Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

24
Manifestasi Klinis dan Penyebaran Polio Widodo Judarwanto Laboratorium rujukan global di Mumbai, India, telah mengonfirmasikan bahwa isolat virus yang dikirim dari Sukabumi, Jawa Barat, adalah polio liar (wid poliovirus) tipe 1. Dalam situs polio eradication yang bisa diakses dari situs Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO disebutkan bahwa virus yang ditemukan pada bayi berusia 18 bulan itu dari Afrika Barat (Kompas, 4 Mei 2005). Dunia kesehatan Indonesia dikejutkan oleh kejadian munculnya kembali penyakit polio. Terakhir kali tahun 1995 laboratorium Biofarma, Balai Penelitian dan Pengembangan Depkes, dan Balai Laboratorium Kesehatan Surabaya menemukan 7 penderita polio di Kota Malang, Cilacap, Medan, Palembang, dan Probolinggo. Keadaan ini tampaknya mulai dicemaskan oleh masyarakat, khususnya orang tua yang mempunyai anak balita karena beratnya akibat yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini. Penyebab penyakit ini adalah virus polio yang terdiri dari 3 strain, yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (Lanzig), dan strain 3 (Leon). Strain 1 seperti yang ditemukan di Sukabumi adalah yang paling paralitogenik atau paling ganas dan sering kali menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah. Sedangkan strain 2 adalah yang paling jinak. Virus polio termasuk genus enteroviorus, famili Picornavirus. Bentuk ini ikosahedral, tanpa sampul; (envelope) dengan genome RNA, single stranded messenger molecule. Single stranded RNA membentuk hampir 30 persen bagian dari virion dan sisanya terdiri dari 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil (Vpg). Tanda dan gejala klinik Tanda klinik penyakit polio pada manusia sangat jelas sehingga penyakit ini telah dikenal sejak 4.000 sebelum Masehi dari pahatan dan lukisan dinding di piramida Mesir. Sebagian terbesar (90 persen) infeksi virus polio akan menyebabkan inapparent infection, sedangkan 5 persen akan menampilkan gejala abortive infection, 1 persen non-paralytic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik. Penderita yang menunjukkan tanda klinik paralitik, 30 persen akan sembuh, 30 persen menunjukkan kelumpuhan ringan, 30 persen menunjukkan kelumpuhan berat, dan 10 persen menunjukkan gejala yang berat dan bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi biasanya berkisar 3-35 hari.

description

e

Transcript of Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Page 1: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Manifestasi Klinis dan Penyebaran Polio

Widodo Judarwanto

Laboratorium rujukan global di Mumbai, India, telah mengonfirmasikan bahwa isolat virus yang dikirim dari Sukabumi, Jawa Barat, adalah polio liar (wid poliovirus) tipe 1. Dalam situs polio eradication yang bisa diakses dari situs Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO disebutkan bahwa virus yang ditemukan pada bayi berusia 18 bulan itu dari Afrika Barat (Kompas, 4 Mei 2005).

Dunia kesehatan Indonesia dikejutkan oleh kejadian munculnya kembali penyakit polio. Terakhir kali tahun 1995 laboratorium Biofarma, Balai Penelitian dan Pengembangan Depkes, dan Balai Laboratorium Kesehatan Surabaya menemukan 7 penderita polio di Kota Malang, Cilacap, Medan, Palembang, dan Probolinggo.

Keadaan ini tampaknya mulai dicemaskan oleh masyarakat, khususnya orang tua yang mempunyai anak balita karena beratnya akibat yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.

Penyebab penyakit ini adalah virus polio yang terdiri dari 3 strain, yaitu strain 1 (brunhilde), strain 2 (Lanzig), dan strain 3 (Leon). Strain 1 seperti yang ditemukan di Sukabumi adalah yang paling paralitogenik atau paling ganas dan sering kali menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah.

Sedangkan strain 2 adalah yang paling jinak. Virus polio termasuk genus enteroviorus, famili Picornavirus. Bentuk ini ikosahedral, tanpa sampul; (envelope) dengan genome RNA, single stranded messenger molecule. Single stranded RNA membentuk hampir 30 persen bagian dari virion dan sisanya terdiri dari 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil (Vpg).

Tanda dan gejala klinik

Tanda klinik penyakit polio pada manusia sangat jelas sehingga penyakit ini telah dikenal sejak 4.000 sebelum Masehi dari pahatan dan lukisan dinding di piramida Mesir. Sebagian terbesar (90 persen) infeksi virus polio akan menyebabkan inapparent infection, sedangkan 5 persen akan menampilkan gejala abortive infection, 1 persen non-paralytic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik.

Penderita yang menunjukkan tanda klinik paralitik, 30 persen akan sembuh, 30 persen menunjukkan kelumpuhan ringan, 30 persen menunjukkan kelumpuhan berat, dan 10 persen menunjukkan gejala yang berat dan bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi biasanya berkisar 3-35 hari. Penderita sebelum masa ditemukannya vaksin, terutama berusia di bawah 5 tahun. Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin, penderita bergeser usianya pada kelompok anak berusia di atas 5 tahun.

Pada stadium akut (sejak adanya gejala klinis hingga 2 minggu) ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat, jarang lebih dari 10 hari, kadang disertai sakit kepala dan muntah.

Kelumpuhan terjadi dalam seminggu dari permulaan sakit. Kelumpuhan ini terjadi sebagai akibat dari kerusakan sel-sel motor neuron di Medula spinalis (tulang belakang) yang disebabkan karena invasi virus.

Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan deformitas (gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Sebagian terbesar kelumpuhan akan mengenai tungkai (78,6 persen), sedangkan 41,4 persen akan mengenai lengan. Kelumpuhan ini akan berjalan bertahap dan memakan waktu 2 hari s/d 2 bulan).

Page 2: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Pada stadium sub-akut (2 minggu s/d 2 bulan) ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak terlalu tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi.

Stadium Konvalescent (2 bulan s/d 2 tahun) ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang lemah. Sekitar 50-70 persen dari fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya, sesudah usia 2 tahun diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot. Stadium kronik atau lebih 2 tahun dari gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan otot yang mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot yang ada bersifat permanen.

Penyebaran penyakit

Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut dan tenggorok) atau dari tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi penularan langsung dari manusia ke manusia melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut) atau yang agak jarang lainnya melalui oral-oral (dari mulut ke mulut).

Fekal-oral artinya minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja penderita masuk ke mulut manusia sehat lainnya. Sedangkan dari oral-oral adalah penyebaran dari air liur penderita yang masuk ke mulut manusia sehat lainnya.

Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap formaldehide dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun. Ketahanan virus di Tanah Air sangat tergantung kelembaban suhu dan adanya mikroba lainnya.

Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun virus ini hidup di lingkungan terbatas. Salah satu inang atau makhluk hidup perantara yang dapat dibuktikan sampai kini adalah manusia.

Pencegahan

Dalam World Health Assembly tahun 1998 yang diikuti oleh sebagian besar negara di penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi Polio (Erapo) tahun 2000, artinya dunia bebas polio tahun 2000. Program Erapo pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan cakupan imunisasi yang tinggi dan menyeluruh. Kemudian diikuti dengan Pekan Imunisasi Nasional yang telah dilakukan Depkes tahun 1995, 1996, dan 1997. Pemberian imunisasi polio yang sesuai dengan rekomendasi WHO adalah diberikan sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu.

Kemudian diulang usia 1½ tahun, 5 tahun, dan usia 15 tahun. Upaya ketiga adalah Survailance Acute Flaccid Paralysis atau penemuan penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun harus diperiksa tinjanya untuk memastikan karena polio atau bukan.

Tindakan lainnya adalah melakukan Mopping Up, artinya pemberian vaksinasi massal di daerah yang ditemukan penderita polio terhadap anak di bawah 5 tahun tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.

Tampaknya dengan era globalisasi di mana mobilitas penduduk dunia antarnegara sangat tinggi dan cepat mengakibatkan kesulitan mengendalikan penyebaran virus ini.

Page 3: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Selain pencegahan dengan vaksinasi polio, harus disertai dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan higienis sanitasi perorangan untuk mengurangi penyebaran virus yang kembali mengkhawatirkan ini.

Mengenal Polio Dari Dekat26 Aug 2005

Poliomyelitis atau yang lebih dikenal dengan Polio merupakan penyakit yang sangat menular diakibatkan oleh virus polio. Penyakit ini menyerang sistem syaraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian dalam hitungan beberapa jam. Virus polio yang secara ilmiah dikenal sebagai virus polio liar atau Wild Polio Virus/WPV memasuki tubuh manusia melalui mulut dengan perantaraan makanan yang telah terkontaminasi tinja dari orang yang sudah terjangkit polio. Dari sini nampak jelas pentingya menjaga kebersihan lingkungan khususnya pengolahan makanan agar tidak terkontaminasi dengan tinja ataupun kotoran lain yang membawa berbagai macam agen penyakit. Virus yang telah masuk melalui mulut akan melewati jalur pencernaan hingga sampai di usus. Virus yang telah berada di dalam usus dapat berkembang biak yang pada gilirannaya akan dikeluarkan kembali oleh orang yang terjangkit melalui tinjanya. Tinja tersebut yang sangat berpotensi menjadi sumber penularan virus kepada orang lain.

Untuk mengetahui apakah seseorang terjangkit polio atau tidak, kita perlu mengetahui terlebih

Page 4: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

dulu seperti apa gejala-gejala penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan hingga kematian ini, Gejala ?gejala polio antara lain

1.Demam 2.Rasa lelah 3.Sakit kepala 4.Muntah-muntah 5.Rasa kaku pada leher 6.Rasa sakit pada kaki atau tangan

Polio terutama menyerang kelompok umur tertentu, yaitu anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita). Satu dari 200 orang yang terjangkit polio akhirnya mengalami kelumpuhan yang tidak dapat disembuhkan (biasanya pada kakinya) dan diantara kasus lumpuh tersebut, 5-10% meninggal dunia ketika otot-otot pernapasannya dilumpuhkan oleh virus tersebut. Polio memang tidak dapat disembuhkan, namun dapat dicegah dengan imunisasi. Terdapat suatu vaksin yang aman dan efektif yaitu oral Polio vaksin (OPV). OPV adalah pelindung yang sangat tepat terhadap polio bagi anak-anak. Diberikan berulang kali, dan dapat melindungi seorang anak seumur hidupnya.

Polio merebak di Indonesia melalui anak-anak yang belum diimunisasi. Angka rata-rata dari cakupan imunisasi rutin di Indonesia adalah 70%, yang mengakibatkan sejumlah besar anak-anak tidak terlindungi dari penyakit ini. Pada kenyataanya angka cakupan imunisasi rutin tersebut menurun secara perlahan tapi pasti

Page 5: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

selama beberapa tahun terakhir. Terdapat beberapa daearah di tanah air yang angka imunitasnya bahkan lebih rendah lagi, yakni masyarakat yang paling miskin dan paling terpinggirkan. Karena penyakt polio pada umumnya tidak menunjukkan gejala-gejala apapun, sangatlah mudah bagi penyakit tersebut untuk beredar dari satu tempat ke tempat lainnya secara diam-diam melalui tubuh para penderitanya yang tidak menyadari jika dirinya telah terjangkit. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya untuk menjaga angka cakupan imunisasi rutin sebagai pertahanan nasional yang ampuh terhadap penyakit menular ini.

Polio masih terdapat di beberapa negara, namun penyakit ini telah hampir musnah dari muka bumi. Pada tahun 1988, beberapa negara meluncurkan program Eradikasi Polio Global untuk menghapus Polio dari buku-buku sejarah. Sejak saat itu, berkat kampanye imunisasi massal, kasus-kasus polio di seluruh dunia turun drastis lebih dari 99%. Sekitar 20 tahun lalu, 1.000 anak-anak dibuat lumpuh setiap harinya oleh Polio. Tahun lalu, berkat Program Eradikasi Polio Global hanya 1.266 anak yang menjadi lumpuh selama satu tahun

Indonesia pernah menyandang predikat bebas polio selama 10 tahun sebelum kembali terjangkit oleh suatu virus liar yang dibawa masuk dari luar negeri ke tanah air. Analisa teerhadap virus tersebut membuktikan bahwa virus berasal dari Afrika Barat, dimana wabah polio telah

Page 6: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

menyebarkannya ke negara-negara yang bebas Polio. Lima Belas negara yang bebas polio lainnya juga telah terjangkiti wabah ini, termasuk Yaman dan Arab Saudi. Kita tidak mengetahui kapan persisinya virus tersebut tiba di Indonesia, tetapi jenisnya sangat mirip dengan virus-virus polio yang ditemukan di Sudan dan Arab Saudi

Imunisasi adalah satu-satunya cara untuk mengantisipasi penyebaran virus polio liar. Apalagi imunisasi ini diberikan secara cuma-cuma, sehingga negara harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membiayai program PIN tersebut.

Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan dalam mengantisipasi penyakit polio adalah pencegahan, bukan pengobatan. Hal ini disebabkan, hingga kini belum ditemukan obat yang efektif untuk penyembuhan penyakit ini. Pencegahan dilakukan melalui imunisasi (vaksinasi), yaitu memberikan vaksin polio kepada anak-anak sehingga tercegah dari serangan polio. Dengan meminum vaksin, di dalam tubuh kita akan terbentuk antibodi yang bisa melawan serangan virus polio. Artinya, dengan vaksinasi tubuh kita akan memeroleh "senjata" yang bisa melawan serangan polio. Sebaliknya, orang yang tidak vaksinasi tidak akan memeroleh "senjata" tersebut, sehingga pada saat terinfeksi virus polio, virus akan dengan leluasa berkembang-biak di dalam tubuh dan akhirnya menyebabkan gejala polio.

Page 7: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Program imunisasi juga memutuskan mata rantai penularan virus polio liar. Jika seseorang tidak mendapatkan vaksin polio, virus polio yang menginfeksinya bisa berkembang-biak dan menyebabkan gejala polio. Tidak hanya itu, virus yang keluar dari tubuh seseorang melalui tinja bahkan bisa menular kepada orang lain dan menyebabkan gejala yang sama. Sebaliknya, jika seseorang tersebut divaksinasi, jika satu saat virus polio menginfeksi akan bisa dinetralisasikan oleh antibodi yang terbentuk di dalam tubuh yang dihasilkan dari vaksinasi. Akibatnya, virus polio tidak berkembang biak di dalam tubuhnya, dan secara otomatis tidak menular kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Karena itu, jelas sekali bahwa imunisasi adalah cara yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan virus polio.

Untuk memusnahkan polio dari bumi ini, tahun 1988 WHO mencanangkan program "The Global Polio Eradication Initiative" dibantu oleh UNICEF, Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (The US Centers for Disease Control and Prevention, CDC) dan klub Rotary International. Strategi utama dalam program tersebut adalah imunisasi, baik imunisasi rutin yang diberikan kepada setiap bayi yang lahir maupun imunisasi massal melalui national immunization day (NID), atau di Indonesia lebih dikenal dengan PIN. Dengan program ini, pada 1995 Indonesia telah bebas dari polio. Dan dengan program ini juga, pada 2004 dunia sudah hampir bebas dari polio, di mana endemik polio hanya tinggal di 6 negara, India, Pakistan, Afghanistan, Mesir, Nigeria, dan Niger. Tetapi tahun 2005, wabah polio kembali terjadi di beberapa negara yang sebelumnya sudah bebas dari polio, termasuk Indonesia. Terjadinya wabah disebabkan tidak adanya program imunisasi, baik imunisasi rutin maupun imunisasi massal yang bisa mencakup seluruh balita. Padahal

Page 8: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

seharusnya program imunisasi polio harus tetap dijalankan selama virus polio masih belum hilang dari bumi ini.

Vaksin Polio

Untuk imunisasi polio ada dua jenis vaksin yang bisa digunakan. Pertama, vaksin yang terbuat dari virus polio yang dinonaktifkan atau lebih dikenal dengan IPV (inactivated polio vaccine). Vaksin ini selain harganya mahal juga memerlukan tenaga medis karena harus diberikan melalui suntikan. Karena itu, untuk program eradikasi polio, WHO tidak mengutamakan penggunaan vaksin ini. Vaksin ini kebanyakan digunakan di negara-negara maju seperti AS dan negara-negara di Eropa.

Kedua, vaksin berupa virus polio hidup yang patogennya telah dilemahkan, atau lebih dikenal dengan OPV (live-attenuated oral polio vaccine). Vaksin ini murah, baik biaya produksi maupun biaya pelaksanaan imunisasinya. Vaksin ini berbentuk sirup sehingga tidak memerlukan tenaga medis khusus dalam pelaksanaan imunisasinya. Begitu juga dengan jarum suntikan, tidak diperlukan pada imunisasi dengan OPV. Selain itu, karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki karakter seperti virus polio alami. Artinya, OPV bisa berkembang-biak di dalam tubuh, mengindus antibodi dan kemudian ke luar bersama tinja. Karena virus yang keluar juga memiliki karakter vaksin OPV, jika menginfeksi ke manusia di sekitarnya juga akan memberikan makna yang sama dengan vaksinasi. Ini juga merupakan kelebihan dari vaksin OPV dibandingkan IPV. Atas pertimbangan ini, WHO lebih menekankan penggunaan OPV dalam program eradikasi polio global.

Page 9: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Begitu juga dengan program imunisasi di Indonesia, semuanya menggunakan OPV.

Dari segi keamanan, kedua jenis vaksin pada prinsipnya aman. Ini terbukti dari pemakaian kedua vaksin ini sejak pertama kali digunakan, tahun 1950-an sampai sekarang. Kedua vaksin ini ditemukan pada waktu yang hampir bersamaan. IPV dikembangkan oleh Jonas Salk tahun 1954, sedangkan OPV dikembangkan oleh Albert Sabin (1957). Sampai saat ini vaksin ini masih tetap dipakai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa vaksin ini adalah yang terbaik sampai saat ini.

OPV memiliki banyak kelebihan sehingga dipakai dalam program eradikasi polio global. Walaupun demikian, OPV juga memiliki sedikit kelemahan, yaitu kemungkinan berubah menjadi virus yang patogen. Karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki kemungkinan berubah, termasuk berubah kembali menjadi patogen. Jika terjadi, ini akan berisiko terhadap orang yang mendapatkan vaksinasi. Kasus polio seperti ini dikenal dengan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Tapi perlu diingat bahwa kemungkinan VAPP ini sangat rendah, yaitu 1 kasus dalam 2-3 juta orang. (www.post-polio.org). Dengan kata lain, peluangnya adalah sebesar 0.00003-0.00005%. Jadi, kemungkinan VAPP ini sangat kecil, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Peluang terserang polio jauh lebih besar jika tidak mendapatkan imunisasi. Ini merupakan hal yang perlu dipahami, sehingga diharapkan tidak terjadi salah pengertian yang membuat masyarakat enggan membawa balitanya untuk imunisasi polio.

Page 10: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Untuk melaksanakan program PIN, diperlukan dana besar, sehingga diharapkan program ini berjalan lancar, di mana diharapkan imunisasi dapat mencakupi semua balita yang ada di Indonesia. Berhasil tidaknya program ini sangat ditentukan oleh pengertian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi. Jangan sampai masyarakat tidak mau balitanya divaksinasi karena khawatir terjadi sesuatu. Ini adalah pengertian yang tidak benar dan keliru. Perlu dipahami bahwa hanya vaksinasilah yang bisa dilakukan sebagai antisipasi terhadap penyakit polio.

***

Dr. Andi Utama; Penulis Virolog Puslit Bioteknologi-LIPI.

Gejala klinis terjadi akibat infeksi sistemik virus polio, baik tanpa gejala maupun dengan gejala sangat ringan. Keluhan biasanya nyeri tenggorokan dan perasaan tak enak di perut, demam ringan, dan nyeri kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari kemudian menghilang. Pada gejala yang lebih berat dalam bentuk paralisis yaitu Poliomielitis tipe spinal yang bermanifestasikan kelumpuhan tungkai bawah yang asimetris dan Poliomielitis bulbar yang mengenai batang otak dan dapat menyebabkan kematian.

 

Poliomielitis: Aspek Klinis dan EradikasiOleh Bagus Ngurah Putu Arhana 

Pemerintah mencanangkan, tujuan akhir program imunisasi menjelang tahun 2000 adalah eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, dan reduksi campak. Dengan tidak ditemukannya virus polio liar dalam tinja penderita Acute Flaccid Paralysis atau Lumpuh Layuh Akut melalui survailans AFP pada tahun-tahun berikutnya diperkirakan pada tahun 2003, Badan Kesehatan Dunia bisa menyatakan Indonesia sudah termasuk negara yang bebas polio (sertifikasi bebas polio). Namun, bagai mimpi di siang bolong kita dikejutkan dengan Kejadian Luar Biasa di Sukabumi dengan ditemukannya virus polio liar sebagai penyebab Lumpuh Layuh Akut.

 

 

Imunisasi merupakan upaya terbaik untuk mencegah penyakit poliomielitis, bahkan mampu membasmi penyakit ini dari muka bumi. Pada tahun lima puluhan, mulai dikembangkan vaksin polio dan dasarnya adalah ditemukannya cara pembiakan

Page 11: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

virus. Sejak penemuan vaksin ini, imunisasi terhadap polio dilancarkan dan menjadi salah satu antigen yang wajib diberikan dalam imunisasi dasar rutin.

Vaksin yang diberikan secara simultan menyebabkan replikasi dan ekskresi virus liar dihambat atau berjalan dengan kecepatan yang sangat rendah, sehingga transmisi virus berhenti, lama-kelamaan virus tersebut habis dari populasi manusia.

 

Aspek Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala ringan sampai paralisis (kelumpuhan). Penyebabnya adalah virus polio tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Ketiga jenis polio tersebut berbeda satu sama lain dan yang paling virulen tipe 1. Virus polio tahan terhadap pengaruh fisik dan bahan kimia (alkohol dan lisol) namun peka terhadap formaldehide. Ketahanan virus di tanah dan air tergantung pada kelembaban dan suhu. Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-meter dari sumber penularan, sedangkan dalam tinja tahan sampai berbulan-bulan.

Penularan virus polio terutama melalui tinja penderita infektious (fekal-oral) dan jarang melalui percikan ludah (orofaringeal-oral). Setelah virus masuk, terdapat dua pintu gerbang utama yaitu orofaring dan saluran cerna bagian bawah yang memberi jalan virus masuk ke jaringan interna. Faring akan segera terkena setelah virus masuk, dan karena virus tahan terhadap asam lambung maka virus bisa mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa proses inaktivasi. Setelah bermultiplikasi virus menyebar melalui pembuluh darah. Invasi virus ke susunan saraf dapat melalui pembuluh darah (hematogen) atau melalui perjalanan saraf. Dalam waktu dua minggu setelah infeksi, kemungkinan mendapatkan virus dalam tinja sekitar 80-90%. Virus juga keluar secara berkala  sehingga bila ingin mendapatkan virus dari tinja harus dilakukan pengambilan sampel tinja minimal dua spesimen, dengan selang waktu 24 jam.

Sebagian terbesar (90%) infeksi virus polio akan menyebabkan  inapparent infection, sedangkan 5% akan menampilkan gejala abortive infection, 1% non paralitic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik. Penderita  yang menunjukkan gejala  paralitik, 30% sembuh, 30% masih dengan paralisis ringan, 30% dengan paralisis berat dan 10% menunjukkan gejala berat dan kemungkinan akan menimbulkan kematian. Sebagian besar kelumpuhan akan mengenai tungkai. Masa inkubasi 3-35 hari dengan rata-rata 4-14 hari.

Gejala klinis terjadi akibat infeksi sistemik virus polio, baik tanpa gejala maupun dengan gejala sangat ringan. Keluhan biasanya nyeri tenggorokan dan perasaan tak enak di perut, demam ringan, dan nyeri kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari kemudian menghilang. Pada gejala yang lebih berat dalam bentuk paralisis yaitu Poliomielitis tipe spinal yang bermanifestasikan kelumpuhan tungkai bawah yang asimetris dan Poliomielitis bulbar yang mengenai batang otak dan dapat menyebabkan kematian.

Faktor yang mempengaruhi keganasan virus polio antara lain, jenis virus, usia, genetik, aktivitas fisik, trauma dan tonsilektomi. Untuk menegakkan diagnosis klinis secara tepat terhadap poliomielitis paralitik agak sulit. Sebagai diagnosis banding perlu dipikirkan penyakit-penyakit lain seperti: Sindrom Guillain Barre, Mielitis

Page 12: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Transversa maupun Ensefalitis karena penyakit virus lain. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya virus liar dari tinja penderita.

Pengobatan poliomielitis tidak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi. Tirah baring sangat diperlukan, sedang pengobatan suportif lain seperti sedatif bila dijumpai gejala gelisah dan analgetik untuk mengurangi nyeri. Setelah fase akut terlewati, mulai dilakukan fisioterapi aktif, kemudian konsultasi ortopedi.

 

Eradikasi Polio

Objektif dari Erapo (Eradikasi Polio) adalah pemberantasan virus liar di dunia. Sidang WHA (World Health Assembly) pada tahun 1988 telah memutuskan untuk menganjurkan WHO mendorong pelaksanaan program eradikasi polio.

Strategi Erapo terdiri datas empat kegiatan utama. Pertama, cakupan imunisasi yang tinggi. Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak di bawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak empat kali, pada usia 0, 2, 3, 4 bulan. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada tingkat yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan tinggi juga harus terus dipertahankan oleh negara yang telah bebas polio sampai seluruh dunia bebas polio, agar negara tersebut dapat bertahan terhadap virus liar impor.

Kedua, hari/pekan imunisasi nasional (PIN). Imunisasi massal dilakukan secara serentak pada semua anak di bawah 5 tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu. Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin, mungkin akibat diseminasi virus vaksin ke lingkungan dan ke anggota populasi lain.

Ketiga, surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis) atau Lumpuh Layuh Akut Eradikasi membutuhkan metode surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio di mana pun di dunia. Surveilans AFP bertujuan mendeteksi virus polio liar dan meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara. Kasus polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini mencakup deteksi semua AFP di bawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan secukupnya dengan selang waktu 24 jam, dan dikirim dalam keadaan dingin ke laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP tiap tahun untuk setiap 100.000 anak di bawah 15 tahun.

Keempat, Mopping-up. Imunisasi rutin dan PIN akan menurunkan transmisi virus pada tingkat terendah yang hanya terjadi pada beberapa kantong saja. Apabila dapat dibuktikan adanya transmisi virus di lingkungan, maka dilakukan mopping-up di daerah tersebut yaitu pemberian vaksin polio oral dua putaran pada semua anak di bawah 5 tahun tanpa mempedulikan status imunisasi dan dilakukan secara lengkap dari rumah ke rumah.

Page 13: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Rangkaian mata rantai yang panjang dari strategi Erapo bukanlah masalah sederhana untuk dilaksanakan. Tenaga kesehatan yang kurang merata, kesadaran sebagian masyarakat terhadap imunisasi belum memadai serta wilayah yang secara geografis sulit dijangkau menyebabkan cakupan imunisasi belum memenuhi target. Belum lagi masalah ekonomi dan sosial politik yang dapat ikut berperan dalam ketidakpedulian masyarakat terhadap kesehatan. Pengaruh globalisasi memberi ''sumbangsih'' importasi virus liar untuk memicu terjadinya kejadian luar biasa, bila cakupan imunisasi belum memadai. Persoalan imunisasi tanggung jawab kita semua, masalah kesehatan tanggung jawab kita bersama. Sudahkah putra-putri kita mendapatkan imunisasi? 

Penulis, dokter spesialis anak, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Bali

 

 

Gejala klinis terjadi akibat infeksi sistemik virus polio, baik tanpa gejala maupun dengan gejala sangat ringan. Keluhan biasanya nyeri tenggorokan dan perasaan tak enak di perut, demam ringan, dan nyeri kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari kemudian menghilang. Pada gejala yang lebih berat dalam bentuk paralisis yaitu Poliomielitis tipe spinal yang bermanifestasikan kelumpuhan tungkai bawah yang asimetris dan Poliomielitis bulbar yang mengenai batang otak dan dapat menyebabkan kematian.

 

Poliomielitis: Aspek Klinis dan EradikasiOleh Bagus Ngurah Putu Arhana 

Pemerintah mencanangkan, tujuan akhir program imunisasi menjelang tahun 2000 adalah eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, dan reduksi campak. Dengan tidak ditemukannya virus polio liar dalam tinja penderita Acute Flaccid Paralysis atau Lumpuh Layuh Akut melalui survailans AFP pada tahun-tahun berikutnya diperkirakan pada tahun 2003, Badan Kesehatan Dunia bisa menyatakan Indonesia sudah termasuk negara yang bebas polio (sertifikasi bebas polio). Namun, bagai mimpi di siang bolong kita dikejutkan dengan Kejadian Luar Biasa di Sukabumi dengan ditemukannya virus polio liar sebagai penyebab Lumpuh Layuh Akut.

 

 

Imunisasi merupakan upaya terbaik untuk mencegah penyakit poliomielitis, bahkan mampu membasmi penyakit ini dari muka bumi. Pada tahun lima puluhan, mulai dikembangkan vaksin polio dan dasarnya adalah ditemukannya cara pembiakan virus. Sejak penemuan vaksin ini, imunisasi terhadap polio dilancarkan dan menjadi salah satu antigen yang wajib diberikan dalam imunisasi dasar rutin.

Page 14: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Vaksin yang diberikan secara simultan menyebabkan replikasi dan ekskresi virus liar dihambat atau berjalan dengan kecepatan yang sangat rendah, sehingga transmisi virus berhenti, lama-kelamaan virus tersebut habis dari populasi manusia.

 

Aspek Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala ringan sampai paralisis (kelumpuhan). Penyebabnya adalah virus polio tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Ketiga jenis polio tersebut berbeda satu sama lain dan yang paling virulen tipe 1. Virus polio tahan terhadap pengaruh fisik dan bahan kimia (alkohol dan lisol) namun peka terhadap formaldehide. Ketahanan virus di tanah dan air tergantung pada kelembaban dan suhu. Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-meter dari sumber penularan, sedangkan dalam tinja tahan sampai berbulan-bulan.

Penularan virus polio terutama melalui tinja penderita infektious (fekal-oral) dan jarang melalui percikan ludah (orofaringeal-oral). Setelah virus masuk, terdapat dua pintu gerbang utama yaitu orofaring dan saluran cerna bagian bawah yang memberi jalan virus masuk ke jaringan interna. Faring akan segera terkena setelah virus masuk, dan karena virus tahan terhadap asam lambung maka virus bisa mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa proses inaktivasi. Setelah bermultiplikasi virus menyebar melalui pembuluh darah. Invasi virus ke susunan saraf dapat melalui pembuluh darah (hematogen) atau melalui perjalanan saraf. Dalam waktu dua minggu setelah infeksi, kemungkinan mendapatkan virus dalam tinja sekitar 80-90%. Virus juga keluar secara berkala  sehingga bila ingin mendapatkan virus dari tinja harus dilakukan pengambilan sampel tinja minimal dua spesimen, dengan selang waktu 24 jam.

Sebagian terbesar (90%) infeksi virus polio akan menyebabkan  inapparent infection, sedangkan 5% akan menampilkan gejala abortive infection, 1% non paralitic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik. Penderita  yang menunjukkan gejala  paralitik, 30% sembuh, 30% masih dengan paralisis ringan, 30% dengan paralisis berat dan 10% menunjukkan gejala berat dan kemungkinan akan menimbulkan kematian. Sebagian besar kelumpuhan akan mengenai tungkai. Masa inkubasi 3-35 hari dengan rata-rata 4-14 hari.

Gejala klinis terjadi akibat infeksi sistemik virus polio, baik tanpa gejala maupun dengan gejala sangat ringan. Keluhan biasanya nyeri tenggorokan dan perasaan tak enak di perut, demam ringan, dan nyeri kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari kemudian menghilang. Pada gejala yang lebih berat dalam bentuk paralisis yaitu Poliomielitis tipe spinal yang bermanifestasikan kelumpuhan tungkai bawah yang asimetris dan Poliomielitis bulbar yang mengenai batang otak dan dapat menyebabkan kematian.

Faktor yang mempengaruhi keganasan virus polio antara lain, jenis virus, usia, genetik, aktivitas fisik, trauma dan tonsilektomi. Untuk menegakkan diagnosis klinis secara tepat terhadap poliomielitis paralitik agak sulit. Sebagai diagnosis banding perlu dipikirkan penyakit-penyakit lain seperti: Sindrom Guillain Barre, Mielitis Transversa maupun Ensefalitis karena penyakit virus lain. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya virus liar dari tinja penderita.

Page 15: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Pengobatan poliomielitis tidak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi. Tirah baring sangat diperlukan, sedang pengobatan suportif lain seperti sedatif bila dijumpai gejala gelisah dan analgetik untuk mengurangi nyeri. Setelah fase akut terlewati, mulai dilakukan fisioterapi aktif, kemudian konsultasi ortopedi.

 

Eradikasi Polio

Objektif dari Erapo (Eradikasi Polio) adalah pemberantasan virus liar di dunia. Sidang WHA (World Health Assembly) pada tahun 1988 telah memutuskan untuk menganjurkan WHO mendorong pelaksanaan program eradikasi polio.

Strategi Erapo terdiri datas empat kegiatan utama. Pertama, cakupan imunisasi yang tinggi. Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak di bawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak empat kali, pada usia 0, 2, 3, 4 bulan. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada tingkat yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan tinggi juga harus terus dipertahankan oleh negara yang telah bebas polio sampai seluruh dunia bebas polio, agar negara tersebut dapat bertahan terhadap virus liar impor.

Kedua, hari/pekan imunisasi nasional (PIN). Imunisasi massal dilakukan secara serentak pada semua anak di bawah 5 tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu. Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin, mungkin akibat diseminasi virus vaksin ke lingkungan dan ke anggota populasi lain.

Ketiga, surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis) atau Lumpuh Layuh Akut Eradikasi membutuhkan metode surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio di mana pun di dunia. Surveilans AFP bertujuan mendeteksi virus polio liar dan meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara. Kasus polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini mencakup deteksi semua AFP di bawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan secukupnya dengan selang waktu 24 jam, dan dikirim dalam keadaan dingin ke laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP tiap tahun untuk setiap 100.000 anak di bawah 15 tahun.

Keempat, Mopping-up. Imunisasi rutin dan PIN akan menurunkan transmisi virus pada tingkat terendah yang hanya terjadi pada beberapa kantong saja. Apabila dapat dibuktikan adanya transmisi virus di lingkungan, maka dilakukan mopping-up di daerah tersebut yaitu pemberian vaksin polio oral dua putaran pada semua anak di bawah 5 tahun tanpa mempedulikan status imunisasi dan dilakukan secara lengkap dari rumah ke rumah.

Rangkaian mata rantai yang panjang dari strategi Erapo bukanlah masalah sederhana untuk dilaksanakan. Tenaga kesehatan yang kurang merata, kesadaran sebagian masyarakat terhadap imunisasi belum memadai serta wilayah yang secara geografis sulit dijangkau menyebabkan cakupan imunisasi belum memenuhi target. Belum lagi masalah ekonomi dan sosial politik yang dapat ikut berperan dalam

Page 16: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

ketidakpedulian masyarakat terhadap kesehatan. Pengaruh globalisasi memberi ''sumbangsih'' importasi virus liar untuk memicu terjadinya kejadian luar biasa, bila cakupan imunisasi belum memadai. Persoalan imunisasi tanggung jawab kita semua, masalah kesehatan tanggung jawab kita bersama. Sudahkah putra-putri kita mendapatkan imunisasi? 

Penulis, dokter spesialis anak, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Bali

 

 

Gejala klinis terjadi akibat infeksi sistemik virus polio, baik tanpa gejala maupun dengan gejala sangat ringan. Keluhan biasanya nyeri tenggorokan dan perasaan tak enak di perut, demam ringan, dan nyeri kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari kemudian menghilang. Pada gejala yang lebih berat dalam bentuk paralisis yaitu Poliomielitis tipe spinal yang bermanifestasikan kelumpuhan tungkai bawah yang asimetris dan Poliomielitis bulbar yang mengenai batang otak dan dapat menyebabkan kematian.

 

Poliomielitis: Aspek Klinis dan EradikasiOleh Bagus Ngurah Putu Arhana 

Pemerintah mencanangkan, tujuan akhir program imunisasi menjelang tahun 2000 adalah eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, dan reduksi campak. Dengan tidak ditemukannya virus polio liar dalam tinja penderita Acute Flaccid Paralysis atau Lumpuh Layuh Akut melalui survailans AFP pada tahun-tahun berikutnya diperkirakan pada tahun 2003, Badan Kesehatan Dunia bisa menyatakan Indonesia sudah termasuk negara yang bebas polio (sertifikasi bebas polio). Namun, bagai mimpi di siang bolong kita dikejutkan dengan Kejadian Luar Biasa di Sukabumi dengan ditemukannya virus polio liar sebagai penyebab Lumpuh Layuh Akut.

 

 

Imunisasi merupakan upaya terbaik untuk mencegah penyakit poliomielitis, bahkan mampu membasmi penyakit ini dari muka bumi. Pada tahun lima puluhan, mulai dikembangkan vaksin polio dan dasarnya adalah ditemukannya cara pembiakan virus. Sejak penemuan vaksin ini, imunisasi terhadap polio dilancarkan dan menjadi salah satu antigen yang wajib diberikan dalam imunisasi dasar rutin.

Vaksin yang diberikan secara simultan menyebabkan replikasi dan ekskresi virus liar dihambat atau berjalan dengan kecepatan yang sangat rendah, sehingga transmisi virus berhenti, lama-kelamaan virus tersebut habis dari populasi manusia.

 

Aspek Klinis

Page 17: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Manifestasi klinis infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala ringan sampai paralisis (kelumpuhan). Penyebabnya adalah virus polio tipe 1 (Brunhilde), tipe 2 (Lansing) dan tipe 3 (Leon). Ketiga jenis polio tersebut berbeda satu sama lain dan yang paling virulen tipe 1. Virus polio tahan terhadap pengaruh fisik dan bahan kimia (alkohol dan lisol) namun peka terhadap formaldehide. Ketahanan virus di tanah dan air tergantung pada kelembaban dan suhu. Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-meter dari sumber penularan, sedangkan dalam tinja tahan sampai berbulan-bulan.

Penularan virus polio terutama melalui tinja penderita infektious (fekal-oral) dan jarang melalui percikan ludah (orofaringeal-oral). Setelah virus masuk, terdapat dua pintu gerbang utama yaitu orofaring dan saluran cerna bagian bawah yang memberi jalan virus masuk ke jaringan interna. Faring akan segera terkena setelah virus masuk, dan karena virus tahan terhadap asam lambung maka virus bisa mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa proses inaktivasi. Setelah bermultiplikasi virus menyebar melalui pembuluh darah. Invasi virus ke susunan saraf dapat melalui pembuluh darah (hematogen) atau melalui perjalanan saraf. Dalam waktu dua minggu setelah infeksi, kemungkinan mendapatkan virus dalam tinja sekitar 80-90%. Virus juga keluar secara berkala  sehingga bila ingin mendapatkan virus dari tinja harus dilakukan pengambilan sampel tinja minimal dua spesimen, dengan selang waktu 24 jam.

Sebagian terbesar (90%) infeksi virus polio akan menyebabkan  inapparent infection, sedangkan 5% akan menampilkan gejala abortive infection, 1% non paralitic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik. Penderita  yang menunjukkan gejala  paralitik, 30% sembuh, 30% masih dengan paralisis ringan, 30% dengan paralisis berat dan 10% menunjukkan gejala berat dan kemungkinan akan menimbulkan kematian. Sebagian besar kelumpuhan akan mengenai tungkai. Masa inkubasi 3-35 hari dengan rata-rata 4-14 hari.

Gejala klinis terjadi akibat infeksi sistemik virus polio, baik tanpa gejala maupun dengan gejala sangat ringan. Keluhan biasanya nyeri tenggorokan dan perasaan tak enak di perut, demam ringan, dan nyeri kepala ringan. Gejala terjadi selama 1-4 hari kemudian menghilang. Pada gejala yang lebih berat dalam bentuk paralisis yaitu Poliomielitis tipe spinal yang bermanifestasikan kelumpuhan tungkai bawah yang asimetris dan Poliomielitis bulbar yang mengenai batang otak dan dapat menyebabkan kematian.

Faktor yang mempengaruhi keganasan virus polio antara lain, jenis virus, usia, genetik, aktivitas fisik, trauma dan tonsilektomi. Untuk menegakkan diagnosis klinis secara tepat terhadap poliomielitis paralitik agak sulit. Sebagai diagnosis banding perlu dipikirkan penyakit-penyakit lain seperti: Sindrom Guillain Barre, Mielitis Transversa maupun Ensefalitis karena penyakit virus lain. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya virus liar dari tinja penderita.

Pengobatan poliomielitis tidak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi. Tirah baring sangat diperlukan, sedang pengobatan suportif lain seperti sedatif bila dijumpai gejala gelisah dan analgetik untuk mengurangi nyeri. Setelah fase akut terlewati, mulai dilakukan fisioterapi aktif, kemudian konsultasi ortopedi.

 

Eradikasi Polio

Page 18: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio

Objektif dari Erapo (Eradikasi Polio) adalah pemberantasan virus liar di dunia. Sidang WHA (World Health Assembly) pada tahun 1988 telah memutuskan untuk menganjurkan WHO mendorong pelaksanaan program eradikasi polio.

Strategi Erapo terdiri datas empat kegiatan utama. Pertama, cakupan imunisasi yang tinggi. Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak di bawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak empat kali, pada usia 0, 2, 3, 4 bulan. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada tingkat yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan tinggi juga harus terus dipertahankan oleh negara yang telah bebas polio sampai seluruh dunia bebas polio, agar negara tersebut dapat bertahan terhadap virus liar impor.

Kedua, hari/pekan imunisasi nasional (PIN). Imunisasi massal dilakukan secara serentak pada semua anak di bawah 5 tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu. Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin, mungkin akibat diseminasi virus vaksin ke lingkungan dan ke anggota populasi lain.

Ketiga, surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis) atau Lumpuh Layuh Akut Eradikasi membutuhkan metode surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio di mana pun di dunia. Surveilans AFP bertujuan mendeteksi virus polio liar dan meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara. Kasus polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini mencakup deteksi semua AFP di bawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan secukupnya dengan selang waktu 24 jam, dan dikirim dalam keadaan dingin ke laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP tiap tahun untuk setiap 100.000 anak di bawah 15 tahun.

Keempat, Mopping-up. Imunisasi rutin dan PIN akan menurunkan transmisi virus pada tingkat terendah yang hanya terjadi pada beberapa kantong saja. Apabila dapat dibuktikan adanya transmisi virus di lingkungan, maka dilakukan mopping-up di daerah tersebut yaitu pemberian vaksin polio oral dua putaran pada semua anak di bawah 5 tahun tanpa mempedulikan status imunisasi dan dilakukan secara lengkap dari rumah ke rumah.

Rangkaian mata rantai yang panjang dari strategi Erapo bukanlah masalah sederhana untuk dilaksanakan. Tenaga kesehatan yang kurang merata, kesadaran sebagian masyarakat terhadap imunisasi belum memadai serta wilayah yang secara geografis sulit dijangkau menyebabkan cakupan imunisasi belum memenuhi target. Belum lagi masalah ekonomi dan sosial politik yang dapat ikut berperan dalam ketidakpedulian masyarakat terhadap kesehatan. Pengaruh globalisasi memberi ''sumbangsih'' importasi virus liar untuk memicu terjadinya kejadian luar biasa, bila cakupan imunisasi belum memadai. Persoalan imunisasi tanggung jawab kita semua, masalah kesehatan tanggung jawab kita bersama. Sudahkah putra-putri kita mendapatkan imunisasi? 

Penulis, dokter spesialis anak, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Bali

Page 19: Manifestasi Klinis Dan Penyebaran Polio