mengenal birokrasi - · PDF filepelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. ......
Transcript of mengenal birokrasi - · PDF filepelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. ......
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
1
MENGENAL BIROKRASI
Oleh: Abdul Hakim Dosen FIA Universitas Brawijaya 1.1 Persepsi tentang Birokrasi
Pada awalnya, birokrasi dibangun dengan maksud sebagai
sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan
pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi
adalah suatu tipe organisasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan
tugas-tugas admisnitratif yang sangat banyak dengan cara
mengkoordinasikan secara sistematis pekerjaan dari banyak orang.
Melalui birokrasi diharapkan berbagai keputusan pemerintah dapat
dilaksanakan dengan efektif dan efisien melalui aparatur pemerintah.
Karena keputusan politik hanya akan bermanfaat bagi warga negara
jika pemerintah mempunyai birokrasi yang responsif, bekerja
sistematis dan efisien.
Sebagai suatu sistem manajemen dan supervisi, birokrasi
dirancang untuk melakukan koordinasi terhadap tugas dan tanggung
jawab secara rasional bagi para pejabat dan pegawai dalam
organisasi. Birokrasi merepresentasikan diri sebagai instrumen
dimana tindakan dan kepentingan individu yang bersifat pribadi, unik
dan istimewa; disusun dan dibatasi secara formal untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan secara efisien. Penyusunan tindakan
individu ini dicapai dengan menggunakan peraturan dan program-
program tindakan yang formal, yang ditujukan untuk memberikan
garis pembatas yang jelas antara hal-hal yang bersifat pribadi dengan
tugas dan tanggung jawab yang dimandatkan oleh organisasi. Melalui
cara yang demikian ini, sistem administrasi birokratis berkehendak
untuk memastikan bahwa tindakan dan kegiatan individu memberikan
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
2
kontribusi pada kepentingan organisasi tempat mereka bekerja, dan
bukan pada kepentingan pribadi individu yang bersangkutan.
Pembatasan hubungan-hubungan yang bersifat pribadi dalam
organisasi birokratis di samping dimaksudkan untuk menghilangkan
sumber dari kegiatan irasional, juga dimaksudkan untuk menghindari
organisasi dari kekacauan (tidak terkoordinir dan tidak efisien)
sebagai akibat tindakan individu yang mengambil keputusan sendiri-
sendiri. Oleh karena itu diperlukan serangkaian undang-undang,
peraturan dan hierarki untuk melakukan pengawasan dan pembinaan.
Birokrasi juga bermanfaat sebagai agen pembaharu. Hal ini
dapat terlaksana jika tujuan organisasi diarahkan pada strategi
pembaharuan dan pembangunan. Untuk dapat mengimplemen-
tasikan cita-cita pembangunan sosial dan ekonomi, pemerintah harus
memiliki pranata yang mudah menerima inovasi baru yang
bermanfaat bagi pembangunan, dan pranata tersebut adalah
birokrasi. Mengutip tulisan Bert Hoselitz, yang berjudul “Level of
Economic Performance and Bureaucratic Structures”, yang dimuat
dalam buku Joseph La Palombara (ed.) yang berjudul Bureaucracy
and Political Development (New Jersey: Princeton University Press,
1963, hal. 171), Kumorotomo menulis sebagai berikut: “The
bureaucratic apparatus is one of the institutions through which goal-
gratification activity is performed; it is a central focus arround which
clusters a whole series of social actions designed to meet systemic
goals”.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa organisasi birokratis
dirancang untuk memberikan banyak manfaat bagi warga negara
secara keseluruhan. Birokrasi menjadi alat penunjang utama dalam
sistem administrasi modern, melalui penerapan manajemen yang
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
3
berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Birokrasi, minimal sampai
dengan saat ini, tidaklah mungkin digantikan oleh organisasi apa pun
dalam bentuk lain, karena akan menjadi langkah mundur dan pasti
merugikan bangsa dan negara.
Uraian di atas menunjukkan betapa besar manfaat yang dapat
diperoleh dengan kehadiran birokrasi. Namun demikian, setiap
mendengar kata birokrasi, persepsi yang muncul bukanlah tentang
manfaatnya yang positif bagi kemajuan bangsa dan untuk memenuhi
kebutuhan warga negara, tetapi persepsi negatif yang menyesatkan.
Orang lebih banyak mengartikan birokrasi sebagai penyakit birokrasi
(”biro-patologi”) daripada organisasi rasional yang bermanfaat
(”rasionalitas biro”). Hampir semua lapisan sosial mengenal sebutan
birokrasi, karena sejak lahir sampai meninggal orang pasti
berhubungan dengan birokrasi. Dalam konteks hubungan antara
negara dengan warga negara, organisasi birokrasi dimaksudkan
untuk memberikan pelayanan yang baik sehubungan dengan adanya
berbagai pengaturan dalam kehidupan bermasyarakat dimana
individu itu hidup. Misalnya, untuk mengetahui keabsahan bahwa
seseorang adalah penduduk suatu kota, maka dia diharuskan
mencatatkan diri sebagai penduduk. Untuk maksud ini birokrasi
memberikan pelayanan pencatatan melalui mekanisme pengurusan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Dalam
proses ini lah muncul berbagai persepsi negatif tentang birokrasi. Hal
yang muncul dalam benak orang ketika mendengar kata birokrasi
adalah urusan-urusan yang menjengkelkan dan membuatnya stres,
yang berhubungan dengan pengisian formulir-formulir, pengurusan
izin untuk bekerja atau berusaha yang berbelit-belit karena harus
melalui banyak meja atau kantor secara berantai, aturan-aturan yang
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
4
ketat yang tidak boleh dilanggar, waktu yang lama, dan sebagainya.
Pendek kata, pelayanan birokrasi sangat buruk. Mengutip Turner dan
Hulme, Said (2007) menggambarkan organisasi birokratis itu sebagai
organisasi yang lamban, membosankan, rutin, rumit prosedurnya,
dan buruk adaptasinya terhadap kebutuhan yang harus mereka
penuhi, dan juga mengingatkan kita akan rasa frustrasi yang terus
menerus dirasakan oleh para anggotanya.
Bureaucracy evokes the slowness, the ponderousness, the routine,
the complication of procedures, and the maladapted responses of ’bureaucratic’ organizations to the needs which the should satisfy, and the frustations which their members, clients, or subjects consequently endure.
Bagi mereka yang tidak tahan dengan situasi ini, kemudian
mencari jalan pintas. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari
membangun hubungan personal yang akrab, sampai pada pemberian
suap1. Melalui cara seperti ini pelayanan dapat berlangsung relatif
cepat, karena aparatur menjadi ”lebih responsif” dalam melayani, dan
pengguna jasa memperoleh perlakuan khusus, misalnya tidak perlu
antri, tidak perlu mengurus sendiri ke meja berikutnya, dan
sebagainya. Hubungan antara aparatur birokrasi dan masyarakat
pengguna jasa layanan berubah bentuk dari impersonal menjadi
personal, saling membutuhkan dan tergantung satu sama lain
(simbiosis). Aparatur membutuhkan uang balas jasa dari masyarakat
pengguna jasa, sedangkan pengguna jasa membutuhkan pelayanan
yang cepat dari aparatur. Dalam konteks birokrasi Indonesia,
hubungan seperti ini berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh
1 Dikenal dengan banyak sebutan lain, antara lain: sogokan, uang pelicin,
biaya administrasi, uang pelayanan, uang jasa, salam tempel, komisi.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
5
tahun, sehingga menjadi internalized (mendarah daging) dan menjadi
kebiasaan dalam pelayanan birokrasi di Indonesia. Untuk
memperoleh pelayanan apapun seseorang harus memberikan uang
suap. Jika seseorang ingin menghadap pejabat tertentu dia harus
memberi ”salam tempel” pada SATPAM yang menjaga di pintu
masuk; jika ingin menang tender seseorang harus memberikan
komisi pada panitia tender; jika ingin izin usaha cepat keluar maka
harus memberikan uang administrasi kepada pejabat yang
membantu mengurus; dan sebagainya. Pendek kata, ”ada uang ada
pelayanan”, dan semua ini merupakan hal yang biasa, dianggap
wajar dalam mekanisme organisasi birokrasi. Hubungan yang kolutif
dan koruptif ini, karena telah menjadi kebiasaan dalam pelayanan
birokrasi, maka orang kemudian menyebutnya dengan
istilah ”membudaya”, suatu istilah yang menunjuk pada sikap dan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan, dilakukan berulang-ulang
sehingga sifatnya sebagai perilaku koruptif dan kolutif tidak lagi
nampak. Menurut Kwik Kian Gie, pelayanan apapun oleh birokrasi
selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi.
Jika pengguna jasa layanan tidak mau membayar maka dia akan
menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-dibuat. Korupsi
dianggap sebagai praktek yang sudah mendarah daging, sehingga
kalau tidak ada korupsi kita malah merasa heran.Kwik Kian Gie
menyebutnya sebagai corrupted mind, artinya seorang koruptor tidak
lagi mengetahui apakah tindakannya tergolong korupsi atau tidak2
Inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat penting, bagi
2 Kwik Kian Gie, “Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi”, Jawa Pos,
10 Maret 2008. Hal.1.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
6
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia setelah UU No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan.
Persepsi tentang birokrasi pemerintah, oleh Thoha (2007:2)
dilukiskan sebagai kerajaan pejabat (officialdom). Suatu kerajaan
yang raja-rajanya adalah para pejabat. Negaranya adalah organisasi
birokrasi yang berdaulat atas semua jenis pelayanan apa pun.
Rakyatnya adalah para pengguna jasa layanan. Di dalam kerajaan
birokrasi ini terdapat tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai
yurisdikasi yang jelas dan pasti dalam batas wilayah ofisial yang
yurisdiktif. Di dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas
dan tanggung jawab resmi (official duties) yang menjelaskan batas-
batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola
hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaan-
nya. Mereka memperoleh gaji berdasarkan keahlian dan kompetensi-
nya. Selain itu, di dalam kerajaan pejabat tersebut, proses
komunikasi didasarkan pada dokumen tertulis (the files).
Selanjutnya Thoha, menyatakan bahwa pejabat adalah orang
yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah.
Kekuasaan pejabat ini amat menentukan, karena segala urusan yang
berhubungan dengan jabatan tersebut maka orang yang menduduki
jabatan itulah yang menentukan segalanya. Jabatan-jabatan tersebut
disusun dalam tatanan hierarki dari atas ke bawah. Jabatan yang
berada pada hierarki paling atas mempunyai kekuasaan paling besar
daripada jabatan yang berada di bawahnya. Semua jabatan tersebut
dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang mencerminkan kekuasaan
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari simbol-simbol yang digunakan,
mulai dari mobil yang dipakai, rumah dinas, para pengawal atau
ajudan, sekretaris, sampai pada hal-hal yang kecil seperti pakaian,
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
7
sepatu, dan bahkan cara berbicara. Di luar hierarki kerajaan pejabat
tersebut terdapat rakyat yang lemah atau powerless di hadapan
mereka. Karena itu birokrasi disebut kerajaan pejabat yang jauh dari
rakyat.
Dalam kerajaan pejabat di negara birokratis, terjadi
pensakralan terhadap jabatan birokrasi. Segala jenis urusan, mulai
dari yang sederhana sampai yang rumit (kompleks), selalu
membutuhkan legitimasi birokrasi pemerintah. Rakyat membutuhkan
dan memperoleh rizki maupun pelayanan dari aparatur birokrasi.
Mulai dari pedagang kaki lima sampai pengusaha kelas kakap,
semuanya tidak ada yang luput dari kaki-tangan pejabat birokrasi.
Dari yang pribumi, pendatang maupun orang asing pasti berhubung-
an dengan pejabat birokrasi pemerintah atau para pelaksananya.
Birokrasi kemudian menjadi sosok yang adidaya, adikuasa di
hadapan rakyat, dan rakyat mensakralkannya. Para orang tua selalu
bercita-cita agar anaknya dapat menjadi pegawai birokrasi, apa pun
tingkat dan jenis pekerjaannya, bila perlu dengan menyuap pun
dilakukan. Birokrasi menjadi mirip dengan keris atau batu akik yang
memiliki kekuatan magis dan dikramatkan. Karena itu, rakyat memiliki
posisi lemah di hadapan birokrasi. Oleh karena itu, agar tujuannya
tercapai, sedangkan mereka tidak mempunyai kekuatan, maka cara
yang terbaik adalah pasrah (surrender). Penyerahan diri seperti ini
sekaligus menunjuk-kan adanya pengakuan bahwa birokrasi itu tidak
tertembus olehnya. Birokrasi adalah superordinasi dan masyarakat
pengguna jasa hanyalah sub-ordinasi saja.
Dengan demikian, munculnya penyakit birokrasi atau biro
patologi, sebagaimana dalam uraian di atas, lebih banyak disebabkan
oleh perilaku para birokrat, walaupun masyarakat pengguna jasa juga
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
8
memiliki andil dalam menciptakan situasi tersebut. Beberapa tindakan
birokrat yang dipandang telah memunculkan persepsi negatif
dilukiskan secara baik oleh Siagian (1996), sebagai berikut:
(1) memperlambat proses penyelesaian pemberian izin;
(2) mencari-cari alasan, misalnya dengan mengatakan: ”dokumen
pendukung kurang lengkap”, ”keterlambatan pengajuan
permohonan”, dan sebagainya;
(3) alasan kesibukan karena ada pekerjaan lain;
(4) sulit dihubungi;
(5) senantiasa memperlambat, misalnya dengan menggunakan kata-
kata ”sedang diproses”.
Dalam bahasa yang lain, Syafiie (2004), menjelaskan perilaku
dari birokrat yang melahirkan penyakit birokrasi, sebagai berikut:
(1) budaya feodalistik yang masih terasa;
(2) kebiasaan menunggu petunjuk atau pengarahan;
(3) loyalitas kepada atasan dan bukan pada tugas organisasi;
(4) belum berorientasi pada prestasi;
(5) keinginan untuk melayani masih rendah;
(6) belum ditopang teknologi secara menyeluruh;
(7) budaya ekonomi biaya tinggi; dan
(8) jumlah pegawai negeri relatif banyak tetapi kurang berkualitas.
Pengembangan sistem birokrasi administrasi, di satu sisi
diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik, namun di sisi lain
telah menimbulkan beberapa akibat negatif, antara lain: (1) monopoli
informasi dan penciptaan ”rahasia jabatan” (official secrets); (2)
ketidakmampuan mengantisipasi perubahan; (3) kecenderungan
untuk bertindak dengan cara-cara otoratik, self-appointed (menunjuk
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
9
diri sendiri), serta mengabaikan hal-hal yang penting hanya karena
alasan hal tersebut tidak diatur dalam peraturan.
Kondisi tersebut tercipta, antara lain karena: (1) ketidakmam-
puan sumberdaya birokrasi; (2) keterlambatan penyesuaian
peraturan (regulasi) dengan perubahan yang terjadi di dalam dan di
luar organisasi birokrasi; (3) penerapan peraturan yang tidak
konsisten; (4) pengawasan atasan yang lemah; dan (5) sikap dan
perilaku pegawai yang kurang peduli dan bahkan sombong.
Makmur (2007:87), melihat kemunculan persepsi negatif
tentang birokrasi sebagai akibat dari adanya perebutan kekuasaan
dan kewenangan yang tidak didasarkan pada profesionalisme,
rasionalisme, dan moralitas. Kondisi ini, menurut Makmur, berakibat
pada:
(a) perubahan yang terjadi dalam birokrasi bukan didasarkan pada
tindakan profesionalitas, rasionalitas dan moralitas, sehingga
kehidupan birokrasi semakin lemah dan lesu;
(b) tidak efektif dan efsiien dalam mengembangkan tuntutan para
anggota birikrasi terhadap performa produknya dengan
kebutuhan pengembangan birokrasi itu sendiri;
(c) tidak termotivasinya anggota birokrasi untuk mengembangkan
kreativitas dan inovasinya;
(d) tindakan anggota birokrasi tidak lagi didasarkan atas pemikiran
rasional tetapi cenderung tidak rasional;
(e) interaksi antar anggota birokrasi dan antara anggota birokrasi
dengan masyarakat cenderung mengabaikan norma-norma moral.
Dari berbagai pendapat tersebut, munculnya persepsi negatif
terhadap birokrasi terutama disebabkan oleh sikap dan perilaku para
birokrat atau aparatur negara dalam memberikan pelayanan kepada
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
10
masyarakat. Selain itu beberapa sebab lain yang dapat disebut,
antara lain: (1) kelemahan aparatur itu sendiri (rendahnya pendidikan,
minimnya pengalaman, dan rendahnya kemampuan dalam
penguasaan teknologi); (2) berbagai peraturan yang memba-
tasi ”gerak langkah” dalam melakukan pelayanan, sehingga
mengurangi daya kreativitas dan inovasi dalam beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi; (3) lingkungan kerja yang kurang kondusif,
sebagai akibat ketiadaan teladan dari pimpinan, lemahnya
pengawasan, dan kurangnya dukungan rekan sekerja; dan (4) tingkat
upah (gaji) yang rendah sehingga mendorong birokrat melakukan
tindakan tercela (korupsi).
Dalam sejarah studi tentang birokrasi, persepsi positif maupun
negatif tentang birokrasi, lahir dan berkembang pada saat yang
hampir bersamaan. Para penulis tentang birokrasi di awal maupun
akhir abad ke-19, memiliki kerancuan dan terjadi inkonsistensi dalam
pandangannya tentang birokrasi. Kadang mereka menyebut birokrasi
sebagai suatu organisasi yang fungsional dalam pemerintahan,
namun di sisi lain mereka juga melukiskan birokrasi sebagai
organisasi yang memiliki ”cacat” dan merugikan rakyat. Hal ini antara
lain dapat dijumpai dalam tulisan Karl Heinzen (1845), seorang
penulis Jerman, yang pada awalnya menyebut birokrasi sebagai
struktur organisasi untuk mengontrol administrasi (konotasi positif),
namun kemudian dia mengartikan birokrasi sebagai pemerintahan
oleh para pejabat (konotasi negatif). Demikian pula dengan Robert
von Mohl (1862) yang mendefinisikan birokrasi sebagai konsepsi
yang jelek tentang tugas-tugas negara yang dijalankan para pejabat.
Pemberian rti yang demikian ini telah ”mengilhami” banyak penulis
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
11
lain memasuki abad ke-20 untuk memberi makna yang negatif
terhadap birokrasi.3
Upaya untuk mengubah persepsi negatif tentang birokrasi
sebenarnya terus dilakukan oleh banyak negara di dunia. Upaya
yang paling populer kita kenal dengan istilah Reinventing
Government (Pembaruan Pemerintah)4. Namun demikian, terhadap
penggunaan istilah ini, Osborne dan Plastrik (2000:12) mengingatkan
bahwa istilah ini digunakan oleh banyak orang dalam intensitas yang
tinggi untuk menguraikan begitu banyak agenda sehingga istilah atau
konsep tersebut menjadi tidak jelas maknanya. Oleh karena itu
mereka mengelompokkan beberapa konsep yang tidak sama atau
tidak tergolong dalam makna reinventing government. Konsep
dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) reinventing government bukanlah perubahan dalam sistem politik,
misalnya kampanye reformasi keuangan, reformasi badan
legislatif atau parlemen, dan sebagainya;
(2) reinventing government juga bukan berarti reorganisasi, tetapi
restrukturisasi organisasi dan sistem pemerintahan dengan
mengubah tujuan, insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan,
dan budaya kerja para pegawai;
3 Pemikiran mereka tentang birokrasi disajikan secara ringkas dalam
bagian “Studi tentang Birokrasi” dalam bab ini. 4 Sebenarnya banyak konsep lain yang memiliki tujuan sama dalam
implementasinya, yaitu mengubah persepsi negatif tentang birokrasi, misalnya: reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi pelayanan publik, dan sebagainya. Namun demikian, penulis tidak membahas secara rinci konsep tersebut dalam bagian ini, tetapi akan dijabarkan dalam bab-bab berikutnya.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
12
(3) reinventing government bukan sekedar menghilangkan
pemborosan, kecurangan, dan penyelewengan, tetapi upaya
yang terus menerus dilakukan untuk menciptakan efisiensi;
(4) reinventing government tidak sinonim dengan perampingan
pemerintah, karena perampingan pemerintah belum tentu dapat
memaksimumkan kinerja;
(5) reinventing government juga tidak sinonim dengan privatisasi,
tetapi lebih mengarah pada persaingan dan program pilihan
pelanggan, suatu program yang memungkinkan pelanggan bisa
memilih penyedia produk atau jasa yang diinginkan;
(6) reinventing government bukanlah sekedar membuat pemerin-
tahan jadi lebih efisien, tetapi pemerintahan yang lebih baik;
karena adalah percuma kita memiliki institusi pendidikan yang
murah tetapi tidak bermutu, atau institusi kepolisian yang murah
tetapi tingkat kejahatan tinggi;
(7) reinventing government tidak sama dengan manajemen mutu
terpadu atau rekayasa ulang proses bisnis, karena kedua hal ini
hanyalah alat yang dapat membantu keberhasilan seorang
pembaru jika digunakan secara strategis; jika tujuannya adalah
transformasi maka perangkat manajemen bisnis tidaklah cukup.
Setelah mengungkapkan semua konsep yang tidak tergolong
ke dalam reinventing government, Osborne dan Plastrik (2000),
akhirnya sampai pada definisi reinventing government sebagai
transformasi sistem dan organisasi pemerintahan secara fundamental
guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi,
dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini
dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggung-
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
13
jawaban, struktur kekuasaan, budaya, sistem dan organisasi
pemerintahan.
Reinventing government adalah penggantian sistem birokratis
menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaruan adalah
menciptakan organisasi dan sistem pemerintahan yang terus
menerus berinovasi, yang secara kontinyu memperbaiki kualitasnya,
tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaruan adalah
penciptaan sektor pemerintahan yang mempunyai dorongan dari
dalam untuk melakukan perbaikan, atau yang disebut dengan ”sistem
pembaruan diri”. Dengan kata lain, reinventing government membuat
pemerintah siap untuk menghadapi tantangan yang belum bisa
diantisipasi. Tidak hanya memperbaiki efektivitas saat sekarang,
pembaruan menciptakan organisasi yang mampu memperbaiki
efektivitasnya di masa mendatang pada saat lingkungan mereka
berubah. Pembaruan menciptakan organisasi yang mampu
menduduki peringkat tertinggi, dengan pelayanan terbaik dalam
pelaksanaan tugasnya, karena kemampuannya meletakkan
pelayanan pata tempat yang paling mudah dijangkau dan
dimanfaatkan oleh pelanggannya.
1.2 Studi tentang Birokrasi
Minat terhadap studi tentang birokrasi, baik sebagai proses
maupun outcome, sudah relatif lama dibicarakan, baik dari para
budayawan, ekonom maupun sosiolog. Dalam masa awal
perkembangannya, istilah birokrasi dipopulerkan lewat tulisan justru
oleh para novelis, dan dalam tulisan-tulisan yang bersifat polemik.
Seorang novelis Perancis yang bernama Honore de Balzac,
memasyarakatkan kata birokrasi lewat novelnya yang berjudul Les
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
14
Employes (1836), yang mengisahkan tentang cara kerja birokrasi
dalam kehidupan bernegara di Perancis saat itu. Balzac, menulis
dalam nada yang mengejek tentang birokrasi, sebagai berikut:
..... birokrasi telah terorganisir secara mantap, di bawah
pemerintahan konstitusional dengan kebaikan alamiah yang biasa-biasa saja, yang senang dengan pernyataan-pernyataan dan laporan yang pasti, suatu pemerintahan yang digambarkan sebagai cerewet, seperti isteri pemilik toko kecil.
5
Balzac dipandang sebagai penulis yang berpengaruh dan
sangat berhasil mendeskripsikan citra birokrasi Perancis, sehingga
de Gournay menyebutnya sebagai Bureaumania, suatu penyakit
dalam birokrasi, yang pemerintah sendiri tidak sanggup menyembuh-
kannya, dan bahkan luput dari perhatiannya.
Di Inggris, seorang penulis kenamaan, John Stuart Mill,
menulis tentang birokrasi dalam karyanya yang terkenal: Principles of
Political Economy (1848), yang menentang dominansi birokrasi
sebagai organisasi yang memonopoli segala jenis keterampilan dan
pengalaman, dalam menangani kepentingan negara. Sedangkan di
Jerman, Johan Gorres, merupakan orang yang paling berjasa
memasyarakatkan konsep birokrasi pada awal abad ke-19. Melalui
tulisannya yang berjudul Europe and the Revolution (1821), Gorres
melihat birokrasi sebagai institusi sipil yang mirip dengan kedudukan
tentara, dalam hal: disiplin, promosi, penghargaan kelompok, dan
sentralisasi.
5 Dikutip dari Martin Albrow, Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007,
hal 5.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
15
Dalam bidang sosiologi,6 perhatian awal dapat dijumpai dalam
karya Karl Marx (1852) ”The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte”,
dan dalam tulisan Alexis de Tocqueville (1877) ”L’ancien Regime and
the French Revolution”. Mereka ini merupakan orang pertama dari
beberapa orang yang mengenali kecenderungan historis yang relatif
baru terhadap perkembangan birokratisasi pada tingkat organisasi
yang berbeda, terutama organisasi militer, dan juga dalam
masyarakat Eropa Barat pada umumnya. Pengertian lebih lanjut
tentang proses birokrasi dapat dijumpai dalam tulisan Robert Michels
(1949) ”Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchial
Tendencies of Modern Democracy”, yang menganalisis tentang
dinamika distribusi kekuasa-an di dalam organisasi birokrasi dan
perkembangan kecenderungan pemerintahan oligarkis yang merusak
tatanan demokrasi. Walaupun demikian, studi tentang birokrasi
sebagai tema permasalahan utama, terutama dalam sosiologi,
didasarkan atas karya Max Weber. Pada awalnya, karya Max Weber
tidak dikenal secara luas oleh para teoretisi yang berbahasa Inggris,
sampai akhirnya karya-karya tersebut diterjemahkan pada akhir
tahun 1940-an, dua puluh tahun setelah dia wafat tahun 1920. Karya-
karya tersebut, antara lain: (1) From Max Weber: Essays in Sociology
(1946), diedit oleh H.H. Gerth and C.W. Mills; dan (2) The Theory of
Social and Economic Organization (1947), diedit oleh A.M.
Henderson dan Talcott Parsons.
Dalam uraian di bawah ini, disajikan gagasan mereka yang
dapat dikatakan sebagai perintis dalam studi tentang birokrasi dan
6 Tentang hal ini dapat dilihat dalam Edgar F. Borgatta dan Marie L.
Borgatta (eds), Encyclopedia of Sociology (“Bureaucracy”). New York: MacMillan Publishing Co., 1992.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
16
menjadi bahan referensi bagi penulis berikutnya dan terkini yang
tertarik dengan studi birokrasi. Namun, sajian ini hanya terbatas pada
tokoh-tokoh tertentu yang dipandang memiliki pemikiran monumental
pada zamannya. Sumber untuk penulisan ini sebagian besar diambil
dari Martin Albrow yang berjudul Birokrasi (2007), yang dalam
bahasa aslinya sudah ditulis sejak tahun 1970.
Vincent de Gournay: Birokrasi Sebagai Salah Satu Tipe
Pemerintahan. Dalam studinya tentang pemerintahan Perancis abad
ke-18, de Gournay menemukan tipe pemerintahan lain, di luar bentuk
yang sudah ada, yaitu: monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Karena
itu dia tidak memandang pemerintah Perancis saat itu sebagai tirani
atau bentuk buruk dari monarki. Ia mengidentifikasikan adanya suatu
kelompok penguasa dan suatu metode memerintah yang baru.
Keluhan terhadap kelompok penguasa tersebut bukan disebabkan
oleh tindakan mereka yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum,
atau oleh tindakan yang melebihi batas kewenanagan sebenarnya,
tetapi dikarenakan bahwa memerintah nampaknya telah menjadi
tujuan itu sendiri. Menurut Albrow (2007), walaupun identifikasi ini
dilakukan sepintas lalu, namun dapat dipandang sebagai suatu
inovasi konseptual yang penting dalam studi tentang birokrasi.
Kelompok penguasa dan metode memerintah yang baru yang
disebut oleh de Gournay, tidak lain adalah birokrasi. Tipe ini
dikategorikannya sebagai tipe pemerintah yang keempat dalam
klasifikasi pemerintahan Yunani Klasik, selain monarki, aristokrasi,
dan demokrasi. Tambahan akhiran kata ”cracy” pada kata ”bureau”
telah memposisikan kata ”birokrasi” sejajar dengan kata-kata monarki,
aristokrasi, dan demokrasi, dalam terminologi tipe pemerintahan.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
17
Johan Gorres: Birokrasi Sebagai Institusi Sipil. Dalam
studi birokrasi, Gorres dipandang sebagai orang yang laing berjasa
dalam memasyarakatkan konsep birokrasi di Jerman pada awal abad
ke-19. Ia adalah seorang wartawan, penulis roman, dan pendiri surat
kabar Rheinische Merkur di Jerman, yang dikenal sebagai penentang
monarki Prussia. Gorres mengembangkan suatu teori yang
mendasari kesatuan nasional, dimana ia menggabungkan antara
unsur-unsur monarkis dan demokratik untuk mewujudkan kerjasama
dan saling pengertian antara yang memerintah dan yang diperintah.
Menurutnya, jika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi maka
birokrasilah yang akan menjadi hasilnya. Di dalam tulisannya yang
berjudul Europe and the Revolution (1821), Gorres melihat birokrasi
sebagai institusi sipil yang dalam perakteknya menggunakan prinsip-
prinsip yang mirip dengan apa yang dipakai dalam institusi
ketentaraan, dalam hal: disiplin, promosi, penghargaan kelompok
dan sentralisasi. Teknik-teknik administrasi untuk menghilangkan
kesenjangan --- karena kurangnya kepercayaan antara yang
diperintah dengan yang memerintah --- menjadi prinsip-prinsip
negara. Menurut Gorres, birokrasi telah berhasil memperluas prinsip
subordinasi yang menjadi dasar perkembangan birokrasi itu sendiri,
dari manusia yang tunduk dan patuh, untuk secara bertahap
berhimpun ke dalam suatu massa yang di dalamnya rakyat hanya
dihitung sebagai suatu angka, yang memperoleh nilai bukan dari
hakikat mereka sendiri tetapi dari kedudukan mereka.
Konsep birokrasi yang mulai berkembang di awal abad ke-19,
sebagaimana dalam pemikiran de Gournay dan Gorres, menurut
Albrow, memiliki penekanan ganda, karena di samping dipandang
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
18
sebagai bentuk pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan ada di
tangan pejabat, birokrasi juga dilihat sebagai indikator bagi
keberadaan pejabat tersebut. Penekanan ini dianggap wajar, jika
memperhatikan perkembangan konsep sebelumnya tentang
aristokrasi dan demokrasi. Istilah ”aristokrasi” secara eksklusif
mengacu pada suatu strata sosial tertentu --- kekuasaan adadi
tangan kaum bangsawan --- dan bukan pada suatu bentuk
pemerintahan. Di pihak lain, istilah ”demokrasi” mengacu pada
bentuk kelembagaan untuk mewujudkan keinginan rakyat. Para
penulis awal tentang birokrasi memandang bahwa birokrasi
merupakan bentuk pemerintahan baru dengan suatu unsur baru
dalam sistem stratifikasi sosial, dan istilah ”aristokrasi” dianggap tidak
cocok untuk menjelaskan bentuk pemerintahan baru dan unsur baru
dalam staratifikasi sosial tersebut.
John Stuart Mill: Birokrasi Sebagai Tempat Pemusatan
Segala Keterampilan dan Pengalaman. Di dalam karyanya
Principles of Political Economy (1848), John Stuart Mill, penulis
terkenal asal Inggris, menyusun teori yang menentang pemusatan
segala keterampilan dan pengalaman di tangan birokrasi dalam
menangani kepentingan publik dan dalam penggunaan kekuasaan
untuk mengorganisir tindakan yang ada dalam masyarakat. Mill
memandang hal tersebut sebagai penyebab utama rendahnya
kemampuan kehidupan politik yang sampai kini menjadi ciri dari
negara-negara Eropa Kontinental yang diperintah secara berlebihan.
Dalam essainya yang berjudul On Liberty (1859), Mill
menyerang campur tangan pemerintah, sekalipun campur tangan itu
tidak melanggar kebebasan, karena menurutnya semakin besar
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
19
fungsi pemerintah maka akan semakin banyak pejabat karir yang
direkrut, dan semakin efisien mesin brokrasi, sehingga akhirnya
pemerintah semakin memonopoli sumberdaya manusia berkualitas
yang ada dalam negara. Menurut Mill, birokrasi adalah puncak ambisi,
sedangkan yang berada di luarnya akan semakin tidak berdaya untuk
mengecamnya. Baik yang memerintah maupun yang diperintah
menjadi budak birokrasi, dan darinya tidak dimungkinkan adanya
perbaikan. Ketika segala sesuatu dikerjakan melalui birokrasi, maka
tidak ada satu pun yang dapat dikerjakan jika hal itu bertentangan
dengan birokrasi.
Selanjutnya dalam tulisan lain yang berjudul Consideration on
Representative Government (1861), Mill menegaskan bahwa di luar
bentuk perwakilan, hanya bentuk birokrasi yang memiliki ketrampilan
dan kemampuan politik yang tinggi, bahkan jika birokrasi tersebut
dijalankan dengan nama monarki atau aristokrasi. Pekerjaan
menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah
secara profesional adalah inti dan arti dari birokrasi. Pemerintahan
seperti itu memerlukan akumulasi pengalaman, latihan yang baik,
dan tata krama tradisional yang dipandang baik, serta mensyaratkan
pengetahuan teknis yang tepat, yang dengannya seseorang memiliki
tingkah laku bekerja yang sesungguhnya. Namun demikian, menurut
Mill, birokrasi akan mati, karena kekalan tata kramanya. Hanya unsur
rakyat dalam pemerintahan yang membolehkan tampilnya manusia
jenius secara alamiah, yang mengungguli mediokritas (orang biasa)
yang terlatih. Pemerintah Cina dan Rusia adalah contoh tentang apa
yang terjadi saat birokrasi memegang kekuasaan. Perangkat
administrasi memang diperlukan, tetapi hal itu harus berada di bawah
pengawasan badan publik yang mewakili seluruh rakyat.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
20
Karl Heinzen: Birokrasi Sebagai Pemerintahan Para
Pejabat. Heinzen adalah seorang sosialis dan radikalis Jerman yang
melarikan diri dari Prussia karena penentangannya terhadap birokrasi
Prussia melalui bukunya yang berjudul Die Preussische Bureaukratie
(1845). Di Jerman, gagasan tentang birokrasi sangat terkait dengan
perubahan radikal dalam teori dan praktek administrasi, yang
mengiringi kekalahan Prussia oleh Napoleon pada tahun 1806.
Gagasan tentang birokrasi didominasi oleh konsep collegium, suatu
badan jabatan yang bertugas menasehati penguasa, dan
bertanggung jawab atas fungsi-fungsi tertentu dalam pemerintahan,
antara lain: keuangan, dan tatanan atau undang-undang.
Pertanggung jawaban ini bersifat kolektif, dan di dalam collegium
dimungkinkan terjadinya pertentangan antara gagasan dengan
kepentingan. Setelah tahun 1806, sistem kolegial di bawah badan
collegium diganti dengan sistem biro atau Einheitssystem, yang
mengatur bahwa pertanggung jawaban terletak pada masing-masing
individu menurut tingkat kewenangan masing-masing, sampai pada
tingkat menteri.
Bentuk kolegial memiliki beberapa keuntungan, misalnya
pengambilan keputusan didasarkan pada diskusi yang di dalamnya
mencakup berbagai sudut pandang. Bentuk ini juga mengembangkan
sistem norma yang membatasi kewenangan, dan menjamin bahwa
birokrasi diawasi secara ketat. Namun kelemahannya, pengambilan
keputusan cenderung bertele-tele, menyita banyak waktu, dan tidak
jelas tentang siapa yang bertanggung jawab. Sedangkan dalam
sistem biro, lebih menjamin adanya tanggung jawab individu, dan
karena itu bersifat lebih pasti, menyatu, dan dinamis. Dalam sistem
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
21
biro, dokumen dapat disusun dengan cepat dan menghemat biaya.
Namun demikian, kelemahan sistem biro terletak pada kemungkinan
penyalahgunaan sistem administrasi oleh individu yang memegang
kewenangan.
Para penentang negara Jerman, memanfaatkan polemik
sistem biro dan birokrasi sebagai alat untuk ”menyerang” sistem
pemerintahan Jerman. Karena itu, Karl Heinzen, menawarkan suatu
definisi birokrasi yang nampaknya lebih netral, yaitu sebagai struktur
organisasi yang di dalamnya seorang pejabat tunggal mengontrol
administrasi, sebagai lawan terhadap struktur kolegial, yang di
dalamnya beberapa pejabat berkerja di bawah pimpinan seorang
kepala, tetapi memiliki hak untuk turut serta dalam administrasi
kolektif. Namun kemudian, Heinzen, mengartikan birokrasi dalam
makna negatif, sebagai pemerintahan oleh para pejabat. Menurut
Heinzen, di dalam jiwanya, birokrasi terjalin dengan watak budak
yang angkuh, cenderung menjadi suatu instrumen yang menuntut
bagi dirinya sendiri, dan memiliki ciri-ciri kekuasaan yang tidak
terbatas.
Robert von Mohl: Birokrasi sama dengan Birokratisme.
Robert von Mohl adalah profesor ilmu politik pada Universitas
Heidelberg, Jerman. Ia berpendapat bahwa secara historis
pengertian birokrasi sebagai ”sistem biro” lebih utama, dan hanya
pada masa sesudahnya pengertian tersebut diganti dengan
pengertian yang terkesan kasar, dan justru inilah yang lebih populer.
Tetapi, sekalipun dalam pengertian kasar, menurut von Mohl,
birokrasi tetap memiliki variasi konotasi, tergantung kelompok sosial
yang menyampaikan keluhan terhadap birokrasi. Kelas sosial yang
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
22
memiliki hak istimewa mengeluhkan hilangnya keistimewaan, kelas
komersial mengeluhkan camour tangan birokrasi dalam perdagangan,
para seniman mengeluhkan pekerjaan mereka yang tidak
memperoleh apresiasi memadai, para ilmuwan mengeluhkan
kebodohan, dan sebagainya. Pelampiasan keluhan tersebut memberi
kesan bahwa gagasan umum tentang birokrasi dipahami sebagai
konsepsi yang jelek tentang tugas-tugas negara yang dijalankan oleh
sejumlah besar pejabat profesional. Pengertian seperti ini disebut
birokratisme, yaitu tingkah laku dan sikap pejabat profesional yang
menyakitkan warga negara. Setelah tulisan von Mohl ini, penggunaan
istilah birokrasi dalam fase berikutnya (abad ke-20) muncul dalam
makna yang negatif.
Gaetano Mosca: Birokrasi Sebagai Suatu Badan yang
Pejabatnya Digaji. Pada tahun 1895 Mosca menulis sebuah buku
yang berjudul Elementi di Scienza Politica, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Ruling
Class (terbit 1896). Buku ini menjadi populer karena berisi kritikan
terhadap klasifikasi tradisional tentang tipe pemerintahan yang telah
bertahan selama lebih dari dua ribu tahun. Mosca menyatakan bahwa
klasifikasi tradisional tentang pemerintahan yang ada selama ini
(demokrasi, aristokrasi, dan monarki), mengandung cacat dalam dua
hal, yaitu: pertama, didasarkan pada observasi terhadap suatu
momen tunggal dalam organisme politik; dan kedua, klasifikasi
tersebut hanya mempertimbangkan perbedaan formal daripada
perbedaan substansial yang sesungguhnya.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
23
Mosca mengajukan suatu proposisi umum tentang realitas
kekuasaan dalam proses politik, sebagaimana yang dikutip Albrow
(2007:28), sebagai berikut:
Dalam semua masyarakat yang berdiri secara kokoh, yang di dalamnya terdapat sesuatu yang disebut pemerintah, ... kelas yang berkuasa (the ruling class), atau lebih tepatnya, orang-orang yang menjalankan kekuasaan pemerintahan, akan selalu merupakan minoritas, dan di bawah mereka kita temukan banyak kelas orang-orang yang tidak pernah diberi peranan dalam arti yang sesungguhnya, turut serta dalam pemerintahan, tetapi hanya tunduk padanya. Inilah yang disebut kelas yang diperintah (the ruled class).
Atas dasar proposisi tersebut, Mosca membagi pemerintahan
menjadi dua tipe, yaitu tipe feodal dan tipe birokratis. Di negara
feodal, kelas yang memerintah memiliki struktur yang sederhana.
Setiap anggota dapat menjalankan fungs-fungsi ekonomi,
perundangan, administrasi atau militer. Setiap anggota dapat
menjalankan wewenang secara langsung dan memiliki wewenang
personal terhadap anggota kelas yang dikuasainya. Sedangkan di
negara birokratis, fungsi-fungsi tersebut dipisahkan satu sama lain,
dan menjadi kegiatan eksklusif dari bagian-bagian khusus dari kelas
yang berkuasa. Di antara bagian-bagian tersebut, terdapat suatu
kelompok, yang karena kehadirannya, di suatu negara dinamakan
birokratis. Porsi tertentu dari sumberdaya nasional dialokasikan pada
suatu badan yang pejabat-pejabatnya digaji, dan itulah yang menurut
Mosca disebut birokrasi.
Di dalam analisis Mosca, sebagaimana disajikan di atas,
terdapat dua hal yang dipandang berbeda dengan opini umum
tentang birokrasi yang telah berkembang dalam abad ke-19. Pertama,
penekanannya pada keharusan pemerintah minoritas, yang jelas
membuat semua teori tentang birokrasi menjadi tidak relevan. Kedua,
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
24
para pejabat pemerintah, walaupun hanya dianggap sebagai
tambahan yang bermanfaat bagi otoritas tertinggi yang memiliki
kekuasaan, namun tidak hanya dilihat sebagai bagian dari kelas yang
berkuasa di negara modern, tetapi juga sebagai suatu ciri yang pasti
dari birokrasi. Karena alasan inilah, Mosca sering dianggap sebagai
pencetus awal fasisme Italia.
Mosca sangat tidak percaya pada pendapat yang menyatakan
bahwa kelas yang berkuasa harus monolitik. Ia menolak pandangan
kaum Marxis bahwa identitas kepentingan di kalangan orang yang
menempati suatu kelas yang sama. Bahkan ia sangat memberikan
kemungkinan bagi adanya kebebasan, dan ini tergantung pada
diferensiasi dari kelas yang berkuasa. Apabila suatu birokrasi
memonopoli kekayaan nasional dan kekuatan militer, Mosca
menyebutnya sebagai absolotisme birokratis. Bentuk pemerintahan
tersebut adalah ”despotisme dalam bentuknya yang paling buruk”.
Menurut Mosca, adalah penting untuk membatasi kekuasaan
birokrasi melalui badan-badan perwakilan. Melalui mekanisme ini,
suatu kelas yang berkuasa tidak lain adalah refleksi dari kepentingan
dan bakat yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Karl Marx: Birokrasi Sebagai Instrumen Kelas Dominan.
Marx adalah sosiolog berkebangsaan Jerman yang hidup antara
tahun 1818-1883. Konsep birokrasi tidak menduduki posisi utama
dalam keseluruhan pemikiran Marx, karena Marx lebih fokus pada
teori tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan kemunculan
komunisme.7 Walaupun demikian, pandangan Marx tentang birokrasi
7 Tentang hal ini dapat dibaca dalam Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal.22.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
25
dalam kaitannya dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat
amatlah penting untuk dipahami. Dalam konteks ini, pemikiran Marx
tentang birokrasi hanya bisa dipahami dalam kerangka umum
teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan
kemunculan komunisme.
Karl Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis
dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara.8 Hegel berpendapat
bahwa birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan antara
negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu
terdiri dari kelompok profesional, usahawan, dan berbagai macam
kelompok lainnya yang mewakili bermacam kepentingan partikular
(khusus). Birokrasi pemerintah dapat menjadi media yang
menghubungkan antara kepentingan partikular dengan kepentingan
umum (general). Marx dapat menerima konsep Hegel tentang ketiga
aktor tersebut, yaitu birokrasi, kepentingan partikular (masyarakat),
dan kepentingan umum (pemerintah). Namun Marx berpendapat
bahwa negara tidak mewakili kepentingan umum, karena sebenarnya
kepentingan umum itu tidak ada. Hal yang ada, menurut Marx adalah
kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular
lainnya. Kepentingan partikular yang memenangkan perjuangan
kelas sehingga menjadi kelas yang dominan, itulah yang berkuasa.
Birokrasi menurut Marx merupakan kelompok partikular yang sangat
8 Sesudah satu tahun mempelajari hukum di Universitas Bonn, pada usia
18 tahun, Marx pindah ke Universitas Berlin, dan di universitas inilah Marx mulai mendapat pengaruh dari Hegelian muda --- sebutan untuk para mahasiswa pengikut Hegel, seorang ahli filsafat historis yang sangat terkenal di kalangan ilmuwan Jerman saat itu --- yang kemudian mempengaruhi teori sosial yang dibangun Marx. Walaupun Hegel telah meninggal saat Marx masuk Universitas Berlin, namun semangat dan filsafatnya masih menguasai pemikiran filosofis dan sosial di universitas tersebut.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
26
spesifik. Birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.
Birokrasi merupakan instrumen yang digunakan oleh kelas yang
dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-
kelas lainnya. Dengan kata lain, birokrasi memihak kelas partikular
yang mendominasi tersebut. Berdasarkan konsep pemikiran ini,
birokrasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelas
dominan dan pemerintah. Eksistensi birokrasi sangat tergantung
pada kelas dominan dan pemerintah. Konsep ini sekaligus
menjelaskan tentang perbedaan antara Hegel dan Marx dalam
melihat fungsi birokrasi. Bagi Hegel, birokrasi merupakan perantara
antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
Birokrasi menempati posisi netral terhadap berbagai macam
kekuatan atau kelas yang ada di dalam masyarakat. Sebaliknya,
Marx melihat birokrasi itu tidak netral, karena memihak pada kelas
dominan atau kelas (kekuatan politik) yang sedang berkuasa.
Pada mulanya rakyat membutuhkan birokrasi untuk
memenuhi kebutuhan mereka akan pelayanan, bahkan rakyat
menjadi bagian dari birokrasi --- bukan hanya memperoleh pelayanan
tetapi juga pekerjaan ---. Namun dalam perkembangannya, menurut
Marx, birokrasi berkembang menjadi kekuatan yang otonom dan
menindas (opresif) yang dirasakan oleh mayoritas rakyat sebagai
kekuatan yang misterius. Rakyat teralienasi dari birokrasi, dan
mereka tidak dapat menjangkaunya apalagi mengontrolnya. Di satu
sisi birokrasi berbuat baik dengan mengatur kehidupan rakyat, namun
di sisi yang lain rakyat merasa terasing dengan birokrasi. Birokrasi
menjadi kekuatan yang tertutup, sama halnya dengan penjaga istana
yang memiliki hak prerogatif, angker, judas, dan keras. Proses
alienasi birokrasi tidak hanya berhenti pada pemisahan antara
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
27
birokrasi dengan rakyat, tetapi juga pemisahan antara kekuatan
internal yang terdapat dalam birokrasi itu sendiri. Birokrasi tidak
menyadarai bahwa di dalam tubuhnya terdapat parasit yang
senantiasa menggerogoti kekuatannya dari dalam. Kekuatan parasit
ini mengkonsolidasikan diri melalui jenjang hierarkis dan disiplin yang
kaku dan dengan memanfaatkan kewenangan yang melekat pada
sistem birokrasi itu.
Selain proses alienasi dari kekuatan luar (rakyat) dan dari
dalam birokrasi itu sendiri, konsep birokrasi Marxis juga menyebutkan
tentang ketidakmampuan (incompetence) dari birokrasi dalam hal
mengemukakan inisiatif, dan tidak adanya kemampuan mengambil
risiko. Birokrasi selalu berupaya untuk mempertahankan fungsi
dominasinya agar dapat mengkonsolidasikan posisi dan hak-hak
prerogatifnya. Marx menyebut fenomena ini sebagai imperialisme
birokratik (bureaucratic impelialism), suatu upaya birokrasi untuk
terus memperluas kekuatannya (self aggrandizement) melalui internal
struggle untuk memperoleh promosi, pengembangan karir, status,
dan priviligis.
Di samping konsepsi tersebut, birokrasi menurut Karl Marx,
merupakan instrumen kelas kapitalis, yang oleh karenanya harus
dihancurkan melalui revolusi proletariat. Revolusi ini nanti akan
menghasilkan masyarakat komunis, yang di dalamnya tidak ada
eksploitasi dan pembagian kelas, sehingga birokrasi tidak diperlukan
lagi dan keberadaannya dianggap berlebihan (redudant).
Penghancuran birokrasi harus dipahami sebagai proses penyerapan
secara bertahap ke dalam struktur masyarakat secara keseluruhan.
Dengan demikian penghancuran tersebut akan meniadakan struktur
opresif dari birokrasi dan antagonistik dari masyarakat, karena dalam
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
28
masyarakat komunis birokrasi itu dilakukan oleh semua anggota
masyarakat. Tugas-tugas administratif kehilangan sifatnya yang
eksploitatif dan hanya mengadministrasikan benda-benda dan bukan
orang-orang, sebagaimana yang ada dalam sistem birokrasi dalam
sistem kapitalis.
Max Weber: Birokrasi Legal-Rasional. Weber adalah
seorang sosiolog berkebangsaan Jerman yang hidup antara tahun
1864-1920. Sumbangsih Weber terhadap studi tentang birokrasi
ditemui dalam pembahasannya tentang tipe otoritas dan bentuk
organisasi sosial. Pemikirannya dipengaruhi oleh pengalamannya
sebagai perwira cadangan yang diserahi tugas untuk memimpin
sembilan rumah sakit militer. Weber mengembangkan suatu
perbedaan tipologis yang dimulai dari tingkatan hubungan sosial
sampai pada tingkatan keteraturan ekonomi dan sosial politik.
Konsep legitimasi keteraturan sosial tidak tergantung semata-mata
pada kebiasaan saja, artinya keseragaman atau uniformitas perilaku
tidak hanya diperkuat oleh sanksi eksternal atau kepentingan diri
individu yang terlibat, tetapi juga oleh penerimaan individu akan
norma dan aturan yang mendasari keteraturan tersebut.
Weber mengidentifikasikan beberapa tipe hubungan sosial
yang berbeda, khususnya hubungan sosial dalam organisasi yang
memiliki struktur otoritas yang sudah mapan, artinya individu yang
diterima bekerja dalam organisasi tersebut mendukung keteraturan
sosial itu. Hubungan sosial demikian dapat dilihat sebagai ”kelompok
yang berbadan hukum (corporate group), jika hubungan tersebut
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
29
bersifat asosiatif atau rasional dan bukan komunal atau emosional.9
Pertanyaan pokoknya adalah mengapa keteraturan sosial tercipta
dalam organisasi rasional? Hal ini dikarenakan anggota organisasi
menerima pola-pola dominasi sebagai sesuatu yang benar, baik oleh
mereka yang berkuasa (dominan) maupun oleh mereka yang
dikuasai (tunduk pada dominasi). Pola-pola dominasi tersebut
mencerminkan strukur otoritas dan bukan kekuasaan. Kekuasaan
adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan walaupun
mendapat perlawanan dari orang lain, sedangkan otoritas adalah hak
untuk mempengaruhi karena didukung oleh peraturan dan norma
yang berlaku di dalam organisasi yang mendasari keteraturan sosial.
Penggunaan otoritas tergantung pada kerelaan pihak bawahan untuk
patuh pada perintah dari orang yang memiliki otoritas. Dalam kaitan
ini, Weber mengidentifikasikan tiga dasar legitimasi yang utama
dalam hubungan otoritas, sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini.
(1) Otoritas Tradisional. Tipe otoritas ini didasarkan pada
kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi zaman
dahulu dan legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas
tersebut. Alasan orang taat pada pemegang otoritas adalah
bahwa mereka sudah seharusnya demikian karena sejak dahulu
juga seperti itu, atau karena mereka yang memegang otoritas
tersebut telah dipilih berdasarkan peraturan yang harus dihormati
sepanjang waktu. Hubungan antara pemimpin yang memegang
otoritas dengan bawahannya merupakan hubungan pribadi. Ada
kesetiaan pribadi untuk patuh dan taat pada pemimpin tersebut
9 Hubungan asosiatif adalah hubungan yang didasarkan atas persetujuan
rasional, sedangkan hubungan komunal meliputi perasaan subyektif (Lihat: Johnson, 1986:227).
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
30
dan sebaliknya pemimpin berkewajiban secara moral untuk
memperhatikan kebutuhan dari mereka yang dipimpin.
Weber membedakan tiga tipe otoritas tradisional, yaitu:
gerontokrasi, patriarkalisme, dan patrimonialisme. Dalam
gerontokrasi, pengawasan dilakukan oleh para orang tua dalam
suatu kelompok; dalam patriarkalisme pengawasan berada dalam
suatu kekerabatan (keluarga) dan otoritas dipegang oleh individu,
yang memiliki otoritas tersebut melalui warisan. Sedangkan
dalam patrimonialisme, terdapat suatu staf administratif --- yang
tidak ada dalam gerontokrasi dan patriarkalisme --- yang memiliki
hubungan pribadi dengan pemimpin. Jika wilayah kekuasaan
penguasa patrimonial semakin luas, dan dengan demikian
semakin sulit dikendalikan, maka otoritas patrimonial akan
semakin berkurang pula. Feodalisme adalah suatu sistem
dominasi tradisional dimana otoritas tradisional sudah
berkembang hingga pada suatu titik dimana hubungan-hubungan
antara staf administratif dengan pemimpin dikendalikan oleh
kontrak dan bukan oleh penundukan dari pihak penguasa.
Walaupun demikian staf administratif tetap memperlihatkan suatu
kesetiaan secara sukarela kepada pemimpinnya. Keleluasaan
pemimpin dalam sistem feodalisme biasanya dibatasi oleh
kelompok bangsawan yang dipandang memiliki hak-hak pribadi
yang suci dan turun temurun. Hal ini berbeda dengan sultanisme
(pemerintahan kesultanan), yang merupakan suatu sistem
patrimonialisme dimana penguasa memiliki keleluasaan yang
sangat maksimal dalam menjalankan otoritasnya.
(2) Otoritas Karismatik. Istilah ”karisma” digunakan dalam pengertian
yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang dimiliki
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
31
seorang pemimpin. Menurut Weber, daya tarik tersebut meliputi
karakteristik pribadi yang menjadi inspirasi bagi mereka yang
menjadi pengikutnya. Dalam deskripsi Weber, pemimpin
karismatik tersebut memperoleh rahmat dari Tuhan, sehingga
dasar kepemimpinan mereka adalah kepercayaan bahwa si
pemimpin memiliki hubungan khusus dengan yang ilahi dan
bahkan mewujudkan karakteristik ilahiah tersebut. Kepatuhan
para pengikut kepada pemimpin karismatik lebih dikarenakan
identifikasi diri secara emosional dan komitmen terhadap nilai-
nilai yang diajarkannya. Karena itu para pengikut bersedia
berkorban apa saja demi pemimpin mereka. Pengorbanan
tersebut mereka wujudkan dalam bentuk, antara lain:
meninggalkan pekerjaan atau bahkan meninggalkan keluarganya,
dan menjual barang-barang milik pribadinya untuk mendukung
kegiatan pemimpin karismatik dengan penuh loyalitas. Para
pengikut ”mengikat diri” secara pribadi melalui penciptaan
hubungan sebagaimana layaknya keluarga dengan pemimpin dan
juga dengan para pengikut yang lain. Mereka meminta nasehat
dan bimbingan secara terus menerus baik dalam menghadapi
kesulitan hidup sehari-hari maupun dalam menyelamatkan
sumber penghasilan yang dibutuhkan untuk mempertahankan
hidup.
Berbeda dengan tipe otoritas yang lain yang berorientasi untuk
malanggengkan atau mempertahankan status quo, otoritas
karismatik justru diorientasikan untuk melawan status quo melalui
upaya pendobrakan terhadap kemapanan menuju ke suatu
keteraturan sosial dan moral yang baru. Namun kadang-kadang
seruan menuju suatu keteraturan sosial yang baru dilakukan
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
32
dengan mengajak para pengikut untuk kembali pada tradisi lama
yang sudah dilupakan. Ayatullah Khomeini misalnya, menyerukan
kepada rakyat Iran agar melenyapkan pengaruh Barat dan
kembali pada nilai-nilai kebudayaan Islam kuno.
Pengaruh kepemimpinan karismatik biasanya memudar atau
bahkan hilang sama sekali jika pemimpin yang bersangkutan
meninggal, atau dapat juga karena kehilangan karismanya, yaitu
kehilangan kemampuan untuk secara terus menerus meyakinkan
para pengikutnya akan mutu pribadinya yang luar biasa.
(3) Otoritas Legal-Rasional.
Otoritas yang didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat
peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara
impersonal disebut Weber dengan istilah Otoritas Legal-Rasional.
Seseorang dikatakan melaksanakan otoritas legal-rasional karena
dia memiliki posisi sosial yang menurut peraturan sah ---
kedudukan tersebut dilegitimasi oleh peraturan yang ada --- dan
karena itu dia memiliki otoritas atau kewenangan untuk
memerintah orang lain yang menjadi bawahannya. Seorang yang
menjadi bawahan tunduk kepada orang yang memiliki posisi
sosial itu karena peraturan mengharuskan dia berbuat seperti itu.
Dengan demikian, dalam otoritas legal-rasional, seseorang dapat
memerintah orang lain atau seseorang tunduk pada orang lain,
bukan karena pribadi orang yang menduduki suatu posisi, tetapi
karena peraturan mengharuskannya berperilaku demikian.
Seleksi terhadap orang-orang yang akan menduduki posisi
tertentu, baik sebagai atasan maupun bawahan, juga diatur
melalui peraturan tertentu. Misalnya, untuk menduduki suatu
posisi tertentu dipersyaratkan dari segi pendidikan, keahlian, dan
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
33
pengalaman kerja. Dengan kata lain, semua peraturan yang
mengatur hubungan orang dalam organisasi diterima sebagai
sesuatu yang sah dan mengikat, dan orang yang menjadi
anggotanya harus punya komitmen untuk bersikap dan
berperilaku berdasarkan prosedur dan mekanisme yang ada
dalam peraturan tersebut.
Otoritas legal-rasional diimplementasikan dalam bentuk
organisasi birokratis. Organisasi birokratis yang digambarkan oleh
Weber bukanlah organisasi birokratis seperi yang banyak
dipersepsikan orang saat ini, sebagai organisasi yang tidak efisien,
boros, prosedur kerja yang berbelit-belit, sehingga nampak tidak
rasional lagi. Birokrasi rasional atas dasar otoritas legal, menurut
Weber, adalah lembaga birokrasi yang didasarkan atas norma-norma
hukum yang dirumuskan secara sadar dan rasional serta berfungsi
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Sesuai dengan teorinya bahwa keyakinan dalam legitimasi
adalah dasar bagi hampir semua sistem otoritas, maka Weber
mengemukakan lima keyakinan yang saling berkaitan, atau lima
konsepsi legitimasi, yang menentukan keabsahan suatu otoritas.
Artinya, keabsahan suatu otoritas bergantung pada apakah kelima
konsepsi legitimasi tersebut dipenuhi atau tidak. Lima konsepsi
legitimasi tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:
1. bahwa penegakan peraturan (code) yang sah dapat menuntut
kepatuhan dari para anggota organisasi; 2. bahwa hukum adalah suatu sistem aturan yang abstrak yang
diterapkan pada kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang ada dalam batas hukum;
3. bahwa manusia yang menjalankan otoritas juga mematuhi tatanan impersonal tersebut;
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
34
4. bahwa hanya qua member (anggota yang taat) yang benar-benar mematuhi hukum;
5. bahwa kepatuhan seharusnya tidak ditujukan kepada individu (person) yang memegang otoritas, melainkan kepada tatanan impersonal yang menjaminnya untuk menduduki jabatan itu (Albrow, 2007:42-43).
Berdasarkan konsepsi legitimasi tersebut, Weber kemudian
merumuskan delapan proposisi tentang penyusunan otoritas legal
yang ditujukan kepada staf administrasi birokratis. Delapan prinsip
otoritas tersebut adalah sebagai berikut:
1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang
berkesinambungan; 2. tugas tersebut dibagi ke dalam bidang-bidang yang berbeda
sesuai dengan fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi;
3. jabatan-jabatan tersusun secara hierarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
4. aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal, dan dalam kedua kasus ini manusia terlatih sangat diperlukan;
5. anggota sebagai sumberdaya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
6. pemegang jabatan tidak sama dengan jabatannya; 7. administrasi didasarkan atas dokumen tertulis dan hal ini
cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern;
8. sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat dari bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf adminsitrasi birokratis (Albrow, 2007:43-44).
Walaupun pemikiran Weber tentang birokrasi dipengaruhi
oleh para penulis abad ke-19, namun terdapat beberapa hal yang
membedakan, antara lain sebagai berikut:
(1) Weber tidak menganggap birokratisme dan inefisiensi dalam
administrasi, dua hal yang sering ditunjuk sisi negatif birokrasi,
sebagai isu pokok yang perlu diperdebatkan dalam analisisnya;
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
35
(2) Weber tidak sependapat dengan pemikiran bahwa birokrasi
adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh para pejabat
(beamtenherrschaft), karena menurutnya pejabat yang dipilih
bukanlah birokrasi itu sendiri;
(3) Weber meyakini bahwa birokrasi dapat dianalisis tanpa harus
berprasangka pada isu tentang demokrasi; jika de Gournay, Mill
dan Michels, menyajikan aliran pemikiran yang menyebut
birokrasi dan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang
berlawanan tetapi secara eksklusif saling membutuhkan, maka
analisis Weber dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa, secara
konseptual, sifat khusus administrasi modern dan pengawasan
aparat negara modern adalah dua hal yang berbeda.
Weber menyadari bahwa dalam organisasi birokratis,
terdapat kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan. Karena itulah Weber mempertimbangkan suatu
mekanisme untuk membatasi ruang lingkup sistem otoritas melalui
lima kategori pokok, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini.
(1) Kolegialitas. Dalam tiap tahapan hierarki dalam birokrasi harus
ada satu orang yang memiliki tanggung jawab untuk mengambil
keputusan. Jika orang lain terlibat dalam proses pengambilan
keputusan tersebut maka itu berarti prinsip kolegial telah
terlaksana. Melalui kolegialitas kemungkinan terjadinya aktivitas
yang melampaui kewenangan dapat dicegah. Namun
kelemahannya adalah pengambilan keputusan menjadi lama dan
tanggung jawab kurang kuat.
(2) Pemisahan kekuasaan. Birokrasi mencakup pembagian tugas
dalam lingkup fungsi yang secara relatif berbeda. Pemisahan
kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
36
yang sama antara dua badan atau lebih. Diperlukan kompromi
dalam proses pengambilan keputusan di antara badan-badan
tersebut. Kelemahan sistem ini adalah secara inheren bersifat
tidak stabil, karena kedudukan badan-badan setara. Karena itu
salah satu di antara otoritas harus dibatasi agar diperoleh
keunggulan, dan dengan demikian proses kompromi tidak
berlarut-larut.
(3) Administrasi profesional. Apabila suatu pemerintahan tidak
menggaji para pegawai administratif, maka pemerintahan seperti
itu akan tergantung pada orang-orang yang memiliki sumberdaya
yang memungkinkan mereka menghabiskan waktu dalam
kegiatan tidak bergaji. Sistem seperti ini tidak dapat diukur
berdasarkan tuntutan keahlian yang diperlukan masyarakat
modern. Kegiatan administrasi harus dikerjakan oleh para
profesional yang digaji, dan lingkup pekerjaan dan otoritasnya
harus jelas sehingga kenerjanya dapat diukur.
(4) Demokrasi langsung. Ada beberapa kiat untuk memastikan
bahwa para pejabat dibimbing langsung oleh, dan dapat
bertanggung jawab kepada suatu majelis. Masa jabatan yang
singkat, pemilihan oleh sedikit orang, kemungkinan adanya recall.
Semuanya dimaksudkan untuk melayani tujuan tersebut. Dengan
memilih secara langsung, maka tuntutan untuk melayani dan
bertanggung jawab terhadap para pemilih menjadi absah.
(5) Representasi (Perwakilan). Klaim seorang pemimpin untuk
mewakili pengikutnya bukanlah sesuatu yang baru. Para
pemimpin, baik pemimpin karismatik maupun tradisional, memiliki
klaim semacam itu. Hal yang baru di negara modern adalah
kehadiran badan perwakilan kolegial, yang anggotanya dipilih
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
37
melalui pemungutan suara dan bebas membuat keputusan, serta
memegang otoritas bersama orang-orang yang telah memilih
mereka. Sistem seperti ini tidak dapat dijelaskan kecuali dalam
konteks beroperasinya partai-partai politik. Mereka yang menjadi
birokrat melalui sistem seperti inilah yang oleh Weber dilihat
memiliki kemungkinan terbesar untuk mengawasi birokrasi.
Pencapaian efisiensi melalui organisasi birokratis tidaklah
berjalan tanpa cela. Disiplin kerja, adanya pengawasan yang ketat,
dan sebagainya yang memperlihatkan suatu rasionalitas yang tinggi
memang di satu sisi telah membawa organisasi ke arah kemajuan,
namun di sisi lain telah mengorbankan aspek humanitas dari pegawai.
Ikatan kesetiaan pribadi yang memiliki makna bagi tujuan hidup
manusia dirusak oleh impersonalitas birokratis. Kepuasan dan
kesenangan mencetuskan perasaan secara spontan ditekan oleh
tuntutan untuk taat pada spesialisasi yang sempit, rasional, dan
sistemik dari kantor birokratis itu. Dengan kata lain, logika efisiensi
telah menghancurkan perasaan dan emosi manusia secara
sistematis, dan memosisikan manusia sebagai subordinasi dari mesin
birokrasi yang besar. Manusia laksana sebuah sekrup dari mesin
yang besar. Bangunan mesin birokratis itu, oleh Johnson (1986: 235)
diibaratkan sebagai sebuah kandang besi (iron cage) yang membuat
manusia sulit keluar dari dalamnya.
Esai yang paling terkenal mempersoalkan birokrasi rasional
Weber adalah artikel pendek Robert K.Merton yang
berjudul ”Bureaucratic Structure and Personality” (1940), yang ditulis
dalam Reader in Bureaucracy. Merton menandaskan bahwa
penekanan pada ketepatan dan keajegan (reliabilitas) dalam
administrasi, dapat mengakibatkan kegagalan administrasi itu sendiri.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
38
Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat
menjadi tujuan itu sendiri. Para pejabat dapat mengembangkan
solidaritas yang sama yang digunakan untuk menolak ide-ide tentang
perubahan. Jika para pejabat dimaksudkan untuk melayani publik,
maka norma-norma impersonal yang menuntun tingkah laku mereka
dapat menyebabkan konflik dengan masyarakat pengguna jasa.
Talcott Parsons juga mengkritik persyaratan staf administrasi
yang dipersyaratkan Weber dalam birokrasi rasional. Menurut
Parsons, staf administrasi yang memiliki keahlian profesional dan hak
untuk memerintah, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi,
karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hierarki
otoritas akan dibarengi oleh keterampilan profesional yang sepadan.
Akibatnya timbul persoalan bagi anggota organisasi tentang siapa
yang harus dipatuhi, apakah orang yang memiliki hak untuk
memerintah atau orang yang memiliki keahlian.
Kritik Parsons digunakan sebagai dasar pijakan oleh Alvin
Gouldner dalam karyanya: Pattern of Industrial Bureaucracy (1955),
salah satu studi penting dan berpengaruh tentang birokrasi pasca
Weber. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu
organisasi, Gouldner memusatkan perhatiannya pada konflik antara
otoritas birokratis dengan otoritas profesional. Ia membedakan dua
tipe birokrasi yang utama, yaitu: pemusatan hukuman (punishment
centered) dan perwakilan (representative). Pada tipe yang pertama,
para anggota organisasi pura-pura setuju dengan peraturan yang
mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok
asing. Sedangkan pada tipe yang kedua, para anggota organisasi
memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan
teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
39
Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh
yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.
Peter Blau, melalui karyanya The Dynamics of Birokrasi
(1955), menyatakan bahwa di dalam lingkungan yang berubah,
pencapaian tujuan organisasi tergantung pada perubahan secara
terus menerus dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak
dapat dijamin dengan membelenggu pejabat dengan seperangkat
peraturan yang kaku. Hanya dengan membolehkan para pejabat
mengidentifikasikan tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan,
dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya
tentang keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu
administrasi yang efisien.
Dari berbagai pendapat tersebut, kritik tentang birokrasi legal-
rasional Weber dapat diringkas sebagai berikut:
(1) disiplin kerja dan pengawasan yang ketat sebagaimana dituntut
dalam organisasi birokratis Weber, dipandang telah
menghilangkan aspek manusiawi dari manusia, sehingga mereka
kehilangan perasaan dan emosi dalam berhubungan dengan
orang lain, karena mereka terbelenggu oleh aturan yang mengikat;
(2) tekanan Weber pada ketepatan dan keajegan (reliabilitas) dalam
kegiatan administratif dapat mengakibatkan kegagalan dari
kegiatan administratif itu sendiri; peraturan yang semula berfungsi
sebagai alat untuk mencapai tujuan, berubah menjadi tujuan itu
sendiri;
(3) norma-norma impersonal yang mengatur pola hubungan pejabat
dengan pengguna jasa, dipandang dapat merusak hubungan
pribadi antara pejabat dengan masyarakat yang dilayani;
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
40
(4) Weber mempersyaratkan pentingnya tenaga ahli profesional
untuk menduduki jabatan yang sesuai, dengan kata lain posisi
jabatan harus memenuhi prinsip ”the right man on the right place”,
namun jika hal yang demikian ini tidak terjadi maka dapat
menimbulkan konflik dalam hal ketaatan dalam birokrasi tentang
siapa yang harus ditaati: apakah pemegang otoritas (pejabat)
yang tidak memiliki keahlian, ataukah para profesional yang ahli
dalam bidangnya;
(5) walaupun aturan ”menghendaki” agar semua anggota organisasi
harus taat dan tunduk pada aturan yang berlaku, namun demikian
dapat memunculkan dua kelompok kepentingan dalam organisasi:
yaitu mereka yang pura-pura taat pada hukum, dan mereka yang
sungguh-sungguh taat karena membutuhkan hukum; kondisi ini
dapat mempengaruhi kenerja pegawai;
(6) ketaatan terhadap peraturan, sebagaimana dipersyaratkan dalam
birokrasi legal-rasional Weber, dipandang dapat menyulitkan
pegawai untuk beradaptasi dengan prubahan yang terjadi;
menjadikan pejabat tidak kreatif dan inovatif.
Selain kritik di atas, terdapat banyak kritik lain yang
dialamatkan pada ”Birokrasi Rasional Weber”. Ada yang berpendapat
bahwa penerapan tipe ideal birokrasi ala Weber belum tentu cocok
diterapkan pada negara-negara non-Barat, atau ada yang
menyatakan bahwa keberhasilan penerapan tipe ideal tergantung
pada lingkungan budaya setempat. Kemudian ada juga yang
mempersoalkan metodologi yang dipakai oleh Weber untuk sampai
pada konsep tipe ideal tersebut. Albrow (2007) menyimpulkan
adanya dua tema yang membedakan antara Weber dengan para
pengkritiknya. Pertama, mempersoalkan validitas empirik (baik
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
41
historis maupun prediksi), yang berkenaan dengan sifat dan
perkembangan administrasi modern. Kedua, penolakan terhadap
pengaitan tipe ideal birokrasi dengan konsep rasionalitas dan
efisiensi.
Albrow (2007) menyajikan suatu jawaban ringkas terhadap
para pengkritik Weber, yang diambil dari berbagai sumber. Dalam
bagian ini, disajikan jawaban tersebut, tetapi hanya yang berkenaan
dengan konsep rasionalitas dan efisiensi dalam konteks birokrasi,
dengan alasan karena kedua hal tersebut paling banyak
diperdebatkan oleh para kritikus Weber.
Ketika Weber menyebut rasionalitas otoritas legal, hal ini
bukan dikarenakan perlunya otoritas legal diasosiasikan dengan
birokrasi rasional, tetapi karena birokrasi rasional merupakan suatu
bentuk otoritas legal. Weber menyebut jenis-jenis konsepsi legitimasi
yang menopang otoritas legal sebagai rasional. Ada tiga alasan untuk
hal ini, pertama, konsepsi tersebut mencakup gagasan bahwa tujuan
dan nilai dapat dirumuskan dalam suatu aturan hukum. Kedua,
peraturan hukum yang abstrak diterapkan dalam kasus-kasus
tertentu, sedangkan administrasi mencakup pengerjaan kepentingan
yang ada dalam kerangka hukum tersebut. Ketiga, kewajiban individu
di dalam sistem tersebut terbatas pada tugas khusus. Weber
menyebut masing-masing ciri tersebut sebagai rasional. Jadi, di sini
terdapat dua unsur, yaitu tujuan yang melekat dalam rancangan
peraturan, dan prosedur yang digunakan dalam penerapan aturan
tersebut.
Weber menyebut suatu peraturan sebagai ”rasional” sejauh
peraturan itu dimaksudkan untuk membantu pencapaian tujuan
(peraturan-peraturan teknis) atau untuk merealisasikan nilai (norma-
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
42
norma). Istilah ”rasional” tidak hanya cocok untuk peraturan demi
maksud yang terkandung di balik aturan itu, tetapi juga dapat
digunakan untuk menunjukkan prosedur penerapan peraturan pada
kasus tertentu. Bagi Weber, prosedur semacam itu pada hakekatnya
adalah rasional. Memang di dunia modern segala sesuatunya
menjadi semakin rasional, dan memang begitulah seharusnya, baik
dengan peraturan teknis maupun dengan norma-norma untuk
mempekerjakan orang-orang berkualitas yang memiliki keahlian yang
diperlukan untuk menerapkan peraturan dan norma tersebut. Inilah
jenis rasionalitas yang ada dalam benak Weber ketika ia membahas
birokrasi.
Administrasi birokratis berarti otoritas yang berdasarkan
pengetahuan. Ini adalah ciri rasionalitas Weber yang khas, dan
otoritas birokratis adalah rasional, terutama dalam arti terbatas pada
peraturan yang dapat dianalisis secara terpisah. Hanya dengan
menyadari bahwa Weber memandang implementasi peraturan dalam
organisasi modern sebagai pandangan seorang pakar, maka orang
dapat memahami kesesuaian pertimbangan yang nampaknya
berbeda tersebut. Prosedur penerapan peraturan atas dasar keahlian
ini dipusatkan pada apa yang oleh Weber disebut rasionalitas formal
birokrasi. Ringkasnya, administrasi birokratis harus dikerjakan oleh
mereka yang ahli dalam bidangnya (profesional), sedangkan otoritas
yang dimiliki oleh para pejabat profesional itu haruslah didasarkan
atas suatu peraturan.
Konsep rasionalitas formal Weber tidaklah sama dengan
gagasan tentang efisiensi. Sudah barang tentu konsep rasionalitas
terdiri dari hal-hal teknis, seperti perhitungan atau pencatatan, di
samping melibatkan keahlian yang berdasarkan peraturan, misalnya
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
43
interpretasi hukum oleh ahli hukum. Tindakan administrasi tidak
cukup dituntun oleh hal teknis semata, tetapi juga oleh norma-norma.
Lebih dari itu, Weber sering mengacu pada kenyataan bahwa
rasionalitas formal tidak menjamin, apa yang disebutnya, rasionalitas
materiil. Lagi pula, sistem formal yang dilaksanakan dengan
sempurna sekalipun dapat menggagalkan tujuan-tujuan dan nilai-nilai
yang menggerakkannya. Karena itulah tersirat adanya mengakuan
bahwa birokrat dapat mencengkeram posisi tertinggi dalam negara
untuk kepentingan diri mereka sendiri. Demikian pula, terdapat
kemungkinan orang yang menduduki suatu jabatan belum tentu
memiliki keahlian sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh jabatan
tersebut.
Rasionalitas formal dapat dicapai melalui norma-norma dan
melalui hal-hal teknis. Tetapi rasionalitas formal yang bersifat teknis
tersebut tidak sama dengan efisiensi, walaupun di dalamnya
mencakup perhitungan, perkiraan dan stabilitas. Akan tetapi, hal
teknis saja belumlah cukup untuk mencapai tujuan organisasi. Jika
efisiensi didefinisikan menurut cara konvensional yang lazim, yakni
sebagai ”suatu pencapaian tujuan khusus dengan pengorbanan yang
sesedikit mungkin dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang
lain”, maka dapat dilihat bahwa hal itu tidak berhubungan dengan
kategori rasionalitas Weber. Gagasan Weber tentang rasionalitas
yang bertujuan (Zweck rationalitat) dapat dianggap sebagai
mencakup efisiensi, dan melibatkan pula rangkaian tujuan dan cara.
Hubungan antara rasionalitas formal dan efisiensi, dapat dipahami
secara lebih baik dengan mempertimbangkan cara, yang dengannya
efisiensi umumnya diukur melalui kalkulasi biaya, atau pengorbanan
dalam arti uang, waktu dan tenaga yang dihabiskan. Kalkulasi
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
44
semacam itu merupakan prosedur formal yang tidak dengan
sendirinya menjamin efisiensi, tetapi merupakan syarat untuk
menentukan tingkat efisiensi yang dapat dicapai. Inti gagasan
rasionalitas formal Weber adalah gagasan tentang kalkulasi yang
benar, baik menurut istilah numerik, seperti pada akuntan, maupun
menurut logika, sebagaimana dilakukan ahli hukum. Dengan kata lain,
Weber tidak menawarkan suatu teori efisiensi, tetapi suatu
pernyataan tentang prosedur formal yang biasa terjadi dalam suatu
organisasi modern. Interpretasi seperti ini, dapat mengarah pada
penolakan tuduhan yang ditujukan kepada Weber bahwa ia
berdasarkan padangan intuitifnya, berusaha menetapkan kondisi-
kondisi yang serba cocok bagi pencapaian tujuan dalam organisasi
apa pun.
1.3 Arti dan Pemahaman Terhadap Konsep Birokrasi
Apa yang diartikan orang terhadap suatu konsep sering
berbeda dengan apa yang dipahaminya. Arti adalah makna
sesungguhnya yang melekat pada konsep tersebut, seperti apa yang
didefinisikan dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan pemahaman lebih
merupakan persepsi yang diberikan atas konsep itu. Tetapi dalam
banyak hal, kedua hal ini kadang tidak dibedakan. Dengan kata lain,
arti disamakan dengan pemahaman. Dalam kamus Bahasa Indonesia,
kata ”arti” adalah makna yang diberikan pada suatu kata atau kalimat.
Sedangkan kata ”paham” dapat diartikan sebagai pikiran atau
pendapat. Suatu hal yang pasti adalah bahwa arti yang berbeda-beda
dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda, sebagaimana
yang terjadi pada konsep birokrasi, dan juga pada konsep-konsep
lainnya dalam ilmu sosial. Sebagai contoh: kalau kita menyebut
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
45
bahwa ”birokrasi adalah suatu organisasi pemerintahan yang tidak
efisien” atau ”birokrasi sama dengan korupsi”, maka kalimat tersebut
lebih tepat dikatakan sebagai sebuah pemahaman yang muncul
karena persepsi (negatif) daripada sebuah definisi tentang birokrasi.
Secara etimologis birokrasi berasal dari kata bureau10, yang
berarti meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat, dan tambahan
kata krateoo (bahasa Yunani) yang berarti mengatur (to rule). Banyak
kosa kata yang dihubungkan dengan kata ”cracy” yang berasal dari
kata ”krateoo” tersebut, sebagaimana ditulis Raadschelders
(2003:316), sebagai berikut:
”... democracy is the rule of the people (demos), meritocracy is the rule of the deserving (merites), gerontocracy is the rule of the elders (gerontes), aristocracy is the rule of the best (aristoi), timocracy is the rule by the “propertied” class, ochlocracy is the rule by the mob, kleptocracy is the rule by thieves, and bureaucracy is then the rule of bureaus”.
Kata birokrasi juga dihubungkan dengan tiga tipe
pemerintahan dari Plato dan Aristotles, yaitu: rule by one person
(monarchy or tyranny), rule by a few (aristocracy or oligarchy), and
the rule by many (polis or democracy). Dalam hal ini, birokrasi
merupakan tipe pemerintahan yang keempat.
Istilah ini diperkenalkan oleh seorang filsof berkebangsaan
Perancis, Baron de Grimm.11 Istilah bureaucracy kemudian dipakai
10 Martin Albrow, op cit., hanya mengatakan bahwa kata ”bureau” adalah
kata yang telah diakui umum, yang berarti meja tulis. 11 Baron de Grimm mengutip istilah itu dari Vincent de Gournay (1712-1759),
seorang penerjemah karya-karya penulis terkenal tentang ekonomi ke dalam Bahasa Perancis. Dikenal pula sebagai ”a French civil servant and physiocrat”. Asal usul istilah laissez-faire, laissez-passer, juga dihubungkan dengan nama Vincent de Gournay.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
46
secara luas dalam berbagai bahasa: bureaucatie (Perancis),
bureaukratie (Jerman), burocrazia (Italia), dan bureaucracy (Inggris).
Artinya, suatu organisasi pelaksana kegiatan pemerintahan. Istilah ini
segera menjadi bagian perbendaharaan dalam istilah politik
internasional. Sebagaimana halnya yang terjadi pada
kata ”democracy”, istilah ”bureaucracy” pun melahirkan varian
kata: ”bureaucrat”, ”bureacratic”, ”bureaucratism”, ”bureaucratist”,
dan ”bureaucratization”. Konsep birokrasi ini kemudian dicantumkan
dalam kamus-kamus paling awal yang terbit di Eropa, sebagaimana
yang dicatat Albrow (2007), sebagai berikut: (1) kamus Akademi
Perancis (1798), mengartikan birokrasi sebagai ”kekuasaan,
pengaruh dari pada kepala dan staf biro pemerintahan”; (2) kamus
Bahasa Jerman (1813), birokrasi: ”wewenang atau kekuasaan yang
oleh berbagai departemen pemerinta dan cabang-cabangnya
diperebutkan untuk diri mereka sendiri, atas sesama warga negara”;
dan (3) Kamus Teknik Bahasa Italia (1828), mengartikan kata
birokrasi sebagai ”kekuasaan pejabat di dalam administrasi
pemerintahan”.
Menurut H.G. Creel, dalam The Beginnings of Bureaucracy in
China: the Origin of the Hsien (1964), gagasan tentang efisiensi
administrasi bukanlah hal yang khas bagi pemikiran Barat modern.
Menurut Creel, dari tahun 165 SM, para pejabat Cina telah dipilih
melalui ujian. Administrasi Cina sangat akrab dengan gagasan
senioritas, penilaian menurut keahlian, statistik dan laporan tertulis
pejabat, serta tulisan-tulisan Shen Puhai (meninggal 337 SM) yang
memberikan seperangkat prinsip yang mirip dengan teori administrasi
abad ke-20.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
47
Secara historis, kajian terhadap birokrasi sebagai suatu
konsep dalam pemerintahan negara, telah dimulai pada abad ke-18
(1760-an), menjelang terjadinya Revolusi Perancis (1789). Ketika itu,
kinerja pejabat pada pemerintahan Perancis dan juga pemerintahan
Eropa lainnya buruk sekali. Untuk menyindir mereka digunakan istilah
“bureaumania”, yang memiliki makna negatif tentang birokrasi
sebagai organisasi yang inefisien, lamban, berbelit-belit, dan
sebagainya. Jadi, sejak awal, birokrasi sudah memiliki makna yang
buruk dalam dirinya.
Banyak diskusi tentang birokrasi menimbulkan kerancuan
yang terus menerus karena ketiadaan kesepakatan tentang arti dari
kata birokrasi itu sendiri. Kerancuan pemahaman itu tidak hanya
melanda orang awam tetapi juga para akademisi. Sebagaimana
ditulis oleh Kumorotomo (1999), persepsi yang muncul tentang
birokrasi tidak hanya berbeda tetapi juga bertolak belakang. Para ahli
melihat birokrasi dari sudut pandang spesialisasinya masing-masing.
Seorang sosiolog melihat birokrasi sebagai proses interaksi di antara
individu atau pejabat; seorang ekonom mungkin melihatnya sebagai
struktur yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang efsiensi dan
memperoleh laba bagi negara; seorang politisi memandang birokrasi
sebagai sarana untuk membentuk opini publik; sementara itu seorang
pengguna (applicant) atau klien justru melihat birokrasi hanya
sebagai alat penguasa untuk menonjolkan kekuasaannya.
Riggs (1996), membuat klasifikasi arti birokrasi dari dua
kategori. Pertama kelompok yang memberi arti tentang birokrasi dari
sudut fungsi; dan kedua, mereka yang mengartikan birokrasi dari
sudut pandang sebagai struktur. Dilihat dari fungsinya, terdapat
beberapa pengertian tentang birokrasi:
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
48
(1) birokrasi digunakan dalam pengertian sebagai “biro-patologi”,
yaitu tidak berfungsinya (atau berfungsi tetapi buruk) para pejabat
dalam memberikan pelayanan publik, yang ditunjukkan oleh
kinerja yang lamban, tidak efisien, boros, dan sebagainya;
(2) birokrasi digunakan dalam pengertian sebagaimana yang
diberikan oleh Weber, yaitu dalam kerangka “otoritas legal-
rasional”, yang memunculkan konsep “rasionalitas biro” atau
“birokrasi rasional”, dengan karakteristik: adanya pembagian kerja
yang jelas, aturan yang mengatur jenjang kepangkatan,
hubungan yang impersonal, dan sebagainya;
(3) Carl J.Friedrich, dalam bukunya Man and His Government (1963),
dengan mengacu pada karakteristik rasionalitas biro,
mendefinisikan birokrasi sebagai bentuk organisasi yang ditandai
oleh hirarki, spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang
tinggi yang ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk
mengisi peran tersebut.
Konsepsi tentang birokrasi tersebut menarik para ahli dalam
bidang administrasi negara, karena membuka peluang untuk
menyamakannya dengan struktur organisasi pemerintah dengan
proses atau fungsi administratifnya. Istilah seperti “administrator
negara” dan “birokrat” menjadi sinonim. Dari sinilah kemudian muncul
persamaan lain, bahwa studi tentang birokrasi sama dengan studi
tentang administrasi, atau sebaliknya. Namun demikian, muncul
kerancuan, sebagai akibat arti kata birokrasi itu sendiri yang lebih
dipahami sebagai “biro-patologi” daripada sebagai “rasionalitas biro”.
Akibatnya, banyak penulis yang tidak mau menggunakan kata
“birokrasi” sebagai pengganti istilah “administrasi negara”. Bahkan
kecenderungan ini masih berlangsung hingga saat ini.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
49
Menurut Riggs (1996), penyamaan tersebut tidak sepenuhnya
mengikuti konsep Weber, karena Weber mengkhawatirkan terlalu
tingginya kedudukan dan kekuasaan para pejabat, karena peranan
para pejabat tidak hanya bersifat administratif tetapi juga politik.
Terlebih lagi, para penulis dalam bidang administrasi negara
seringkali memfokuskan perhatiannya pada pengaruh politik dari para
pejabat negara. Mereka berpandangan bahwa hal yang sangat
berpengaruh pada proses perumusan kebijakan negara adalah
birokrat yang mengubah peranan mereka menjadi administrator
negara yang tidak hanya terlibat dalam proses administratif tetapi
juga dalam proses politik. Selanjutnya Riggs, menyebut fenomena ini
sebagai birokratisme, yaitu suatu sistem politik yang didominasi oleh
para birokrat. Walaupun birokrasi tidak digunakan untuk maksud
birokratisme, namun konsep birokratisme semakin relevan untuk
studi tentang peran pejabat negara dalam proses politik, termasuk di
Indonesia.
Arti yang kedua terhadap kata birokrasi dikaitkan dengan
struktur dan bukan fungsi. Dalam makna struktur, birokrasi diartikan
sebagai suatu tipe organisasi bagi sejumlah perkantoran yang secara
hirarkis berhubungan satu sama lain. Namun demikian perlu ada
pembedaan antara birokrasi negara dengan swasta. Karena ada
karakteristik yang berbeda dalam birokrasi pabrik, firma, rumah sakit,
dan sebagainya dengan biro-biro pemerintahan. Di dalam negara
sendiri terdapat berbagai macam birokrasi negara karena adanya
bagian-bagian yang berbeda dari pemerintah, misalnya birokrasi
eksekutif, birokrasi yudisial, dan birokrasi legislatif. Riggs menyebut
hal ini sebagai perbedaan dari segi konteks.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
50
Selain dari segi konteks, sebagaimana di atas, perbedaan
juga terlihat dalam hal kontens atau isi. Bagi beberapa penulis, istilah
birokrasi hanya berkenaan dengan pegawai negeri karir, sedangkan
mereka yang non-karir tidak termasuk di dalamnya. Begitu pula
dengan para pegawai di instansi militer juga tidak termasuk di
dalamnya. Namun dalam perkembangannya, konsep birokrasi
mencakup semua kontens tersebut, baik pegawai karir maupun non-
karir, baik pada institusi sipil maupun militer. Riggs (1996) membuat
suatu matrik sederhana yang menunjuk cakupan dari kata “birokrasi”
itu sebagaimana di bawah ini.
Tabel 1.1 Tipe-tipe Posisi Birokratik
Sipil Militer
Karir A C Non-Karir B D
Sumber: Riggs (1996:66). Birokrasi tidak hanya mencakup pegawai karir dan non-karir
dalam organisasi sipil tetapi juga organisasi militer. Atas dasar
pemikiran ini, Riggs (1996) mendefinisikan birokrasi sebagai suatu
hirarki kantor di bawah otoritas seorang pimpinan. Atas defenisinya
ini, Riggs memberikan penjelasan bahwa faktor pimpinan (unsur
kepala eksekutif negara) dikeluarkan dari konsep birokrasi,
sedangkan dalam kata “hirarki” memasukkan faktor pimpinan.
Perhatian saya, kata Riggs, bukan pada hirarki tetapi pada birokrasi.
Di kalangan penulis Indonesia, pengertian yang serba mencakup ini,
antara lain nampak dalam defenisi birokrasi dari Muhaimin (1980),
yang menyebut birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah,
sipil maupun militer, yg melakukan tugas membantu pemerintah dan
menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
51
Beberapa definisi lain tentang birokrasi, baik dalam pengertian
struktur maupun fungsi, disajikan di bawah ini.12
John Stuart Mill (1861): Birokrasi adalah pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-
orang yang memerintah secara profesional.
Robert von Mohl (1862): Birokrasi adalah konsepsi yang jelek tentang tugas-tugas negara,
yang dijalankan oleh sejumlah besar pejabat profesional.
Gaetano Mosca (1896): Birokrasi adalah suatu badan yang para pejabatnya digaji.
Ramsay Muir (1910): Birokrsi adalah penyelenggaraan kekuasaan oleh administrator yang
profesional.
Max Weber (dikutip dari Albrow, 2007:41) Birokrasi adalah suatu badan administratif tentang pejabat yang
diangkat. Birokrasi merupakan hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu dan berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat pasa semua jenis organisasi.
Peter M.Blau dan Mashal W.Meyer (1956): Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan car amengkoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Pfiffner dan Presthus (1960): Birokrasi adalah suatu sistem kewenangan, kepegawaian, jabatan,
dan metode yang digunakan pemerintah untuk melaksanakan program-programnya.
Carl J. Friedrich (1963): Birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang ditandai oleh hierarki,
spesialisasi peranan, dan tingkat kompetensi yang tinggi yang
12 Beberapa definisi disarikan dari karya Albrow (2007), dan sebagian yang
lain dikutip dari M.Mas’ud Said, Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadyah Malang, 2007.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
52
ditunjukkan oleh para pejabat yang terlatih untuk mengisi peran tersebut.
Francis E. Rourke (1978): Birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas
keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis (written procedures), dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang-orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian dalam bidangnya.
Rod Hague, et al. (1992): The Bureaucracy is the institution that carries out the functions and
responsibilities of the state. It is the egine-room of the state.
M.Mas’ud Said (2007): Tata kerja pemerintahan agar tujuan negara bisa tercapai secara
efektif dan efisien. Sebagai suatu cara atau metode, maka sikap kita terhadap birokrasi haruslah obyektif, terbuka terhadap inovasi sesuai dengan kebutuhan konteks ruang dan waktunya. Sebagai sebuah cara atau metode pengorganisasian kerja, birokrasi tidak boleh menjadi tujuan dalam dirinya sendiri. Birokrasi ada untuk mencapai tujuan bersama.
Dari berbagai definisi tentang birokrasi dan dari hasil
penghayatan terhadap praktek birokrasi, dapatlah dikatakan bahwa
birokrasi adalah sekelompok orang yang direkrut melalui mekanisme
tertentu, kemudian diorganisir secara sistematis dalam suatu hierarki,
diberi wewenang dan tugas tertentu untuk melaksanakan kebijakan
negara, termasuk pelayanan publik. Namun demikian, disadari bahwa
definisi apa pun yang diberikan tentang birokrasi, tidak pernah akan
mencakup keseluruhan karakteristik birokrasi yang demikian luas,
tidak hanya ciri-ciri fungsionalnya tetapi juga ciri-ciri patologisnya.
Berbagai definisi atau arti yang diberikan pada konsep
birokrasi telah menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda pula
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
53
terhadap konsep tersebut. Beberapa pemahaman dimaksud disajikan
dalam uraian di bawah ini.13
(1) Birokrasi sebagai organisasi rasional. Pemahaman ini bersumber
dari konsepsi Weber tentang birokrasi. Sebagai suatu organisasi
rasional, Weber menyebutkan sejumlah prinsip yang harus ada
dalam birokrasi, yaitu: pembagian kerja, pelimpahan wewenang,
impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi. Gagasan ini
kemudian dianggap sebagai tipe ideal birokrasi. Dari banyak ahli
yang membahas konsep Weber tentang birokrasi, dapat
dikatakan bahwa sebutan birokrasi sebagai organisasi rasional,
memiliki makna, antara lain: pengorganisasian untuk mencapai
efisiensi dalam organisasi besar dan kompleks; organisasi yang
memaksimumkan efisiensi; organisasi yang melaksanakan tugas-
tugas melalui penerapan manajemen ilmiah, baik di lingkungan
pemerintah maupun swasta.
(2) Birokrasi sebagai organisasi yang tidak efisien. Persepsi negatif
terhadap birokrasi sebagaimana disajikan dalam uraian
sebelumnya, membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa
birokrasi itu tidak efisien. Banyak waktu dan biaya terbuang saat
seseorang berurusan dengan pejabat birokrasi. Kondisi ini
tercipta sebagai akibat membudayanya kepercayaan berlebihan
terhadap persyaratan adminsitratif, dan ketidakmampuan untuk
bekerja secara kreatif dan inovatif. Aparatur birokrasi meyakini
bahwa tahapan administratif tertentu harus dijalani oleh seorang
13 Konsep pertama sampai dengan ketujuh, oleh Albrow (2007:105) disebut
sebagai Tujuh Konsep Modern Tentang Birokrasi.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
54
pengguna jasa layanan publik, tanpa peduli pada pengguna jasa
yang dirugikan sebagai akibat prosedur yang rumit dan berbelit-
belit tersebut. Dorongan untuk bekerja kreatif dan inovatif
sebenarnya ada, namun semua itu dikalahkan oleh “ketakutan”
mereka akan terjadinya pelanggaran prosedur. Kondisi seperti ini
telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama, tanpa ada
upaya perbaikan, dan birokrasi tidak pernah mau belajar atas
kesalahan yang dibuatnya sendiri.
(3) Birokrasi sebagai kekuasaan atau pemerintahan yang dijalankan
oleh pejabat. Pemahaman ini muncul sebagai akibat logis dari
birokrasi sebagai suatu susunan hierarki dari atas ke bawah,
yang pada setiap puncak dari hierarki yang ada di tempati oleh
“pejabat”. Pada setiap jenjang hierarki ada pejabatnya. Kita
mengenal, misalnya: kepala bagian, kepala sub-bagian, kepala
dinas, kepala kantor, kepala seksi, dan sebagainya. Begitu
banyaknya pejabat tersebut, sehingga birokrasi disebut pula
sebagai negara para pejabat. Setiap pejabat memiliki kekuasaan
dan kewenangan sesuai tingkatan ke-pejabat-annya. Kepala
bagian berbeda luas dan cakupan kewenangannya dibandingkan
kepala sub-bagian atau kepala seksi. Penyelesaian suatu urusan
harus diselesaikan secara berjenjang dari atas ke bawah,
mengikuti rangkaian susunan hierarki yang ada. Misalnya, untuk
urusan pembuatan KTP, seseorang harus memulai dari Ketua
Rukun Tetangga (RT), kemudian Ketua Rukun Warga (RW), lalu
ke kantor desa atau kelurahan untuk menemui Kepala Desa atau
Lurah (atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu); dan pejabat
terakhir yang harus ditemui adalah Camat di kantor kecamatan.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
55
Birokrasi pada satu sisi dipandang sebagai bentuk administrasi
yang sangat superior dan sangat efisien, serta diperlukan dalam
masyarakat modern, namun di sisi lain berbagai permasalahan
muncul dalam struktur birokrasi tersebut, sehingga berbanding
terbalik dengan superioritas teknis dan efisiensi yang dimilikinya.
Inilah yang kemudian disebut sebagai paradoks efisiensi birokrasi
(the Paradox of Bureaucratic Efficiency).
(4) Birokrasi adalah administrasi negara (publik). Dalam pengertian
ini, birokrasi mengacu pada suatu kelompok manusia yang
menjalankan fungsi tertentu yang dianggap penting oleh
masyarakat. Dengan mengutip Bert Hoselitz (1963), Kumorotomo
(1999) menyatakan bahwa kegiatan untuk mencapai tujuan atau
administrasi dilaksanakan melalui aparat birokrasi dalam sebuah
organisasi raksasa yang disebut negara. Ciri-ciri kegiatan
administrasi tersebut, antara lain: spesialisasi tugas, hierarki
otoritas, dan peran-peran khusus. Dengan demikian konsepsi
birokrasi sebagai administrasi dalam negara, mengacu pada
suatu pengertian bahwa terdapat sejumlah orang yang diangkat
melalui sistem rekruitmen tertentu, kemudian orang-orang ini
menempati suatu jenjang hierarki berdasarkan kapasitasnya
masing-masing, dan bertugas untuk melayani publik atas nama
negara.
(5) Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat.
Konsep umum birokrasi yang disusun Weber, secara sederhana
disamakan dengan administrasi yang dijalankan oleh pejabat
yang ditunjuk. Konsep ini berhubungan dengan suatu kerangka
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
56
analisis organisasi, yang melihat organisasi sebagai struktur yang
terdiri dari tiga komponen. Di dalam struktur tersebut, para staf
administrasi yang menjalan otoritas keseharian menjadi bagian
penting. Staf tersebut terdiri dari orang-orang yang diangkat.
Mereka inilah yang dapat disebut sebagai birokrasi. Sedangkan
fungsi yang dikhususkan bagi mereka merupakan inti dari
birokrasi Weber, yang di dalam organisasi dikenal sebagai
administrasi.
(6) Birokrasi sebagai suatu organisasi. Administrasi, menurut Weber,
adalah penyelenggarakan wewenang (otoritas). Banyak orang
yang hanya menerima tatanan, tanpa pernah menentukan
tatanan tersebut. Akan tetapi, mode pengorganisasian staf
administrasi yang disebut Weber sebagai tipe ideal birokrasi,
tidak melibatkan prinsip-prinsip yang tidak dapat diterapkan
dalam penyusunan seluruh anggota organisasi. Syarat-syarat
kualifikasi profesional, keterikatan pada sumber-sumber yang
berasal dari pekerjaannya, pekerjaan kontraktual, dan sebagainya;
dapat terjadi dalam posisi apa pun dalam organisasi. Jika prinsip
ini benar-benar dilaksanakan secara umum, dan pada saat yang
sama distribusi otoritas menyebar ke seluruh organisasi, maka
keseluruhan struktur tersebut merupakan birokrasi. Atas dasar
pemikiran ini maka semua organisasi besar disebut birokrasi.
Para penulis yang menyamakan birokrasi dengan organisasi,
menyebut sejumlah ciri yang harus dipenuhi, antara lain: ukuran
spesialisasi, hierarki, otoritas, status, oligarki, kooptasi,
rasionalitas, efisiensi, rantai komando, aturan-aturan, pembagian
kerja, pemilihan berdasarkan kompetesni, dan impersonalitas.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
57
(7) Birokrasi sebagai masyarakat modern. Sebutan ini muncul dari
persepsi bahwa untuk membangun suatu masyarakat modern
harus dilakukan melalui upaya birokratisasi atau membangun
organisasi birokrasi secara besar-besaran. Masyarakat yang maju
haruslah memiliki organisasi birokrasi yang tangguh dan otonom.
Birokrasi dalam pandangan ini disejajarkan dengan ide-ide
tentang demokrasi, kapitalisme, atau sosialisme. Birokrasi
diibaratkan sebagai sebuah perusahaan besar dalam suatu
negara yang bertugas melayani masyarakat dalam negara itu.
Namun, fakta menunjukkan bahwa di banyak negara, birokratisasi
yang berlebihan telah menimbulkan banyak ekses negatif dalam
pemeberian pelayanan ketimbang sebaliknya.
(8) Birokrasi sama dengan korupsi. Persepsi umum tentang birokrasi
adalah organisasi yang “menjual” jasa layanannya kepada
masyarakat melalui mekanisme uang sogok, suap, komisi, uang
jasa, dan sebagainya. Dimana ada birokrasi maka di situ dapat
ditemui praktek korupsi. Dari persepsi inilah muncul pemahaman
tentang birokrasi sebagai organisasi yang korup. Praktek korupsi
dalam organisasi birokrasi dilakukan secara sitemik, tersamar,
dan kompak di antara para birokrat. Masyarakat menyebutnya
dengan istilah “korupsi berjamaah”, suatu istilah yang mengacu
pada kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Karena
itulah korupsi dalam birokrasi menjadi sulit diberantas, walaupun
mekanisme pengawasan ketat sudah diterapkan. Di negara-
negara berkembang, salah satu faktor penyebab utama
munculnya kegiatan kolutif dan koruptif dalam aktivitas pelayanan
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
58
di kantor-kantor pemerintah adalah karena rendahnya gaji atau
upah. Masyarakat penerima jasa layanan pun menyadari kondisi
ini, dan kemudian menganggap bahwa pemberian uang sogok
atau suap sebagai hal yang biasa dan wajar. Lama-kelamaan
korupsi tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan negatif, tetapi
lebih sebagai pertukaran jasa antara aparatur yang memberi
pelayanan dengan masyarakat pengguna jasa.
Perbedaan pemahaman tentang birokrasi, sebagaimana
dalam uraian di atas, nampaknya sampai saat ini masih terus
berlanjut, baik di kalangan akademisi maupun praktisi di
pemerintahan. Kalangan akademisi, berbeda karena perspektifnya
berbeda; sedangkan di kalangan praktisi, perbedaan disebabkan
terutama karena pengalamannya berbeda. Akibatnya, pembahasan
atau diskusi tentang birokrasi tidak hanya menimbulkan perbedaan
tetapi juga hasil pemikiran yang bertolak belakang satu sama lain.
Kumorotomo (1999) mengusulkan agar terhadap kelompok
pemahaman negatif tentang birokrasi digunakan istilah pita merah
(red-tape), suatu istilah yang mengacu pada penyakit birokrasi atau
penyakit organisasi secara umum (disebut pula: biro-patologi atau
patologi organisasi). Untuk kekuasaan yang dijalankan oleh para
pejabat diusulkan istilah “pemerintahan” (government), dan untuk
kegiatan administrasi dalam pemerintahan digunakan istilah
“administrasi” saja. 14 Sedangkan terhadap sebutan birokrasi sama
14 Terhadap istilah administrasi, Kumorotomo (1999) menekankan pada
penggunaan istilah administrasi yang berasal dari bahasa Inggris “administration” yang berarti urusan negara atau kebijakan publik, dan bukan istilah administratie dari bahasa Belanda yang bermakna kegiatan ketatausahaan atau klerikal.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
59
dengan masyarakat modern sebaiknya dihilangkan saja karena
sudah ada istilah lain yang lebih tepat, misalnya modernisasi atau
teknokrasi. Dalam hal konsep birokrasi, Kumorotomo (1999)
menyatakan, bahwa sebaiknya dimaknai sebagai organisasi rasional
yang menerapkan manajemen ilmiah.
1.4 Karakteristik Birokrasi
Ciri dari birokrasi rasional modern adalah kenyataan bahwa
tindakan individu secara formal dikontrol, ditentukan, dan diatur
melalui pelaksanaan peraturan. Maksud dari pelaksanaan peraturan
tersebut adalah pencapaian tujuan organisasi secara efisien.
Penyusunan tindakan individu dilakukan melalui spesifikasi tugas dan
tanggung jawab yang tidak membingungkan, dengan maksud untuk
mengurangi --- jika tidak menghilangkan --- pengaruh kepentingan
dan ambisi pribadi terhadap pelaksanaan pekerjaan kantor. Dengan
demikian, para pegawai dapat berkonsentrasi pada aspek teknis
pekerjaannya masing-masing sebagaimana yang diatur dalam tugas
pokok dan fungsi jabatannya.
Menurut Weber (Albrow, 2007:45), staf administrasi
birokrastis, sebagai birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional,
mempersyaratkan proposisi tentang legitimasi dan otoritas; serta
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan
mereka;
(2) terdapat hierarki jabatan yang jelas;
(3) fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
(4) para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
60
(5) para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya
didasarkan pada suatu ijasah yang diperoleh melalui ujian;
(6) para pejabat diberi gaji dan hak pensiun, dan bersifat berjenjang
menurut kedudukannya dalam hierarki;
(7) pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
(8) suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan atas dasar
senioritas dan keahlian (merit), serta menurut pertimbangan
keunggulan (superior);
(9) pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan jabatannya maupun
dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut;
(10) pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
Organisasi birokratis mencerminkan suatu usaha untuk
mengkoordinasikan tindakan individu berdasarkan pada peraturan
rasional, yaitu suatu peraturan yang ditujukan untuk mengisolasi dan
menahan tindakan individu sehingga dapat meningkatkan efisiensi
organisasi. Namun demikian, karakteristik birokrasi tidak hanya
berkenaan dengan penggunaan peraturan saja, tetapi juga pada tipe
peraturan yang digunakan dan pembenaran (justification) terhadap
penggunaan peraturan tersebut.
Dalam birokrasi modern, peraturan yang eksplisit dirancang
untuk menjamin keseragaman kinerja sesuai dengan persyaratan
teknis yang ditentukan. Dengan demikian, birokrasi menunjukkan
suatu sistem pengawasan yang berusaha meyakinkan bahwa
kemampuan teknis individu digunakan secara efektif untuk mencapai
tujuan organisasi. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga dapat
mengurangi kinerja pegawai harus dieliminir sedemikian rupa,
sehingga pegawai dapat lebih fokus pada orientasi kinerja yang tinggi.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
61
Karakteristik birokrasi yang disebutkan oleh banyak penulis,
merupakan penjabaran dari tipe-ideal birokrasi Weber, yang
walaupun menghasilkan deskripsi yang berbeda-beda, namun pada
intinya sama. Beberapa penulis menjabarkan tipe-ideal tersebut
menjadi enam dimensi, sedangkan penulis lainnya menjabarkannya
menjadi delapan atau sembilan. Menurut Raadschelders (2003:313),
tipe-ideal birokrasi Weber terdiri dari tujuh belas dimensi, dan
kemudian diperluas menjadi menjadi dua puluh dimensi oleh Aris Van
Braam (1986) dalam bukunya Leerboek Bestuurskunde (The Study of
Public Administration). Delapan dimensi pertama disebut sebagai
Organisasi Birokratis (the Bureaucratic Organization), sedangkan dua
belas dimensi sisanya disebut Karakteristik Pegawai/Pejabat atau
mencirikan sifat-sifat kepegawaian (characterize the functionaries).
Karakteristik birokrasi sebagai organisasi birokratis, yang
terdiri dari delapan dimensi, dapat dijumpai dalam tulisan Albraw
(2005), sebagai berikut:
(1) tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang
berkesinambungan;
(2) tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang yang berbeda sesuai
dengan fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat
tertentu;
(3) jabatan tersusun secara hierarkis, yang disertai dengan rincian
hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
(4) aturan disesuaikan dengan pekerjaan, diarahkan baik secara
teknis maupun legal, sehingga pegawai terlatih sangat diperlukan;
(5) pegawai sebagai sumberdaya organisasi berbeda kedudukannya
dengan sebagai individu pribadi;
(6) pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
62
(7) administrasi didasarkan pada dokumen tertulis dan hal ini
cenderung menjadikan kantor sebagai pusat organisasi modern;
(8) sistem otoritas legal memiliki berbagai bentuk, tetapi sistem
tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratis.
Adapun dua belas dimensi lainnya, yang disebut oleh
Raadschelders adalah sebagai Dimensions of Bureaucracy as a
Group of People, terdiri dari:
(9) para pegawai memegang jabatan secara individual (office held by individual functionaries),
(10) sebagai bawahan, (who are subordinate, and)
(11) diangkat, (appointed, and)
(12) memiliki banyak pengetahuan, keahlian, (knowledgeable, who have expertise, and are)
(13) ditugaskan melalui persetujuan kontrak (assigned by contractual agreement)
(14) dalam suatu masa jabatan, (in a tenured (secure) position, and)
(15) sesuai dengan pekerjaannya, dan (who fulfill their office as their main or only job, and)
(16) bekerja dalam suatu sistem karir (work in a career system)
(17) memperoleh gaji secara tetap dan pensiun (rewarded with a reguler salary and pension in money)
(18) reward diberikan berdasarkan jenjang jabatannya (rewarded according to rank, and)
(19) dipromosikan berdasarkan senioritas, (promoted according to seniority, and)
(20) bekerja di bawah perlindungan formal dari kantor mereka (work under formal protection of their office).
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
63
1.5 Birokrasi dan Administrasi Negara (Publik)15
Kebanyakan penulis menggunakan kata birokrasi dan
administrasi negara (publik) dalam makna yang sama atau
dipertukarkan dalam arti yang sama. Tetapi ada juga penulis yang
menggunakan kata tersebut dalam arti yang berbeda atau kata yang
satu menjadi bagian dari yang lain. Administrasi negara (publik)
menjadi bagian dari birokrasi --- dengan demikian birokrasi memiliki
pengertian lebih luas dari administrasi negara (publik) atau birokrasi
adalah bagian dari administrasi negara (publik), dan dengan demikian
administrasi negara (publik) lebih luas pengertiannya daripada
birokrasi. Kekacauan semantik seperti ini telah berlangsung lama,
yaitu sejak studi tentang birokrasi mulai marak pada pertengahan
abad ke-19. Sebagai suatu praktek, administrasi dan birokrasi hampir
seumur dan setua umur pemerintahan. Birokrasi dan administrasi ada
bersamaan dengan adanya pemerintahan.
Dalam sintaksis bahasa Inggris, ada perbedaan makna atas
istilah birokrasi, apakah istilah itu ditulis dengan menggunakan kata
sandang (artikel) atau tidak di depannya. Jika kata birokrasi ditulis
sebagai “the bureaucracy” atau “a bureaucracy” maka artinya adalah
badan atau organisasi tempat para birokrat bekerja. Sedangkan
apabila ditulis tanpa artikel: “bureaucracy”, maka kata tersebut berarti
prosedur-prosedur administrasi. Ada kesan bahwa birokrasi lebih luas
15
Dalam perkembangan konsep ilmu administrasi negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari administration of public yang menempatkan negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara, dan administration for publik, yang menempatkan negara dalam tugas melalayani publik (public service), menjadi administration by publik yang memposisikan negara sebagai fasilitator, katalisator bagi kepentingan publik yang berbeda, dengan titik tekan pada putting the customers ini the driver seat. Kata ”public” tidak lagi dimaknai sebagai negara, tetapi sebagai masyarakat (Utomo, 2006:7).
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
64
dari administrasi, karena birokrasi bukan hanya mencakup badan
atau organisasi dalam arti struktur (asosiasional), tetapi juga
berkenaan dengan prosedur administratif atau pranata administrasi
(institusional).
Istilah birokrasi lebih banyak digunakan di Eropa Kontinental,
terutama Jerman, yang dianggap sebagai negara asal istilah tersebut.
Sedangkan istilah administrasi, berkembang di Inggris. Karena itu,
ada pertentangan antara birokrasi Eropa Kontinental dengan
administrasi Inggris. Bagehot (1963), misalnya, mempertentangkan
antara birokrasi dengan administrasi negara dalam praktek sistem
pemerintahan parlementer, dalam tulisannya tentang Konstitusi
Inggris (The English Constitution). 16 Bagehot membandingkan
praktek birokrasi negara Prussia, dengan administrasi Inggris, dan
kemudian menyimpulkan bahwa di dalam demokrasi yang
sebenarnya (di Inggris), administrasi negara bersifat efisien, karena
para menterinya sering berganti sehingga tidak terjerumus dalam
rutinitas. Sedangkan dalam sistem negara Prussia, birokrasi
bergantung pada rutinitas, sehingga birokrasi kurang fleksibel dalam
melakukan penyesuaian diri dalam menghadapi perubahan. Dalam
bahasa yang sama, F.C. Montague (1884) dalam karyanya The
Limits of Individual Liberty, menyatakan pelaksanaan birokrasi
biasanya menjadi birokrasi yang memerintah, tidak lentur, gila
kekuasaan dan terbelenggu oleh rutinitas. Di Inggris, kebebasan
parlemen, peradilan dan kotapraja memberi keyakinan bahwa
administrasi bisa dikenali, sementara birokrasi ditolak.
16
Lihat Albrow, op cit., hal.12-13.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
65
Pendapat bahwa birokrasi dengan segala kelebihan dan
kekurangannya hanya tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental,
dan tidak berkembang di Inggris dibantah sejarawan Ramsay Muir,
dalam tulisannya Bureacracy in England (1910). Muir menyatakan
bahwa lebih dari tujuh puluh tahun birokrasi telah tumbuh dengan
kokoh di Inggris. Menurutnya, terdapat persekongkolan diam-diam
untuk mempertahankan ilusi bahwa sistem Inggris tidak birokratis.
Terlepas dari semua polemik ini, yang pasti ada pertentangan antara
birokrasi Eropa Kontinental dengan sistem administrasi Inggris.
Walaupun demikian, dilihat dari perspektif yang lebih luas,
sebenarnya, seluruh negara Eropa bertipe sama, yaitu diperintah
oleh para pejabat.
Pengertian birokrasi dalam arti negatif sebagai “biro-patologi”
menjadi salah satu sebab mengapa para penulis lebih menyukai
menggunakan istilah “administrasi negara” atau “sistem administrasi”.
Menurut Riggs (1996:63), konsepsi tentang birokrasi sebenarnya
telah menarik minat mereka yang mempelajari administrasi negara,
karena memungkinkan mereka untuk menyamakan dengan struktur
organisasi pemerintah, dan dengan proses atau fungsi
administratifnya. Istilah “administrator negara” dan “birokrat” menjadi
sinonim, studi tentang birokrasi sama dengan studi tentang
administrasi, dan sebaliknya. Kerancuan muncul tatkala banyak
orang yang mengartikan birokrasi sebagai “biro-patologi” daripada
“rasionalitas biro”, dan hal ini telah menghambat banyak penulis
untuk menggunakan istilah birokrasi sebagai padanan administrasi
negara. Mereka lebih suka mengekspresikan gagasannya tentang
birokrasi dengan menggunakan istilah “administrasi negara” atau
“sistem administrasi”.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
66
Menurut Riggs, penggunaan istilah “birokrasi” dalam makna
yang sama dengan “administrasi negara”, tidak sepenuhnya
mengikuti gagasan Weber tentang birokrasi. Weber menulis bahwa
ia mengkhawatirkan “terlalu tingginya” kedudukan kekuasaan para
pejabat, dengan menekankan bahwa peranan mereka tidak semata-
mata bersifat administratif, tetapi juga menyangkut politik. Di samping
itu, para penulis bidang administrasi dewasa ini seringkali
menekankan perhatiannya pada pengaruh politik dari para pejabat
negara. Mereka menyatakan bahwa hal yang sangat berpengaruh
dalam pembuatan keputusan kebijakan negara adalah para birokrat
yang mengubah peranan mereka menjadi administrator negara. Para
pejabat tersebut terlibat dalam politik sebagaimana mereka terlibat
dalam proses administrasi.
Jika birokrasi itu diartikan sebagai pemerintahan yang
dijalankan oleh pejabat, maka dari penjelasan Riggs tersebut jelas
bahwa pengertian birokrasi lebih sempit dibandingkan dengan
administrasi negara. Birokrasi hanya menjalankan kegiatan
administratif saja, sedangkan fungsi-fungsi politik, misalnya
pengambilan keputusan, adalah fungsi administrasi negara. Para
birokrat atau pejabat yang tidak hanya menjalankan fungsi
administratif tetapi juga fungsi politik, lebih tepat disebut administrator
negara daripada seorang birokrat.
Thoha (2007), adalah salah seorang penulis tentang birokrasi
yang secara tegas menyamakan antara administrasi negara (publik)
dengan birokrasi. Menurutnya, kedua istilah tersebut merupakan
bagian yang signifikan dan acapkali dikaitkan dengan aparatur
pemerintah di hampir seluruh negara di dunia ini. Jadi, jika kita
menulis kalimat, misalnya: “Responsivitas adalah kemampuan
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
67
birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, ….”, maka kata
“birokrasi” dapat diganti dengan kata “administrasi publik”,
“administrator”, “birokrat”, “aparatur pemerintah”, “public servants”,
dengan makna yang sama, yaitu sebagai “aktor yang bertindak”.
Penyamaan istilah ini juga nampak jelas dalam pernyataan Thoha
(2007:45) sebagai berikut:
Administrasi publik, kadang-kadang dipakai pula istilah administrasi
pemerintahan, dan kadang-kadang juga diterjemahkan dengan birokrasi pemerintah yang dikenal sekarang ini merupakan produk dari masyarakat feodal yang tumbuh di negara-negara Eropa (cetak miring dari penulis).
Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala.
Dalam catatan sejarah peradaban manusia, gagasan dan praktek
tentang administrasi pemerintahan sebagaimana dikenal dewasa ini
telah ada di Mesir Kuno dan Cina. Sebagaimana ditulis oleh H.G.
Creel dalam The Beginnings of Bureacracy in China: the Origin of the
Hsien (1964) 17 bahwa gagasan tentang efisiensi administrasi
bukanlah hal yang khas bagi pemikiran modern atau pemikiran Barat,
karena sejak tahun 165 SM para pejabat Cina telah dipilih melalui
ujian. Administrasi Cina sangat akrab dengan gagasan-gagasan
senioritas, penilai menurut keahlian, statistik-statistik, dan laporan
tertulis pejabat. Demikian pula tulisan Shen Puhai (meninggal 337
SM) telah memberikan seperangkat prinsip yang mirip dengan teori-
teori administrasi abad ke-20. Jauh sebelum abad ke-18, pemikiran
bahwa penguasa tertinggi harus dilayani oleh pejabat yang cerdas
dan dapat dipercaya telah menjadi hal yang biasa dalam pemikiran
17
Dikutip dari Albrow, op cit., hal.2.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
68
politik. Niccolo Machiavelli, melalui bukunya The Prince18 meminta
Raja agar memilih para menteri yang kompeten, membagi
kehormatan dan tanggung jawab dengan para menteri, dan
memberikan imbalan atas kesetiaan mereka, agar mereka tidak perlu
lagi mencari imbalan dari sumber-sumber lainnya. Machiavelli
(1991:96-97) menulis sebagai berikut:
... orang yang mendapat kepercayaan menjalankan tugas negara
tidak pernah boleh memikirkan dirinya sendiri kecuali kepentingan raja, dan tidak boleh memikirkan diri sendiri kecuali urusan raja. Dari pihak raja, agar menteri tetap setia, raja harus selalu memikirkan menterinya, memberikan kehormatan dan kekayaan kepadanya, membuat menteri merasa berhutang kepada raja, membagikan kehormatan dan tanggung jawab. Dengan demikian menteri memahami seberapa jauh ia tergantung kepada raja.
Menurut Thoha (2007), administrasi publik merupakan produk
dari masyarakat feodal yang tumbuh di negara-negara Eropa.
Negara-negara di daratan Eropa semuanya dikuasai oleh kaum
feodal, bangsawan dan kaum ningrat kerajaan yang selalu berusaha
untuk mengokohkan sistem pemerintahannya. Perkembangan
masyarakat yang semakin pesat, berdampak pada munculnya suatu
kebutuhan dan pemerintahan monarki saat itu untuk memperoleh
para administrator yang cakap, penuh dedikasi, stabil, dan memiliki
integritas. Para administrator inipada gilirannya akan menjadi tenaga
birokrasi pemerintahan. Kebutuhan akan suatu sistem mulai
dirasakan, yaitu suatu sistem untuk menata kekuasaan dan pertang-
18
Niccolo Machiavelli menulis sebuah buku filsafat politik klasik yang amat terkenal dengan judul Il Principe (terjemahan Inggris: The Prince). Buku ini selesai ditulis mulai tahun 1512 dan selesai tujuh tahun kemudian 1519. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
69
gungjawaban pemerintahan. Salah satu perwujudan kebutuhan suatu
sistem penataan kekuasaan pemerintahan yang sentralistis dan
sistematis di Prussia dan Austria dikenal dengan nama sistem
kameralisme (cameralism). Sistem ini dapat disebut sebagai cikal
bakal administrasi negara. Kameralisme dirancang untuk mencapai
efisiensi manajemen yang tersentralisasikan dan paternalistik, yang
ditandai oleh corak perekonomian yang merkantilistik. Fenomena
tentang perlunya penataan sistem administrasi pemerintahan ini
kemudian berkembang di seluruh daratan Eropa, termasuk Eropa
Timur.
Di Inggris, tanggung jawab administrasi pemerintahan telah
lama dipercayakan kepada para bangsawan dan orang-orang yang
berpendidikan tinggi. Sampai dengan akhir abad ke-18 dan awal
abad ke-19, sebagian besar kaum bangsawan berasal dari tuan
tanah perdesaan (rural-estate). Kemudian pada awal abad ke-19,
terjadi perubahan pada komposisi pegawai pemerintah, dimana
sebagian besar administrator pemerintahan Inggris berasal dari kaum
pedagang (mercantile) dan klas-klas usahawan di kota. Selanjutnya
pada akhir abad ke-19, pemerintah Inggris mulai menerapkan sistem
seleksi dalam rekruitmen pegawai pemerintah, melalui ujian yang
kompetitif dari para alumni universitas, terutama dari Universitas
Oxford dan Cambridge.
Kedudukan administrasi publik, dalam perkembangan
selanjutnya tidak hanya terpaku pada aturan legalistik, tetapi juga
pada bagaimana mengimplementasikan aturan legal tersebut dengan
melakukan penyesuaian terhadap dinamika masyarakat. Masyarakat
yang terus berkembang akan memunculkan beragam tuntutan, dan
pemerintah harus responsif terhadap berbagai tuntutan tersebut.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
70
Ketidakmampuan administrasi publik dalam merespon tuntutan
masyarakat akan menimbulkan persepsi negatif terhadap
administrasi publik. Menurut Thoha (2007), administrasi publik
selama ini selalu diasumsikan sebagai upaya melukis suatu benda
bukan menaruh perhatian terhadap realitas benda tersebut. Karena
itu, administrasi publik dianggap kurang memberikan kontribusi
terhadap reformasi pemerintahan. Reformasi yang ditawarkan oleh
administrasi publik seringkali berhenti pada lukisan kotak-kotak saja
berupa serangkaian konsep restrukturisasi, reorganisasi, atau
reengineering. Upaya seperti ini hanya menekankan pada perbaikan
struktur fisik dan tidak menyentuh perbaikan sistem secara
menyeluruh.
Di Indonesia, menurut Thoha (2007) Ilmu Administrasi Publik
merupakan kumpulan sketsa yang digunakan untuk membenarkan
kebijakan penguasa, dan jauh dari pemenuhan harapan rakyat.
Kumpulan sketsa tersebut tidak berkehendak untuk dilaksanakan
dalam realitas. Penyimpangan yang terjadi dalam masa
pemerintahan yang lalu disebabkan oleh dukungan yang diberikan
oleh sistem administrasi publik yang berupa sketsa tersebut.
Administrasi pemerintahan sengaja dibuat tidak baik dan kacau, agar
penyimpangan menjadi sulit dikontrol. Seharusnya, ilmu administrasi
publik tidak hanya sebatas gambar saja, tetapi suatu disiplin ilmu
yang dapat dipraktekkan, putting the ideas into practice. Administrasi
publik, dengan demikian, seharusnya lebih fokus pada proses
implementasi suatu aturan ketimbang proses membuatnya.
Berbagai persoalan dalam administrasi negara (publik),
terutama kurang baiknya pelayanan oleh administrasi publik telah
membawa perubahan dalam paradigma administrasi negara
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
71
(publik). 19 Sekarang ini telah terjadi perubahan dalam paradigma
administrasi publik, dari sebelumnya menempatkan pemerintah pada
posisi penting dan sentral dalam proses pembangunan, menuju ke
arah paradigma baru yang disebut good governance 20
(kepemerintahan yang baik atau pengelolaan yang baik), yang
menempatkan pemerintah, swasta dan masyarakat secara seimbang
dalam proses pembangunan bangsa. Peran pemerintah yang semula
sebagai regulator dan pelaku pasar, berubah menjadi pencipta iklim
yang kondusif dan melakukan investasi prasarana (infrastruktur) yang
mendukung dunia usaha. Menurut Tjokroamidjojo (2000), hal ini akan
dapat dilakukan jika masyarakat dan sektor swasta sudah memiliki
kapasitas dan berdaya, sehingga dapat mengelola program
pembangunan lebih baik daripada dikelola pemerintah. Pemerintah
berfungsi sebagai enzym of growth, sedangkan swasta dan
masyarakat berfungsi sebagai egine of growth. Dalam konteks
perubahan paradigma ini, Thoha (2007) mendefinisikan administarsi
publik sebagai administrasi pemerintahan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Jadi, dalam paradigma
baru administrasi publik ini, peran negara semakin mengecil, namun
tetap penting sebagai penggerak ke arah good governance.
Sedangkan definisi Ilmu Administrasi Publik dalam konteks ini,
19 Tentang hal ini, disebutkan dalam Bintoro Tjokroamidjojo, Good
Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia, 2000, hal.25.
20 Suatu istilah yang pada mulanya diusulkan oleh badan-badan pembiayaan internasional (World Bank, IMF, UNDP, dan ADB), dengan tujuan untuk memperbaiki manajemen pembangunan di negara-negara penerima bantuan (try to use this concept to improve the management of development in recipient countries). Lihat: Bintoro Tjokroamidjojo, ibid, hal.36.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
72
menurut Thoha (2007:54), adalah suatu kajian yang sistematis dan
tidak hanya sekedar lukisan abstrak akan tetapi memuat
perencanaan realistis dari segala upaya dalam menata pemerintahan
menjadi kepemerintahan yang baik (good governance).
DAFTAR PUSTAKA
Albraw, Martin, 2007. Birokrasi. Diterjemahkan oleh M.Rusli Karim dan Totok Daryanto. nYogyakarta: Tiara Wacana.
Almond, Gabriel, dan Bingham Powel, 1996. Comparative Politics
Development Approach. Bombai, India: Little Company. Budiman, Arief; dan Ph. Quarles van Ufford (eds); 1988. Krisis
Tersembunyi dalam Pembangunan: Birokrasi-birokrasi Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Duto, Sosialismanto, 2001. Hegemoni Negara: Ekonomi Politik
Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Dwiyanto, Agus (ed), 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. --------------, 2006. “Strategi Melakukan Reformasi Birokrasi
Pemeirntah di Indonesia”, dalam Agus Dwiyanto (ed), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kumorotomo, Wahyudi, 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. Machiavelli, Niccolo, 1991. Sang Penguasa: Surat Seorang
Negarawan Kepada Pemimpin Republik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Makmur, H., 2007. Patologi Serta Terapinya dalam Ilmu Administrasi
dan Organisasi. Bandung: PT Refika Aditama.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
73
Osborne, David; dan Ted Gaebler, 1996. Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Osborne, David; dan Peter Plastrik, 2000. Memangkas Birokrasi:
Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Edisi Revisi. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid dan Ramelan. Jakarta: Penerbit PPM.
Raadschelders, Jos C.N., 2003. Government: A Public Administration
Perspective. New York: M.E. Sharpe. Riggs, Fred W. (ed), 1996. Administrasi Pembangunan: Sistem
Administrasi dan Birokrasi. Diterjemahkan oleh Luqman Hakim. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Said, M.Ma’ud, 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UPT
Penerbitan Universitas Muhammadyah Malang. Siagian, S.P., 1996. Patologi Birokrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Sinambela, Lijan Poltak, et al., 2006. Reformasi Pelayanan Publik:
Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Syafiie, Inu Kencana, 2004. Birokrasi Pemerintahan Indonesia.
Bandung: Mandar Madju. Tangkilisan, Hessel Nogi S., n.d. Penataan Birokrasi Publik
Memasuki Era Millenium. Yogyakarta: Penerbit YPAPI. Thoha, Miftah, 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. ---------------, 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. Thomson, Dennis F., 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Abdul Hakim\Mengenal Birokrasi
74
Tjiptoherijanto, Prijono, 2004. Kependudukan Birokrasi dan Reformasi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Tjokrowinoto, Moeljarto, et al., 2001. Birokrasi dalam Polemik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Utomo, Warsito, 2006. Administrasi Publik Baru di Indonesia:
Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widodo, Joko, 2001. Good Governance: Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Penerbit Insan Cendekia.
Wilson, James Q., 1989. Bureaucracy: What Government Agencies
Do and Why They Do It. USA: Basic Book, Inc.