Mandiri Sk 2

41
1. Memahami dan mempelajari trauma kepala. 1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala. Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland- Brown, Thomas, 2006). 1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala. Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam Trauma kepala akibat tembakan Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak 1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala. Berdasarkan mekanisme terjadinya : a. Cedera kepala tumpul Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak. b. Cedera tembus

description

sk 2 emergensi

Transcript of Mandiri Sk 2

Page 1: Mandiri Sk 2

1. Memahami dan mempelajari trauma kepala.

1.1. Menjelaskan definisi trauma kepala.

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)

yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural

dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut

Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan

pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan

oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah

kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik

(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

1.2. Menjelaskan etiologi trauma kepala.

Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul

Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam

Trauma kepala akibat tembakan

Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

1.3. Menjelaskan klasifikasi trauma kepala.

Berdasarkan mekanisme terjadinya :

a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan

benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang

menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada

protuberas tulang tengkorak.

b. Cedera tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala:

a. Luka pada kepala:

Laserasi kulit kepala

Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang

memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,

sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung

pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat

mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

Luka memar (kontusio)

Page 2: Mandiri Sk 2

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan

dimanapembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan

sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.

Abrasi

Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada

jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung

saraf yang rusak.

Avulsi

Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih

berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah

kecederaan.

b. Fraktur tulang kepala

Fraktur linier

Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya

langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak

menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk ke

dalam rongga intrakranial.

Fraktur diastasis

Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan

pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada

sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

Fraktur kominutif

Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu

area fraktur.

Fraktur impresi

Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung

mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada

durameter dan jaringan otak.

Fraktur basis cranii

Berdasarkan tingkat keparahan :

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi

beratnya penderita cedera otak. Menurut Brain Injury Association of Michigan

(2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

Page 3: Mandiri Sk 2

1.4. Menjelaskan patofisiologi trauma kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada

permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada

duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan

disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya

kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut

dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami

akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma

kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi

rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,

bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,

countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah

lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan

Sidharta, 2008). Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti

secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang

tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan

tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi

dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada

tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr

dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan

iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak

otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah

cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon

Page 4: Mandiri Sk 2

dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya

kompartemen intrasel dan ekstrasel.

1.5. Menjelaskan manifestasi trauma kepala.

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:

Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian

sembuh.

Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

Mual atau dan muntah.

Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

Perubahan keperibadian diri.

Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:

Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak

menurun atau meningkat.

Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi

abnormal ekstrimitas.

1.6. Menjelaskan diagnosis trauma kepala.

a. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma

Scale (GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien

menjadi :

• GCS 13-15 : cedera kepala ringan

• GCS 9-12 : cedera kepala sedang

Page 5: Mandiri Sk 2

• GCS 3-8 : pasien koma dan cedera kepala berat.

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi,

pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil

pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat

perburukan salah satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.

b. Pemeriksaan Penunjang

X-ray tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak

atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT

scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray

tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of

Labor and Employment, 2006).

CT-scan

Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur

area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput

pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada

hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa

yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal

normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam

Sastrodiningrat, 2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi

baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi

Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan

Page 6: Mandiri Sk 2

sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada

pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.

Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat

masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan

berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera

kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

1.7. Menjelaskan tatalaksana trauma kepala.

Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:

1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan

terjadinya tekanan tinggi intrakranial

2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)

3. Minimalisasi kerusakan sekunder

4. Mengobati simptom akibat trauma otak

5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi

(antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:

1. Cedera kranioserebral tertutup

• Fraktur impresi (depressed fracture)

• Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan

lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta

ada perburukan kondisi pasien

• Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis

tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi sisterna basalis

• Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan

neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka

• Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel,

durameter yang robek disertai laserasi otak

• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari

• Pneumoencephali

• Corpus alienum

• Luka tembak

Page 7: Mandiri Sk 2

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)

Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada

defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan

radiologik hanya atas indikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan

keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat

diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera

dibawa kembali ke rumah sakit.

Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,

dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera

kranioserebral ringan (CKR).

Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran

Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)

Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi

bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam

di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid

interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi

(pupil anisokor, refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.

Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)

Urutan tindakan:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan

sirkulasi (Circulation)

b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain.

Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan fiksasi leher

dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan

c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya

d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial

e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.

Cedera kepala berat (SKG 3-8)

Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal,

segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan

dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral

Page 8: Mandiri Sk 2

sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

Tindakan di ruang unit gawat darurat :

1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation

a. Jalan napas (Airway)

Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi.

Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah,

lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan

melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.

b. Pernapasan (Breathing)

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan sentral

disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes,

hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi,

trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.

Tata laksana:

• Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten

• Cari dan atasi faktor penyebab

• Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <90 mm

Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko kematian dan

kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia

karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/

pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber

perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan

cairan isotonik NaCl 0,9%.

1.8. Menjelaskan komplikasi trauma kepala.

a. Kejang

Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang

terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu

ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis

fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.

b. Infeksi

Page 9: Mandiri Sk 2

Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang

terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih

kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis

meningitis.

c. Gastrointestinal

Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan

lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini

merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan

patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak

stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet

peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1

ampul IV selama 5 hari.

2. Memahami dan memepelajari fraktur basis cranii

2.1. Menjelaskan definisi fraktur basis cranii.

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan

langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Dalam

beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme

termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan

dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.

2.2. Menjelaskan klasifikasi fraktur basis cranii.

Fraktur Temporal

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal

berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada regio

temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari

canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu

bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa

cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal

merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari

foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa

cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal

dan transversal.

Page 10: Mandiri Sk 2

fraktur condylar occipital,

Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau

cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis

berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini

menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder

akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini

merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung

meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang

stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III

adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi

menjadi fraktur tidak stabil.

Fraktur clivus

Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann

bermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur.

Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem

vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe

ini.

Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur

Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.

a. Fraktur Calvarium.

Beberapa contoh fraktur calvarium

Fraktur Liniair

Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur

yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia

Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat

yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan

epidural.

Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)

Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan  garis – garis frakturnya nya menyebar secara

radial.

Fraktur Impressie

Page 11: Mandiri Sk 2

Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan

otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat

menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah

fraktur) dan terjadi perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak

Fraktur atap orbita

Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS)

bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata

tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma,

bila dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes

Fraktur melintas Lamina Cribrosa

Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius)

sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia)

sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid

sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)

Fraktur Fossa Media

• Fraktur Os Petrossum

Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga

telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur

darah (Otorrhoea).

• Fraktur Sella Tursica

Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan

pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars

posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang

menyebabkan Diabetes Insipidus.

• Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri

Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung

arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –

> Carotid – Cavernous Fistula).

Page 12: Mandiri Sk 2

Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit  , conjunctiva berwarna merah.

Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara

seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).

Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus ,

yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung

(berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,

Fraktur Fossa Posterior.

• Fraktur melintas os petrosum

Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,

menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid

sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.

• Fraktur melintas Foramen Magnum

di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak

Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

2.3.Menjelaskan manifestasi fraktur basis cranii.

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada

mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan

rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow

Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan

ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu.tuli

sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena

hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial

numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga

menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural

hearing loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian

besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam

keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan

cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis

IX, X, dan XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan

Page 13: Mandiri Sk 2

paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal

constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius.Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar

os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

2.4. Menjelaskan diagnosis fraktur basis cranii.

Pemeriksaan Lanjutan

Studi Imaging

• Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria

panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur

basis cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.

• CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam

diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan

potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat

membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi

tidak diperlukan.

• MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan

untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera

pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.

Pemeriksaan lainnya

Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat

dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut

pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari

darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan

dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

2.5. Menjelaskan tatalaksana fraktur basis cranii.

Terapi medis

Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural

neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk

berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur

Page 14: Mandiri Sk 2

linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis.

Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara

conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika

disertai rupture membran timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis

pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik

membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang

dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika

terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole

direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana

secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah

Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan

open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk

mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari

adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear

dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.

Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan

dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari.

Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe

III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-

luar.

Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan

ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.

Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan

atau jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran

CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi

kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.

2.6. Menjelaskan komplikasi fraktur basis cranii.

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan

rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis

Page 15: Mandiri Sk 2

cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3

pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan

responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba

pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan

prognosis buruk.

Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada

ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis

VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena

terjadinya ketegangan pada nervus.

Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os

oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide

supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga

dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan

pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera

carotiddiduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam

hal ini, CT-angiografi dianjurkan.

3. Memahami dan mempelajari perdarahan intrakranial.

3.1 Menjelaskan definisi perdarahan intrakranial.

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium,

yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan

intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti

kapitis,tumor otak dan lain-lain.

8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum yang

luas. Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH umumnya

lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan edema

akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi

neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan

sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

Page 16: Mandiri Sk 2

3.2. Menjelaskan etiologi perdarahan intrakranial.

Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain:

- Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi perdarahannya

lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan biasanya superfisial.

- Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan penggunaan

amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra vena, juga dilaporkan

dengan intra nasal atau oral. Lokasi perdarahan kebanyakan luas. Efeknya karena

tekanan darah meninggi (50% dari kasus) atau perubahan histologis pembuluh darah

seperti arteritis, mirip, periarteritis nodosa. Ini oleh karena efek toksik dari obat

tersebut. Pada angiography dijumpai multiple area dari fokal arteri stenosis atau

konstriksi dengan ukuran sedang pada arteri besar intra kranial. Ini bersifat reversible

dan akan hilang dengan berhentinya penyalah gunaan obat ini.

- Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan bentuk yang

unik dan pada angiography khas adanya penumpukan/deposit amyloid pada bagian

media dan adventitia dengan ukuran sedang dan kecil dari arteri cortical dan

leptomeningeal. Deposit pada dinding arteri cenderung menyebabkan penyumbatan

pada lumen arteri karena penebalan dasar membran, fragmentasi dari lamina interna

elastik dan hilangnya sel-sel endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid pada pembuluh

darah. Keadaan ini tidak berhubungan dengan amyloidosis vascular sistemik.

Cerebral amyloid angiopathy berhubungan dengan dementia senilis yang progressive.

Biasanya terjadi pada usia yang lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan

hipertensi.

- Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai sekitar 6-

10%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor ganas, baik primer

Page 17: Mandiri Sk 2

ataupun metastase; jarang pada meningioma atau oligodendroma. Tumor ganas

primer pada otak yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma

multiform, lokasi perdarahan umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus

callosum. Tumor metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor

sel germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.

- Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering

menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya

perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali

dibandingkan dengan yang tidak menggunakan obat tersebut pada usia yang sama.

Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan

ini masih belum diketahui.

- Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type plasminogen

aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary, arteri dan venous

trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan klot dan relatif

menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga sangat ideal dalam

pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah perdarahan

intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan miokard infark yang diobati

dengan tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu

dalam pemberian infus, 25% terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi

perdarahan lobar, 30% perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme

terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui.

- Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan infark

serebri, serta jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses radang umumnya

terjadi dalam lapisan media dan adventitia, serta pada pembuluh darah arteri dan

vena dengan ukuran kecil dan sedang. Biasanya berhubungan dengan pembentukan

mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala kronis, penurunan kesadaran atau kognitif

yang progresif, kejang-kejang, infark serebri yang recurrent. Diagnosanya berupa

limpositik CSF pleocytosis dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan umumnya

lobar.

3.3. Menjelaskan klasifikasi perdarahan intrakranial.

Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak

difus.

Page 18: Mandiri Sk 2

Cedera otak fokal yang meliputi :

Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang

potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural

hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid

selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa

hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang

ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang

terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil

dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh

hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan

prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih

dari 3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut

dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu

terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang

bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke

dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan

lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti

dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi

proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya

cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini

terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran

sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat

ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan

berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic

attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti

kelemahan otorik dan kejang

Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen

yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan

Page 19: Mandiri Sk 2

disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak,

tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang

menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di

parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis

yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat

penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma

yang dialami.

Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal

baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki

ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya

PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga

menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya

vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan

manifestasi edema cerebri.

Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)

Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya

rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan

terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan

menjadi :

Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang

menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut

proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer

(asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer

(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan

karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .

Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena

efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab

kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal

tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim

otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu

kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan

Page 20: Mandiri Sk 2

parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai

kepala.

Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada

edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat

pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral

lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya

renjatan hipovolemik.

Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang

atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif)

dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

3.4. Menjelaskan patofisiologi perdarahan intrakranial.

Perdarahan epidural :

Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,

seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial

linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau

keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati

lekukan minengeal pada squama temporal.

Perdarahan subdural :

Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah

lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan

oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess

dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

3.5. Menjelaskan manifestasi klinis perdarahan intrakranial.

Perdarahan epidural :

- Interval lusid (interval bebas)

Page 21: Mandiri Sk 2

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan

perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari

50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari

saat terjadinya cedera.Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya

jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval

lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini

menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena

trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi

transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya

perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

- Hemiparesis

Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran

massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga

menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

- Anisokor pupil

Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai

maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.

Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran

menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran

sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan

tanda kematian.

Perdarahan subdural :

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai

penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti

kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang

timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti :

sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi,

anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak

jelas, sering diduga tumor otak.

3.6. Menjelaskan diagnosis perdarahan intrakranial.

Pemeriksaan penunjang

Page 22: Mandiri Sk 2

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam

penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.

          Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang

mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan

dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.

          Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang

signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume

darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang

menyebabkan kehilangan darah yang berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan

ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering

terhadap level hematokrit.

Pencitraan

Radiografi

o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular

cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga

mungkin diamati.

o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan

epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan

fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan

kranium yang lebih besar.

CT-scan

o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam

mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang

ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian

dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau

bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan

epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat

ventrikel keempat.

o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom

kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom

menentukan jumlah radiasi yang diserap.

o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari

waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu

Page 23: Mandiri Sk 2

tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-

4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah

hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang

mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level

hemoglobin serum yang rendah.

o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana

konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat

disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.

Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan

mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital

dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.

o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi

intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio

serebral, dan hematom intraserebral.

Gambar 1. Perdarahan epidural Gambar 2. Perdarahan subdural

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk

mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika

meluas.

3.7. Menjelaskan tatalaksana perdarahan intrakranial.

Terapi Obat-obatan

Page 24: Mandiri Sk 2

          Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang

baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural,

herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.

          Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)

pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang

memungkinkan.Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume

lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan

yang sangat ketat jika diambil rute konservatif.

          Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.Jika

lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan

pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.

          Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian

klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”

merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15

mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat

ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai

meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.Terbentuknya

perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan.Jika meningkatnya ukuran dengan cepat

tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka

pembedahan harus diindikasikan.Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada

stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah

diamati.

          Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer

yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah

didiskusikan diatas.

 Terapi Bedah

          Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“,

perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa

mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural

memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.

Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status

kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.

          Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.Hematom

temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan

Page 25: Mandiri Sk 2

lebih cepat.Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan

gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang

yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.

          Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,

khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang

cepat.Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.

          Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :

Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial

yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.

Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

3.8. Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka

kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.Ketika otak menjadi subyek herniasi

subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark

serebral.Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak,

paling sering di pons.Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis

ipsilateral, yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan

dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan

ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.Pada anak-anak < 3

tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur

bertumbuh.Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan

fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan

kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massascalp pulsatil.

4. Memahami dan mempelajari trias cushing.

4.1. Menjelaskan trias cushing.

Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya

tekanan intrakranial.

Hipertensi

Bradikardi

Depresi pernapasan

Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera

kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum.

Page 26: Mandiri Sk 2

Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara

bermakna.Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik

meningkat, Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan

pernapasan menjadi lambat.Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing,

membantu mempertahankan aliran darah otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan

mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan

tekananan intrakranial.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of

America: Firs Impression

Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka

Cendekia Press of Yogyakarta

Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com

Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.

Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku

kedokteran EGC

Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:

USU Press.