Materi Jalan Raya
-
Upload
intannuriskharachma -
Category
Documents
-
view
183 -
download
16
Transcript of Materi Jalan Raya
http://www.dardela.com/index.php?option=com_content&task=view&id=49&Itemid=9
Sistem Jaringan Jalan berdasarkan Konsepsi PengaturanDitulis oleh AdministratorRabu, 18 April 2007Secara legal formal UU No. 13 tahun 1980, masih berlaku, tetapi dengan keluarnya UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, mestinya perlu dilakukan penyesuaian terhadap Undang Undang tentang jalan tersebut, khususnya penyesuaian dengan kondisi Otonomi Daerah dan reformasi. Saat sekarang di tingkat pusat sedang dirancang penyesuaian Undang Undang baru tersebut, yang masih berupa Konsepsi. Tetapi secara system tidak mengalami banyak perubahan, UU No.13 Tahun 1980 dengan rencana sekarang, yang berubah adalah dari segi kewenangan.
Dalam penyusunan konsepsi itu mengikuti 4 asas, yakni asas Keamanan & Keselamatan, asas Manfaat, asas Effisiensi & effektifitas dan asas Keserasian, Keselarasan & Kesimbangan.
Berdasarkan Lingkup Pengaturan, jalan dikelompokan menurut Peruntukan, Sistem, Fungsi, Status dan Kelas.
1. Berdasarkan Peruntukan, jalan dikelompokan sebagai :
Jalan Umum adalah jalan yang diperuntukan bagi lalu lintas umum, termasuk disini adalah Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol.
Jalan Khusus adalah jalan yang tidak diperuntukan untuk lalu lintas umum. Termasuk dalam kelompok ini adalah jalan kehutanan, jalan pertambangan, jalan inspeksi pengairan, minyak & gas, jalan yang dimaksud untuk pertahanan & keamanan dan jalan komplek.
2. Berdasarkan Sistem, jaringan jalan dikelompokan sebagai Sistem Jaringan Jalan :
Jaringan Jalan Primer adalah system jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah, yang menghubungkan simpul jasa distribusi yang berwujud kota. Jaringan tersebut menghubungkan dalam satu satuan wilayah pengembangan, yang menghubungkan secara menerus kota, yang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal, (PKL).
Jaringan Jalan Sekunder adalah system jaringan jalan dengan peran pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan, yang menghubungkan antar dan dalam pusat-pusat kegiatan di dalam kawasan perkotaan.
3. Berdasarkan Fungsi, dalam system jaringan jalan primer maupun sekunder, tiap ruas mempunyai fungsi masing-masing, yakni :
Jalan Arteri, adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, jumlah jalan masuk dibatasi. Berdasarkan tingkat pengendalian jalan masuk, maka jalan Arteri bisa dibedakan menjadi Jalan
Bebas Hambatan (Freeway), Jalan Expressway dan Jalan Raya (Highway). Dalam Jalan Bebas Hambatan, semua jalan akses secara penuh dikendalikan dan tanpa adanya persimpangan sebidang. Jalan Expressway, pengendalian jalan masuk secara parsial dan boleh adanya persimpangan sebidang, secara terbatas. Sedang Jalan Raya, pengendalian secara parsial dan boleh adanya persimpangan sebidang.
Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata sedang dan jalan masuk dibatasi.
Jalan Lokal, yaitu jalan yang melayani angkutan local dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rendah dan jumlah jalan masuk, tidak dibatasi.
Jalan Lingkungan, jalan yang melayani angkutan lingkungan, dengan ciri perjalanan jarak dekat dan dengan kecepatan rendah.
4. Pengelompokan Jalan berdasarkan Status, terdiri dari :
Jalan Nasional adalah jalan umum yang menghubungkan antar ibukota Propinsi, negara atau jalan yang bersifat strategis nasional. Sebagai penanggung jawab, pengaturan, pembinaan dan pengawasan jalan ini adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab yang berkaitan dengan pembangunan.
Jalan Propinsi, adalah jalan umum yang menghubungkan Ibukota Propinsi dengan Ibukota Kabupaten/Kota, atau antar kota, atau antar Kota atau antar Ibukota Kabupaten, atau antar Ibukota Kabupaten dengan Kota atau jalan yang bersifat strategis regional. Penanggung jawab penyelenggaraan adalah Pemerintah Propinsi.
Jalan Kabupaten, adalah jalan umum yang menghubungkan Ibukota Kabupaten dengan Kecamatan, antar Ibukota Kecamatan, Ibukota Kabupaten dengan Pusat Kegiatan Lokal atau antar Pusat Kegiatan Lokal dan jalan Strategis Lokal di daerah Kabupaten, serta janringan jalan sekunder di daerah Kabupaten. Penanggung jawab adalah Pemerintah Kabupaten.
Jalan Kota, adalah jalan umum dalam sistem sekunder yang menghubungkan antar pusat kegiatan lokal dalam kota, menghubungkan pusat kegiatan local dengan persil, menghubungkan antar persil, menghubungkan antar pusat pemikiman. Tanggung jawab dalam penyelenggaraan ada pada Pemerintah Kota.
Jalan Desa, adalah jalan umum yang menghubungkan kawasan di dalam Desa dan antar pemikiman. Sebagai penanggung jawab penyelenggaraan ada pada Pemerintah Kabupaten dan Desa.
Tingkat Pelayanan Jalan dan Kapasitas Ruas Jalan
01 Tingkat Pelayanan Jalan
Adapun tingkat pelayanan (VCR) dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
Sedangkan Standarnisasi nilai VCR ditetapkan berdasarkan IHCM (Indonesian Highway Capacity Model) adalah sebagai berikut:
02 Kapasitas Ruas Jalan
Perhitungan Kapasitas Ruas jalan dilakukan dengan menggunakan Indonesian Highway Capacity Manual (IHCM 1997) untuk daerah perkotaan dengan formula sebagai berikut :
2.1. Kapasitas Dasar (Co)Kapasitas dasar Co ditentukan berdasarkan tipe jalan sesuai dengan nilai yang tertera pada Tabel Kapasitas Dasar berikut:
2.2. Faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah (FCsp)Penentuan faktor koreksi untuk pembagian arah didasarkan pada kondisi arus lalu lintas dari kedua arah atau untuk jalan tanpa pembatas median. Untuk jalan satu arah dan/atau jalan dengan pembatas median, faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah adalah 1,0.
2.3. Faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalan (FCw)Faktor koreksi ini ditentukan berdasarkan lebar jalan efektif yang dapat terlihat pada Tabel Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan (FCw) berikut:
2.4. Faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping (FCsf)Faktor koreksi untuk ruas jalan yang mempunyai bahu jalan didasarkan pada lebar bahu jalan efektif (Ws) dan tingkat samping yang penentuan klasifikasinya dapat terlihat pada Tabel Klasifikasi Gangguan Samping. Sementara faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping (FCsf) untuk jalan yang mempunyai bahu jalan dapat terlihat pada Tabel Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCsf) untuk Jalan yang Mempunyai Bahu Jalan dan
Tabel Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Gangguan Samping (FCsf) untuk Jalan yang Mempunyai Kereb.
2.5. Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCcs)
2.6. Faktor Ekivalen Mobil Penumpang (emp)Sesuai dengan satuan lalu lintas yang akan dibebankan kepada jaringan jalan serta kapasitas ruas-ruas jalan yang disimulasikan, maka seluruh jenis kendaraan dikonversikan kedalam satuan mobil penumpang (smp), dengan besarnya Faktor Ekivalen smp Per Jenis Kendaraan dan Menurut Jenis Ruas Jalan (IHCM 1997) adalah dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.
Sumber:Tesis Erizal, Evaluasi Kinerja Ruas Jalan Arteri Primer, studi kasus Ruas Jalan Sudirman Kota Bekasi (Program Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro Tahun 2003)(http://perencanaankota.blogspot.com/2013/10/tingkat-pelayanan-jalan-dan-kapasitas.html)
Tingkat pelayanan
Tingkat pelayanan (level of service) adalah ukuran kinerja ruas jalan atau simpang jalan yang dihitung berdasarkan tingkat penggunaan jalan, kecepatan, kepadatan dan hambatan yang terjadi.Dalam bentuk matematis tingkat pelayanan jalan ditunjukkan dengan V-C Ratio versus kecepatan (V = volume lalu lintas, C = kapasitas jalan). Tingkat pelayanan dikategorikan dari yang terbaik (A) sampai yang terburuk (tingkat pelayanan F). Pada gambar
berikut ditunjukkan visualisasi yang diambil dari Highway Capacity Manual[2] dari tingkat pelayanan.
Tingkat pelayanan berdasarkan KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Di Jalan diklasifikasikan atas:
Tingkat pelayanan A
dengan kondisi:
1. arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi;
2. kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan;
3. pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau dengan sedikit tundaan.
Tingkat pelayanan B
dengan kondisi:
1. arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas;
2. kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum memengaruhi kecepatan;
3. pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.
Tingkat pelayanan C
dengan kondisi:
1. arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi;
2. kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas meningkat;3. pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur atau
mendahului.
Tingkat pelayanan D
dengan kondisi:
1. arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus;
2. kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar;
3. pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk waktu yang singkat.
Tingkat pelayanan E
dengan kondisi:
1. arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;
2. kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi;3. pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.
Tingkat pelayanan F
dengan kondisi:
1. arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;2. kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume sama dengan kapasitas jalan serta
terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama;3. dalam keadaan antrian, kecepatan maupun arus turun sampai 0.
(http://id.wikibooks.org/wiki/Rekayasa_Lalu_Lintas/Kapasitas_jalan)
2.3 Klas-Klas Standar Perencanaan Geometrik2.3.1 Klasifikasi Fungsi Jalan Raya
Menurut Peraturan No. 13/1980 tentang Jalan, system jaringan jalan primer
didefinisikan sebagai berikut:
- Jaringan jalan primer merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan merupakan system
jalan untuk membantu pembangunan semua daerah dengan menghubungkan pusat-pusat
untuk pelayanan masyarakat yang merupakan atau akan menjadi kota-kota.
Kemudian peraturan itu mengelompokkan jalan raya menjadi tiga kategori berdasarkan
fungsinya sebagai berikut:
Jalan Arteri: “melayani angkutan primer yang memerlukan rute jarak jauh, kecepatan rata-rata yang tinggi
dan sejumlah jalan masuk yang terbatas yang dipilih secara efisien”
Jalan Kolektor: “melayani penampungan dan pendistribusian transportasi yang memerlukan rute jarak
sedang, kecepatan rata-rata sedang dan mempunyai jalan masuk yang jumlahnya terbatas”
Jalan Lokal: “melayani transportasi lokal yang memerlukan rute jarak pendek, kecepatan rata-rata yang
rendah dan mempunyai jalan masuk dalam jumlah yang tak terbatas”
2.3.2 Klasifikasi Kondisi Medan
Untuk membatasi biaya pembangunan jalan maka standar harus disesuaikan dengan
keadaan topografi. Medan dibagi atas 3 jenis yang dibedakan oleh besarnya kemiringan
medan dalam arah yang kira-kira tegak lurus as jalan raya. Pengelompokan medan dan
kemiringan medan yang bersangkutan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kondisi medan
Jenis Medan Rata-rata Kemiringan Melintang (%)
Datar (D)
Perbukitan (PB)
Pegunungan (PG)
0 – 9,9
10 – 24,9
>25
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Kondisi medan ruas jalan yang diproyeksikan diperkirakan untuk keseluruhan panjang
jalan. Perubahan medan untuk bagian kecil ruas tersebut dapat diabaikan.
Gambar 2.1 Kemiringan melintang
2.3.3 Klasifikasi Jalan Raya dan Penggunaan Kelas Standar
Kelas-kelas standar juga harus mengikuti fungsi jalan. Standar perencanaan geometrik
harus memenuhi persyaratan fungsional tersebut. Jadi standar kelas yang lebih tinggi
diperuntukkan bagi jalan dengan fungsi yang lebih tinggi. Peraturan pemerintah untuk jalan
No. 26/ 1985, menyinggung tentang kecepatan rencana minimum dan lebar badan jalan
minimum menurut fungsi jalan: kecepatan rencana 60 km/jam dan lebar badan jalan 8 m
untuk jalan arteri, 40 km/jam dan 7 m untuk jalan kolektor, dan 20 km/ jam dan 6 m untuk
jalan arteri. Persyaratan diatas akan menjadi dasar untuk melengkapi standar perencanaan
geometrik.
Tabel 2.2 Pengelompokan jalan raya dan pengetrapan kelas standar untuk kecepatan rencana
minimum 60 km/jam
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Tabel 2.3 Pengelompokan jalan raya dan pengetrapan kelas standar untuk kecepatan rencana
minimum 40 km/jam
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Tabel 2.4 Pengelompokan jalan raya dan pengetrapan kelas standar untuk kecepatan rencana
minimum 20 km/jam
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Catatan: VLR = Volume Lalu-lintas Rencana (smp/hari)
D = Datar
G = Pegunungan
B = Perbukitan
2.4 Kendaraan Rencana
Karakteristik fisik kendaraan dan proporsi kendaraan dari ukuran yang beragam yang
menggunakan jalan raya adalah faktor-faktor yang nyata pada perencanaan geometrik, yang
mempengaruhi komponen-komponen seperti penampang, pelebaran pada tikungan, jari-jari
lengkung persimpangan, kelandaian, dan jarak pandangan. Dalam spesifikasi ini, jenis-jenis
kendaraan rencana berikut mewakili masing-masing golongan kendaraan: mobil penumpang
digolongkan sebagai kendaraan berukuran kecil, truk dengan 3 sumbu dan bis digolongkan
sebagai kendaraan komersil secara umum, dan truk semi trailer digolongkan ukuran sebesar
kendaraan komersil. Untuk kepentingan perencanaan geometrik, masing-masing jenis
kendaraan mempunyai dimensi fisik karakteristik yang lebih besar daripada kebanyakan
semua kendaraan
Gambar 2.2 Mobil ukuran kecil (mobil penumpang)
Gambar 2.3 Kendaraan komersil pada umumnya (truk/bis 3 sumbu)
Gambar 2.4 Kendaraan komersil ukuran besar (semitrailer)2.5 Bagian Bagian Jalan
Tinggi dan dalamnya daerah manfaan jalan diberikan pada gambar di bawah. Areal itu,
5 m atau lebih, lebih tinggi dari permukaan atas perkerasan, dan 1,5 m atau lebih, lebih dalam
dari permukaan bawah perkerasan. Sisi atas maupun bawah areal tersebut keduanya harus
sejajar dengan permukaan perkerasan.
Nilai minimum dari jumlah lebar daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan
terhitung dari tengah-tengah jalan sampai batas harus 20 m untuk jalan arteri, 15 m untuk
jalan kolektor dan 10 m untuk jalan lokal.
Gambar 2.5 Daerah manfaat jalan (Damaja)
Gambar 2.6 Daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan (Damija dan Dawasja)
2.6 Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana adalah kecepatan untuk menentukan elemen-elemen geometrik jalan
raya. Jari-jari lengkungan, superelevasi dan jarak pandangan langsung bersangkutan
dengannya. Penampang seperti misalnya lebar jalan kendaraan atau jumlah jalur jelas
mempengaruhi kecepatan. Oleh karena itu penampang dan kecepatan rencana harus
direncanakan secara bersamaan.
Dipandang dari segi mengemudi, kecepatan rencana dinyatakan sebagai kecepatan yang
memungkinkan seorang pengemudi berketrampilan sedang dapat mengemudi dengan aman
dan nyaman dalam kondisi cuaca cerah, lalu lintas lenggang dan tanpa pengaruh lainnya yang
serius. Dengan perkataan lain perencanaan geometrik standar mempunyai batas keamanan.
Oleh karena itu kecepatan rencana dapat dilampaui pada saat mengemudi jika alinyemen
sebagai tambahan kondisi tersebut diatas baik keadaannya.
Tabel 2.5 Kecepatan Rencana
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Dipandang dari segi kondisi lingkungan pada umumnya, peran jalan raya dan
karakteristik fisik kendaraan yang menggunakan jalan raya, kecepatan rencana maksimum
sebesar 80 km/jam adalah layak bagi jalan raya tanpa pengawasan jalan masuk. Kecepatan
rencana minimum sebesar 30 km/jam umumnya disyaratkan meskipun volume lalu lintas
rencana rendah. Jadi kecepatan rencana sebesar 80 km/jam sampai 30 km/jam diperuntukkan
bagi jalan kelas 1 sampai kelas 5. Untuk kelas 5* dengan medan yang curam dan lalulintas
yang cukup rendah harus diberikan kecepatan rencana yang lebih kecil dari 30 km/jam
2.7 Penampang Melintang
2.7.1 Lebar Lajur
Tak ada keistimewaan jalan raya yang mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
keamanan & kenyamanan mengemudi selain lebar dan kondisi permukaan. Lebar lajur terdiri
atas lebar kendaraan dan ruang bebas menyiap yang berubah menurut kecepatan kendaraan.
Pada jalan raya dua lajur dengan dua arah, disyaratkan lebar lajur 3,5 m untuk
memungkinkan ruang bebas yang diizinkan diantara truk atau kendaraan komersil ainnya.
Lebar sebesar 2,5 m memenuhi kebutuhan minimum bagi 2 truk untuk saling melewati pada
kecepatan yang paling rendah. Jadi lebar jalur 3,5 m diperuntukkan untuk kelas 1 dan
diturunkan, kelas demi kelas, sampai 2,75 m untuk kelas 4 seperti di tunjukkan pada tabel di
bawah ini.
Kelas 5 dan 5* yang merupakan jalan raya satu lajur dengan dua arah mempunyai jalur
lalulintas selebar 4,5 m yang memungkinkan mobil penumpang berpapasan pada jurusan
yang berlawanan. Pada kelas 5 dan 5* bahu jalan sewaktu-waktu dapat menampung
kendaraan berukuran besar yang lewat .
Tabel 2.6 Lebar Jalur
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
2.7.2 Jumlah Lajur
Jumlah jalur didapat dari perbandingan volume lalulintas standar (VLLS) dan volume .
lalulintas rencana (VLLR) pada jalan raya yang diproyeksikan. Proses untuk mendapatkan
VLS adalah sebagai berikut: Dalam hal VLR melebihi VLS pada perencanaan awal, jalan
raya harus ditingkatkan kapasitasnya dengan melebarkan atau menambah jumlah jalur. Pokok
ketentuan ini adalah mencari batas-batas VLR untuk 2 jalur, 4 jalur dan 6 jalur bagi jalan
dengan penampang standar. Jalan lokal dihilangkan dalam ketentuan ini karena kebanyakan
diantaranya mempunyai lalulintas rendah sehingga tidak membutuhkan jalur ganda.
Pertama-tama, kapasitas dasar jalan (K), ( SMP/jam) disesuaikan dengan kondisi jalan
raya, untuk dikonversikan ketingkat arus pelayanan (TAP) (SMP/jam). Selanjutnya TAP
yang dibagi oleh faktor K dikonversikan ke volume harian. Faktor K menunjukkan
perbandingan lalu lintas per-jam pada tingkat tertentu dalam tahun tersebut dan LHR
tahunan. Disini digunakan lalulintas tertinggi pada jam ke-30, ke-100 dan ke-200 tertinggi
untuk tahun tersebut sebagai persentase LHR tahunan. Jadi, bersamaan dengan konversi TAP
ke SVL, tingkat volume lalulintas per-jam rencana untuk tahun itu ditentukan. Rumus berikut
menunjukkan hubungan tersebut diatas:
TAP = KJ (faktor penyesuaian untuk kondisi jalan)
SVL = TAP (smp/jam) / faktor-K
KJ adalah arus maksimum yang mungkin pada kondisi daerah manfaat jalan yang ideal dan
mencakup:
a. Lebar jalur 3,5 m
b. Lebar bahu jalan 1,75 m
c. Tak ada gangguan pada sisi jalan oleh pejalan kaki, sepeda atau kendaraan yang sedang
parkir diatas bahu jalan atau kendaraan yang muncul secara mendadak menyeberang jalan
tersebut
Tabel 2.7 Kapasitas jalan (KJ)
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Tabel 2.8 Standar volume lalulintas (SVL) untuk jalan 2 arah 2 lajur
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan
Akhir) Bina Marga, 1990.
Catatan: A= Jalan Arteri, C= Jalan Kolektor
F= Medan Datar, R= Medan Perbukitan M= Medan
Pegunungan
Tabel 2.9 Volume lalulintas standar (VLS) untuk jalan 4 jalur
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Tabel 2.10 Jumlah jalur yang ditentukan menurut perbandingan VLH dan SVL
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.Catatan: A= Jalan Arteri, C= Jalan Kolektor
D= Medan Datar, B= Medan Perbukitan G= Medan
Pegunungan
2.7.3 Bahu Jalan
Fungsi utama bahu jalan adalah untuk melindungi bagian utama jalan, berfungsi
sebagai tempat parker, menyediakan ruang bebas samping bagi lalulintas, meningkatkan jarak
pandangan pada tikungan dan berfungsi sebagai trotoar dalam hal belum tersedianya trotoar.
Tabel 2.11 Lebar bahu jalan (m)
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
2.8 Alinyemen Horizontal
Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, alinyemen
horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinyemen horizontal sering
disebut dengan situasi jalan atau trase jalan. Alinyemen horizontal terdiri atas garis lurus dan
garis lengkung yang berupa bagian dari lingkaran dan lengkung peralihan.
2.8.1 Konsep Dasar Perencanaan Tikungan
Tikungan jalan terdiri atas bagian dari lingkaran dan lengkung peralihan. Penentuan
ukuran bagian-bagian tikungan didasarkan pada keseimbangan gaya yang bekerja pada
kendaraan yang melintasi tikungan tersebut. Bila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan
tetap sebesar V pada bidang datar atau bidang miring dengan lintasan melengkung, maka
kendaraan tersebut akan mengalami gaya sentrifugal dan gaya sentripetal. Gaya sentrifugal
mendorong kendaraan secara radial ke arah luar lengkung. Gaya ini berarah tegak lurus
terhadap arah laju kendaraan yang mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi pengemudi. Gaya
sentrifugal F dapat ditentukan dengan persamaan 2.1.
.................................................................................... 2.1
dimana, m = Massa (kg)
a = Percepatan (m/det2)
................................................................................... 2.2
dimana, G = Berat kendaraan (kg)
g = Gaya gravitasi (m/det2)
Jika a didefinisikan sebagai percepatan sentrifugal, maka a dapat dinyatakan dalam
persamaan 2.3.
................................................................................... 2.3
dimana, v = Kecepatan kendaraan (km/jam)
R = Jari-jari lengkung lintasan (m)
Dengan demikian gaya sentrifugal dapat dinyatakan sebagai perkalian antara massa
dengan percepatan sentrifugal seperti pada persamaan 2.4.
...................................................................... 2.4
Untuk mempertahankan agar kendaraan yang melaju pada tikungan tetap berada pada
lintasannya, maka diperlukan gaya yang dapat mengimbangi gaya sentrifugal tersebut. Gaya-
gaya yang mengimbangi gaya sentrifugal tersebut adalah:
a. gaya gesek melintang antara ban dengan pemukaan jalan.
b. kornponen gaya akibat berat kendaraan yang terjadi pada bidang miring di tikungan.
Fenomena keseimbangan gaya tersebut dapat diperlihatkan pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Keseimbangan gaya pada tikungan
2.8.2 Penentuan Titik Koordinat
Berdasarkan titik koordinat dan elevasi maka dapat dihitung jarak. Menurut Saodang
(2004), perhitungan jarak dari titik PI ke titik PI lainnya dapat menggunakan persamaan
berikut ini:
………………………… 2.5
dimana, dA-PI = Jarak antara titik A ke PI (m)
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XA,YA = Koordinat dari titik A (m)
2.8.3 Penentuan Sudut Putar
Menurut Saodang (2004), bahwa sudut putar pada tikungan lengkung FC, S-C-S dan S-
S dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini:
dimana, ΔPI = Sudut Putar ( o )
XPI,YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XA,YA = Koordinat dari titik A (m)
XB,YB = Koordinat dari titik B (m)
Dari persamaan di atas dapat diketahui dA-PI antara titik A dan titik PI, dari sudut
jurusan 1 garis menghubungkan titik A dan titik PI juga titik B.
2.8.4 Jari-Jari Minimum
Jari-jari lengkung minimum untuk kecepatan rencana yang berlainan, seperti
diperlihatkan pada Tabel di bawah ini, didasarkan pada superelevasi maksimum dan gesekan
sisi dengan rumus:
dimana, R = Jari-jari minimum (m)
V = Kecepatan (km/jam) = kecepatan rencana
f = koefisien gesekan sisi (koefisien gesekan diantara ban
dan permukaan jalan melawan gesekan)
i = Superelevasi
Hasil penelaahan luar negeri menunjukkan bahwa nilai maksimum faktor gesekan sisi
"f" adalah 0,4 sampai 0,8 untuk perkerasan aspal. Secara teoritis, kecepatan laju di tikungan
dapat ditingkatkan sampai "f" mencapai batas maksimumnya. Tetapi kecepatan laju yang
tinggi di tikungan menimbulkan gaya sentrifugal yang besar pada pengemudi. Merupakan
kecenderungan yang umum bagi pengemudi untuk mengurangi gaya sentrifugal yang bekerja
pada mereka dan untuk mempertahankan kenyamanan dan keamanan dalam mengemudi.
Jari-jari minimium untuk kecepatan rencana yang bersangkutan yang ditunjukkan pada
Tabel di bawah ditentukan oleh nilai "f" yang direkomendasikan, yang berkisar antara 0,14
sampai 0,17 demi kenyamanan dalam mengemudi. Nilai superelevasi yang
diperkirakan untuk jari-jari minimum adalah 10% untuk kecepatan rencana 40 sampai 80
km/jam, dan 8% untuk kecepatan rencana 30 sampai 20 km/jam.
Tabel 2.12 Jari-jari minimum
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
2.8.5 Panjang Jari-Jari Minimum
Untuk menjamin kelancaran mengemudi, tikungan harus cukup panjang sehingga
diperlukan waktu 6 detik atau lebih untuk melintasinya. Panjang jari-jari minimum seperti
yang diperlihatkan pada Tabel di bawah didasarkan atas rumus berikut:
...................................................................................................... 2.8
dimana, L = panjang jari-jari (m)
t = waktu tempuh (detik) = 6
v = kecepatan (m/detik) = kecepatan rencana
Tabel 2.13 Panjang jari-jari minimum
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
2.8.6 Jarak Pandangan Henti
Jarak pandangan henti adalah jumlah dua jarak, jarak yang dilintasi kendaraan sejak
saat mengemudi melihat suatu objek yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat rem
diinjak dan jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan kendaraan sejak saat penggunaan rem
dimulai.
Untuk jalan raya kelas 5 dengan lajur tunggal, jarak pandangan henti harus dua kali
lipat kecuali diambil beberapa tindakan penjagaan seperti pemasangan cermin pada tikungan.
dimana, D = Jarak pandangan henti minimum (m)
V = Kecepatan (km/jam) = kecepatan rencana
t = Waktu tanggap (detik) = 2,5
g = Kecepatan gravitasi = 9,8 m/d2
f = Koefisien gesekan membujur = 0,3 sampai 0,4
e = Ruas bebas samping
Tabel 2.14 Jarak pandangan henti minimum
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Gambar 2.8 Jarak pandangan henti2.8.7 Jarak Pandangan Menyiap
Disini ditentukan 2 macam jarak pandangan menyiap yaitu jarak pandangan menyiap
total dan jarak pandangan menyiap minimum. Jarak pandangan menyiap total
memungkinkan gerakan menyiap mulai saat bergerak ke arah jalur yang berlawanan. Dilain
pihak, jarak pandangan menyiap minimum yang diperlukan memungkinkan kendaraan
memulainya dari titik. tempat kendaraan yang menyiap tersebut menyusul bagian belakang
kendaraan yang disiap. Dalam hal yang terakhir, kendaraan yang menyiap kembali ke jalur
semula jika menjumpai kendaraan yang sedang mendekat. Meskipun sudah jelas bahwa jarak
pandangan yang terdahulu lebih dikehendaki, yang terakhir dapat diterapkan jika biaya
konstruksi jalan raya tersebut terbatas. Panjang jarak pandangan menyiap diperlihatkan pada
tabel di bawah.
Frekuensi dan panjang bagian penyiapan untuk jalan raya terutama tergantung
kepada topografi, kecepatan rencana jalan raya dan biaya. Meskipun sulit untuk
langsung menunjukkan frekuensi yang diberikan bagi jalan raya 2 jalur, sekurang-kurangnya
10% panjang seluruh jalan raya yang diproyeksikan tersebut harus mempunyai jarak
pandangan menyiap.
Tabel 2.15 Jarak pandangan menyiap
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Gambar 2.9 Jarak pandangan menyiap
2.8.8 Kemiringan Melintang
Untuk drainase permukaan, jalan dengan alinyemen lurus membutuhkan kemiringan
melintang yang normal 2% untuk aspal beton atau perkerasan beton dan 3,0 - 5,0% untuk
perkerasan macadam atau jenis perkerasan lainnya dan jalan batu kerikil.
2.8.9 Pencapaian Kemiringan
Pencapaian kemiringan harus dipasang didalam lengkung peralihan. Bilamana tidak
dipasang lengkung peralihan, pencapaian harus dipasang sebelum dan sesudah lengkung
tersebut.
Gambar 2.10 Pencapaian kemiringan
Tabel 2.18 Kemiringan maksimum untuk pencapaian kemiringan
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
2.8.10 Perancangan Tikungan
Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, dalam
perancangan tikungan dikenal 2 bentuk lengkung dasar yang sering digunakan yaitu:
lengkung lingkaran (circle) dan lengkung spiral. Lengkung spiral sering digunakan sebagai
lengkung peralihan. Penggunaan kedua lengkung dasar tersebut disesuikan dengan kebutuhun
dan persyaratan teknis. Untuk itu dikenal beberapa bentuk tikungan yang digunakan dalam
perancangan yaitu: lingkaran penuh (full circle), spiral-spiral (S-S) dan spiral lingkaran spiral
(S-C-S).
a. Lingkaran Penuh (Full Circle)
Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari tikungan besar
dan sudut tangen kecil. Pada tikungan yang tajam, dimana jari-jari tikungan kecil dan
superelevasi yang diperlukan besar, tikungan berbentuk lingkaran akan menyebabkan
perubahan kemiringan melintang yang besar, sehingga akan menimbulkan kesan patah pada
tepi perkerasan sebelah luar.
Gambar 2.11 Tikungan berbentuk lingkaranGambar 2.11 menunjukkan tikungan berbentuk lingkaran penuh. Bagian lurus dari jalan (di
sebelah kiri TC dan di sebelah kanan CT) dinamakan bagian tangen. Titik peralihan dari
bagian lurus ke bagian lengkung (lingkaran) dinamakan titik TC, sedangkan titik peralihan
dari bagian lengkung ke bagian lurus dinamakan titik TC. Titik potong dari perpanjangan
kedua bagian jalan yang lurus dinamakan PI, sedangkan sudut yang terbentuk antara
keduanya dinamakan sudut tangen (= B). Jarak lurus antara titik TC (atau CT) terhadap titik
PI disebut Tc.
................................................................... 2.10
................................................................... 2.11
............................................................... 2.12
Karena tikungan hanya berbentuk lingkalan saja, maka pencapaian superelevasi
dilakukan sebagian pada bagian jalan yang lurus dan sebagian lagi dilakukan pada bagian
lingkaran (lengkung). Karena sesungguhnya bagian tikungan peralihan itu sendiri tidak ada,
maka panjang daerah pencapaian superelevasi disebut sebagai panjang peralihan fiktif (Ls').
Menurut Bina Marga, panjang peralihan fiktif ini ditempatkan pada bagian jalan yang
lurus sebesar 3/4 Ls' (yaitu disebelah kiri TC atau sebelah kanan CT) dan pada bagian
lingkaran (lengkungan) sebesar 1/4 Ls'.
b. Lengkung Spiral Spiral (S-S)
Sebaiknya lengkung peralihan dipasang pada bagian awal, di ujung dan dititik balik
pada lengkungan untuk menjamin perubahan yang tidak mendadak jari-jari lengkung,
superelevasi dan pelebaran. Lengkung peralihan juga membantu penampilan alinyemen.
Lengkung clothoide umumnya dipakai untuk lengkung peralihan. Guna menjamin
kelancaran mengemudi, panjang minimum lengkung peralihan yang ditunjukkan pada tabel
2.19 adalah setara dengan waktu tempuh 3 detik. Panjangnya dihitung lewat rumus di bawah
ini:
............................................................ 2.13
Tabel 2.19 Panjang minimum lengkung peralihan
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Tikungan dengan jari-jari besar (seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.20) tidak
memerlukan lengkung peralihan. Jika lengkung peralihan dipasang, alinyemen horisontal
bergeser dari garis singgung kesuatu lingkungan. Besarnya nilai pergeseran ini tergantung
dari panjang lengkung peralihan dan jari-jari lengkung. Jika jari jari lengkung sedemikian
besarnya sehingga pergeseran kecil, maka pergeseran dapat diadakan di dalam lebar jalur,
sehingga lengkung peralihan tidak dibutuhkan. Besarnya pergeseran ini dapat dihitung
sebagai berikut:
............................................................... 2.14
dimana, S = Nilai pergeseran (m)
L = Panjang lengkung peralihan (m)
R = jari-jari lengkung (m)
Sedangkan besarnya jari-jari lengkungan minimum yang tidak memerlukan lengkung
peralihan (dengan pergeseran sebesar 0,2 m) ditunjukkan pada Tabel 2.20.
Tabel 2.20 Jari-jari minimum yang tidak memerlukan lengkung
peralihan
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
c. Spiral Lingkaan Spiral (S-C-S)
Gambar 2.12 Lengkung S-C-S
Lengkung TS-SC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral (clothoid) yang
menghubungkan bagian lurus dengan radius tak berhingga di awal spiral (kiri TS) dan bagian
berbentuk lingkaran dengan radius = Rc diakhir spiral (kanan SC). Titik TS adalah titik
peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk spiral dan titik SC adalah titik peralihan bagian
spiral ke bagian lingkaran.
Guna membuat ruangan untuk spiral sehingga lengkung lingkaran dapat ditempatkan di
ujung lengkung spiral, maka lengkung lingkaran tersebut digeser ke dalam pada posisi FF',
dimana HF = H'F' = p terletak sejauh k dari awal lengkung peralihan sembarang titik P pada
spiral yaitu:
Jika panjang lengkung peralihan dari TS ke SC adalah Ls dan R pada SC adalah Rc,
maka:
Besarnya sudut spiral pada titik SC adalah:
Dan nilai p menjadi:
Untuk Ls = 1 m, p = p* dan k = k*
Dan untuk Ls = Ls, p = p*.Ls dan k = k*.Ls
Sudut pusat busur lingkaran = Øs, dan sudut spiral Øs. Jika besarnya sudut perpotongan
kedua tangen adalah β, maka:
.............................................................................. 2.19
.................................................. 2.20
...................................................... 2.21
...................................................................... 2.22
Lc untuk lengkung S-C-S ini sebaiknya ≥ 20m, maka radius yang dipergunakan
haruslah memenuhi syarat tersebut. Hal ini sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut β. Jadi
terdapat radius minimum yang dapat dipergunakan untuk perencanaan lengkung berbentuk
spiral - lingkaran - spiral sehubungan dengan besarnya sudut β, kecepatan rencana dan
batasan superelevasi maksimum yang dipilih.
d. Tikungan Gabungan dan Tikungan Balik
Tikungan gabungan adalah gabungan tikungan dengan putaran yang sama dan jari-jari
yang berlainan yang bersambungan langsung. Tikungan balik adalah gabungan tikungan
dengan putaran yang berbeda dan bersambungan langsung.
Gambar 2.13 Tikungan gabungan
Gambar 2.14 Tikungan balik
Dalam hal perbedaan jari-jari pada lengkung yang berdampingan tidak melampaui 1 :
1,5 lengkung dapat dihubungkan langsung hingga membentuk lengkung gabungan seperti
pada gambar 2.10. suatu garis lurus yang dipasang pada titik balik untuk pencapaian
kemiringan dapat membantu lengkung gabungan tersebut (gambar 2.14).
Gambar 2.15 Lengkung chothoide yang dipasang pada lengkung gabungan
Gambar 2.16 Lengkung clothoide yang dipasang pada lengkung balik
Gambar 2.17 Garis lurus yang dipasang pada lengkung balik
2.8.11 Superelevasi
Nilai superelevasi yang tinggi mengurangi gaya geser kesamping dan menjadikan
mengemudi pada tikungan lebih nyaman tetapi batas praktis berlaku untuk itu. Ketika
bergerak perlahan mengitari suatu tikungan dengan superelevasi tinggi, maka bekerja
gaya negatif ke samping dan kendaraan dipertahankan pada lintasan yang tepat hanya jika
pengemudi mengemudikannya ke sebelah atas lereng atau berlawanan dengan arah lengkung
mendatar. Nilai pendekatan untuk tingkat superelevasi maksimum adalah 10%.
Jari-jari minimum yang tidak membutuhkan superelevasi ditunjukkan pada tabel 2.16.
Jari-jari ini juga berdasarkan pada rumus (i) dengan kemiringan melintang i = -0,02 dan
faktor gesekan kesamping f = 0,035. Untuk menjamin kenyamanan mengemudi walaupun
pada sisi luar tikungan dengan kemiringan melintang yang berlawanan maka memerlukan
faktor f yang kecil sebagaimana di atas.
Superelevasi diberikan berdasarkan kecepatan rencana dan jari-jari lengkungan, seperti
pada tabel 2.17.
Tabel 2.16 Jari-jari minimum untuk kemiringan melintang normal
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Untuk menjamin kenyamanan pengemudi walaupun pada sisi luar tikungan dengan
kemiringan melintang yang berlawanan, maka memerlukan faktor f yang kecil sebagaimana
di atas. Superelevasi diberikan berdasarkan kecepatan rencana dan jari-jari tikungan seperti
pada Tabel 2.17.
Tabel 2.17 Superelevasi
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Gambar 2.18 Perspektif perubahan superelevasi2.8.12 Pelebaran pada Tikungan
Jalan kendaraan pada tikungan perlu diperlebar untuk menyesuaikan dengan lintasan
lengkung yang ditempuh kendaraan. Nilai pelebaran yang ditunjukkan pada tabel 2.21
didasarkan atas pengelompokan jalan raya. Disini kendaraan rencana adalah semitrailer untuk
kelas 1 dan truk unit tunggal untuk kelas 2, kelas 3 dan kelas 4.
Tabel 2.21 Pelebaran jari-jari
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
2.8.13 Ruang Bebas Samping
Pada tikungan yang mempunyai panjang jarak pandangan tertentu maka tikungan itu
perlu mempunyai lebar pandangan bebas (ruang bebas samping, lihat Gambar 2.7) yang
sesuai. Jika ruang bebas samping tidak tersedi dilokasi jalan, maka jalan perlu diperlebar.
Grafik 2.1 memberikan ruang bebas untuk kasus dengan pandangan yang dimulai dan
berakhir pada suatu tikungan seperti pada Gambar 2.7. Untuk kasus dengan pandangan yang
dimulai dari suatu bagian jalan lurus ke suatu tikungan atau untuk kasus lainnya, ruang bebas
samping diukur langsung dari gambar rencana.
dimana, D = Jarak pandangan (m)
R = Jari-jari tikungan pada sumbu lajur sebelah dalam (m)
t = Waktu tanggap (detik) = 2,5
2.9 Alinyemen Vertikal
Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, alinyemen
vertikal adalah perpotongan antara bidang bertikal dengan sumbu jalan. Untuk jalan dengan
dua lajur, alinyemen vertikal ini adalah perpotongan bidang vertikal melalui sumbu jalan,
sedangkan untuk jalan dengan jumlah lajur banyak, dengan median yang dimaksud dengan
alinyemen bertikal adalah perpotongan bidang vertikal melalui tepi dalam masing-masing
perkerasan.
Didalam perancangan geometrik jalan harus diusahakan agar alinyemen vertikal
mendekati permukaan tanah asli yang secara teknis laik berfungsi sebagai tanah dasar, untuk
dapat mengurangi pekerjaan tanah. Agar tidak terjadi kesulitan didalam masalah pengaliran
air drainase permukaan jalan, sedapat mungkin diusahakan agar permukaan jalan berada
diatas permukaan tanah asli. Namun demikian, perlu juga diperhatikan aspek lain yang
berkaitan dengan alinyemen horizontal. Didalam perancangan alinyemen vertikal perlu juga
diperhatikan elevasi genangan air ditempat-tempat tertentu permukaan jalan tidak terendam
air pada saat terjadi genangan. Didaerah perbukitan, perancangan alinyemen jalan harus
diusahakan agar jumlah galian dan timbunan pada jarak pengangkutan yang berdekatan
berimbang. Jadi dapat disimpulkan bahwa didalam perancangan alinyemen vertikal,
sekurang-kurangnya harus memperhatikan keadaan tanah dasar, keadaan topografi medan,
persyaratan jalan sesuai fungsi serta klasifikasinya, permukaan genangan air, permukaan air
tanah dan kelandaian jalan yang masih memungkinkan.
2.9.1 Kelandaian
Menurut Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota 1990,
walaupun hampir semua mobil penumpang dapat mengatasi kelandaian 8% sampai 9% tanpa
kehilangan kecepatan yang berarti, pengaruh kelandaian pada kecepatan truk agak nyata.
Untuk menentukan kelandaian maksimum kemampuan. Menanjak sebuah truk
bermuatan maupun biaya konstruksi harus diperhitungkan. Tabel 2.22 menunjukkan 2
kategori kelandaian maksimum. Untuk kasus biasa, kelandaian diperbolehkan mengikuti
nilai-nilai yang ditunjukkan pada baris atas tabel tersebut. Bila anggaran tidak dapat
menampung biaya untuk mendapatkan kelandaian standar maksimum sepanjang suatu bagian
jalan yang pendek, maka kelandaian pada bagian itu dapat dinaikkan sampai nilai kelandaian
maksimum mutlak.
Patokan untuk kelandaian standar maksimum yang diperlihatkan pada Tabel 2.22 ialah
bahwa sebuah truk bermuatan penuh dapat menanjak pada kelandaian tersebut untuk jarak
yang jauh dengan kecepatan 50 sampai 80 km/jam, lebih dari separuh kecepatan rencana dan
tanpa menggunakan gigi rendah dengan kecepatan rencana 20 sampai 40 km/jam.
Kelandaian maksimum mutlak ditetapkan 4% lebih tinggi daripada nilai maksimum
standar. Akibatnya, untuk kecepatan rencana 80 sampai 20 km/ jam diberikan gradient
sebesar 8 sampai 13%. Dari sudut pandangan, tingkat pelayanan untuk masing-masing
kecepatan rencana maupun situasi perencanaan jalan raya dewasa ini, nilai maksimum mutlak
cukup tepat. Jika diambil nilai kelandaian yang 1% lebih rendah, biaya konstruksi jalan raga
yang diproyeksikan akan melampaui standar dewasa ini. Jika diambil kelandaian yang 1%
lebih tinggi, kecepatan akan jauh dibawah kecepatan rencana dan akibatnya manfaat yang
diberikan jalan raya tersebut akan jauh lebih rendah daripada yang dipersyaratkan.
Tabel 2.22 Kelandaian Maksimum Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Harus ada suatu batas untuk panjang kelandaian yang melebihi maksimum standar,
ditandai bahwa kecepatan sebuah truk bermuatan penuh akan lebih rendah dari separuh
kecepatan rencana atau untuk jika gigi "rendah" terpaksa dipakai. Keadaan kritis demikian
tidak boleh berlangsung terlalu lama. Panjang kritis yang diperlihatkan pada Tabel 2.23
ditentukan untuk membatasi waktu tempuh pada kelandaian-kelandaian yang melebihi
maksimum standar hingga satu menit.
Tabel 2.23 Panjang kritis untuk kelandaian-kelandaian yang melebihi maksimum standarSumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Kelandaian minimum untuk drainase (kelandaian memanjang) sebaiknya lebih rendah
demi keselamatan dan kenyamanan mengemudi, keadaan datar yang cukup jauh tidak disukai
ditinjau dari segi drainase. Untuk drainase memanjang, kelandaian yang diperlukan ialah dari
0,3% sampai 0,5%.
2.9.2 Perancangan Lengkung Vertikal
Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, peralihan dari
satu kelandaian ke kelandaian yang lain di dalam alinyemen vertikal diperhalus dengan
menggunakan lengkung vertikal. Lengkung vertical tersebut dirancang untuk memenuhi
persyaratan keamanan, kenyamanan dan drainase. Didalam perancangan geometrik jalan
berdasarkan bentuk perpotongan antara dua kelandaian yang berbeda dikenal dua jenis
lengkung vertikal, yaitu :
a. Lengkung vertikal cembung
b. Lengkung vertikal cekung
Lengkung vertikal cekung adalah lengkung yang terbentuk pada perpotongan antara
kedua kelandaian berada di bawah permukaan jalan. Lengkung vertical cembung adalah
lengkung yang terbentuk pada perpotongan antara kedua kelandaian yang berada di atas
permukaan jalan (lihat gambar 2.19)
Gambar 2.19 Lengkung vertikal cekung dan cembung
Terdapat beberapa jenis lengkung vertical yang digunakan didalam perancangan
alinyemen vertical, yaitu:
a. Lingkaran
b. Parabola sederhana
c. Parabola tingkat tiga
d. Spiral (chothoide)
Bentuk lengkung vertikal yang pada umumnya dipergunakan adalah lengkung parabola
sederhana sebagaimana seperti yang terlihat pada gambar 2.20.
Gambar 2.20 Lengkung vertikal parabola
Pada gambar 2.20 titik A adalah titik peralihan dari bagian lurus ke bagian lengkung
vertikal yang disebut titik awal lengkung vertikal (VPC). Titik B adalah titik peralihan dari
bagian lengkung ke bagian lurus yang disebut titik akhir lengkung (VPT). Titik perpotongan
antara kedua kelandaian disebut titik perpotongan vertikal (VPI).
Titik-titik di sepanjang lengkung vertikal terletak pada sistem sumbu koordinat X dan
Y yang berpusat pada titik awal lengkung. Persamaan lengkung vertikal diturunkan dengan
asumsi bahwa panjang lengkung vertikal sama dengan proyeksi lengkung tersebut pada
bidang horisontal. Disepanjang lengkung vertikal perubahan garis singgung adalah tetap
(d2y/dx2=r). Dengan memperhatikan gambar 2.20 maka persamaan umum lengkung vertikal
dapat diturunkan sebagai berikut:
A = g1 – g2 (perbedaan aljabar landai)
Ev = Pergeseran vertical dari titik PPV ke bagian lengkung
Rumus umum parabola dY2/dx2 = r (konstanta)
....................................................................... 2.24
........................................... 2.25
................................ 2.26
................................................................ 2.27
............................................................................... 2.28
Jika A dinyatakan dalam persen, untuk x = 1/2 L dan y = Ev diperoleh:
..................................................................................... 2.29
Persamaan tersebut diatas berlaku untuk lengkung vertikal cembung dan lengkung
vertical cekung. Jika Ev positif maka lengkung vertikal tersebut adalah cekung demikian juga
sebaliknya.
Untuk menyerap guncangan dan untuk menjamin jarak pandang henti, maka lengkung
vertikal harus disediakan pada setiap lokasi dimana kelandaian berubah. Lengkung vertikal
biasanya diberikan sebagai bentuk parabola sederhana. Pada gambar 4.2.6 terlihat bahwa
panjang lengkung vertikal tersebut adalah panjang garis ACB. Namun lengkung vertikal
tersebut secara praktis begitu datar dan selisih panjang antara panjang garis ACB dengan
jarak horisontal dari A ke B kecil rnaka dapat diabaikan. Sehingga jarak mendatar dari A ke
B juga menunjukkan panjang lengkung vertikal.
Gambar 2.21 Panjang lengkung vertikal
Panjangnya lengkung vertikal cembung dapat dihitung berdasarkan jarak pandang henti
dan penyerapan guncangan pada puncak lengkung, yaitu:
a. Berdasarkan jarak pandang henti
................................................................. 2.30
dimana, Lvc = Panjang minimum lengkung vertikal cembung (m)
D = Jarak pandang henti (m)
Δ = Perbedaan aljabar untuk kelandaian
= i1 – i2 (%)
b. Berdasarkan penyerapan guncangan
.................................................................. 2.31
dimana, Lvs = Panjang minimum lengkung vertikal cekung (m)
V = Kecepatan laju, kecepatan rencana (km/jam)
Δ = Perbedaan aljabar untuk kelandaian
= i1 – i2 (%)
Panjang minimum lengkung vertikal cekung ditentukan berdasarkan ruang pandangan
bebas disebuah jembatan dan penyerapan guncangan pada dasar turunan. Untuk setiap
kecepatan rencana, panjang lengkung vertikal cekung berdasarkan penyerapan guncangan
lebih besar daripada berdasarkan pandangan bebas. Panjang minimum vertikal cekung juga
dapat ditentukan dari pengamatan secara visual.
Apabila perbedaan aljabar kelandaian kecil, maka panjang lengkungan vertikal yang
dihitung akan sedemikian pendek sehingga alinyemen vertikal akan tampak melengkung.
Untuk menghindari hal ini, maka batas bawah dari panjang lengkung vertikal
ditentukan berdasarkan kecepatan rencana. Tabel 2.24 menunjukkan batas-batas berdasarkan
panjang untuk bergerak selama 3 detik.
Tabel 2.24 Batas terendah panjang minimum lengkungan vertikal Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
Dengan menggunakan kedua rumus diatas da Tabel 2.24 di atas, maka panjang
minimum lengkung vertikal dapat ditunjukkan seperti pada grafik 2.1 dan grafik 2.2 berikut
ini.
Grafik 2.1 Panjang minimum lengkung vertikal cembungGrafik 2. 2 Panjang minimum lengkung vertikal cekung
2.9.3 Jalur Pendakian
Jalur pendakian bertujuan untuk menampung trek yang bermuatan berat atau kendaraan
lain yang lebih lambat supaya kendaraan lain yang berada dibelakangnya dapat mendahului
kendaraan yang lebih lambat itu tanpa menggunakan lajur lawan. Jalur pendakian harus
disediakan pada ruas jalan raya yang mempunyai kelandaian tinggi dan menerus, pada saat
yang bersamaan mempunyai lalu lintas yang padat. Kriteria yang diusulkan untuk
menyediakan jalur pendakian adalah:
a. Jalan arteri atau jalan kolektor
b. Kelandaian rata-rata 5% atau lebih yang menerus lebih dan 1 km.
c. Volume lalu lintas rencana lebih dan 30.000 SMP per hari.
Kriteria ini harus diterapkan secara wajar atau lebih ketat tergantung pada keadaan.
Lebar lajur pendakian adalah sama dengan lajur utama dan panjang lajur pendakian harus 200
meter atau lebih. Kedua ujung jalur harus berakhir seperti terlihat dalam Gambar 4.2.3. Jarak
antara tiap lajur pendakian diusulkan 1,5 km.
Gambar 2. 22 Pola standar lajur pendakian
2.10 Koordinasi Alinyemen dalam Perencanaan
Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, alinyemen
horisontal dan alinyemen vertikal merupakan unsur permanen didalarn perancangan
geometrik jalan. Di dalam perancangan jalan, kedua unsur tersehut tidak dapat dipisahkan
satu sama lain.
Rancangan alinyemen yang baik jika digabungkan dengan rancangan vertikal yang
baik, tidak selalu akan menghasilkan suatu alinyemen jalan yang baik. Oleh karena itu kedua
unsur ini harus dirancang secara selaras.
Ketidakselarasan antara rancangan alinyemen vertikal dan alinyemen horisontal ini
akan berakibat pada kenampakan fisik ruas jalan, yaitu jalan akan nampak terbelit dan akan
mcmpcrpcndek jarak pandangan. Hal ini akan menyulitkan pengemudi dan mengurangi
tingkat keselamatan.
Perlu diperhatikan alinyemen bahwa di dalam percncanaan jalan, keterpaduan
kombinasi alinyemen vertikal dan horisontal ini sangat penting, karena untuk memperbaiki
geometrik jalan yang sudah jadi akan sangat sulit dan memerlukan biaya yang besar.
Untuk dapat memperoleh kombinasi lengkung horisontal dan vertikal yang selaras di
dalam perancangan perlu diperhatikan beberapa petunjuk di bawah ini:
1. Jika di dalam perencanaan terdapat lengkung vertikal yang berada pada daerah lengkung
horisontal, maka alinycmen horisontal harus satu fase dengan alinyemen vertikal.
Gambar 2.23 Alinyemen horizontal dan vertikal satu faseJika alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal tidak satu fase, maka ruas jalan akan
Nampak terputus sehingga pengemudi akan mengalami kesulitan dalam memperkirakan
bentuk jalan.
Gambar 2.24 Alinyemen horizontal dan vertikal tidak satu fase
2. Pada bagian bawah langsung vertikal cembung dan dibagian atas lengkung vertikal cekung
perlu dihindari adanya tikungan tajam.
3. Titik balik dari dua tikungan yang berurutan dan berbeda arah tidak boleh ditempatkan di
bagian atas lengkung vertikal cembung dan dibagian bawah lengkung vertikal cekung.
4. Didalam satu tikungan tidak diperbolehkan ada lebih dari satu lengkung vertikal.
Berikut ini adalah contoh kombinasi alinyemen horisontal dan alinyemen vertikal.
1. Profil pada alinyemen horisontal lurus.
Pada alinyemen horisontal yang lurus harus dihindarkan adanya penurunan lokal. Hal ini
ditempuh untuk mengimbangi galian timbunan.
Gambar 2.25 Profil pada alinyemen horizontal yang lurus
2. Profil pada tikungan.
Pada daerah tikungan harus dihindarkan adanya penggunaan yang pendek.
Gambar 2.26 Profil pada tikungan
3. Pandangan jarak jauh menunjukkan punggungan diprofil landai.
Gambar 2.27 Pandangan jarak jauh yang menunjukkan punggumgan diprofil landai
Pandangan samping jarak jauh atas kelandaian yang panjang pada garis singgung akan
mengungkapkann setiap punggung di atasnya.
4. Bagian lurus antara dua tikungan yang terlalu pendek pada tanjakan.
Kombinasi ini kurang baik karena:
a. Bagian lurus antara dua tikungan terlalu pendek
b. Belokan terjadi di tanjakan
Gambar 2.28 Bagian lurus antara dua tikungan yang terlalu pendek pada tanjakan.
5. Penampilan sudut tajam.
Kombinasi ini memperlihatkan penampilan yang buruk. Sudut horizontal tampak membentuk
sudut tajam.
Gambar 2.29 Penampilan sudut tajam
6. Kesan terputus.
Kesan terputus terjadi jika permukaan lengkung horisontal tersembunyi dari pandangan
pengemudi karena terhalang oleh suatu cembungan sementara kesinambungan lengkung
dapat terlihat menjauh melewati cembungan yang menutupi.
Gambar 2.30 Kesan terputus7. Tikungan pada lengkung vertical cembung.
Kombinasi ini berada dalam satu fase dan memberikan suatu penampilan yang baik.
Gambar 2.31 Tikungan dapat lengkung vertikal cembung
8. Tikungan pada lengkung vertikal cembung.
Kombinasi ini berada dalam satu fase dan memberikan suatu penampilan yang baik.
Gambar 2. 32 Tikungan pada lengkung vertikal cekung
9. Lengkung datar yang sangat panjang.
Lengkung datar yang sangat panjang dengan sudut pusat yang kecil tidak dipengaruhi oleh
keadaan profil memanjang. Lengkung seperti ini menunjukkan penampilan yang baik.
Gambar 2.33 Lengkung datar yang tajam
10. Alinyemenn vertical dan horizontal satu fase.
Bagian puncak lengkung vertical bertemu dengan puncak lengkung horizontal.
Gambar 2.34 Alinyemen vertikal dan horizontal satu fase
11. Kombinasi alinyemen dengan loncatan fase tunggal.
Walaupun terjadi loncatan fase, kasus ini masih diperbolehkan karena puncak lengkung
vertical masih berimpit dengan puncak lengkung horizontal.
Gambar 2.35 Kombinasi alinyemen dengan loncatan fase tunggal
12. Kombinasi alinyemen dengan loncatan setengah fase.
Gambar 2.36 Kombinasi alinyemen dengan loncatan setengah fase
13. Lengkung horizontal tidak seimbang.
Lengkung horizontal tak seimbang terjadi jika pada bagian lurus suatu jalan sangat panjang
dengan lengkung yang pendek.
Gambar 2.37 Lengkung horizontal tak seimbang
14. Lengkung horizontal seimbang.
Lengkung horizontal seimbang terjadi jika terdapat keseimbangan antara bagian lurus dengan
bagian lengkung. Lengkung horizontal seimbang ini merupakan lengkung yang baik.
Gambar 2. 38 Lengkung horizontal seimbang
15. Kombinasi alinyemen yang baik.
Kombinasi alinyemen horizontal dan vertical dapat dicapai dengan menggunakan garis
pedoman untuk koordinasi.
Gambar 2.39 Kombinasi alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal yang baik
2.11 Penomoran Panjang Jalan (Stasioning)
Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, untuk
menetukan panjang suatu lokasi jalan atau jarak dari suatu tempat sampai ke tempat lain pada
suatu lokasi jalan perlu digunakan stationing. Yang dimaksud dengan stationing adalah
penentuan jarak langsung yang diukur dari titik awal, sedangkan stasiun (Sta) adalah jarak
langsing yang diukur dari titik awal (Sta. 0+000) sampai titik yang dicari stasiunnya. Untuk
menentukan stasiun (Sta) pada suatu titik diberikan contoh seperti pada gambar 2.40. Dari
hasil pengukuran dan perhitungan maka akan didapatkan titik-titik tertentu yaitu : A; TC; CT;
TS1; SC1; CS1; SC1; dan B serta panjang d1; Lc; d2; Lt1; dan d3 seperti pada gambar 2.40.
Gambar 2.40 Penentuan stasiun (Stasioning)(http://adnyana4all.blogspot.com/2012_11_01_archive.html)
KLASIFIKASI JALAN BERDASARKAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN 19.54 jek
Klasifikasi berdasarkan administrasi pemerintahan
Pengelompokan jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian hukum penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah. Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
1. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
2. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
3. Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
4. Jalan kota, adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
5. Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
Klasifikasi berdasarkan fungsi jalanJalan umum menurut fungsinya di Indonesia dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Klasifikasi fungsional seperti ini diangkat dari klasifikasi di Amerika Serikat [1] dan Canada.[2] Di atas arteri masih ada Freeway dan Highway.
Klasifikasi jalan fungsional di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan[3] yang berlaku adalah:
1. Jalan arteri, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk (akses) dibatasi secara berdaya guna.
2. Jalan kolektor, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan lokal, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan lingkungan, merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
Sumber :
Undang-undang Republik Indonesia no 38 tahun 2004 tentang jalan
Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan
http://id.wikipedia.org/wiki/Klasifikasi_jalan
Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan terdiri atas:
1. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
2. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
3. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
4. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
JENIS – JENIS JALAN MENURUT PEMBAGIANNYA
02.49 Teknik Sipil 1 comment
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
a) Jalan Arteri Primer Teknik Sipil - Jalan arteri primer menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
1. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan
2. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional, sebagai contoh Jalur Pantura yang menghubungkan antara Sumatera dengan Jawa di Merak, Jakarta, Semarang, Surabaya sampai dengan Banyuwangi merupakan arteri primer.
Karakteristik Jalan Arteri PrimerKarakteristik jalan arteri primer adalah sebagai berikut :
Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam (km/h).
Lebar Daerah Manfaat Jalan minimal 11 (sebelas) meter. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien; jarak antar jalan masuk/akses langsung
minimal 500 meter, jarak antar akses lahan langsung berupa kapling luas lahan harus di atas 1000 m2, dengan pemanfaatan untuk perumahan.
Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintas dan karakteristiknya.
Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu lalu lintas, marka jalan, lampu lalu lintas, lampu penerangan jalan, dan lain-lain.
Jalur khusus seharusnya disediakan, yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya.
Jalan arteri primer mempunyai 4 lajur lalu lintas atau lebih dan seharusnya dilengkapi dengan median (sesuai dengan ketentuan geometrik).
Apabila persyaratan jarak akses jalan dan atau akses lahan tidak dapat dipenuhi, maka pada jalan arteri primer harus disediakan jalur lambat (frontage road) dan juga jalur khusus untuk kendaraan tidak bermotor (sepeda, becak, dll).
b) Jalan Arteri SekunderJalan arteri sekunder adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi seefisien,dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota. Didaerah perkotaan juga disebut sebagai jalan protokol.
Ciri Jalan Arteri Sekunder
Jalan arteri sekunder menghubungkan : kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, antar kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua, dan jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu.
Jalan arteri sekunder dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) km per jam.
Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter. Lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu lintas
lambat. Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter. Kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat diizinkan
melalui jalan ini. Persimpangan pads jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu yang
sesuai dengan volume lalu lintasnya. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas same atau lebih besar dari volume lalu
lintas rata-rata. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak
dizinkan pada jam sibuk. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu
pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain. Besarnya lala lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem
sekunder yang lain. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya. Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang dengan
kelas jalan yang lebih rendah.
c) Jalan Kolektor PrimerJalan kolektor primer adalah jalan yang dikembangkan untuk melayani dan menghubungkan
kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal dan atau kawasan-kawasan berskala kecil dan atau pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan pengumpan lokal.
Ciri jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota. Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer. Jalan kolektor primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40
(empat puluh) km per jam. Lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang dari 7 (tujuh) meter. Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien. Jarak antar jalan
masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter. Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini. Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu yang
sesuai dengan volume lalu lintasnya. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume
lalu lintas rata-rata. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diizinkan pada
jam sibuk. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu lalu lintas, marka
jalan, lampu lalu lintas dan lampu penerangan jalan. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan arteri
primer. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya.
d) Jalan Kolektor SekunderJalan kolektor sekunder adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi, dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota.
Ciri Jalan Kolektor Sekunder
Jalan kolektor sekunder menghubungkan: antar kawasan sekunder kedua, kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
Jalan kolektor sekunder dirancang berdasarken keoepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km per jam.
Lebar badan jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 (tujuh) meter. Kendaraan angkutan barang berat tidak diizinkan melalui fungsi jalan ini di daerah
pemukiman. Lokasi parkir pada badan jalan-dibatasi. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pads umumnya lebih rendah dari sistem primer
dan arteri sekunder.
e) Jalan Lokal PrimerJalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
Ciri Jalan Lokal Primer
Jalan lokal primer dalam kota merupakan terusan jalan lokal primer luar kota. Jalan lokal primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya. Jalan lokal primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua
puluh) km per jam. Kendaraan angkutan barang dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini. Lebar badan jalan lokal primer tidak kurang dari 6 (enam) meter. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah pada sistem
primer.
f) Jalan Lokal SekunderJalan lokal sekunder ajavascript:void(0)dalah menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
Ciri Jalan Lokal Sekunder
Jalan lokal sekunder menghubungkan: antar kawasan sekunder ketiga atau dibawahnya, kawasan sekunder dengan perumahan.
Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) km per jam.
Lebar badan jalan lokal sekunder tidak kurang dari 5 (lima) meter. Kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diizinkan melalui fungsi jaIan ini di
daerah pemukiman. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah dibandingkan
dengan fungsi jalan yang lain.
Jalan bebas hambatan (Inggris: Freeway atau Highway) adalah jalan raya yang dibelah oleh median jalan atau pemisah jalan dan merupakan jalan dengan akses terbatas. Umumnya jalan bebas hambatan dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas ataupun untuk mempersingkat jarak dari satu tempat ke tempat lain.
Di Indonesia umumnya jalan bebas hambatan juga merupakan jalan tol, meski tidak ada keharusan demikian. Di negara maju banyak jalan bebas hambatan tidak dikenakan tarif. Jalan bebas hambatan pertama dibuka pada tanggal 21 September 1924 di Italia, dan menghubungkan Milan dengan Como dan Danau Como[butuh rujukan].
1 BAB I PENDAHULUAN Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan. Jalan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Dalam mewujudkan prasarana transportasi darat yang melalui jalan, harus terbentuk wujud jalan yang menyebabkan pelaku perjalanan baik orang maupun barang, selamat sampai di tujuan, dan dalam mendukung kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, perjalanan harus dapat dilakukan secepat mungkin dengan biaya perjalanan yang adil sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Disamping itu, adalah hal yang ideal untuk pelaku perjalanan, selain dapat dilakukan dengan selamat, cepat dan murah, juga nyaman, sehingga perjalanan tidak melelahkan.
Dalam hubungan dengan perencanaan geometrik, ketiga golongan ini dibagidalam kelas – kelas yang menetapkannya ditentukan oleh perkiraan besarnya lalu lintas yang akan melewati jalan tersebut
Volume lalu lintas yang akan menggunakan jalan tersebut dinyatakan dalamSatuan Massa Penumpang (SMP) yang besarnya menunjukkan jumlah lalu lintasharian rata – rata untuk kedua jurusan volume LHR yang baru untuk suatu jalandapat langsung diperoleh pada lalu lintas dimana dilakukan dalam waktu tersebut.K l a s i f i k a s i j a l a n d i I n d o n e s i a m e n u r u t B i n a M a r g a d a l a m T a t a C a r a Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) No: 038 / T/ BM / 1997, disusunpada tabel berikut :Tabel Ketentuan Klasifikasi : Fungsi, Kelas beban, Medan
Definisi kata standar dalam penjelasan pasal 3 PP No. 25 Tahun 2000 adalahspesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukansebagai patokan dalam melakukan kegiatan. Pelayanan (service) menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan memberikan bantuan dan hal-hal segala urusan yang diperlukan. Kata minimum menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah batasan paling kecil atau sekurang-kurangnya. Sehingga dalam konjungsi kata pelayanan minimum dapat diartikan sebagai batasan sekurang-kurangnya dari akomodasi (bantuan) yang diberikan. Prasarana (infrastructure) merupakan definisi teknis yang besar dan sampai saatini masih dalam perdebatan oleh para ahli. Ir. EwoudVerhoef (TU Delft, Belanda) melakukan serangkaian kajian pustaka mengenai definisi prasarana menyimpulkan bahwa definisi dari prasarana adalah sebagai berikut:“An infrastructure is a large-scale technological system, consisting of immovable physical facilities anddelivering (an) essential public or private service(s) through thestorage, conversion and/ortransportation of certain commodities. The infrastructure includes those parts and subsystems necessary for fulfilling the primary storage,transportation and/or conversion function(s) as well as those supporting a proper execution of the primary function(s)”.
Jalan (dalam UU No. 38 tahun 2004 maupun dalam PP No. 34tahun 2006) didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air.
Dengan merujuk kepada definisi-definisi di atas maka SPM prasarana jalan dapat diterjemahkan sebagai berikut: SPM Prasarana Jalan adalah suatu spesifikasi teknis penyediaan prasarana jalan yang sekurang-kurangnya disediakan pada suatu wilayah untuk keperluan lalu lintas agar fungsi dari jaringan jalan dalam memberikan dukungan pelayanan bagi kegiatan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik. SPM prasarana jalan akan terdiri dari 2 induk besaran : (1) kuantitas dan (2) kualitas prasarana jalan.
Sedangkan jika SPM jalan ini dikaitkan dengan kewenangan maka untuk setiap jenjang pemerintahan(Pusat, Propinsi, dan Kab/Kota) harus disediakan SPM-nya. Sehingga kemungkinan format SPM tersebut akan meliputi beberapa hal sebagaimana disampaikan pada Tabel
Aspek Kuantitas dalamSPM Prasarana Jalan
Prinsip utamadalampenyediaan kuantitas prasarana jalan adalah:
- Sesuai dengan prinsip ekonomi optimum dimana penyediaan panjang jalan tidak berlebihan
(over-supply)namun tetap mencukupi untuk menjadi terpenuhinyakebutuhan dasar sosial-
ekonomi masyarakat tetap dapat memberikan impuls bagi pengembangan ekonomi
wilayah,
- Merata dan menjangkau seluruh wilayah dengan baik sesuai dengan kondisi geografis,
penyebaran penduduk dan pemusatan kegiatan ekonomi (well-distributed/spacing)
- jalan harus terhirarki dengan benar sesuai fungsinya (A/K/L dan primer/sekunder) dan
membentuk jaringan jalan yangutuh (tidak terputus) (networking by hierarchy)
Untuk simplifikasi maka minimal dalamSPM harus ditentukanlebar badan jalan minimal
untuk setiap jenis fungsi jalan baik Arteri, Kolektor, Lokal (A, K, L). Sehinggapada dasarnya
dengan mengacu kepada konsep aksesibilitas dan mobilitas tersebut di atas, dapat ditentukan
persyaratan untuk setiap jenjang kewenangan jalan