MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

19
MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH Oleh Dr. Wasitohadi, M.Pd Dosen PGSD-FKIP UKSW Salatiga ABSTRAK Dalam konteks Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah ( PBS), dan dalam kerangka pengembangan Pendidikan berbasis Masyarakat (PBM), harapan untuk meningkatkan mutu sekolah dan peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu tersebut, memerlukan tindakan manajerial tertentu. Yang dimaksud adalah bagaimana mengelola sistem pembelajaran di sekolah sedemikian rupa sehingga pembelajaran tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Dalam hal itu, pihak sekolah perlu membuat desain pembelajaran mulai dari perencanaan, pengorganisasian dan koordinasi, pelaksanaan, serta evaluasi, dengan mendasarkan pada konsep dan teri yang berkenaan dengan hal itu. Dalam konteks inilah sekolah perlu mengidentifikasi “stakeholdernya” untuk mau berperan dalam tiap tahapan pembuatan dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen di atas. Tanpa kemauan, kemampuan dan kesungguhan pihak sekolah untuk membangun jaringan stakeholder tersebut, sangat sulit bagi sekolah untuk mengemban visi dan misinya. Kata kunci: Manajemen, sistem, sistem pembelajaran, sekolah PENDAHULUAN Salah satu implikasi otonomi daerah bidang pendidikan pada tingkat sekolah adalah terjadinya pergeseran pendekatan manajemen pendidikan dari manajemen berbasis pusat menuju manajemen berbasis sekolah. Bila pada era sentralistik, pemerintah pusat memiliki peranan yang sangat besar mulai dari perencanaan, penetapan program sampai pada implenmentasi dan pengawasan program pendidikan secara nasional, maka sejalan dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, peran tersebut semakin kecil. Kabupaten/Kota diberi wewenang besar untuk mengelola dan mengatur daerahnya, termasuk di dalamnya sektor pendidikan. Dengan demikian, Kabupaten/Kota mempunyai otonomi pengelolaan pendidikan. Dalam kerangka otonomi pengelolaan pendidikan itu, manajemen pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat ditawarkan sebagai satu jenis pendekatan yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas jenis dan relevansi pendidikan di setiap daerah. Esensi dari manajeman pendidikan berbasis sekolah adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif

Transcript of MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Page 1: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Oleh

Dr. Wasitohadi, M.Pd

Dosen PGSD-FKIP UKSW Salatiga

ABSTRAK

Dalam konteks Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah ( PBS), dan dalam kerangka pengembangan Pendidikan berbasis Masyarakat (PBM), harapan untuk meningkatkan mutu sekolah dan peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu tersebut, memerlukan tindakan manajerial tertentu. Yang dimaksud adalah bagaimana mengelola sistem pembelajaran di sekolah sedemikian rupa sehingga pembelajaran tersebut dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Dalam hal itu, pihak sekolah perlu membuat desain pembelajaran mulai dari perencanaan, pengorganisasian dan koordinasi, pelaksanaan, serta evaluasi, dengan mendasarkan pada konsep dan teri yang berkenaan dengan hal itu. Dalam konteks inilah sekolah perlu mengidentifikasi “stakeholdernya” untuk mau berperan dalam tiap tahapan pembuatan dan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen di atas. Tanpa kemauan, kemampuan dan kesungguhan pihak sekolah untuk membangun jaringan stakeholder tersebut, sangat sulit bagi sekolah untuk mengemban visi dan misinya. Kata kunci: Manajemen, sistem, sistem pembelajaran, sekolah

PENDAHULUAN

Salah satu implikasi otonomi daerah bidang pendidikan pada tingkat sekolah

adalah terjadinya pergeseran pendekatan manajemen pendidikan dari manajemen

berbasis pusat menuju manajemen berbasis sekolah. Bila pada era sentralistik,

pemerintah pusat memiliki peranan yang sangat besar mulai dari perencanaan,

penetapan program sampai pada implenmentasi dan pengawasan program pendidikan

secara nasional, maka sejalan dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 dan Peraturan

Pemerintah No. 25 tahun 2000, peran tersebut semakin kecil. Kabupaten/Kota diberi

wewenang besar untuk mengelola dan mengatur daerahnya, termasuk di dalamnya

sektor pendidikan. Dengan demikian, Kabupaten/Kota mempunyai otonomi pengelolaan

pendidikan. Dalam kerangka otonomi pengelolaan pendidikan itu, manajemen

pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat ditawarkan sebagai satu jenis pendekatan

yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas jenis dan relevansi pendidikan di setiap

daerah.

Esensi dari manajeman pendidikan berbasis sekolah adalah pemberian otonomi

yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif

Page 2: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,

karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah

berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2001: 5). Berkaitan itu,

Winarno Surakhmad (2000:2) menambahkan bahwa dalam konteks reformasi

pendidikan di Indonesia, “ Pendidikan berbasis sekolah tersebut lebih tepat dilihat

dalam kerangka perbaikan yang lebih luas, yakni di dalam kerangka pendidikan berbasis

masyarakat, yang senantiasa berkembang dengan kekuatan dari, oleh dan untuk

kepentingan masyarakat itu sendiri, agar akhirnya hidup masyarakat belajar yang

dinamis”. Dengan demikian, semangatnya adalah usaha untuk menumbuhkan

pendidikan dari bawah, agar pendidikan berakar di masyarakat, dengan inisiatif dari

masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan untuk kepentingan masyarakat.

Agar peningkatan mutu sekolah dan semangat semacam itu benar-benar

terwujud, maka banyak hal yang harus dibenahi. Satu di antara banyak hal yang harus

dilakukan adalah membenahi sekolah, karena sekolahlah muara dari upaya peningkatan

mutu pendidikan. Dalam hal ini sekolah dituntut untuk lebih mandiri. Lebih efektif dan

efisien, lebih akountabel dan harus dikelola secara lebih professional. Meskipun

demikian, studi desentralisasi ( a studi of desentralization) yang dilakukan oleh Alison

Bullock dan Hywel Thomas (1997) berhasil menunjukkan bahwa baik secara teoritis

maupun empirik, desentralisasi” ... not only to develop policies for school system or to

improve the practice of school management, but also to secure improvement in the

quality of teaching and learning in schools.” Bagi mereka, kualitas pembelajaran adalah

“ at the heart and centre of education” makanya, kata mereka, it must be central to

discussions of decentraslization”.

PEMAHAMAN KONSEPTUAL

Konsep adalah pemahaman tentang sesuatu secara menyeluruh dan mendasar.

Konsep “sistem pembelajaran” dan “ bagaimana hal itu harus dimanage”, dengan

demikian, berarti upaya memahami “segala sesuatu” yang berkaitan dengan kedua hal

itu secara menyeluruh tapi sekaligus mendasar. Hasilnya adalah konsepsi, isi atau

substansi dari hal tersebut, apa substansinya?

Secara etimologis, istilah sistem (bahasa Inggris “system”: bahasa yunani

“systema”) berarti keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian. Istilah itu berasal akar

kata bahasa Yunani “syn”, artinya dengan dan “istanai” yang berarti menempatkan.

Berdasarkan pemahanman etimologis ini, Lorens Bagus (1996) mengemukakan

beberapa pengertian sistem sebagai berikut:

Page 3: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

(a) Kumpulan hal-hal yang disatukan ke dalam suatu keseluruhan yang konsisten

karena saling terkait (intreaksi, interdependensi, salaing keterkaitan yang teratur

dari bagiannya).

(b) Kumpulan hal-hal (objek- objek, ide-ide, kaidah-kaidah, atau kesimpulan,

generalitas, dll.) yang koheren menurut suatu prinsip (atau rencana, atau skema,

atau metode) rasional atau yang dapat dimengerti.

(c) Prinsip atau metode kegiatan/ operasi yang memungkinkan a dan b dapat dicapai

dan atau dijelaskan ( sebagaiman dalam ungkapan “ sistem logika”, “sistem

hukum”, “sistem klasifikasi”).

Sementara itu, Kast dan Rosenzweig (Endang Soenarya,2000:12)

mendefinisikan sistem sebagai suatu tatanan yang menyeluruh dan terpadu terdiri atas

dua bagian atau lebih yag saling tergantung dan ditandai oleh batas-batas yang tegas

dari lingkungan suprasistemnya. Sedangkan Middelton dan Wedmeyer, sebagaimana

juga dikutip oleh endang Soenarya, mengartikan sistem sebagai kumpulan dari berbagai

bagian unsur yang saling tergantung yang bekerja sama sebagai suatu keseluruhan untuk

mencapai suatu tujuan, diman hasil keseluruhan lebih berarti daripada hasil sejumlah

bagian.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat dianalisis untuk menemukan

titik-titik persamaanya, disamping perbedaan-perbedaanya yang ada, paling tidak

perbedaan dari segi aksentuasinya. Persamaanya adalah (a) bahwa setiap sistem selalu

menunjuk kesatuan menyeluruh dan terpadu segenap komponen-komponenya, (b) antar

komponen-komponen tersebut mempunyai hubungan fungsional, dan (c) hubungan

fungsional itu diperlukan dalam rangka mencapai suatau tujuan. Sementara dari segi

aksentuasi, dan ini bersifat (saling) melengkapi, nampak bahwa Kast dan Rosenzweig

menekankan unsur “ ketegasan batas-batas sistem dengan lingkungan suprasistemnya”,

sedangkan Middleton dan Wedemeyer menekankan bahwa hasil berfungsinya unsur

sistem secara keseluruhan, lebih berarti daripada hasil sejumlah unsur saja dalam sistem

itu. Lain lagi Lorens Bagus, ia lebih menegaskan mengenai ‘teba” atau “cakupan” dari

sistem.

Didalam suatu sistem yang kompleks sepeti sistem sosial termasuk didalamnya

sistem pendidikan, kejelasan hierarki atau struktur sistem amat penting. Kejelasan

istilah-istilah yang digunakan dalam suatu sistem perlu disepakati oleh sekelompok

orang yang menyusun suatu hierarki atau struktur suatu sistem. Dalam menyusun

hierarki atau struktur sistem, kelompok penyusun atau tim harus menyepakati dahulu

Page 4: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

kerangka hierarki sistem, kemudian diputuskan bersama-sama mana yang disebut

sistem, sub sistem, komponen, dimensi dan lain-lain.

Pada dasarnya, sistem hanya terdiri atas dua jenis, yaitu sistem tertutup dan

sistem terbuka. Sistem tertutup dalam proses kerjanya tidak dipengaruhi oleh

lingkungannya, sedangkan sistem terbuka dalam proses kegiatannya memperoleh

masukan atau berhubungan secara dinamik dengan sistem yang lain diluar lingkungan

sistemnya. Dengan demikian, sistem tertutup tidak memperoleh masukan dari

lingkungan sistemnya, sedangkan sistem terbuka memperoleh masukan dari luar sistem.

Pada sistem yang terbuka terjadi suatu proses yang dinamis, karenasistem dipengaruhi

oleh sistem yang berada diluarnya dan pada gradasi tertentu keluaran suatu sistem

terbuka dapat mempengaruhi sistem terbuka yang lainnya.

Disamping itu, sebagai sistem sosial, sekolah juga merupakan sistem terbuka (

Wahjosumidjo, 2001:158). Sebab, didalamnya berkumpul manusia yang saling

berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, sekolah terbuka untuk

memperoleh inpu dan selanjutnya mentransformasikan sebagai produksi. Sifat

keterbukaan sekolah itu mengandung dua hal, yaitu (a) melakukan berbagai perubahan

secara internal dengan maksud untuk menyesuaikan dengan lingkunganya, dan (b)

sistem terbuka itu tidak hanya bagi lingkungannya melaionkan bagi dirinya sendiri.

Sifat keterbukaan dalam makna yang demikian, juga berlaku bagi “ pembelajaran”

sebagai sub sistem pendidikan di sekolah.

Memahami Kedudukan dan Ruang Lingkup Sistem Pembelajaran

Disamping sebagai sub sistm pendidikan di sekolah, dalam gradasi dan dari

sudut pandang tertentu “pembelajaran” juga dapat dipahami sebagai sistem tersendiri

yang dapat dibedakan dari suprasistemnya. Untuk memahami posisi dan ruang lingkup

sistem pembelajaran, salah satu caranya adalah dengan belajar dari model yang dibuat

oleh para ahli. Davis A. Squires, William G. Huitt, dan John K. Segars (200:4), dalam

buku mereka berjudul: Effective Schools and Classrooms; A Research-Based

Perspective, mengemukakan model untuk memperbaiki keefektifan sekolah dan kelas.

Model tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1.A Model for Improving School and Classrom Effectiveness

Leadership Modelling Feedback Consensus

Supervision Entrance Diagnosis Technical Success Personal and Professional

School Climate Academic emphasis Orderly environment Expectation for success

Teacher Behavior Planning Management Instuction

Student behaviors Involment Covverage Succes

Student

Achievment

Page 5: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Pada dasarnya, model tersebut menjawab satu pertanyaan, yaitu “Apa yang

dapat dikerjakan sekolah untuk memperbaiki prestasi siswa?” model ini terdiri dari dua

bagian. Bagian pertama, adalah model kelas yang efektif. Dimensi-dimensi keefektifan

kelas meliputi; (1) dimensi prestasi siswa, (2) dimensi perilaku murid, (3) dimensi

perilaku guru. Perilaku siswa, ayitu apa yang dikerjakan siswa dikelas, adalah faktor

yang paling langsung berkaitan dengan prestasi siswa. Dalam hal itu ada tiga aspekyang

paling potensial mempengaruhi prestasi siswa yaitu: (1) Involvemen, yaitu “ the amount

of time a student actively works on academic content, (2) Covverage, yaitu “the amount

of content covered by a student during a year, especially content tested by a standarized

instrument, dan (3) succes, how well student perform on daily assigent and unit test

indicating mastery of academic content.

Faktor berikutnya dalah perilaku guru. Para guru mempunyai pengaruh paling

tinggi terahdap perilaku siswa mendukung prestasi siswa melalui : (1) planning or redy

for classroom activities: (2) management, which has to do with controlling student

behaviors, and (3) instruction, which concern providing for guidining student learning.

Dengan kata lain, guru merencanakan, mengelola dan mengajar dengan cara

memfasilitasi “ student involvement, coverag, dan succes” kemungkinan besar akan

menjadi lebih efektif.

Bagian kedua, yang berkaitan dengan bagian pertama, menjelaskan tentang

sekolah yang efektif (effective schools) dalam hal ini, ada beberapa faktor. Pertama,

faktor supervisi. Sebagiaman perilaku guru mendukung perilaku siswa, begitu juga

supervisi Kepala Sekolah dapat mempengaruhi perilaku guru. Supervisi juga memberi

kesempatan untuk meningkatkan keterampilan para guru dalam merencanakan,

mengelola dan menyampaikan pengajaran. Didalam proses supervisi, supervisor dan

guru saling mengungkapkan makna pola perilaku profesional mereka. Tujuan supervisi

positif adalah untuk meningkatkan profesionalisme, sehingga baik supervisor maupun

guru menjadi semakin kompeten di dalam menampilkan peran mereka.jika guru dan

supervisor sepakat bahwa prestasi siswa adalah penting, maka pola-pola perilaku siswa

dan guru merupakan fokus yang tepat yang tepat untuk supervisi.

Page 6: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Faktor lainnya adalah kepemimpinan (leadership). Dalam sekolah yang amat

efektif, kepemimpinan kepala sekolah menciptakan iklim sekolah yang menjunjung

tinggi nilai keberhasilan, akademik dan lingkungan yang eratur. Dalam hal itu, kepala

sekolah dapat berperan sebagai model, memberikan feedback atas penampilan guru dan

siswa, serta membangun konsensus yang berguna untuk membangun sekolah yang

efektif.

Berdasarkan model itu, dapat dipahami bahwa sistem pembelajaran disekolah

lebih berkaitan dengan ketiga dimensi “classroom effectiveness” diatas, meskipun tidak

dapat dipisahkan dari suprasistemnya. Sistem pembelajaran disekolah “ujung-ujungnya”

juga prstasi siswa, dan untuk tercapainya hal itu perilaku guru dan siswa sebagai

komponen sistemnya, serta kualitas interaksi di antara mereka amat menentukan.

Model yang dikemukanan oleh Peter F Oliva (1992: 172) barang kali akan lebih

mempejelas mengenai posisi dan ruang lingkup sistem pemberlajaran di sekolah,

termasuk rincian komponenn dan hubungan fungsional antar komponen itu. Berbeda

dengan model yang pertama yang lebih menempatkan kedalam sistem “effective

schools” model oliva menempatkannya sebagai sub sistem “ the model for curriculum

development”. Model oliva adalah sebagai berikut :

Page 7: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Page 8: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Model oliva memuat 12 komponen (the twelve). Model tersebut

mengilustrasikan proses yang komprehensif, tahap demi tahap yang menuntun perncang

kurikulum dari sumber dibuatnya kurikulum heingga evaluasi. Pada dasarnya, model

tersebut mengintegrasikan sebuah model umum pengembangan kurikulum dengan mdel

umum pengajaran. Karenanya, model tersebut sebenarnya terdiri daridua bagian, yaitu “

the curriculum submodel”, dan “ the insructional submodel”. Berkaitan dengan maksud

tulisan ini, yaitu memahami posisi dan lingkup sistem pemberlajaran, tampak lebih

berkaitan dengan bagian kedua.

Bila bagan oliva diatas dicermati, dapat dikatakan bahwa model pengajaran

merupakan satu kesatuan dengan model kurikulum. Model pengajaran adalah

implementasi dan kurikulum. Adapun komponen- komponen dari model pengajaran

adalah (1) specifiaction of instructional goals, (2) specification of instructional

objective, (3) selection of strategies, (4) preliminary selection of evaluation techniques,

(5) implementations of strategies, (4b) final selection of evaluation techniques, dan (6)

evaluation of instruction. Menurut oliva, komponen 1 sampai dengan 4 (4b) termasuk “

planning phases” untuk model pengajaran. Sedangkan komponen 5 sampai dengan 6

merupakan “ operational phases” .

Berdasarkan uraian singkat terhadap model pengajaran tersebut, dapat dibahas

lebih lanjut kaitannya dengan model “ effective clssroom” sebagaiman sudah diuraikan

diatas. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa “ planning phases” dalam model oliva

dapat diletakkan ke dalam aspek perencanaan pada dimensi “ teacher behaviors”. Oleh

karena itu dapat disusun sebuah model sebagai berikut:

Page 9: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Page 10: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Model di atas mengungkapkan beberapa hal, antara lain: (a) bahwa sistem

pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan prestasi siswa, (b) bahwa untuk mencapai

tujuannya, pembelajaran disekolah membutuhkan interaksi guru dan siswa, (c) agar

kualitas interaksi guru dan siswa dapat tercipta dengan baik, maka guru perlu membuat

perencanaan pengajaran, (d) pelaksanaan perencanaan pengajaran diharapkan dapat

mencapai tujuan pengajaran. Sejauh mana pengajaran itu mencapai tujuannya, dapat

diketahui dengan melakukan evaluasi, (e) hasil evaluasi dapat menunjukkan tingkat

pencapaian siswa, dan itu menjadi feedback untuk memperbaiki proses pembelajaran,

(f) dalam melaksanakan pengajaran, guru harus menguasai dan mampu untuk mengelola

kelas, dan (g) pembelajaran disekolah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar.

Memahami Ragam dan Karakteristik Sistem Pembelajaran

Sesudah posisi dan lingkupnya diketahui, ada baiknya dipahami jug atentang

berbagai pendapat para ahli mengenai karakteristik sistem pembelajaran. Bloom

berpendapat bahwa dalam belajar faktor yang sangat penting adalah lingkungan dalam

kelas. Dalam kaitan dengan ini, tugas guru adalah mengelola lingkungan belajar anak,

bukan mengelola anak, sehingga tercipta lingkungan yang mendorong siswa aktif

belajar. Strategi pembelajaran dibuat untuk mengelola lingkungan belajar sehingga

dapat mempengaruhi lingkungan belajar siswa, dan lebih jauh akan mempengaruhi hasil

belajar siswa.

Sementara itu, menurut Gagne, pembelajaran dilakukan untuk menolong orang

belajar.. karenanya, dalam proses pembelajaran guru harus memperlakukan siswa

sebagai pribadi yang memiliki kedirian dan keunikannya sendiri. Guru harus

menghindari memperlakukan siswa secara semaunya sebagai objec yang tidak memiliki

kedirian. Ini berarti dalam proses pembelajaran guru harus menghargai anak sebagai

pribadi yang memiliki ide, sikap, kebutuhan, cita-cita dan kemampuan.

Sejalan dengan pemikiran di atas, buber dalam konsepnya mengenai pendidikan

lebih menekankan adanya perjumpaan (contact) antara guru dan siswa, yaitu

perjumpaan guru dan siswa sebagai totalitas manusia, sebab menurut dia, esensi dari

pembelajaran ialah adanya kontak antara guru dan siswa. Dia bilang : “Good teacher” ..

must be really existing man and he must be really present to his pupils, he educates

through contact. Contact is the primary word of education.”

Guru hanya dapat mendidik murid jika dapat membangun kerhja sama nyata

antara dirinya dengan siswa. Kerjasama semacam ini dapat terwujud hanya jika murid

Page 11: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

mempercayai guru dan mereka mengetahui bahwa keberadaan guru betul-betul untuk

mereka. Ini berarti bahwa dalam pembelajaran Buber tidak menekankan teknik atau

metode tetapi lebih menekankan hubungan kerjasama yang saling mempercayai antara

guru dan siswa. Atau dapat dikatakan, bahwa strategi pembelajaran diartikan sebagai

proses menjalin hubungan kerjasama yang saling mempercayai antara guru dengan

siswa untuk mencari pengetahuan.

Sementara itu, Carl Rogers, kurang menyetujui untuk meletakkan peranan guru

sebagai pemeberi pengetahuan dan keterampilan siswa, teutama dalam masyarakat yang

modern. Menurutnya dalam masyarakat yang cepat berubah yang lebih penting dalam

belajar bagimana belajar ( learn how to learn). Peranan guru bukan pemberi

pengetahuan dan keterampilan, tetapi memberi kemudahan ( to faciliate) aktivitas

belajar anak. Rogers menekankan tujuan pembelajaran adalah proses mencari

pengetahuan sebagimana dia memandang pendidikan sebagai proses menjadi ( process

of becoming) pribadi. Pembelajarean yang sebenarnya adalahproses yang dapat

menumbuhkan anak menjadiself-directed (mengarahkan diri sendiri) dalam mencari dan

menemukan pengetahuan. Pembelajaran yang menekankan pemberian pengetahuan dari

guru kepada siswa akan mematikan potensi kreatif siswa, dan mematikan kemampuan

mereka untuk menjadi self-directed persong (pribadi yang mengarahkan diri sendiri).

Dalam strategi pembelajaran Rogers lebih menekankan faktor sikap yang

dimunculkan guru dalam hubungan personalnya dengan siwa, bukan kepada faktor

teknik atau metode. Faktor sikap ini menjadi kunci dalam strategi pembelajaran.

Terdapat tiga sikap dasar yang dapat mendorong belajaraa, yaitu, (1) keaslian

(realness), (2) menghargai, menerima, mempercayai, dan (3) pengertian yang empatik

(emphatic understanding). Yang pertama adalah sikap paling dasar esensia. Jika guru

datang dalam hubungan dengan siswa dengan keaslian, tanpa tutup muka (berpura-pura)

dia akan lebih efektif. Ini berarti bahwa dia datang dalam pertemuan dengan siswa

dengan basis hubungan personal.

Kedua, guru menghargai siswa baik perasaanya, pendapatnya, dan juga dirinya.

Ini merupakan penerimaan individu lain sebagai person lain yang memiliki kebaikan

untuk dirinya sendiri. Ketiga, bersikap empatik dalam arti “ anak dimengerti dengan

tidak dinilai, siswa dimengerti dari sudut pandang siswa sendiri, bukan sudut pandang

guru. Iklim belajar yang ditimbulkan oleh hubungan guru dan murid semaacam itu

adnya keterbukaan dalam aktivitas belajar.

Page 12: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Jadi, Carl Rogers menganjurkan suatu strategi pembelajaran yang

mengembangkan iklim beljar yang menjamin rasa aman dan kepercayaan pada siswa

untuk melakukan aktivitas belajar yang diorganisir oleh anak sendiri (self directed

learning). Dengan penekanan peranan guru sebagai fasilitator. Dengan strategi

pembelajaran semacam itu diharapkan anak akan berkembang menjadi orang yangdapat

mengarahkan diri sendiri dalam aktivitas kehidupannya dan dapat mencapai secara

optimal kapasitas dirinya (the fully functioning person).

Strategi pembelajaran semacam itu memiliki kesamaan dengan teori Maslow.

Kesamaanya adalah menjamin iklim belajar yang aman bagi anak untuk mencapai

aktualisasi dirinya atau perluasan dirinya. Ini tentu saja berbeda dengan strategi

pembelajaran konvensional yang cenderung menekankan peranan guru yang secara

otoritatif memebri pengetahuan yang dipilihnya pada siswa.

Lain lagi pendpat Paulo Freire. Mereka menentang praktik pendidikan yang

menindas. Konsep pendidikan “banking” (konvensional) dikatakan telah

menjerumuskan siswa dalam posisi sebagai penerima pasif, seolah-olah sebagai tempat

menyimpan barang. Hanya guru yang memerankan peranan aktif, yang mengisi dan

memberi pengetahuan kepada siswa. Dalam sistem semacam itu, dapat dikatakan tidak

terjadi komunikasi antara guu dan siswa. Yang terjadi adalah perintah dimana murid

sebagai penerima dimana murid harus sabar menerima, mengingat dan mengulang

kembali apa yang diberikan oleh pemberi. Pengetahuan dipandang sebagai pemberian,

yang diberikan oleh mereka yang memandang dirinya memiliki banyak pengetahuan

kepada mereka yang dianggap tidak tahu. Konsep semacam itu menurut dia

mengandung konsep penindasan sebab mengingkari pengetahuan sebagai proses

pencarian dan penemuan yang dilakukan oleh siswa. Guru didalam kehadirannya

dihadapan siswa menampilkan keberadaan dirinya sendiri, dan mendorong siswa untuk

menjadi penerima keberadaan guru saja. Oleh karena itu, siswa menjadi terasing dengan

dirinya sendiri, sebab, mereka harus menyesuaikan dirinya dengan guru.

Untuk mengembangkan derajat kemanusiaan maka pendidikan harus bersifat

membebaskan. Dalam konsep ini anak dipandang sebagai pencari pengetahuan, dan

belajar merupakan aktifitas kognisi bukan proses pemindahan pengetahuan. Aktivitas

kognisi adalah aktifitas mencari dan menemukan yang dilakukan oleh siswa bersama

dengan guru. Oleh kareana itu pengetahuan hanya dapat diperoleh dari proses mencari

dan menemukan secara bersama, maka hubungan guru dan siswa harus merupakan

proses dialog.

Page 13: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

Sementara itu, Pestalozzi mengharapkan sekolah menjadi tempat diman aminat

dan energi anak harus didorong, bukan sebaliknya dimatikan. Guru, karena itu harus

menghindarai memaksakan sikap dan idenya pada siswa tetapi harus mendorong sikap

dan ide siswa. Ini berarti bahwa sekolah harus menjadi tempat persemaian dan

perkembangan pertumbuhan anak dari dalam, atau bukan pembatasan dari luar, tetapi

perluasan darai dalam.

Dari berbagai pendapat para ahli di atas, tampak ada persamaan dan perbedaan,

meskipun hanya tekananya. Namun sebenarnya, secara kualitatif strategi pembelajaran

yang digunakan guru bergerak dari cara-cara konvensional dengan iklim belajar

otoritatif dan tertutup menuju strategi pengajaran dengan iklim belajar yang demokratik

dan terbuka dipandang lebih baik daripada strategi pengajaran dengan iklim otoritatif

tertutup.

Selanjutnya, Gary D Borich (1996:507), menyatakan bahwa pendekatan

manajemen kelas dapat dikelompokkan kedalam tiga tradisi. Tradisi pertama adalah “

humanist tradition” tradisi ini menekankan pada peran komunikasi yang kritis dan

pemecahan masalah antara guru dan siswa. Kedua, tradisi “ applied behavior analysys”.

Pendekatan 9ini menekankan teknik-teknik modifikasi perilaku teori dan penguiatan

yang dipraktikkan di dalam kelas. Sedangkan tradisi yang ketida disebut “ classroom

management tradition”. Tradisi ini menekankan pada berbagai keterampian pengajaran,

termasuk didalamnya mengorganisir dan mengelola berbagai aktifitas pengajaran dan

dalam menyampaiakan materi. Menurutnya, ketiga tradisi tesebut dapat dikombinasikan

menjadi pendekatan yang dinamakan an integrated approach to classroom

management”. Dia mengidentifikasi ada 6 kriteria rencana managemen kelas yang

efektif yaitu:

1. Estabilsh positive relationship among all classrooms participants;

2. Prevent attention seeking and work avoidance behavior;

3. Quickly and unobtrusively redirect misbehavior once it occur;

4. Stop presistent and chronic misbehavior with strategies that are simple enough to

be used consistenly;

5. Teach self control

6. Respec cultural diferences.

Sedangkan James Levin dan James F Nolan (1996:89) mengemukakan tiga

management kelas ( theories of classroom management), yang dalam bentuk rangkuman

tampak dalam tabel sebagai berikut:

Page 14: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

No Nonintervionist interactionalis interventionis

1 Primary Responsibility for

control

student Student and

teacher

Teacher

2 Development of rules Student with

teacher guidance

Teacher with some

student input

Teacher

3 Primary focus Major focus on

inner fellings and

thought

Initialfocus on

behavior,

secondary focus

onfelling and

thoughts

Majo focus on

behavior

4 Importance of individual

differences

Major emphasis Moderate

emphasis

Minor

empasis

5 Time until intervention Allow time for

student to control

own behavior

Allow some time

for studen to

control own

behavior but

protect group

Teacher move

quicly to

redirect

behavior

6 Types of intervention used Non verbal

moves, private

conferences,

communication,

skill, message

Coping skills,

consequences,

goup meetings,

annecdotcal

records

Rewards,

punnishments,

token

economy,

contracting

7 Most compatible power

bases

Referent, expert Expert, legitimate Reward/

coercive

8 proponents Gordon, ginott,

beme, harris

Dreikurs, glasser Canter,

dobson a

xelrod

Manajemen sistem pembelajaran di sekolah

Dari segi urutan fungsi- fungsi managemen, sistem pembelajarannya disekolah

berlangsung menurut tahapan sebagai berikut:

1. Perencanaan Pengajaran

Perencanaan pengajaran (planning for instuction) menunjuk kepada keputusan-

keputusan yang dibuat tentang pengorganisasian, implentasi dan evaluasi pengajaran (

Paul R Burden dan David M Byrd, 1991:19). Tujuannya adalah “ to ensure studen

learning”. Perencanaan, oleh karena itu, dapat menolong menciptakan, menyusun dan

mengorganisasikan peristiwa-peristiwa pengajaran sehinggan memungkinkan proses

Page 15: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

belajar mengajar dapat terjadi. Disamping itu, perencanaan juga menolong dalam

menyusun aliran dan urutan kegiatan pengajaran serta dalam mengelola waktu secara

tepat.

Apa yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan perencanaan? Ketika membuat

perencanaan perlu dipertimabngkan misalnya, siapa mengerjakan apa, kapan dan dalam

pengajran yang bagaimana akan terjadi, dimana akan terjadi, berapa jumlahy waktu

yang digunakan dan sumber serta materi yang digunakan. Keputusan perencanaan juga

berkaitan dengan is- isi, seperti isi pengajaran, strategi pengajaran,perilaku

menyampaikan pengajran, media pengajaran, manajemen kelas, iklim kelas dan evaluasi

siwa.

Pada tingkat yang lebih umum, perencanaan pengajaran disekola tidak hanya

dilakukan oleh guru, dalam pbentuk pembuatan perancangan pengajaran. Sebelum guru

membuat rencana pengajaran, sudah ada perencanaan. Hal-hal yang sudah harus

direncanakan sebelumnya adalah:

1. Menjabarkan GBPP menjadi Analisis Mata Pelajaran ( AMP) yang paling pokok

dalam tahap ini adalah mengkaji mana pokok bahasan/ sub pokok bahasan yang

esesnsial atau yang biasanya sukar oleh siswa. Pokok bahasab semacam itu

diprioritaskan untuk dibahas secara tatap muka di kelas/ laboratorium. Pokok

bahasan yang kurang esensial atau mudah dipahami oleh siswa dapat dijadikan

tugas/ pekerjaan rumah.

2. Berdasarkan Kalender Pndidikan dari Depdiknas, sekolah harus menghitung hari

kerja efektif dan jam pelajaran efektif untuk setiap mata pelajaran,

memperhitungkan hari libur, hari untuk ulangan dan hari-hari tidak efektif.

Disamping itu, setiap warga sekolah semestinya memahami dan menghayati

benar- benar tujuan institusionalnya dan standar kompetensi yang diharapkan

dicapai oelh setiap jenjang sekolah, dan ketentuan- ketentuan lain. Yang dapat

dibaca dalam standar pelayanan minimal yang dikeluarkan oleh Depdiknas.

3. Menyusun progam tahunan (Prota). Dalam mengisi prota yang penting adalah

membandingkan jumlah jam efektif dengan alokasi waktu tatap muka dalam

format AMP. Jika ternyata jam efektiflebih sedikit dibandingkan alokasi waktu

tatap muka, maka harus dirancang tambahan jam pelajaran atau pokok bahasan/

sub pokok bahasan yang dijadikan tugas/ pekerjaan rumah. Dengan demikian

sejak awal telah diketahui akan adanya jam pelajaran tambahan atau pokok

bahasan esensial, tetapi diberikan sebagai tugas/ pekerjaan rumah. Dalam hal- hal

Page 16: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

khusus, yang dilematis, pihak sekolah dapat meminta pertyimbangan, pendapat

dari pihak orang tua siswa.

4. Menyusun program catur wulan (Proca). Sebenarnya proca tidak jauh berbeda

dengan prota. Yang pokok untuk diperhatikan, pada proca sudah harus semakin

jelas bagaiman pokok bahasan dalam satu cawu diselesaikan, termasuk kapan akan

diajarkan, baik melalui kegiatan tatap muka maupun tugas pekerjaan rumah.

5. Program Satuan Pelajaran ( PSP). Dalam menyusun PSP guru sudah harus

memasukkan secara jelas kegiatan untuk setiap sub pokok bahasan, termasuk

bagaimana tes formatif dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan

pembelajaran.

6. Rencana Pengajaran (RPP). RP merupakan rincian PSP untuk satu kali tatp muka.

Yang penting pada RP harus terdapat catatan kemajuan siswa setelah mengikuti

pelajran. Catatan itu yang dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan RP

berikutnya.

Mengingat pentingnya AMP, Prota, Proca, PSP dan RP sebagai panduan guru

melaksanakan kegiatan belajar mengajar, maka kepala sekolah perlu memberikan

perhatian, bantuan dan penyusunanya termasuk memeriksa hasilnya. Jadi kepala

sekolah bukan sekedar menanda tangani apa yang telah disusun oleh guru tetapi juga

meemantau sejak proses penyusunan, membetulkan yang keliru dan memberi bantuan

jika guru mengalami kesulitan. Bila keadaan membutuhkan, dapat saja pihak sekolah

minta bantuan tenaga ahli dari masyarakat atau perguruan tinggi tempat sekolah berada

untuk memberikan penyegaran dan tambahan penyegaran dan tambahan pemahaman

menyangkut prinsip- prinsip dasarnya dan pembuatannya. Dengan cara itu diharapkan

akan dihasilkan, AMP, Prota, Proca, PSP dan RP yang benar- benar merupakan

panduan pelaksanaan pembelajaran. Penyusunan AMP sampai dengan RP tidak harus

dikerjakan seorang dirin oleh guru. Sebaiknya disusun bersama oleh beberapa orang

guru bidang studi sejenis dalam MGMP.

2. Pengorganisasian dan Koordinasi

Fungsi pengorganisasian berkenaan dengan penentuan siapa mengerjakan apa.

Pada tahap ini, kepala sekolah mengatur pembagian tugas mengajar, menyusun jadwal

pelajaran dan jadwal kegiatan-kegiatan lainnya.

1. Pembagian tugas mengajar dan tugas tugas lain perlu dilakukan secara merata.

Sesuai dengan bidang keahlian dan minat guru. Diupayakan setiap guru

memperoleh jam tugas sesuai dengan beban tugas minimal. Pemerataan beban

Page 17: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

tugas akan menumbuhkan rasa kebersamaan. Pemberian tugas yang sesuai dengan

keahlian dan minat akan meningkatkan motivasi kerja guru. Memperoleh tugas

sesuai dengan beban minimal akan membuat guru merasaaman dan dapat naik

pangkat tepat waktu.

2. Penyusunan jadwal pelajaran diupayakan agar guru mengajar maksimal hari/

minggu, sehingga ada hari tidak mengajar untuk pertemuan MGMP. Setiap ari

sebaiknya guru tidak mengajar lebih dari 6 jam Pelajaran, sehingga ada waktu

istirahat.

3. Penyusunan jadwal kegiatan perbaikan dan pengayaan. Secara normal setiap mata

pelajaran akan memerlukan kegiatan perbaikan bagi siswa yang belum tuntas

penguasaanya terhadap bahan ajar. Oleh karena itu, ketika menyusun jadwal

pelajaran sudah aharus dialokasikan waktu kegiatan perbaikan bagi siswa yang

belum tuntas dan pengayaan bagi yang sudah tuntas.

4. Penyusunan jadwal kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler perlu

difokuskan untuk mendukung kegiatan kurikuler dan kegiatan lain yang mengarah,

pada pembentukan keimanan/ ketaqwaa, kepribadian, dan kepemimpinan dengan

keterampilan tertentu. Setiap awal cawu kegiatan ekstrakurikuler sudah harus

disusun bersamaan dengan penyusunan jadwal pelajaran. Dalampengaturan jadwal

kegiatan ekstrakurikuler itu, orang tua siswa dapat dimintai saranya.

3. Pelaksanaan

Pada tahap ini, guru melaksanakan pembelajaran dikelas sesuai dengan beban

tugas yang diberikan dan dalam waktu dan ruang yang sudah dijadwalkan. Pada

kesempatan ini, guru melaksanakan rencana pengajaran yang sudah dibuat. Dalam

pelaksanaanya, guru harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa,

menggunakan strategi pengajaran yang demokratik dan terbuka, mempraktikkan

prinsip-prinsip manajemen kelas, serta berusaha agar siswa belajar secara efektif,

dengan perasaan gembira, sehingga pengajaran tersebut efektif. Dalama hal itu, buku-

buku seperti “ active learning”, “ Quantum teaching” “ Quantum Learning” yang kini

tengah populer, layak dibaca oleh guru.

Tugas kepala sekolah pada tahap ini adalah melakukan supervisi, dengan tujuan

untuk membantu guru menemukan dan mengatasi kesulitan yang dihadapi. Dengan cara

itu guru akan merasa didampingi pimpinan, sehingga akan meningkatkan semagat

kerjanya. Bilamana perlu, misalnya membutuhkan tenaga yang terampil dan ahli,

sekolah daat melibatkan masyarakat.

Page 18: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

4. Pengendalian

Pada tahap ini, paling tidak ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu (1) jenis

evaluasi dikaitkan dengan tujuannya, (2) pemanfaatan hasil evaluasi.

1. Kepala sekolah perlu mengingatkan guru bahwa evaluasi memiliki tujuan ganda,

yaitu untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran khusus (TPK) dan

mengetahui kesulitan siswa. Untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran

guru dapat menggunakan berbagai alat penilaian yang sesuai, sedangkan untuk

mengetahui kesulitan siswa mengunakan tes diagnostik.

2. Hasil evaluasi harus benar- benar dimanfaatkan guru untuk memperbaiki kegiatan

pembelajaran. Untuk itu kepala sekolah harus selalu mengingatkan guru. Jika

siswabelum menguasai bahan ajar yang esensial perlu dilakukan perbaikan. Siswa

yang mengalami kesulitan perlu dicarikan jalan. Misalnya dibentuk kelompok

belajar. Perlu juga dicaoba model pembelajaran koperatif, sehingga siswa yang

kurang pandai terbantu oleh yang lebih pandai.

Mengingat pentingya evaluasi ini, maka perlu dirancang sejak awal. Untuk itu

kepala sekolah perlu mengarahkan guru menyusun kisi-kisi evaluasi., menyusun butir

soal, dan kemudian menelaah ( memvalidasi), sampai dihasilkan perangkat soal yang

baik, serta cara pensjkorannya. Penyusunan soal semacam itu sebaiknya tidak dilakukan

oleh guru sendiri- sendiri tetapi dilakukan oleh beberapa guru bidang studi sejenis atau

MGMP, mengarah pada soal standar.

DAFTAR PUSTAKA

Alice G, Marry, (1990). Instucyion A Models Approach : Allyn and Bacon

Basis. (2001) Sekolah atau Penjara edisi Paulo Freire. Yogyakarta : Kanisius

Borich, Gary D. ( 1996) Effective Teaching Methods. United States of Amerika :

Pretince – Hall, Inc.

Bullock, Alison And Thomas, Hywel. ( 1997). Schools at the centre? London and New

York : Routledge

Burden, Paul dan Byrd, David. 1994. Metodhs for Effective Teaching. Boston : Allyn

and Bacon

Depdikbud. (1999). Panduan Manajeemen Sekolah. Jakarta

Depdiknas (2000). Standara Pelayanan Minimal (SPM) TK, SD, SLTP, SMU, SMK, dan

PLB. Jakarta

Page 19: MANAJEMEN SISTEM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

De Porter, Bobi. ( 2001) QuantumTeaching. Mempraktikan Quantum Learning di ruang

kelas. Bandung : Kaifa

Jones, Vernon F. Jones , Luise S. (1998) Comprehensive Classroom Management.

Boston : Allyn and Bacon

Levin, James dan Nolan, James (1991). Principles of Classrom Managemen. Boston :

Allyn and Bacon

Oliva, Peter F (1992). Developing The Curriculum. New York: Harper Collins

Publisher

Silberman, Mel (2001) Active Learning.101 Strategies to teach any subject

(terjemahan). Yogyakarta: YAPPENDIS

Soenarya, Endang (2000). Pengantar teori Perencanaan Pendidikan. Yogyakarta: Adi

Cita

Squires, David dan Huitt, William G.(2001). Effective Schools and Classroms. A

Reseach- Based Persective. Virginia: Association for Supervision and Curriculum

development.

Surakhmad, Winarno. (2000). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah dalam rangka

Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat. Kanwil Depdiknas.

Wahjosumidjo.(2001). Kepemimpinan Kepala Sekolah.Jakarta: Rajawali Pers