Karena itu, dia

memperbaharui kurikulum pendidikan di Mesir untuk memajukan pendidikan yang ada.

Baik pendidikan tingkat rendah, tingkat menengah maupun tingkat tinggi. Kurikulum

tingkat tinggi diadakan tambahan isi kurikulum dengan matematika, dan sains lain sesuai

jurusan masing-masing. Termasuk mata pelajaran bahasa global ketika itu, Arab, Inggris,

Perancis, Italia, serta materi agama dijadikan sebagai salah satu materi kurikulum.12

Sementara itu, institusi perguruan tinggi di Indonesia bertujuan membantu

pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkemampuan, berkarakter

sekaligus berkepribadian. Lebih-lebih perguruan tinggi yang mengembangkan pendidikan

keIslaman, akan terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pengamalan nilai-

nilai dan moralitas keislaman yang terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Berikutnya, sebagai subsistem pendidikan nasional, perguruan tinggi Islam

memberikan isi kurikulumnya dengan tambahan-tambahan ilmu keislaman (teologi dan

moral). Perguruan tinggi Islam tersebut berupaya mentransformasikan nilai-nilai Islam

yang ada dalam Al-Qur’an sebagai inspirasi kehidupan melalui pembacaan, pemaknaan,

pemahaman dan pengamalan isi yang terkandung di dalamnya.

Dan sebagai sub-sistem pendidikan komtemporer, Perguruan Tinggi Islam harus

dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan kehidupan kekinian dan yang akan datang.

Lebih-lebih dalam suasana menguatnya hukum global dengan tabiat adanya perubahan

serba cepat yang mensyaratkan mutu, kualitas, kecepatan dan kreatifitas. Lebih-lebih

dalam proses reformasi dan penguatan pendidikan tinggi dengan paradigma dan wacana

yang telah ditawarkan, nampaknya belum dapat memberikan solusi terhadap berbagai

persoalan yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana kita saksikan bahwa lembaga

pendidikan tinggi (akademi/institut/universitas) sebagian besar masih berkutat pada

masalah SDM, pembiayaan, sarana-prasarana, sebagai alasan klasik untuk pembenaran

atas kurangnya kualitas lulusan dari hasil proses pendidikan yang dilakukan perguruan

tinggi. Konsekuensi dari persoalan ini perguruan tinggi tidak punya waktu dan konsentrasi

yang cukup untuk melakukan perubahan kearah manajemen yang lebih profesional,

mandiri, transparan dan akuntabel. Apalagi dalam upaya yang serius untuk menelaah

kurikulumnya, meningkatkan sumberdaya manusia, guna mewujudkan para alumni yang

berkualitas dari sisi penguasaan saintek, dengan kekokohan agama moral.

Bahkan banyak PTN/PTAIN dan PTS/PTAIS dalam proses pengelolaan dan

pengembangannya telah terjebak pada masalah politik dan bisnis. Ini tidak berarti bahwa

perguruan tinggi tidak boleh mengikuti dinamikan politik dan bisnis, tetapi

keterlibatannya kalau bisa bukan dalam kerangka politik dan bisnis yang pragmatis,

melainkan dalam kerangka politik kebangsaan dan kenegaraan serta penguatan moral,

intelektual dan profesional. Sehingga dengan kerangka ini akan menaikkan bergaining

serta daya saing pendidikan tinggi baik secara institusional, maupun personal terutama

para alumninya.

11 Abdul Mukti, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir; studi tentang Sekolah-Sekolah Modern

Muhammad Ali Pasha, (Bandung : Cita Pustaka Media Perintis, 2008), hal. 76.

12 C.E Bosworth, The Encyclopedia of Islam, Volume I, V, E, J. Brill, 1986, hal. 908.

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 7: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

68 | ISSN: 2356-2447-XIII

6. Pesantren

Menurut bahasa, pesantren diartikan sebagai sebuah kehidupan yang unik,

sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah

kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam

kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh (di daerah

berbahasa Jawa disebut Kyai, di daerah berbahasa Sunda disebut ajengan, dan di daerah

berbahasa Madura disebut nun atau bendara, disingkat ra); sebuah surau atau masjid,

tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga terlebih sering

mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri,

pengambilalihan dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian).13

Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan

Islam di Indonesia, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek penelitian para

sarjana yang mempelajari Islam di wilayah ini, yaitu sejak Brumund menulis sebuah buku

tentang system pendidikan di Jawa pada tahun 1857.14 Lembaga-lembaga pesantren itulah,

yang paling menentukan watak keislaman kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang

peranan terpenting bagi penyebaran Islam, sampai ke pelosok pedesaan. Dari pesantren ini

pula, asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara.

Hal ini sebagaimana dikatakan beberapa peneliti orientalis, semisal Van Den Berg,

Hurgronje, Geertz. Mereka betul-betul menyadari bahwa pengaruh pesantren sangat kuat

dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan

orang-orang pedesaan di Indonesia. Meskipun mereka baru mengerti sebagian kecil saja

dari ciri-ciri pesantren dan menyentuh aspek kesederhanaan bangunan-bangunan dalam

lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri kepada kyainya dan dalam

beberapa hal, pelajaran dasar mengenai kitab-kitab klasik. Seperti halnya, pesantren

menurut Raden Ahmad Djajadiningrat (1901-1917) lebih banyak menjelaskan tentang

susahnya kehidupan pesantren. Ia sama sekali tidak mengungkapkan sisi positif kehidupan

pesantren. Karena ia hanya tinggal sebentar di pesantren. Itupun pada saat usianya masih

sangat muda dan belum memahami kekuatan tradisi pesantren. Sebagai catatan pula

tentang pesantren menurut karya-karya Prof. Sartono Kartodirdjo yang dikatakannya lebih

menekankan pada aspek-aspek politik kehidupan pesantren. Karena perhatiannya

menyangkut tentang peranan politik pesantren dalam gerakan protes di pedesaan di

Indonesia pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.15

Sebagian pandangan di atas seolah-olah bisa dibenarkan, karena pesantren

sebagaimana kita tahu adalah pranata (pendidikan) tradisional. Sebagaimana pranata

sosial lainnya, pesantren juga sempat dicurigai sebagai sarang kejumudan, konservatisme.

Ia menjadi penghalang besar bagi usaha-usaha pembangunan yang sering mengatasnama-

kan modernisasi. Celakanya, pandangan yang mempertentangkan pembangunan dengan

kebudayaan sebagai kubu pelindung konservatisme diabsahkan kebenarannya oleh para

13 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta : LKiS, 2001). hal. 3.

14 J.F.B. Brumund, “Het Volksondderwijs order de Javanen”, di kutip Zamakhsyari Dhofier, Tradisi

Pesantren -Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta : LP3ES, 2011), hal. 38.

15 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 39.

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 8: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 69

ilmuwan sosial-budaya. Dimana watak ideologis pembangunan dan ilmu-ilmu sosial-

budaya yang melingkupinya memang bersifat ethnosentris, diskriminatif dan memiliki

jangkauan terbatas.16

Namun demikian, terdapat beberapa ilmuwan yang mencoba mengambil prakarsa

untuk menemukan hubungan kreatif antara kebudayaan dan pembangunan. Dengan

menggunakan asas-asas antropologis sebagai peralatan metodologisnya, mereka

berpendapat bahwa kebudayaan tradisional (pesantren) dapat, dan harus, digunakan

sebagai media/ alat bagi pembangunan bangsa. Lebih-lebih meningkatkan Sumber Daya

Manusia (SDM) Indonesia dengan membelajarkan 60% penduduk usia 14-25 tahun (25

juta) yang ada dan tinggal di pedesaan di sekitar pesantren.

Perkembangan pesantren sebagaimana yang dilakukan oleh para Kyai-nya adalah

mengayunkan langkahnya melaju ke Indonesia masa depan lebih cepat. Mereka

melakukan perubahan dan menambah ilmu pengetahuan modern di lembaga-lembaga

pesantrennya sejak tahun 1998. Jumlah lembaga pesantren juga ditambah berlipat ganda,

dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008. Penambahan berikutnya

mencapai rata-rata 2.000 buah setiap tahunnya.17 Kyai-kyai pimpinan pesantren

menyadari bahwa saatnya telah tiba, pesantren memadu modernitas pendidikan ke dalam

pesantren untuk membangun Peradaban Indonesia Modern.

E. Pembahasan

Perguruan Tinggi Pesantren

Menurut Rahman adalah sangat strategis untuk menguarai benang kusut krisis

pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban umat

Islam itu melalui pendidikan (tinggi) Islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai

alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Hal ini untuk

tercapainya tujuan pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang diorientasikan pada lahirnya

sarjana (cendikiawan muslim) dengan memiliki tiga kemampuan menganalisis,

melakukan inovasi, dan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan dan

bidang keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya.18 Kemudian untuk upaya yang lebih

baik pada abad 21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan yang

berkembang, antara lain adalah:

1. Persaingan tenaga kerja global sebagai konsekuensi logis diberlakukannya

perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai

tahun 2010).

2. Mampu menyiapkan out put pendidikan yang berkompeten, tidak hanya dalam hal

penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan; melainkan juga

penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi inter dan

intrapersonal, kepemimpinan dan analisis persoalan serta dapat berkerja dalam

berbagai lintas budaya, peradaban dan adat istiadat.

16 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal. ix.

17 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 267. 18 H.A.R Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21,

(Magelang:Tera Indonesia, 1998), hal. 207.

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 9: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

70 | ISSN: 2356-2447-XIII

3. Dapat menyelenggarakan program pendidikan yang lebih humanis untuk

memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat agar dapat memperoleh

manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, kesiapan

untuk menyelesaikan masalah dan pemenuhan tuntutan kebutuhan, namun dengan

biaya yang relatif terjangkau.

4. Penyempurnaan kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi yang

dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi

stakeholders.

5. Mampu mengakomodasi berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik

dengan adil dan proporsional, pemenuhan kebutuhan belajar sepanjang hayat,

internasionalisasi pendidikan tinggi dalam arti reconvergent phase of education.19

Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia, meskipun jumlahnya relatif banyak (lebih

dari 453 PT),20 tetapi dalam peta perguruan tinggi di Indonesia yang terbaik dan terbesar

masih didominasi oleh 6 PTN (UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, ITS). Meskipun 6 PTN

inipun baru UI yang masuk 50 besar perguruan tinggi Asia. Lebih-lebih dalam kompetesi

perguruan tinggi global, PTI hampir-hampir tidak muncul. Termasuk PTI yang ada di

Mesir, Turki dan Timur Tengah. 100 besar perguruan tinggi di dunia masih dominasi

Barat (non Islam).

Permasalahan PTI yang utama adalah orientasinya yang terpengaruh dengan transfer

of knowledge, sebatas yang terkait erat dengan masalah kerja dan perolehan gelar

akademik, bukan untuk mengembangkan kemampuan manusia secara kaffah.21 Hal ini

dikarenakan problem mendasar yang paling esensial menurut Zamroni antara lain adalah

problem ideology.22 Lebih-lebih PTI sampai abad ke-20 masih terpengaruh dengan adanya

dikotomi ilmu antara ilmu-ilmu agama (tradisional) dan ilmu-ilmu umum (modern).

Dimana Perguruan Tinggi Islam, termasuk -Universitas Al-Azhar di Mesir- sejak berdiri

abad ke-10 sampai pertengahan abad ke-20 M terbatas mengembangkan ilmu-ilmu

keagamaan saja. Ilmu-ilmu yang dikembangkan selama lebih dari 9 abad itu terbatas pada

ilmu-ilmu Ushulluddin, Adab, Dakwah, Syari’ah, dan Tarbiyah. Belum dikembangkan

ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu social (social sciences), dan humaniora

(humanity), sebagaimana yang dikembangkan pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di

Eropa, Amerika, dan di negara maju lain.23

Dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum ini, juga mempengaruhi

perkembangan pendidikan (Islam) di Indonesia sampai pertengahan abad ke-20. Sehingga

pendidikan Islam itu adalah pesantren, madrasah, dan PTI (PTAIN/STAIN/UIN), yang

mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan sekolah dan perguruan tinggi (umum)

19 TIM Perumus, Buku Panduan Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo, (Wonosobo,

UNSIQ Press), hal. 9.

20 Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam –membentuk Insan Kamil yang Sukses

dan Berkualitas, (Yogyakarta : Fadilatama, 2011), hal. 41. 21 Djohar, Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam Kemandegan Pendidikan di Indonesia,

Makalah Seminar Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, LP3 dan FAI UMY, tanggal 25 Februari 2002.

22 Zamroni, Sosok Ideal PendidikanTinggi Islam dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial , Peny. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ, (Yogyakarta : Aditya Media, 1997), hal. 28.

23 Sutrisno Hadi, Pembaharuan, hal. 91.

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 10: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 71

mengembangkan ilmu-ilmu alam, social, dan humaniora. Karena itulah, maka intelektual

dan cendikiawan muslim di sepertiga akhir abad ke-20 berikhtiar membongkar kejumudan

tersebut. Karena paradigma ilmu pada Perguruan Tinggi Islam adalah:

1. Ilmu itu secara keseluruhan telah terkandung dalam ajaran Islam. Perkembangan

suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam.

2. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu dan agama. Keduanya tidak dapat

dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap posisi dan perannya. Kebenaran

ilmu bersifat empiric dan relative.

3. Ilmu itu merupakan hasil upaya dari manusia. Sejak awal inisiasi, pengembangan

dan pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Sang Maha

Pencipta.24

Sesuai dengan paradigma di atas, maka diperlukan adanya format kelembagaan yang

kokoh dari sisi ideologi atau moral dan kuat dalam mengembangkan sains untuk kemajuan

peradaban Islam. Format kelembagaan perguruan tinggi itu adalah “Perguruan Tinggi

Pesantren”. Ada beberapa alasan dalam memformulasi perguruan tinggi pesantren itu :

1. Jumlah peserta didik usia 13-24 tahun dipedesaan masih di bawah 30% (survey

BPS tahun 2008). Jumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikembangkan oleh

Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama belum memadai.

2. Keinginan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pendidikan sampai ke

tingkat perguruan tinggi semakin kuat. Namun kemampuan ekonominya untuk

membayar sumbangan pembiayaan pendidikan sangat rendah. Sementara itu,

pesantren dapat mengelola dana pembiayaan pendidikan yang sangat terbatas

secara lebih efesien.

3. Dosen-dosen yang dibutuhkan di berbagai studi 5-10 tahun ke depan semakin

mudah diperoleh, karena lulusan S.2 dan S.3 PTN/PTS dan PTAIN/STAIN/UIN

semakin meningkat dan memerlukan pengembangan diri. Untuk kemanfaatan

ilmunya pada masyarakat yang lebih memerlukan di pedesaan.

Beberapa alasan di atas diperkuat dengan akar budaya dan tradisi pesantren yang

dapat membentuk pribadi berkarakter disiplin, kerja keras, sikap saling percaya, ikhlas,

jujur, dan bertanggung jawab. Dimana pribadi berkarakter itu, telah berabad-abad dimiliki

dan diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia, dan sekarang ini sudah sulit ditemukan.

F. Kesimpulan

Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus mampu melakukan pembaharuan untuk

mengem-bangkan manusia “muslim” secara kaffah. PTI seharusnya mengembangkan tiga

ranah yang dimiliki manusia yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik (pengetahuan, sikap

dan perilaku) atau mengembangkan potensi indera, akal dan hati manusia secara

maksimal. Lebih-lebih dalam globalisasi abad ke-21 yang menuntut adanya manusia-

manusia yang berkualitas, baik fisik, intelektual, maupun moralnya.

Mengembangkan manusia yang memiliki seluruh aspek kehidupan secara integral,

selaras, serasi, dan seimbang, PTI (Perguruan Tinggi Islam) di Indonesia secara sadar

24 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos-Wacana Ilmu, 1999), hal. 209.

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 11: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……

72 | ISSN: 2356-2447-XIII

harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma yang mendasarinya. Bangunan ilmu

pengetahuan yang masih dikotomik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern harus

diubah menjadi pandangan baru yang lebih holistik, integral, dan kontemporer.

Mengingat perguruan tinggi yang ada di Indonesia, termasuk PTI belum dapat

menunjukkan bukti adanya kemajuan dari sarjana-sarjana yang dihasilkan, yakni; dengan

penguasaan terhadap saintek dan memiliki kekuatan moral yang kokoh, dan untuk

menjawab itu diperlukan terwujudnya “perguruan tinggi pesantren”. Yakni perguruan

tinggi yang maju saintek dengan dosen yang memiliki standar kualifikasi, kompetensi dan

professional, dilengkapi perpustakaan dan sarana prasarana, dilengkapi laboratorium

untuk penelitian dan praktek sesuai disiplin ilmu yang dikembangkan. Sedangkan

mahasiswa ditempatkan dalam asrama pesantren dibekali nilai-nilai agama, moral, etika,

budaya adiluhung bangsa dalam kesehariannya untuk membentuk karakter building

keIndonesiaan kepada mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.

Dartar Pustaka

Abdul Mukti, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir -studi tentang Sekolah-

Sekolah Modern Muhammad Ali Pasha, Bandung : Cita Pustaka Media Perintis,

2008.

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi -Esai-esai Pesantren, Yogyakarta : LKiS,

2001.

C.E Bosworth, The Encyclopedia of Islam, Volume I, V, E, J. Brill, 1986.

H.A.R Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad

21, Magelang : Tera Indonesia, 1998.

Djohar, Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam Kemandegan Pendidikan

di Indonesia, dalam Seminar Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, Makalah LP3

dan FAI UMY, tanggal 25 Februari 2002.

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Logos-Wacana Ilmu, 1999.

Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, Yogyakarta : Kota Kembang, 2008.

Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam, membentuk Insan Kamil

yang Sukses dan Berkualitas, Yogyakarta : Fadilatama, 2011.

TIM Perumus, Buku Panduan Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo,

Wonosobo, UNSIQ Press

Trevon Mostyn (ex.ed), at al., Cambridge Encyclopedia of the Moddle East and North

Africa, (Cambridge, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney : Cambridge

University Press, 1998

Undang-Undang RI, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Bandung : Citra Umbara, 2010

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren -Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta :

Gema Insani Press, 1997

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren

Page 12: MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTRENabcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/4.pdf · dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan

Nama Penulis tiap Artikel

Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 73

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa,

Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2009

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan visinya

mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2011

Zamroni, Sosok Ideal PendidikanTinggi Islam -dalam Pendidikan Islam dalam

Peradaban Industrial , Penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ, Yogyakarta:

Aditya Media, 1997

Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren