MENDIDIK ANAK

2
MENDIDIK ANAK, TUGAS SIAPA? - 28 Maret 2005 - 01:18 (Diposting oleh: Editor) (Bagian ketiga dari lima tulisan) Suatu saat saya melihat sebuah potret kehidupan sepasang suami-istri, yang kebetulan memiliki seorang anak yang masih satu orang berusia menjelang usia sekolah dasar. Sang ayah adalah seorang pengusaha yang cukup sukses memimpin sebuah perusahaan distribusi kartu telepon seluler, sementara sang istri juga sukses dalam pekerjaannya dan saat ini menjadi manager pemasaran sebuah bank yang cukup besar. Sedang si anak saat ini masih bersekolah taman kanak-kanak, kesehariannya selalu bersama seorang pengasuh dari bangun pagi, mandi, sarapan pagi, ke sekolah, pulang dari sekolah di sore hari karena kebetulan si anak bersekolah dengan program belajar pagi hingga sore setiap harinya, mandi sore, makan sore, menonton tv di sore hari, sampai tidur di malam hari. Sepanjang hari selalu ditemani dan hanya ditemani oleh sang pengasuh. Ritual keseharian yang dilakukan keluarga itu pun kesehariannya cukup menarik. Sang ayah sudah berangkat ke tempat kerjanya pagi-pagi sekali. Dan pulang hampir selalu pada larut malam. Sementara sang ibu yang terkadang juga ikut menyiapkan sarapan si anak, setelah beres, segera bergegas ke kantor, pulang di sore hari, terkadang juga bersama anaknya sebentar, memberi petunjuk sana-sini kepada si pengasuh bagaimana seharusnya mengurus seorang anak. Terkadang juga keluar dengan mobilnya di malam hari entah kemana. Hari Minggu yang seharusnya istimewa bagi sebuah keluarga pun, sang ayah lebih sering kembali bekerja keliling mengontrol outlet-outlet toko pulsa isi ulang, yang memang lebih banyak ramai di hari libur. Sedang sang ibu, yang walaupun cukup banyak waktu bersama anaknya seharian itu, ternyata lebih suka untuk menikmati kesendiriannya, entah bermalas- malasan di rumah, ke salon, atau belanja ke mal. Sekilas memang tidak ada yang salah dari potret keluarga tersebut. Sang ayah dan sang ibu pun sepertinya tidak pernah terlibat konflik yang berkepanjangan, dan mereka sepertinya ‘enjoy’ dengan pola kehidupan seperti itu. Tapi kalau kita mencoba berimajinasi menarik garis kira-kira sepuluh tahun dari sekarang, si anak tentunya telah beranjak remaja. Si anak akan mulai belajar mengenal kehidupan yang sesungguhnya. Si anak tiba-tiba akan di tuntut untuk selalu jujur dalam interaksinya, dituntut untuk selalu bisa menghargai orang lain, dituntut untuk bisa menerima kegagalan, dituntut untuk bisa mengendalikan rasa marah dan kecewa. Lalu sejak kapankah si anak sebaiknya mulai mengenal itu semua? Akankah dia tahu dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya umur? Akankah sekolah akan selalu menjamin si anak akan terlatih akan hal-hal di atas? Apakah sebuah potret keluarga seperti di atas bisa menjamin kualitas pendidikan yang diterima si anak? Hak anak untuk mendapatkan pendidikan dari orang tua Setelah sekitar duapuluh tahun tidak bertemu, tiba-tiba secara tidak sengaja saya ‘menjumpai’ sahabat saya pada sebuah mail-list dimana secara tidak sengaja kita sama-sama menjadi anggotanya. Sampai sekarang pun susah membayangkan wajah sahabat saya ini sekarang, karena terakhir kita berinteraksi, kalau tidak salah kita masih sama-sama duduk di bangku SMP. Dan sebuah kebetulan pula, walaupun kami menekuni jalur profesi yang berbeda, kami memiliki ketertarikan yang sama yaitu dunia anak dan perhatian akan pemberdayaan keluarga. Ada sesuatu yang menarik ketika beberapa hari yang lalu, sahabat saya ini mengirimkan e-mail sebuah artikel yang disarikan oleh Sindhunata dari bukunya Drost, S.J yaitu “Sekolah: Mengajar atau Mendidik”. Yang walaupun memiliki kadar substansi yang berbeda, baik Drost, Sindhunata, sahabat saya, dan semua orang yang peduli terhadap hal ini bersama-sama menyuarakan keprihatinan yang juga saya alami terhadap hakekat pendidikan bagi seorang anak yang tentunya adalah hak setiap anak untuk mendapatkannya. Keprihatinan ini didasari pada sikap kebanyakan orang tua yang melihat bahwa pendidikan anak adalah sama dengan proses pengajaran, sehingga si orang –tua menjadi tidak merasa wajib untuk mendidik anaknya sendiri. Sementara dunia pendidikan pun seperti gayung bersambut

description

kiat2 mendidik anak

Transcript of MENDIDIK ANAK

Page 1: MENDIDIK ANAK

MENDIDIK ANAK, TUGAS SIAPA? - 28 Maret 2005 - 01:18   (Diposting oleh: Editor)

(Bagian ketiga dari lima tulisan)

Suatu saat saya melihat sebuah potret kehidupan sepasang suami-istri, yang kebetulan memiliki seorang anak yang masih satu orang berusia menjelang usia sekolah dasar. Sang ayah adalah seorang pengusaha yang cukup sukses memimpin sebuah perusahaan distribusi kartu telepon seluler, sementara sang istri juga sukses dalam pekerjaannya dan saat ini menjadi manager pemasaran sebuah bank yang cukup besar.

Sedang si anak saat ini masih bersekolah taman kanak-kanak, kesehariannya selalu bersama seorang pengasuh dari bangun pagi, mandi, sarapan pagi, ke sekolah, pulang dari sekolah di sore hari karena kebetulan si anak bersekolah dengan program belajar pagi hingga sore setiap harinya, mandi sore, makan sore, menonton tv di sore hari, sampai tidur di malam hari. Sepanjang hari selalu ditemani dan hanya ditemani oleh sang pengasuh.

Ritual keseharian yang dilakukan keluarga itu pun kesehariannya cukup menarik. Sang ayah sudah berangkat ke tempat kerjanya pagi-pagi sekali. Dan pulang hampir selalu pada larut malam. Sementara sang ibu yang terkadang juga ikut menyiapkan sarapan si anak, setelah beres, segera bergegas ke kantor, pulang di sore hari, terkadang juga bersama anaknya sebentar, memberi petunjuk sana-sini kepada si pengasuh bagaimana seharusnya mengurus seorang anak. Terkadang juga keluar dengan mobilnya di malam hari entah kemana.

Hari Minggu yang seharusnya istimewa bagi sebuah keluarga pun, sang ayah lebih sering kembali bekerja keliling mengontrol outlet-outlet toko pulsa isi ulang, yang memang lebih banyak ramai di hari libur. Sedang sang ibu, yang walaupun cukup banyak waktu bersama anaknya seharian itu, ternyata lebih suka untuk menikmati kesendiriannya, entah bermalas-malasan di rumah, ke salon, atau belanja ke mal.

Sekilas memang tidak ada yang salah dari potret keluarga tersebut. Sang ayah dan sang ibu pun sepertinya tidak pernah terlibat konflik yang berkepanjangan, dan mereka sepertinya ‘enjoy’ dengan pola kehidupan seperti itu. Tapi kalau kita mencoba berimajinasi menarik garis kira-kira sepuluh tahun dari sekarang, si anak tentunya telah beranjak remaja. Si anak akan mulai belajar mengenal kehidupan yang sesungguhnya. Si anak tiba-tiba akan di tuntut untuk selalu jujur dalam interaksinya, dituntut untuk selalu bisa menghargai orang lain, dituntut untuk bisa menerima kegagalan, dituntut untuk bisa mengendalikan rasa marah dan kecewa.

Lalu sejak kapankah si anak sebaiknya mulai mengenal itu semua? Akankah dia tahu dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya umur? Akankah sekolah akan selalu menjamin si anak akan terlatih akan hal-hal di atas? Apakah sebuah potret keluarga seperti di atas bisa menjamin kualitas pendidikan yang diterima si anak?

Hak anak untuk mendapatkan pendidikan dari orang tuaSetelah sekitar duapuluh tahun tidak bertemu, tiba-tiba secara tidak sengaja saya ‘menjumpai’ sahabat saya pada sebuah mail-list dimana secara tidak sengaja kita sama-sama menjadi anggotanya.

Sampai sekarang pun susah membayangkan wajah sahabat saya ini sekarang, karena terakhir kita berinteraksi, kalau tidak salah kita masih sama-sama duduk di bangku SMP. Dan sebuah kebetulan pula, walaupun kami menekuni jalur profesi yang berbeda, kami memiliki ketertarikan yang sama yaitu dunia anak dan perhatian akan pemberdayaan keluarga.

Ada sesuatu yang menarik ketika beberapa hari yang lalu, sahabat saya ini mengirimkan e-mail sebuah artikel yang disarikan oleh Sindhunata dari bukunya Drost, S.J yaitu “Sekolah: Mengajar atau Mendidik”. Yang walaupun memiliki kadar substansi yang berbeda, baik Drost, Sindhunata, sahabat saya, dan semua orang yang peduli terhadap hal ini bersama-sama menyuarakan keprihatinan yang juga saya alami terhadap hakekat pendidikan bagi seorang anak yang tentunya adalah hak setiap anak untuk mendapatkannya.

Keprihatinan ini didasari pada sikap kebanyakan orang tua yang melihat bahwa pendidikan anak adalah sama dengan proses pengajaran, sehingga si orang –tua menjadi tidak merasa wajib untuk mendidik anaknya sendiri. Sementara dunia pendidikan pun seperti gayung bersambut menjadi seolah-olah ‘over-acting’ dengan juga menawarkan porsi paket menyeluruh pendidikan anak yang seharusnya menjadi tugas orang-tua.

Dengan berkembangnya ilmu psikologi terutama pada perkembangan jiwa anak, sekarang hampir semua sekolah dari Play-Group –bahkan ada sekolah taman bermain mulai usia sembilan bulan!- sampai SMU, telah diintegrasikan dengan ilmu yang tidak hanya berisi materi ilmu pengetahuan untuk diajarkan tapi juga berisi nilai-nilai budi pekerti sebagai materi pendidikannya.

Saya tetap akan selalu mendukung ketika dari usia Play-group, oleh sekolah telah diidentifikasi secara unik tiap anaknya, sehingga tidak men-generalisasi perlakuan proses belajar, karena menurut saya memang begitulah seorang anak, masing-masing anak memiliki ‘warna’ masing-masing, yang apa pun ‘warna’-nya, pada salah satu titik tempat kita memandang akan selalu terdapat sesuatu yang indah dari mereka.

Saya juga tetap akan selalu mendukung ketika kemudian paket kurikulum sekolah tersebut juga mengintegrasikan hal-hal seperti bagaimana mengucap terima-kasih, mengungkapkan permintaan maaf, menghargai orang lain, menghargai perbedaan, menghargai keindahan dan sebagainya.

Saya hanya melihat bahwa hal tersebut menjadi salah kaprah, ketika para orang-tua yang mampu secara finansial menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah seperti di atas, para orang-tua tadi menjadi seakan ‘bebas-tugas’ atas apa yang seharusnya menjadi hak anaknya, yaitu mendapatkan pendidikan –secara utama- dari orang tua mereka. Bila memang

Page 2: MENDIDIK ANAK

selain orang-tua ada hal-hal yang dapat memberikan materi mendidik kepada si anak, hal tersebut seharusnya hanyalah sebagai pelengkap bagi proses pendidikannya.

Potret keluarga yang saya ceritakan di atas walaupun mungkin bersifat sedikit karikatur, tapi saya melihat bahwa hal tersebut banyak terjadi pada keluarga di sekitar kita. Sebuah potret keluarga yang merasa mampu secara finansial sehingga menganggap bahwa jaminan pendidikan anak pun bisa dibeli.

Karena menurut pendapat saya, pada usia anak dimana mulai belajar akan nilai-nilai, sebenarnya si anak lebih efektif belajar dari cermin keseharian orang-tuanya sebagai contoh akan nilai, daripada visualisasi nilai dalam bentuk verbal atau pun sebuah ‘permainan’ yang belum tentu akan ditangkap makna sesuai yang kita harapkan.

Pada usia sekolah dasar misalnya, seribu kali orang-tua atau guru pengajar memberikan penjelasan arti sebuah sikap kejujuran, bagaikan seperti “panas setahun – hujan sehari “ ketika si anak melihat sebuah sikap ketidak-jujuran diperagakan oleh orang-tuanya dalam interaksi keseharian, entah itu disengaja atau tidak.

Seratus kali di sekolah, guru pengajar memberikan sebuah permainan yang dimaksudkan sebagai bentuk latihan untuk bisa menghargai orang lain, akan menjadi berlalu begitu saja dari ingatan ketika si anak mendengar ayahnya mengomeli peminta-minta di perempatan jalan.

Kewajiban orang-tua untuk memenuhi hak-hak anaknya memang tidaklah mudah. Oleh karena itu sebagai orang-tua kita harus selalu belajar, salah satunya adalah belajar menjadi seorang pendidik yang baik, paling tidak bagi anak-anak kita sendiri!

Sehingga akan sangat disayangkan ketika ada guru pengajar di sekolah atau seorang pengasuh anak, justru lebih tahu semua hal tentang seorang anak daripada orang-tuanya sendiri. (bersambung)

22 Maret 2005Pitoyo AmrihBerdomisili di Solo 

[Pembelajar.Com::]