Manusia Dan Trasendensi Diri
-
Upload
natalia-gultom -
Category
Education
-
view
1.721 -
download
2
description
Transcript of Manusia Dan Trasendensi Diri
MANUSIA DAN TRANSENDENSI DIRI
ULINA CHRISTINA NATALIA
Abstract
Setiap aliran agama berbondong-bondong mengklaim bahwa agama merekalah yang paling benar. Hanya pertanyaannya, siapakah yang paling benar? Jawabannya tentu berbeda-beda tergantung siapa yang beragama apa yang menjawab. Bertolak belakang dengan rasa percaya terhadap agamanya, ada saja orang-orang yang melakukan “pembangkangan” dalam agama, akibat dari sifat konvensional dan formal dalam hidup beragama. Kekonvensionalan pada kebiasaan, bentuk ajaran, format Ibadah, hukum dan peraturan perilaku dianggap dapat berujung pada terbentuknya sekte-sekte baru yang menurut versi mereka adalah produk revisi menuju statu kebenaran yang mutlak. Apakah mereka salah? Bagaimana kita tahu? Mereka tentu merasa benar, sama seperti kita yang merasa benar.
Dalam artikel ini kita akan melihat beberapa bentuk ketidakpuasaan terhadap agama yang menjadi salah satu bibit munculnya aliran-aliran agama. Individu berusaha menjadikan agama sebagai milik subjektif, pribaddan menyatu dengan diri sendiri. Proses seperti adalah bagian dari transendensi manusia menuju hidup yang diharapkan Cara yang mereka tawarkan untuk mencapai dan menemukan iman sejati adalah mempelajari dan mendalami agama dengan mengatasi bentuk-bentuk kelembagaannya. Dan melalui artikel ini mari kita kaji sejauhmana proses transendensi diri manusia dalam kaitannya dengan kehidupan religiusnya?
1
Membahas tentang agama tentunya identik dengan subyektifitas. Ini adalah salah
satu bentuk fenomenologi, dimana tiap individu memiliki karakteristik yang berbeda
dalam menginterpretasi situasi, obyek, ataupun individu lain. Persis seperti yang sudah
dibahas dalam abstrak, bahwa tentunya setiap agama pastinya akan mengklaim bahwa
agamanyalah yang paling benar, dan akan menuding agama yang lainnya salah. Hal yang
lumrah tentunya. Namun, bagaimana dengan tudingan ”sesat” yang umumnya agama-
agama lontarkan pada aliran-aliran agama baru yang muncul sebagai perpanjangan
agamanya atau dengan kata lain versi lain dari suatu agama.
Proses berpikir manusia jelas tidak akan pernah berhenti. Manusia tentunya akan
berusaha merevisi sesuatu hingga objek tersebut mencapai suatu pembaharuan yang lebih
baik dengan suatu acuan yaitu kesempurnaan dari obyek tersebut. Sebagai contoh
penemuan-penemuan elektronik akan terus berkembang. Katakan saja, seperti pager
berkembang menjadi ponsel monoponic, kemudian menjadi ponsel dengan ringtone
polyponic, hingga ponsel dengan aplikasi mp3 dan internet, serta ponsel dengan aplikasi
televisi. Ini adalah salah satu bentuk nyata dimana individu tidak pernah merasa puas
dengan pencapaiannya, sehingga melakukan pembaharuan-pembaharuan dengan harapan
menemukan sesuatu yang lebih baik dan terbaik. Hanya saja masalahnya, apa
pembaharuan-pembaharuan ini tepat dilakukan, berdampak positif atau tidak, dan
diterima masyarakat atau tidak. Proses berkembangnya telepon seluler tadi adalah
analogi, yang menunjukkan bagaimana individu sebagai penganut agama juga dapat
merasa tidak puas dengan bentuk agamanya, sehingga mempunyai keinginan untuk
melakukan pembaharuan dengan harapan menemukan suatu kebenaran sejati. Rasa tidak
puas tersebut dapat dipicu oleh kejemuan mereka terhadap konvensionalitas atau
formalitas hidup beragama. Sehingga mereka merasa bahwa kebiasaan, bentuk ajaran,
format ibadat, hukum, dan peraturan perilaku agama mereka yang mereka anggap
konvensional dapat menjadi perusak agama itu sendiri, sehingga beberapa diantara
mereka melakukan ”pembangkangan” dari format ibadat dan bentuk ajaran dengan
membentuk suatu aliran baru sebagai kompensasi konvensionalitas atau formalitas hidup
beragama.
2
Namun, apakah agama dapat diperbaiki? Apakah agama perlu pembaharuan?
Bukankah seharusnya setiap penganut agama menanamkan pikiran bahwa agamanya
sudah mencapai kebenaran yang mutlak, Bukankah seharusnya mereka mengimani hal
tersebut selama mereka menganut agamanya. Namun, mengapa mereka merasa bahwa
cara untuk menemukan iman sejati adalah mempelajari dan mendalami agama dengan
mengatasi bentuk-bentuk kelembagaannya?
Tentu sulit untuk bersikap netral dalam menulis artikel ini, bahkan tentu saja lebih
sulit untuk bersikap netral terhadap aliran-aliran agama baru yang menurut kita dan
agama kita adalah sesat. Untuk itu, saya hanya akan berusaha menampilkan fakta-fakta,
sebagai contoh bahwa setiap agama mempunyai penganut-penganut yang melakukan
”pembangkangan” seperti yang tadi kita bahas.
Kita mulai dari fenomena Lia Eden. Mewakili agama apakah sekte ini? Entahlah,
karena dia mengkombinasikan empat agama yang jelas berbeda. Dalam studi sosiologi
agama, pola gerakan keagamaan seperti dikembangkan Lia Eden mirip dengan apa yang
dinamakan sebagai sekte (sect). Meski begitu, sesungguhnya kata sekte tak seluruhnya
tepat mencerminkan pola gerakan Lia Eden. Sebab sekte biasanya muncul dari sebuah
tradisi agama, yang kemudian memiliki interpretasi berbeda dengan kalangan arus utama.
Lia Eden tak bisa dikatakan berakar dari salah satu tradisi agama tertentu. Disinilah
ketidaknyamanan penggunaan istilah sekte bagi kelompok Lia Eden. Ada empat ciri
umum dari kemunculan sekte dalam setiap tradisi agama. Pertama, dari segi ajaran,
biasanya berbeda dari doktrin agama yang telah disepakati. Kedua, mereka biasanya
memiliki pemimpin-pemimpin karismatik yang menuntut ketaatan mutlak. Ketiga,
memiliki kecenderungan untuk merasa lebih benar dari kelompok lain. Keempat,
”terpanggil” untuk menyelamatkan dunia. Keyakinan mereka, bahwa dengan
kelompoknya itu, kehidupan manusia akan selamat.
Sekilas pembahasan mengenai Kelompok Eden ini, Lia Aminuddin atau lebih dikenal
sebagai Lia Eden adalah pemimpin kelompok kepercayaan bernama Kaum Eden yang
kontroversial. Lia menyebut dirinya Imam Mahdi yang muncul di dunia sebelum hari
kiamat untuk membawa keamanan dan keadilan di dunia. Selain itu, dia juga memanggil
dirinya Bunda Maria, ibu dari Yesus Kristus. Lia juga mengatakan bahwa anaknya,
Ahmad Mukti, adalah Yesus Kristus. Agama yang dibawa oleh Lia ini berhasil mendapat
3
kurang lebih 100 penganut pada awal diajarkannya. Penganut agama ini terdiri dari para
pakar budaya, golongan cendekiawan, artis musik, drama dan juga pelajar. Mereka semua
dibaptis sebagai pengikut agama Salamullah. Karena Lia merupakan seorang penulis dan
pendakwah yang handal, maka ia bisa meyakinkan orang mengenai kebenaran
dakwahnya. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melarang perkumpulan
Salamullah ini karena ajarannya dianggap telah menyelewengkan kebenaran mengenai
ajaran Islam. Kumpulan ini lalu membalas balik dengan mengeluarkan "Undang-undang
Jibril" (Gabriel's edict) yang mengutuk MUI karena menganggap MUI berlaku tidak adil
dan telah menghakimi mereka dengan sewenang-wenang. Pada tahun 2000, agama
Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-pengikutnya sebagai sebuah agama baru.
Agama Salamullah mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir
tetapi juga mempercayai bahwa pembawa kepercayaan yang lain seperti Buddha
Gautama, Yesus Kristus, dan Kwan Im, dewi pembawa rahmat yang disembah orang
Tionghoa, akan muncul kembali di dunia. Sejak 2003, kumpulan Salamullah ini
memegang kepercayaan bahwa setiap agama adalah benar adanya. Kumpulan yang
diketuai Lia Eden ini kini dikenal sebagai Kaum Eden.
Namun, tidak jelas dalam hal ini motif apa yang membuat Lia membentuk suatu
aliran baru. Tentu jawabannya selain pengalaman yang menurut versi beberapa orang
adalah halusinasi bertemu dengan Jibril. Saya juga tidak akan menjudge dia sebagai
penderita schizophrenia, apalagi karena pembahasan artikel ini bukan merujuk pada hal
tersebut. Namun, kasus ini adalah salah satu contoh terjadinya transendensi diri
Untuk contoh kasus “pembangkangan” dalam agama, mari kita coba tarik sampel
dari Islam yaitu Ahmadiyah. Aliran yang penuh kontoversi ini memiliki kebiasaan,
bentuk ajaran, format ibadat, hukum, dan peraturan perilaku yang berbeda dari Islam
yang berlaku diIndonesia. Kemunculan sekte Ahmadiyah hanya menambahkan satu
varian saja dalam sejarah panjang sekte-sekte Islam yang ada. Tradisi mengkafirkan dan
menyesatkan masih bertahan hingga sekarang, sesuatu yang sangat kita sesalkan. Saat
Ahmadiyah muncul dan membawa interpretasi yang berbeda mengenai konsep kenabian
dalam Islam, kelompok-kelompok Islam yang lain langsung mengkafirkan sekte baru
yang lahir di India ini. Ada pula sekte Sunni. Oleh beberapa golongan dalam sekte Sunni,
kelompok Syi’ah dianggap sebagai sekte yang menyimpang, bahkan keluar dari
4
Islam.Sekte Sunni juga mempunyai daftar panjang sekte-sekte sesat dalam Islam.
Keterangan mengenai ini bisa dibaca dalam karya seorang teolog ortodoks Sunni, Abdul
Qahir al-Baghdadi, “al-Farq bain al-Firaq”
Mari kita lihat poin pertama dalam SKB itu yang bunyinya adalah sbb:
“Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga
negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di
Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 2005 tentang
pencegahan penodaan agama.”
Kalimat dalam SKB ini sangat berbahaya karena membolehkan negara untuk
mencampuri urusan akidah dan kepercayaan warga negara, bahkan memberi hak kepada
negara untuk menentukan mana kaidah yang benar, mana yang tidak. Jika kalimat ini
ditafsirkan secara sembarangan dan “literal”, maka pertanyaannya adalah: apa yang
disebut dengan “kaidah yang benar”? Apakah kaidah yang benar adalah kaidah yang
ditentukan oleh Depag dan MUI? Apakah umat Islam tidak diperbolehkan melakukan
penafsiran Islam yang berbeda dengan MUI dan Depag? Apakah Umat Kristen tidak
boleh melakukan penafsiran Kristen yang berbeda dengan Depag.
Salah satu aliran dari Kristen yang juga melakukan ”pembangkangan” dalam
agama adalah kelompok Davidian. Mungkin asing bagi telinga kita mendengar nama
tersebut. Branch Davidian, sebuah kelompok keagamaan yang hidup sekitar tahun 1960-
an di Amerika. Sebuah kelompok keagamaan atau mungkin lebih tepat jika kita sebut
sekte keagamaan di bawah pimpinan David Koresh. Krisis kepercayaan terhadap agama
sejak tahun 1960-an di Amerika menyuburkan tumbuhnya sekte-sekte yang menjanjikan
penyelamatan di hari kiamat. David Koresh hanya sebuah contoh. Sejak tahun 1960-an di
Amerika berkembang sekte-sekte keagamaan yang bersifat kultus individu, yang oleh
para pengikutnya dianggap lebih sesuai dengan zaman modern. Dalam majalah Tempo 8
Mei 1993, dijelaskan bahwa Davids Koresh konon menderita gangguan psikologis dan
mengaku sebagai Yesus Kristus. Gerakan David Koresh berusaha memisahkan para
pengikutnya dari keluarga dan masyarakat. Hidup dalam satu komunitas dan dibuat hanya
menggantungkan hidupnya pada sang pemimpin. David Koresh memang melakukan yang
5
biasanya dilakukan oleh para pemimpin gerakan keagamaan berjenis sekte yang
mengultuskan pemimpinnya, menarik garis tegas antara pengikut dan masyarakatnya.
Menurut Koresh, ia adalah orang suci sedangkan pemerintahan AS adalah setan, oleh
karena itu tidak ada yang bisa menjembatani diantara keduanya. Tahap berikutnya adalah
mendoktrin para pengikutnya hingga mereka menjadi boneka bagi pemimpinnya yang
siap menjalani perintah pemimpinnya kapan saja. Menurut pengikut Koresh yang
selamat, Koresh banyak memberikan ajaran yang bersumber dari Kitab Wahyu, kitab
paling akhir dari Perjanjian Baru yang berkisah tentang akhir dunia dan siapa saja yang
akan selamat dari peristiwa berakhirnya dunia itu. Kegialaan Koresh dengan menyebut
dirinya sebagai Yesus Kristus tidak berhenti. Dalam dua surat terakhirnya yang
diserahkan kepada FBI (surat yang disebutnya sebagai “surat dari Tuhan”), dalam
suratnya yang pertama yang bertanggal 10 April menegaskan bahwa ia adalah Kristus
sang penyelamat dalam suratnya ia berkata Sedangkan lewat surat kedua, Koresh
menyatakan bahwa ia adalah pencipta surga maupun dunia. Dan oleh karena itu akhir
dunia pun berada ditangannya.
“Engkau punya kesempatan untuk mempelajari penyelamatanku. Jangan
menempatkan dirimu untuk melawanku… kenapa engkau harus hilang?”
Sebelum membentuk Branch Davidian, Koresh adalah aktifis Gereja Advent Hari
Ketujuh, sampai suatu ketika ia dikeluarkan dari gereja tersebut dengan sebab yang tidak
jelas. Karena itulah kemudian ia bergabung dengan Branch Davidian. Sebenarnya David
Koresh bukan nama sebenarnya, ia bernama Vernon Howell yang kemudian berganti
nama menjadi David Koresh setelah masuk ke Branch Davidian. Daivd Koresh
merupakan nama Ibrani untuk Cyrus, raja Persia yang mengijinkan orang yahudi kembali
ke Israel setelah tertangkap di Babylonia. Kemudian pelan-pelan kegilaannya diterapkan
dalam pengajarannya dalam gereja. Ia pisahkan pengikutnya pria berkelompok dengan
pria dan wanita dengan wanita. Bahkan Koresh melarang hubungan seks diantara mereka
tanpa kecuali. Koresh dikabarakan memiliki 19 istri dan kebanyakan anak-anak yang
berada dalam bunker kelompok ini merupakan keturunannya. Ia melakukan penginjilan
dan menakut-nakuti pengikutnya tentang hari kiamat yang akan tiba, ia mengembangkan
krisis mental dengan terus menerus bercerita tentang hari kiamat dan mengejak
6
pengikutnya untuk siap melawan penyerang yang datang dari luar bunker tempat Brach
Davidian tinggal. Untuk mempertahankan bunker, Koresh menyiapkan para pengikutnya
dengan melatih mereka layaknya militer.
Alkitab berjam-jam dari pagi hingga tengah malam tanpa makan dan tidur sedikitpun.
Para pria wajib bekerja membangun bunker, sedangkan kaum wanita bertugas
membereskan pekerjaan rumah tangga dan mendidik anak-anak yang tak pernah keluar
dari bunker. Tidak ada siaran televisi dan tidak ada acara ulang tahun.Bagaimana
memahami fenomena ini sebagai sebuah fakta sosiologis? Karena sifatnya yang elastis,
perkembangan sekte sangat cepat dan beragam. Wilson menuturkan, betapa variatifnya
sekte yang bermunculan itu (Wilson, 1996: 196-197) Tapi paling tidak ada lima kategori
umum Pertama, tipe sekte yang bersifat konversionis. Dalam kekristenan, sekte ini
merupakan gerakan fundamental yang menyerukan pemahaman literal terhadap Bibel.
Dan gerakan ini ditandai dengan kecenderungan untuk memaku figur sentral sebagai
rujukan primer. Tipe kedua, kelompok revolusionis. Sekte model itu berisi para adventis
yang merespon dunia dengan memprediksi kehancuran dan kebangkitannya kembali
melalui kasih Yesus. Gambaran sekte ketiga disebut introversionis, yang mengambil
jarak dan menarik diri dari dunia dan memperkuat kesucian diri. Karakter sekte
berikutnya adalah apa yang disebut manipulasionis. Kelompok ini bergerak sangat jauh
meninggalkan akar tradisi agamanya. Mereka tidak menolak dunia, tidak menarik diri,
tetapi jauh dari itu mencoba menawarkan gnostik baru dengan melibatkan dirinya dalam
kehidupan dunia. Sekte yang bersifat manipulasionis ini tidak berkubang dalam
pemikiran ihwal eskatologi. Kehidupan spiritual mereka diorientasikan secara esensial
untuk masa depan dunia. Berbeda dengan sekte konversionis, revolusionis, dan
introvertionis, pengikut kelompok manipulasionis tidaklah banyak. Tipe kelima adalah
sekte yang bersifat thaumaturgical, yang dianut terutama oleh kelompok spiritual di
dunia Barat.
Pemetaan model-model sekte oleh kita tidak bisa menganggap golongan tertentu
melakukan penghinaan atas agama kita hanya gara-gara mengajukan tafsir yang berbeda
dengan kelompok mayoritas mengenai doktrin dan ajaran tertentu. Jika perbedaan tafsir
dianggap menghina agama, maka apakah penafsiran kaum Protestan yang berbeda secara
7
radikal dari kaum Katolik boleh dianggap sebagai “penghinaan”? Apakah praktek
keagamaan jama’ah NU yang oleh sebagian umat Islam yang lain bahkan dituduh
sebagai tindakan yang boleh disebut menghina agama? Dalam setiap agama selalu ada
sekte, denominasi, mazhab, dan lain sebagainya. Perbedaan antar sekte dalam beberapa
agama besar bahkan begitu kerasnya sehingga sekte-sekte itu saling menuduh yang lain
sebagai kafir.
Tantangan semua tokoh dan masyarakat agama sekarang ini adalah bukan
mempertahankan cara pandang “sesat-menyesatkan” yang dipakai oleh MUI selama ini.
Yang harus dikembangkan adalah dialog antar sekte agar tak terjadi salah-paham di
antara sesama umat satu agama.Sebetulnya masyarakat kecil di bawah bisa hidup secara
damai dan menghargai kelompok dan sekte lain yang berbeda. Tetapi tokoh-tokoh
agamalah yang “memprovokasi” masyarakat kecil untuk membenci golongan lain dengan
khutbah dan ceramah yang memanas-manasi.Jika tokoh-tokoh agama selalu melakukan
provokasi doktrin setiap hari dalam acara-acara keagamaan, sudah tentu masyarakat akan
terpengaruh dan menjadi mudah marah serta tersinggung. Oleh karena itu, “bola”
sekarang ada di tangan para tokoh agama: apakah kalian mau mencetak umat yang gemar
marah dan sedikit-sedikit tersinggung, atau umat yang terbuka pemikirannya, kritis, dan
bisa memilah informasi secara cerdas, tidak mudah digoyah oleh isu dan rumor yang
tanpa dasar. Dan mereka cukup berpengaruh sebagai salah satu indikator ketidakpuasaan
penganut terhadap agamanya akibat suatu konvensionalitas terhadap bentuk agama, dan
doktrin-doktrin yang diberikan oleh para tokoh agama
Namun, “pembangkangan” disini tidak selamanya bersifat negative. Katakan saja,
lahirnya Protestant sebagai protes dari doktrin yang diajarkan Katolik. Buktinya
Protestant tidak digugat sebagai agama sesat. Dan dalam Protestant pun, terdapat
beberapa jenis aliran yang nampak dalam bentuk variasi gereja dalam artian variasi
kebiasaan, bentuk dan format peribadatan. Ada gereja seperti GKI (Gereja Kristen
Indonesia) yang menggunakan peralatanmusik yang cenderung melo seperti piano
danorgan, lagu-lagunyapun adalah lagu-lagu gospel yang sendu dan cenderung berirama
lambat. Berbeda dengan GKI, GBI(Gereja Bethel Indonesia) biasanya menggunakan alat-
alat musik sseperti bentuk band, dimana umumnya menggunakan Gitar, Drum, dan lagu-
8
lagunya pun agak nge-bit. Perbedaan tata cara peribadatan ini, tidak lantas menjadikan
kami berbeda. Pendeta dari GKI tentunya akan mengkhotbahkan hak-hal yang relatif
sama dengan pendeta dari GBT, hanya pembawaannya saja yang cenderung berbeda.
Dimana yang satu menampilkan gaya bicara yang melo dan lembut, dan yang satu
dengan gaya bahasa yang lebih menggebu-gebu, nada lebih keras, dan setting yang lebih
informal. Perbedaan ini, mungkin muncul karena awalnya ada ketidakpuasan terhadap
bentuk agama oleh para penganut sehingga mereka melakukan pembaharuan. Dimana
cara yang mereka tawarkan untuk mencapai dan menemukan iman sejati adalah
mempelajari dan mendalami agama dengan mengatasi bentuk-bentuk kelembagaannya.
Beberapa membentuk kelompoknya dengan kepercayaan yang mereka. Namun tetap
mengacu pada ajaran inti dari Tuhan yang bersumber dari kitab suci, dalam hal ini
alkitab. Sehingga tidak terjadi konflik satu sama lain, karena tidak terlalu bertentangan
secara signifikan dan tetapmengacu pada satu kebenaran yang dasar
Bentuk lainnya, kita lihat pada Muhammadiyah dan NU, yang memiliki
interpretasi yang berbeda dalam beberapa hal, contohnya penanggalan hari-hari besar.
Buktinya Muhammadiyah tidak digugat sebagai agama sesat
Agar tak terjebak dalam subjektifitas dan pengagungan terhadap klaim sepihak,
saya menarik diri untuk tak terpaku dalam lingkaran teologis, kita lebih baik melihat hal
ini dari sudut pandang humanistik, dengan pendekatan fenomenologis.
Sehingga kembali pada pertanyaan awal. Agama manakah yang paling benar?
Pada faktanya, penganut agama tersebut meyakini kebenaran agamanya, hanya naasnya
mereka terlambat membentuk alirannya sehingga yanglain sudah mengklaim sebagai
yang lebih benar. Dan proses dimana hubungan vertikal manusia dengan TUHAN,
dengan kata lain transendensi diri ini tercapai secara berbeda-beda setiap individu. Dan
tingkat transendensi diri yang tinggi, akan menghasilkan pola kehidupan religius yang
lebih mendalam dan penghayatan terhadap agamanya. Dan masalah salah atau tidakkah
bentuk transendensi yang menghasilkan ”pembangkangan” atau pembentukan aliran
baru, tergantung dengan kacamata apa yang kita gunakan. Humanistik? Atau Norma
agama yang berlaku.
9
10