Mendorong Peningkatan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan ... · dengan pencatatan impor di negara...
-
Upload
phungthuan -
Category
Documents
-
view
225 -
download
0
Transcript of Mendorong Peningkatan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan ... · dengan pencatatan impor di negara...
Mengobral Modal Dasar?
PRODUKSI DAN EKSPOR BATU BARA INDONESIA
Oleh: Article 33 Indonesia
REKOMENDASI
• Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian perlu menerapkan mekanisme transparansi dan rekonsiliasi data produksi dan penjualan batu bara antara kementerian/ lembaga serta organisasi perangkat daerah terkait;
• Kementerian Perdagangan khususnya Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri perlu memprakarsai upaya verifikasi secara bilateral maupun multilateral antara pencatatan ekspor batu bara Indonesia dengan pencatatan impor di negara tujuan;
• Kementerian ESDM perlu memperketat tertib pelaporan dan kepatuhan terhadap pembatasan produksi dan ekspor pada setiap badan usaha pertambangan;
• Bappenas dengan masukan DEN & KLHK perlu menyusun kebijakan pengurasan batu bara yang mempertimbangkan keamanan pasokan dalam negeri, target penurunan emisi gas rumah kaca, serta daya dukung dan daya tampung lingkungan daerah tambang
Pertumbuhan produksi dan peredaran batu bara global
didorong meningkatnya permintaan pasar pembangkit
listrik lepas pantai, terutama dari Tiongkok dan India.
Pertambangan batu bara di Indonesia pun melejit dalam dua
dasawarsa terakhir. Produksi batu bara Indonesia meningkat
pesat setiap tahun lalu relatif stabil sekitar 2013-2016.
Peningkatan produksi 12% membuat Indonesia menyandang
gelar pengekspor batu bara termal terbesar dunia sejak 2005
(Lucarelli, 2010). Pada 2011, ekspor batu bara Indonesia
melampaui Australia sehingga menempati peringkat pertama.
Volume ekspor 2015 yang pada 12 tahun sebelumnya
diperkirakan hanya akan berkisar di bawah 100 juta ton (EIA,
2003) ternyata melonjak empat kali lipat.
Ekspor batu bara Indonesia menempati peringkat 1-2
dunia, sedangkan peringkat produksi hanya 4-6.
Sementara cadangan semakin menipis, hanya kurang dari 20
persen yang dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri.
Tanpa pengendalian produksi dan ekspor yang tepat,
industri batu bara Indonesia hanya akan terombang-
ambing oleh permainan harga pasaran dunia.
Ditulis oleh Kanti dan Umi Purnamasari, berdasarkan riset Rantai Nilai Perdagangan Batu Bara Article 33 Indonesia, 2017
Mendorong Peningkatan Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Pelayanan Dasar
CATATANKEBIJAKAN
No. 18, November 2017
Catatan Kebijakan No. 18, 2017
0,0
25.000,0
50.000,0
75.000,0
100.000,0
125.000,0
150.000,0
Berat bersih (000 ton)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
0,01.000,02.000,03.000,04.000,05.000,06.000,07.000,08.000,0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Sumber: BPS, diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB)
Gambar 1. Volume & Nilai Free on Board Ekspor Batu Bara
Menurut Negara Tujuan Utama, 2002-2015
Berdasarkan letak geografis, pasar batu bara terbagi menjadi pasar Atlantik dan pasar Pasifik.
Sebagai eksportir pasar Pasifik, Indonesia bersaing dengan Australia dan Tiongkok.
Importir utama pasar Pasifik adalah Jepang, Korea, Taiwan, Tiongkok, India, Hongkong
(Bowden, 2012; Clark, 2006; Ekawan, Duchêne, & Goetz, 2006a; Ekawan et al., 2006b).
Harga di pasar Atlantik umumnya lebih cair mengikuti indeks, sementara di pasar
Pasifik setiap negara punya kebijakan masing-masing. Ada yang menggunakan harga
tetap (India), ada yang memasang harga acuan sendiri dengan mengandalkan kontrak jangka
panjang (Jepang), ada yang melakukan negosiasi setiap tahun dengan menyelenggarakan
tender dari masing-masing area (Korea, Taiwan). Namun, seiring dengan perkembangan
pasar dunia, kebanyakan kebijakan negara mulai berubah mengikuti harga indeks.
Jika harga di pasar Pasifik meningkat, produsen Atlantik mampu bersaing untuk menjual ke
konsumen Pasifik.
2
Nilai FoB (000 000 US$)
Dari proyeksi gambar 1, rata-rata permintaan negara Asia Timur (Jepang, Hongkong, Taiwan)
stabil, sedangkan permintaan dari negara ASEAN (Malaysia, Filipina, Thailand) diperkirakan
terus meningkat perlahan tapi pasti. Kebijakan Jepang untuk memotong emisi gas rumah kaca
akan menurunkan permintaan bahan bakar fosil, namun bencana Fukushima 2011 membuat
batu bara masih menjadi pilihan terbaik pengganti nuklir. Pasar Thailand selain untuk
konsumsi pembangkit listrik, batu bara dijual secara eceran ke industri. Vietnam membuka diri
dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, hanya saja infrastruktur pelabuhan belum
memungkinkan kapal besar untuk bersandar. India berusaha meningkatkan produksi domestik
800 juta ton, namun pasokan pesisir tetap impor karena lebih ekonomis.
Selama kurun 2001-2003 Tiongkok sempat menjadi saingan ekspor, tetapi berhubung
konsumsi pesisir cukup besar, impor batu bara dari Indonesia dianggap lebih menguntungkan.
Dapat dilihat pada gambar 1, tercatat lonjakan impor batu bara Tiongkok sangat luar biasa.
Pada 2010, Tiongkok menyuntikkan 1.3 triliun dolar untuk bursa saham di logistik
pertambangan. Namun, pada 2012 turun drastis secara bertahap, berdampak pada turunnya
harga batu bara dunia rata-rata 15% per tahun sejak 2012 dan mencapai dasarnya pada 2015.
Pengaruh Tiongkok sangat besar menyetir harga ekspor batu bara. Bila harga pasar
global mahal, pemerintah menghentikan impor sehingga harga pasar global terkoreksi kembali
menurun. Bila pengadaan dalam negeri menjadi mahal, pemerintah melonggarkan jam kerja
produksi dan membuka keran impor sehingga harga pasar global pun melonjak kembali,
sebagaimana terjadi di pertengahan 2016. Dengan demikian, Tiongkok masih jadi kartu liar
dan memiliki pengaruh komersial terbesar bagi perdagangan batu bara laut.
3
Sumber: Carbon Brief, 2016
Gambar 2. Alur Ekspor-Impor Batu Bara Dunia
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
90000
100000
JAWA SUMATERA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA
Terkira Terbukti
0
20000
40000
60000
80000
100000
JAWA SUMATERA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA
Hipotetik Tereka Tertunjuk Terukur
Catatan Kebijakan No. 18, 2017
Gambar 3. Neraca Sumber Daya dan Cadangan Batu Bara Indonesia
Sumber: Badan Geologi Kementerian ESDM, 2017
Sebagai salah satu negara pengekspor terbesar dunia, mengapa Indonesia tidak dapat
mengendalikan harga pasar melalui pengendalian produksi dan ekspor?
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 5
ayat (1) mengamanatkan bahwa untuk kepentingan nasional, pemerintah setelah berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan
pengutamaan mineral dan/atau batu bara untuk kepentingan dalam negeri. Kepentingan
nasional tersebut dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor. Dalam
pelaksanaannya Pemerintah berwenang untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap
komoditas per tahun setiap provinsi. Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pengendalian produksi dan ekspor batu bara diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010, yakni Menteri melakukan pengendalian produksi (pasal 89) dan
penjualan (pasal 92) mineral dan batu bara yang dilakukan oleh pemegang IUP Operasi
Produksi mineral atau batu bara dan IUPK Operasi Produksi mineral atau batu bara.
Pengendalian produksi mineral dan batu bara dilakukan untuk:
a. memenuhi ketentuan aspek lingkungan;
b. melakukan konservasi sumber daya mineral dan batu bara;
c. mengendalikan harga mineral dan batu bara.
Pengendalian penjualan mineral atau batu bara dilakukan untuk:
a. memenuhi pasokan kebutuhan mineral dan batu bara dalam negeri; dan
b. stabilitas harga mineral dan batu bara.
4
(juta ton)
Pemerintah memperkirakan batu bara Indonesia dapat memenuhi kebutuhan sampai 70 tahun
lagi, namun tanpa eksplorasi baru atau terobosan teknologi, jumlah yang dapat ditambang
dengan kapasitas produksi saat ini hanya cukup untuk kurang dari 30 tahun lagi.
Volume ekspor pertambangan kurun 2011-2015 cukup signifikan berkisar antara 24%-35%
dari total ekspor nasional. Nilai ekspor batu bara mencapai 10%-13% dari total nilai ekspor
nasional. Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai Free on Board yang tercatat di Kementerian
Perdagangan maupun BPS bergerak mengikuti fluktuasi HBA, namun pada dasarnya tidak ada
pengendalian volume ekspor demi mengatasi perubahan harga; naik turun volume ekspor tetap
bergerak sesuai permintaan pasar.
Meskipun ada kecenderungan permintaan ekspor menurun, produksi batu bara secara
menyeluruh dianggap tidak terpengaruh oleh tekanan penurunan harga batu bara internasional
karena kebutuhan dalam negeri dijanjikan akan terus meningkat.
Sekitar 80% pasokan dalam negeri batu bara diserap oleh sektor kelistrikan. Kebijakan dan
target pemerintah melalui program elektrifikasi dari 10.000 MW tahap I dan II kemudian
35.000 MW yang sebagian besar merupakan PLTU batu bara diharapkan menjadi penyelamat
usaha pertambangan batu bara ke depannya. Namun, mempertimbangkan melambatnya
ekonomi Indonesia dengan pertumbuhan konsumsi energi per kapita sekitar 5% compound
annual growth rate (CAGR) dari 7,5% yang diharapkan, diragukan bahwa konsumsi elektrisitas
akan meningkat sebesar kapasitas yang direncanakan. Sehingga kebutuhan batu bara dalam
negeri tidak dapat menjadi jaminan untuk menyerap produksi saat ini.
Gambar 4. Data transaksi FoB ekspor batu bara Indonesia
Sumber: Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik
5
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Daglu FoB (Miliar USD) BPS FoB (Miliar USD)
0
20
40
60
80
100
120
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
HBA
0,0
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Data Produksi dan Ekspor Batu Bara Indonesia
EIA penjualan WCI produksi . . . . . . . . . . . ESDM produksi . . . . . . . . Bappenas produksi BPS produksi
0,0
50,0
100,0
150,0
200,0
250,0
300,0
350,0
400,0
450,0
500,0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
EIA ekspor . WCI ekspor . IHS Markit ekspor ESDM ekspor . Daglu ekspor . Bappenas ekspor . BPS ekspor .
EIA produksi
Catatan Kebijakan No. 18, 2017
Dengan membandingkan data yang dipegang kementerian dan lembaga dengan data
internasional, diduga tidak sedikit terjadi perdagangan ilegal yang menyebabkan besarnya
pengeluaran devisa untuk impor yang tidak tercatat dan besarnya potensi perolehan devisa
ekspor yang hilang. Nilai ekspor 16 komoditas SDA selama 5 tahun (2010-2014) pada catatan
impor negara tujuan rata-rata per tahun lebih besar US$ 47,30 miliar daripada yang tercatat di
Indonesia sehingga mungkin terjadi transfer pricing, dengan selisih tertinggi dipegang
komoditas batu bara (selisih US$ 12,98 miliar).
Perencanaan kebijakan dan pengawasan pengendalian produksi dan penjualan disusun
berdasarkan umpan data yang harus terjamin akurat. Pemerintah menganjurkan untuk
berpegang pada Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai penanggung jawab penyelarasan data.
Namun, dapat dilihat pada gambar 5, data produksi BPS yang diperoleh dari survei perusahaan
tambang di daerah sering lebih rendah daripada data ekspor BPS yang dijumlahkan dari
Pemberitahuan Ekspor Barang. Sementara itu, data produksi ESDM sering masih mengandalkan
data provisional dari akumulasi Rencana Kerja Anggaran Biaya perusahaan, bukan kompilasi
laporan hasil produksi perusahaan. Data yang dipaparkan oleh Menteri ESDM pun dalam suatu
kesempatan dapat berbeda dengan data paparan Dirjen Minerba.
Gambar 5. Diskrepansi data produksi dan penjualan batu bara Indonesia
Sumber: Diolah dari data-data United States Energy Information Administration, World Coal Association, IHS Markit, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Bappenas, BPS.
Data 2017 adalah rencana produksi
6
Terdapat diskrepansi data sebesar 9-14% antarkementerian terkait, sehingga
menyulitkan dalam melakukan perencanaan yang melibatkan lintaslembaga karena
masing-masing berpegang pada data yang berbeda. Dalam kurun 2007-2016 antara
World Coal Association dengan ESDM terdapat selisih data produksi sebesar 310 juta ton,
sementara selisih data ekspor antara BPS dengan ESDM sebesar 432 juta ton, setara dengan
produksi batu bara Indonesia dalam setahun. Jika selisih data tersebut dikalikan dengan harga
patokan batu bara jenis terendah dan tertinggi di rata-rata tahun berjalan, maka dalam kurun
2007-2016 diduga terjadi kehilangan sekitar 9,6-20,9 milyar dolar AS. Dengan demikian,
perkiraan akumulasi PNBP yang tidak terpungut dalam satu dasawarsa akibat selisih
pendataan tersebut sekitar 10,9-23,7 triliun rupiah.
Penelitian lebih lanjut Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengindikasikan bahwa dalam
periode 2006-2016 nilai transaksi perdagangan batu bara yang kurang dilaporkan atau
dilaporkan secara tidak wajar mencapai 27 miliar dolar AS, berdampak pada kerugian negara
sebesar 133 triliun rupiah: dari pajak 95,2 triliun rupiah dan royalti 38,5 triliun rupiah.[1] Yang
cukup menarik diperhatikan adalah bahwa data perdagangan Indonesia lebih tinggi daripada
data negara tujuan, artinya ada pengapalan dengan tujuan akhir bukan yang tercantum dalam
dokumen kepabeanan, atau terjadi penyelundupan di negara tujuan. Namun, dalam analisis
tingkat kewajaran biaya transportasi, pengapalan dari Australia ke Tiongkok bisa jadi hanya
sepertiga biaya pengapalan dari Kalimantan ke Tiongkok padahal jaraknya lebih jauh.
Permasalahan ini pun diakui oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Ketidaksamaan data perpajakan sektor pertambangan mineral dan batu bara yang disediakan
sejumlah lembaga, turut mempengaruhi upaya penegakan hukum lembaga tersebut.[2]
Saat ini perusahaan tambang diwajibkan melakukan pembayaran royalti di muka. Jika
diperkirakan hendak melakukan ekspor sebesar sekian dalam setahun, PNBP bayar di depan
sekian persen dari perkiraan tersebut, lalu dicicil setiap pengapalan. Jika terjadi lebih bayar,
sisa kelebihan tersebut ditambahkan sebagai pembayaran di muka untuk pengapalan
selanjutnya. Untuk memastikan jumlah pembayaran telah sesuai dengan penjualan, dan tidak
ada manipulasi data setelah pengapalan, data produksi dan ekspor yang resmi perlu dibuka
secara terperinci untuk dapat diperbandingkan antarlembaga.
[1] https://bisnis.tempo.co/read/1032668/icw-ada-indikasi-kerugian-negara-rp-133-t-dari-ekspor-batu-bara
[2] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171120180157-532-256936/djp-akui-kekacauan-data-pajak-pertambangan-minerba
7
92,31 106,63 124,86 133,61 151,87
332,70 325,40 311,40 307,00 293,30
0
100
200
300
400
500
2015 2016 2017 2018 2019
Renstra ESDM domestik
Renstra ESDM ekspor
102 111 121 131
240
323 308 292 275
160
RPJMN domestik
RPJMN ekspor
87 101 118 133178
295 248 214 199154
APBI domestik
APBI ekspor
95,8 125,9 138,2 151,4 167,1
365,8 288,1 274,8 251,6 232,9
2015 2016 2017 2018 2019
RUEN domestik
RUEN ekspor
Catatan Kebijakan No. 18, 2017
Gambar 6. Rencana produksi dan penjualan batu bara nasional
Jatuhnya harga batu bara tidak berdampak pada upaya pengetatan kuota produksi
maupun ekspor, justru cenderung sebaliknya produksi dan ekspor digenjot demi
mencapai target keuntungan perusahaan dan penerimaan negara.
Pada 2017, Kementerian ESDM mengajukan penambahan kuota produksi batu bara dari
rencana sebelumnya sebesar 413 juta ton menjadi 477,9 juta ton melalui surat ke Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).[3] RPJMN dianggap hanya ditentukan di atas
kertas dalam upaya memenuhi mandat ketahanan energi namun tidak menampung aspirasi
pelaku usaha. Di sisi lain, renstra ESDM pun masih meleset. Banyak pemegang PKP2B dan IUP
eksplorasi yang sudah saatnya meningkat ke tahap operasi produksi pada tahun ini belum
diperhitungkan. Hal ini bertentangan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)
yang merancang pembatasan produksi di bawah 400 juta ton.
Bappenas menganjurkan untuk mengikuti perencanaan yang sudah ditetapkan. Namun, jika
produksi dibatasi, ditengarai Australia atau produsen dari Atlantik akan untung karena dapat
mengambil alih pasar batu bara Asia. Dengan pertimbangan kebutuhan menambal penerimaan
negara yang defisit, tampaknya peningkatan kuota tetap dapat dikabulkan.
Jika kebiasaan ini berlanjut, dikhawatirkan sebelum masa peralihan sumber energi yang
direncanakan, batu bara Indonesia telanjur habis terlebih dahulu sehingga PLTU batu bara
yang kini sedang dibangun, pada masa operasinya justru akan membutuhkan pasokan impor.
Padahal, pembangkit listrik harus bertahan selama 20-30 tahun. Peralihan sumber energi tidak
dapat terjadi cepat. Amanat undang-undang untuk mengendalikan produksi dan ekspor
tampak belum diupayakan secara strategis.
[1] https://industri.kontan.co.id/news/produksi-batubara-naik-menjadi-477-juta-ton
8
Sumber: RPJMN 2015-2019, Renstra ESDM, APBI 2015, RUEN Perpres 22/2017
Realisasi produksi
(juta ton)
Proyeksi ESDM 2017
Berkurangnya permintaan pasar ekspor yang mencapai dasarnya pada 2015 menjatuhkan
harga cukup drastis sehingga membuat beberapa usaha tambang skala kecil gulung tikar.
Namun, anjloknya harga batu bara tidak serta-merta berdampak signifikan pada penerimaan
negara bukan pajak, karena beberapa perusahaan besar masih terikat kontrak penjualan jangka
panjang dengan harga yang memadai atau segera menekan biaya produksi dengan strategi
menurunkan nisbah kupas.
Khususnya pada 2014, walaupun nilai produksi dan ekspor menurun, penerimaan royalti,
iuran tetap, dan penjualan hasil tambang batu bara menjulang tinggi. Hal ini ditengarai
merupakan hasil optimasi penerimaan negara terhadap pelanggaran kurang bayar PNBP tahun
sebelumnya. Namun pada 2015 dan 2016, rencana peningkatan PNBP terlalu optimis dengan
proyeksi kenaikan tarif royalti, sehingga sempat mengakibatkan lebih salur yang disusul
kegagalan pembiayaan pembangunan di beberapa daerah penghasil batu bara utama akibat
penyaluran DBH tahap berikutnya tersendat. Dengan susulan penyaluran jatah tahun
sebelumnya, jumlah DBH PNBP minerba yang disalurkan tetap lebih tinggi daripada nilai
PNBP yang diperoleh pada tahun yang sama.
Pengendalian produksi dan ekspor batubara dapat mengurangi pendapatan APBN/APBD
dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang diharapkan meningkatkan pendapatan
pajak melalui kegiatan industri dalam negeri dipicu keamanan pasokan listrik dan upaya
peningkatan nilai tambah.
5,8779,511 10,369
12,64616,369 15,877
18,62 19,3 17,683 15,7572,823
2,9895,077
5,905
7,874 8,136
9,789
16,166
11,94811,396
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Iuran Tetap + Royalti (Mineral + Batubara)
Penjualan Hasil Tambang (Batubara)
DBH Pertambangan Umum
Gambar 7. Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral Batu Bara Indonesia
Sumber: Diolah dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat – Kementerian Keuangan
9
Catatan Kebijakan No. 18, 2017
Sektor mineral dan batu bara mencapai sekitar 6% Produk Domestik Bruto dan berkisar
6%-10% penerimaan negara. Di daerah penghasil utama, persentase tersebut lebih tinggi
sehingga cukup mempengaruhi perencanaan pembangunan. Banyak kegiatan ekonomi yang
menjadi sumber pendapatan asli daerah sesungguhnya masih sangat berkelindan dengan
sektor pertambangan. Ketika sektor pertambangan tiarap, kegiatan ekonomi tersebut ikut
tumbang, PAD tidak dapat dijadikan pegangan.
Perubahan kebijakan berbagai negara ke arah peningkatan energi terbarukan juga
menyebabkan penurunan harga batu bara dunia. Isu lingkungan menjadi salah satu faktor
pengendali ekspor-impor batu bara di Tiongkok. Sebaliknya, kebijakan pengendalian produksi
dan ekspor batu bara di Indonesia belum secara langsung terintegrasi dengan pertimbangan
lingkungan. Jatah kuota produksi dan ekspor disusun berdasarkan AMDAL masing-masing
perusahaan, belum tampak mempertimbangkan sektor pertambangan dan ekonomi dalam
lingkup regional dan nasional secara menyeluruh.
Beberapa upaya penyelarasan kebijakan dengan perhitungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan terhadap kegiatan pertambangan telah diterapkan pada 2016. Di Kalimantan Timur
sebagai salah satu daerah penghasil batu bara terbesar, sekitar 50% pembukaan lahan tambang
terletak pada lahan dengan jasa ekosistem penyedia air, jasa ekosistem tata aliran air dan
banjir, serta jasa ekosistem pendukung keanekaragaman hayati dalam kategori tingkat tinggi
dan sangat tinggi.
Kontribusi nasional yang diniatkan/ditetapkan Indonesia dalam upaya penurunan emisi gas
rumah kaca seharusnya juga menjadi pertimbangan saksama dalam upaya pengendalian
produksi dan konsumsi batu bara sebagai salah satu penghasil emisi.
Jika negara-negara pengimpor dapat membuka dan menutup keran impor batu bara
berdasarkan pertimbangan lingkungan, Indonesia sebagai negara pengekspor utama juga sudah
saatnya tegas menyusun kebijakan pengurasan batu bara untuk mengendalikan produksi dan
ekspor berdasarkan pertimbangan lingkungan dan transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
10
11
DAFTAR PUSTAKA
Bowden, B. (2012) ‘A history of the Pan-Pacific coal trade from the 1950s to 2011: Exploring the long-term effects of a buying cartel’, Australian Economic History Review, 52(1), pp. 1–24. doi: 10.1111/j.1467-8446.2012.00338.x.
Clark, M. (2006) ‘“Bound out for Callao !” The Pacific Coal Trade, 1876-1896: Selling coal or selling lives? Part 1’, The Great Circle, 28(2), pp. 26-45. http://www.jstor.org/stable/41563218
Clark, M. (2007) ‘“Bound out for Callao !” The Pacific Coal Trade, 1876-1896: Selling coal or selling lives? Part 2’, The Great Circle, 29(1), pp. 3–21. http://www.jstor.org/stable/41563232
Ekawan, R., Duchêne, M. and Goetz, D. (2006) ‘The evolution of hard coal trade in the Pacific market’, Energy Policy, 34(14), pp. 1853–1866. doi: 10.1016/j.enpol.2005.01.007.
Ekawan, R., Duchêne, M. and Goetz, D. (2006) ‘The evolution of hard coal trade in the Atlantic market’, Energy Policy, 34(14), pp. 1487–1498. doi: 10.1016/j.enpol.2004.11.008.
International Energy Agency (2017) Market Report Series: Coal 2017 Analysis and Forecasts to 2022. France: International Energy Agency. webstore.iea.org/market-report-series-coal-2017
Kanti, Asri Nuraeni Elfarabyan, dan Meliana Lumbantoruan (2015) ‘Mendorong Transparansi Data Produksi Mineral Batu Bara untuk Optimasi Penerimaan Negara’, Catatan Kebijakan 10. Jakarta: Article 33 Indonesia.
Lucarelli, Bart (2010) ‘The History and Future of Indonesia’s Coal Industry.’ Program on Energy and Sustainable Development Working Paper No.93. Stanford: Freeman Spogli Institute for International Studies.https://pesd.fsi.stanford.edu/publications/the_history_and_future_of_indonesias_coal_industry_impact_of_politics_and_regulatory_framework_on_industry_structure_and_performance
Nugroho, Hanan (2017) ‘Batubara Sebagai Pemasok Energi Nasional: Apa yang Perlu Disiapkan?’ Jurnal Perencanaan Pembangunan, 24(1). Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/opac/themes/bappenas4/templateDetail.jsp?id=170917
Thurber, M., & Morse, R. (Eds.) (2015) The Global Coal Market: Supplying the Major Fuel for Emerging Economies. Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781316136058
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, dan Badan Informasi Geospasial (2014) Cetak Biru Satu Data untukPembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. http://opengovindonesia.org/download/15/cetak-biru-satu-data-untuk-pembangunan-berkelanjutan
US Energy Information Administration (2017) International Energy Outlook. www.eia.gov/ieo
Article 33 Indonesia http://www.article33.or.id