manajemen kasus HIV.docx

30
BAB I STATUS PASIEN 1.1. IDENTITAS  Nama : Tn.DP Usia : 31 th Jenis kelamin : Pria Alamat : Mendigan RT 19, Sambirejo, Plupuh Pekerjaan : Swasta Agama : Islam MRS : 15 Oktober 2013 1.2. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan tanggal 21 Oktober 2013 secara autoanamnesis. KELUHAN UTAMA:  Badan terasa lemas RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG: Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1 mingg u SMRS. Pasien mengaku mengalami BAB cair sejak 7 HSMRS tanpa ampas berwarna kuning. Pasien sudah membeli obat di warung untuk mengobati diare. 1 HSMRS diare berhenti, namun badan masih terasa lemas dan makin lama makin memberat. Pasien juga mengeluh dada terasa ampeg, terutama saat bernapas. Selain itu, pasien merasa berat badannya terus berkurang selama beberapa bulan terakhir. ANAMNESIS SISTEM Serebrospinal : Pusing (-), nyeri kepala (-), demam (-) Respirasi : batuk (+), pilek (-), dada ampeg (+) Kardiovaskular : nyeri dada (-), berdebar-debar (-) Gastrointestinal : mual (-), muntah (-) , sebah (-), nafsu makan baik

Transcript of manajemen kasus HIV.docx

Page 1: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 1/30

BAB I

STATUS PASIEN

1.1. IDENTITAS

 Nama : Tn.DP

Usia : 31 th

Jenis kelamin : Pria

Alamat : Mendigan RT 19, Sambirejo, Plupuh

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

MRS : 15 Oktober 2013

1.2. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan tanggal 21 Oktober 2013 secara autoanamnesis.

KELUHAN UTAMA: 

Badan terasa lemas

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1 minggu SMRS. Pasien

mengaku mengalami BAB cair sejak 7 HSMRS tanpa ampas berwarna kuning. Pasien sudah

membeli obat di warung untuk mengobati diare. 1 HSMRS diare berhenti, namun badan

masih terasa lemas dan makin lama makin memberat. Pasien juga mengeluh dada terasa

ampeg, terutama saat bernapas. Selain itu, pasien merasa berat badannya terus berkurang

selama beberapa bulan terakhir.

ANAMNESIS SISTEM

Serebrospinal : Pusing (-), nyeri kepala (-), demam (-)

Respirasi : batuk (+), pilek (-), dada ampeg (+)

Kardiovaskular : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)

Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sebah (-), nafsu makan baik

Page 2: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 2/30

Urogenital : BAK normal, warna kuning jernih

Integumentum : benjolan (-), gatal (+), ruam (-), deformitas (-)

Muskuloskeletal : pegal (+), kelemahan anggota gerak (-), nyeri sendi (-)

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

-  Riwayat sariawan saat 2 minggu SMRS. Pasien sudah berobat ke dokter, dan keluhan

 berkurang.

-  Riwayat batuk lama dan kelenjar getah bening membesar di tahun 2010. Pasien

didiagnosis TB dan mengaku sudah menyelesaikan pengobatan selama 6 bulan.

-  Pasien sering mengalami diare kambuh-kambuhan yang makin lama makin

memberat.

-  Pasien mengaku sering mengalami gatal-gatal di kulit sejak mendapat pengobatan

TB. Tetapi meskipun pengobatan telah selesai, pasien masih merasakan gatal.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

-  Riwayat sakit serupa di dalam keluarga disangkal

KEBIASAAN/LINGKUNGAN

-  Pasien bekerja di diskotik di Jakarta dan merupakan pengguna narkoba dengan jarum

suntik pada tahun 2005-2006. Pasien menggunakan jarum suntik bergantian dengan

teman-temannya. Pasien tidak mengetahui apakah ada diantara teman-temannya yang

 positif mengidap HIV. Saat ini ia mengaku tidak lagi menggunakan narkoba sejak 7

tahun lalu.

1.3. Status Generalisata

A.  Pemeriksaan Vital Sign 

Dilakukan pada tanggal 21Oktober 2013Tekanan Darah: 90/60mmHg

Respirasi : 24x/menit, regular

 Nadi : 88x/menit, regular

Suhu axila: 36,5OC

Page 3: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 3/30

B.  Pemeriksaan Fisik Diagnostik

Dilakukan tanggal 25 September 2013

1)  Keadaan Umum

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6

Tinggi Badan : 165 cm

Berat Badan : 45 kg

Status Gizi : Kurang

2)  Pemeriksaan Kepala

Kepala

Rambut : Tipis, tidak mudah rontok

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)

Hidung : Nafas cuping hidung (-)

Telinga : dalam batas normal

Mulut : atropi papil lidah (-), sianosis (-)

3)  Pemeriksaan Leher

Inspeksi : Pembesaran kelenjar thyroid (-), Pembesaran limfonodi (-)

Palpasi : Limfonodi teraba (-), Nyeri tekan (-)

Pemeriksaan Tekanan Vena Sentral : Normal

4)  Pemeriksaan Thoraks

Pulmo

Inspeksi : bentuk dada normal, simetris, massa (-), retraksi otot bantu

 pernafasan (-), pengembangan dada simetris

Palpasi : nyeri (-), fremitus taktil kanan dan kiri sama, pengembangan paru

simetris(-)

Perkusi : Paru kanan: sonor di seluruh lapang paru

Paru kiri : redup di SIC V

Auskultasi :suara dasar vesicular (+ normal/ menghilang) ronki (-/-), wheezing

(-/-)

Page 4: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 4/30

Cor  

Inspeksi : Denyut ictus kordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus kordis (+), thrill  (-)

Perkusi : - batas jantung kanan di linea sternalis dekstra,

-  batas jantung kiri di linea midclavicula sinistra

-  batas jantung atas di linea sternalis sinistra

-  batas pinggang jantung di linea parasternalis sinistra

Auskultasi  : S1 dan S2 tunggal, regular, bising (-)

5)  Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Simetris, permukaan abdomen sama tinggi dengan

 permukaan dada, spider nevi (-), tak tampak massa

Palpasi : supel, hepar dan lien teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani di empat kuadran (+), asites (-).

Auskultasi : Peristaltik (+), Bising aorta (-).

6)  Muskuloskeletal

Kelemahan anggota gerak (-), deformitas (-), oedem (-/-)

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan darah rutin (tanggal 23 September 2013)  Hb : 14,1 12,2-18,1 g/dl

  AE : 4,84 4,04-6,13 Jt/µl

  MCV : 83,9 80-97 fL

  MCH : 29,2 27-31,2 pg

  MCHC : 34,8 31,8-35,4 g/dL

  AL : 5,07 4,6-10,2 ribu/µl

  Limfosit : 18,6  19-48 %

  Total limfosit : 1 1-3,7 ribu/ µl

  AT : 226 150-450 ribu/µl

KIMIA KLINIK

  GDS : 68  mg/dl 75-200

  SGOT : 162  U/l 0-31

Page 5: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 5/30

  SGPT : 146  U/l 0-32

  Ureum : 28,2 mg/dl 10-50

  Kreatinin : 1,24 mg/dl 0,6-0,9

-  Radiologis  : TB Paru aktif

-  Anti HIV

  Standard Diagnostic Reaktif  Non reaktif

  Intec Reaktif  Non reaktif

  Kesimpulan: Reaktif  

1.5. RESUME

Pasien seorang laki-laki usia 30 tahun, datang dengan keluhan badan lemas setelah

mengalami diare selama 7 hari. Saat datang ke IGD, diare telah berhenti. Pasien juga mengeluh

dada ampeg. Pasien sebelumnya telah mengalami diare kambuh-kambuhan yang makin lama

makin memberat. Pasien juga pernah mengalami sariawan lama yang telah diobati dan

 berkurang. Saat tahun 2010 didiagnosis TB dan telah menjalani pengobatan selama 6 bulan.

Pasien sering menggunakan jarum suntik bergantian dengan temannya saat masih memakai

narkoba tahun 2005-2006 di Jakarta. Berat badan pasien juga berkurang selama beberapa bulan

terakhir.

1.6. DIAGNOSIS

-  KP

-  HIV

1.7. RENCANA PENATALAKSANAAN

a. Pemeriksaan penunjang

-  Pemeriksaan CD4

b.  Tindakan terapi

-  IVFD RL 20 tpm makro

-  Inj. Cefotaxim 1 gr/24 jam

-  Inj Ondancentron 1 amp/12 jam

-  Inj Sohobion 1 amp/24 jam drip

Page 6: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 6/30

-  Rifampisin 450 mg (1x1)

-  Pirazinamid 500 mg (2x1)

-  INH 300 mg (1x1)

-  Etambutol 500 mg (2x1)

-  Dextromethorphan 3xI cth

(Terapi ARV tanggal 23/10/2013)

-  Tenofovir DF tab 1x1

-  Lamivudine tab 1x1

-  Efavirenz tab 1x1

1.8. FOLLOW UP 

Tanggal S A P

16/10/2013 S:Lemas (+), batuk (+)

O: KU: sedang

Ks:Compos Mentis

TV:

TD:90/60mmHg

R : 28 x/m N: 80x/menit

S: 36,6OC

Kepala : konjungtiva

anemis(-/-), sklera

ikterik (-/-)

Leher : dbn

Thorax :  Paru: SDV

(+/+), suara tambahan (-

/-)

 Jantung : dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas : oedem (-)

- HIV

- KP

-  IVFD RL 20 tpm

makro

-  Inj. Cefotaxim 1

gr/24 jam

-  Inj Ranitidin 1

amp/12 jam-  Inj Sohobion 1

amp/24 jam drip

-  Inj Ondancentron 1

amp/12 jam

Page 7: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 7/30

 

17/10/2013 S: batuk berdahak(+)

ampeg (+)

O: KU: sedang

Ks: Compos Mentis

TV:

TD: 90/60mmHg

R : 20 x/m

 N: 80x/menit

S: 36,6OC

Kepala : konjungtiva

anemis(-/-), sklera

ikterik (-/-)

Leher : dbn

Thorax :  Paru: SDV

(+/+),

suara tambahan (-/-)

 Jantung : dbnAbdomen: dbn

Ekstremitas : oedem (-)

- HIV

- KP

-  IVFD RL 20 tpm

makro

-  Inj. Cefotaxim 1

gr/24 jam

-  Inj Ranitidin 1

amp/12 jam

-  Inj Sohobion 1

amp/24 jam drip

-  Inj Ondancentron 1

amp/12 jam

Oral

-  Dextromethorphan

3xI cth

18/10/2012 S: Batuk (+)

O: KU: sedang

Ks: Compos Mentis

TV:

TD: 90/60mmHg

R : 20 x/m

 N: 80x/menit

S: 36,6OC

Kepala : konjungtiva

anemis(-/-), sklera

- HIV

- KP

-  IVFD RL 20 tpm

makro

-  Inj. Cefotaxim 1

gr/24 jam

-  Inj Ranitidin 1

amp/12 jam

-  Inj Sohobion 1

amp/24 jam drip

-  Inj Ondancentron 1

amp/12 jam 

Page 8: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 8/30

ikterik (-/-)

Leher : dbn

Thorax :  Paru:simetris,

tidak ada ketinggalan

gerak, tidak teraba

massa, SDV (+N/+↓),

suara tambahan (-/-)

 Jantung : dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas : oedem (-)

Oral

Dextromethorphan

3xI cth 

19/10/2013 S: Batuk (+)

O: KU: sedang

Ks:CM

TV:

TD: 90/50mmHg

R : 20 x/m

 N: 80x/menit

S: 36,6OC

Kepala : konjungtivaanemis(-/-), sklera

ikterik (-/-)

Leher : dbn

Thorax :  Paru:simetris,

tidak ada ketinggalan

gerak, tidak teraba

massa, SDV (+N/+↓),

suara tambahan (-/-)

 Jantung : dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas : oedem (-)

- HIV

- KP

-  IVFD RL 20 tpm

makro

-  Inj. Cefotaxim 1

gr/24 jam

-  Inj Ranitidin 1

amp/12 jam

-  Inj Sohobion 1

amp/24 jam drip

Inj Ondancentron 1amp/12 jam

Oral

Dextromethorphan

3xI cth 

20/10/2013 S: Batuk berdahak (+) - HIV -  IVFD RL 20 tpm

Page 9: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 9/30

O: KU: sedang

Ks:Compos Mentis

TV:

TD: 90/60mmHg

R : 20 x/m

 N: 80x/menit

S: 36,6OC

Kepala : konjungtiva

anemis(-/-), sklera

ikterik (-/-)

Leher : dbn

Thorax :  Paru:simetris,

tidak ada ketinggalan

gerak, tidak teraba

massa, SDV (+N/+↓),

suara tambahan (-/-)

 Jantung : dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas : oedem (-)

- KP makro

-  Inj. Cefotaxim 1

gr/24 jam

-  Inj Ranitidin 1

amp/12 jam

-  Inj Sohobion 1

amp/24 jam drip

-  Inj Ondancentron 1

amp/12 jam

Oral

-  Dextromethorphan

3xI cth

21/10/2013 S: Batuk berdahak

 berkurang (+)

O: KU: sedang

Ks:Compos Mentis

TV:

TD: 90/60mmHg

R : 20 x/m

 N: 80x/menit

S: 36,6OC

Kepala : konjungtiva

anemis(-/-), sklera

ikterik (-/-)

- HIV

- KP

-  IVFD RL 20 tpm

makro

-  Inj. Cefotaxim 1

gr/24 jam

-  Inj Ranitidin 1

amp/12 jam

-  Inj Sohobion 1

amp/24 jam drip

-  Inj Ondancentron 1

amp/12 jam

Oral

-  Dextromethorphan

Page 10: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 10/30

Leher : dbn

Thorax :  Paru:simetris,

tidak ada ketinggalan

gerak, tidak teraba

massa, SDV (+N/+↓),

suara tambahan (-/-)

 Jantung : dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas : oedem (-)

3xI cth

22/10/2013 S: Batuk (+)

O: KU: sedang

Ks:Compos Mentis

TV:

TD: 90/60mmHg

R : 20 x/m

 N: 80x/menit

S: 36,6OC

Kepala : konjungtiva

anemis(-/-), skleraikterik (-/-)

Leher : dbn

Thorax :  Paru:simetris,

tidak ada ketinggalan

gerak, tidak teraba

massa, SDV (+N/+↓),

suara tambahan (-/-)

 Jantung : dbn

Abdomen: dbn

Ekstremitas : oedem (-)

- HIV

- KP

-  IVFD RL 20 tpm

makro

-  Inj. Cefotaxim 1

gr/24 jam

-  Inj Ranitidin 1

amp/12 jam

-  Inj Sohobion 1

amp/24 jam drip

-  Inj Ondancentron 1

amp/12 jamOral

-  Rifampisin 450 mg

(1x1)

-  Pirazinamid 500

mg (2x1)

-  INH 300 mg (1x1)

-  Etambutol 500 mg

(2x1)

Dextromethorphan

3xI cth 

Page 11: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 11/30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia,

sehingga tubuh tidak mampu lagi melindungi. HIV adalah singkatan dari  Human

 Immunodeficiency Virus dan AIDS adalah singkatan dari  Acquired Immunodeficiency Syndrome

yaitu suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh

yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang

merupakan hasilakhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Wilson, 2005).

2.2 Epidemiologi

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV

yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada

 pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang

dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna

narkotika, pekerja seks komersil, dan pelanggannya, serta narapidana.

 Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik

kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar odha

 berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase

 penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika makin meningkat. Beberapa bayi yang

terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan

heteroseksual.

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia.

Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah

kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat

 peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai

dengan akhir maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih

sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Depkes RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah

 penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.

Page 12: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 12/30

  Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang makin

nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang merupakan pengguna

narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.

Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya juga

tampakanya semakin luntur. Pengaruh teman sebaya ( peer group) tampaknya lebih menonjol.

Pengguna narkotik suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular virus HIV atau bibit

 penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik

secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu

 jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey

sentinel yang dilakukan RSKO di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus HIV pada pengguna

narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat

menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survey di sebuah

kelurahan di Jakarta pusat yang dilakukan oleh yayasan pelita ilmu menunjukkan pengguna

narkotika 93% terinfeksi HIV.

2.3 Etiologi dan Patogenesis

HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae, Retrovirus berdiameter 70-

130 mm. Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun. Virion HIV matang memiliki bentuk

hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak

mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein; gp120 dan gp41.

Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam

membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24.

Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul  performed reverse

transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk.  Reverse transcriptase adalah enzim

yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran.

Penularan utama HIV dapat melalui beberapa cara yaitu melalui hubungan seksual,

 pemindahan darah atau produk darah, proses penyuntikkan dengan alat-alat yang terkontaminasi

darah dari penderita HIV dan juga melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Sekali terinfeksi,

maka orang tersebut akan tetap terinfeksi dan dapat menjadi infeksius bagi orang lain.

Page 13: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 13/30

1. Penularan seksual

Penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling tuama di seluruh dunia, yang

 berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV. Penularan seksual ini dapat terjadi

dengan hubungan seksual genitogenital ataupun anogenital antara heteroseksual ataupun

homoseksual. Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika

dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif.

2. Transfusi darah dan produk darah

HIV dapat ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan

faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah

dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan pada masa

sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi.

3. Penyalahgunaan obat intravena

Pengguna jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan

 prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika

 jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui pelacuran dan transmisi

vertikal kepada anak mereka.

4. Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan

data yang didapat dari 25 penelitian rertrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan rata-

rata risiko transmisi setelah tusukan jarum maupun paparan perkutan lainnya sebesar 0,32% atau

terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan dan setelah paparan melalui mukosa sebesar

0,09%.

5. Maternofetal

Page 14: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 14/30

  Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah ataupun produk darah

atau dengan penguunaan jarum suntik secara berulang. Sekarang ini, hampir semua anak yang

menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir

sepertiga anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terifeksi HIV. Peningkatan

 penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara

transplansental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal.

6. Pemberian ASI

Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di negara maju,

ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI kepada bayinya.

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul

reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah limfosit T helper positif, atau sel

T4 (limfosit CD4+. Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat

memperantarai fusi membran virus ke membran sel.

Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4

diperlukan, agar gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini

menybabkan perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran.

Individu yang mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap

timbulnya AIDS, walaupun berulang kali terpajan HIV (sekritar 1% orang amerika ketrunan

kaukasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini tidak terlindung dari AIDS, tetapi

awwitan penyakit agak melambat.

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag.

Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak

dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia,

seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, selmikroglia dan berbagai jaringan tubuh.

Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks

yang apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang

Page 15: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 15/30

terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau

mungkin mengalami proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus.

HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa oleh sel

dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menimbulkan viremia dan

 penyebaran virus yang meluas pada jaringan limfoid. Viremia tersebut dikendalikan oleh respon

imun pejamu, kemudian pasien memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada

sel T maupun makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap bertahan. Pada tempat itu

 berlangsung pengikisan terhadap sel CD4+ melalui infeksi sel yang produktif. Jika sel CD4+

yang tidak hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+ menurun dan pasien mengalami

gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga ditumpangi virus, makrofag tidak dilisiskan

oleh HIV-1, dapat mengangkut virus ke berbagai jaringan, terutama ke otak.

Gambar 1. Patogenesis HIV

Page 16: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 16/30

2.4 Gejala Klinis

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan

sistem imun:

1. Fase akut

Fase ini ditandai dengan gejala non spesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam

dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase ini terdapat produksi virus dalam jumlah besar,

viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan

 berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah terjadi, muncul respon imun spesifik terhadap virus

yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu

setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus.

Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun berkurangnya

 jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan

terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.

2. Fase kronis

Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar

sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak

menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang

mengalami infeksi oportunistik ringan, seperti sariawan (candida) atau herpes zoster.

Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan

disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem

imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode

 panjang dan beragam pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan

 jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat.

3. Fase kritis

Tahap akhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan,

 peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami

demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+

Page 17: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 17/30

menurun dibawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para°pasien

mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis

(disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS

tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang

terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap

AIDS.

Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak terapi, akan berkembang

menimbulkan gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.

1. Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling

sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:

a. Demam terus menerus lebih dari 37°C

 b. Kehilangan berat badan 10 % atau lebih

c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar

daerah inguinal.

d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.

2. Gejala Neurologi

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beraneka ragam seperti kelemahan otot,

kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis dan

dapat sampai koma (gejala radang otak).

3. Gejala Infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh penderita sudah sangat

lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:

a. Pneumocystic carinii pnemonia (PCP)

Page 18: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 18/30

  PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%).

Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak menimbulkan

sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai menyerang paru-paru

yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah batuk kering, demam, dan

sesak napas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan

ditemukannya  P. carinii  pada bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase

 bronkoalveolar.

 b. Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium tuberculosis  pada penderita AIDS sering mengalami penyebaran

luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap OAT yang biasa.

Gambaran klinis TB pada penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TB umumnya. Hal

ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman. Diagnosis ditegakkan

 berdasarkan hasil kultur.

c. Toksoplasmosis

Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii,

yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai

kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.

d. Infeksi mukokutan

Herpes simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oral merupakan penyakit paling sering

ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa jenis secara bersama. Sifat

kelainan mukokutan ini persisten dan respon terhadap pengobatan lambat sehingga sering

menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya.

4. Gejala Tumor

Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalah Sarkoma kaposi dan

limfoma maligna non-Hodgkin.

Secara umum, menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV, terdapat

 beberapa gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV

Page 19: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 19/30

 

Page 20: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 20/30

 

Gambar 2. Perjalanan penyakit HIV

2.5 Diagnosis

Karena terdapat banyak negara berkembang yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan

serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS

sebagai berikut:

Dewasa

Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala

minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui seperti kanker,

malnutrisi berat, atau sebab lainnya.

Gejala Mayor

-  Penurunan berat badan >10% per bulan

-  Diare kronis lebih dari 1 tahun

-  Demam lebih dari 1 bulan

Gejala Minor

-  Batuk selama lebih dari 1 bulan

Page 21: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 21/30

-  Pruritus dermatitis menyeluruh

-  Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster

-  Kandidiasis orofaringeal

-  Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas

-  Limfadenopati generalisata

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis

dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain penderita.

1. ELISA ( Enzyme linked immunosorbent assay)

ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas

yang tinggi yaitu 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes

ELISA telah menggunakan antigen rekombinan yang sangat spesifik terhadap envelope dan core

2. Western Blot

Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein

dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang

digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120

dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Namun pemeriksaan

cukup sulit, mahal mmebutuhkan waktu sekitar 24 jam.

3. PCR ( Polymerase Chain Reaction)

Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih

ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu

yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab

sensitifitas ELISA rendah untuk HIV-2.

Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan immunophenotyping yaitu dengan

 flowcytometri dan cell sorter. Prinsip  flowcytometri dan cell sorting ( fluorescence activetd cell

 sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifikasi karakteristik

setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut

Page 22: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 22/30

karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas

sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang

dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada

 permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan

satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis

dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populsi campuran.

Gambar 3. Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa

Page 23: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 23/30

 

Gambar 4. Interpretasi dan tindak lanjut hasil pemeriksaan lab

Page 24: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 24/30

  WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu:

a. Stadium I

Bersifat asimptomatik, aktifitas normal dan dijumpai adanya limfadenopati generalisata

 b. Stadium II

Simptomatik, aktifitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit dan

mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus yang berulang,

keilitis angularis, herpes zoster, serta adanya infeksi saluran napas bagian atas.

c. Stadium III

Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktifitas di tempat tidur <50%, berat badan menuru

>10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demeam berkepanjangan lebih

dari 1 bulan, terdapat kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial

yang berat.

d. Stadium IV

Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktifitas di tempat tidur >50%, terjadi HIV

wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti pneumonia,

toksoplasmosis, diare kronis, dll.

2.6 Penatalaksanaan

Secara umum, pentalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV)

2. Pengobatan untuk mengatasi berbagi penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi

HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, dan kanker serviks.

3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan pengobatan

 pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan

menjaga kebersihan.

Page 25: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 25/30

  Menurut WHO, waktu diberikannya ARV dibagi dalam dua kategori, apakah ada

 perhitungan CD4 atau tidak. Penghitungan TLC dapat digunakan sebagai pengganti hitung CD4,

meskipun hal ini dianggap kurang bermakna pada pasien asimptomatis.

Ada perhitungan CD4

-  Stadium IV menurut kriteria WHO tanpa memandang hitung CD4

-  Stadium III menurut kriteria WHO dengan CD4 <350 sel/mm³

-  Stadium I-II menurut kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm³ 

Tidak ada perhitungan CD4

-  Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC

-  Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC

-  Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm³ 

Akan tetapi, menurut Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana HIV/AIDS di Indonesia, jika

tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada

 penilaian klinis. Sedangkan jika tersedia pemeriksaan CD4, terapi ARV dimulai pada semua

 pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm³ tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV juga

dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi hepatitis B tanpa

memandang jumlah CD4. Berikut jenis ARV:

Page 26: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 26/30

 

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau

diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat di tabel dibawah ini.

Panduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama ARV adalah 2NRTI + 1

 NNRTI. Mulailah terapi ARV dengan salah satu dari paduan dibawah ini:

Page 27: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 27/30

 

Adapun penggunaan ARV bagi pasien yang koinfeksi dengan TB seperti pada kasus ini adalah:

Page 28: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 28/30

Untuk pemantauan selama pengobatan dengan ARV, dilakukan prosedur berikut:

Page 29: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 29/30

BAB III

PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, telah tampak riwayat dan

hasil pemeriksaan yang mengarah ke diagnosis HIV. Riwayat pasien yang merupakan pengguna

narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dapat diduga sebagai cara penularan virus

HIV ke tubuh pasien. Meskipun riwayat menggunakan narkoba jarum suntik terjadi 5 tahun

sebelum gejala klinis timbul, akan tetapi sesuai dengan perjalanan penyakit HIV, terdapat fase

laten dimana keadaan masih asimptomatis sehingga gejala klinis baru timbul setelah beberapa

tahun.

Gejala klinis pada pasien ini, sesuai dengan proses perjalanan penyakit HIV. Di mana di

tahun 2010, yang diduga merupakan awal fase simptomatis, pasien mengeluh terdapat

 pembengkakan kelenjar getah bening, dan didiagnosis TB paru. Walaupun telah melakukan

 pengobatan selama 6 bulan, namun TB paru pada pasien tidak benar-benar sembuh. Gejala lain

seperti pruritus atipik yaitu gatal-gatal di seluruh tubuh juga dirasakan pasien. Hingga akhirnya

dalam kurun waktu 2 tahun terakhir keluhan lain berupa kandidiasis oral dan diare kronik juga

dialami pasien. Jika disesuaikan dengan gejala, maka pasien ini telah memasuki fase kronis

 penyakit, yang mana sebentar lagi akan memasuki fase kritis.

Karena pasien merupakan pasien HIV yang koinfeksi dengan TB, maka penatalaksanaan

 pasien ini disesuaikan dengan panduan diagnosis dan penatalaksanaan pada pasien HIV dengan

TB yaitu dengan menggunakan regimen Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz. Selain itu, pada

 pasien ini juga tetap diberikan pengobatan TB. Dimana di dalam kasus ini tetap diberikan INH,

Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol.

Page 30: manajemen kasus HIV.docx

8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx

http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 30/30

BAB IV

KESIMPULAN

1. HIV adalah singkatan dari  Human Immunodeficiency Virus dan AIDS adalah

singkatan dari  Acquired Immunodeficiency Syndrome yaitu suatu kumpulan gejala

 penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh

virus HIV.

2. HIV dapat menular melalui jalur seksual baik homoseksual maupun heteroseksual, dan

dapat juga menular melalui non seksual seperti penggunaan jarum suntik, maternofetal,

 pemberian ASI, dan transfusi darah.

3. Gejala klinis yang timbul sesuai dengan perjalanan penyakit, dapat berupa asimptomatik,

simptomatik, gejala penyakit oportunistik, hingga stadium akhir yaitu AIDS.

4. Pada pasien ini gejala dan penyakit yang timbul pada pasien adalah TB paru aktif,

 pruritus atipik, kandidiasis oral, berat badan yang terus turun, dan diare kronik.

5. Pasien ini sebaiknya diterapi sesuai dengan panduan diagnosis dan penatalaksanaan ARV

di Indonesia yaitu menggunakan regimen Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz

(AZT/TDF) + 3TC + EFV karena pasien merupakan pasien HIV yang koinfeksi dengan

TB.