Masalah Etika Dalam Uji Klinik
-
Upload
lydia-sylvia -
Category
Documents
-
view
241 -
download
1
Transcript of Masalah Etika Dalam Uji Klinik
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 1/10
Masalah Etika Dalam Uji Klinik
Masalah Etika Dalam Uji Klinik
Seminar Etika Biomedis 1997
Pusat Pengembangan Etika
Universitas Atma Jaya, Jakarta
Fri May 18, 2001
Masalah etika dalam uji klinik obat di IndonesiaIwan Darmansjah
Pusat Uji Klinik Obat, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
Mengapa harus dilakukan uji klinik obat ?
Uji klinik obat -selanjutnya disingkat “uji klinik”- dimaksudkan untuk menguji efektivitas suatu
obat/pengobatan pada sekelompok manusia sehat/penderita dalam jumlah terbatas supaya
hasilnya dapat diterapkan pada penderita lain dikemudian hari secara rutin. Menggunakan
manusia sehat atau sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan
bermanfaat bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga dapat
digunakan pada masyarakat luas dengan lebih yakin tentang efektivitas dan keamanannya. Bila
skrining seperti ini tidak dilakukan maka dapat terjadi malapetaka pada banyak orang bila
langsung dipakai secara umum seperti pernah terjadi dengan talidomid (1959-1962) dan obat
kontrasepsi pria (gosipol)di Cina.
Setiap obat yang ditemukan melalui eksperimen in vitro atau hewan coba tidak terjamin bahwa
khasiatnya benar-benar akan terlihat pada penderita. Pengujian pada manusia sendirilah yang
dapat “menjamin” apakah hasil in vitro atau hewan sama dengan manusia. Penapisan efektivitas
terakhir ini dibuktikan melalui uji klinik obat.
Efektivitas dan toksisitas mungkin dapat berbeda dalam 4 jenis kombinasi bila hasil in
vitro/hewan dibandingkan dengan manusia:
1. Hasil in vitro/hewan positif ---- hasil pada manusia positif.
Situasi ini ideal dan makna penelitian hewan lebih terasa kebutuhannya. Contohnya : salbutamol,
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 2/10
propanolol, penisilin, dsb.
2. Hasil in vitro/hewan negatif ---- hasil pada manusia negatif.
Situasi ini juga baik, namun tidak dapat dijamin sepenuhnya karena suatu percobaan yang
berhasil negatif lebih sulit dibuktikan. Zat kimia seperti ini biasanya tidak akan menjadi obat.
3. Hasil in vitro/hewan positif ---- hasil pada manusia negatif.
Keadaan ini sering terjadi pada zat kimia yang diharapkan menjadi obat tetapi tidak dapat
diteruskan dalam pengembang-annya sebagai obat baru, karena uji klinisnya gagal membuktikan
manfaatnya.
4. Hasil in vitro/hewan negatif ---- hasil pada manusia positif.
Bila fenomen ini mengenai efek samping, situasi ini bisa berbahaya karena manusia belum
mengantisipasi sifat buruk ini, sedangkan bila efeknya bersifat baik maka hal ini merupakan
suatu indikasi baru yang didasarkan kebetulan („serendipity‟). Contoh yang paling baru ialahsildenafil yang dimaksudkan untuk menjadi obat kardiovaskuler tetapi kebetulan menjadi obat
male erectile dysfunction.
Etika dalam uji klinik
Uji klinik penuh dengan masalah etika karena berhubungan erat sekali(1,5) dengan
eksperimentasi pada manusia sakit maupun sehat. Suatu pelanggaran etik yang kasar telah
diceritakan Angell(2) dalam sebuah editorial yang terkenal dengan “The Tuskegee study of
untreated syphilis”. Studi ini telah disponsori oleh the US Public Health Service dan berjalan dari
1932-1972. 412 orang kulit hitam di A.S. yang menderita sifilis tidak diobati dan dibandingkan
dengan 204 orang yang tidak berpenyakit sifilis untuk menentukan jalannya penyakit “singa” itu.Waktu studi dimulai belum terdapat pengobatan yang ampuh (Salvarsan telah digunakan sebagai
standard pengobatan), dan penelitian ini diteruskan hingga 1972, walaupun penisilin sudah
dipasarkan dan telah diketahui sangat efektif untuk sifilis. Studi ini berjalan terus sampai seorang
wartawan mengetahuinya dan membuat laporan yang menghebohkan Presiden Nixon. Studi ini
kemudian dihentikan. Berbagai masalah etik telah dilanggar karena orang percobaan tidak
dimintakan consent, subyek telah dibohongi, dan mereka tidak diberikan pengobatan penilisin
yang ampuh. Bulan Mei 1997 hal ini menyebabkan Presiden Clinton membuat pernyataan maaf
kepada masyarakat Amerika secara resmi.
Suatu cerita lain dalam editorial di atas ialah adanya uji klinik profilaksis dengan berbagai
regimen pengobatan terhadap tuberkulosis pada penderita HIV positif di Uganda. Banyak di
antara penderita ini mempunyai tes tuberkulin positif. Hal ini tidak mungkin dilakukan di A.S.
sendiri karena semua penderita HIV positif yang mempunyai tes tuberkulin positif diprofilaksis
terhadap tuberkulosis.
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 3/10
Etika dalam uji klinik dapat dibedakan procedural dan substantive ethics (3); keduanya harus
dipenuhi sebelum suatu uji klinik dianggap etis untuk dilaksanakannya. Procedural ethics (etika
yang menyangkut prosedur pelaksanaan uji klinik) pada umumnya berkisar pada hak azasi
manusia, Deklarasi Helsinki, Good Clinical (trial) Practice (GCP), dan consent. Ia berhubungan
dengan “bagaimana” suatu controlled trial dilakukan, sedangkan etika substantif
mempertanyakan apakah studi itu layak dikerjakan atau tidak.
Ethics in Clinical Trial
Procedural Ethics: mempermasalahkan HOW?
* Human Rights
* Declaration Helsinki
* GCP
* Consent
Substantive Ethics: IS THE STUDY JUSTIFIED AT ALL ?
* Macro-ethics / Micro-ethics
* Design errors
* Equipoise (individual or collective)
a) Prosedural ethics
Ayat-ayat Deklarasi Helsinki dan masalah hak azasi manusia merupakan hal utama dalam GCP
Guidelines yang tergolong procedural ethics. Pada umumnya rambu-rambu ini dimaksudkanuntuk melindungi orang percobaan terhadap perlakuan yang tidak etis, menyakiti, membohongi,
atau memaparkannya terhadap bahaya. Subyek dalam posisi lemah seperti penderita tidak sadar,
atau anak-anak perlu memperoleh lindungan khusus terhadap keikutsertaannya dalam uji klinik.
Para tahanan misalnya dapat diberi hadiah seperti pemotongan waktu penahanan jika mau
menjadi subyek penelitian. Di A.S. pernah dilakukan studi dengan para tahanan; mereka diberi
DDT sebanyak 35 mg sehari selama 18 bulan untuk mengetahui dampak DDT pada manusia.
Memang melalui educated guess ternyata para relawan tidak mengalami sakit dan membuktikan
bahwa DDT adalah cukup aman untuk manusia.Tindakan ini sekarang tidak mungkin
dibenarkan. Suatu pembahasan mengenai informed consent khusus untuk para penderita cacat
mental dalam suatu uji klinik telah disajikan oleh Newman (4).
Sekitar 15 tahun yl saya telah mengajukan penelitian untuk melihat apakah orang yang
makanannya mengandung aflatoksin akan cenderung mengalami penyakit hati menahun seperti
sirosis atau karsinoma dalam jangka waktu 5-10 tahun. Penelitian ini direncanakan dengan
mengukur kadar aflatoksin dalam makanannya secara periodik, tanpa mempengaruhi pola
makanannya. Penelitian ini ditolak dengan alasan tidak etis, karena bila peneliti sudah
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 4/10
mengetahui bahwa makanan subyek mengandung kadar aflatoksin tinggi, maka ia harus
diberitahu dan dicoba mengubah pola makanannya. Hal ini tentu akan membuat validitas
penelitiannya gugur.
Umumnya suatu uji klinik terkontrol, acak (randomized) dilakukan bila peneliti menganggap
bahwa suatu pengobatan/obat tidak diketahui apakah bekerja lebih baik dibandingkan suatu
pengobatan lain (keadaan complete equipoise). Bila telah ada pendapat jelas bahwa suatu cara
pengobatan jauh lebih baik dibandingkan dengan cara lain, maka suatu penelitian menjadi
mubazir. Para peneliti juga dianggap tidak etis karena ia akan menggunakan pengobatan yang
inferior pada sebagian subyek. Hal ini juga berlaku untuk uji klinik yang menggunakan plasebo.
Kapan plasebo boleh dipakai?
Umumnya plasebo digunakan dalam fase II Uji Klinik, yaitu suatu fase perkembangan obat
dimana obat bersangkutan baru dipakai pertama kali untuk membuktikan efektivitasnya.
Pembenaran ini tentu tergantung dari penyakitnya, pengobatan yang lazim, dan bila penyakitnyatidak menjadi lebih parah bila tidak diobati atau tidak tersedia obat standard yang cukup ampuh
untuk penyakit tersebut (misalnya AIDS 10 tahun yang lalu).
Plasebo digunakan dalam keadaan seperti di bawah ini:
1. Tidak terdapat pengobatan standard yang diakui.
2. Pengobatan standard meragukan /tidak terbukti.
3. Respons obat hanya dapat diukur dengan endpoint subyektif.
4. Reaksi plasebo cukup besar.
Memakai plasebo dianggap tidak etis bila penyakitnya serius dan terdapat obat yang efektif,misalnya pada penyakit TBC. Sebagai pembanding harus digunakan pengobatan yang terbaik
dan dianggap standard. Tujuan riset harus mengalah terhadap menjaga keselamatan dan
keamanan penderita.
b) Substantive ethics
Etika substantif menyangkut hal seperti macro- dan micro-ethics, study design, dan masalah
equipoise. Substantive ethics harus dapat menjawab apakah studi itu layak untuk dilakukan atau
tidak (is the study justified at all?). Pelanggaran substantive ethics
tidak bisa diperbaiki dengan mengubah hanya prosedurnya, namun seluruh design penelitian
harus diubah dalam arti substance-nya.
Micro-ethics mempersoalkan masalah etika dalam studi itu sendiri atau orang percobaan dalam
studi, sedangkan macro-ethics mempersoalkan dampak etisnya terhadap populasi orang sakit
yang akan diobati kemudian hari dengan cara pengobatan tersebut (validitas eksternal suatu
studi). Contoh penelitian aflatoksin di atas mempunyai masalah mikro-etikal, tetapi secara
makro-etikal justru penting karena hasilnya akan berguna untuk populasi di luar subyek
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 5/10
penelitiannya. Paradoks antara micro-ethics dan macro-ethics sering dapat terjadi.
Bila seorang peneliti telah mempunyai preferensi terhadap suatu pengobatan, maka sebenarnya
dalam dimensi mikroetikal sudah terbentuk preferensi terhadap pengobatan tersebut dan proses
randomisasi menjadi “sulit” diterima. Hal ini sering membuat Komite Etik berpendapat bahwa
studi itu tidak etis lagi. Namun kita juga mengerti bahwa preferensi pendapat seorang klinikus
tidak selalu benar, karena terlalu banyak dipengaruhi secara subyektif. Misalnya, banyak obat
yang jelas tidak efektif telah digunakan dalam situasi klinis tertentu, misalnya, stilbestrol atau
progesteron untuk profilaksis keguguran kandungan, kortikosteroid untuk trauma otak, dsb.
Kejadian ini disebabkan karena tidak dilakukan uji klinik yang baik sebelum pengobatan baru itu
menjadi rutin (pertimbangan makro-etikal). Ada juga keadaan dimana uji klinik terkontrol sudah
jelas tidak menyokong pendapat, tetapi tetap dilakukan pengobatan rutin oleh klinikus (antibiotik
untuk influenza, carbazochrome untuk perdarahan, dsb). Bila pengobatan telah dilakukan lama
sekali sebagai rutin dan telah terbentuk suatu preferensi, maka suatu uji klinik tidak mudah
dibenarkan karena masalah mikro-etikal berlawanan dengan makro-etikal.
Design uji klinik merupakan bagian yang dapat digolongkan dalam substantive ethics. Setiap uji
klinik memerlukan design yang berbeda menurut tujuannya, ia harus dapat menjawab research
question. Hanya satu research question yang dapat dijawab dengan baik. Tidak dibenarkan untuk
menaruh lebih dari satu research question. Analisis lain boleh saja dibuat sebagai secondary
parameters tetapi tidak mempunyai arti yang konklusif dan hanya dapat berguna untuk membuat
hipotesis baru. Karena masalah design uji klinik sangat luas dan spesifik, maka tidak dapat
dibahas luas dalam makalah ini. Di bawah ini terdapat beberapa contoh kesalahan dalam design :
a. Non-equivalent dose studies(6,7). Studi dengan obat-obat yang tidak efektif
c. Memilih jumlah N yang terlalu kecil, sehingga tidak memenuhi kebutuhan signifikansistatistik (b-error)
d. Memilih penderita yang tidak cocok
e. Memilih parameter akhir yang tidak sesuai (misalnya surrogate endpoints)
f. Perhitungan/analisis statistik yang tidak sesuai
g. Tidak membuat kelompok plasebo untuk studi yang mengharuskan adanya kelompok plasebo,
dsb.
Equipoise ialah terbaginya pendapat tentang bergunanya suatu pengobatan terhadap pengobatan
lain. Seseorang dapat mempunyai preferensi terhadap satu dari dua jenis pengobatan (individual
equipoise) atau seluruh profesi dapat terbagi pendapatnya (collective equipoise). Karena
equipoise jarang sekali terbagi sama besarnya (50-50) maka suatu penelitian pendapat di Inggris
(3) menyatakan bahwa bila suatu keseimbangan pendapat terbagi >2:1 atau >66:33 maka uji
klinik itu tidak lagi dibenarkan untuk dilaksanakan. Misalnya melakukan studi dengan obat
carbazochrome untuk dengue hemorrhagic fever tidak mungkin dibenarkan waktu ini, karena
obat itu sudah dilarang hampir diseluruh dunia karena dinyatakan tidak efektif untuk indikasi
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 6/10
mempercepat penghentian perdarahan; farmakologi obat itu juga tidak menunjang
pemakaiannya. Keadaan equipoise tentu dapat berubah bila pengetahuan berkembang dan
membentuk opini lain.
Perbedaan antara prosedural ethics dan substantive ethics kurang dikenal oleh panitia etik,
karena substantive ethics tidak saja berhubungan dengan materi penyakit tetapi juga obat dan
pengobatannya.
Perkembangan uji klinik di Indonesia
Uji klinik terutama dilakukan di negara Barat, khususnya di negara asal obat itu ditemukan.
Negara berkembang sedikit sekali melakukan uji klinik yang benar-benar berguna; biasanya
marketing studies hanya bertujuan membiasakan dokter memakai obatnya. Metodologinya sering
tidak adekuat dan hasilnyapun jarang dipublikasi dalam jurnal yang baik. Semua ini
menunjukkan bahwa uji klinik di negara berkembang dilakukan dengan kurang memperhatikan
segi etiknya.
Seharusnya di Indonesia juga dilakukan uji klinik, walaupun jurnal internasional sering
mengkritiknya sebagai „redundant‟ (8). Menurut hemat saya, cukup banyak obat menimbulkan
reaksi atau respons yang berbeda(9) dari yang ditemukan di negara produsen; dosispun kadang-
kadang tidak dapat digunakan sebesar yang dipakai di negara Barat. Perbedaan gen membuat
obat seperti mefenitoin, betabloker, dan beberapa lainnya dimetabolisme lambat oleh penderita
yang mempunyai defisiensi ensim tertentu. Selain itu berbagai penyakit lebih banyak ditemukan
di negara berkembang daripada di negara Barat.
Tentu uji klinik tidak dapat dibenarkan bila procedural dan substantive ethics dilanggar.Pelanggaran ini sering dimulai dari perencanaan sponsor pabrik obat yang telah menyediakan
protokol yang kadang-kadang tidak memperhatikan segi substantifnya dan menerapkan standard
ganda dibandingkan kelaziman internasional. Seorang peneliti (bukan dokter) dari Jepang pernah
menanyakan apakah di negara seperti Indonesia juga masih perlu diterapkan controlled
randomized study sewaktu membahas protokol suatu uji klinik yang disponsorinya, yang oleh
kawan saya dijawab dengan “meninggalkan ruangan diskusi”.
Walaupun suatu uji klinik kelihatannya mudah dilakukan, namun pengelolaannya lebih sulit
daripada penelitian jenis lain(10). Ia memerlukan kerjasama yang erat sekali dengan berbagai
disiplin, hal ini tidak begitu lancar di Indonesia.
Penyediaan waktu para peneliti dan ketertiban pelaksanaan meru-pakan kunci sukses hasilnya.
Sejak sekitar 7 tahun diperkenalkan Pedoman Good Clinical Practice (GCP)(11) yang
merupakan seperangkat pedoman dan peraturan yang rumit untuk pelaksanaan uji klinik.
“Birokrasi” ini terutama untuk “menjamin” bahwa etika dan hak azasi manusia dijunjung tinggi,
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 7/10
pelaksanaannya ditertibkan, sehingga hasilnya dapat lebih dipercaya. Akhirnya uji klinik harus
dapat dipublikasi dalam jurnal dengan peer review yang baik. Dengan segala usaha ini
diharapkan bahwa uji klinik di Indonesia dapat lebih berguna.
Dampak Globalisasi terhadap nilai dan etik uji klinik
Ekonomi global banyak dipuji karena mampu membawa keuntungan dan kesejahteraan luar
biasa. Namun globalisasi juga bukan tanpa cacat, karena mengandung banyak kekurangan. Ada
lima kelemahan kapitalisme global(12) yakni, “Sistem itu membuat distribusi keuntungan tidak
merata, memicu instabilitas pasar uang, mendorong terjadinya monopoli dan oligopoli,
melemahnya peran
negara, serta berkurangnya nilai-nilai dan hubungan sosial serta pandangan etis pada umumnya”.
Walaupun merosotnya nilai, keadaan sosial, dan nilai etis dise-but di urutan terakhir, namun
dalam penglihatan saya justru ini yang akan merupakan perubahan paling mendasar yang
kontroversial dan berbahaya, karena dia bertolak belakang dengan beberapa konsep dasar hidupmanusia itu sendiri. Dalam hal uji klinik ia tidak boleh mengabaikan aspek etika substantif
sambil mengagungkan procedural ethics dalam GCP.
Namun, walaupun hak azasi manusia dan etika bersifat universal, sulit sekali bagi negara
berkembang mengikuti nilai-nilai itu seutuhnya sekarang juga, karena nilai itu berkembang
mengikuti taraf kebudayaan, pendidikan, dan perbaikan pendapatan rakyat. Mengglobalkan etika
dalam uji klinik di negara berkembang tidak semudah kita bayangkan.
Kepustakaan
1. Oon Chong-Jin. Quo vadis in medical research and writing: scientific honesty and misconduct.JAMA SEA, 1997 (May):5-6.
2. Angell M. The ethics of clinical trials in the third world (editorial). New Engl J Med
1997;337:847-9.
3. Lilford RJ. The substantive ethics of clinical trials. Clin Obstet Gynecol 1992;35(4):837-45.
4. Newman AM. Drug trials, doctors, and developing countries : toward a legal definition of
informed consent. Cambridge Quarterly of Healthcare Ethics 1996;5:387-99.
5. Lock S, Wells F. Fraud and misconduct in medical research.
London : BMJ Publishing Group, 1993.
6. Craig WA. Once daily versus multiple-daily dosing of aminoglyco-sides. J Chemother
1995;7(Suppl 2):47-52.
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 8/10
7. Leal del Rosal P. The efficacy and safety of isepamicin compared to amikacin in the treatment
of intra-abdominal infections. J Chemother 1995;7 (Suppl 2):43-8.
8. Karlberg J. Poor quality Asian clinical trials must end. Asian Medical News, July 1997.
9. Darmansjah I, Muchtar A. Dose-response variation among different populations. J Clin
Pharmacol Ther 1992;52:449-57.
10. Darmansjah I. Clinical trials in Indonesia. GCP Journal 1995;2:4-6.
11. WHO. Guidelines for good clinical practice (GCP) for trials on pharmaceutical products.
WHO Technical Report Series, 1995, No.850:
97-137.
12. Listyorini. Suara Pembaruan 1997 Sept 29:13.
Prinsip-prinsip Etika Penelitian Ilmiah
Etika berasal dari bahasan Yunani ethos. Istilah etika bila ditinjau dari aspek etimologis memiliki
makna kebiasaan dan peraturan perilaku yang berlaku dalam masyarakat. Menurut pandangan
Sastrapratedja (2004), etika dalam konteks filsafat merupakan refleksi filsafati atas moralitas
masyarakat sehingga etika disebut pula sebagai filsafat moral.Etika membantu manusia untuk
melihat secara kritis moralitas yang dihayati masyarakat, etika juga membantu kita untukmerumuskan pedoman etis yang lebih adekuat dan norma-norma baru yang dibutuhkan karena
adanya perubahan yang dinamis dalam tata kehidupan masyarakat. Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian.
Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang teguh sikap ilmiah(scientific attitude) serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian. Meskipun intervensi yang
dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat merugikan atau membahayakan
7/21/2019 Masalah Etika Dalam Uji Klinik
http://slidepdf.com/reader/full/masalah-etika-dalam-uji-klinik 9/10
subyek penelitian, namun peneliti perlu mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan (Jacob, 2004).
Etika penelitian memiliki berbagai macam prinsip, namun terdapat empat prinsip utama yang
perlu dipahami oleh pembaca, yaitu: menghormati harkat dan martabat manusia (respect for
human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy andconfidentiality), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness), danmemperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)
(Milton, 1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit & Beck, 2004).
Prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan
informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan
menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian
(autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabatmanusia, adalah: peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent) yang
terdiri dari: (1) penjelasan manfaat penelitian; (2) penjelasan kemungkinan risiko dan
ketidaknyamanan yang dapat ditimbulkan; (3) penjelasan manfaat yang akan didapatkan; (4) persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subyek berkaitan dengan
prosedur penelitian; (5) persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja; dan (6) jaminan
anonimitas dan kerahasiaan. Namun kadangkala, formulir persetujuan subyek tidak cukup
memberikan proteksi bagi subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik karenaterdapat perbedaan pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan subyek (Sumathipala &
Siribaddana, 2004). Kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur penelitian
(Syse, 2000).Prinsip kedua, setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasidan kebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi
individu termasuk informasi yang bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang menginginkan
informasinya diketahui oleh orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar
individu tersebut. Dalam aplikasinya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenaiidentitas baik nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk
menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat menggunakan koding
(inisial atau identification number) sebagai pengganti identitas responden.Prinsip ketiga, prinsipkeadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk memenuhi prinsip keterbukaan,
penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan
faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis serta perasaan religiussubyek penelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip keterbukaan yaitu
kejelasan prosedur penelitian. Keadilan memiliki bermacam-macam teori, namun yang
terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus didistribusikan di antara anggota
kelompok masyarakat. Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penelitianmembagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan, kemampuan,
kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Sebagai contoh dalam prosedur penelitian, peneliti
mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang
sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.Prinsip keempat, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang
bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat dijeneralisasikan di tingkat
populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek(nonmaleficence). Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres