MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

24
MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN Juni 20, 2009 oleh agungrakhmawan Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis). Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni : a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,

description

55

Transcript of MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

Page 1: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Juni 20, 2009 oleh agungrakhmawan

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator positif

meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan

meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi, diadukan atau bahkan dituntut

pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada

gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara

psikologis hal ini patut dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati

kebebasan otonomi paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam

kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua

pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa

telah terjadi malpraktek.

Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan

tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim

dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan

yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari

definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga

kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim

dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah

bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of

treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah

perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan

hasil (resultaa verbintenis).

Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah

merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam

membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.

Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,harus dibuktikan apakah

perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela

b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh

atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan

sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah

Page 2: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang

hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara

yakni :

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

1. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak

berdasarkan

(1)   Adanya indikasi medis

(2)   Bertindak secara hati-hati dan teliti

(3)   Bekerja sesuai standar profesi

(4)   Sudah ada informed consent.

1.  Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang

seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka

tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

1.  Direct Causation (penyebab langsung)

2.  Damage (kerugian)

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara

penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau

tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak

dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.

Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan

dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi

pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya

sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).

Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

Page 3: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory

negligence.

gugatan pasien .

Upaya pencegahan malpraktek :

1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya

malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk

daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).

b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.

f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

2. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat

menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau

keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.

Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat

melakukan :

a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang

diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat

mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of

treatment),atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men

rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada

doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur

pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung

jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga

Page 4: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.

Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi

sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan

perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien

atau pengacaranya harus membuktikan  dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat)

bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil

malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res

ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of

duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya

kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang

kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

Malpraktek dan Pertanggungjawaban Hukumnya

Pendahuluan

Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran

masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan

saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak

persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat

menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah

yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan

hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap

pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang

disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai

sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma

hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang

tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.

Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam

perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-

betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan

berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.

Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang

memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan

ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang

Page 5: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien

memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila

salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur

pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut

pandang terhadap dokter dengan pasiennya.

Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam

menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan

demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam

memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi

atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan

mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang

dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu

mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi

hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk

mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum

tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan

martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil

sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana

tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai

masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini

menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga

kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma

etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.

Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan

jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak

pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema

medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan

diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter

bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi

setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya.

Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni

Page 6: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

(science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang

mendekati kebenaran.

Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh

dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian

sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran

sebagai malpraktek medik.

Latar belakang timbulnya Malpraktek

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan

terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan

individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara

dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak

dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien.

Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian

terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar

yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan

dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari

transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.             Namun adakalanya hasil yang

dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan

pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan

dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang

demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai

malpraktek.

Jenis Malpraktek

1. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan

etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan

seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.

Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan

teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan

kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan

Page 7: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih

cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.

Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :

Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang

Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.

Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.

Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini

antara lain :

Dibidang diagnostic

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana

dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk

memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa

tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.

Dibidang terapi

Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan

diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi

pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji

pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan

malpraktek etik.

1. Malpraktek Yuridik

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :

1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi)

didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan

melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.

Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :

Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat

melaksanakannya.

Melakukan apa yang menurut  kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam

pelaksanaan dan hasilnya.

Page 8: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa

syarat seperti :

Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)

Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)

Ada kerugian

Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan

kerugian yang diderita.

Adanya kesalahan (schuld)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka

pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :

Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.

Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.

Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum

ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena

kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat

tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan

operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada

dirinya.

1. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)

Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan

lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien

yang meninggal dunia atau cacat tersebut.

1. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)

Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia

kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang

lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.

1. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)

Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta

melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

1. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)

Page 9: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-

hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.

1. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)

Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum

Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya,

manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat

catatan medik.

Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana

Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal

pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang

tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak

memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya

paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai

pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus

normal.

2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.

Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.

Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van

Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan

dikehendaki dan diketahui.

Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan

luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan

pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin)

mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah

setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang

lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu

menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-

Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam

setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut

tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang

Page 10: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi

dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.

Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan

sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki

melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak.

Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap

harus dipidanakan.

Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan

menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan

tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang

berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.

Penanganan Malpraktek di Indonesia

Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya

hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum

“malpraktek”.

Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan

pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari

pelanggaran etika kedokteran.

Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru

dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau

hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya

tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang

berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas

dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.

Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan

oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan,

sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang

semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.

Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di

Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk

Page 11: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan

dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul

dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law

penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang

No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya

hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek

yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran

barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan

pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh

itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang

kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan

nasional.

Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat

ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).

Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam

melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam

pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau

kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai

penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena

menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam

mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik

melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI)

tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya

seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu

kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi

Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran

etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan

yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya  kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh

Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan

Presiden (pasal 54 ayat 3).

Page 12: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis

Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau

kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri

dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang

mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila

dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif,

karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya

sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi.

Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja

dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

Hukum Malpraktik di Indonesia

Berdasarkan penelusuran kami pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) ternyata

tidak terdapat kata malpraktik dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi hal yang Anda maksud

bisa memiliki makna apabila kata “mala” digabung dengan kata “praktik” sehingga

bermakna celaka yang diakibatkan dalam pelaksanaan pekerjaan (dokter, pengacara, dsb).

 

Hal serupa diutarakan oleh J. Guwandi dengan mengutip Black’s Law Dictionary,

sebagaimana kami sarikan dari buku Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi

Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek(Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.)

(hal. 23-24):

 

“Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam

ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap

tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan

pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan

kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari

profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima

pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu.

Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan

keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum,

praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.”

 

“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied

to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering

professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied

under all the circumstances in the community by the average prudent reputable

member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of

Page 13: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack

of skill or fidelity in professional or judiciary duties, evil practice, or illegal or immoral

conduct.”

 

Pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan

pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik justru

didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga

Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23

Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara perundang-undangan, menurut

Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H., ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga

Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik

dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

 

Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka

terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip

dalam hal sebagai berikut:

a.    melalaikan kewajiban;

b.    melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh

seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun

mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;

c.    mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;

d.    melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang

ini.

 

Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya kepada

suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan merujuk pada

ketentuan beberapa profesi yang ada, misalnya:

1.    Dokter dan dokter gigi sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”);

2.    Advokat sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU

Advokat”);

3.    Notaris sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris (“UU Jabatan Notaris”);

4.    Akuntan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan

Publik (“UU Akuntan Publik”).

 

Setiap profesi yang telah kami sebutkan juga memiliki kode etik masing-masing sebagai

pedoman dalam menjalankan tugas profesi. Selain peraturan perundang-undangan, kode

Page 14: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

etik biasanya juga dijadikan dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa apakah

ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.

 

Untuk profesi akuntan publik, selain kode etik, ditambah pula dengan Standar Profesional

Akuntan Publik (SPAP), yaitu acuan yang ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib

dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya (Pasal 1 angka 11 UU Akuntan

Publik). Seperti juga profesi akuntan publik, profesi dokter dan dokter gigi juga memiliki

peraturan disiplin profesional yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia

No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

 

Atas segala ketentuan terkait pedoman profesi-profesi di atas (baik yang ada dalam

peraturan perundang-undangan maupun kode etik), terdapat pihak yang akan melakukan

pengawasan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran ketentuan profesi-profesi tersebut.

Biasanya terdapat organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi

profesi tersebut.

 

Untuk profesi advokat, pihak yang melakukan pengawasan dan dapat menjatuhkan sanksi

terhadap malpraktik advokat adalah Organisasi Advokat dan Dewan Kehormatan Organisasi

Advokat (Pasal 26 UU Advokat). Sedangkan untuk profesi Notaris dilakukan oleh Majelis

Pengawas (Pasal 67 UU Jabatan Notaris), untuk profesi akuntan publik dilakukan oleh

Menteri Keuangan (Pasal 53 UU Akuntan Publik), dan untuk profesi dokter serta dokter

gigi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Pasal 1 angka 3

Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran

Indonesia).

 

Organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi

biasanya akan menjatuhkan sanksi administratif kepada anggotanya yang terbukti

melanggar kode etik. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa ia dapat pula dikenakan

sanksi pidana apabila terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam

undang-undang masing-masing profesi.

 

Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga

dalam hal ini berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (“UUPK”). Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai

pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1)

UUPK berlaku pada mereka:

 

Pasal 19 ayat (1) UUPK:

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau

jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”

Page 15: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

 

Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi

profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap tindakan yang

terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan sanksi.

Dampak Hukum Malpraktek Kedokteran

Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di

dalam bidang professional. Tindakan malpraktik medik yang

melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya banyak

terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan

diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan

pasien atau gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien

dengan teliti dan cermat.Di beberapa negara maju seperti United

Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus malpraktik medik

juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat.

Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah

kasus malpraktik medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan

dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat

hingga pada tahun 1990-an. Keadaan di atas tidak jauh berbeda

dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus

penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik

meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.  Sejak

2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik –atau

bahasa awamnya malpraktek– yang terbukti dilakukan dokter di

seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah

melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi

selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin prakteknya dicabut

sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang enam bulan.

Page 16: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke konsil

kedokteran Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut

meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan

malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini pun tidak mendapatkan penanganan

yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa adanya sanksi atau

hukuman kepada petugas kesehatan terkait.  Dari 183 kasus malpraktek di

seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus

dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus

dilakukan dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus

yang dilaporkan. Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam

pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga

menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. “Mereka kurang dalam

pendidikannya sehingga ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktekn atau

terjadi penyimpangan dari standar pelayanan atau penyimpangan dari ilmu

yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam bidang tertentu. Di

samping kasus malpraktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat

dokter ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktek di antaranya soal

komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, serta masalah

kompetensi dokter.

Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan

malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik

korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada

kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan

pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor

lainnya.

Definisi Malpraktek

Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law , “malpraktek bisa diakibatkan

karena sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam

pelaksanakan kewajiban professional, tindakan salah yang sengaja atau

praktek yang bersifat tidak etis”. Kasus malpraktik merupakan tindak

pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya

adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP,

Page 17: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun

akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian pada

orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di

karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah

memberikan obat. Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang

terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling sering di bicarakan di

media-media diantaranya adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku

adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya

kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit

berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita hanya berbicara

tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang yang dirugikan. Dalam

pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni Internasional

tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan

medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan hal ini pada teman-

temannya melalui media internet dan tanpa disangka hal ini membuat

Prita terlilit kasus pencemaran nama baik.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional

misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering

professional services to exercise that degree of skill and learning commonly

applied under all the circumstances in the community by the average prudent

reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to

the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.

Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan

juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan,

perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis

menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice

involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment

of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the

patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

3 Penyebab Terjadinya Malpraktik Kedokteran

Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan

melakukan tindakan malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan

tindakan medisi sesuai dengan :

Page 18: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal

yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan,

kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.

Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat

instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu

proses kerja rutin tertentu.

Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan

informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap

pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami

oleh pasien.

Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin social-

contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-

regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa

profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang

melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap

profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan

perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi

maupun masyarakat luas (termasuk klien).  Beberapa ciri profesionalisme

tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan

kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis

sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang

ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah

dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang

kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut

dapat terwujud. 

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam

bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,

serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan

pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,

aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud,

keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek

tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.  Kesengajaan tersebut tidak harus

berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih

Page 19: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

ke arah deliberate violation(berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya

berupa error (berkaitan dengan informasi).

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance,

misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang

melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya

melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis

tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis

yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu

misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi

prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan

kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-

bentuk error(mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun

pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum –

khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian.

Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan

dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,

sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada

dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan

sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu

(omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang

sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada

umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan

perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang

seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah

mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Undang-Undang No 29 tahun 2004

Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan

untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan

perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu

pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,

dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004

mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang

Page 20: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang

diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan

memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan

kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota /

Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter,

sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan

ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di

atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil

Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan

Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.

Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang

penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan

praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP

(memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas

maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau

mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan

tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila

berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan

memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan

medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga

rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.

Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban

dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh

perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang

terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan

medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk

menyetujui atau menolak tindakan medis.

Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin

profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan

kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah

Page 21: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan

kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.

Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi

mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan

dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang

berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik

atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan

kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR

dan/atau SIP 

Sistem Hukum Indonesia Yang mengatur malpraktek

Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis

kasus malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan

bersandar pada beberapa dasar hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No

23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU No 29 Tahun 2004, UU No 36

Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan Menteri Kesehatan No

585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No

512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No

269/Menkes/Per/III/2008.

Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992,

UU No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009.

Serta UUPK memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya

hukum.

Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia

tetapi berkaitan dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri

Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan

Menteri Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan

Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No:

585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.

Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23

Tahun 1992 Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun

1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga

Page 22: MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN

kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur

hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis

Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam

struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan

menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah

pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992

tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau

tidaknya  kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin

Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui

Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.

56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang

bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter

dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat

otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari

unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi

dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila

dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat

diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari

para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga

cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya

yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK

dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan

kepentingan pasien.