Malakalah Imunologi III

32
BAB I PENDAHULUAN Menurut sejarah perkembangan laboratorium sebenarnya laboratorium imunologi merupakan laboratorium yang pertama-tama menunjang klinik dalam menegakkan diagnosis penyakit infeksi. Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi perlindungan terhadap infeksi. Sel dan molekul yang bertanggung jawab atas imunitas disebut system imun dan respons komponennya secara bersama dan terkoordinasi disebut respons imun. Kemudian terungkap bahwa substansi asing non-infeksius pun dapat menyulut respons imun, dan ternyata pula bahwa mekanisme yang biasanya melindungi seseorang terhadap infeksi dan berfungsi menyikingkirkan substansi asing, pada keadaan tertentu dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan penyakit. Dalam perkembangan imunologi selanjutnya, ternyata bahwa imunologi dewasa ini tidak saja berkisar masalah infeksi tapi sudah meluas hingga ruang lingkupnya telah meliputi hamper semua disiplin ilmu kedokteran. Dalam 30 tahun terakhir telah terjadi perubahan dalam pengertian kita tentang system imun dan fungsinya. Imunologi dalam pengertian moder adalah ilmu

Transcript of Malakalah Imunologi III

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut sejarah perkembangan laboratorium sebenarnya

laboratorium imunologi merupakan laboratorium yang pertama-tama

menunjang klinik dalam menegakkan diagnosis penyakit infeksi. Pengertian

awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi

perlindungan terhadap infeksi. Sel dan molekul yang bertanggung jawab atas

imunitas disebut system imun dan respons komponennya secara bersama

dan terkoordinasi disebut respons imun. Kemudian terungkap bahwa

substansi asing non-infeksius pun dapat menyulut respons imun, dan

ternyata pula bahwa mekanisme yang biasanya melindungi seseorang

terhadap infeksi dan berfungsi menyikingkirkan substansi asing, pada

keadaan tertentu dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan penyakit.

Dalam perkembangan imunologi selanjutnya, ternyata bahwa

imunologi dewasa ini tidak saja berkisar masalah infeksi tapi sudah meluas

hingga ruang lingkupnya telah meliputi hamper semua disiplin ilmu

kedokteran. Dalam 30 tahun terakhir telah terjadi perubahan dalam

pengertian kita tentang system imun dan fungsinya. Imunologi dalam

pengertian moder adalah ilmu eksperimental, dimana penjelasan tentang

fenomena imunologi di dasarkan atas observasi eksperimental dan

kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkannya. Kemajuan dalam teknik kultur

sel, metode rekombinan DNA, dan biokimia protein telah merubah imunologi

dari ilmu deskriptif menjadi suatu ilmu dimana fenomena imunologik yang

sangat beragam dapat dihubungkan satu dengan lain dan dijelaskan melalui

pengetahuan tentang struktur dan biokimia komponen-komponen yang

terlibat dalam system imun. Perkembangan yang pesat dalam imunobiologi

dan imunokimia membuka jalan bagi klinik untuk secara luas menerapkan

pemeriksaan laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosis atau

sebagai pedoman penatalaksanaan penderita. Secara umum pemeriksaan

laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosis tersebut dibagi dalam

dua golongan yaitu:

1. Pemeriksaan untuk menetapkan kompetensi imunologik atau menilai

fungsi imunologik, baik pada orang normal maupun pada penderita

penyakit imunologik.

2. Periksaan yang di pakai untuk menunjang diagnosis penyakit-

penyakit tanpa latar belakang kelainan reaksi imunologik

BAB II

PEMBAHASAN

IMUNODIAGNOSTIK

2.1. Uji Kompetensi Imunologik

Respon imun yang normal memerlukan sejumlah proses terpadu yang

berlangsung secara berurutan yaitu :

Pembentukan sel yang tepat, terutama sel T dan sel B, dengan cara

maturasi sel induk atau sel precuser dalam organ-organ tempat

sel-sel tersebut berdiferensiasi.

Makrofag dan sel dendritik serta sel-sel sitotosik yang tidak

mempunyai spesifitas antigen membantu atau meningkatkan

respon imun, walaupun tidak memerlukan tingkat diferensiasi

yang sama

Presentasi antigen oleh APC, biasanya berupa kompleks peptida

yang dibentuk dari antigen yang ditelan dan dicerna dalam APC

Pengenalan dan peningkatan peptida melalui reseptor spesifik

pada sel T atau B yang kemudian meneruskan sinyal stimulasi

tersebut ke dalam sel.

Sebagai tranduksi sinyal tersebut, terjadi trnskripsi berbagai

gen dan sel T dan sel B mensintesis dan mensekresi berbagai

molekul protein (misalnya sitokin dan reseptornya, molekul

adhesi atau molekul-molekullain) yang diperlikan untuk

meningkatkan poliferasi, diferensiasi selanjutnya, aktivasi sel-sel

accessory dan respon infalamasi.

Aktivasi sistem komplemen untuk meningkatkan respon sel B atau

meningkatkan produksi sitolin, misalnya perforin, untuk

melisiskan sel sasaran.

Defek pada salah satu tahap proses di atas dapat

mengakibatkan gangguan respon imun atau imunodefesiensi. Melihat

rangkaian proses di atas, dapat dimengerti bahwa uji kompetensi imunologik

sebenarnya sangat kompleks, karena kompetensi imunolgik harus dievaluasi

mulai dari organ tempat sel berdiferensiasi dan selnya sendiri secara

kuantitatif, maupun secara kualitatif menguji kemampuan sel-sel tersebut

untuk melakukan fungsinya, termasuk kemampuannya untuk meneruskan

sinyal dari permukaan sel ke nukleus, dan untuk berlangsungnya respon

imun yang tepat. Walaupun demikian, secara garis besar defek sistem imun

dapat digolongkan dalam ;

1. Defek pada sistem sel T

2. Defek sistem sel B

Teknik dan metode laboratorium untuk menguji kompetensi

immunologik telah berkembang demikian cepat, sehingga saat ini hampir

semua komponen respons imun dapat diperiksa dan dievaluasi. Sebagian

besar test merupakan aplikasi dari riset dalam bidang imunologi dasar, dan

sebagian di antaranya telah mendapat tempat secara luas dalam

penerapannya di klinik untuk keperluan diagnosis, penentuan prognosis

maupun pemantauan perjalanan penyakit.Uji immunologik digunakan

bersama-sama dengan prosedur laboratorium lain dalam penilaian fungsi

imunologi dan diagnosis penyakit.

2.2. Uji Respon Imun Non-Spesifik

Uji respon imun non-spesifikmenggambarkan respon tubuh terhadap

zat asing secara non-spesifik. Pada umumnya fagosit yang terdiri atas

makrofag/monosit dan sel-sel polimorfonuklear (PMN) memegang peranan

utama sebagai sel efektor dalam respon imun non-spesifik. Ciri imunitas non-

spesifik adalah; sel-sel efektor sistem imun non-spesifik mempunyai

keterbatasan dalam membedakan satu mikroba yang lain dan sifatnya

streotip, yaitu fungsinya terhadap berbagai jenis mikroorganisme selalu

sama. Walaupun merupakan efektor utama, dari berbagai uraian terdahulu

diketehui bahwa dalam melakukan fungsinya sel-sel ini berinteraksi dengan

berbagai komponen lain, seperti interaksi dengan komplemen, antibodi dan

berbagai mediator sehingga sebenarnya fungsi fagosit tidak dapat dipisahkan

sama sekali dari respon imun spesifik seluler maupun humoral. Fagosit

mononukler maupun PMN mampu membunuh mikroorgnisme melalui

berbagai reaksi enzimatik intraseluler, walaupun sifat biologik kedua jenis

sel berbeda. Sel-sel MPN pada dasarnya merupakan sel yang berfungsi

menyingkirkan berbagai zat asing terutama melalui mekanisme non-

imunologik, sedangkan makrofag disamping fungsi di atas juga mempunyai

peran lain dalam kordinasi sistem imun, khususnya dalam imunoregulasi dan

fase akhir prosese respon imun seluler.

Telah diketahui bahwa sel-sel PMN merupakan sel yang pertama-tama

tiba diloksai infeksi atas rangsangan sinyal faktor kemotatik. Segera setelah

menerima rangsangan, sel PMN melekat pada endetol pembuluh darah,

meggelinding pada permukaan endetol, lalu melakukan diapedesis sehingga

tiba di jaringan tempat terjadinya infeksi, kemudian berinteraksi dengan

mikroba. Sistem pengenalan non-imun selanjutnya bertanggnung jawab

untuk proses pinositosis kompenen mikroba yang mengandung

polisakharida seperti zimosan dan lain-lain. Secara singkat fagositosis oleh

PMN berlangsung dalam satu tahap atau beberapa tahap sekaligus, misalnya

pada tahap kemotaksis, opsonisasi, penelanan, degranulasi dan proses

pembunuhan.

Makrofag dalam sistem imunoregulasi merupakan antigen presenting

cell (APC) yang berfungsi memproses antigen dan ,menampilkan antigen

yang telah diproses pada permukaan sel; tetapi disamping itu sel tersebut

juga memproduksi berbagai interleukin. Sifat-sifat ini tidak dimilki oleh MPN.

Perbedaan lain antara makrofag/ monosit dengan MPN adalah bahwa

makrofag/monosit lebih peka terhadap faktor kemotatik yang dilepaskan

oleh limfosit T dan komplemen, dibanding MPN. Kedua jenis fagosit juga

berbeda dalam hal kepekaanya terhadap anitgen yang akan ditangkap. PMN

lebih peka terhadap patikel yang tidak berbahaya, misalnya lateks, tetapi

kurang mampu berinteraksi dengan eritrosit homolog yang dilapisi antibodi,

sedangkan makrofag mempunyai sifat sebaliknya. Monosit dalam sirkulasi

dan makrofag dalam jaringan biasanya berada dalam status istrahat dam

baru menjadi akitf bila ada stimulasi. Stimulasi menyebabkan berbagai

perubahan morfologis maupun fungsional, yaitu: makrofag menjadi lebih

besar dan sitoplasmanya melebar. Komposisi membran sel berubah,

kecepatan pinositosis serta ingestion meningkat dan kadar enzim intra

seluler juga bertanbah. Selanjutnya proses pembunuhan berlangsung sama

seperti pada PMN. Perubahan-perubahan itulah yang sering digunakan

sebagai petanda kemampuan fungsional sel-sel tersebut.

Beberapa manifestasi klinik mengarahkan dugaan kepada gangguan

fungsi fagosit adalah infeksi tanpa disertai demam, jumlah leukosit yang

rendah pada infeksi akut dan tidak adanya respon imun non-spesifik dapat

digolongkan dalam

1. Gangguan kuantitatif yang ditandai dengan jumlah sel PMN

dibawah jumlah normal

2. Gangguan kualitatif pada sel PMNyang ditandai dengan gangguan

fungsi efektor.

Berdasarkan hal itu, maka test laboratorium untuk menguji respon

imun non-spesifik digolongkan dalam uji kuantitatif dan uji kualitatif atau uji

fungsi. Uji kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah dan hitung jenis

leukosit dalam darah tepi. Makrofag/monosit dalam sirkulasi dapat

ditentukan dengan menggunakan pewarnaan sitokimia NSE dan lihat di

bawak mikroskop atau menggunakan antibodi monoklonal terhadap CD14

yang berlabel fluorokrom dan kemudian jumlah sel yang berwarna

fluorokrom diukur dengan teknik flwcytometry. Pada umumnya uji

kuantitatif saja tidak cukup untuk menentukan kompotensi imunolgik,

karena itu uji kuantitatif perlu disertai uji kualitatif atau uji fungsi. Selain

unutk menunjang diagnosis gangguan kompotensi imunolgik non-spesifik, uji

fungsi PMN khususnya yang dilakukan dengan cara flocytometry juga dapat

digunakan untuk mendeteksi carrier penyakit imunodefesiensi herediter,

misalnya chronic granulomatous disease (CGD) . beberapa metode uji fungsi

merupakan uji biologik yang memberikan hasil yang sangat bervariasi,

karena itu hasilnya harus datafsirkan bersama-sama hasil pemeriksaan lain

termasuk gejala klinik.

2.2.1. Uji Fungsi Leukosit

Indiaksi untuk melakukan uji fungsi leukosit adalah untuk

mengevaluasi dan memantau pasien yang diduga menderita defisiensi

imunologik seluler atau menunjukan gejala infeksi yang tidal lazim. Selain itu,

indikasi lain untuk uji fungsi leukosit, khususnya uji fungsi sintesis sitokin,

adalah untuk memantau pasien yang mendapat pengobatan “biologic

response modifier”. Jenis tes yang perlu dilakukan bergantung pada kondisi

pasien.

Defek fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN) di antaranya

dapat dinyatakn dengan ketidak mampuan PMN melaksanakan fungsi

fagositosis walupun jumlahnya secara kuantitatif normal atau meningkat.

Seperti telah disebut diatas. Proses fagositosis oleh PMN dapat dibagi dalam

5 tahap. Disfungsi fagositosis dapat terjadi pada setiap tahap, sehinga defek

pada setiap tahap dapat mengakibatkan defek fagositosis.

Kemampuan fagositosis dapat diuji dengan menentukan

kemampuan PMN mereduksi nitroblue tetrazolium (NBT) yang tidak

berwarna menjadi formazan, berwarna biru. Metode ini sudah sangat lama

dikenal dan masih ada dilaboratorium yang menggunakannya, tetapi akhir-

akhir ini dikembangkan metode baru yang lebih akurat, yaitu mengukur

jumlah neutrofil yang mengandung bakteri menggunakan flowcytometry.

Perkembangan ilmu dan teknologi akhir-akhir ini juga mengungkapkan

bahwa pada setiap tahap fagositosis terjadi proses biokimiawi yang

produknya dapat diukur, sehingga seringkali pengukuran produk-produk

hasil proses fagositosis diantaranya yang sudah lama diketahui adalah

penglepasan berbagai jenis mediator terlarut seperti IL-1, IL-6, GM-CSF, TNF

dan PGE2. Kemampuan membunuh bakteri dievaluasi dengan mengukur

metabolisme oksidatif (oxdatve burst) yang secara tidak lengsung ditentukan

dengan mengukur banyaknya superoksida dan hydorgen peroksida atau

reactive oxygen spesies (ROS) lain yang dilepaskan oleh leukosit/PMN

setelah distimulasi.

Prinsip beberapa tes yang telah diketahui bermanfaat untuk uji fungsi

leukosit/PMN

1. Pengukuran kemampuan fagositosis dan metabolisme oksifatif.

Prinsip pengukuran fagositosis adalah mengukur jumlah

partikel (bakteri) yang difagositosis oleh neutrofil setelah

inkubasi selama waktu tertentu. Pengukuran partikel yang

difagositosis dapat dilakukan dengan berbagai cara,

diantaranya menghitung proporsi neutrofil yang mengandung

partikel di bahwa mikroskop, atau dengan flowcytometry.

Flowcytometry saat inim merupakan metode yang banyak

digunakan karena menunjukkan ketepatan dan ketelitian yang

cukup baik. Disamping itu keuntungan metode flowcytometry

dalah :

a. Jumlah sampel yang digunakan sedfikit

b. Tidak perlu memisahkan leukosit dari komponen darah

yang lain ( dapat menggunakan darah lengakap)

c. Dapat membedakan partikel yang benar-benar

difagositosis dengan partikel yang melekat atau

mengendap pada permukaan sel.

2. Kemampuan sintesis dan sekresi sitokin

2.2.2. Uji Gerakan Sel

Teknik jendela kulit Rebuck , metode in vivo klasik untuk

penelitian inflamasi adalah teknik jendela kulit rebuck.Penutup kecil

steril ditempatatkan diatas area kulit yang dilecetkan secara

suferfesial ; beberapa jam kemudian penutup kecil diambil dan jumlah

leukosit dihitung. Dalam tiga sampai empat jam ,lebih dari 90% dari

komposisi seluler terdiri dari leukosit polimorfonuklear. Sesudah 12

jam mereka diganti oleh sel-sel mononuklear dan pada 24 jam lebih

dari 50 % dari sel-sel adalah monosit dan makrofag. Teknik ini juga

dapat digunakan unuk meneliti respon terhadap rangsangan antigen

maupun non antigen. Penggunaannya diindikasikan pada cacat

kemotaksis, pada defisiensi komplemen dan pada keadaan-keadaan

yang lain yang mempengaruhi respon inflamatoris seperti

alkoholisme, pembicaraan steroid, dan diabetes, serta imaturitas,

perkembangan dan imaturitas nutrisional. Meskipun teknik ini adalah

semikuantitatif dan tidak dapat dengan benar mengukur kemotaksis

ia memberikan beberapa informasi yang berguna berkenaan

dengangerakan sel in vivo.

Uji Invitro Gerakan Sel

Gerakan sel fagosit dapat acak atau terarah

(kemotaksis).motilitas acak leukosit biasanya dilakukan dengan

pengukuran migrasi leukosit pada keadaan tanpa lpenarik

kimia( kemoatraktan). Penderita dengan sindrom leukosit malas telah

dijelaskan sebagai yang menunjukkan abnormalitas migrasi acak

bersama dengan kemotaksis tidak sempurna (defektif) dan

neutropenia.

Cacat kemotaktik terdapat paling sering pada penderita dengan

infeksi bakteri berulang kronik yang dapat disebabakan baik karena

cacat intraseluler, misalnya sindroma chediak –Higashi, maupun cacat

dalam pembentukan faktor kemotaktik ekstraseluler, misalnya

defisiensi.

2.2.3. Uji Fagositosis (Perlekatan Dan Ingesti)

Uji fagositosis ini mengukur kemampuan sel fagositik untuk

mengambil partikel ,misalnya polistirene; mikroorganisme misalnya

bakteri; Atau immunoglobulin. Karena masuknya partikel ini mungkin

memerlukan adanya opsonin (komplemen atau antibodi), uji ini

biasanya dilakukan dalam serum segar, serum penderita sendiri yang

akan menguji kemampuan opsoniknya, atau kumpulan serum

manusia. Sesudah inkubasi yang tepat pada keadaan spesifik, tidak

hanya jumlah sel yang fagositik dihitung tetapi juga jumlah partikel

yang diingesti tiap sel fagositik.

Uji ini mengukur kemampuan fagosit untuk mengingesti partikel

tetapi tidak perlu kemampuanya untuk menghancurkan partikel

secara intra seluler. Namun demikan modifikasi uji ini menggunakan

puls supravital atau fluorokrom, telah memungkinkan mengkombinasi

uji fungsi fagosit dengan uji yang mengukur digesti intra seluler. Uji

fagositosis biasanya dilakukan pada penderita yang diduga

mempunyai ganggaun fagosit, seperti sindroma disfungsi neutrofil,

atau cacat pada opsonisasi yang ditengahi antibodi atau komplemen.

2.2.3.1. Uji Pengukuran Kejadian-Kejadian Metabolik

Berkaitan Dengan Fagositosis

Meskipun sejumlah reaksi-reaksi biokimiawi

canggih dapat diukkur, dua assay telah menerima

perhatian dilaboratorium imunologi klinik: uji reduksi

pulas nitrobiru tetrazdanolium (nitroblue tetrazolium

dife reduction test =NBT) dan kemiluminesensi.

Uji kuantitatif NBT telah dikembangkan yang didasarkan pada

penambahan aktivitas metabolik dari fagosit yang terjadi setelah

rangsangan sel fagositik.pelepasan elektron selama aktivasi HMP

diukur secara kolorimetris dengan reduksi pulas nitrobiru tetrazolium

menjadi pigmen formazena biru atau dengan pemancaran sinar

melalui kemiluminesensi (chemiluminescence). Uji ini ditekankan

secara menyolok pada kasus –kasus yang ada .pelemahan pada

aktivitas metabolik leukosit , seperti pada penyakit granulomatosa

kronik (chronic granulomatous disease (CGD)).

Uji ini dapat mengukur tingkat relatif reduksi pulas oleh leukosit

istirahat (tidak dirangsang ) serta mereka yang telah dirangsang oleh

ingesti partikel atau oleh pemaparan terhadap endotoksin .Uji NTB

merupakan uji penyaringan awal untuk diagnosis penyakit

granulamatosa kronik.

2.2.3.2. Uji Pengukuran Mekanisme Anti Mikrobial

Uji fungsi sel fagositik yang terakhir adalah uji

aktivitas mikrobisidalnya. uji ini biasanya dilakukan

dengan bakteri dan mengukur kemampuan sel

fagositik untuk mengingesti (fagositose) dan

selanjutnya membunuh organisme. aktivitas fagositik

melibatkan kerja multifase yang memerlukan

integritas kedua faktor ekstraseluler (komplemen

antibodi), reseptor permukaan sel dan faktor-faktor

intraseluler (integritas metabolik utuh dari sel). uji ini

biasanya dilakukan dengan mencampur supensi

leukosit dengan bakteri bersama serum yang

mengandung aktiovitas opsonik yang cukup, muisalnya

c3b dan antibodi spesifik. sesudah jangka waktu yang

sesuai jumlah bakteri yang masih hidup di dalam sel

diukur dengan teknik biakan langsung, fluoresensi,

atau pulasan supravital.

2.2.4. Pengukuran Kuantitatif Enzim Leukosit Spesifik

Sekarang jelas bahwa sejumlah penyebab infeksi berulang

dihubungkan dengan defisiensi enzim selektif, seperti terjadfipada

syndroma disfungsi neutrofil. Defisiensi enzim spesifik ini meliputi

NaDH oksidase leukosit, NADPH oksidase, glucose-6-phosfat

dehidrogenase, glutation peroksidase, myeloperoksidase leukosit dan

laktoferum.

2.3. Uji Fungsi Imun Spesifik (Sekunder)

Uji ini mengukur fungsi-fungsi yang berhubungan dengaan imunitas

humoral (di tengah limfosit B) atau dengan imunitas seluler (ditengahi

limfosit T).

2.3.1. Penghitungan Populasi Limfosit

Penelitian diagnostik seharusnya dimulai dengan jumlah sel

darah putih dan hitung jenis untuk menilai jumklah absolut dan jumlah

relatif limfosit darah perifer. Langkah berikutnya pada evaluasi

imunologik adalah penentuan jumlah relatif limfosit-T dan limfosit-B.

Limfosit darah perifer manusia biasa ya diklasifikasikan menjadi jenis

B, T atau sel nul atas dasar sifat-sifat permukaan tertentu. Uji ini sering

dilakukan pada sel mononuklear darah yang dipisahkan oleh gradien

vikolhipak ( ficoll-hypaque gradient ) kira-kira terdiri dari 30% dari sel

ini monosit, sisanya yang menyolok adalah limfosit. Kurang lebih 80%

dari limfosit dikenal (diidentifikasi) sebagai limfosit T atas dasar

kemampuannya untuk membentuk roset dengan eritrosit kambing ;

dari 10 – 15 % adalah sel B atas dasar imunoglobulin permukaan yang

didateksi dengan imunofluorisensi langsung, dan sisanya adalah sel nul

yang tidak mempunyai baik imunoglobulin permukaan maupun

kemampuan untuk membentuk roset dengan eritrosit kambing.

Lagipula sel B mengandung 2 reseptor tambahan yang telah

memudahkan pengenalan mereka. Ini meluputi reseptor permukaan

untuk komponen C3b komplemen dan bagian Fc molekul

imunoglobulin.

Baru-baru ini, karakterisasi sel T telah sangat dipermudah dengaan

tersedianya antibodi monoklonal yang diarahkan melawan

determinan antigenik sel T spesifik atau penanda. Ini tidak hanya

memungkinkan karakterisasi sel T manusia selama diferensisasi

intratimik tetapi juga telah menyediakan reagen yang kuat untuk

penghitungan dan fungsi imunologik sel-sel limfoit dalam sirkulasi

dan dalam jaringan.

.

Daya Guna Analisis (Assay) Penghitungan Sel B Dan Sel T

Uji Roset –E (sel T) teknik ini berasal dati pengamatan

bahwa limfosit T membentuk Roset spontan tetapi lemah

dengan eritrosit kambing, yang menyediakan salah satu

dari penanda yang paling sederhana untuk pengenalan

limfosit T. meskipun beberapa modifikasi uji tersebut telah

muncul pada kepustakaan lebih tua, beberapa ahli

mengaku mengukur “ Roset-E Aktif” karena berkorelasi

lebih baik dengan imunitas seluler, penggunaan utama uji

ini sekarang adalah untuk perhitungan jumlah absolut

limfosit T. Nilai rata-rata Roset E adalah 85 ± s.d. 6%

dengan kisaran (range) 72–93 %.

Imunoglobulin membran permukaan ( SMIg ) (sel B)

Uji ini dilakukan dengan analisis (Assay) imunofluoresensi

langsung dan limfosit pembawa imunoglobulin permukaan

dideteksi oleh antibodi yang dilabel dengan fluorokrom.

Penting dalam determinasi ini bahwa imunoglobulin

permukaan terbukti disintesis oleh limfosit dan bukan

diabsorpsi secara eksogen. Imunoglobulin yang menonjol

pada permukaan limfosit B darah perifer adalah IgD dan

IgM. Reagen anti-Fab2 biasanya digunakan dalam assay

karena penggunaan antiimunoglobulin seluruhnya atau

imunoglobulin yang diagregasi akan menaikkan angjka

secara tidak alamiah karena pengikatan terhadap sel-sel

pembawea reseptor Fc, misalnya limfosit T dan monosit.

Uji untuk reseptor membran untuk reseptor Fc

(terutama pada sel B)

Uji ini biasanya menggunakan kompleks imun yang dilabel

dengan fluorokrom atau pembentukan roset dengan IgG

atau eritrosit berselimut antibodi IgM ( uji roset EA ).

Aslinya dilaporkan untuk mendiferensiasi limfosit T-helper

( Tµ ) dan T-supresor masing- masing menggunakan

eritrosit berselimut IgM dan eritrosit berselimut IgG, uji ini

telah diganti dengan assay yang menggunakan antibodi

mionoklonal terghadap reseptor antigenik spesifik seperti

dibicarakan di atas. Reseptor Fc dari IgG dideteksi

terutama pada sel B tetapi sejumlah kecil pada sel T dan sel

nul.

Uji untuk reseptor permukaan untuk komplemen

( C3b) ( terutama pada sel B)

Limfosit manusia juga mengandung 2 jenis reseptor

komplemen, termasuk

1. Reseptor adherens imun C3b

2. Reseptor C3d

Ini ditemukan menonjol pada sel B tetapi juga sejumlah

kecil pada sel nul. Limfosit pembawa reseptor komplemen

dideteksi dengan pembentukan roset dengan eritrosit

kambing yang diselimuti dengan antibodi terkait IgM dan

komplenmen ( EAC). Nilai rata-rata untuk sel pembentuk

roset EAC adalah 16,5 ± s.d 5,1 % dengan kisaran 6-28 %.

Interpretasi Dan Arti Penting Hasil Uji

Sesuai dengan hasil uji ini, limfosit B merupakan 4-21 persen

dari limfosit darah dalam sirkulasi darah dan sel -T merupakan

kurang lebih 72 sampai 93 persen. Sifat dari populasi sel

sisanya, yaitu populasi nul, tidak jelas, tetapi nampaknya

merupakan kumpulan heterogen sel limfosit dan sel

mononuclear lain, termasuk sel kiler (K) yang berperan serta

dalam reaksi sitotoksisitas seluler tergantung antibody

(antibody-dependent cellular cytotoxicity = ADCC), sel

pembunuh alami (NK) dan sel nul lain yang mengandung

penanda permukaan yang tidak dapat dideteksi.

Indikasi Klinis Untuk Melakukan Uji Penghitungan Limfosit

Kini penghitungan limfosit-B dan limfosit-T dengan penanda

permukaan, telah menerima penerapan klinis yang makin

bertambah baik untuk diagnosis maupun pengelolaan

beberapa proses penyakit dengan tanda-tanda imunologik. Ini

termasuk penggunaannya dalam diagnosis penyakit

limfoproliferatif yang mengandung kumpulan sel B abnormal

(misalnya leukemia limfatik kronik) atau kumpulan sel-sel-T

abnormal (misalnya sindroma sezary) atau pada diferensiasi

berbagai macam bentuk leukemia dan limfoma. Mereka juga

digunakan pada defisiensi imun dengan defisiensi sel-B

(misalnya agamaglobulinemia X-linked) atau dengan defisiensi

sel-T (misalnya sindroma DiGeorge) atau dengan defisiensi

imun variable biasa dengan jumlah sel-T supresor yang naik.

Uji ini juga diterapkan pada area penyakit yang ditengahi

secara ideologis, misalnya alergi, penyakit autoimun , dan

defisiensi imun yang berkaitan dengan penyakit malignan.

2.3.2. Uji Fungsional Limfosit

2.3.2.1. Uji Fungsi Imun Humoral (Ditengahi limfosit-B)

Uji yang paling sering digunakan adalah penjumlahan

(kuantitasi) gamaglobulin individu. Uji ini tersedia

pada kebanyakan laboratorium klinik dan paling

sering dilakukan dengan imunodifusi radial dalam

agar, menggunakan cawan yang dilapisi dengan

antisera spesifik terhadap masing-masing

imunoglibulin individu. Lebih disukai kuantitasi

dengan elektroforesis kertas atau selulose aseta, yang

tidak mempunyai sensitivitas dan spesifitas dari

tehnik imunokimia. Imunoelektroforesis

immunoglobulin serum atau urin sering memberikan

informasi tambahan, misalnya myeloma multiple.

Lagi pula, teknik yang lebih baru dan lebih sensitive

talah dikembangkan untuk penghitungan

immunoglobulin, yaitu :

(1) Presipitasi imun yang diautomatiskan (automated

immune precipitation = AIP)

(2) Elektroimuni assay (EIA), juga disebut teknik roket

Laurell,

(3) Variasi yang lebar metode yang didasarkan pada

interaksi antigen-antibodi yang menggunakan

fluoresen, nefelometrik, enzimatik, atau penanda

radioaktif.

Uji ini diindikasi pada penilaian penderita dengan

penyakit yang ditengahi secara imunologis, dan

dengan penyakit imunoproliferatif dan pada keadaan

defisiensi imunologik.

2.3.2.2. Uji Respons Antibodi Spesifik ; Sebelum

Sensitisasi

Kemampuan penderita untuk menghasilkan antibody

spesifik diukur dalam satu dari dua cara :

1. Pengukuran antibody yang terjadi sebagai hasil

pemaparan alamiah atau sebagai hasil imunisasi

sebelumnya, misalnya isohemaglutinin, virus polio,

dan antibody morbili; atau

2. Pengukuran sintesis antibody yang sudah ada (de

novo) setelah penggunaan vaksin spesifik, misalnya

toksoid tetanus dan vaksin salmonella.

2.3.2.3. Uji Fungsi Imun Seluler (ditengahi Limfosit-T)

Kemampuan penderita untuk mendatangkan

imunitas seluler dapat diukur dengan uji in vivo

atauin vitro. Uji in vivo ini, misalnya uji

hipersensitivitas kulit lambat, mengukur baik

sebelum sensitisasi atau sensitisasi yang telah ada (de

novo). Karena diketahui bahwa lebih dari 80%

individu mempunyai respons hipersensitivitas lambat

terhadap antigen uji kulit yang biasa, misalnya

candida dan Trychophyton, antigen ini memberikan

sarana uji in vivo yang baik sekali untuk

hipersensitivitas lambat. Lagi pula jika diketahui

bahwa penderita mempunyai infeksi jamur atau

tuberculosis sebelumnya, reaksi hipersensitivitas

lambat terhadap organism ini dapat di uji.

Selanjutnya, pada penderita yang diketahui

sebelumnya reaktifterhadap antigen ini yang

kemudian tidak lagi menunjukkan reaktivitas ini

(anergi), timbul kecurigaan adanya penyakit yang

mendasari seperti sarkoidosis atau limfoma.

2.3.2.4. Rangsangan limfosit

Uji ini didasarkan pada respons transformasi,

proliferasi dan replikasi limfosit normal terhadap

rangsangan in vitro oleh rangsangan nonspesifik

(misalnya fitohemaglutinin (PHA)), sel-sel asing, atau

antigen spesifik. Meskipun kebanyakan mitogen

erangsang limfosit B maupun limfosit-T, beberapa

menunjukkan selektivitas untuk limfosit kelas

tertentu . titik akhir dari reaksi ini diukur dengan

transformasi blast, indeks mitotic, atau

penggabungan precursor radio aktif kedalam DNA

(Tritiated thymidine) atau RNA (tritieted uridine).

2.3.3. Pengukuran Enzim Limfosit

Sekarang tampak jelas bahwa beberapa defisiensi enzim

telah dihubungkan dengan bentuk tertentu defisiensi imun pada

manusia., misalnya defisiensi system limfosit-B atau Limfosit-

Tserta defisiensi imun kombinasi berat (severe combined

immune deficiency SCID). Defisiensi enzim ini termasuk

defisiensi adenosine deaminase (ADA), defisiansi fosforilase

nucleoside, dan defisiensi karboksilasetergantung-biotin. Uji ini

sekarang tersedia untuk mengukur enzim-enzim tersebut dalam

eritrosit penderitadengan penyakit ini.

2.3.4. Uji Fungsi Imun Penderita Jaringan (Tersier)

Uji fungsi imun pencedera jaringan. Mengukur respons imun

yang menimbulkan manifestasi penyakit melalui injury jaringan.

Uji ini meliputi :

1. Pengukuran reagen spesifik (IgE)dengan uji kulit

hipersensitivitas cepat in vivo dan uji in vitro dengan RAST atau

pelepasan histamine atau pengukuran langsung globuline IgE

dengan PRIST

2. Uji Coomb

3. Uji factor rheumatoid

4. Fenomen sel LE dan biopsy jaringan. Uji ini di indikasikan bila

ada manifestasi penyakit yang ditengahi secara imunologis.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Secara luas penerapan pemeriksaan laboratorium imunologi

untuk menunjang diagnosis atau sebagai pedoman

penatalaksanaan penderita. Secara umum pemeriksaan

laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosis tersebut

dibagi dalam dua golongan yaitu:

1. Pemeriksaan untuk menetapkan kompetensi imunologik atau

menilai fungsi imunologik, baik pada orang normal maupun pada

penderita penyakit imunologik.

2. Pemeriksaan yang dipakai untuk menunjang diagnosis penyakit-

penyakit tanpa latar belakang kelainan reaksi imunologik

3.2. Saran

Tes laboratorium untuk mengevaluasi kompetensi

immunologic tidak berdiri sendiri tetapi hasilnya harus

ditafsirkan bersama hasil pemeriksaan lain, termasuk

pemeriksaan klinik dan riwayat penyakit. Disamping itu evaluasi

hasil test laboratorium imunologik harus dilakukan dengan

mempertimbangkan berbagai variasi biologis, misalnya usia,

jenis kelamin,ras, medikasi, status nutrisi dan lain-lain

DAFTAR PUSTAKA

Kresno, S. Boedina. 2001. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Sacher, Ronald A, and McPherson, Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil

Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC

www.infokedokteran.com/article/diagnosa-sistem-imun.html

http://www.infokedokteran.com/article/diagnosa-keperawatan-sistem-

imun.html