Etika Medis Dan Malpraktek Dalam Layanan Kesehatan

19
Rencana dan Evaluasi Kesehatan Etika Medis dan Malpraktek dalam Layanan Kesehatan Disusun Oleh: FIANA FAIQOH 25010113130211

description

Tugas Matkul Renvalkes smt 4 FKM Undip

Transcript of Etika Medis Dan Malpraktek Dalam Layanan Kesehatan

Rencana dan Evaluasi KesehatanEtika Medis dan Malpraktek dalam Layanan Kesehatan

Disusun Oleh:

FIANA FAIQOH25010113130211

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATUNIVERSITAS DIPONEGORO2015Etika Medis dan Malpraktek dalam Layanan Kesehatan

Etika (Ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan, watak, perasaan, sikap, yang baik dan yang layak. Menurut Kamus Kedokteran (Kamali dan Pamuncak,1987),etikaadalah pengetahuan tentang perilaku yang benardalamsatu profesi. Etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti hak, tanggung jawab, dan kebaikan dan sifat seperti baik dan buruk (atau jahat), benar dan salah, sesuai dan tidak sesuai.Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan setidaknya sejak masa Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani yang dianggap sebagai pelopor etika kedokteran pada abad ke-5 SM,. Dari Hippocrates muncul konsep pengobatan sebagai profesi, dimana ahli pengobatan membuat janji di depan masyarakat bahwa mereka akan menempatkan kepentingan pasien mereka di atas kepentingan mereka sendiri.Pekerjaan profesi (professio berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat , seperti ahli hukum (hakim, pengacara), wartawan, dosen ,dokter, dokter gigi, dan apoteker. Dalam pekerjaan profesi sangat dihandalkan etik profesi dalam memberikan pelayanan kepada public. Etik profesi merupakan seperangkat perilaku anggota profesi dalam hubungannya dengan orang lain. Pengalam etika membuat kelompok menjadi baik dalam arti moral. Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang mulia karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup seseorang yaitu masalah kesehatan dan kehidupan. Menurut pasal 1 butir 11 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Etika profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyaraakt, teman sejawat, dan mitra kerja. Ruusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama-sama pemerintah menjadi suatu kode atik profesi yang bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan telah memilik Kode Etiknya, namu Kode Etik tenaga kesehatan tersebut mengacu pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).Etika kedokteran juga sangat berhubungan dengan hukum. Hampir di semua negara ada hukum yang secara khusus mengatur bagaimana dokter harus bertindak berhubungan dengan masalah etika dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan memberikan ijin praktek medis di setiap negara bisa dan memang menghukum dokter yang melanggar etika. Namun etika dan hukum tidaklah sama. Sangat sering, bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan dokter perlu untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis. Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap negara sedangkan etika dapat diterapkan tanpa melihat batas negara.Dalam lebih dari dua decade terakhir kalangan kesehatan makin akrab dengan bidang dan pengetahuan hukum. Kedua disiplin ini diperlukan untuk kesejahteraan dan kedamaian masyarakat. Dalam perkembangan keduanya, untuk mencapai tujuan yang dimaksud disiplin yang satu diperlukan oleh disiplin lain dalam cabang ilmunya. Dalam proses penegakan hukum, peran ilmu dan bantuan dokter diperlukan oleh jajaran penegak hukum yang dikenal sebagai Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu cabang ilmu kedokteran yang sejak awal berkembangnya telah mendekatkan disiplin ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Sebaliknya, dalam perkembangan dan peningkatan upaya pemeliharaan dan pelayanan kesehatan diperlukan pula pegetahuan dan aturan hukum dan ini berada dalam cabang ilmu hukum yang kemudian hadir sebagai Hukum Kesehatan.Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi perseorangan maupun segenap lapisab masyarakat, baik sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek, organisasi, san, pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber-sumber hukum lain. Hukum Kedokteran merupakan bagian dari Hukum Kesehatan, yaitu yang menyangkut pelayanan kedokteran (medical service/care).. Hukum kesehatan menitikberatkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan (meliputi kesehatan fisik, mental, social) secara keseluruhan, sedangkan hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan profesi kedokteran. Jadi, hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang hanya mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan profesi di bidang kedokteran saja. Pada waktu ini, tidak mungkin lagi para dokter tidak mengetahui dan memahami hukum kesehatan, apalagi setelah terbitnya Undang-Undang Kesehatan (1992) dan Undang-undang Praktik Kedokteran (2004), yaitu aturan hukum atau ketentuan hukum yang mengatur tentang pelayanan kedokteran/kesehatan.Berbicara hukum kesehatan tak lepas dari persoalan malpraktek. Malpraktek medik adalah kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal duniaNgesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum. Malpraktek Etik Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan. Malpraktek Yuridis Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.2. Malpraktek Pidana Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu: a) Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar. b) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.c) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.3. Malpraktek Administratif Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medic.

Contoh dan Analisis Kasus

Sumber: detik.com

Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang dilakukan oleh perawat Misran dalam hal ini yaitu memberikan resep obat dan obat adalah suatu malpraktek. Pada Pasal 73 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

Memberikan resep dan obat merupakan kewenangan medis dan bukan kewenangan perawat. Perbuatan memberikan resep dan obat yang dilakukan oleh perawat adalah perbuatan yang melawan undang-undang dan termasuk dalam tindakan malpraktik yang masuk dalam ranah hukum pidana. Perbuatan melawan undang-undang merupakan perbuatan yang melawan hukum. Pada dasarnya, malpraktik dalam ranah hukum pidana, apabila perbuatan melawan hukum tersebut terdapat indikasi syarat sikap batin perawat (dolus atau culpoos) dan akibat kerugian dari perlakuan medis yang menyimpang menjadi unsur kejahatan.Pada pasal 77 UU No. 29 Tahun 2004 dijelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan pada Pasal 73 merupakan tindak pidana. Secara terperinci yaitu: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana materiil yang dirumuskan secara formil. Perbuatan yang dilarang adalah menggunakan gelar atau bentuk lain dengan memberi petunjuk perumusannya dengan cara formil. Akan tetapi, dengan dicantumkannya unsur akibat in casu menimbulkan kesan (seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter) menunjukkan tindak pidana materiil.Tindak pidana ini dirumuskan dengan mencamtumkan unsur kesengajaan (dengan sengaja). Itulah unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan. Berdasarkan apa yang dikatakan Moeljatno dengan kata kunci Modderman ialah semua unsur-unsur yang diletakkan sesudah kata sengaja dikuasai olehnya. Maksudnya adalah semua unsur dalam rumusan tindak pidana yang diletakkan setelah kata sengaja, unsur-unsur tersebut diliputi oleh unsur sengaja. Dengan sengaja (menghendaki dan mengetahui) dalam tindak pidana Pasal 77 ini ditujukan pada (1) unsur perbuatan menggunakan identitas gelar atau bentuk lain, 2) unsur menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan dokter atau dokter gigi yang memiliki STR dan SIP. Dalam kasus, yang dilakukan oleh Misran, dapat dikategorikan bahwa pebuatan Misran dapat menimbulkan kesan bahwa ia adalah seorang dokter karena telah melakukan praktik pengobatan yang merupakan diluar kewenangannya.Pengobatan medis yang dilakukan oleh perawat khususnya di daerah pedalaman dimana fasilitas kesehatan sangat minimal atau bahkan tidak ada merupakan permasalaha yang sangat pelik. Penyelamatan terhadap nyawa manusia adalah mutlak diberikan. Namun karena tidak ada tenaga medis di suatu wilayah, maka perawat yang berada diwilayah tersebut memiliki beban moral sebagai bentuk penyelamatan terhadap nyawa manusia. Namun, disisi lain hal ini berlawanan dengan UU No. 29 tentang Praktik Kedokteran.Kasus tersebut cukup menyita perhatian khususnya dikalangan perawat, hingga muncullah peraturan menteri kesehatan No. 148 Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Dalam Permenkes No. 148 Tahun 2010, lebih diatur kewenangan perawat secara terperinci khususnya mengenai kewenangan dalam melakukan pengobatan medis. Permenkes No. 148 Tahun 2010 merupakan peraturan perundangan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 29 Tahun 2004. Pada Pasal 73 ayat (3) disebutkan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti, Perrmenkes tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat karena diamanatkan oleh Undang-Undang.Setelah keluarnya Permenkes No. 148 Tahun 2010, maka tindakan perawat diluar kewenangannya adalah legal (dengan syarat dan ketentuan pada Permenkes No. 148 Tahun 2010). Hal ini dapat digunakan sebagai acuan, apabila ke depannya, terjadi kasus-kasus perawat yang berkaitan dengan pengobatan medis yang dilakukannya. Praktik keperawatan dilaksanakan melalui kegiatan: 1) pelaksanaan asuhan keperawatan, 2) pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat, 3) pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan. Implementasi keperawatan meliputi penerapan perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan meliputi pelaksanaan prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendididkan dan konseling kesehatan. Pada Permenkes No. 148/2010 Pasal 2 disebutkan perawat dapat membuka praktik mandiri. Lebih lanjut, perawat yang menjalankan praktik mandiri berpendidikan minimal DIII Keperawatan.Pada Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan. Pada pasal tersebut lebih ditekankan bahwa ditempat kejadian tidak ada dokter, maka perawat berhak melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya untuk penyelamatan nyawa pasien dalam keadaan darurat. Pada Pasal 10 ayat (2). Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa bagi perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan. Dengan dikeluarkannya Pasal 10 ayat (2) pada Permenkes No. 148/2010 dapat dijadikan landasan hukum bagi perawat yang melaksanakan praktik mandiri untuk melakukan pengobatan medis di daerah tertentu selama daerah tersebut belum memiliki dokter. Meskipun demikian pengobatan medis yang dilakukan perawat harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yaitu harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan, dan kemungkinan untuk dirujuk.Dalam Permenkes No. 148/2010, terdapat kejelasan wewenang perawat dalam memberikan obat kepada pasien. Pada Pasal 8 ayat (7) disebutkan bahwa perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.

Kesimpulan

Perbuatan memberikan resep dan obat yang dilakukan oleh perawat Misran adalah tindak malpraktik yang masuh dalam ranah hukum pidana karena melawan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Namun, setelah terbit Peraturan Menteri Kesehatan No. 148 Tahun 2010, apabila terjadi kasus serupa maka perbuatan tersebut adalah legal sesuai dengan peraturan yang berlaku.Dari masalah tersebut, terdapat suatu penyelesaian masalah yang cukup baik yaitu Kementerian Kesehatan membuat kebjiakan baru tentang kewenangan seorang perawat melakukan pengobatan medis pada situasi khusus dan tertentu.

Daftar Pustaka

Hanafiah, Jusuf M dan Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009.Isfandyarie, Anny. Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005.PSKI FK UMY. Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2006.Soeparto, Pitono,dkk. Etik Dan Hukum Dibidang Kesehatan. Surabaya: Universitas Airlangga, 2008.William, John R. Medical Ethics Manual. Prancis: World Medical Association, 2009.UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran