Medias i

7
ediasi, yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator , merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa non- litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat. Meski banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam peraturan-perundangan। Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

description

mediasi

Transcript of Medias i

Page 1: Medias i

ediasi, yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator , merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa non-litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.

Meski banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam peraturan-perundangan। Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Tulisan ini akan mengupas beberapa hal penting mengenai mediasi yang “sempat†diatur �oleh peraturan-perundangan yang ada, yaitu prinsip mediasi, criteria mediator, prosedur mediasi dan beberapa catatan penulis mengenai regulasi mediasi di Indonesia.

B. Prinsip Mediasi

Peraturan-perundangan yang ada tidak secara detail menjelaskan prinsip-prinsip dasar dilaksanakannya mediasi. Peraturan-perundangan tersebut hanya menjelaskan beberapa prinsip mediasi. Pertama, kerahasiaan (confidentiality), yang berarti bahwa proses pelaksanaan mediasi berlangsung secara rahasia. Prinsip kerahasiaan proses mediasi dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (6) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dengan melalui jalur mediasi memegang teguh kerahasiaan. Di samping itu, prinsip kerahasiaan ini juga dapat dilihat dalam Perma No. 02/2003 Pasal 14 ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak yang bersengketa menghendaki lain. Namun, prinsip kerahasiaan proses mediasi tersebut juga memiliki pengecualian. Pengecualian tersebut dapat dilihat dalam pasal 1 butir 9 juncto pasal 14 ayat (2)

Page 2: Medias i

yang menyatakan bahwa proses mediasi untuk sengketa public, yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan bersifat terbuka untuk umum. Kedua, pemberdayaan para pihak (individual empowerment), yang berarti bahwa dalam proses mediasi para pihak yang bersengketa didorong untuk sedapat mungkin menemukan sendiri solusi terbaik permasalahan mereka. Pasal 9 ayat (4) Perma No. 02 Tahun 2003—yang menjelaskan bahwa mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak—secara tidak langsung menjelaskan adanya prinsip pemberdayaan ini.

Ketiga, netralitas atau ketidakberpihakan (impartiality) sebagai salah satu prinsip terpenting dalam mediasi. Prinsip netralitas dan ketidakberpihakan dalam mediasi ini hanya dijelaskan secara tidak langsung dalam pasal 1 butir (5) yang menjelaskan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian perkara. Artinya, seorang mediator sebagai pihak ketiga yang merancang dan memimpin jalannya proses mediasi harus bersikap netral dan tidak memihak. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang mediator tidak diperkenankan untuk berpihak--atau mengemukakan pertanyaan, berpendapat atau berperilaku yang bisa ditafsirkan sebagai pemihakan—kepada salah satu dari pihak yang bersengketa.

Namun, peraturan-perundangan yang ada tidak secara jelas menjelaskan prinsip kesukarelaan (voluntary), yang berarti bahwa para pihak datang ke dalam proses mediasi dengan sukarela. Pasal 2 Perma No. 02 Tahun 2003-- yang menjelaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator—sama sekali tidak mencerminkan adanya prinsip kesukarelaan ini.

Peraturan perundangan yang ada juga tidak secara gamblang menjelaskan prinsip lain yang membedakan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa di pengadilan. Peraturan-perundangan tersebut tidak menjelaskan tentang, misalnya, prinsip mediasi yang dalam proses pelaksanaannya tidak mengedepankan pembuktian materiil karena memang tidak untuk memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Tidak dijelaskannya secara detail prinsip-prinsip mediasi ini tentu menjadi catatan penting bagi peraturan-perundangan yang ada.

   PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

Pengertian Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.

Page 3: Medias i

Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 (PERMA Nomor 2 Th. 2003), dimana dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang  permasalahan permasalahan dalam PERMA tersebut.

Latar Belakang mengapa Mahkamah Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim diuraikan dibawah ini. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hokum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.

Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak.

Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi.

Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui prosesmusyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa

Page 4: Medias i

pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir.

`Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian Sebagai Arternatif Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan AgamaPosted on 26 April 2012 by I Made Somya Putra, SH, MH

Dalam perkara perceraian sebagaimana kasus diatas dapat dijelaskan sebagai berikut ;

Ruang lingkup ketrampilan Non Litigasi adalah seluas ruang lingkup segala sengketa hukum kecuali yang bersifat memaksa tegas dan hokum public. Yang tidak termasuk perbuatan yang tidak bisa dimasukkan ruang lingkup wilayah KNL adalah Bab I yang menyangkut keselamatan umum dan terhadap penguasa dan pasal 449 sampai dengan 528 KUHP.

Tetapi sebenarnya hal ini sangat penting halnya dimasukkan dalam penyelesaian sengketa non Litigasi karena biasanya dalam suatu pengadilan tidak memperhatikan klausula hokum yang nantinya amat menyengsarakan bagi sang pelaku. Pokoknya ruang lingkup Ketrampilan Non Litigasi adalah segala bidang yang masih bisa didamaikan.

Hokum perdata mengatur hubungan antara orang perorang atau badan hokum dengan orang yang menyangkut kepentingan yang diikat oleh hokum baik oleh ketentuan ataupun yang dibuat oleh para pihak. Jadi bidang apapun disini yang merupakan hal-hal masalah perdata yang sebenarnya dapat diselesaikan secara damai baik itu kepemilikan, kebendaan, waris dan segala hal yang diatur dalam BW sebaiknya ketrampilan Non Litigasi yang merupakan cara istimewa dalam pemecahan masalah digunakan dengan sebaik-baiknya.

Proses mediasi ini dapat dikatakan baru dilaksanakan dalam Pengadilan Agama pada tahun 2007 berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2007 (PerMA No. 1/2007). Selain itu, terdapat pula, nomor : 2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan.jadi jelas dasar hukum adanya mediasi dalam perkara perceraian.

Page 5: Medias i

Pada praktiknya, proses mediasi ini dilakukan jika salah satu pasangan nikah ada yg tidak setuju untuk cerai. Jadi: jika yg mengajukan gugatan cerai si istri, tapi si suami menyatakan ia tidak mau bercerai pada saat sidang pertama, maka dilaksanakan-lah acara mediasi tersebut.

Secara detail tentang mediasi dapat dijabartkan sebagai berikut:

Pada saat sidang pertama, majelis Hakim akan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan dalam persidangan, seperti: kelengkapan surat gugatan, surat kuasa, surat panggilan para pihak, dsb. Selanjutnya Hakim akan menjelaskan bahwa sesuai prosedur dimana sebelum dijalankannya proses cerai maka para pihak diwajibkan mengadakan mediasi. Kemudian Hakim bertanya apakah para pihak mempunyai mediator? jika tidak maka Hakim akan menentukan seorang mediator untuk memimpin mediasi para pihak

Majelis Hakim kemudian menentukan Hakim lain untuk menjadi mediator dalam pelaksanaan mediasi tersebut

Mediasi dilakukan di ruang khusus di Pengadilan Agama tersebut (lihat gambar) Umumnya mediasi dilakukan maksimal 2 kali Bila dalam mediasi tidak tercapai perdamaian/rujuk, maka barulah proses perkara

perceraian dapat dilaksanakan

Mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah, sama seperti konsiliasi (tim penyusun Kamus Hukum Ekonomi FLIPS, 1997, Kamus Ekonomi FLIPS, Jakarta: Flips Project, hlm. 111).