MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation...

31
Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia MEKANISME DOMESTIK UNTUK MENGADILI PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI SISTEM PENGADILAN ATAS DASAR UU No. 26 Tahun 2000 Prof. Dr. Muladi, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519 Website : www.elsam.or.id Email : [email protected] : [email protected]

Transcript of MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation...

Page 1: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007

Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

MEKANISME DOMESTIK UNTUK MENGADILI PELANGGARAN HAM BERAT

MELALUI SISTEM PENGADILAN ATAS DASAR UU No. 26 Tahun 2000

Prof. Dr. Muladi, S.H.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519

Website : www.elsam.or.id Email : [email protected] : [email protected]

Page 2: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bagian Pertama KERANGKA KONSEPTUAL DAN ASAS-ASAS

1. Pengantar Setiap negara memiliki kedaulatan di dalam wilayahnya dan berhak menentukan suatu sistem hukum nasional yang menentukan berlakunya hukum nasional atas dasar jurisdiksi substansi (ratione materiae), jurisdiksi temporal (ratione temporis), ratione territorial (ratione loci) dan jurisdiksi personal (ratione personae). Namun demikian terdapat perkembangan yang menarik berkaitan dengan proses pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan yang dilindungi hukum internasional (delicta juris gentium) dan merupakan musuh semua umat manusia (hostis humani generis) serta merupakan kepentingan, tugas dan kewajiban seluruh negara untuk menegakkan hukum (responsibility to all state/erga omnes). Pelanggaran HAM berat telah mencederai nurani warga seluruh negara di dunia. Atas dasar pemikiran di atas, proses pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat seperti kejahatan perang (war crimes), genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam sejarah mengalami perkembangan yang sangat bervariasi. Di samping pengadilan nasional (misalnya Indonesia atas dasar UU No. 26 Tahun 2000), berkembang pula pengadilan supranasional ( mis. IMT Nuremberg, IMTFE di Tokyo, ICTR, ICTY dan ICC) dan perpaduan antara pengadilan nasional dan internasional (Hybrid Model) seperti yang berkembang di Sierra Leonne, Kamboja dan Timor Timur. Perkembangan lain yang menarik adalah praktek penerapan jurisdiksi universal (universal jurisdiction) oleh negara-negara tertentu di mana nasionalitas terdakwa atau para korban, atau tempat di mana kejahatan dilakukan tidak menentukan di mana dan kapan suatu peradilan dapat dilakukan., sehingga pengadilan setiap negara dapat mengadilinya. 2. Pengadilan Nasional Sebagai ‘ The Forum of First Resort ‘ Sebelum membahas pengadilan HAM Indonesia, sebaiknya dipahami terlebih dahulu tentang hakekat, asas dan praktek pengadilan nasional dalam konteks hukum internasional. Sekalipun proses peradilan internasional telah banyak mengatur tentang pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) terhadap pelbagai pelanggar HAM berat (kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan), namun sistem hukum nasional tetap merupakan pilihan utama (primary fora) untuk menegakkan pertanggungjawaban tersebut. Hal ini sesuai dengan kewajiban negara untuk menegakkan prinsip supremasi hukum. Pertimbangan lain adalah kedekatannya dengan tempat, suasana dan iklim pada saat kejahatan terjadi, dan kedekatannya dengan pelaku serta korban. Tribunal ad hoc internasional (mis. ICTY dan ICTR) sekalipun menggunakan istilah ‘primacy’ terhadap pengadilan nasional (Art. 9.2 ICTY Statute : ’The International Tribunal shall have primacy over national court’), pada dasarnya tetap memberikan kesempatan mengadili terlebih dahulu kepada sistem pengadilan nasional. Istilah yang digunakan dalam Preamble ICC lebih jelas yakni ‘complementary’ (ICC…... shall be complementary to national criminal jurisdiction).

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 1

Page 3: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

3. Asas-asas Umum Sebagai Landasan Jurisdiksi Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pengadilan nasional tidak mungkin dapat menerapkan jurisdiksi atas semua kejahatan tanpa mempedulikan di mana kejahatan tersebut terjadi. Jurisdiksi nasional tersebut harus mentaati ketentuan-ketentuan baik yang diatur oleh hukum nasional maupun asas-asas hukum internasional. Pada dasarnya terdapat ketentuan hukum internasional yang mengakui 5 (lima) landasan jurisdiksi tersebut : a. Asas teritorialitas (the territorial principle) yang menegaskan bahwa setiap negara berhak mengatur dan

menerapkan hukumnya terhadap perbuatan yang seluruh atau sebagian bagian substansialnya dilakukan di wilayah teritorialnya. Asas ini di beberapa negara mengalami perluasan , yaitu hukum pidana nasional diberlakukan juga apabila suatu bagian elemen utama dari akibat (substantial effect) kejahatan terjadi di negara tersebut (the effect principle);

b. Asas nasionalitas (the nationality principle) yang mengatur bahwa setiap negara dapat menerapkan

jurisdiksinya terhadap pelaku kejahatan yang merupakan warganegaranya, tanpa menghiraukan tempat dilakukannya perbuatan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas, kepentingan, status dan hubungan warganegaranya. Ada negara yang membatasi berlakunya asas ini untuk tindak pidana tertentu yaitu kejahatan berat, tetapi banyak juga yang menerapkannya untuk semua kejahatan tanpa memperhatikan di mana kejahatan dilakukan;

c. Asas perlindungan (the protective principle) yang mengatur bahwa perbuatan yang bersifat extra-

territorial yang dilakukan oleh warganegaranya akan menimbulkan bahaya baik aktual maupun potensial terhadap kepentingan penting negara, biasanya berkaitan dengan keamanan nasional atau integritas dan beberapa fungsi penting dari negara. Termasuk di sini espionage, pemalsuan uang dan sumpah palsu di depan pejabat konsuler;

d. Asas personalitas pasif (the passive personality principle). Asas ini menegaskan jurisdiksi negara untuk

diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukan di luar teritori negara oleh seorang bukan warganegara, di mana korban perbuatan tersebut adalah warganegara negara tersebut. Biasanya hal ini diterapkan terhadap teroris dan pelaku serangan terorganisasi yang lain terhadap warganegara dengan alasan kewarganegaraannya; tidak jarang digunakan untuk mengadili individu yang melakukan kejahatan yang diatur hukum nasional yang dilakukan di luar negeri, termasuk pelanggaran HAM;

e. Asas universalitas (the universality principle) yang sangat penting untuk mengadili pelanggaran HAM

berat dan kejahatan-kejahatan lain yang diakui oleh masyarakat negara-negara sebagai kejahatan yang menarik perhatian internasional seperti pembajakan di laut dan di udara serta mungkin terorisme dan perdagangan budak. Asas ini memungkinkan suatu negara untuk menerapkan jurisdiksi terhadap pelaku kejahatan tertentu yang sangat berat dan berbahaya terhadap umat manusia, tanpa memperhatikan apakah negara tersebut ada kaitannya (nexus) dengan kejahatan, pelaku atau korban. Dalam hal ini setiap negara dianggap mempunyai kepentingan untuk menerapkan jurisdiksi ini atas kejahatan seperti pembajakan, perdagangan budak, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, sabotase dan genosida. Pengalaman menunjukkan bahwa dasar hukum - apakah traktat atau kebiasaan - bervariasi dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lain. Apabila kejahatan tersebut berkaitan dengan suatu ‘erga omnes obligation’ atau suatu ‘jus cogens norm’ (peremptory norms) maka alasan setiap negara untuk menerapkan jurisdiksinya lebih kuat. Namun demikian apabila negara yang memiliki territorial memang berkehendak (willing) dan mampu (able) untuk mengadili, negara lain pada

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 2

Page 4: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

umumnya menangguhkannya. Perjanjian (treaty) yang mengijinkan (permit) negara untuk menerapkan hukum atas dasar jurisdiksi universal termasuk Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Penyiksaan (Torture Convention) 1984. Kemudian yang mewajibkan (require) adalah 1956 Slavery Convention dan Apartheid Convention. Apabila tidak diatur dalam treaty, maka yang berlaku adalah hukum kebiasaan internasional. Dalam hal ini sifatnya mengijinkan (permissive) dan tidak memerintahkan (mandatory). (‘States may, but are not required’). Saat ini dalam beberapa hal diterapkan kewajiban negara untuk mengekstradisikan atau menuntut pelaku (aut dedere aut judicare).

4. Pelbagai Variasi yang Terjadi Sekalipun baik treaties maupun hukum kebiasaan internasional telah mempertimbangkan bahwa pengadilan nasional/domestik merupakan ‘primary arena’ untuk mengadili atas dasar pertanggungjawaban individual, namun ternyata bahwa variasi yang luas dirumuskan dalam pelbagai perjanjian internasional dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lain. Ada yang mengharuskan tetapi ada juga yang hanya mengijinkan. Contoh pertama adalah masalah genosida (genocide). Sekalipun Genocide Convention bermaksud memikirkan keberadaan pengadilan internasional untuk mengadili genosida, hampir semua negara peserta mengantisipasi bahwa pengadilan nasional merupakan ‘the primary fora’. Sehubungan dengan itu, Article VI mewajibkan (requires) para pihak untuk memidana perbuatan genosida yang dilakukan dalam teritorinya. Dalam hal ini ‘extra-territorial jurisdiction’ tidak memperoleh penegasan. Kemungkinan penerapan jurisdiksi territorial didasarkan atas asas nasionalitas dan asas personalitas pasif. Bisa dicatat bahwa sekalipun dalam konvensi tidak secara tegas diatur tentang ‘universal jurisdiction’ (extra-territorial jurisdiction), namun atas dasar ‘customary international law’ hal ini terjadi atas dasar ‘erga omnes nature of the ban on genocide’. Contohnya adalah ‘Eichmann and Demanjuk cases’, yang menegaskan penerapan jurisdiksi universal terhadap genosida. Contoh kedua berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Pelbagai Tribunal internasional yang dibentuk setelah PD II untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (IMT dan IMTFE) acap kali mendasarkan pada asas jurisdiksi universal. Namun demikian dalam beberapa pengadilan yang digelar juga mendasarkan pada asas territorial dan asas nasionalitas. Sebagaimana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan juga tunduk pada jurisdiksi universal. Sehubungan dengan kejahatan perang (war crimes), setiap negara boleh mengadili pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa dan Protocol I; Konvensi mewajibkan setiap negara untuk menetapkan sanksi pidana yang efektif (to provide effective penal sanctions) kepada setiap orang yang melakukan ‘grave breaches’, menemukan pelakunya dan menuntut atau mengekstradisikannya. Sampai dengan tahun 1990-an, tidak nampak adanya penuntutan terhadap kejahatan perang atas dasar instrumen ini murni atas dasar asas universalitas. Terhadap pelanggaran terhadap bagian lain Konvensi dan Protokol, termasuk ‘Common Article 3 ‘ atau Protocol II, nampaknya tidak ada perintah atau kewajiban penuntutan atau ekstradisi, atau ketentuan tentang jurisdiksi universal. Meskipun demikian, hukum kebiasaan cenderung mengakui jurisdiksi universal atas jangkauan yang lebih luas dari kejahatan perang daripada yang masuk kategori ‘grave breaches’ dari Konvensi dan Protocol I. Sebagai contoh adalah Konvensi The Haque 1954 tentang ‘The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict’, mewajibkan negara-negara untuk mengambil segenap langkah-langkah yang diperlukan untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana atau sanksi disiplin terhadap siapa saja, apapun kewarganegaraannya yang

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 3

Page 5: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

melakukan atau memerintahkan terjadinya pelanggaran terhadap konvensi. Hal ini (jurisdiksi universal) bersifat perintah (mandatory), sekalipun konvensi tidak memuat ketentuan pidana yang lain. Contoh yang lain adalah ketentuan yang berkaitan dengan ‘Slavery and Forced Labour’. Di bawah Slavery Convention (1956), negara-negara peserta harus melakukan kriminalisasi terhadap perbudakan dan perdagangan budak, tanpa mempertimbangkan dimana perbuatan terjadi. Bahkan, ‘slave trade’ harus dipidana seberat-beratnya. Dalam hal ini tidak jelas apakah hukum kebiasaan internasional mewajibkan semua negara untuk menerapkan jurisdiksi universal terhadap perbudakan, sekalipun mengenai perbudakan paling tidak negara-negara mengaturnya secara ‘permissive’ atas dasar hukum kebiasaan internasional. Sepanjang mengenai kerja paksa (forced labour), Konvensi 1930 mewajibkan negara-negara untuk memidananya sebagai tindak pidana, sedang ‘Convention on Forced Prostitution’ mewajibkan negara-negara untuk memidana setiap orang yang berperan serta, namun tidak memuat kewajiban untuk melakukan ekstradisi. Contoh selanjutnya adalah berkaitan dengan penyiksaan (torture). Konvensi tentang Penyiksaan secara jelas mewajibkan negara-negara untuk menjamin agar penyiksaan, percobaan untuk melakukannya dan penyertaan (complicity) untuk melakukan penyiksaan merupakan tindak pidana (dikriminalisasikan) dan memidananya secara patut sesuai dengan beratnya. Selanjutnya negara-negara wajib mengatur untuk memidana penyiksaan yang terjadi di wilayah teritorinya, oleh warganegaranya, dan apabila dipandang perlu, terhadap warganegaranya (korban), juga segala keadaan yang lain di mana negara tersebut memilih untuk tidak mengekstradisikan si pelaku. Melebihi ketentuan konvensi, hukum kebiasaan internasional mengijinkan negara-negara untuk menerapkan jurisdiksi universal terhadap penyiksaan. Contoh berikutnya mengenai ‘Apartheid’. Konvensi Apartheid mengijinkan bahkan memerintahkan negara-negara peserta untuk menentukan dan menerapkan kriminalisasi yang dilakukan dimana pun juga (committed anywhere). Tribunal internasional juga dipertimbangkan dan mewajibkan negara-negara untuk mengekstradisikan pelaku sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Contoh terakhir berkaitan dengan kejahatan Penghilangan Paksa (Forced Disappearances). Terlepas dari kejahatan terhadap kemanusiaan asas jurisdiksi dalam hal ini juga mengalami perkembangan. Pada tahun 1992, Resolusi Sidang Umum PBB menyerukan kepada negara-negara anggota untuk mengkriminalisasikan ‘apartheid’ sebagai kejahatan berat dan mewajibkan negara-negara untuk mengekstradisikannya atau menuntut pelakunya, dan menyerukan pengaturan daluwarsa yang panjang. 5. Relevansinya dengan Hukum Nasional Negara-negara peserta konvensi mempunyai kewajiban untuk mengkriminalisasikan dan memidana kejahatan-kejahatan tertentu dalam hukum pidana nasionalnya sebagai pelaksanaan kewajiban tersebut. Bentuk lain adalah bahwa sistem hukum nasional atau domestik mengijinkan untuk secara langsung di bawah hukum internasional. Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan, sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap komitmen internasional. Namun demikian akibat dari bervariasinya kewajiban-kewajiban atas dasar konvensi internasional (treaty-based duties) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka jangkauan (coverage) hukum nasional atau hukum domestik yang mengaturnya juga bervariasi dari kejahatan yang satu ke kejahatan lainnya. Sebagai contoh adalah sepanjang berkaitan dengan ‘genocide’, hukum nasional/domestik membatasi pengaturannya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam wilayahnya (state’s soil),

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 4

Page 6: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

sedangkan mengenai penyiksaan (torture), jangkauannya diperluas meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di mana saja (acts committed anywhere). Di lain pihak, ada juga negara-negara yang dalam hukum nasionalnya mengatur sesuatu yang melebihi kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Mereka mengijinkan penuntutan atas dasar asas universalitas, walaupun konvensi internasional yang relevan hanya mewajibkan penuntutan atas dasar asas teritorialitas. Dalam hal ini ada kemungkinan negara tertentu memidana perbuatan tertentu, padahal konvensi internasional yang relevan tidak mewajibkan pemidanaan. Ruang lingkup pengaturan kewajiban internasional dalam hukum domestik , baik secara lengkap, tidak lengkap atau melebihi apa yang diwajibkan, merupakan pilihan yang harus dipertanggungjawabkan dalam rangka melakukan penuntutan, sesuai dengan pelbagai variasi kewajiban yang digariskan baik dalam konvensi maupun hukum domestik. Dalam kriminalisasi juga terdapat variasi, dimana ada negara yang sepenuhnya mengikuti konsepsi hukum internasional dalam mendefinisikan kejahatan (definition of crime in toto), sementara yang lain berusaha untuk mendefinisikannya sendiri sesuai dengan keutuhan nasionalnya. Di samping itu ada juga negara yang hanya memanfaatkan hukum pidana yang ada yang mengatur ‘common crimes’ seperti pembunuhan (murder) atau penganiayaan (battery) untuk memproses pelanggar HAM. Catatan : Larangan untuk menerapkan ketentuan ‘ordinary crimes’ terhadap pelanggaran HAM berat, sehingga mengakibatkan pengecualian terhadap asas ‘ne bis in idem’ antara lain terdapat dalam Statuta ICTY Article 19. 2 (a). 6. Pengalaman Beberapa Negara Sampai tahun 1990-an penuntutan para pelanggar hukum HAM internasional melalui pengadilan nasional jarang dilakukan. Praktek yang dilakukan negara-negara Sekutu setelah PD II, begitu juga yang kemudian dilakukan oleh Perancis, Australia, Canada, UK, dan Croatia merupakan perkecualian. Sampai tahun 1980-an bisa disebut apa yang terjadi di Yunani (Greek) yang mengadili anggota-anggota junta militer menyusul keruntuhannya tahun 1974. Sepanjang mengenai genosida, di samping kasus Eichmann di Israel tahun 1960-an, hanya ada sedikit penuntutan setelah PD II. Di Equatorial Guinea pemerintah mengadili mantan diktator atas tuduhan genosida dan kejahatan lain. Demikian juga yang terjadi di Kamboja, di mana Pemerintah atas bantuan Vietnam berusaha mengadili Pol Pot Pemimpin Khmer Merah dan Ieng Sari secara in absentia atas genosida tahun 1979. Pengadilan ini boleh dikatakan kurang memadai karena nuansa politik yang besar dan kurang dipenuhinya prinsip ‘due process’ dalam pelaksanannya. Mengenai kejahatan perang (war crimes) pengadilan domestik frekuensinya lebih tinggi atas dasar ketentuan domestik yang mengatur peradilan militer, sekalipun boleh dikatakan sebagian besar kejahatan perang tidak diadili semenjak berlakunya Konvensi Jenewa 1949. Yang dipublikasikan secara luas antara lain yang terjadi di Amerika Serikat yaitu kasus Calley dalam perang Vietnam. Perkembangan selanjutnya bisa dicatat apa yang terjadi di Latvia pada tahun 1996 yang mengadili pejabat-pejabat di era Soviet; kemudian di Guatemala tahun 1980-an yang memproses genosida para mantan pemimpin militer; selanjutnya tahun 1990-an Hungaria memproses pembunuhan-pembunuhan selama pemberontakan tahun 1956. Demikian pula yang terjadi di Argentina pada tahun 1999, di Jerman setelah reunifikasi pada tahun 1990 dan di Ethiopia pada tahun 1991. Indonesia mencatat adanya pengadilan militer terhadap 24 tentara di Aceh, di samping Pengadilan HAM untuk Timor Timur dan Tanjung Priok.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 5

Page 7: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

7. Proses Penuntutan oleh Pengadilan Nasional Negara Lain Pengadilan hukum pidana oleh suatu negara di luar tempat dimana pelanggaran HAM berat terjadi juga merupakan salah satu opsi. Negara yang berusaha mengadili kejahatan yang dilakukan di luar negeri dapat menerapkan jurisdiksi atas dasar nasionalitas pelaku atau nasionalitas korban. Apabila negara tersebut tidak ada kaitannya dengan kejahatan tersebut, asas yang digunakan adalah asas universalitas dengan memberlakukan jurisdiksi universal. Dalam hal ini negara yang bersangkutan harus membuat ketentuan hukum pidana yang mengijinkan penuntutan atas perbuatan extra-territorial atau mengijinkan penuntutan langsung atas dasar hukum internasional. Dalam kerangka ini seharusnya kejahatan internasional yang dilakukan di luar negeri mungkin dituntut atas dasar ketentuan khusus yang diumumkan bahwa negara tersebut mentaati kewajiban hukum internasional. Bisa juga konvensi internasional itu sendiri menentukan bahwa negara tersebut menetapkan hukum yang mengatur tentang perbuatan extra-territorial. Contohnya adalah Konvensi Penyiksaan 1984 mewajibkan negara-negara untuk mengatur ketentuan yang mengijinkan penuntutan terhadap penyiksaan yang dilakukan di luar batas negara. Demikian pula dengan Konvensi Jenewa 1949 dan Protocol I. Dalam kedua hal ini negara-negara harus memiliki suatu perundang-undangan yang diperlukan untuk mengkriminalisasikan ‘grave breaches’ tanpa memperhatikan tempat di mana perbuatan dilakukan. Beberapa negara perundang-undangannya mengatur mengenai perbuatan extra-territorial sekalipun konvensi yang relevan tidak mewajibkan penalisasi perbuatan tersebut. Contohnya adalah AS dan Perancis yang mengatur genosida atas dasar asas nasionalitas dan Perancis atas dasar asas nasionalitas dan personalitas pasif, di samping asas teritorialitas yang ditentukan dalam Konvensi. Beberapa negara juga mengatur kejahatan internasional di samping yang ditentukan dalam Konvensi. Belgia, Spanyol, Swedia dan AS dalam mengatur kejahatan perang mencakup kejahatan-kejahatan lain di luar ‘grave breaches’. Konvensi Jenewa termasuk pelanggaran Protocol II. Pengaturan tentang genosida di Perancis tahun 1992 mencakup pula tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketentuan di Canada yang mengatur tentang kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan mengijinkan penuntutan terhadap seorang asing atas perbuatannya di luar Canada terhadap orang asing lain. Syaratnya adalah atas dasar kehadirannya di Canada . Praktek di pelbagai negara menunjukkan bahwa sampai pertengahan 1990-an terungkap bahwa ada kecenderungan negara-negara tidak menghendaki (unwillingness) untuk memidana pelaku kekejaman yang dilakukan di luar negeri, lebih-lebih bilamana kejahatan tidak dilakukan oleh atau diarahkan kepada warganegaranya. Perkembangan yang menarik terjadi setelah ICTR dan ICTY digelar, dalam hal mana sejumlah negara Eropa mulai menuntut pelaku kejahatan yang berada dalam wilayahnya, atas dasar ketentuan domestik yang melaksanakan Konvensi Jenewa atau Konvensi lain. Tersangka dalam konflik Yugoslavia dapat dituntut di Belanda, Jerman dan Denmark serta Austria dan Swiss. Demikian pula tersangka kasus Rwanda yang dapat dituntut di Swiss, Perancis dan Belgia. Demikian pula yang terjadi di Spanyol dan negara lain, yang menerapkan asas jurisdiksi universal untuk mengadili mantan-mantan pejabat di Chili, Argentina dan Guatemala dalam rezim militer tahun 1970 dan 1980-an seperti Jendral Augusto Pinochet. Januari tahun 2000 Senegal mengadili diktator Chad Hissene Habre yang diasingkan ke Senegal sejak 1990.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 6

Page 8: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perkembangan selanjutnya yang terjadi adalah hukum pidana di beberapa negara mengatur kemungkinan pemidanaan secara extra-territorial terhadap kejahatan biasa. Contohnya Perancis. Bagi warganegara Perancis berlaku untuk semua kejahatan yang dipidana di Perancis dan untuk orang asing terbatas pada kejahatan melawan negara Perancis. Amerika menerapkan prinsip extra-territorial pada orang asing yang melakukan terorisme. KUHP Swedia memungkinkan diadilinya warganegara Swedia dan orang asing yang tinggal di Swedia atas kejahatan yang dilakukan di luar negeri dengan syarat perbuatan tersebut merupakan tindak pidana di tempat tersebut termasuk kejahatan menurut hukum internasional. 8. Kesimpulan a. Pengadilan nasional merupakan ‘the primary forum’ untuk mengadili para pelanggar HAM berat.

Pengadilan di mana kejahatan dilakukan sangat praktis mengingat (1) keterkaitan dengan masyarakat setempat, sehingga memiliki effek ‘deterrent’; (2) memudahkan mencari bukti-bukti, saksi-saksi dan para pelaku; (3) tidak mahal dan lebih mudah dilaksanakan;

b. Kendala terhadap pengadilan nasional biasanya berkaitan dengan (1) disfungsionalisasi pengadilan

karena sebab-sebab tertentu; (2) pelanggaran HAM biasanya berkaitan dengan kebijakan negara ; c. Pengadilan nasional hanya akan efektif apabila (1) dilakukan secara ‘fair and effective’; (2) keberadaan

hukum materiil dan hukum formil yang memadai; (3) penyidik, penuntut umum, hakim dan pengacara terlatih dengan baik; (4) keberadaan infrastruktur sistem peradilan pidana yang memadai; dan (5) keberadaan budaya yang menghormati ‘fairness’ dan ‘impartiality’ dari proses peradilan dan hak-hak pelaku;

d. Eksistensi dari Tribunal internasional, ‘mixed tribunals’ dan penerapan jurisdiksi universal sekalipun

penting untuk memicu digelarnya pengadilan nasional sebaiknya hanya dilakukan apabila pengadilan nasional manunjukkan gejala ‘unwilling and unable’, sehingga peranannya bersifat komplementer terhadap pengadilan nasional.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 7

Page 9: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bagian Kedua CATATAN TERHADAP PENGADILAN HAM NASIONAL

1. Keberadaan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak terlepas dari perkembangan

Pengadilan HAM internasional baik yang bersifat ad hoc (yang berlaku di Nuremberg, Tokyo, Rwanda dan bekas Yugoslavia) maupun yang bersifat permanen (Statuta Roma 1998 tentang the International Criminal Court). Dalam hal ini dapat dikaji : (a) Bentuk peradilan ad hoc tersebut pada Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang berlaku untuk locus dan

tempos delicti tertentu mengacu pada bentuk pengadilan internasional ad hoc, yang antara lain memungkinkan berlakunya prinsip retroaktivitas (sip. hal ini masih perlu diperdebatkan);

(b) Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam

Pasal 7 s/d Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 sesuai dengan penjelasannya disesuaikan dengan “Rome Statute of International Criminal Court “ Pasal 6 dan Pasal 7 (genocide and crimes against humanity);

(c) Beberapa norma yang diatur juga sama dengan yang diatur dalam Statuta Roma 1998, seperti

perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur di bawah 18 tahun pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over persons under eighteen);

(d) Perlindungan korban dan saksi serta kewajiban untuk membayar kompensasi, restitusi dan

melakukan rehabilitasi terhadap korban atau ahli warisnya (sip. pelaksanaannya menunggu PP);

(e) Sistem ‘individual responsibility’ yang digunakan; (f) Pengaturan tentang ‘Responsibility of commanders and other superiors’;

(g) Tidak berlakunya asas daluwarsa bagi tindak pidana di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM (non-

applicability of statute of limitations). 2. UU No. 26 Tahun 2000 masih mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain :

(a) UU No. 26 Tahun 2000 tidak secara tuntas memperhitungkan konsekuensi penyesuaian jenis-jenis tindak pidana (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 dengan Statuta Roma (genocide and crimes against humanity). Hal ini disebabkan karena UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur sekaligus tentang penyesuaian unsur-unsur tindak pidana (Elements of Crimes) yang sesuai dengan Art. 9 Statuta Roma, diharapkan dapat membantu Pengadilan untuk menafsirkan dan menerapkan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana di atas;

(b) UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur ketentuan yang sangat penting bagi pelaksanan proses

peradilan yang merdeka dan tidak memihak sebagaimana diatur dalam Art. 70 dan Art. 71 yang mengatur ‘Offenses against the administration of justice’ dan ‘Sanctions for misconduct before the court’;

(c) Sekalipun di dalam Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 ditentukan bahwa dalam hal tidak ditentukan

lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, namun mengingat kekhususannya sebagai ‘extraordinary crimes’, dalam hal-hal tertentu perlu antisipasi pengaturan hukum acara khusus. Hal

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 8

Page 10: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

ini sesuai dengan Art. 51 Statuta Roma yang menegaskan pentingnya ‘Rules of procedure and Evidence’ yang merupakan instrumen untuk menerapkan Statuta;

(d) Pengaturan tentang perlindungan korban dan saksi serta kompensasi, restitusi dan proses

rehabilitasinya. Hal ini sangat penting karena seringkali berkaitan dengan hukum acara (misalnya saja kemungkinan dilakukannya ‘in camera proceedings’ atau presentasi, pembuktian melalui sarana elektronik).

3. Pengadilan HAM (baik yang bersifat ad hoc maupun permanen) mempunyai semangat (spirit) yang

sama, baik yang bersifat umum (general spirit) maupun yang bersifat khusus (specific spirit). Secara umum keberadaan pengadilan HAM tersebut berusaha mengamankan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar (human rights and fundamental freedom); sedangkan secara khusus keberadaan pengadilan HAM mengandung pelbagai semangat sebagai berikut :

(a) Berupaya untuk menciptakan keadilan bagi semuanya (to achieve justice for all); (b) Mengakhiri praktek ‘impunity’, yaitu sikap mengabaikan tanpa memberi hukuman bagi para

pelanggar HAM berat tanpa perkecualian. Di sinilah urgensi berlakunya ’the principle of individual criminal responsibility/accountability’;

(c) Untuk membantu mengakhiri konflik yang terjadi sebagai awal mula kekerasan dan kekejaman; (d) Khusus pengadilan HAM permanen (bukan yang bersifat ad hoc) bertujuan untuk memperbaiki

kekurangan atau kelemahan (deficiencies) dari pengadilan ad hoc, yang mencerminkan terjadinya ‘selective justice’;

(e) Mencegah timbulnya kejadian serupa di masa datang.

4. Bagi Indonesia mendemonstrasikan pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2000 secara sungguh-sungguh (genuinely) sangat penting untuk membuktikan pada dunia luar (PBB), bahwa kita berkehendak (willing) dan mampu (able) mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi. Tidak mustahil Dewan Keamanan PBB membentuk Tribunal internasional ad hoc nantinya bilamana :

(a) Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi

(shielding) si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b) Terjadi keterlambatan proses pengadilan yang alasannya tidak dapat dibenarkan (unjustified delay);

(c) Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka (independently) dan tidak memihak (impartially).

Inilah yang dinamakan pengadilan pura-pura (sham proceeding) yang bahkan dapat mengesampingkan asas ‘ne bis in idem’. Dalam pelbagai Statuta Tribunal Internasional ad hoc bahkan ada ketentuan bahwa Tribunal Internasional dapat mengadili kembali, bilamana pengadilan nasional mengadili si pelaku atas dasar kejahatan biasa (ordinary crimes). Apabila butir a, b, c tersebut merupakan parameter untuk menentukan ‘unwllingness’ maka ukuran ’inability’ dalam kasus-kasus tertentu terjadi apabila pengadilan mempertimbangkan bahwa telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial atau ketidaksediaan sistem pengadilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti atau sama sekali tidak mampu untuk menyelenggarakan proses peradilan (collapsed). Kedudukan pengadilan internasional jelas lebih tinggi daripada pengadilan nasional. Pengadilan (Tribunal ad hoc menggunakan istilah “primacy”, sedangkan ICC menggunakan istilah yang lebih sopan yaitu ‘complementary’. Sebenarnya dalam hal ini ‘the national courts have primary jurusdiction to try the accused’.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 9

Page 11: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

5. Dalam hal berlakunya asas retroaktif yang dianggap bertentangan dengan asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine lege) merupakan hal yang ‘debatable’. Alasan yang tertera dalam Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000 atas dasar Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 (“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”), tidak sepenuhnya tepat, sebab perkecualian yang nampaknya didasarkan atas Pasal 29 Piagam HAM PBB tersebut hanya berlaku untuk ‘derogable rights’. Padahal hak untuk tidak diadili dengan peraturan yang berlaku surut adalah ‘non-derogable rights’. Atas dasar ‘international customary law’, alasan yang dapat digunakan adalah :

(a) Atas dasar ‘the principle of justice’. Artinya ‘impunity’ terhadap pelaku pelanggaran HAM berat akan

dirasakan lebih tidak adil dibandingkan dengan tidak menerapkan asas legalitas, yang juga ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan; dan

(b) Dalam hal ini tidak ada persoalan asas legalitas, sebab tidak ada perundang-undangan yang baru.

Yang terjadi adalah penerapan hukum kebiasaan internasional (international customary law) dalam peradilan ad hoc dengan locus dan tempos delicti tertentu yang sudah dikenal dalam praktek hukum internasional (Nuremberg, Tokyo, Rwanda, Yugoslavia). Dalam hal ini berlaku asas ‘nullum delictum nulla poena sine iure’.

6. Pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) disebut sebagai ‘extraordinary crimes’ sebab

perbuatan yang keji dan kejam tersebut dapat menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity) dan dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional (a threat to international peace and security). Apalagi bilamana dilakukan secara ‘sistematic or widespread” and ‘flagrant’. Di dalam Art. 1 Statuta Roma kejahatan tersebut dinamakan ‘the most serious crimes of international concern’, yang penanganannya membutuhkan bantuan internasional.

7. Beberapa catatan tambahan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) :

(a) Kejahatan terhadap kemanusiaan sudah bersifat ‘sui generis’/autonomous/self-contained category/new category of crime’, dalam arti tidak ada kaitannya dengan kejahatan perang (war crimes). Pengaturan ICC merupakan puncak dari perkembangan hukum kebiasaan internasional (customary international law);

(b) Dalam perumusan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebelum kata

’penduduk sipil’ (civilian population) ada kata “any” (any civilian population). Hal ini mengandung arti bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilakukan terhadap mereka yang mempunyai nasionalitas seperti pelaku atau mereka yang ‘stateless’ atau mereka yang mempunyai nasionalitas berbeda. Pengertian ‘civilian’ harus diartikan luas termasuk pasien di rumah sakit baik orang sipil atau pejuang yang telah meletakkan senjata;

(c) Sekalipun istilah ‘population’ menunjuk pada kejahatan kolektif (crime in collective nature) dan

mengecualikan apa yang disebut ‘single or isolated or random acts’, namun seorang individu yang melakukan suatu kejahatan dengan korban tunggal (single victim) dapat dipersalahkan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan apabila perbuatannya merupakan bagian dari ‘cruel and barbarous political system‘ atau apabila perbuatan tersebut ‘is the product of a political system based on terror or persecution’. Istilah ‘widepread’ menunjuk pada sejumlah korban sedangkan ‘systematic’ mengindikasikan adanya bentuk rencana yang terpola atau metodis dan jelas (a pattern or

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 10

Page 12: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

methodical plan is evident). Sistematik mengandung arti juga sebagai perbuatan yang merupakan kelanjutan dari sebuah rencana atau kebijakan yang dipertimbangkan sebelumnya (preconceived). Dan seringkali juga ‘organized’. Jadi bukan perbuatan ‘random’, tetapi perbuatan yang bisa menghasilkan perbuatan berlanjut atau ulangan. Selanjutnya istilah ‘widespread’ atau ‘large scale’ mengandung arti bahwa perbuatan tersebut ditujukan ke arah sejumlah korban yang banyak (a multiplicity of victims). Jadi bukan ‘isolated act’ karena kemauan sendiri pelaku dengan satu korban. ‘Policy‘ tidak perlu diformulasikan dan secara normatif dapat disimpulkan di lapangan. Policy bisa dari negara yang pelaksanaannya harus melalui lembaga, personil, sumber-sumber daya negara, tetapi bisa juga ‘policy’ dari ‘non-state actors’ berupa entitas yang de facto menguasai suatu wilayah atau kelompok teroris atau organisasi;

(d) Di samping perlindungan terhadap korban dan saksi, perlu diperhatikan pula perlindungan

terhadap tersangka dan terdakwa (rights of persons during investigation and rights of the accused); (e) Apabila berkenaan dengan ‘Applicable Law’ ICC di samping menggunakan Statuta Roma beserta

Elements of Crime dan Rule of Procedure and Evidence dapat juga menggunakan traktat dan ‘principles and rules of international law’ dan hukum nasional, maka tidak mustahil Pengadilan HAM juga memperhatikan sumber-sumber hukum internasional.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 11

Page 13: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bagian Ketiga KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

1. Pengantar Perkembangan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan sangat menarik untuk diikuti. Hal ini sangat relevan dalam rangka implementasi UU No. 20 Tahun 2000, karena dalam penjelasan Pasal 7 dinyatakan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan “Rome Statute of International Criminal Court”. Dengan demikian pelbagai logika dan spirit hukum dan perundang-undangan yang terkait atas dasar Statuta Roma harus dipahami. Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) pertama kali digunakan pada tahun 1915 pada saat terjadi kasus “massacres of Turkey’s Armenian population”. Tuntutan atas dasar genosida gagal dengan alasan tidak mungkin setelah perang dibuat “retroactive criminal legislation”. Istilah ini muncul kembali pada tahun 1945 sebagai salah satu kategori kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi Tribunal Nuremberg (di samping ‘war crimes’ dan ‘crimes against peace’). Sekalipun penentangan atas dasar larangan retroaktivitas muncul kembali, tetapi Tribunal Nuremberg berhasil meredamnya atas dasar “the principle of justice” dalam rangka mengadili penjahat perang Nazi. Hanya saja muncul pemahaman bahwa pemidanaan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan (nexus) hubungan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan perang (war crimes). Bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap merupakan kembar siam (Siamese twin) dari kejahatan perang. Hal ini bisa terjadi karena Tribunal Nuremberg merupakan “war crimes trials”. Pendekatan ini sangat membatasi proses pemidanaan terhadap pelanggaran HAM berat, sebab dalam kenyataannya kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilakukan di masa damai (committed during peacetime). Setelah itu Sidang Umum PBB berusaha merumuskan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang berat dan keji seperti genosida sebagai kejahatan mandiri yang dapat dilakukan baik di masa damai atau perang atas dasar hukum kebiasaan internasional (international customary law). 2. Unsur-unsur Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Secara umum unsur-unsur kejahatan mencakup unsur obyektif (criminal act, actus reus) berupa adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta tidak adanya alasan pembenar, dan unsur subyektif (criminal responsibility, mens rea) yang mencakup unsur kesalahan dalam arti luas dan meliputi kemampuan bertanggungjawab, adanya unsur kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf. Khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan HAM berat yang lain terdapat prinsip umum bahwa unsur-unsur kejahatan (the elements of crime) terdiri atas : (1) Unsur material yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (consequences) dan keadaan-keadaan

(circumstances) yang menyertai perbuatan;

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 12

Page 14: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

(2) Unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya. Sesuai dengan Art. 30 yang mengatur “mental element”, maka ada kesengajaan (intent) apabila sehubungan dengan perbuatan (conduct) tersebut si pelaku berniat untuk melakukan/turut serta dalam perbuatan tersebut dan berkaitan dengan akibatnya (consequences), si pelaku berniat untuk menimbulkan akibat tersebut atau sadar (aware) bahwa pada umumnya akibat akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut. Sedangkan “knowledge” diartikan sebagai kesadaran (awareness) bahwa suatu keadaan terjadi atau akibat pada umumnya akan timbul sebagai akibat kejadian tersebut. Tahu (know) dan mengetahui (knowingly) harus ditafsirkan dalam kerangka tersebut.

Yang harus mendapat perhatian khusus dalam kejahatan kemanusiaan adalah dua elemen terakhir dari setiap kejahatan terhadap kemanusiaan yang menggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan terjadi. Dua elemen tersebut adalah : (a) Perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) dan

sistematik (systematic) ditujukan pada penduduk sipil; dan (b) Keharusan adanya pengetahuan (with knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan

bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.

Catatan : Kata “systematic” berasal dari suku kata “system”, definisi kerja (working definition). Sistem selalu mengandung konotasi sebagai berikut :

(1) Purposive behavior - the system is objective oriented; (2) Wholism - the whole is more than the sum of all the parts; (3) Openness - the system interacts with a larger system, namely its environment; (4) Transformation - the working of the parts creates something of value; (5) Interrelatedness - the various parts must fit together; (6) Control mechanism - there is a unifying force that holds the system together.

3. Hal-hal yang Harus Dicermati Eliminasi secara tegas hubungan antara kejahatan terhadap kemanusiaan dengan konflik bersenjata (armed conflict) dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB pada saat merumuskan Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dan selanjutnya diakui pula oleh Majelis Banding dari International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dalam suatu kasus (Tadic jurisdictional decision). Perkembangan ini dilembagakan oleh Statuta Roma 1998. Art. 7 diawali dengan paragraf yang menyatakan “For the purpose of this Statute, “crimes against humanity” means any of the following act when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with the knowledge of the attack”. Pengertian “attack” tersurat dan tersirat pada Art. 7. 2 (a) yang menyatakan bahwa “the term of attack is defined as ‘a course of conduct involving the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 against any civilian population, pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such attack’.” Dengan demikian secara implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer (military attack). Selanjutnya dari kata ‘organizational policy’ dapat disimpulkan pula bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh “non-state actors”.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 13

Page 15: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Selanjutnya adanya persyaratan bagi pelaku yang harus memiliki “knowledge of the attack”, harus diartikan sebagai kesengajaan khusus (specific intent). Misalnya, seseorang yang turut serta melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan (murder), tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) atau sistematis (systematic) terhadap penduduk sipil dapat dinyatakan bersalah telah melakukan pembunuhan, tetapi tidak dalam kerangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi perlu pula ditegaskan di sini bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak disyaratkan bahwa si pelaku (perpetrator) telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti (precise details) dari perencanaan atau ‘policy’ dari negara atau organisasi tersebut. Persyaratan yang berkaitan dengan alasan/sebab (‘motive’) kejahatan, sekalipun tidak tercantum dalam definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan (indicator of guilt), di samping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau proporsional. Catatan : Pada Art. 7. 1 (h) kejahatan penganiayaan (‘persecution’) terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan, dicantumkan motif berupa perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional. Jenis-jenis kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan terus meningkat dan berkembang mulai dari Tribunal Nuremberg sampai dengan 11 kejahatan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998. Hal yang cukup menarik adalah jenis kejahatan yang dirumuskan secara terbuka pada Art.7. 1 (k), yakni “other inhuman acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health”. Kiranya hal ini memerlukan kejelasan lebih lanjut demi kepastian hukum (dalam kerangka ‘lex certa’ principle).

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 14

Page 16: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bagian Keempat GENOCIDE

Istilah “genocide” diciptakan pada tahun 1944 oleh Raphael Lewkin dalam bukunya tentang Kejahatan Nazi selama pendudukan di Eropa yang berjudul “Axis Rule in Occupied Europe : Laws of Occupation, Analysis of Government, Proposals for Redress”. Dia berpendapat bahwa perjanjian internasional yang selama dua perang dunia yang ditujukan untuk melindungi minoritas dalam kehidupan nasional mempunyai kelemahan, antara lain kegagalan untuk menuntut kejahatan terhadap kelompok (crimes against groups). Istilah “genocide” diterima setelah beberapa tahun oleh jaksa (bukan hakim) di Nuremberg, dan pada tahun 1946 dinyatakan sebagai kejahatan internasional (international crime) oleh Sidang Umum PBB. Bahkan oleh MU diputuskan untuk diproses sebagai rancangan traktat tentang Genosida. Pada saat itu dipertimbangkan untuk mendefinisikan genosida sebagai kejahatan yang terpisah dan berbeda dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kekejaman (atrocities) yang mempunyai jangkauan yang lebih luas, di samping keterbatasannya yang harus terkait dengan konflik bersenjata internasional (catatan : perkembangan kemudian menunjukkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan pada akhirnya juga menjadi delik yang berdiri sendiri terlepas dari kejahatan perang atau “delictum sui generis”). Apa yang akan ditonjolkan oleh MU PBB adalah bahwa genosida merupakan kekejaman yang dapat pula terjadi di masa damai. Akan nampak kemudian bahwa usaha membedakan ini justru akan membatasi unsur-unsur delik baik yang bersifat unsur mental maupun unsur material. Hal ini akan terlihat dalam “Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide”, 9 Desember 1948, yang sering disebut sebagai inti dari pelbagai traktat tentang HAM (quintessential human rights treaty). Saat ini perbedaan antara genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak begitu penting sebab definisi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan terus berkembang dan pada akhirnya juga mencakup segala kekejaman yang dapat dilakukan baik di masa damai atau masa perang. Genosida dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang mempunyai unsur pemberatan (aggravated). Tribunal Internasional untuk Rwanda menyebutnya sebagai “the crime of crimes”. Tidak mengherankan apabila hal ini mengakibatkan disebutnya “the crime of genocide” sebagai kejahatan pertama dalam Statuta Roma yang menjadi jurisdiksi ICC (International Criminal Court) tanpa adanya kontroversi. Perumusan ini sebenarnya mengambil dari Article II Konvensi tahun 1948. Article 6 dari Statuta Roma tentang ICC dan Article II Genocide Convention 1948 mendefinisikan “genocide” sebagai 5 (lima) perbuatan tertentu atau khusus (specific acts) yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan (intent to destroy) suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau agama. Lima perbuatan tersebut adalah :

- Pembunuhan anggota-anggota kelompok; - Mengakibatkan penderitaan berat baik terhadap badan atau mental; - Menerapkan kondisi terhadap kelompok yang diperkirakan dapat memusnahkan kelompok; - Mencegah kelahiran di dalam kelompok; dan - Secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 15

Page 17: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Seringkali dikatakan bahwa perbedaan antara genosida dan kejahatan-kejahatan lain adalah apa yang dikategorikan sebagai “dolus specialis” atau kesengajaan khusus (special intent). (Catatan : 3 kejahatan yang dirumuskan dalam Statuta Roma mengandung perbuatan pembunuhan (killing or murder)). Apa yang memisahkan antara genosida dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang (war crimes) adalah bahwa genosida harus dilakukan dengan kesengajaan khusus (specific intent) untuk memusnahkan seluruhnya atau sebagian kelompok di atas. Kesengajaan khusus ini mempunyai beberapa komponen. Pelaku harus bertujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut. Dalam perdebatan yang terjadi sebelum Genocide Convention diadopsi, jenis pemusnahan diindikasikan mengandung 3 kategori kemungkinan : fisik, biologis dan kultural. Genosida kultural merupakan hal yang tersulit di antara ketiga kategori, sebab dapat diinterpretasikan meliputi pula penindasan (suppression) terhadap bahasa nasional atau ukuran yang lain. Hal ini akhirnya dikeluarkan dari konvensi. Namun demikian pelbagai saran mengusulkan agar saat ini ketiga bentuk pemusnahan (fisik, biologis dan kultural) tersebut bisa diterima sebagai konstruksi progresif. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa genosida kultural (cultural genocide) terbukti merupakan indikator penting dari “physical genocide”. Definisi genosida tidak memuat secara formal persyaratan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik atau sebagai bagian dari perencanaan yang umum atau terorganisasi untuk memusnahkan kelompok sebagaimana ditentukan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan karakteristik tersirat (implicit characteristic) dari kejahatan genosida. Walaupun demikian harus diakui adanya praktek yang dinamakan “lone genocidal maniac” (Jelesic Case, Former Yugoslavia). Dokumen tentang elemen Kejahatan ICC mensyaratkan bahwa perbuatan genosida terjadi dalam konteks sebuah bentuk nyata atau “manifest pattern” dari perbuatan yang serupa ditujukan terhadap kelompok atau merupakan perbuatan yang dapat mengakibatkan pemusnahan. Kata-kata seluruhnya atau sebagian mengindikasikan dimensi kuantitatif yang signifikan. Kesengajaan untuk membunuh hanya sedikit anggota kelompok bukan merupakan genosida. “Part”, it must be “substantial part”. Tetapi sekali lagi harus dicatat bahwa yang penting adalah bukan jumlah aktual dari korban, tetapi kesengajaan dari pelaku untuk memusnahkan sejumlah besar anggota kelompok. Semakin besar korban semakin logis kesimpulan tentang adanya kesengajaan untuk melakukan pemusnahan tersebut (seluruhnya atau sebagian). Ukuran kelompok atas dasar ikatan politik dan sosial ditolak pada tahun 1948, begitu pula dalam ICC, sebab keempat kategori kelompok tersebut pada kejahatan genosida mengacu pada minoritas etnis dan nasional sebagaimana diatur dalam hukum atau dokumen HAM yang juga terkesan menghindari definisi yang tepat. Kata-kata “as such” merupakan kompromi bahwa di samping “intentional element” terdapat juga “motive”. Motif antara lain bisa berupa kecemburuan, kebencian atau kerakusan. Hal ini sebenarnya mempersulit pembuktian, sehingga banyak ditolak adanya penafsiran definisi. Unsur “mens rea” (mental element) bersifat membatasi 5 perbuatan tersebut di atas, sehingga perbuatan yang saat ini dikenal sebagai “ethnic cleansing” cenderung dipidana atas dasar kejahatan terhadap kemanusiaan.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 16

Page 18: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pembunuhan (killing) merupakan inti dari definisi dan perbuatan terpenting genosida. Hal ini sinonim dengan “murder” atau “homicide” atau menyebabkan kematian. Selanjutnya mengenai jenis genosida kedua (mengakibatkan penderitaan berat baik terhadap badan atau mental, contohnya adalah perkosaan dan penyiksaan , kekerasan seksual atau perbuatan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang lain. Jenis ketiga contohnya adalah menyuruh pergi dengan paksa (force marches) orang-orang Armenia di Turki pada tahun 1915. Khusus mengenai bentuk kelima terdapat syarat bahwa anak-anak yang dipindahkan atau ditransfer berumur di bawah 18 tahun dan si pelaku tahu atau seharusnya harus tahu bahwa yang bersangkutan berusia di bawah 18 tahun.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 17

Page 19: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bagian Kelima PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOMANDAN (CRIMINAL RESPONSIBILITY OF COMMANDERS)

1. Pendahuluan Pertanggungjawaban komando saat ini sangat relevan untuk dibahas karena hal-hal sebagai berikut : a. Pertanggungjawaban komando tidak hanya berlaku di kalangan militer, tetapi juga di lingkungan non-

militer yaitu atasan, baik polisi maupun sipil lainnya (other superiors), terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan bawahannya (subordinates);

b. Pertanggungjawaban komando tidak hanya berlaku di masa perang atau konflik bersenjata, tetapi juga bisa terjadi di masa damai;

c. Di lingkungan militer, pertanggungjawaban komando berkaitan dengan “sacred trust”, yang mengandung baik tanggung jawab juridis maupun tanggung jawab moral yang tidak ada bandingannya dengan posisi pimpinan lainnya;

d. Apabila pertanggungan jawab komando yang bersifat langsung (direct command responsibility) yang berlaku umum telah diatur dalam hukum pidana dalam kerangka Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP (penyertaan tindak pidana), maka konsep pertanggungjawaban komando yang tidak langsung (indirect command responsibility) dalam bentuk “participation by omission” yang berlaku secara khusus dalam pelanggaran HAM yang berat (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan), yang bersumber dari hukum kebiasaan internasional ternyata telah mempengaruhi perkembangan hukum pidana yang bersifat umum, apabila yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat;

e. Bagi Indonesia persoalan pertanggungjawaban komando dalam kerangka “individual responsibility” sangat penting sehubungan dicantumkannya lembaga hukum ini dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengadopsi perumusan Article 28 Statuta Roma Tahun 1998 dan berlaku dalam kerangka kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menjadi jurisdiksi Pengadilan HAM;

Diskusi tentang doktrin pertanggungjawaban komando (the doctrine of command responsibility or superior responsibility rule), khususnya dalam hukum pidana akan selalu menarik, mengingat perkembangannya yang penuh perdebatan dalam hukum internasional maupun polemik yang berkembang dalam hukum nasional. Sekalipun maknanya tidak sesederhana sebagai “military commanders are responsible for the acts of their subordinates”, sebenarnya hal ini bukan sebagai suatu hal yang baru. Pada kira-kira tahun 500 BC, Sun Tzu menulis dalam “The Art of War” bahwa :

“When troops flee, are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault of the general. None of these disorders can be attributed to natural causes.”

Napoleon Bonaparte menegaskan dalam hal ini dengan mengatakan bahwa : ”There are no bad regiments; they are only bad colonels”. Begitu pula King Charles VII of Orleans yang mengeluarkan dekrit yang berisi bahwa komandan militer dapat dipertanggungjawabkan, bilamana di dalam komandonya telah terjadi kejahatan terhadap penduduk sipil, tidak peduli apakah komandan militer tersebut berpartisipasi dalam pelaksanaan kejahatan.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 18

Page 20: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Hugo Grotius dalam bukunya yang legendaries “De Jure Belli Ac Pacis” (1615) menegaskan eksistensi doktrin tersebut. Beliau menyatakan : “We must accept the principle that he who knows of a crime, and is able and bound to prevent it and fails to do so, himself commits a crime”. Dalam periode yang sama (1621) King Gustavus Adolphus dari Swedia mengumumkan “Articles of Military Lawwes to be Observed in the Warres”. Di situ beliau menyatakan bahwa “No Colonel or Captain shall command his soldiers to do any unlawful thing which who so does, shall be punished according to the discretion of the Judges...”. Di Amerika Serikat, “The Article of War” yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 1775 mengatur bahwa :

“Every Officer commanding, in quarters, or in a march, shall keep good order, and to the utmost of his power, redress all such abuses or disorders which may be committed by any Officer or Soldiers under his command; if upon complaint made to him of Officers or Soldiers beating or otherwise ill-treating any person, or committing any kind of riots to the disquieting of the inhabitants of this continent, he, the said commander, who shall refuse or omit to see Justice done to this offender or offenders, and reparation made to the party or parties injured, as soon as the offender’s wages shall enable him or them, upon due proof thereof, be punished, as ordered by General Court Martial, in such manner as if he himself had committed the crimes or disorders complained of”.

Pada tahun 1863, Amerika Serikat mengumumkan “The Instructions for Government of Armies of the US in the Field” yang kemudian terkenal sebagai “Lieber Code”. Prof. Albert Lieber adalah seorang Profesor dari Columbia University yang berperan menyusun ketentuan tersebut. Art. 71 menegaskan :

“Whoever intentionally inflicts additional wounds on an enemy already wholly disabled, or kills such an enemy, or who orders or encourages soldiers to do so, shall suffer death, if duly convicted, whether he belongs to the Army of the US, or in an enemy captured after having committed his misdeed.”

Pada akhir abad ke-19 (1895), dalam tulisannya “Military Law and Precedents”, Winthrop menulis :

“It is indeed the chief duty of the commander of the army of occupation to maintain order and the public safety, as far as practicable without oppression of the population, and as if the district were a part of the domain of his own nation. All officers or soldiers offending against the rule of immunity of non-combatans or private persons in war forfeit their right to be treated as belligerents, and together with civilians similarly offending, become liable to the severest penalties as violators of the laws of war”.

Dalam hukum internasional yang bersifat konvensional yang mengatur perilaku konflik bersenjata, Art. 1 dari Konvensi Den Haag 1907 (mengatur tentang alat dan cara berperang) yang kemudian diatur pula dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protocol Additional 1977 (mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang), dirumuskan kondisi dalam hal mana kombatan harus menghormati hak-hak hukum dari negara yang berperang. Ditentukan pula syarat adanya tentara yang “commanded by a person responsible for his subordinates”. Persyaratan ini menegaskan tanggung jawab komando secara terperinci. Hal semacam ini juga muncul dalam laporan “Commission of the Authors of the War and on Enforcement of Penalties” (1919) setelah PD I, Treaty of Versaiiles dan sebagainya. Masalah tanggung jawab komando menjadi sangat aktual seusai PD II dengan diadilinya para penjahat Perang Dunia II melalui Pengadilan Militer Internasional seperti di Nuremberg (IMT) maupun di Timur Jauh (IMTFE) yang antara lain mengadili Jendral Tomoyuki Yamashita, di samping pengadilan pelbagai negara atas dasar Control Council Law No. 10 yang mengadili para penjahat perang seperti di Canada, Israel, Amerika Serikat, Perancis dan sebagainya, yang banyak mengembangkan hukum kebiasaan internasional.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 19

Page 21: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Masalah “command responsibility” menjadi menghangat kembali (burning issue) sehubungan dengan pengaturannya dalam “Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda” (1994) dan “Statute of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia” (1993) serta “Rome Statute of the International Criminal Court” (1998). Dalam kerangka pengaturan tentang “Individual Criminal Responsibility” Art. 7 Statuta ICTY menegaskan : (i) A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the

planning, preparation or execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime.

(ii) The official position of any accused person, whether as Head of State or Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment.

(iii) The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof.

(iv) The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of superior shall not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice requires.

Hal yang sama juga diatur dalam Art. 6 ICTR. Hal yang lebih lengkap dan agak berbeda dengan dua Statuta di atas tersurat dan tersirat dalam Article 28 Statuta Roma tentang International Criminal Court. Art. 28 tersebut menentukan sebagai berikut : a. A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally

responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces, where :

(i) That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time,

should have known that the forces are committing or about to commit such crimes; and (ii) That military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within

his or her power to prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.

b. With respect to superior and subordinate relationship not described in paragraph (a), a superior shall be

criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by subordinates under his or her effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise control properly over such subordinate, where :

(i) The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that

the subordinates were committing or about to commit such crimes; (ii) The crimes concerned activities that were within the effective responsibility and control of the

superior; and (iii) The superior failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to

prevent or repress their commission or to submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution. “

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 20

Page 22: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Catatan : Kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi ICC adalah : “the crime of genocide, crimes against humanity, war crimes, and the crime of aggression”. Ketentuan tersebut diadopsi oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa : a. Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat

dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :

b. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

c. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

d. Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :

e. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan

f. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Dalam hal ini dapat diidentifikasikan beberapa elemen utama dari pertanggungjawaban komando yaitu : (1) Adanya hubungan antara bawahan-atasan; (2) Atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi kejahatan atau sedang

dilakukan kejahatan; dan (3) Atasan gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah atau

menghentikan tindak pidana atau berupaya untuk menghukum pelaku. Hubungan atasan-bawahan bisa de jure, de facto atau kombinasi antara keduanya.

Jendral Arne Willy Dahl (Hakim dari Norwegia) (2001) memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan, bahwa kagagalan komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan erat dengan nama baik dan reputasi serta kehormatan pasukannya atau bahkan dari negaranya serta berkaitan dengan keprihatinan mendalam dari semua orang yang memiliki kehendak baik. Hal ini juga berkaitan erat dengan kodrat organisasi militer sendiri yang membedakan antara kesatuan militer yang sah dan sekumpulan individu dalam bentuk pasukan liar atau gerilyawan (franc-tireurs).

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 21

Page 23: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Di dalam “The US Army Field Manual” antara lain disebutkan bahwa : “Command is a specific and legal position unique to the military. It is where the buck stops... Command is a sacred trust. The legal and moral responsibilities of commanders exceed those of any other leader of similar position and authority”. 2. Karakter Juridis

Doktrin bahwa para komandan militer dan orang-orang lain yang menduduki posisi dan kewenangan yang lebih tinggi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum dari anak buahnya sudah dimantapkan dalam norma hukum kebiasaan dan perjanjian hukum internasional. Melihat pelbagai perumusan di atas nampak bahwa, pertanggungjawaban pidana ini bisa bersumber dari “actus reus”, baik berupa perbuatan positif dari komandan atau superior (kadang-kadang disebut sebagai “direct command responsibility”) maupun atas dasar kelalaian yang bersifat omisionis (“culpable omissions”, “indirect command responsibility” atau “command responsibility strictu sensu”). Dengan demikian seorang komandan atau superior tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana karena “ordering, instigating, planning, aiding or abetting” tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya, tetapi juga karena kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah atau menghentikan atau berusaha menghukum perbuatan melawan hukum bawahan. Perbedaan antara kedua tipe pertanggungjawaban terletak pada kenyataan bahwa dalam hal perbuatan positif para komandan, hal ini mengikuti apa yang dinamakan “principles of accomplice liability” dalam kerangka teori penyertaan (complicity, deelneming), sedangkan yang kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan “The principle responsibility for omissions” yang bisa terjadi apabila terdapat suatu kewajiban hukum untuk berbuat (legal obligation to act). Sehubungan dengan hal ini Art. 87 dari Protocol Additional to the Geneva Conventions of August 1949 menyatakan bahwa :

“International law imposes an affirmative duty on superiors to prevent persons under their control from committing violations of international humanitarian law, and it is ultimately this duty that provides the basis for, and defines the contours of, the imputed criminal responsibility under Art 7 (3) of the Statute”.

Doktrin modern tentang “command responsibility” boleh dikatakan berakar dari Konvensi Den Haag 1907. Baru pada tahun 1919 (Preliminary Peace Conference), “Commission on the Responsibility of the Authors of the War and on Enforcement of Penalties” merekomendasikan pembentukan suatu tribunal yang dapat menuntut dan memidana mereka yang :

“Ordered, or with knowledge thereof and with power to intervene, abstained from preventing or taking measures to prevent, putting an end to or repressing violations of the laws or customs of war.”

Baru setelah PD II doktrin pertanggungjawaban komando yang bersifat “culpable ommisions” (failure to act) memperoleh pengakuan dalam konteks internasional. Di Perancis (1944) masuk kategori “tolerated the criminal acts of their subordinates” dalam “The Suppression of War Crimes”. Selanjutnya Chinese Law (1946) yang mengatur “The Trial of War Criminals”, hal ini dikategorikan sebagai ”Persons who have not fulfilled their duty to prevent crimes from being committed by their subordinates shall be treated as the accomplices of such war criminals”.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 22

Page 24: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Prof. Bassiouni mengidentifikasi bahwa : “failure to act depends on knowledge and opportunity to act” : (1) In the prevention of the criminal act; (2) Subsequent to the act if the superior failed to supervise, discover and take remedial action as needed

under the circumstances; and (3) Prosecute and if found guilty, punish the violator. Beberapa Pedoman Konseptual dan Empiris

a. The bottom-line for criminal liability is blameworthiness. Menurut Prof. Nico Keijzer, yang banyak

mengkaji pandangan Grotius, dalam hal ini terdapat 3 kondisi pertanggungjawaban pidana komandan atas perbuatan bawahannya :

1. Seseorang mempunyai “control” atas orang lain; 2. Seseorang hanya bertanggung jawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang

diketahuinya (knowledge); dan 3. Seseorang tidak hanya harus tahu, tetapi juga harus mampu untuk mencegah (able to prevent);

dengan demikian “military subordination is a comprehensive but not conclusive factor in fixing criminal responsibility”. Dalam perang modern, banyak langkah-langkah desentralisasi komando, sehingga kemungkinan komander tingkat tinggi tidak dapat selalu memperoleh informasi lengkap dan detail dari operasi militer. Contohnya adalah Presiden Amerika sebagai “Commander in Chief” sulit dijadikan obyek dari “theory of subordination”. Dalam hal ini harus terbukti bahwa ia mengetahui atau dapat dikaitkan dengan kejahatan baik atas dasar “participation” atau persetujuan diam-diam (criminal acquiescene); (The High Command Case); Dalam Art. 87 Protocol Additional I ada istilah “commensurate with their level of responsibility”;

b. Berlakunya doktrin atau pendekatan “Strict Liability” (liability without mens rea). Hal ini muncul dalam

Peradilan Yamashita, di mana jaksa sulit membuktikan bahwa Jendral Yamashita telah memerintahkan kekejaman terhadap penduduk Filipina dan para tawanan orang-orang Amerika dalam pendudukan Jepang. Namun Yamashita sebagai “Commanding General” bala tentara Jepang di Filipina sekaligus sebagai gubernur militer, harus tahu (must have known) atas terjadinya kekejaman yang meluas (widespread) dan berskala besar (enormity), seperti perkosaan, pembunuhan, pembunuhan massal, perusakan harta benda yang meluas baik dalam konteks waktu maupun wilayah. Kejadian tersebut tidak bersifat sporadis dan dalam banyak kasus justru dihadiri dan diawasi oleh perwira-perwira Jepang. Sebagai komandan seharusnya melakukan kontrol efektif, karena kondisi tertentu. Pemikiran rasional menyimpulkan telah terjadinya perencanaan sengaja; Yamashita didakwa telah melakukan “unlawfully disregarded and failed to discharge his duty as commander to control the operations of the members of his command, permitting them to commit brutal atrocities and other high crimes”;

c. The commanding general of occupied territory has the duty and responsibility for maintaining peace

and order, and the prevention of crime. He cannot ignore obvious facts and plead ignorance as a defence; (The High Command Case);

d. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi lebih dari satu kejahatan perang dari kesatuan di

bawah komando dan kehadiran seorang perwira atau “non commission officer” pada saat atau sebelum kejahatan terjadi sangat menentukan pertanggungjawaban komander; Meyer dipidana karena anak buahnya telah melakukan pembunuhan terhadap tahanan (Kasus Kurt Meyer di Canadian Military Court);

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 23

Page 25: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

e. Komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman (has actual knowledge); cukup apabila dia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses melakukan kejahatan atau telah melakukan kejahatan dan yang bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau memidana para pelaku ; (Kasus My Lai /Song My). Hal ini sesuai pula dengan Art. 86 para. 2 Protocol Additional I;

f. “Position of Responsibility” bisa juga berkaitan dengan “Civilian Authorities”. Dalam Rwanda ad hoc

Tribunal, seorang direktur pabrik telah dituntut dan dipidana karena tidak melakukan tindakan campur tangan dan pencegahan kejahatan genosida yang dilakukan bawahannya di luar jam kerja;

g. Pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap “Formal Commanders”, tetapi juga

terhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana dia bisa menggunakan kekuasaaannya sebagai seorang komandan. Hal ini bisa terjadi dalam perang saudara (civil war). Dalam Tribunal ad hoc Former Yugoslavia, seorang yang bertindak sebagai komandan penjara (camp) di Bosnia/Herzegowina sekalipun secara formal tidak pernah ditunjuk dalam jabatan tersebut, tetapi de facto dia adalah komandan (de facto commander), yang tidak melakukan pencegahan pembunuhan-pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan oleh para penjaga penjara;

h. Atas dasar “case law” dari kedua ad hoc Tribunal dan juga Art. 28 Statuta Roma tentang ICC,

“Effective Control” secara umum ditafsirkan sebagai suatu kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu menggunakan kekuasaannya bilamana dia menginginkannya. Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material ability” untuk mencegah dan menahan tindak pidana. Apakah seseorang berada dalam posisi untuk mengontrol atau tidak akan tergantung pada apakah seseorang mempunyai kekuasaan untuk mengeluarkan perintah yang mengikat bawahannya dan untuk mencegah atau menghukum setiap pelaku tindak pidana yang mungkin dilakukan. Dengan demikian “control” harus diartikan sebagai sambungan atau akibat komando (sequel of command). Perkecualian bisa terjadi apabila komandan tidak mempunyai kontrol efektif. Hal ini bisa terjadi apabila komunikasi sama sekali terputus atau karena sesuatu alasan tidak mungkin dilakukan. Contoh lain adalah apabila terjadi suatu pemberontakan (mutiny). Dalam keadaan darurat/bahaya (sipil, militer atau perang), kontrol tidak harus berasal dari komando militer, tetapi juga bisa berasal dari orang yang berwenang, misalnya pimpinan politik atau pejabat pemerintah. Tingkatan komando dan kontrol bervariasi. Bisa operasional, taktis, administratif, eksekutif dalam teritori di bawah kontrol atasan. Tanggung jawab atasan akan banyak tergantung pada derajat kontrol dan cara pelaksanaannya;

i. Seorang Staf sekalipun memiliki pengaruh besar, belum tentu mampu mencegah kejahatan. Sebagai

contoh adalah kasus yang diadili Trial Chamber ICTY. Seseorang bertindak sebagai “co-ordinator of logistic support” tetapi tidak dalam posisi sebagai “superior authority” terhadap pelaku kejahatan, sehingga dibebaskan. Kasus lain yang menarik dalam hal ini adalah apa yang terjadi dalam Tokyo Tribunal (IMTFE) yang mengadili Letjen Akira Muto, yang bebas dalam kasus Rape of Nanking, karena kedudukannya sebagai seorang perwira staf dari Jendral Iwane Matsui. Muto kemudian dipromosikan menjadi Chief of Staff Jendral Yamashita di Filipina. Dalam kasus kekejaman di Filipina, Muto tidak bebas dari pertanggungjawaban komander (shares responsibility) karena dia dalam posisi yang dapat mempengaruhi kebijakan (in a position to influence policy);

j. Istilah “Cognitive Element” mencakup tiga derajat kesadaran :

1. Actually knew; 2. Deliberately took the risk that this would happen, if not knowing it ; dan 3. He should have known that such crimes were about to occur”.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 24

Page 26: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Yang pertama mengandung pengertian “he must have known”. Contohnya adalah kasus Yamashita di mana kejahatan jumlahnya sangat besar (so numerous). Contoh lain adalah Kasus ICTY tentang pembunuhan di camp penjara. Dalam hal ini ada perbedaan antara perumusan ICTR dan ICTY di satu fihak yang menggunakan istilah “had reason to know” dan Statuta ICC di lain fihak yang menggunakan istilah “owing to the circumstances at the time, “should have known” that the forces were committing or about to commit such crimes”. Dalam hal ini Trial Chamber menentukan bahwa “had reason to know” berlaku dan atasan bertanggung jawab apabila informasi sudah diberikan kepadanya, yang menempatkan dia dalam posisi “deliberately taken the risk that the crimes might occur”. Istilah “should have known “dalam Statuta ICC berkaitan dengan standar komander yang selalu mempunyai kewajiban untuk selalu memiliki informasi tentang kinerja anak buahnya. Dua kriteria “deliberately taking a risk” dan “the should have known test” terdapat dalam Statuta Roma Art. 28. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara “military superiors” dan “non military superiors”. “Non military superiors” tidak akan bertanggung jawab secara pidana sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan bawahannya, kecuali mereka “consciously disregarded information” yang jelas-jelas diberikan, bahwa bawahannya melakukan tindak pidana. Dalam hal terdakwa “a military superiors”, berlaku syarat “owing the circumstances at the time, he should have known that the forces were committing or about to commit such crimes”. Dalam hal ini seorang komandan militer dapat dituntut karena “negligence (should have known)”, sedangkan untuk superior sipil harus menggunakan standar yang lebih tinggi, yaitu dia harus memiliki pengetahuan aktual atau konstruktif bahwa kejahatan sedang dilakukan.

k. Dalam kerangka elemen operasional, terkait suatu persyaratan bahwa atasan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana atas kegagalannya untuk campur tangan mencegah atau menghentikan kejahatan. Dalam kasus ICTY yang menyangkut pembunuhan di camp penjara, memang bisa dibuktikan bahwa komandan penjara (Mucic) telah mengeluarkan perintah bahwa tidak seorangpun boleh disiksa, namun dia alpa untuk melakukan “checking” apakah perintahnya dipatuhi. Harus dicatat bahwa hal ini tetap ada batasnya (within his material possibility);

l. Untuk mengukur apakah seorang komander telah “failed in his duty” untuk mengambil langkah-langkah

yang patut dan tepat guna mencegah, menghentikan atau menghukum pelaku tindak pidana, yang dijadikan ukuran adalah apakah seseorang telah bertindak sesuai dengan seorang “reasonable person” dalam posisinya sebagai komander. Contohnya adalah seorang komander dalam tentara El Salvador yang telah dianggap berpartisipasi membunuh petugas gereja Amerika, karena gagal memenuhi kewajibannya seperti tersebut di atas. Sebagai komander ia “should have known” apa yang harus dilakukan terhadap para petugas gereja dan aktivis;

m. Ruang lingkup tanggung jawab individual yang mencakup pula Head(s) of State or Government atau

Responsible Government Official(s) di dalam Art 7(2) mengindikasikan bahwa penerapannya jauh lebih luas daripada sekedar komander militer dan bisa mencakup pimpinan politik dan atasan sipil lainnya sebagai atasan yang berwenang. Semua di bawah “doctrine in certain circumstances”. Contohnya adalah apa yang terjadi pada IMTFE yang mengadili kasus “rape of Nanking”. Dalam hal ini yang dipidana tidak hanya Jendral Iwane Matsui, tetapi juga Menteri Luar Negeri Jepang Koki Hirota yang dianggap gagal menjalankan tugasnya untuk mengambil langkah-langkah untuk mengamankan dan mencegah pelanggaran terhadap hukum perang, padahal yang bersangkutan telah memperoleh laporan tentang kekejaman yang terjadi, waktu tentara Jepang memasuki Nanking. Pengadilan menyatakan bahwa “his inaction amounted to criminal negligence”. Demikian pula terhadap Perdana Menteri Hideki Tojo dan

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 25

Page 27: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu karena dianggap melakukan “omissions to prevent or punish the criminal acts” dari tentara Jepang;

n. Atas dasar pengalaman dua tribunal ad hoc, dalam hal ketiadaan bukti-bukti langsung tentang

pengetahuan superior tentang kejahatan yang dilakukan bawahan, pengetahuan tersebut tidak boleh diperkirakan, tetapi harus dikaitkan dengan bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence) berupa pengetahuan tertentu seperti : “the number of illegal acts; the type of illegal acts; the scope of illegal acts; the time during which the illegal acts occurred; the number and type of troops involved; the logistics involved, if any; the geographical locations of the acts; the widespread occurance of the acts; the tactical tempo of operations; the modus operandi of similar illegal acts; the officers and staff involved; the locations of the commander at the time.”;

o. Hubungan sebab akibat (causation) antara “commander’s or superior’s omission” dengan kejahatan yang

terjadi tidak perlu dibuktikan sebagai unsur terpisah dari pertanggungjawaban komando. Hal ini dianggap sudah melekat (inherent) dalam persyaratan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan dan kegagalan atasan untuk mengambil tindakan dalam rangka kekuasaannya untuk mencegah. Namun demikian harus difahami bahwa pertanggungjawaban komando baru bisa dilakukan apabila telah dibuktikan telah terjadinya “core or principal crimes”, baik dalam bentuk kejahatan perang, kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal “core crimes” ini, sepanjang mengenai elemen material (actus reus) dan elemen mental (mens rea) perlu dikaji ketentuan yang berlaku secara universal (misalnya apa yang diatur dalam dokumen “the Elements of Crimes”, Statuta Roma tentang ICC, 1998). Sekalipun demikian pemahaman mengenai syarat pemidanaan yang berlaku dalam hukum nasional akan sangat membantu, baik yang berkaitan dengan unsur perbuatan maupun unsur kesalahan;

p. Bilamana persyaratan “actus reus” (elemen material) telah diuraikan dalam bagian II makalah ini, maka

prasyarat “mens rea” (elemen mental) nampak dari hal-hal sebagai berikut :

1. Actual knowledge established through direct evidence; or 2. Actual knowledge established through circumstancial evidence, with a presumption of knowledge

where the crimes of subordinates are a matter of public notoriety, are numerous, occur over a prolonged period, or in a wide geographical area; or

3. Wanton disregard of, or failure to obtain information of a general nature within the reasonable access of a commander indicating the likelihood of actual or prospective criminal conduct on the part of his subordinates.

3. Beberapa Kesimpulan a. Istilah komando dan pengendalian yang efektif serta patut mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Power to intervene (to prevent, to put an end and to repress);

2. Ada hubungan bawahan-atasan (commander and forces under his or her effective command and control). Perkecualian bisa terjadi dalam keadaan bahaya (keadaan darurat sipil, darurat militer atau keadaan perang) di mana peranan militer dan sipil “combined” (contoh apabila terjadi pemberlakuan UU No. 23 Prp. Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya);

3. Power to supervise, to discover and take remedial action;

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 26

Page 28: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

4. Setiap saat komandan mampu menggunakan kekuasaannya bilamana menginginkannya (material ability);

5. Kontrol efektif merupakan bagian atau sambungan komando (sequel of command);

6. Seorang staf bisa turut bertanggung jawab (shares responsibility) apabila “in a position to influence policy”;

7. Komandan mempunyai kekuasaan untuk mengeluarkan perintah yang mengikat bawahannya;

8. Mengandung “affirmative duty” baik secara moral maupun hukum;

9. Hubungan bawahan-atasan (subordination) bersifat komprehensif, tetapi bukan merupakan faktor konklusif untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Komander hanya bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang diketahuinya (must have known) atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui (should have known) (either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes). Dalam hal ini dibedakan antara “direct evidence” dan “circumstancial evidence”. Bagi atasan di lingkungan non-militer berlaku persyaratan yang lebih tinggi yaitu “had reason to know” yang mengandung makna “deliberately took the risk that this would happen, if not knowing it”. Misalnya dalam bentuk dengan sadar mengabaikan informasi (consciously disregarded information);

10. Dalam kompleksitas organisasi militer dan non-militer dengan pelbagai sistem pendelegasian komando dan wewenang, maka pertanggungjawaban pidana akan banyak ditentukan oleh teori kesalahan;

b. Tanggung jawab komando mengandung dua aspek :

1. Bersifat langsung (direct command responsibility) dalam bentuk “crime by commission” dalam bentuk penganjuran (instigating, uitlokking), perencanaaan (planning) atau memberikan perintah (ordering). Dalam hal ini bisa terjadi apa yang dinamakan penganjuran yang gagal (163 bis KUHP) karena yang digerakkan tidak mau atau tidak sampai melakukan tindak pidana; dan

2. Bersifat tidak langsung (indirect command responsibility) dalam bentuk “failure to act” atau “criminal participation by omission” (culpable omission). Ada pula yang menyebut sebagai pembiaran (tolerated the criminal act of their subordinates). Dalam hal ini kejahatan harus terjadi dan tidak berlaku Pasal 163 bis KUHP;

c. Dalam kaitannya dengan UU No. 26 Tahun 2000, “indirect command responsibility” hanya bisa terjadi

apabila telah dibuktikan melalui keputusan hakim yang berkekuatan tetap (in kracht van gewijsde) bahwa ada pelaku (perpetrator) atau pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif yang telah melakukan tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM (genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan). Dalam kasus yang ekstrim misalnya pelaku melarikan diri atau meninggal dunia, paling tidak dengan alat-alat bukti yang ada terdapat dugaan kuat telah terjadi tindak pidana tersebut;

d. Tanggungjawab komando juga berlaku dalam kerangka hubungan hierarkhis di lingkungan non

militer, yaitu hubungan antara atasan (superiors) dan bawahan (subordinates). Hanya saja ada persyaratan yang lebih tinggi yaitu atasan tersebut telah melakukan “consciously disregarded information” yang mengindikasikan bahwa bawahan sedang atau telah melakukan kejahatan. Dalam hal ini berlaku doktrin “had reason to know” sehingga atasan berada dalam posisi “deliberately taken the risk that the crimes might occur”.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 27

Page 29: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Bagian Keenam PENUTUP

Indonesia telah memiliki UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam merumuskan kejahatan yang termasuk jurisdiksinya tegas-tegas dinyatakan telah mengikuti Statuta Roma Tahun 1998. Hanya sayangnya dua dokumen lainnya yang melekat tidak pernah dibahas yaitu dokumen tentang “Elements of Crimes” dan dokumen tentang “Rules of Procedures and Evidence”. Juga sangat disayangkan tidak dimasukkannya ketentuan ICC tentang kejahatan perang (war crimes) dalam jurisdiksi Pengadilan HAM. Di samping itu pelbagai rumusan lain dalam Pengadilan HAM juga mengadopsi apa yang diatur oleh ICC. Contohnya adalah Pasal 42 yang mengatur tentang Pertanggungjawaban Komando. Sebagai suatu norma yang baru kita harus mengkaji baik secara teoritik konseptual maupun empiris apa yang telah terjadi dalam praktek hukum internasional yang cenderung sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. Dalam beberapa hal seperti pertanggungjawaban komando, sebenarnya pelbagai diskusi di atas sepanjang bersifat langsung (direct command responsibility) masalahnya dapat ditempatkan dalam kerangka hukum nasional yaitu Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang mengatur tentang penyertaan (deelneming), sekalipun terdapat hal yang relatif baru yaitu “crimes by omission” atau “culpable omission” atau ‘indirect command responsibility’. Dikatakan ‘relatif’ baru, karena secara konseptual kejahatan omisionis juga dikenal seperti pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 berupa pembunuhan dengan sengaja dengan cara tidak memberikan bantuan makanan atau kesehatan atau melalaikan hak POW untuk diadili secara adil. Dalam kerangka ini dipertimbangkan betapa pentingnya studi perbandingan hukum antar negara. Dalam hal ini pula Prof. Nico Keijzer (Hakim Agung Belanda) menyatakan bahwa pelbagai uraian di atas tidak hanya terbatas pada kejahatan perang (war crimes), tetapi harus dilihat sebagai salah satu bentuk “criminal participation” atau “participation by omission” dan dapat berkaitan dengan delik-delik yang lain secara umum.

“The American Model Penal Code” (Section 2.06(3)) menentukan bahwa “ a person is an accomplice of another in the commission of a criminal offence, inter alia, if he , having a legal duty to prevent the commission of the offence, fails to make proper effort to do so”.

Dalam Paragraph 13 KUHP Jerman yang mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap mereka yang mengabaikan untuk mencegah kejahatan agar tidak terjadi, padahal yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk melakukannya. “Participation by omission” juga dikenal dalam yurisprudensi (case law) Belanda sebagai landasan pertanggungjawaban pidana. Mengenai jurisdiksi materi kiranya dapat diusulkan amandemen terhadap UU No. 26 Tahun 2000, agar juga memasukkan juga Kejahatan Perang (War Crimes) di dalamnya sebagaimana ICC, mengingat kejahatan perang tidak hanya berkaitan dengan konflik bersenjata internasional, tetapi juga bisa diterapkan terhadap konflik bersenjata internal. Perumusan yang diambil dari ICC (seperti juga perumusan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) cukup memadai, mengingat perumusannya yang komprehensif. Sebagai rekomendasi lain dapat dikemukakan agar antar negara terjadi harmonisasi hukum mengenai “military codes” dan “rule of engagement” (semacam British Manual of Military Law atau the US Army Field Manual), mengingat telah terbentuknya ICC yang bersifat permanen dan dimungkinkannya dibentuknya peradilan pidana ad hoc oleh Dewan Keamanan PBB yang secara komplementer dapat mengambil alih

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 28

Page 30: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

fungsi peradilan pidana nasional apabila diidentifikasikan telah terjadi “sham proceeding” dan fakta bahwa Pemerintah Indonesia ‘unwilling’ dan “unable” menggelar pengadilan HAM dengan standar internasional (misalnya hanya menerapkan ordinary crimes). Penerapan ‘universal jurisdiction’ oleh negara-negara tertentu terhadap Indonesia, hendaknya dilakukan dengan menghormati kedaulatan nasional Indonesia, di samping memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional dan prinsip-prinsip hukum universal.

Jakarta, 20 Januari 2004

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 29

Page 31: MEKANISME DOMESTIK DALAM MENGADILI · 2015-05-27 · pelanggaran HAM berat (gross/serious violation of human rights) yang dianggap kejahatan yang sangat berat yang melanggar kepentingan

Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Bahan Bacaan Materi : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM 30

DAFTAR PUSTAKA

Bassiouni, M. Cherif, Crimes Against Humanity in International Criminal Law, Martinus Nijhof Publishers,

London, 1992. Heinz, Wolfgang S, and Fruhling, Hugo, Determinants of Gross Human Rights Violations by State and State-

sponsored Actors in Brazil, Uruguay, Cile, and Argentina, 1960-1990, International Studies in Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers, 1999.

International Council on Human Rights Policy, Hard Cases : bringing human rights violators to justice abroad,

a guide to universal jurisdiction, New York, 1999. Jorgensen, Nina H.B., The Responsibility of States for International Crimes, Oxford University Press,

London, 2000. Komnas HAM, Laporan Lokakarya Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Jakarta, 2002. Kittichaisaree, Kriangsak, International Criminal Law, Oxford University Press, Oxford, 2001. Klip, Andre and Sluiter, Goran, Annotated Leading Cases of International Criminal Tribunals (ICTY 1993-

1998), Hart Publisher, Vienna, 1999. Muladi, Demokratisasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002. Robertson QC, Geoffrey, Crimes Against Humanity, The Struggle for Global Justice, Penguin Books, 2000. Ratner, Steven R and Abrams, Jason S, Accountability for Human Rights Atrocities in International

Law, Beyond the Nuremberg Legacy, Oxford University Press, Oxford (Second Edition), Oxford, 2001. Steiner, Henry J, and Alston Philip, International Human Rights in Context, Law Politics Morals, Clarendon

Press Oxford, 1996. Schabas, William A, An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge University Press, 2001. Von Hebel, Herman A.M. et.al, Reflection on the International Criminal Court, TMC Asser Press, The Haque,

1999.