Manajemen Perdarahan Post Partum

download Manajemen Perdarahan Post Partum

of 23

Transcript of Manajemen Perdarahan Post Partum

Manajemen Perdarahan Postpartum

Manajemen Perdarahan Postpartum

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI ..1I. PENDAHULUAN .3II. TINJAUAN PUSTAKA.....41. Definisi 2. Klasifikasi3. Faktor resiko4. Patogenesis5. Penegakan Diagnosis6. Penanganan7. Komplikasi8. PrognosisIII. PEMBAHASAN .141. Latar Belakang Penemuan Teknik Baru2. Metode Teknik Baru3. Efektivitas Teknik BaruIV. KESIMPULAN .............................19V. DAFTAR PUSTAKA .....20

BAB IPENDAHULUAN

Menurut WHO, kematian ibu hamil disebabkan oleh beberapa penyebab mayor, seperti perdarahan postpartum, infeksi sebelum dan pada saat persalinan, hipertensi kehamilan, dan praktik aborsi yang tidak aman. Setiap harinya lebih dari 1000 wanita meninggal karena penyebab mayor tersebut pada tahun 2008. Dengan angka resiko kematian yang lebih tinggi pada ibu hamil di negara berkembang dibanding pada negara maju (WHO, 2010). Diantara semua penyebab mayor, pendarahan postpartum adalah sebab penting kematian ibu di dunia; dari kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan disebabkan oleh perdarahan postpartum (Sastrawinata, 1984). Perdarahan postpartum sendiri dapat didefinisikan sebagai perdarahan yang melebihi 500 cc dalam 24 jam pertama setelah anak lahir (Sastrawinata, 1984). Di berbagai benua di dunia, perdarahan postpartum menduduki persentasi tertinggi sebagai penyebab kematian ibu. Data WHO di Afrika menyebutkan bahwa 33,9% kematian maternal disebabkan oleh perdarahan postpartum, pada Amerika 20,8 %, dan 30,8 % di Asia (WHO,2006). Lebih spesifik lagi, di Indonesia, perdarahan postpartum memperoleh peringkat tertinggi dengan presentasi 28% dari jumlah seluruh kematian maternal. Disusul dengan eclampsi (24%), sepsis (11%), komplikasi Aborsi (6%), obstruksi jalan lahir (5%), dan penyebab lainnya (26%) (UNFPA Indonesia, 2003; MenegPP, 2007). Sedang, di Jawa Tengah kematian akibat perdarahan post partum mendapatkan persentasi hingga 60% (Dinhubkominfo Jateng, 2009).Penegakan diagnosis perdarahan postpartum didasari pada tanda dan gejala klinis, dan mengarah pada beberapa etiologi seperti atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta, inversio uteri, dan lain-lain. Setiap etiologi memiliki tanda dan gejala yang berbeda. Umumnya, perdarahan postpartum dikenali apabila muncul perdarahan banyak dalam waktu singkat. Perdarahan yang dapat terjadi pada perdarahan postpartum adalah perdarahan yang keluar deras dan perdarahan yang merembes. Diagnosis dari perdarahan postpartum dapat dengan mudah dilakukan bila tiap-tiap persalinan secara rutin dipantau pengeluaran darah dalam kala III dan kala IV. Untuk mengetahui etiologi perdarahan postpartum perlu dilakukan pemeriksaan yang lengkap, dimulai dari anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.Kematian merupakan ancaman utama dari perdarahan post partum. Perdarahan yang banyak selanjutnya akan mengakibatkan kondisi syok pada ibu, dan apabila tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan kematian pada Ibu. Penatalaksanaan perdarahan postpartum berbeda untuk tiap etiologi yang mendahului, namun pengelolan awal perdarahan postpartum meliputi: Selalu siapkan tindakan gawat darurat, tatalaksana pemeriksaan Kala III secara aktif, minta petugas lain untuk ikut membantu bila dimungkinkan, lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu, jika terdapat syok lalukan penanganan, periksa kandung kemih bila penuh kosongkan, cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebab perdarahan.Hingga saat ini pemerintah telah melaksanakan banyak program untuk mengurangi angka kematian ibu akibat perdarahan postpartum. Program-program yang dilakukan termasuk mensosialisasikan protap penanganan perdarahan post partum. Sedangkan pada tingkat pelayanan kesehatan, penanganan perdarahan postpartum ditekankan pada tindakan pencegahan. Menggalakkan Ante Natal Care serta menyarankan ibu hamil untuk melaksanakan persalinan pada instansi kesehatan dengan Newborn Intensive Care Unit. Selain itu pelatihan keterampilan penanganan perdarahan postpartum juga dilaksanakan pada tenaga kesehatan. Pada tingkat dunia, WHO mencanangkan program yang disebut Making Pregnancy Safer, program ini bertujuan untuk menjaga ibu dan bayi tetap sehat selama kehamilan maupun pada saat persalinan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1 DefinisiSebab-sebab perdarahan pada persalinan yang terpenting adalah perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio plasenta) dan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh retensio plasenta, atonia uteri, trauma kelahiran, abortus dan kehamilan ektopik (Sarwono. 2007). Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir. II.2 Klasifikasi Pembagian perdarahan post partum : perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi selama 24 jam setelah anak lahir dan perdarahan post partum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam anak lahir, biasanya hari ke 5-15 post partum. (Delfi Lutan. 2008) II.3 Faktor resikoFaktor resiko perdarahan post-partum:a. Overdistensi uterus (hidramnion, kehamilan ganda, makrosomia)b. Paritas tinggi (>6)c. Umur >35 tahund. Induksi persalinane. Partus lamaf. Partus presipitatusg. Augmentasi oksitosinh. Manual plasentai. Pemberian relaksan uterus (anestesi yang dalam, MgSO4)j. Riwayat perdarahan ante dan post partumk. Obesitasl. Pelepasan plasenta yang terburu-burum. Hipertensin. Kegagalan kemajuan dalam kala dua persalinano. Vakum ekstraksiII.4 PatogenesisPenyebab terpenting perdarahan postpartum ialah atonia uteri. Atonia uteri dapat disebabkan oleh partus lama, pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil (seperti pada hamil kembar, hidramnion, atau janin besar), multiparitas, anestesi pada lumbal. Keadaan inilah yang akan menyebabkan perlukaan pada jalan lahir yang akan menyebabkan perdarahan. Selain itu, perdarahan postpartum juga disebabkan oleh plasenta previa dan retensio plasenta. Pada solusio plasenta, plasenta terlepas dari uterus sehingga terjadi perobekan pada uterus sehingaa terjadi perdarahan. Pada retensio plasenta, terjadi penutupan jalan lahir oleh plasenta itu sendiri. Karena his mendorong janin untuk keluar dan janin juga mendorong plasenta yang menutupi jalan lahirnya, maka terjadi perdarahan. Apabila perdarahan oleh karena sinus-sinus maternalis di tempat insersi pada dinding uterus terbuka, biasanya perdarahan itu tidak banyak karena otot-otot uterus berkontraksi dan beretraksi menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya tertutup. II. 5 Penegakan DiagnosisMembuat diagnosis dari perdarahan postpartum biasanya tidak sulit, terutama bila muncul perdarahan banyak dalam waktu singkat. Perlu juga diperhatikan perdarahan yang berpotensi menimbulkan hipotensi dan anemia. Bila perdarahan dibiarkan berlangsung lama, tanpa disadari pasien akan kehilangan lebih banyak darah sebelum ia menunjukkan tanda pernapasan yang lebih cepat, tekanan darah menurun, dan pucat. Hal ini disebabkan seorang wanita normal dapat tidak menunjukkan gejala klinik saat kehilangan darah 10% dari volume darah total, dan baru akan menunjukkan gejala saat kehilangan 20%. Jika keadaan ini dibiarkan lebih lanjut maka akan menempatkan pasien dalam keadaan syok. Perdarahan yang dapat terjadi pada perdarahan postpartum adalah perdarahan yang keluar deras dan perdarahan yang merembes. Perdarahan yang keluar deras akan dapat mudah dikenali dan cepat ditangani karena terlihat jelas darah yang mengalir deras. Namun pada perdarahan yang merembes, perdarahannya kurang Nampak di luar, namun terkadang akan menumpuk di vagina dan di dalam uterus. Perdarahan ini akan lama ditangani karena sulit untuk dikenali. Diagnosis dari perdarahan postpartum dapat dengan mudah dilakukan bila tiap-tiap persalinan secara rutin dipantau pengeluaran darah dalam kala III dan kala IV. Untuk mengetahui etiologi perdarahan postpartum perlu dilakukan pemeriksaan yang lengkap, dimulai dari anamnesis, pemeriksaan umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam. Secara singkat, diagnosis dapat dilakukan seperti berikut:a. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uterib. Memeriksa plasenta dan ketuban: apakah lengkap atau tidakc. Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari:1. Sisa plasenta dan ketuban2. Robekan rahim3. Plasenta suksenturiata4. Inspekulo: untuk melihat robeka pada serviks, vagina, dan varises yang pecah5. Pemeriksaan laboratorium: periksa darah, Hb, clot observation test (COT) dan lain-lain (Rustam Muchtar, 1998)

Gejala dan TandaTanda dan Gejala LainDiagnosis Kerja

Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah anak lahir Syok Bekuan darah pada serviks atau posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluarAtonia uteri

Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir Uterus berkontraksi dengan keras Plasenta lengkap Pucat Lemah MenggigilRobekan jalan lahir

Plasenta belum lahir setelah 30 menit Perdarahan segera (P3) Uterus berkontraksi dan keras Tali pusat putus akibat traksi berlebihan Inveriso uteri akibat tarikan Perdarahan lanjutanRetensio plasenta

Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap Perdarahan segera (P3) Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurangTertinggalnya sebagian plasenta atau ketuban

Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi masa Tampak tali pusat (bila plasenta belum lahir) Neurogenik syok Pucat dan limbungInversion uteri

Sub-involusi uterus Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus Perdarahan Lokhia mukopurulen dan berbau Anemia Demam Endometristis atau sisa fragmen plasenta (terinfeksi atau tidak)

(Saryono, 2009)

II.6 Penanganan1. Penanganan umuma. Selalu siapkan tindakan gawat daruratb. Tata laksana persalianan kala III secara aktifc. Minta pertolongan pada petugas lain untuk membantu bila dimungkinkand. Lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu meliputi kesadaran, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhue. Jika terdapat syok lakukan segera penangananf. Periksa kandung kemih, bila penuh dikosongkang. Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebab perdarahan(Santoso, 2009)

2. Penanganan berdasarkan penyebab a. Atonia uteriTergantung pada banyaknya perdarahan dan derajat atonia uteri, dibagi dalam 3 tahap:Tahap 1:perdarahan yang tidak terlalu banyak dapat diatasi dengan pemberian uterotonika, massase rahim dan memasang gurita.Tahap 2:bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya berikan infuse dan transfuse darah dan dapat dilakukan :- Kompresi bimanua- Kompresi aorta-Tamponade utero-vagina, walaupun secara fisiologis tidak tepat, hasilnya masih memuaskan.- Jepitan arteri uterineTahap 3:bila semua upaya di atas tidak menolong juga, maka usaha terakhir adalah menghilangkan sumber perdarahan, dapat ditempuh dengan 2 cara yaitu dengan meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi.b. Retensio Plasenta1) Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan2) Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral.3) Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase4) Bila kadar Hb8 gr%, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.Apabila plasenta belum lahir dalam setengah sampai 1 jam setelah bayi lahir, maka harus segera dikeluarkan.tindakan yang dapat dikerjakan adalah: Perasat Crede syarat uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria kosong.Teknik pelaksanaan :a. Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan permukaan belakang. setelah uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir. gerakan jari-jari seperti meremas jeruk. perasat Crede tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan inversion uterib. Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta secara manual.c. Manual Plasenta Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constriction ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan.Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit.d. Eksplorasi kavum uteriPersangkaan tertinggalnya jaringan plasenta (plasenta lahir tidak lengkap), setelah operasi vaginal yang sulit, dekapitasi, versi dan ekstraksi, perforasi dan lain-lain, untuk menetukan apakah ada rupture uteri. Eksplorasi juga dilakukan pada pasien yang pernah mengalami seksio sesaria dan sekarang melahirkan pervaginam.Tangan masuk secara obstetric seperti pada pelepasan plasenta secara manual dan mencari sisa plasenta yang seharusnya dilepaskan atau meraba apakah ada kerusakan dinding uterus. untuk menentukan robekan dinding rahim eksplorasi dapat dilakukan sebelum plasenta lahir dan sambil melepaskan plasenta secara manual. e. Robekan jalan lahir1. Perbaiki keadaan umum terlebih dahulu, jika terjadi syok atasi syok2. Eksplorasi jalan lahir jika perlu dalam narkose agar lebih mudah3. Lakukan jahitan hemostasis jika terdapat robekan jalan lahir4. Berikan antibiotika profilaksis(Irmansyah, -)

f. Endometritis1. Berikan antibiotika yang adekuat, jika perlu double dan dosis tinggi2. Pemberian uterotonika seperti metergin 3x1 untuk 5-7 hari3. Jika ada sisa plasenta lakukan kuretase dalam perlindungan uterotonika(Irmansyah, -)

g. HematomaHematoma yang kecil dapat diatasi dengan es, analgetik dan pemantauan yang terus-menerus. Hematoma yang lebih besar atau yang ukurannya meningkat perlu diinsisi dan didrainase untuk mencapai hemostasis. Pembalut vagina yang terlalu besar dapat membuat berkemih menjadi sulit dan sering dilakukan pemasangan kateter menetap. Karena tindakan insisi dan drainase bisa meningkatkan kecenderungan pasien terinfeksi, perlu dipesankan antibiotic spectrum luas. Jika dibutuhkan, berikan transfusi darah dan faktor-faktor pembekuan.II. 7 KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi antara lain :1. Syok hipovolemik2. Gagal ginjal akut pre renal (Errolnorwitch. 2007)

II. 8 Prognosis Prognosis dari perdarahan postpartum akan baik apabila ditangani dengan tepat dan secara seksama. Hampir 50% dari kasus perdarahan postpartum secara berhasil ditangani dengan penegakan diagnosis yang tepat berdasarkan tanda dan gejala yang ada. (WHO, 2008)

BAB IIIPEMBAHASAN

III. 1. Latar Belakang Penemuan Teknik BaruPerdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim, karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Manajemen awal sangat penting untuk mengontrol perdarahan dan menghindari komplikasi seperti syok hipovolemik, disseminated intravascular coagulopathy (DIC), dan gagal multi organ. Perdarahan akibat atonia uteri secara umum diatasi dengan uterine bimanual compression, uterine massage, dan penggunaan transfuse dan agen uterotonik. Embolisasi angiografi dapat menjadi solusi efektif dalam mengatasi perdarahan yang terus menerus tetapi tidak selalu dapat dilakukan karena hanya beberapa rumah sakit yang memiliki interventional radiologist. Apabila metode sebelumnya gagal menghentikan perdarahan, tindakan operatif perlu untuk dilakukan. Jahitan kompresi uterus merupakan salah satu metode operatif yang dibuat untuk menghentikan perdarahan tanpa harus melakukan histerektomi (Ouahba, 2007).

III. 2. Metode Teknik BaruJahitan kompresi uterus memiliki beberapa teknik. Teknik yang paling umum adalah teknik B-Lynch dimana jahitan tebal yang dapat diserap seperti penggunaan #1 Chromic dilakukan pada segmen bawah dengan simpul besar pada beberapa tempat di fundocorneal dan bagian posterior di atas ligamentum cardinal, kemudian menyeberang ke sisi yang berlawanan, kembali ke daerah fundocorneal, dan berakhir pada segmen bawah uterus. Hayman menjelaskan teknik yang lebih sederhana tetapi memiliki kemiripan prosedur dengan teknik B-Lynch menggunakan jahitan transfundal yang terpisah. Terdapat pula teknik jahitan multiple square, tetapi karena adanya efek samping berupa adhesi dan abses, maka teknik tersebut jarang digunakan (Lagrew dan Hull, 2009).

Gambar 1. Teknik B-Lynch

Semua jenis jahitan kompresi uterus pada dasarnya memiliki kesamaan prosedur. Pada awalnya insisi Pfannenstiel dibuat untuk membuka uterus. Setelah dilakukan bimanual compression pada uterus selama beberapa menit, empat jahitan kompresi uterus transversal dilakukan dengan menggunakan jahitan multifilament sintetik yang dapat diserap. Untuk memudahkan jahitan, operator harus menekan dinding rahim untuk mengurang ketebalannya. Jarum kemudian dimasukkan dari lapisan serosa dinding anterior ke lapisa serosa dinding posterior melalui rongga rahim dan jahitan lain yang berjarak 8 cm dari titik awal lapisan serosa dinding posterior ke lapisan serosa dinding posterior. Kemudian jahitan dikunci dengan simpul ganda datar pada dinding anterior sekencang mungkin. Jenis simpul ini adalah simpul yang dapat mengunci sendiri dan mampu menghindarkan dari luka dinding uterus. Empat jahitan dilakukan, satu jahitan transversal dilakukan pada bagian tengah fundus uteri, satu jahitan transversal di segmen bawah dan satu jahitan medial berjarak 2 atau 3 cm pada setiap tanduk uterus. Hasil akhir dari tindakan diperlihatkan pada Gambar 3 (Ouahba, 2007).

Gambar 2. Prosedur Jahitan Kompresi Uterus

Gambar 3. Hasil Akhir Jahitan Kompresi Uterus

Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur ini adalah sekitar dua belas menit. Keberhasilan prosedur dapat langsung terlihat karena darah mengalir melalui vulva telah ditahan. Ketika terjadi kegagalan dan perdarahan yang terus menerus, ligasi arteri kemudian dilakukan. Apabila perdarahan terus terjadi setelah ligasi, maka histerektomi perlu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa pasien (Ouahba, 2007).

III. 3. Efektivitas Teknik BaruAdanya intervensi operasi telah dilaporkan untuk mengontrol perdarahan postpartum yang tidak menunjukkan respon terhadap intervensi obat-obatan dan mekanis. WHO mendapatkan data RCT pada penatalaksanaan perdarahan postpartum dengan jahitan kompresi uterus. Terdapat 13 jenis kasus dan 12 laporan kasus dari 113 wanita yang teridentifikasi. Delapan pembahasan terhadap jahitan kompresi uterus telah dipublikasikan. Teknik B-Lynch merupakan prosedur yang paling banyak dilaporkan. Tingkat keberhasilan tanpa histerketomi atau tindakan invasif lain sekitar 89% hingga 100% (WHO,2009). Jahitan kompresi uterus dilakukan untuk menghentikan perdarahan postpartum ketika manejemen biasa gagal. Metode ini dapat dilakukan dengan cepat setelah proses melahirkan secara sectio caesaria atau pervaginam. Pada perdarahan lebih dari 1 liter apabila dilakukan perawatan medis dan uterine bimanual compression tidak menunjukkan perkembangan maka dilakukan jahitan kompresi uterus. Metode ini lebih dipilih dari pada massage uterine dan oxytocin (Ouahba, 2007).Jahitan kompresi uterus memiliki beberapa kelebihan. Fertilitas pasien yang mendapatkan tindakan jahitan kompresi uterus tidak menurun. Tidak ditemukan perubahan siklus menstruasi dan komplikasi pada semua wanita yang melakukan metode ini. Pada 75% wanita yang mencoba untuk mengandung setelah melakukan metode ini didapatkan kelahiran yang cukup bulan (Ouahba, 2007)WHO merekomendasikan apabila perdarahan tidak berhenti ketika sudah ditatalaksana dengan uterotonik maupun intervensi konservatif (seperti uterine massage) dan penekanan secara eksternal maupun internal pada uterus, maka intervensi operasi perlu dilakukan. Jahitan kompresi uterus dapat dilakukan setelah intervensi konservatif gagal. Apabila gagal maka ligasi terhadap pembuluh darah pada pembuluh darah hipogastrik, utero-ovarian, dan uterus dapat dilakukan. Apabila perdarahan yang mengancam jiwa terus berlanjut bahkan setelah ligasi, maka histerektomi total harus dilakukan. Dalam pemilihan intervensi, perlu memperhatikan tingkat ketrampilan tenaga kesehatan yang melakukan intervensi operasi (WHO, 2009)

BAB IVKESIMPULAN

Perdarahan post partum dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah janin lahir dan plasenta lahir, Kegagalan penanganan perdarahan dipengaruhi oleh beberapa faktor keterlambatan, baik keterlambatan pengenalan adanya perdarahan, intensitas perdarahan, keterlambatan transportasi dan keterlambatan dalam penanganan. Keterlambatan rujukan meningkatkan kematian maternal dan menempatkan sebagai angka kematian ibu pada saat melahirkan selalu tinggi .Dengan ada nya penanganan yang tepat ini diharapkan kita sebagai mahasiswa kedokteran mampu mengenal faktor risiko, mengidentifikasi faktor penyebab, mengenal tanda, gejala dan belajar menegakkan diagnosis, menilai derajat syok hemoragik, mempelajari manajemen medis dan terapi cairan, melakukan rujukan, melakukan manajemen operatif, dan melakukan tranfusi dengan tepat pada pasien dengan perdarahan postpartum dan mampu menekan angka kematian ibu yang semakin meningkat setiap tahunnya.

BAB VDAFTAR PUSTAKA

Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002,Perdarahan Setelah Bayi LahirdalamBuku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono PrawirohardjoSmith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage, http://www.emedicine.comRayburn, W. F., Carey, J. C., 2001,Obstetri & Ginekologi, Jakarta: Penerbit Widya MedikaMochtar, R., Lutan, D. (ed),1998,Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGCDr. Delfi Lutan Sp.OG. Perdarahan Postpartum. Dalam Buku Ajar Obstetri Fisiologi & Obstetri Patologi. Jilid I ed. ke-2. Jakarta : EGC. 2008.Prof. Dr. Dr. Sarwono Prawirohardjo, Sp.OG. Prof. Dr. Hanifa Wikjosastro Sp.OG. Perdarahan Postpartum. Dalam Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Penerbit Buku Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : YBP-SP, 2007.Dinhubkominfo Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2009. 60% Kematian Ibu Karena Perdarahan. di akses di http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=8413 pada tanggal 15 Oktober 2010Menteri Negara Pemberdayaan Wantia. 2007. Angka Kematian Ibu Melahirkan. Diakses di http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=290&tmpl=component&format=raw&Itemid=111 pada tanggal 15 oktober 2010WHO. 2010. Maternal Deaths Worldwide Drop by Third. Diakses di http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2010/maternal_mortality_20100915/en/ pada tanggal 15 Oktober 2010UNFPA. 2003. Reproductive and Maternal Health. Diakses di http://indonesia.unfpa.org/mmr.htm pada tanggal 15 Oktober 2010Khan, Khalid S. 2006. WHO Analysis of Causes Maternal Death: A Systematic Review. Diakses di http://centre.icddrb.org/images/WHO_Analysis_of_Causes_of_Maternal_Death_-_Khan_&_co..pdf pada tanggal 15 Oktober 2010 Sastrawinata, Sulaeman. 1984. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Ofset, Bagian Obstetri Ginekologi UNPAD.Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi & Obstetri Patologi. Jilid I ed. ke-2. dr. Delfi Lutan Sp.OG (editor). Jakarta : EGC. 1998. 298-306.Gary cunningham, F.2005. Obstetri Williams Vol 1 edisi 21. Jakarta :EGC.Santoso, Budi Iman. 2009. Lecture Perdarahan Post Partum. Jakarta: Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaChoji K. and Shimizu T. Embolization. Available at: http://www.sapienspublishing.com/pph_pdf/PPH-Chap-30.pdf

World Health Organization. 2009. WHO Guideline for Postpartum Hemorrhageand Retained Placenta. Switzerland: WHO Press.Eka purnama Dewi R: perbandingan Efektivitas Antara Misoprostol dengan Kateter Foley Untuk Pematangan Serviks.2008.USUe [email protected], Hedi R. 2008. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUIWorld Health Organization. 2009. WHO Guideline for Postpartum Hemorrhageand Retained Placenta page 16-17. Switzerland: WHO Press. Lagrew D. dan Hull A. 2009. Uterine Hemostatic Sutures dalam CMQCC Obstetric Care Guidelines and Compendium of Best Practices. Available at: www.cmqcc.org/resources/940/downloadOuahba J., Piketty M., Huel C., Azarian M., Feraud O., Luton D., Sibony O., Oury JF. Uterine Compression Sutures for Postpartum Bleeding with Uterine Atony dalam BJOG: An International Journal of Obstetric and Gynaecology Vol. 114 page 619-622. Available at: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1471-0528.2007.01272.x/pdf

2