mdgs

download mdgs

of 22

description

mdgs

Transcript of mdgs

BAB II

PEMBAHASANThe Millennium Development Goals (MDGs) adalah delapan tujuan pembangunan internasional yang didirikan setelah KTT Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000, setelah adopsi Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebanyak 189 negara anggota PBB pada saat itu (ada 193 saat ini) dan sedikitnya 23 organisasi internasional berkomitmen untuk membantu mencapai Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015, delapan tujuan tersebuat antara lain:A. Memberantas Kemiskinan Dan Kelaparan Ekstrim

Tujuan pertama ini, merupakan tujuan paling penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari tujuan MDGs yang lain. Pada dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain. Artinya, pengurangan kemiskinan dapat diatasi dengan perbaikan kesehatan. Demikian pula dengan pendidikan, anak-anak yang menikmati pendidikan dapat terbantu untuk memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. Selain itu ada beberapa cara untuk mengatasi kemiskinan secara langsung, misalnya menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih baik, atau menyediakan jaring pengaman sosial bagi penduduk termiskin. Di Indonesia pada tahun 2008 berdasarkan data BPS menunjukkan angka kemiskinan nasional adalah 15,4%, atau terdapat hampir 35 juta penduduk miskin. Berdasarkan angka tersebut, artinya pencapaian MDGs kita tidak mengalami kemajuan yang berarti. Untuk kemiskinan, target yang dipatok adalah 7,5% berdasarkan separoh angka kemiskinan tahun 1990 yang berjumlah 15,1%. Sebenarnya kondisi saat ini bahkan lebih parah. Namun, mencermati Gambar 1, akan terlihat bahwa situasi yang ada tidak terlalu buruk. Meskipun angkanya cuku tinggi, namun cenderung menurun.

Gambar 1. Angka Kemiskinan Nasional, 1990-2007

Garis kemiskinan nasionala yang dirumuskan BPS tersebut didasarkan pada jenis pangan yang dikonsumsi, serta sebagai produk lainnya yang biasannya dibeli masyarakat. Namun, tentu saja garis kemiskinan nasional ini mempersulit perbandingan dengan negara-negara lain. Untuk itu digunakan garis kemiskinan internasional yang ditetapkan angka 1 US$ per hari. Pada tahun 2006, disimpulkan bahwa garis kemiskinan 1 US$ per hari di Indonesia setara dengan Rp. 97.000 per bulan, atau kurang dari separuh garis kemiskinan nasional versi BPS. Namun, dengan menggunakan garis kemiskinan ini Indonesia telah mencapai sasaran MDGs, meskipun tampaknya belum ada peningkatan. Meskipun demikian, saat ini bagi Indonesia seperti yang dikatagorikan PBB sebagai negara berpenghasilan menengah, garis kemiskinan yang lebih pas mungkin 2 dollar per hari, atau sekitar Rp. 195.000 per bulan. Jika menggunakan ukuran ini, maka hampir separuh penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan.Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut salah satunya yaitu dengan menyadiakan pekerjaan yang layak untuk penduduk. Pekerjaan yang layak yaitu jenis pekerjaan yang produktif dan memberikan penghasilan yang cukup. Lebih dari itu, pekerjaan seharusnya membuat keluarga lebih kuat secara ekonomi, memiliki suasana kerja yang sehat dan memungkinkan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga. Sederhananya, pekerjaan yang layak akan mengeluarkan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan.Upaya lain pula yang harus dilakukan Pemerintah memikirkan cara membantu kaum termiskin dengan memberikan subsidi bidang kesehatan dan pendidikan, atau dalam beberapa kasus memberikan uang tunai, atau dengan program bantuan Langsung Tunai (BLT). Selain itu, banyak hal lain yang mungkin dapat dilakukan salah satunya yaitu dengan makanan. Karana ada satu ukuran penting dalam MDGs tentang kemiskinan terkait dengan gizi.Targed kedua MDGs adalah mengurangi jumlah anak-anak yang kekurangan gizi hingga separuh. Kekurangan gizi ini mungkin dipicu karena kemiskinan dan kurangnya perhatian itu dalam pemberian Asi eksklusif untuk anak. Masalah kemiskinan misalnya, kondisi ini mengakibatkan ibu kurag memiliki informasi tentang perawatan anak atau hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus bayi. Dengan sedikit perubahan perilaku ibu, maka hal ini akan sedikit mengurangi masalah kekurangan gizi. Selain itu, indikator lain dari kemiskinan dalam MDGs, yaitu apakah seluruh penduduk cukup makan. Dengan menggunakan kriteria FAO dalam mengukur kebutuhan konsumsi minimum, maka hanay 6% dari penduduk Indonesia yang konsumsi hariannya kurang dari standar tersebut. Target tujuan 1 MDGs:1. Target 1 A. Menurunkan proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015.

Menggunakan garis kemiskinan nasional, angka kemiskinan Indonesia padatahun 1990 adalah 15,1%. Dasar perhitungan berubah pada tahun 1996, sehingga sebenarnya data setelah itu tidak bisa begitu saja dibandingkan dengan data-data dari tahun sebelumnya. Seandainya kita menggunakan dasar perhitungan saat ini, angka pada tahun1990 akan sedikit lebih tinggi dari 15,1%. Namun karena belum ada perhitungan ulang, laporan ini menggunakan angka 15,1%. Pada tahun 2006, terjadi peningkatan kemiskinan yang kemudian sedikit menurun pada tahun 2008 menjadi 15,4%. Mencermati berbagai kecenderungan akhir-akhir ini, seharusnya masih mungkin untuk mengurangi kemiskinan menjadi 7,5% pada tahun 2015. Sementara menggunakan garis kemiskinan 1 dollar per hari, situasi sepenuhnya berbeda. Berbasiskan ukuran tersebut, Indonesia telah mencapai target karena berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dari 21% (1990) menjadi 7,5% pada tahun 2008.Dua indikator lain memberikan informasi pelengkap. Indikator yang lebih rumit adalah rasio kesenjangan kemiskinan (poverty gap ratio) yang mengukur perbedaan antara penghasilan rata-rata penduduk dengan garis kemiskinan.pada 1990 rasionya adalah 2,7% dan 2,8% pada tahun 2008, menunjukkan bahwa situasi penduduk miskin belum banyak mengalami perubahan. Indikataor yang lebih sederhana adalah indikator penyebaran penghasilan: total jumlah konsumsi penduduk termiskin secara nasional adalah 20%. Ini pun belum banyak berubah, antara tahun 1990 dan 2008, angkanya berada pada sekitar 9%.2. Target 1B. Menyediakan seutuhnya Pekerjaan yang produktif dan layak terutama untuk perempuan dan kaum mudaUntuk mengukur kemajuan pencapaian target ini, ada empat beih indikator yang digunakan, yaitu:

a. Pertumbuhan PDB per proporsi jumlah pekerja/produktivitas pekerja.

b. Rasio pekerjaan terhadap populasi.

c. Proporsi pekerja yang hidup dengan kurang dari $1 per hari/pekerja miskin.

d. Proporsi pekerja yang memiliki rekening pribadi dan anggota keluarga bekerja terhadapa jumlah pekerja total atau pekerja rentang.

Kemajuan pencapaian target ini diindikasikan dengan semakin tingginya rasio, yang artinya semakin tingginya angkatan kerja yang mendapat pekerjaan

3. Target 1C. Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya natara tahun 1990 dan 2015Indikator pertama adalah prevelansi anak di bawah lima tahun (balita) dengan berat badan kurang. Angka saat ini adalah 28% dan nempaknya akan meningkat. Dengan angka ini, jelas kita tidak akan mencapai target. Indikator kedua adalah proporsi penduduk yang mengkonsumsi kebutuhan minimum per harinya. Dengan menggunaka perhitungan FAO, tampaknya Indonesia masih berada di jalur yang benar untuk mencapai tujuan MDGs.

B. Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk SemuaTujuan kedua MDGs adalah memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan dasar. Mencerati pada garis pada Gambar 2., tercatat bahwa dengan angka 94,7% kita hampir mewujudkan target memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Terlihat pula bahwa angka partisipasi di sekolah lanjutan tingkat pertama meningkat secara stabil.

Gambar 2. Angka Partisipasi di SD dan SMP

Angka partisipasi sekolah di Indonesia memang sudah cukup berhasil. Tetapi tujuan kedua MDGs ini bukan hanya anak bisa sekolah, tapi memberikan mereka pendidikan dasar yang utuh. Kenyataannya banyak anak yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah dasar. Ada yang tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini misalnya, sekitar 9% anak harus mengulang di kels 1 SD. Sementara pada setiap jenjang kelas, sekitar 5% putus sekolah. Akibatnya sekitar seperempat anak Indonesia tidak lulus dari sekolah dasar. Untuk itu masih perlu upaya keras untuk mencapai 100% pada tahun 2015.Jika kita kembali melihat Gambar 2. tampak banwa hanya 67% anak yang mendaftar ke sekolah lanjutan pertama. Ini merupakan tantangan besar mengingat pemerintah bertekad mencapai target yang lebih tinggi dari pda target global MDGs. Target Indonesia adalah wajib belajar 9 tahun, terdiri dari 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP, sementara target global MDGs yaitu pendidikan setara 6 tahun.

Target pencapaian Indonesia memang membutuhkan loncatan yang besar. Harus dilakukan upaya yang cukup keras dalam upaya untuk mempertahankan anak-anak agar tetap bersekolah. Karena sebagian besar keluarga di Indonesia masih tergolong miskin, dan mereka memiliki masalah untuk membayar uang sekolah dan biaya lainnya. Orang tua harus membayar biaya yang besar untuk sekolah maupun seragam. Selain itu untuk tramsportasi, makanan, buku atau perlengkapan tambahan laninnya. Disamping itu sekolah juga dapat menimbulkan masalah jika bisa memberikan sesuatu yang bernilai untuk anak-anak. Selain itu perlu diperhatikan untuk kekurangan guru, karena di wilayah terpencil masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Selain itu, guru juga tidak meluangkan waktu yang ckup di ruang kelas. Jam kerja mereka juga pendek, karena gaji yang rendah mereka biasa kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup.Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan anggaran lebih banyak di bidang Pendidikan, sehingga orang tuassiswa tidak perlu menanggung biaya sekolah yang mahal. Bebrapa tahun terakhir ini, upaya inipun sudah dilakukan oleh pemerintah yaitu sesuai dengan UUD dan UU tentang Pendidikan Nasional , pada tahun 2009 mensyaratkan paling tidak sebesar 20% dari total pengeluaran pemerintah adalah untuk pendidikan dan kesejahteraan guru. Sebagai perbandingan , jumlah tersebut adalah separuh pengeluaran Malaysia.

Mulai tahun 2008, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemerintah wajib memenuhi kewajiban 20% alokasi APBN untuk pendidikan. Pemerintah pusat mengendalikan semua dana tersebut untuk perbaikan fasilitas sekolah, beasiswa untuk siswa-siswa paling miskin, memulai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Uang tersebut memang tidak diberikan pada keluarga murid, tapi diberikan pada sekolah agar mengelolanya sehingga tidak perlu menarik biaya dari para murid. Program ini memang menuai banyak maslah, karena kadang dana tidak tersalurkan pada sekolah yan tepat. Namun, melihat kondisi saat ini nampaknya BOS membawa pengaruh yang berarti dalam hal pendanaan sekolah. Oleh karena itu bangsa Indonesia optimis, target MDGs ke dua dapat tercapai 100% padatahun 2015.Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan target dari MDGs yang kedua ini memiliki indikator ketercapaian sebagai berikut:

Target 2A: Memastikan bahwa pada tahun 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan akan bisa menyelesaikan pendidikan daar secara penuh.

1. Indikator yang pertama yaitu untuk tingkat partisipasi di sekolah dasar, Indonesia telah mencapai angka 94,7%. Berdasarkan kondisi ini, kita dapat mencapai target 100% pada tahun 2015.

2. Indikator kedua berkaitan dengan kelulusan, yaitu proporsi anak yang memulai kelas 1 dan berhasil mencapai kelas 5 SD. Untuk Indonesia proporsi ini tahun 2004/2005 adalah 81%. Namun, SD berjenjang hingga kelas enam. Jumlah itu terus meningkat hingga 77%. Artinya, kita bisa mencapai target yang ditetapkan. Data kelulusan yang digunakan dalam laporan ini berasal dari Depatermen Pendidikan Nasional berdasarkan data pendaftaran sekolah. Berbeda dengan Susenas (2004) yang menghitung angka yang jauh lebih besar, yaitu sekitar 95%.3. Indikator ketiga yaitu angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Dalam hal ini, nampaknya cukup berhasil dengan pencapaian 99,4%. Meskipun demikian, kualitas melek huruf yang sesungguhnya mungkin tidak setinggi itu karena tes baca tulis yang diterapkan oleh Susenas terbilang sederhana.

C. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Kesetaraan gender bukan hanya mengenai perempuan, tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, karena target ini menekankan pada pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan issue terbaik lainnya.

Dalam banyak hal, Indonesia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun masih cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertaman, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen, untuk hal ini kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang.Saat ini, semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Bahkan terjadi kemajuan yang cukup mengejutkan, seperti terlihat pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Rasio Perempuan terhadap Laki-lakiGrafik tersebut menunjukkan rasio antara anak perempuaan dan laki-laki terbilang seimbang, diman rasio yang ditunjukkannya mendekati 100% sejak 1992. Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama, garisnya berada di atas 100%, artinya terdapat lebih banyak anak perempuan dibanding anak laki-laki.

Meskipun ada penurunan pada tahun sebelumnya, anak perempuan sepertinya berada di depan pada sekolah lanjutan pertama. Ini mungkin kakak laki-laki mereka meninggalkan sekolah untuk bekerja. Biasanya terdapat bannyak kesempatan bekerja untuk anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Namun, di sekolah menengan atas situasi kembali lebih seimbang. Cara lain untuk mengukur kemajuan adalah dengan berapa banyak anak putus sekolah. Namun, di sekolah lanjutan terlihat bahwa lebih sedikit anak perempuan yang putus sekolah. Hal tersebut, mungkin karana anak laki-laki memiliki lebih banyak kesempatan kerja. Menariknya, bahwa keluarga miskin maupun kaya sama giatnya menyekolahkan anak mereka ke sekolah dasar. Dalam hal ini tidk banyak perbedaan. Tentu saja, ketika anak tumbuh dewasa keluarga miskin memiliki kesempatan lebih kecil untuk memasukkan anak mereka ke sekolah lanjutan. Namun, yang peling mengesankan, adalah yang terjadi di perguruan tinggi. Hal ini dapat di lihat dalam Gambar 1, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah perempuan yang masuk perguruan tinggi kini lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sekitar 15% remaja yang beranjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan pendidikan tinggi. Kemajuan yang dicapai anak perempuan juga terlihat dalam tingkat melek huruf. Tahun 2006 tingkat melek huruf adalah 91,5% untuk laki-laki, dan hanya 88,4% untuk perempuan. Ini karena di masa lalu lebih sedikit anak perempuan yang bersekolah. Sekarang situasi sudah semakin setara. Untuk mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, tingkat melek huruf baik untuk laki-laki an perempuan hampir mendekati 100%.Terkait kesempatan untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi. Namun ketika anak perempuan bersekolah, banyak ketimpangan atau ketidaksetaraan yang harus dihadapi. Panutan pertama mereka adalah para guru. Di sekolah dasar, terdapat banyak guru perempuan dibanding laki-laki.Kesenjangan lain yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yaitu sepertinya anak perempuan memiliki bidang yang berbeda dari anak laki-laki. Hal ini tampak jelas pada murid yang mengambilsekolah kejuruan.

Gambar 4. Anak Laki-laki dan Perempuan yang Sekolah KejuruanDari Gambar 4 tersebut terlihat anak perempuan jarang memiliki sains (science) dan teknologi. Lebih banyak anak perempuan yang emilih sekolah pariwisata, namun situasi ini lebih seimbang bagi yang mengambil sekolah lanjutan umum. Terdapat jumlah yang sama antara anak laki-laki dan perempuan yang mempelajari sains. Selain melihat bidang studi yang diambil, juga dapat ditelaah apa yang terjadi ketika anak perempuan putus sekolah untuk bekerja, dengan melihat berapa banyak yang bekera di luar rumah atau di luar lahan pertanian. Target pembangunan Melenium melihat ini dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang bekerja di pekerjaan upah non pertanian.Puncaknya pada tahun 1998. Saat itu adalah puncak krisis ekonomi, ketika mungkin laki-laki lebih banyak kehilangan pekerjaan dibandingkan perempuan. Setelah itu siatuasi perempuan lebih memburuk, dan hanya sedikit berubah selama beberapa tahun terakhir.informasi terakhir diperoleh dari berbagai survey tentang proporsi pendiuduk dewasa dalam angkatan kerja. Misalnya, pada tahun 2004, proporsi laki-laki adalah 86% namun perempuan hanya 49%. Selain kurang mendapatkan lapangan pekerjaan, perempuan juga cenderung mendapatkan lapangan pekerjaan, perempuan juga cenderung mendapatkan pekerjaan tidak sebaik laki-laki. Di pabrik-pabrik industri tekstil, pakaia dan alas kaki misalnya, banyak perempuan muda yang bekerja dengan upah rendah. Demikian pula di pemerintahan, perempuan hanya menduduki 9,6% jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintah. Perempuan kjuga kurang terwakili di dalam bidang politik.Indonesia pernah memiliki Presiden perempuan, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih maju dibandingkan dengan negara lain. Namun, dalam jenjang jabatan politik di bawahnya, perempuan kurang terlihat. Hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Demikian juga yang menjadi bupati atau gubenur. Indikator MDGs untuk ini adalah proporsi perempuan yang menjadi anggota DPR. Angka rata-rata dunia untuk hal ini cukup rendah, yaitu sekitar 15%. Proporsi Indnesia bahkan lebih rendah, masing-masing 13% (1992), 9% (2003) dan 11,3% (2005). Pada tahun 2005 mengalami peningkatan mungkin karena Undang-undang tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang mewajibkan Partai Politik untuk sedikitnya memiliki paling sedikit 30% calon perempuan. Tidak semua partai politik dapat mewujudkan hal tersebut. Bahkan umumnya menaruh perempauan di urutan terbawah dalam daftar calon legeslatif (caleg), posisi dimana sang caleg tidak akan terpilih. Yang menarik dari DPD, dimana para calon tidak mewakili partai politik, perempuan mendududki sepertiga dari kursi yang ada dan lebih dari 30% perempuan yang mencalonkan diri terpilih dalam pemilihan anggota DPD. Tampaknya, pemilih cukup mendudkung terpilihnya perempuan. Masalahnya, bagaimana agar bisa menjadi calon salah satu partai politik besar. Perempuan juga terwakili di tingkat daerah, terutama karena harus memikul tanggng jawab rumah tangga. Karena itu terkait dengan kesetaraan gender secara menyeluruh kita telah cukup berhasil dalam pendidikan namun anak perempuan dan masih banyak menghadapi hambatan budaya dan eknomi

Targer 3A. Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan lanjut lebih baik pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan paling lambat tahun 2015, dengan Indikator:

1. Indikator utama dari dalam hal ini adalalah rasio anak perempaun terhadap anak laki-laki di pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi. Disini Indonesia tampaknya sudah mencapai target, dengan rasio 100% di sekolah dasar, 99,4% di sekolah lanjutan pertama, 100% di sekolah lanjutan atas, dan 102,5% di pendidikan tinggi.2. Indikator kedua adalah rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki untuk usia 15-24 tahun. Disinipun, kita tampaknya kita telah mencapai target dengan rasio 99,9%.

3. Indikator ketiga adalah sumbangan perempuan dalam kerja berupah di sektor non-pertanian. Disini kita masih jauh dari kesetaraan, nilainya saat ini hanya 33%.

4. Indikator keempat adalah proporsisi perempuan di dalam parlemen, dimana proporsisinya saat ini hanya 11,3%.

D. Menurunkan Angka Kematian Anak

Setiap manusia pasti ingin menikmati hidup panjang dan hidup sehat. Kenyataannya, sekarang memang angka harapan hidup itu lebih panjang. Antara tahun 1970 dan 2005, usia harapan hidup di negara Indonesia rata-rata meningkat sekitar 15 tahun. Anak-anak yang lahir di Indonesia saat ini dapat mengharapkan hidup hingga usia 68 tahun. Angka harapan hidup yang tinggi inilah yang dapat dijadikan indikator kesehatan. Namun, ada satu ukuran lain yang sangat penting, yaitu jumlah anak-anak yang meninggal. Anak-anak terutama bayi lebih rentang terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Itulah sebabnya tujuan keempat MDGs adalah mengurangi jumlah kematian anak.Bayi adalah anak di bawah usia satu tahun. Ketika melihat pada angka kematian anak biasanya merujuk pada anak di bawah usia lima tahun (balita). Sedangkan yang dimaksud dalam pengurangan kematian bayi dalam MDGs adalah bayi berusia kurang dari satu tahun. MDGs menargetkan pengurangan angka kematian bayi pada tahun 1990 menjadi duapertiganya. Artinya, Indonesia harus menurunkannya dari 97 kematian menjadi 32. Perkiraan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 5.

Gambar 5. Angka Kematian Bayi dan Balita di IndonesiaMelihat grafik dalam Gambar 5 di atas sepertinya Indesia hampir mencapai target. Dari grafik tersebut terlihat angka kematian bayi dan balita cenderung menurun dan diprediksikan tahun 2015 semuanya sudah mencapai target yang diharapkan. Menurunnya angka kematian tersebut disebabkan karena beberapa alasan, salah satunya yaitu karena sudah berkurangnya kemiskinan. Artinya anak-anak tumbuh berkembang di lingkungan yang lebih sejahtera dan sehat. Semakin sejahtera kehidupan keluarga, semakin mungkin anak-anak dapat bertahan hidup. Karena itu, tidak mengejutkan bahwa angka kematian juga lebih tinggi di propinsi-propinsi termiskin. Selain karena berkurangnya kemiskinan, proporsi penurunan kematian bayi juga disebabkan karena adanya perbaikan kesehatan dengan memberikan imunisasi pada bayi dan balita untuk hampir semua anak-anak di seluruh wilayah, walaupun belum semuanya terjangkau. Salah satu imunisasi yang diberikan adalah imunisasi polio dan campak jerman (rubella), karena campak merupakan salah satu pembunuh terbesar untuk bayi. Diperkirakan di Indonesia 30.000 anak meninggal setiap tahun karena komplikasi campak, dan 303 anak lumpuh karena polio. Oleh karena itu setiap bulan ada pelayanan imunisasi campak dan polio untuk mengurangi angka kematian bayi dan balita tersebut. Untuk itu imunisasi tidak hanya tergantung pada orang tua, tapi diperlukan sistem kesehatan yang terkelola dengan baik. Telah banyak yang dibelanjakan untuk kesehatan, namun diperlukan lebih banyak anggaran karena saat ini belanja negara untuk kesehatan hanya sekitar 5% dari APBN. Penduduk miskin, khususnya yang tergantung pada layanan publik akan menderita jika investasi untuk staf puskesmas berikut staf kurang memadai.Dibutuhkan banyak dana untuk mencapai target MDGs keempat ini, bukan hanya untuk upaya penyemuhan namun juga pencegahan penyakit. Kematian anak bukan hanya terjadi pada tahun pertama, namun juga cukup banyak yang terjadi pada minggu atau bahkan hari-hari pertama kehidupan mereka. Artinya kualitas layanan kesehatan ibu dan anak harus lebih diperbaiki, khususnya sepanjang kehamilan dan segera setelah persalinan. Inilah yang membawa kita pada tujuan MDGs yang selanjutnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan target yang akan dicapai pada tujuan MDGs yang keempat ini adalah:Target 4A: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya antara tahun 1190 dan 2015. Dengan indikator yang harus dicapai yaitu:

1. Indikator utama dari tujuan ini adalah angka kematian anak di bawah lima tahun (balita). Target MDGs adalah untuk mengurangi dua pertiga angka tahun 1990. Di Indnesia saat itu jumlahnya adalah 97 kematian per 1000 kelahiran hidup. Target saat ini adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian Indonesia cukup berhasil.

2. Indikator kedua adalah proporsi anak usia satu tahun yang mendapatkan imunisasi campak.E. Meningkatkan Kesehatan IbuMelahirkan seharusnya menjadi peristiwa bahagia tetapi seringkali berubah menjadi tragedi. Sebenarnya, hampir semua kematian tersebut dapat dicegah. Karena itu tujuan kelima dari MDGs difkuskan pada kesehatan ibu, untuk mengurangi kematian ibu. Namun, saat ini masih ada beberapa keraguan tentang penyebab kematian ibu. Perkiraan hanya didasarkan pada informasi dalam laporan kematian yang bisa jadi disebabkan oleh berbagai alasan, terkait ataupun tidak terkait dengan persalinan. Perkiraan tingkat kematian ibu di Indonesia terlihat dalam Gambar 6.

Gambar 6. Tingkat Kematian Ibu

Gambar 6. tersebut menunjukkan bahwa tingkat kematian ibu telah turun dari 390 menjadi 307 per 100.000 kelahiran. Artinya seorang perempuan yang memutuskan untuk mempunyai empat orang anak memiliki kemungkinan meningggal akibat kehamilannya sebesar 1,2%. Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, terutama di daerah miskin an terpencil. Untuk itu target MDGs yang kelima ini adalah menurunkan rasio hingga tiga perempatnya dari angka tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio saat itu adalah sekitar 450, target MDGs adalah sekitar 110.Upaya untuk mencapai targed MDGs tersebut dapat dimulai dengan penggunaan alat kontrasepsi. Dimana metode yang paling umum dipakai adlah suntik diikuti oleh pil. Setelah itu berbagai potensi maslah lainnya dapat dicegah apabila para ibu memperoleh perawatan yang tepat sewaktu persalinan. Oleh karena itu, seharusnya persalinan dengan tenaga tradisional harus dihentikan, karena jika terjadi komplikasi tenaga persalinan tradisional mungkin tidak dapat mengatasi. Maka diperlukan tenaga terampil, untuk itu pemerintah sudah mengirimkan tenaga Bidan terampil di seluruh daerah, sehingga peristiwa komplikasi kehamilan dapat segera diatasi. Komplikasi saat kehamilan memang dapat menyerang semua perempuan, baik kaya maupun miskin, diperkotaan maupun pedesaan, tidak peduli sehat ataupun cukup gizi. Itu artinya persalinan harus diperlakukan sebagai satu potensi keadaan darurat yang mungkin memerlukan perhatian di pusat kesehatan ataupun rumah sakit, untuk penanganan cepat. Pengalaman internsional menunjukkan bahwa sekitar separuh dari kematian ibu dapat dicegah oleh bidan terampil, sementara separuh lainnya tidak dapat diselamatkan akibat tidak adanya perewatan yang tepat dengan fasilitas medis memadai.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan jika hendak mewujudkan tujuan yang berkaitan dengan angka kematian ibu, perlu memperbaiki perawatn di pusat-pusat kesehatan. Lebih dari itu, juga perlu dipikirkan tentang apa yang terjadi sebelum dan selama kehamilan. Bahkan jika tidak dapat meramalkan keadaan darurat, harus dpipastikan bahwa ibu berada dalam kondisi tebaik dan tetap bertahan, dengan gizi yang cukup. Saat ini, sekitar seperlima perempuan hamil kekurangan gizi dan separuhnya menderita anemia. Anemia adalah rendahnya kadar zat besi dalam darah. Anemia membuat perempuan jauh lebih rentang untuk sakit dan meninggal. Namun demikian, mereka dapat mengganti kekurangan zat besi dengan mendatangi klinik pra persalinan untuk meminta suplemen zat besi. Perempuan yang secara rutin mendatangi klinik pra persalinan biasanya mengetahui apa yang harus mereka lakukan apabila terjadi keadaan darurat. Selain melindungi kesehatan ibu, perawatan pra dan pasca persalinan juga memberi manfaat pada anak-anak serta dapat menyelamatkan nyawa meraka.Pada tujuan MDGs sebelumnya dikatakan bahwa saat ini kebanyakan anak meninggal segera setelah kelahiran. Ini adalah salah satu contoh tentang keterkaitan antara semua tujuan-tujuan MDGs. Bila ada kemajuan di satu tujuan, sangat mungkin untuk mencapai tujuan lain.

Berdasarkan urauian di atas dapat disimpulkan target dari MDGs kelima ini adalah:

1. Target 5A: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempat antara tahun 1990 dan 2015

a. Indikator pertama berdasarkan data tahun 1990 berasal dari tahun 1995. Berdasarkan data tersebut, target yang harus dicapai adalah 97. Melihat kecenderungan saat ini, Indonesia tidak akan mencapai target.

b. Indikator kedua yaitu proporsi persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, saat ini menunjukkan angka 73%.2. Target 5B: Mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi untuk semua pada tahun 2015.

Penggunaan kontrasepsi oleh wanita usia 15-49 tahun meningkat menjadi 61%. Perawatan antenatal juga mengalami peningkatan. Akan tetapi, dengan keterbatasan data sulit untuk mengukur sejauh mana pencapaian target akses untuk kesehatan reproduksi.

F. Memerangi HIV Dan AIDS, Malaria Serta Penyakit LainnyaHIV dan AIDS

Tujuan keenam dari MDGs adalah menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya. Pda urutan teratas adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus penyebab Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan. Indonesia beruntung bahwa HIV belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki-laki. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut komposisi penenggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 samapi Juni 2008 tercatat 12.686 kasus AIDS, 2.479 di antaranya telah meninggal.

HIV saat ini masih menjadi ancaman utama, seperti yang terjadi di negara-negara lain penularan awalnya menyebar cepet di antara dua kelompok beresiko tingg, yaitu para pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif lainnya, Napza, Suntik (penasun) dan pekerja seks. Dari sana HIV menyebar ke penduduk lainnya sehingga menyebabkan epidemi yang menyebar ke populasi umum (generalized epidemy). Di Indonesia Papua merupakan daerah yang sudah memasuki kondisi generalized epidemy. HIV tidak menyebar melalui sentuhan, tapi melalui kontak langsung dengan darah yang tertular atau melalui hubungan seks tanpa pelindung. Para pengguna narkoba beresiko tinggi karena mereka sering tukar menukar jarum suntik, sehingga memungkinkan penularan dari sisa darah pada alat suntik yang baru digunakan dari satu orang ke orang lainnya. Selain itu, para ibu hamil yang terinfeksi HIV juga dapat menularkan ke anak yang baru mereka lahirkan, melalui pemberian ASI kepada bayinya.

Masalah HIV ini salah satu penyebabnya adalah rendahnya penggunaan kondom. Di Indonesia hanya sekitar 1,3% pasangan yang menggunakan kondom sebagai alat KB. Oleh karena itu HIV berpotensi untuk menyabar dengan cepat. Di Tanah Papua misalnya telah menunjukkan betapa cepatnya virus tersebut menyebar. Di Papua saat ini sudah terjadi epidemi yang menyebar ke masyarakat luas, dimana 2,5% penduduk di dua propinsi Papua hidup dengan HIV. Seperti yang terjadi di tanah Papua ini menggambarkan Indonesia menghadapi resiko penyebar HIV yang lebih cepat melalui penularan seksual.HIV saat ini belum dapat disembuhkan. Salah satu upaya untuk mengatasinya yaitu dengan mengurangi kemungkinan menularkannya pada pasangan. Namun, meskipun belum dapat disembuhkan saat ini ada obat-obatan yang disebut antiretroviral yang dapat membantu mengendalalikan laju penyakit tersebut. Namun, saat ini masih banyak orang yang enggan untuk menjalani tes atau pengobatan HIV dan AIDS, alasannya karena stigma yang melekat pad penyakit tersebut. Bahkan sebagian dokter dan perawat, kelihataannya juga kuerang mengetahui fakta-fakta tentang HIV dan AIDS sehingga enggan untuk merawat orang yang terkena HIV. Jika ingin mencegah meluaskan epidemi, memang perlu membahas penyakit tersebut secara terbuka dan jujur serta mengambil langkah praktis, meskipun kelihatannya akan banyak ditentang. Beruntung bahwa saat ini Indonesia memiliki Kimisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang aktif sehingga dapat membantu mewujudkan tujuan MDGs.Target MDGs untuk HIV dan AIDS adalah menghentikan laju penyebaran serta kecenderungan pada tahun 2015. Saat ini Indonesia belum dapat mengatakan telah melakuakan dua hal tersebut karena di hampir semua daerah di Indonesia keadaannya tidak terkendali. Indonesia bisa saja mencapai target ini, namun untuk mencapainya diperlukan satu upaya besar-besaran dan terkoodinasi dengan baik di tingkat nasional. Maslah yang di hadapi bangsa Indoneia terkait dengan HIV dan AIDS ini antara lain:

1. Rendahnya kesadaran tentang isu-isu HIV dan AIDS serta terbatasnya layanan untuk menjalankan tes dan pengobatan.

2. Kurangnya pengalaman untuk menangganinya.

3. Adanya angggapan bahwa masalah ini hanyalah maslah kelompok resiko tinggi ataupun mereka yang sudah tertular.

4. Stigma yang masih kuat mengganggap bahwa HIV hanya akan menular pada orang-orang yang tidak menular, sehingga banyak orang menjauhi mereka yang terkena virus HIV.

Hal-hal di ataslah yang menjadi sebuah tantangan untuk mengajak semua pighak merasakan ini sebagian dari masalah yang perlu dihadapi bersama. Kondisi ini dapat terlihat jelas jika dibanding dengan respon terhadap penyakit-penyakit lain seperti malaria dan TBC, dimana lebih mudah melibatkan masyarakat karena tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap penyakit-penyakit tersebut.Malaria dan TBCTuberculosis (TBC) merupakan penyebab ketiga kematian terbesar di dunia. TBC yang utamanaya menggerogoti paru-paru sangat menular. Setiap tahunsatu orang dapat menular sekitar 10 hingga 15 orang dengan melepaskan bakteri TBC ke udara yang dapat dihirup oleh orang lain.

TBC memang kedengarannya menakutkan. Tetapi tidak menjadi buruk karena pertama orang yang terinfeksi tidak segera menunjukkan gejala-gejala aktif, yang paling mungkin menderita adalah mereka yang sisten kekebalannya melemah. Kedua, TBC dapat disembuhkan. Strategi standar yang dilakukan untuk penyembuhan TBC yaitu dengan penyembuhan jangka pendek dengan pengawasan langsung. Penyembuhan ini mencangkup pemberian tiga atau empat dosis tinggi selama enam bulan. Indonesia telah menggunakan DOTS (Directly-Observed Treatment Short-course) sejak tahun 1995. Sehingga saat ini, terdeteksi lebih dari tiga perempat kasus dapat diatasi dengan tingkat penyembuhan sekitar 91%, sisanya tidak sembuh secara total karena ketika mereka merasa sudah sehat mereka menghentikan pengobatan inilah yang mengakibatkan tidak tuntas karena virus menjadi kebal terhadap obat-obatan yang diberikan. Namun, dengan keberhasilan Indonesia dengan menyembuhkan 91% orang yang menderita TBC berkat DOTS maka sudah dapat memenuhi target MDGs untuk mngembalikan kecenderungan penyebaran penyakit tersebut.Namun, TBC masih merupakan masalah besar. Lebih dari setengah juta penduduk yang masih terinfeksi setiap tahun. Tantangan utamanya adalah memperluas program DOTS, yang saat ini lebih banyak dikonsentrasikan pada pusat-pusat kesehatan dengan melibatkan lebih banyak komunitas, LSM dan pihak lainnya. Hal penting yang perlu diperhatikan yaitu pasokan obat-obatan yang diperlukan dan pasien yang terus menjalani pengobatan secara menyeluruh. Secara khusus, perlu juga diperhatikan daerah-daerah terpencil. Pelayanan di daerah-daerah terpencil sulit untuk hampir semua jenis penyakit, bukan hanya TBC namun juga malaia.

Kasus maslaria terutama disebabkan karena infeksi, dimulai dari nyamuk anopheles yang membawa parasit. Hal yang perlu dilakukan untuk mencegah penyakit adalah dengan: pertama yaitu dengan mengurangi jumlah tempat-tempat dimana nyamuk dapat berkembang biak, biasanya di sungai-sungai dan anak-anak sungai yang tidak beriak selama musim kemarau atau di cekungan-cekunegn air hujan di hutan-hutan selama musim hujan. Kedua, perlu melindungi diri sendiri dari nyamuk dengan menyemprot rumah dengan insektisida atau dengan menggunakan kelambu yang sudah dicelup insektisida, khususnya untuk anak-anak. Untuk hal ini Indonesia telah dapat membalikkan kecenderungan, jika tepat sasaran dalam mencapai tujuan MDGs.Dana pengobatan untuk AIDS, TBC dan Malaria sebagian berasal dari anggaran kesehatan, ditambah dukungan dari Dana Global (Global Fund). Namun, kebanyakan orang memang harus membayar untuk melindungi diri mereka sendiri. Untuk masyarakat miskin yang memiliki resiko besar terkena penyakit ini harusnya melakukan langkah pencegahan. Namun mereka juga perlu untuk memperoleh pengobatan. Saat ini pengobatan utama adalah dengan terapi kombinasi obat artemisin (arthemisin combination theraphy) yang sangat efektif.

Daripada menunggu pasien mendaangi pusat-pusat kesehatan atau para petugas kesehatan pergi berkeliling mencari kasus dan mengobati. Aperti halnya dengan penyakit-penyakit menular lainnya, dalam hal malaria dapat dicapai kemajuan dengan cukup besar yaitu dengan menciptakan lingkungan alam dan manusia yang lebih sehat. Inilah yang akan membawa Indonesia mencapai tujuan ketujuh MDGs.Berdasarkan urauian di atas dapat disimpulkan target dari MDGs kelima ini adalah:

1. Target 6A: Menghentikan dan mulai membalikkan tren penyebaran HIV dan AIDS pada tahun 2015.

Prevalensi saat ini adalah 5,6 per 100.000 orang tingkat nasional namun pada saat ini tidak ada indikasi bahwa laju penyebaran HIV dan AIDS telah berhenti. Meskipun demikian, semestinya laju dapat dihentikan.

2. Target 6B: Tersedianya akses universal untuk perawatan HIV dan AIDS bagi yang memerlukan.

3. Target 6C: menghentikan dan mulai membalikkan kecenderungan persebaran malaria dan penyakit-penyakit utama lainnya pada 2015.

Malaria, tingkat kejadian hingga 18,6 juta kasus per tahun. Jumlah ini mungkin sudah turun. Sedangkan TBC, prevalensi 262 per 100.000 atau setara dengan 582.000 kasus setiap tahunnya. Deteksi kasus 76%. Angka keberhasilan pengobatan DOTS: labih dari 91%.