MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN
-
Upload
indra-adi-kusuma -
Category
Documents
-
view
23 -
download
6
description
Transcript of MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN
MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Juni 20, 2009 oleh agungrakhmawan
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif
meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan
meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut
pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara
psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati
kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam
kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua
pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa
telah terjadi malpraktek.
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan
tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan
yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari
definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga
kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah
bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of
treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan
hasil (resultaa verbintenis).
Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah
merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,harus dibuktikan apakah
perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh
atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang
hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara
yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
1. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak
berdasarkan
(1) Adanya indikasi medis
(2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
(3) Bekerja sesuai standar profesi
(4) Sudah ada informed consent.
1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
1. Direct Causation (penyebab langsung)
2. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak
dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.
gugatan pasien .
Upaya pencegahan malpraktek :
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk
daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat
melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment),atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men
rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga
yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi
sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien
atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil
malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res
ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang
kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
Malpraktek dan Pertanggungjawaban Hukumnya
Pendahuluan
Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran
masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan
saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak
persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat
menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah
yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan
hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap
pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang
disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai
sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma
hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang
tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam
perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-
betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan
berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang
memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan
ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang
pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien
memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila
salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur
pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut
pandang terhadap dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam
menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan
demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam
memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi
atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan
mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang
dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu
mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi
hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk
mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum
tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan
martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil
sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana
tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai
masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini
menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga
kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma
etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan
jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema
medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan
diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter
bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi
setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya.
Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni
(science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang
mendekati kebenaran.
Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh
dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian
sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran
sebagai malpraktek medik.
Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan
individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara
dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak
dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien.
Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian
terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar
yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan
dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari
transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya. Namun adakalanya hasil yang
dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan
pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan
dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang
demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai
malpraktek.
Jenis Malpraktek
1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan
seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan
teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan
kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan
diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih
cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini
antara lain :
Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana
dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk
memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa
tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan
diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi
pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji
pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan
malpraktek etik.
1. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi)
didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam
pelaksanaan dan hasilnya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa
syarat seperti :
Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan
kerugian yang diderita.
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka
pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum
ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena
kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat
tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan
operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada
dirinya.
1. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan
lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien
yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
1. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia
kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang
lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
1. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
1. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-
hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
1. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya,
manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat
catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal
pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang
tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak
memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya
paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus
normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van
Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan
dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan
luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan
pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin)
mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang
lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu
menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-
Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam
setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut
tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang
terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi
dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan
sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki
melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak.
Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap
harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan
menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan
tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang
berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya
hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum
“malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan
pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari
pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru
dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau
hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya
tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang
berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas
dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan
oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan,
sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang
semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di
Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk
Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan
dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul
dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang
No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya
hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek
yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran
barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan
pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh
itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang
kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan
nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat
ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam
melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam
pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai
penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena
menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam
mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik
melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI)
tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya
seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu
kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran
etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan
yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan
Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri
dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang
mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila
dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif,
karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya
sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi.
Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja
dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
Hukum Malpraktik di Indonesia
Berdasarkan penelusuran kami pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) ternyata
tidak terdapat kata malpraktik dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi hal yang Anda maksud
bisa memiliki makna apabila kata “mala” digabung dengan kata “praktik” sehingga
bermakna celaka yang diakibatkan dalam pelaksanaan pekerjaan (dokter, pengacara, dsb).
Hal serupa diutarakan oleh J. Guwandi dengan mengutip Black’s Law Dictionary,
sebagaimana kami sarikan dari buku Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi
Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek(Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.)
(hal. 23-24):
“Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam
ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap
tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan
pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan
kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari
profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima
pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu.
Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan
keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum,
praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.”
“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied
to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied
under all the circumstances in the community by the average prudent reputable
member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of
those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack
of skill or fidelity in professional or judiciary duties, evil practice, or illegal or immoral
conduct.”
Pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan
pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik justru
didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga
Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara perundang-undangan, menurut
Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H., ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga
Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik
dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka
terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip
dalam hal sebagai berikut:
a. melalaikan kewajiban;
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun
mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang
ini.
Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya kepada
suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan merujuk pada
ketentuan beberapa profesi yang ada, misalnya:
1. Dokter dan dokter gigi sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”);
2. Advokat sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU
Advokat”);
3. Notaris sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (“UU Jabatan Notaris”);
4. Akuntan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan
Publik (“UU Akuntan Publik”).
Setiap profesi yang telah kami sebutkan juga memiliki kode etik masing-masing sebagai
pedoman dalam menjalankan tugas profesi. Selain peraturan perundang-undangan, kode
etik biasanya juga dijadikan dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa apakah
ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.
Untuk profesi akuntan publik, selain kode etik, ditambah pula dengan Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP), yaitu acuan yang ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib
dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya (Pasal 1 angka 11 UU Akuntan
Publik). Seperti juga profesi akuntan publik, profesi dokter dan dokter gigi juga memiliki
peraturan disiplin profesional yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Atas segala ketentuan terkait pedoman profesi-profesi di atas (baik yang ada dalam
peraturan perundang-undangan maupun kode etik), terdapat pihak yang akan melakukan
pengawasan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran ketentuan profesi-profesi tersebut.
Biasanya terdapat organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi
profesi tersebut.
Untuk profesi advokat, pihak yang melakukan pengawasan dan dapat menjatuhkan sanksi
terhadap malpraktik advokat adalah Organisasi Advokat dan Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat (Pasal 26 UU Advokat). Sedangkan untuk profesi Notaris dilakukan oleh Majelis
Pengawas (Pasal 67 UU Jabatan Notaris), untuk profesi akuntan publik dilakukan oleh
Menteri Keuangan (Pasal 53 UU Akuntan Publik), dan untuk profesi dokter serta dokter
gigi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Pasal 1 angka 3
Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
Indonesia).
Organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi
biasanya akan menjatuhkan sanksi administratif kepada anggotanya yang terbukti
melanggar kode etik. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa ia dapat pula dikenakan
sanksi pidana apabila terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang masing-masing profesi.
Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga
dalam hal ini berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (“UUPK”). Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai
pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1)
UUPK berlaku pada mereka:
Pasal 19 ayat (1) UUPK:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi
profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap tindakan yang
terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan sanksi.
Dampak Hukum Malpraktek Kedokteran
Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di
dalam bidang professional. Tindakan malpraktik medik yang
melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya banyak
terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan
diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan
pasien atau gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien
dengan teliti dan cermat.Di beberapa negara maju seperti United
Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus malpraktik medik
juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat.
Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah
kasus malpraktik medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat
hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh berbeda
dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus
penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik
meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sejak
2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik –atau
bahasa awamnya malpraktek– yang terbukti dilakukan dokter di
seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah
melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi
selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin prakteknya dicabut
sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang enam bulan.
Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke konsil
kedokteran Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut
meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan
malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan
yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau
hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus malpraktek di
seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus
dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus
dilakukan dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus
yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam
pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga
menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. “Mereka kurang dalam
pendidikannya sehingga ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktekn atau
terjadi penyimpangan dari standar pelayanan atau penyimpangan dari ilmu
yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam bidang tertentu. Di
samping kasus malpraktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat
dokter ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktek di antaranya soal
komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, serta masalah
kompetensi dokter.
Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan
malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik
korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada
kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan
pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor
lainnya.
Definisi Malpraktek
Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law , “malpraktek bisa diakibatkan
karena sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam
pelaksanakan kewajiban professional, tindakan salah yang sengaja atau
praktek yang bersifat tidak etis”. Kasus malpraktik merupakan tindak
pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya
adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP,
kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun
akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian pada
orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di
karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah
memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang
terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling sering di bicarakan di
media-media diantaranya adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku
adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya
kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit
berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita hanya berbicara
tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang yang dirugikan. Dalam
pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni Internasional
tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan
medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-
temannya melalui media internet dan tanpa disangka hal ini membuat
Prita terlilit kasus pencemaran nama baik.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional
misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to
the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan
juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan,
perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice
involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment
of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”
3 Penyebab Terjadinya Malpraktik Kedokteran
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan
melakukan tindakan malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan
tindakan medisi sesuai dengan :
Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal
yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan,
kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.
Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat
instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu
proses kerja rutin tertentu.
Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan
informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap
pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami
oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin social-
contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-
regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa
profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang
melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap
profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan
perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi
maupun masyarakat luas (termasuk klien). Beberapa ciri profesionalisme
tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan
kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis
sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah
dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang
kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut
dapat terwujud.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,
serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan
pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud,
keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek
tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus
berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih
ke arah deliberate violation(berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya
berupa error (berkaitan dengan informasi).
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance,
misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang
melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya
melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis
tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis
yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu
misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-
bentuk error(mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun
pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum –
khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian.
Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan
dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,
sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada
dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan
sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu
(omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang
sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada
umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan
perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang
seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah
mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Undang-Undang No 29 tahun 2004
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan
untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan
perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,
dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004
mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang
dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang
diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan
memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan
kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota /
Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter,
sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di
atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil
Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan
Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.
Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang
penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan
praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP
(memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas
maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau
mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan
tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila
berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan
memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan
medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga
rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban
dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang
terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan
medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk
menyetujui atau menolak tindakan medis.
Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin
profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan
kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah
berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan
kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi
mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan
dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang
berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik
atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan
kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR
dan/atau SIP
Sistem Hukum Indonesia Yang mengatur malpraktek
Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis
kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan
bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No
23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36
Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No
585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008.
Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992,
UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009.
Serta UUPK memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya
hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia
tetapi berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri
Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan
Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No:
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun
1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga
kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur
hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam
struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan
menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah
pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992
tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui
Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.
56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang
bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter
dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat
otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari
unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi
dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila
dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat
diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari
para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga
cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya
yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK
dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan
kepentingan pasien.