MDGs 3 penyetaraan gender

40
BAB I. PENDAHULUAN 1

Transcript of MDGs 3 penyetaraan gender

Page 1: MDGs 3 penyetaraan gender

BAB I. PENDAHULUAN

1

Page 2: MDGs 3 penyetaraan gender

BAB II. PEMBAHASAN

A. DEFINISI

MDGs adalah kependekan dari Millennium Development Goals atau bila

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Sasaran Pembangunan

Millennium. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan

Bangsa Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB

yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi

Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia

yang tidak pernah ada sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan,

pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam

konteks inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan

Pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Setiap tujuan

memiliki satu atau beberapa target beserta indikatornya. MDG menempatkan

pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki target waktu

dan kemajuan yang terukur. MDG didasarkan pada konsensus dan kemitraan

global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk

melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban

mendukung upaya tersebut.

Adapun tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan

pembangunan milenium (MDG) tersebut diantaranya :

1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan.

2. Mencapai Pendidikan Untuk Semua.

3. Mendorong Persamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.

4. Menurunkan Angka Kematian Anak.

5. Meningkatkan Kesehatan Ibu.

6. Memerangi Hiv/Aids, Malaria, dan Penyakit Lainnya.

7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup.

8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.

2

Page 3: MDGs 3 penyetaraan gender

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa diantara tujuan-

tujuan tersebut diatas memiliki satu atau lebih target yang ingin dicapai, adapun

target-target sesuai dengan tujuan MDGs diatas adalah sebagai berikut :

1. Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1

dolar AS, menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015.

2. Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi

setengahnya antara tahun 1990 – 2015.

3. Menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-

laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (primary schooling).

4. Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan

pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun

2015.

5. Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-pertiganya, antara tahun

1990 dan 2015.

6. Menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990 dan 2015 sebesar tiga-

perempatnya.

7. Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus

baru pada tahun 2015.

8. Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus

malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015.

9. Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan

dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang

hilang.

10. Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber

air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada

2015.

11. Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di

pemukiman kumuh pada tahun 2020.

MDGs sebenarnya merupakan perwujudan hubungan global yang telah

tumbuh dari komitmen dan target yang telah ditetapkan pada United Nations

3

Page 4: MDGs 3 penyetaraan gender

World Summits dan konferensi global di sepanjang tahun 1990-an. Pada bulan

September tahun 2000, sebanyak 189 negara yang sebagian besar diwakili para

kepala negara menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York dan

menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menyatakan komitmen bahwa

Negara tersebut setuju untuk mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau

Millennium  Development Goals (MDG). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau

beberapa target.

Dengan ditetapkannya target pencapaian pada 2015, maka perlu ada kerja

sama dalam pencapaian target tersebut. Kerja sama yang harus tercipta antara

Negara miskin dan Negara kaya. Negara miskin harus melakukan pemerintahan

dengan lebih baik, dan menginvestasikan rakyatnya dengan pendidikan dan

kesehatan yang baik, sedangkan Negara kaya harus mendukung negara miskin

tersebut, melalui bantuan, pembebasan hutang, dan perdagangan yang lebih adil.

Laporan MDGs

Setiap negara yang berkomitmen dan menandatangani perjanjian

diharapkan membuat laporan MDGs. Laporan MDGs ini secara rinci mengulas

pencapaian sasaran pembangunan, sesuai dengan indikator MDGs. Laporan ini

menguraikan secara sekilas tantangan yang dihadapi serta upaya-upaya yang

diperlukan untuk mencapai berbagai sasaran MDGs. Dengan demikian, laporan

ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan agar

sasaran MDGs pada tahun 2015 dapat tercapai.

Indikator MDGs

Dalam rangka mengukur pencapaian tujuan dan target MDGs di atas

diperlukan indicator pencapaian. Sampai saat ini telah terdapat 48 buah indikator

teknis dari MDGs. Kedelapan buah tujuan beserta target dan indikator inilah yang

dijadikan standard ukuran keberhasilan bagi negara-negara di dunia dalam

membangun negaranya, tentunya termasuk juga di dalamnya adalah negara

Indonesia.

4

Page 5: MDGs 3 penyetaraan gender

MDGs Indonesia

MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia, mulai

dari tahap perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) hingga pelaksanaannya. Walaupun mengalamai

kendala, namun pemerintah memiliki komitmen untuk mencapai sasaran-sasaran

ini dan dibutuhkan kerja keras serta kerjasama dengan seluruh pihak, termasuk

masyarakat madani, pihak swasta, dan lembaga donor.

Target pencapaian rencana pemberantasan kemiskinan global di bawah

program PBB yang disebut Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015

tersisa satu tahun. Namun, delapan target yang menjadi sasaran masih jauh dari

harapan sehingga muncul kekhawatiran target-target itu akan sulit tercapai.

Kedelapan target MDGs ini dikhawatirkan tak tercapai jika kendala seperti

bencana alam terus terjadi. Selain bencana alam adalah perubahan iklim, krisis

pangan, krisis energi, dan krisis keuangan juga berpotensi jadi kendala utama.

B. PENYETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Berkaitan dengan perkembangan zaman, masyarakat sekarang

membutuhkan peran perempuan dalam segala aspek, pendidikan, sosial ekonomi,

hukum, politik, dan lain-lain. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh tuntutan bangsa-

bangsa atas nama masyarakat global bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan

bagaimana bangsa tersebut peduli dan memberi akses yang luas bagi perempuan

untuk beraktifitas di ranah publik.

Permasalahan penyetaraan gender tersebut bisa saja disebabkan oleh

pemahaman tentang kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam

masyarakat belum banyak diketahui atau dalam kajian gender belum meluasnya

pemahaman masyarakat tentang peran berdasarkan gender. Selama ini antara

kedua jenis kelamin tersebut yang lebih dilihat pada perbedaannya seperti pada

fisik, pekerjaan, pengambilan keputusan, akses pada bidang ekonomi dan politik,

dan ketika hal itu dilihat pada jenis kelamin perempuan tidak sedikit dari

masyarakat yang menganggapnya aneh.

5

Page 6: MDGs 3 penyetaraan gender

Secara internasional, penguatan peran perempuan dalam dunia dapat

dilihat pada tuntutan internasionalyang terdapat dalam Millenium Development

Goals (MDGs) yang harus dipenuhi pada 2015. Bulan September 2000 dalam

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB, sebanyak 189 negara anggota PBB

termasuk Indonesia sepakat untuk mendeklarasikan Millenium Development

Goals (MDGs) sebagai bagian pencapaian kemajuan bangsa. Deklarasi ini

berpijak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia.

Hasil akhir dari deklarasi MDGs tidak lama lagi akan terlihat, tahun 2015,

namun tahun-tahun terakhir ini pencapaian tersebut masih belum terlihat

mencerahkan, untuk kegiatan pemberdayaan perempuan misalnya, masih banyak

perempuan yang belum tersentuh kegiatan untuk meningkatkan kualitas hidup,

seperti hal yang sederhana berupa keterampilan mengelola sampah rumah tangga

agar tidak menghasilkan sampah yang berpotensi menimbulkan masalah

lingkungan yang lebih luas. Bila saja perempuan diberdayakan untuk menjadi

perempuan peduli lingkungan, maka misi MDGs dapat terwujud dalam sekali

langkah, yaitu misi yang kelima (ibu bisa sehat karena lingkungan sehat), misi

yang keenam (penyakit malaria atau penyakit menular lainnya dapat

diminimalisir), dan misi ketujuh (kelestarian lingkungan hidup dapat terjaga

dengan baik). Begitu banyak harapan disematkan pada perempuan agar dapat

berperan lebih aktif ditengah masyarakat, namun pada pelaksanaannya justru

masih ada juga anggapan masyarakat yang tidak menginginkan perempuan aktif

di tengah masyarakat tapi cukup dalam lingkup keluarga saja. Pertentangan-

pertentangan itulah yang membuat kajian tentang peran perempuan dalam

masyarakat masih harus terus ditingkatkan dan meminta partisipasi setiap elemen

masyarakat untuk mensosialisasikannya.

Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global Dewasa

ini permasalahan gender sudah menjadi isu global yang sangat menarik perhatian

dunia. Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran

paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security)

menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan

produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan

6

Page 7: MDGs 3 penyetaraan gender

terbuka. Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar

untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat

menuju terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG). Kesetaraan dan

Keadilan Gender (KKG) adalah suatu bentukan kata yang mengandung dua

konsep, yaitu kesetaraan gender dan keadilan gender. Kesetaraan gender berarti

kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan

dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam

kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan nasional, dan kesamaan

dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sedangkan keadilan gender adalah

suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Agar proses

yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah

untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah

menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil

dari peran yang dimainkannya.

Dalam mengatasi persoalan gender, telah dilakukan berbagai upaya baik di

tingkat internasional, nasional maupun regional. Di tingkat internasional pada

tahun 1950 dan 1960-an telah di deklarasikan suatu resolusi melalui badan

ekonomi sosial PBB (ECOSOC) dan diakomodasi oleh pemerintah Indonesia

pada tahun 1968 melalui pembentukan Komite Nasional Kedudukan Wanita

Indonesia (KNKWI). Selanjutnya, pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban

berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan menyatakan agar

diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan deklarasi

tersebut. Oleh karena deklarasi tersebut sifatnya tidak mengikat, maka komisi

PBB tentang Kedudukan Wanita kemudian menyusun rancangan Konvensi

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tahun

1975 di Mexico City, PBB menyelenggarakan Konfrensi Wanita Internasional

yang menghasilkan antara lain deklarasi persamaan antara perempuan dan laki-

laki dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Tiga tahun kemudian yakni tahun 1978

7

Page 8: MDGs 3 penyetaraan gender

pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan membentuk Menteri Muda

Urusan Peranan Wanita (Men.UPW). Melalui lembaga negara ini Pemerintah

Indonesia melaksanakan aksi penanggulangan permasalahan perempuan dan

gender yang terjadi di masyarakat. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis

Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Karena ketentuan konvensi pada

dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

maka pemerintah RI dalam Konfrensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-

Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah

menandatangani konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan

sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara atas

resolusi yang kemudian menyetujui konvensi tersebut.

Dalam pemungutan suara itu Indonesia menyatakan setuju sebagai

perwujudan untuk ikut berpartisipasi dalam usaha menghapus segala bentuk

diskriminasi terhadap wanita karena isi konvensi itu sesuai dengan dasar negara

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa semua warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Selanjutnya

konvensi ini ditetapkan dalam bentuk undang-undang yakni Undang-Undang No.

7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan.

Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan penanganan masalah

gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh pemerintah mulai

dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan pendekatan

Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum mampu

mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga

pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development

(GAD). Setelah perjalanan hampir setengah abad, nampaknya upaya dunia

termasuk Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG)

belum membuahkan hasil yang maksimal. Hal ini terbukti dengan masih

terjadinya ketimpangan gender diberbagai bidang kehidupan seperti bidang

pendidikan, politik dan ketenagakerjaan. Di bidang pendidikan misalnya,

8

Page 9: MDGs 3 penyetaraan gender

ketimpangan gender nampak pada beberapa indikator seperti angka buta huruf,

dimana menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2006

jumlah perempuan yang buta huruf duakali lipat lebih besar dibandingkan angka

buta huruf laki-laki ( 10,3% : 4,8%).

Sementara itu pada tahun yang sama ( 2006) data angka partisipasi sekolah

(APS) laki-laki dan perempuan terutama pada jenjang pendidikan SMP dan SMA.

Persentase APS perempuan di SMP 84,04% sedangkan APS laki-laki 89,68%,

untuk jenjang pendidikan SMA perbandingan APS laki-laki dan perempuan

66,00% : 60,05%. Data pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk juga

menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin kecil persentase

perempuan yang tamat.

Tahun 2006 penduduk perempuan usia 10 tahun keatas 33, 35% yang

hanya tamat SD dan laki-laki 28,52%.

Dari data diatas nampak bahwa selama ini akses anak perempuan terhadap

pendidikan terutama ke jenjang pendidikan SMA ke atas masih lebih terbatas

dibandingkan laki-laki. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita

Universitas Udayana (Arjani, dkk; 2005) keterbatasan akses perempuan terhadap

pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor seperti: faktor geografis, ekonomi,

dan faktor budaya. Faktor budaya antara lain masih adanya pandangan orang tua

yang menganggap pendidikan bagi anak perempuan tidak penting karena anak

perempuan nantinya akan menjadi milik orang lain dan hanya akan menjadi ibu

rumah tangga dengan tugas utama di ranah domestik. Peran domestik selama ini

dianggap sebagai peran yang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Selain itu, jika

dilihat kesempatan perempuan untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin juga

masih menunjukkan kesenjangan, hal ini dapat dilihat dari data jumlah perempuan

yang menjadi kepala sekolah baik di SD, SMP dan SMA masih menunjukkan

kesenjangan yang cukup menonjol. Secara umum posisi kepala sekolah dijabat

oleh guru laki-laki meskipun secara kuantitas guru laki-laki dan guru perempuan

jumlahnya hampir sama di setiap jenjang pendidikan.

Sampai saat ini akses perempuan ke dunia kepemimpinan atau pengambil

keputusan nampaknya masih terbatas karena nilai budaya yang berkembang

9

Page 10: MDGs 3 penyetaraan gender

menganggap urusan pemimpin identik dengan dunia publik yang nota bene

menjadi dunianya laki-laki. Disamping itu stereotip gender atau pelebelan

terhadap perempuan bahwa perempuan lemah, emosional dan perlu dilindungi

masih menempel kuat di masyarakat. Di bidang politik, kesenjangan gender masih

nampak dengan jelas. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan perempuan dan laki-

laki baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Di ketiga bidang ini

partisipasi perempuan persentasenya jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki.

Demikian juga pemimpin wilayah seperti kepala desa, lurah, camat dan bupati

umumnya di dominasi oleh laki-laki.

Kondisi yang demikian ini tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi

juga di beberapa belahan dunia. Realitas ini mendorong dunia internasional

melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000 kembali

melaksanakan konfrensi tingkat tinggi untuk mewujudkan komitmen terkait

dengan Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi MDGs ini telah

menelorkan delapan komitmen. Dari 8 komitmen MDGs ini jelas terlihat bahwa

secara global masalah kesetaraan gender merupakan masalah prioritas untuk

ditangani.

Deklarasi MDGs ini mengharapkan kepada setiap negara agar pada tahun

2015 semua komitmen yang sudah disepakati dalam konfrensi dapat terwujud.

Oleh karena itu, Deklarasi MDGs ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk

bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pada tahun 2015.

Menindaklanjuti komitmen MDGs ini, pemerintah Indonesia telah mengambil

satu kebijakan dan strategi untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan

keadilan gender (KKG) yakni melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG)

atau Gender Mainstreaming (GM). Strategi ini dilaksanakan dengan landasan

hukum berupa Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang

Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.

Melalui strategi ini diharapkan semua kebijakan, program dan kegiatan

pembangunan di Indonesia berpersfektif gender sehingga hasil pembangunan

dapat memberikan manfaat bagi laki-laki maupun perempuan.

10

Page 11: MDGs 3 penyetaraan gender

Peran Perempuan

Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja antara lelaki

dan perempuan menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian

kerja menurut jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan

peran lelaki dan perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam masyarakat

mempresentasikan peran yang ditampilkan oleh seorang perempuan. Analisis

peran perempuan dapat dilakukan dari perspektif posisi mereka dalam berurusan

dengan pekerjaan produktif tidak langsung (domestik) dan pekerjaan produktif

langsung (publik), yaitu sebagai berikut;

1. Peran Tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus

rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami).

Hidupnya 100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu

perempuan di rumah dan lelaki di luar rumah.

2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain.

Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi

mempertahankan keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap

tanggungjawab perempuan.

3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu

menempatkan peran domestik dan publik dalam posisi sama penting.

Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknya keengganan suami

akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau

terpendam.

4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di

luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk

menghindari konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan.

Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan saling berargumentasi

untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana

kehidupan berkeluarga.

5. Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam

kesendirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi benturan demi benturan

11

Page 12: MDGs 3 penyetaraan gender

dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada

kepentingan perempuan mungkin akan meningkatkan populasinya.

Dalam perkembangan kajian peran perempuan, konsep peran seks (sex

roles) memberi makna tersendiri. Peran seks adalah seperangkat atribut dan

ekspektasi yang diasosiasikan dengan perbedaan gender, dengan hal ihwal

menjadi laki-laki atau perempuan dalam masyarakat. Menurut teori

fungsionalisme (functionalism), peran seks (seperti peran yang lain)

merefleksikan norma-norma sosial yang bertahan dan merupakan pola-pola

sosialisasi (socialization). Norma yang cenderung terjadi dewasa ini adalah

hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah seiring dengan

perkembangan secara bertahap perihal keluarga yang berkesetaraan.

C. INDIKATOR PENCAPAIAN

1. INDIKATOR

Target MDGs terkait Penyetaraan gender dan pemberdayaan manusia

adalah: menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan

lanjutan pada 2005 dan disemua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun

2015.

Sedangkan indikatornya adalah:

a. Ratio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan

dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni

anak perempuan terhadap anak laki-laki.

b. Ratio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang

diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas

melek huruf gender).

c. Konstribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian.

d. Proporsi kursi DPR yang diduduki perempuan.

12

Page 13: MDGs 3 penyetaraan gender

2. PENCAPAIAN

a. Pencapaian MDGs (penyetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan) di Indonesia.

Menurut The Global Gender Gap Report 2013, Indonesia berada

di Peringkat 95 dari 136 negara dengan skor sebesar 66,13.

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Adapun pencapaian

dalam berbagai bidang adalah sebagai berikut:

13

Page 14: MDGs 3 penyetaraan gender

Berdasarkan tabel diatas nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG)

nasional terus mengalami peningkatan dimana pada tahun 2007 sebesar

65,3 dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan 3,82% dari tahun 2007

menjadi 67,8. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan IPG tertinggi

berturut-turut dari 2007 sampai 2011.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

menjelaskan bahwa untuk mengetahui ketimpangan gender maka

kesenjangan nilai IPG dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dapat

digunakan. Apabila Nilai IPG sama dengan IPM maka tidak terjadi

ketimpangan gender, tetapi apabila nilai IPG lebih rendah dari IPM maka

terjadi ketimpangan gender. Berdasarkan tabel diatas provinsi dengan

IPM tertinggi pada tahun 2011 adalah DKI Jakarta sebesar 77,57 dan

terendah adalah papua sebesar 65,36. Untuk IPG, DKI Jakarta memiliki

nilai IPG tertinggi sebesar 74,01 dan NTB merupakan provinsi dengan

IPG terendah sebesar 56,7.

adapun pencapaian berdasarkan indikator dari MDGs ke-3 adalah:

yang menjadi indikator utama adalah rasio anak perempuan terhadap

14

Page 15: MDGs 3 penyetaraan gender

anak laki-laki di pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi. Disini Indonesia

tampaknya sudah mencapai target, dengan rasio 100% di sekolah dasar,

99,4% di sekolah lanjutan pertama, 100,0% di sekolah lanjutan atas, dan

102,5% di pendidikan tinggi.

Indikator kedua adalah rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki

untuk usia 15-24 tahun. Disini pun, tampaknya kita telah mencapai target

dengan rasio 99,9%.

Indikator ketiga adalah sumbangan perempuan dalam kerja berupah di

sektor non-pertanian.

Disini kita masih jauh dari kesetaraan. Nilainya saat ini hanya 33%.

Indikator keempat adalah proporsi perempuan di dalam parlemen,

dimana proporsinya saat ini hanya 11,3%.

b. Pencapaian MDGs (penyetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan) di Jawa Tengah.

Indeks pertumbuhan yang berkaitan dengan gender adalah indeks

pembangunan gender (IPG). Indeks Pembangunan Gender (IPG)

mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dengan indeks

pembangunan manusia (IPM), tetapi menangkap ketidaksetaraan dalam

pencapaian antara perempuan dan laki-laki.

15

Page 16: MDGs 3 penyetaraan gender

Kesenjangan antara IPM dan IPG di provinsi Jawa Tengah pada tahun

2011 adalah 6,49 dimana nilai tersebut lebih besar dari rata-rata nasional

yang hanya sebesar 4,97. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu

provinsi yang memiliki IPM di atas rata-rata nasional tetapi IPG dibawah

rata-rata nasioanal. Walaupun capaian pembangunan manusia di Jawa

16

Page 17: MDGs 3 penyetaraan gender

Tengah secara umum relatif lebih baik dibanding dengan provinsi lain,

akan tetapi kondisi kesetaraan gender dalam pembangunan masih relatif

rendah. Artinya, kemajuan pembangunan manusia di Jawa Tengah belum

sejalan dengan peningkatan kesetaraan gender.

IPG sama halnya dengan IPM dipengaruhi oleh beberapa

komponen yang terdiri dari angka harapan hidup (AHH), Angka Melek

Huruf (AMH), Rata-rata lama Sekolah (MYS), dan pengeluaran per

kapita. Peningkatan IPG selama periode 2007-2011 tentunya dipengaruhi

oleh peningkatan komponen tersebut. Hal ini berarti kapabilitas dasar

perempuan yang terangkum dalam kesehatan, pendidikan maupun hidup

layak selama periode 2007-2011 terus mengalami peningkatan.

Dari grafik AHH terlihat bahwa perkembangan Angka Harapan

Hidup (AHH) perempuan mengalami peningkatan selama periode 2008-

2012. Pada tahun 2008 AHH perempuan mencapai 73,1 tahun, kemudian

tahun berikutnya meningkat lagi menjadi 73,6 tahun pada tahun 2012.

Peningkatan AHH perempuan diikuti dengan peningkatan AHH laki-laki

meskipun AHH laki-laki masih dibawah AHH perempuan. Pada tahun

2008 AHH laki-laki mencapai 69,2 tahun dan pada tahun 2012

meningkat menjadi 69,7 tahun. Jika dilihat secara umum terlihat bahwa

AHH laki-laki cenderung empat tahun lebih rendah dibanding

perempuan.

17

Page 18: MDGs 3 penyetaraan gender

Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang setara antara

laki-laki dan perempuan belum sepenuhnya terpenuhi. Indikator

pendidikan Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata lama

Sekolah/Mean Year School (MYS) menunjukkan adanya kesenjangan

gender dalam pendidikan di Jawa Tengah.

AMH menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun ke

atas yang mampu baca tulis. Perkembangan AMH Jawa Tengah selama

periode 2008-2012 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. AMH

perempuan di Jawa Tengah lebih rendah dibanding AMH laki-laki.

Namun peningkatan AMH perempuan lebih cepat dibandingkan dengan

AMH laki-laki. Pada periode 2008-2012 AMH perempuan meningkat

hampir 2 persen, sementara AMH laki-laki hanya meningkat sekitar 0,7

persen. Pada tahun 2012, AMH laki-laki mencapai 94,5 persen dan

perempuan mencapai 86,54 persen. Hal ini berarti bahwa penduduk

perempuan usia 15 tahun ke atas yang buta huruf mencapai 13,46 persen,

sedangkan laki-laki hanya 5,5 persen.

18

Page 19: MDGs 3 penyetaraan gender

Rata-rata lama sekolah (MYS) menggambarkan rata-rata jumlah

tahun yang dijalani oleh penduduk usia 15 tahun ke atas untuk

menempuh semua jenis pendidikan formal. Untuk angka rata-rata lama

sekolah penduduk laki-laki lebih tinggi pada kisaran 1 tahun

dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk perempuan. Pada

tahun 2012, MYS laki-laki mencapai 7,9 tahun yang berarti setara

dengan kelas 1 SMP. Sedangkan MYS perempuan mencapai 6,9 tahun

yang berarti setara kelas 6 SD. Fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam

pembangunan pendidikan di Jawa Tengah masih terjadi kesenjangan

kemampuan baca tulis dan lama sekolah antara laki-laki dan perempuan.

Kesenjangan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal di antaranya adalah

pertimbangan prioritas bahwa nilai ekonomi anak laki-laki lebih tinggi

dibandingkan anak perempuan, karena laki-laki harus mencari nafkah

sehingga harus dibekali pendidikan yang lebih dibandingkan dengan

anak perempuan.

19

Page 20: MDGs 3 penyetaraan gender

Pada tahun 2011, sumbangan pendapatan perempuan mengalami

peningkatan sebesar 0,87 persen dari tahun sebelumnya. Tahun 2011

sumbangan pendapatan mencapai 32,33 persen naik dari tahun 2010. Ada

dua faktor yang mempengaruhi sumbangan pendapatan yaitu faktor

angkatan kerja dan upah yang diterima. Berdasarkan data Sakernas,

angkatan kerja perempuan di Jawa Tengah sekitar 42,6 persen. Perbedaan

tingkat upah yang diterima disebabkan oleh kecenderungan pendidikan

perempuan yang lebih rendah, status pekerjaan, jenis pekerjaan dan

lapangan pekerjaan.

Berdasarkan Tabel dibawah dapat dilihat bahwa jumlah

perempuan yang memiliki status pekerjaan yang rendah lebih banyak

daripada laki-laki. Meskipun tingkat pendidikan perempuan tinggi,

jumlah perempuan dengan pekerja tak dibayar dan tingkat pendidikan

Diploma I/ II/ III/ Akademi/ Universitas 2 kali lipat lebih banyak

daripada laki-laki yaitu sebesar 18.958.

20

Page 21: MDGs 3 penyetaraan gender

Tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dapat mempengaruhi

tingkat partisipasi angkatan kerja. Pengaruh dari masing-masing faktor

ini terhadap tingkat partisipasi angkatan kerja berbeda antara penduduk

laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Gambar dibawah, tingkat

partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah sekitar 25 persen

dibandingkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan. Perbedaan

ini disebabkan oleh umumnya laki-laki sebagai pencari nafkah sehingga

hampir semua laki terlibat dalam kegiatan perekonomian. Sehingga

faktor sosial, ekonomi atau budaya dapat mempengaruhi partisipasi

dalam angkatan kerja.

21

Page 22: MDGs 3 penyetaraan gender

Sebagian besar penelitian untuk memperkirakan efek kausal dari

kesenjangan gender pada pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per

kapita telah menemukan bahwa ketimpangan gender berpengaruh negatif

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Blackden dkk

(2006) pendidikan akan mengurangi jumlah rata Kesenjangan ini akan

menghalangi bakat yang terdapat pada anak perempuan yang pada

akhirnya akan mengurangi laki-laki yang mencapai usia kerja

mempengaruhi kesenjangan gender dalam rata-rata modal manusia dalam

masyarakat. bakat-bakat yang memiliki kualifikasi tinggi pengembalian

investasi sektor pendidikan. Klasen dan Wink (2003) menambahkan

kesenjangan gender dalam pekerjaan dan upah juga menurunkan daya

tawar perempuan di rumah, yang menyebabkan menurunnya investasi

pada pendidikan dan kesehatan anak.

22

Page 23: MDGs 3 penyetaraan gender

Berdasarkan Tabel di atas, sebagian besar kabupaten/kota yang

memiliki kesetaraan gender yang tinggi juga memiliki pertumbuhan

ekonomi yang tinggi antara lain, Kota Surakarta dengan ketimpangan

gender sebesar 1,81 dan pertumbuhan ekonomi 6,04, Kota Salatiga, Kota

Semarang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten

Karanganyar, Kabupaten Semarang. Dan kabupaten/kota yang memliki

kesetaraan gender rendah memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Misalnya Kabupaten Grobogan dengan ketimpangan gender 15,14 dan

pertumbuhan ekonomi sebesar 3,59, Kabupaten Kebumen, Kabupaten

Cilacap, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Pekalongan. Namun terdapat

kabupaten/kota yang memiliki tingkat kesetaraan gender rendah namun

pertumbuhan ekonominya tinggi seperti Kabupaten Jepara. Hal ini

menunjukkan adanya pengaruh ketimpangan gender terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data yang kami peroleh pada tahun 2011

menunjukkkan bahwa perkembangan penyetaraan gender dan

pemberdayaan perempuan mengalami peningkatan. Dan dapat

diperkirakan pula bahwa sampai tahun sekarang ini juga terus mengalami

peningkatan dan bahkan semakin membaik jika dibandingkan dengan

tahun sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat dalam kenyataannya bahwa

semakin banyak wanita yang aktif dalam berbagai bidang.

Peningkatan terkait dengan masalah di atas memberikan nilai

positif. Namun, terdapat pula sedikit nilai negatif yang menyebabkan

tidak optimalnya peningkatan penyetaraan gender dan pemberdayaan

wanita di Jawa Tengah. Penyebab tidak optimalnya peningkatan terjadi

karena adanya beberapa faktor yaitu faktor ekonomi dan budaya. Faktor

budaya merupakan faktor utama yang menyebabkan terhambatnya

23

Page 24: MDGs 3 penyetaraan gender

pencapaian yang tidak optimal. Masyarakat Jawa Tengah masih

memegang erat bahwa wanita tidak seharusnya bekerja diluar rumah.

c. Pencapaian MDGs (penyetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan) di Magelang.

Pertimpangan gender dapat diukur dengan menggunakan nilai

IPM dan IPG, apabila nilai IPG lebih rendah dari IPM maka terjadilah

ketimpangan gender. Namun, apabila nilai IPM dan IPG sama maka

tidak terjadi pertimpangan gender. Pada kasus ini kota magelang

mempunyai nilai IPM 76,83 dan nilai IPG 73,96 pada tahun 2011. Nilai

antara IPM dan IPG mempunyai selisih 2, 87. Artinya, di kota Magelang

pencapaian penyetaraan gender dan pemberdayaan perempuan belum

terpenuhi dengan optimal karena masih tingginya selisis antara IPM dan

IPG tersebut.

Masalah tersebut dapat diakibatkan karena beberapa faktor

misalnya budaya dan ekonomi. Kaum perempuan biasanya erat kaitanya

dengan pekerjaan rumah tangga dan harus mengurus anak hal ini

mengakibatkan kaum wanita hanya bekerja dirumah. Selain itu masalah

ekonomi juga mempengaruhi timbulnya ketimpangan gender, di

lapangan kerja biasanya wanita ditempatkan pada bagian yang tidak

begitu penting sedangkan laki-laki lebih mendominasi jabatan yang

penting dan tinggi. Jabatan akan mempengaruhi jumlah gaji dalam

bekerja. Perempuan akan cenderung diberikan gaji sedikit jika

dibandingkan dengan leki-laki. Oleh karena itu mengapa ekonomi juga

berperan dalam menormalkan masalah ketimpangan gender.

Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya pencapaian MDGs ke

tiga dikota magelang terus meningkat. Sudah banyak kaum perempuan

yang aktif dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan lainnya.

Namun, jika dilihat secara keseluruhan dan jika dibandingkan dengan

daerah lain, kota Magelang masih harus berbenah diri supaya

24

Page 25: MDGs 3 penyetaraan gender

penyetaraan gender dan pemberdayaan manusia dapat tercapai secara

optimal.

25

Page 26: MDGs 3 penyetaraan gender

PERAN PERAWAT DALAM MENGHADAPI HIV/AIDS

Sudah puluhan dokter, artis, tokoh masyarakat yang peduli dan mendirikan

LSM atau Lembaga pemerintah yang bergerak dalam memerangi pengobatan,

penanggulangan dan perawatan pasien AIDS/HIV di Indonesia saat ini.

Bergabungnya para dokter, perawat, apoteker serta relawan merupakan wahana

untuk saling memahami, menghargai serta meningkatkan kerjasama dalam

penanggulangan dan pengobatan AIDS. Kerjasama yang baik ini akan merupakan

modal kuat untuk melayani masyarakat.

Kedekatan perawat dengan para pasien HIV memang menjadi kunci dalam

proses kesembuhan pasien. Peran perawat memang dianggap wajar sebagai bagian

dari tugas atau pekerjaan yang memang harus dilaksanakan. Nyatanya, menjadi

perawat pasien HIV/AIDS tak sekadar menjalankan kewajiban. Frekuensi

pertemuan yang rutin dibanding para dokter yang membuat perawat berubah

menjadi perawat plus.

Risiko tertular membuat banyak perawat segan tatkala ditugaskan untuk

merawat ODHA. Ada juga yang rela memilih keluar pekerjaan. Kalau perawatnya

saja takut, bagaimana dengan keluarganya?. Untuk itu diperlukan kegiatan yang

berkaitan dengan HIV/AIDS difokuskan pada tersusunnya Pedoman Asuhan

Keperawatan pasien dengan HIV/AIDS, meningkatnya kemampuan perawatan

dalam melayani pasien dengan HIV/AIDS serta makin banyaknya perawat yang

terlibat dalam upaya upaya penanganan HIV/AIDS di Indonesia.

Dampak dari HIV/AIDS juga memicu faktor migrasi pekerja kesehatan

dengan akibat tidak langsung menyebabkan peningkatan beban kerja makin

perawat. Di Indonesia belum terjadi migrasi perawat sebagai dampak HIV/AIDS,

tetapi yang lebih mengemuka adalah tidak terpenuhinya standar-standar yang

harus dilakukan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien HIV/AIDS dan

masih banyak pula stigma serta diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh

perawat terhadap pasien HIV/AIDS di Indonesia.

Untuk itu peran perawat dalam advokasi AIDS lebih akan berdampak

ganda yaitu mengurangi resiko infeksi nosokomial AIDS dan meningkatkan peran

26

Page 27: MDGs 3 penyetaraan gender

dalam preventif, promoti dan rehabilitatif dalam penanggualangan AIDS/HIV,

misalnya dengan cara seperti:

1. Membuat LSM atau lembaga penelitian AIDS/HIV

2. Advokasi KIE (komunikasi-informasi dan edukasi) lewat website/internet

3. Mengadakan pelatihan/seminar publik

4. Menjaring tokoh perawat Indonesia dalam penanggulangan AIDS/HIV agar

masyarakat lebih mengenal keperawatan lebih maju dan modern

5. Mengoptimalkan pemanfaatan dana hibah/grant lewat bidang keperawatan

AIDS/HIV

6. Membuat SOP Askep AIDS/HIV

Selain hal diatas tentu komunikasi terapeutik harus dilakukan perawat

dengan kliennya, hal ini akan memberikan terapi tidak hanya untuk ODHA namun

juga kepada keluarga dari si penderita. Diharapkan dengan komikasi terapeutik

dapat menumbuhkan rasa saling percaya dan juga dapat memotivasi sehingga

ODHA tidak akan mengalami stress yang dapat memperburuk kondisinya. Hingga

pada akhirnya peran perawat Indonesia dalam penanggulangan, perawatan,

pencegahan dan pengobatan AIDS/HIV menuju jalan maj, tidak ragu terlebih lagi

mundur kebelakang.

27

Page 28: MDGs 3 penyetaraan gender

BAB III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG) bukanlah

merupakan suatu yang mudah, tetapi memerlukan perjuangan yang ekstra

keras karena hal ini berkaitan erat dengan perubahan nilai budaya atau

konstruksi sosial budaya yang telah berurat akar di masyarakat. Namun

demikian, karena semua nilai budaya yang ada di masyarakat adalah bentukan

manusia, maka pada prinsipnya hal ini bisa diubah tetapi memerlukan proses

yang panjang. Melalui upaya yang serius dan berkesinambungan maka secara

lambat laun ideologi gender yang bersifat merugikan salah satu jenis kelamin

akan dapat dikikis sehingga pada gilirannya kesetaraan dan keadilan gender

dimasyarakat Indonesia pada umumnya dan di Magelang khususnya akan

dapat terwujud. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender berarti

masyarakat kita telah mampu memenuhi salah satu kesepakatan Millenium

Development Goals (MDGs) yang telah menjadi komitmen Internasional.

Upaya dalam meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan mengalami kenaikan dari tahun ketahun baik di Indonesia, Jawa

Tengah, maupun Magelang walaupun tidak mencapai angka yang maksimal.

Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan budaya yang masih banyak

ditemui di daerah sekitar kita.

B. SARAN

Dalam pencapaian MDGs yang ketiga yaitu tentang penyetaraan

gender dan pemberdayaan perempuan membutuhkan waktu yang sangat lama,

untuk itu diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat serta

membutuhkan strategi yang sesuai dengan budaya masyarakat di Indonesia.

Kerja sama yang baik maka akan sangat membantu dalam peningkatan secara

optimal pada tahun 2015.

28

Page 29: MDGs 3 penyetaraan gender

DAFTAR PUSTAKA

Ahdiah, Indah. 2013. Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat.

Universitas Tadulako. Tidak diterbitkan.

Fuji Astuti Harahap, Rahma. 2014. Analisis Pengaruh Ketimpangan Gender Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Tengah. Universitas Diponegoro. Tidak diterbitkan.

Hamzah, Aisah. 2012. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Dan Kelaparan Di Indonesia: Realita Dan Pembelajaran. Universitas Hassanudin. Tidak diterbitkan.

Asmanto, Priadi. 2008. Evaluasi Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Tidak diterbitkan.

Stalker, peter. 2008. Millennium Development Goals. Jakarta: Tidak

diterbitkan.

29