Manajemen Kasus Obstetri

download Manajemen Kasus Obstetri

of 17

Transcript of Manajemen Kasus Obstetri

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    1/17

    Manajemen Kasus Obstetri

    Premature Rupture of Membranes (PROM)

    Disusun Oleh:

    Nama : Syariifuddin Irfan Adi Kusuma

    NIM : 08711068

    Pembimbing : dr. H. Kukuh Hariyanto, Sp.OG

    dr. Sigit Darmadi, Sp.OG

    dr. Farida Chasidijah, Sp.OG

    PENDIDIKAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

    DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

    RSUD DR. SOEROTO NGAWI

    SEPTEMBER 2013

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    2/17

    BAB I

    LAPORAN KASUSI. Identitas Pasien

    Nama (Inisial) : S

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Usia : 22 tahun

    Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

    Alamat : Gondang 03/02, Rejomulyo, Ngawi.

    Status : MenikahNomor Register : 138278

    Tanggal Pemeriksaan : 27 September 2013 (Pukul 09.15 WIB)

    II. AnamnesisKeluhan Utama

    Keluar cairan jernih dari vagina

    Riwayat Penyakit Sekarang

    Pasien masuk rumah sakit rujukan bidan dengan diagnosis G2P0A1

    33/34 minggu KPP.

    Pasien mengeluhkan keluar air melalui vagina sejak pukul 02.00 (27-09-

    2013). Keluhan tersebut tiba-tiba muncul ketika pasien sedang

    beristirahat. Air yang keluar dari vagina berwarna jernih. Air tersebut

    terus-menerus merembes keluar dari vagina. Pasien menyangkal keluhan

    kenceng-kenceng pada perut. Keluhan keluar lendir darah yang keluar

    dari vagina disangkal. Gerakan janin dirasakan sering, tidak berkurang

    atau melemah. Keluhan demam disangkal.

    Riwayat Menstruasi:

    Menarche: kurang lebih usia 14 tahun Siklus menstruasi: 29 hari Lama menstruasi: 3-4 hari HPHT: 05-02-2013 HPL: 12-11-2013

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    3/17

    Riwayat Perkawinan: Menikah satu kali selama kurang lebih 3 tahun

    Riwayat Kehamilan dan Persalinan:

    I. Usia kehamilan 2 bulan/ Abortus/ Kuretage tahun 2011II. Kehamilan ini

    Riwayat Antenatal Care (ANC):

    ANC di bidan 6 kali, tidak didapatkan kelainan. Belum pernah ANC di Sp.OG dan belum pernah melakukan

    pemeriksaan USG

    Riwayat Penggunaan Kontrasepsi:

    Belum pernah menggunakan alat kontrasepsiRiwayat Penyakit Dahulu:

    Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal Riwayat penyakit gula disangkal Riwayat alergi dan asma disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal

    III. Pemeriksaan FisikKeadaan Umum: Baik

    Kesadaran: Compos Mentis, GCS: E4 V5 M6

    Tanda Vital:

    Tekanan Darah: 120/70 mmHg Nadi : 80 kali per menit regular, kuat Respirasi : 20 kali per menit regular Suhu : 36,8 celcius

    Berat Badan: 63 kg

    Tinggi Badan: 158 cm

    Kepala: Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tidak nampak

    sianotik.

    Leher: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tekanan vena

    jugular normal, kelenjar tiroid tidak nampak membesar.

    Thorax:

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    4/17

    Cor: S1-S2 regular, tidak terdengar bunyi jantung S3, S4,maupun murmur

    Pulmo: Sonor pada seluruh lapang paru, vesikular pada seluruhlapang paru, tidak terdengar ronki maupun wheezing.

    Ekstremitas: tidak terdapat edema, CRT 2 detik

    STATUS OBSTETRIK

    Inspeksi:

    Perut membuncit membujur dengan striae gravidarum Tidak nampak bundle ring Tidak nampak luka bekas operasi Caesar

    Palpasi:

    Tinggi Fundus Uteri: 26 cm Pemeriksaan Leopold

    I.Teraba bagian bulat dan lunak (kesan bokong)II.Teraba bagian keras panjang (kesan punggung) bagian kanan

    dan bagian kecil di sebelah kiri

    III.Teraba bagian bulat keras (kesan kepala)IV.Bagian terbawah janin belum masuk panggul.

    Osborn tes negatif HIS negatif

    Auskultasi:

    Denyut jantung janin 12-12-11 (154 kali per menit) Punctum maksimum pada abdomen bagian bawah kanan

    Pemeriksaan dalam (Vaginal Toucher):

    Pembukaan serviks 1 cm Effacement kurang dari 25 % Posisi porsio medial Ketuban tidak teraba Bagian terbawah janin masih tinggi, presentasi dan denominator

    sulit dievaluasi

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    5/17

    Pemeriksaan kertas lakmus positif (membiru)Ukuran Panggul Dalam

    Promontorium sacrum tidak teraba Spina ischiadica: tidak menonjol Lengkung sacrum: cukup Kesan panggul tidak sempit

    Pemeriksaan spekulum steril idak dilakukan

    IV. Pemeriksaan PenunjangLaboratorium:

    Leukosit: 8,7 Hemoglobin: 12,3 Trombosit: 220

    V. Rencana Pemeriksaan Penunjang1) Pemeriksaan USG guna evaluasi usia gestasi, posisi janin, letak

    plasenta, taksiran berat janin dan Amnion Fluid Indeks (AFI)

    2) Non Stress Test (NST) guna evaluasi kondisi janinVI. Diagnosis

    G2P0A1 33 minggu 6 hari tunggal hidup intrauterine + Letak Kepala +

    Ketuban Pecah Prematur + Riwayat Obstetri Jelek + Taksiran berat janin

    2015 gram

    VII. Penatalaksanaan Bed rest Dexamethasone 2 x 16 mg intravena selang 24 jam Cefotaxim 3 x 1 gram intravena Monitoring suhu rektal setiap 3 jam Monitoring keluhan, tanda vital, HIS, DJJ

    VIII.PrognosisDubia et bonam

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    6/17

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKAI. Definisi

    Selaput amnion atau selaput ketuban merupakan jaringan avaskular

    yang menyelubungi cairan amnion. Selaput ini bersifat lentur namun kuat.

    Bagian dalam dari selaput yang berhubungan langsung dengan cairan

    amnion merupakan jaringan sel kuboid yang berasal dari ektoderm.

    Lapisan ini memiliki mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan

    metabolik. Lapisan selaput amnion bagian dalam juga berfungsi untukmenghasilkan zat penghambat metalloproteinase-1. Bagian luar dari

    selaput amnion merupakan jaringan mesenkim yang berasal dari

    mesoderm. Lapisan ini berfungsi menghasilkan kolagen sehingga selaput

    menjadi lentur dan kuat. Selain itu, lapisan ini juga menghasilkan sitokin

    IL-6 (interleukin-6), IL-8, dan MCP-1 (monosit chemoattractant protein-

    1). Zat ini berfungsi untuk melawan bakteri. Lapisan ini juga berperan

    dalam mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh darah lokal dengan

    menghasilkan zat vasoaktif seperti endotelin-1 dan PHRP (parathyroid

    hormone related protein).

    Gambar 1. Lapisan Selaput Amnion (disadur dariwww.nature.com)

    http://www.nature.com/http://www.nature.com/http://www.nature.com/http://www.nature.com/
  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    7/17

    Ketuban pecah prematur atau premature rupture of membranes

    (PROM) merupakan rupturnya selaput amnion yang terjadi sebelum

    adanya tanda-tanda persalinan. Apabila selaput ketuban ruptur sebelum

    usia kehamilan 37 minggu maka disebut ketuban pecah prematur preterm

    ataupreterm premature rupture of membranes (PPROM). Istilah ketuban

    pecah prematur memanjang mengacu pada ketuban pecah prematur yang

    bertahan 24 jam atau lebih sampai onset persalinan.

    II. EpidemiologiKejadian ketuban pecah prematur berkisar antara 3% sampai 18%

    dari seluruh kehamilan. Variasi yang luas ini disebabkan oleh adanya

    perbedaan definisi (dengan atau tanpa fase laten) dan variasi insiden yang

    berbeda pada populasi yang berbeda. Sekitar 5-10% dari kehamilan aterm

    mengalami ketuban pecah prematur. Hampir 30-40% persalinan preterm

    disebabkan oleh ketuban pecah prematur. Sedangkan prevalensi ketuban

    pecah prematur preterm adalah sekitar 2% dari seluruh kehamilan, dan

    25% dari seluruh kasus ketuban pecah prematur. Hal ini juga berkaitan

    dengan meningkatnya risiko morbiditas pada ibu ataupun janin.

    Komplikasi seperti korioamnionitis dapat terjadi sampai 30% dari kasus

    ketuban pecah prematur, sedangkan solusio plasenta berkisar antara 4-

    7%. Komplikasi pada janin berhubungan dengan kejadian prematuritas,

    dimana 80% kasus ketuban pecah prematur preterm akan bersalin dalam

    waktu kurang dari 7 hari. Risiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun

    bayi. Insiden korioamnionitis 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan, 3-15%

    pada ketuban pecah prematur memanjang, 15-25% pada ketuban pecah

    prematur preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah prematur < 24

    minggu. Sedangkan insiden sepsis neonatus 1 dari 500 bayi dan 2-4%

    pada ketuban pecah prematur memanjang.

    III. Faktor PredisposisiMembran amnion yang normal sangat kuat pada awal kehamilan.

    Adanya peregangan membran akibat pertumbuhan fetus, munculnya

    kontraksi uterus dan gerakan janin, memegang peranan dalam

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    8/17

    melemahnya membran amnion. Ketuban pecah prematur pada kehamilan

    aterm merupakan variasi fisiologis, namun pada kehamilan preterm

    melemahnya membran merupakan proses yang patologis. Ketuban pecah

    prematur sebelum kehamilan aterm sering diakibatkan oleh adanya

    infeksi. Faktor predisposisi terjadinya ketuban pecah prematur adalah:

    1) InfeksiAdanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah

    cukup untuk melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila

    terdapat bakteri patogen di dalam vagina maka frekuensi amnionitis,

    endometritis, dan infeksi neonatus akan meningkat 10 kali.

    2) Defisiensi Vitamin CVitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan

    kolagen. Selaput ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan

    mempunyai elastisitas yang berbeda tergantung kadar vitamin C

    dalam darah ibu.

    3) Faktor Selaput KetubanPecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang

    berlebihan atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam

    kavum amnion, di samping juga ada kelainan selaput ketuban itu

    sendiri. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya

    dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin.

    4) Faktor Usia dan ParitasParitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya

    ketuban pecah prematur, karena makin tinggi paritas ibu akan makin

    mudah terjadi infeksi cairan amnion akibat rusaknya struktur serviks

    akibat persalinan sebelumnya.

    IV. PatogenesisPecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh

    melemahnya selaput ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    9/17

    yang berulang. Dalam sebuah penelitian didapatkan bahwa daya regang

    selaput ketuban yang diperiksa setelah persalinan normal lebih rendah

    jika dibandingkan dengan selaput dari seksio sesarea tanpa tanda inpartu.

    Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan

    degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput ketuban.

    1) InfeksiInfeksi dapat menyebabkan ketuban pecah prematur melalui beberapa

    mekanisme. Beberapa flora vagina termasuk Streptokokus grup B,

    Stafilokokus aureus, dan Trikomonas vaginalis mensekresi protease

    yang akan menyebabkan terjadinya degradasi membran dan akhirnya

    melemahkan selaput ketuban. Respon terhadap infeksi berupa reaksi

    inflamasi akan merangsang produksi sitokin, MMP, dan

    prostalglandin oleh netrofil PMN dan makrofag. Interleukin-1 dan

    tumor nekrosis faktor yang diproduksi oleh monosit akan

    meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion.

    2) HormonProgesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks

    ekstraseluler pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini didapatkan

    menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan

    konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks dari kelinci percobaan.

    Tingginya konsentrasi progesteron akan menyebabkan penurunan

    produksi kolagenase pada babi walaupun kadar yang lebih rendah

    dapat menstimulasi produksi kolagen. Ada juga protein hormon

    relaxin yang berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat

    diproduksi secara lokal oleh sel desidua dan plasenta. Hormon ini

    mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh

    progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan

    MMP-9 dalam membran janin. Aktivitas hormon ini meningkat

    sebelum sebelum persalinan pada selaput ketuban manusia saat aterm.

    Peran hormon-hormon tersebut dalam patogenesis pecahnya selaput

    ketuban belum dapat sepenuhnya dijelaskan.

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    10/17

    3) Kematian Sel TerprogramPada ketuban pecah prematur aterm ditemukan sel-sel yang

    mengalami kematian sel terpogram (apoptosis) di amnion dan korion

    terutama disekitar robekan selaput ketuban. Pada korioamnionitis

    telihat sel yang mengalami apoptosis melekat dengan granulosit, yang

    menunjukkan respon imunologis mempercepat terjadinya kematian

    sel. Kematian sel yang terprogram ini terjadi setelah proses degradasi

    matriks ekstraseluler dimulai, menunjukkan bahwa apoptosis

    merupakan akibat dan bukan penyebab degradasi tersebut. Namun

    mekanisme regulasi dari apoptosis ini belum diketahui dengan jelas.

    4) Peregangan Selaput KetubanOverdistensi uterus seperti pada polihidramnion dan kehamilan

    multipel dapat meningkatkan risiko ketuban pecah prematur.

    Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor di

    selaput ketuban seperti prostalglandin E2 dan interleukin-8. Selain itu

    peregangan juga merangsang aktivitas MMP-1 pada membran.

    Interleukin-8 yang diproduksi dari sel amnion dan korionik bersifat

    kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang aktifitas kolegenase.

    Hal-hal tersebut akan menyebabkan terganggunya keseimbangan

    proses sintesis dan degradasi matriks ektraseluler yang akhirnya

    menyebabkan pecahnya selaput ketuban.

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    11/17

    Gambar 2. Diagram Skematik Patogenesis PROM

    V. DiagnosisPasien dengan ketuban pecah prematur umumnya datang dengan

    keluhan keluarnya cairan dalam jumlah cukup banyak secara mendadak

    dari vagina. Mungkin juga pasien merasakan cairan yang merembes

    terus-menerus atau kesan basah pada vagina atau perineum. Pemeriksaan

    yang terbaik untuk membantu menegakkan diagnosis adalah melaluiobservasi langsung keluarnya cairan amnion dari lubang vagina dengan

    pemeriksaan inspekulo.

    Pemeriksaan spekulum juga penting untuk mengevaluasi adanya

    dilatasi dan penipisan serviks. Ketika telah diduga terjadi ketuban pecah

    prematur maka sebaiknya pemeriksaan serviks digital (vaginal touche)

    dihindari karena pemeriksaan tersebut telah terbukti meningkatkan

    morbiditas dan mortalitas. Pemeriksaan serviks digital juga terbukti

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    12/17

    menyebabkan penurunan rata-rata sembilan hari periode

    laten. Memperpendek periode laten dapat menyebabkan peningkatan

    morbiditas infeksi dan sekuel persalinan prematur.

    Cairan yang menggenang pada forniks posterior, atau cairan yang

    keluar dari ostium serviks saat pasien batuk atau ketika fundus uteri

    ditekan merupakan tanda adanya ketuban yang sudah pecah. Metode

    diagnostik menggunakan kertas nitrazine (lakmus) dan tes ferning

    memiliki sensitivitas mendekati 90 persen. Vagina normal memiliki pH

    antara 4,5 - 6,0 sedangkan cairan ketuban bersifat lebih alkalis dengan pH

    7,1 sampai 7,3. Kertas Nitrazine akan berwarna biru ketika pH di atas 6,0,

    namun, adanya zat kontaminasi (misalnya, darah, air mani, atau antiseptik

    basa) juga dapat menyebabkan kertas nitrazine membiru, sehingga

    memberikan hasil positif palsu. Vaginosis bakteri dapat menghasilkan

    hasil yang serupa. Selain pemeriksaan nitrazine dapat pula dilakukan tes

    ferning. Metode diagnostik ini dilakukan dengan menganalisa cairan pada

    forniks posterior yang telah dikering pada slide, kemudian diperiksa

    bawah mikroskop. Gambaran mikroskopis cairan ketuban adalah seperti

    daun pakis (fernpattern).

    Gambar 3. Gambaran Mikroskopis Cairan Ketuban

    Pada kasus-kasus yang tidak biasa dimana dari riwayat penyakit

    pasien menunjukkan gejala ketuban pecah prematur, tetapi temuan

    pemeriksaan fisik gagal untuk mengkonfirmasi diagnosis, ultrasonografi

    (USG) dapat membantu. Bahkan ketika USG tidak diperlukan untuk

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    13/17

    mengkonfirmasi diagnosis, USG sangat bermanfaat untuk membantu

    menentukan posisi janin, letak plasenta, perkiraan berat janin dan ada

    atau tidaknya anomali pada janin.

    VI. Penatalaksanaan

    Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan PROM

    (American Congress of Obstetricians and Gynecologists)

    Kortikosteroid

    Kortikosteroid menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal

    setelah ketuban pecah prematur preterm. Sebuah meta-analisis terbaru

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    14/17

    menemukan bahwa pemberian kortikosteroid pada ketuban pecah

    prematur preterm, dibandingkan dengan tidak memberikan kortikosteroid,

    mengurangi risiko sindrom distres pernapasan (20 vs 35,4 persen),

    perdarahan intraventrikular (7,5 vs 15,9 persen), dan necrotizing

    enterocolitis (0,8 vs 4,6 persen) tanpa meningkatkan risiko infeksi ibu

    atau bayi baru lahir. Regimen yang paling banyak digunakan dan

    direkomendasikan meliputi betametason intramuskular (Celestone) 12 mg

    setiap 24 jam selama dua hari, atau deksametason intramuskular

    (Decadron) 6 mg setiap 12 jam selama dua hari. Pemberian kortikosteroid

    setelah usia kehamilan 34 minggu tidak dianjurkan kecuali ada bukti

    imaturitas paru janin dengan amniosentesis. Pemberian melebihi dosis

    regimen tersebut tidak dianjurkan karena penelitian telah menunjukkan

    bahwa pemberian kortikosteroid yang berlebih dapat mengakibatkan

    penurunan berat badan bayi lahir, lingkar kepala, dan panjang tubuh.

    Antibiotik

    Pemberian antibiotik untuk pasien dengan ketuban pecah prematur

    dapat mengurangi infeksi neonatal dan memperpanjang periode

    laten. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa pasien yang menerima

    antibiotik setelah ketuban pecah prematur, dibandingkan dengan mereka

    yang tidak menerima antibiotik mengalami penurunan endometritis

    postpartum, korioamnionitis, sepsis neonatorum, pneumonia neonatal,

    dan perdarahan intra-ventrikular. Meta analisis lain menemukan

    penurunan perdarahan intra-ventrikular dan sepsis pada

    neonatus. Terdapat sejumlah regimen antibiotik yang dianjurkan untuk

    digunakan setelah ketuban pecah prematur. Regimen yang dianjurkan

    oleh American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)

    adalah kombinasi 2 gram ampisilin dan 250 mg eritromisin intravena

    setiap enam jam selama 48 jam, diikuti dengan 250 mg amoksisilin dan

    333 mg eritromisin setiap delapan jam selama lima hari. Wanita yang

    diberikan kombinasi ini lebih cenderung untuk tetap hamil selama tiga

    minggu meskipun penghentian antibiotik setelah tujuh hari.

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    15/17

    VII.KomplikasiKetuban pecah prematur dapat menimbulkan komplikasi yang

    bervariasi sesuai dengan usia kehamilan. Kurangnya pemahaman

    terhadap kontribusi dari komplikasi yang mungkin timbul dengan

    peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal bertanggung jawab

    terhadap kontroversi dalam penatalaksanaannya. Beberapa komplikasi

    yang berhubungan dengan ketuban pecah prematur antara lain:

    1) InfeksiRisiko infeksi meningkat baik pada ibu maupun bayi. Infeksi pada ibu

    dapat berupa ascending infection yang insidennya sekitar 30% dan

    korioamnionitis. Insiden korioamnionitis bervariasi sesuai dengan

    populasi. Insidensinya 0,5-1,5% dari seluruh kehamilan, 3-15% pada

    ketuban pecah prematur memanjang, 15-25% pada ketuban pecah

    prematur preterm dan mencapai 40% pada ketuban pecah prematur

    dengan usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Sedangkan insiden

    sepsis neonates adalah 1 dari 500 bayi dan 2-4% pada ketuban pecah

    prmatur memanjang.

    2) Persalinan pretermPada kehamilan aterm 90% kasus akan bersalin dalam 24 jam.

    Sedangkan pada ketuban pecah prematur dengan usia kehamilan 28-

    34 minggu, 50% melahirkan dalam 24 jam, 80-90% dalam waktu

    seminggu. Sebelum 26 minggu, 50% akan melahirkan dalam waktu

    seminggu.

    3) Hipoksia dan atau asfiksia sekunder akibat penekanan tali pusat danatau solusio plasenta.

    4) Peningkatan persalinan perabdominal dengan Apgar skor lima menitpertama yang rendah.

    5) Oligohidramnion, menyebabkan hipoplasia paru pada neonatus.6) Peningkatan insiden retensio plasenta, dan kejadian perdarahan

    postpartum primer ataupun sekunder.

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    16/17

    7) Pecahnya vasa previa dapat menyebabkan kematian janin antara 33-100%

  • 7/27/2019 Manajemen Kasus Obstetri

    17/17

    Daftar Pustaka

    Allahyar., Jazayeri., Smith, C., 2013. Premature Rupture of Membranes.http://www.emedicine.medscape.com.

    Armstrong, C., 2008. ACOG Guidelines on Premature Rupture of Membranes.

    American Family Physician 77(2):245-246.

    Cunningham G.F., et al. 2010. Williams Obstetrics. 23rd ed. USA : McGraw-Hill

    Company.

    Medina., Tanya. M., dan Hill. D., 2006. Preterm Premature Rupture of

    Membranes: Diagnosis and Management. American Family Physician 73:

    659-664.

    Saifuddin, A.B., 2011. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

    Jakarta.

    Xavier. M., et al. 2008. Guideline for The Use of Antenatal Corticosteroids For

    Fetal Maturation. Journal of Perinatology Medicine 36: 191-196.

    http://www.emedicine.medscape.com/http://www.emedicine.medscape.com/