MAKALAH IMUNOLOGI
-
Upload
sri-anggun -
Category
Documents
-
view
86 -
download
2
description
Transcript of MAKALAH IMUNOLOGI
MAKALAH IMUNOLOGI
TENTANG IMUNOTERAPI KANKER DAN DEGENERATIF
OLEH :
KELOMPOK 1
Putri Irma Yuliyanti (25131029)
Rosyta Velayanti (25131033)
Dewinta Annisa H F (25131040)
Suryani (25131041)
Dian Afnitasari (25131042)
Anis Rahmatun (25131043)
Sari Mulyana (25131051)
Tya Permatasari (25131065)
Aprilia Indah S (25131071)
Dara Riza Yanuari (25131072)
SEKOLAHTINGGIFARMASI BANDUNG
PROGRAM PENDIDIKAN STRATA 1
PROGRAM STUDIFARMASI
2013
IMUNOTERAPI
A. DEFINISI
Imunoterapi adalah peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit
dengan meningkatkan pengadaan antibodi dalam tubuh. Imunoterapi adalah
pengobatan yang bertujuan mengubah reaksi imunologik untuk menguntungkan
penderita pada suatu proses penyakit (Davies dalam Wiyono dan Yunus, 1991).
Pengobatan ini bersifat individual, periodik dan memakan waktu lama (Wells
dalam Wiyono dan Yunus, 1991).
B. IMUNOTERAPI PENYAKIT KANKER
Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh perkembangan
populasi sel yang lolos pada pertumbuhan regulasi normal, replikasi, dan
diferensiasi dan yang menyerang jaringan di sekitarnya. Kanker dihasilkan dari
fungsi sel yang abnormal dan kelainan ini hasil dari mutasi dalam struktur
nukleotida DNA yang paling sering diperoleh selama hidup (mutasi somatik)
(Wiseman, 2007).
Kanker dapat dianggap sebagai penyakit dari sel-sel tubuh yang
berkembang secara abnormal. Pengembangannya melibatkan kerusakan pada sel-
sel DNA (Deoxyribonucleic Acid), dan kerusakannya ini terakumilasi dari waktu
ke waktu. Sel-sesl ini merusak dan melepaksan diri dari mekanisme yang
berfungsi untuk melindungi dari pertumbuhan dan invasi atau penyebaran ke
jaringan lain. Pertumbuhan neoplasma ganas biasanya merusak jaringan
sekitarnya dan dapat menyebar ke organ lainnya, proses ini dikenal sebagai
metastasis (Grant, 2008).
B.1 Gejala kanker
Menurut Corwin( 2001) gejala kanker secara umum timbul tergantung
dari jenis atau organ tubuh yang terserang yaitu :
a. Nyeri dapat terjadi akibat tumor yang meluas menekan syaraf dan
pembuluh darah disekitarnya, reaksi kekebalan dan peradangan terhadap
kanker yang sedang tumbuh , dan nyeri juga disebabkan karena ketakutan
atau kecemasan.
b. Pendarahan atau pengeluaran cairan yang tidak wajar, misalnya ludah,
batuk atau muntah yang berdarah , mimisan yang terus menerus, cairan
punting susu yang mengandung darah , cairan lubang senggama yang
berdarah (diantara menstruasi/menopause) darah dalam tinja, darah dalam
air kemih.
c. Perubahan kebiasaaan buang air bersih.
d. Penurunan berat badan dengan cepat akibat kurang lemak dan protein
(kaheksia)
e. Gangguan pencernaan , misalnya sukar menelan yang terus menerus.
f. Nyeri akibat penekanan syaraf dan pembuluh darah terutama terjadi pada
jaringan jaringan yang terletak diruangan yang terbatas seperti tulang atau
otak.
g. Anemia yang terjadi akibat berbagai sebab.
h. Kelelahan sering terjadi akibat gizi yang buruk, malnutrisi protein, dan
gangguan oksigenasi jaringan akibat anemia.
Menurut Corwin (2001), Wilson ( 2003), dan Escott (2008), terdapat
beberapa gejala kanker yang secara khusus berdasarkan jenis kanker yang dialami,
yaitu :
a. Kanker Paru-paru
Batuk persisten, dispnea, nyeri pleura (dada), hemoptisis ( batuk
berdarah ). Aneroksia, penurunan berat badan adalah manifestasi kanker
paru yang lanjut.
b. Kanker Payudara
Adanya benjolan, penebalan kulit ( tickening), perubahan bentuk, kulit
menjadi merah , panas , edematosa ( pembengkakan), beridurasi ( benjolan
) dan nyeri.
c. Kanker Lambung
Gejala dini rasa sedikit tidak enak pada abdomen bagian atas, rasa penuh
setelah makan.Pada akhirnya terjadi aneroksia dan penurunan berat badan.
d. Kanker Kolon
Perubahan kebiasaan defekasi, pendarahan, nyeri, aneroksia dan
penurunan berat badan.
e. Kanker kandung kemih atau ginjal
Ada darah pada seni, rasa sakit atau perih pada saat buang air kecil,
keseringan atau kesulitan buang air kecil, sakit pada kandung kemih.
f. Kanker prostat
Kencing tidak lancar, rasa sakit ketika buang air kecil rasa terbakar.
g. Leukimia
Pucat, kekelahan kronis, penurunan berat badan, anemia , mual , muntah
dan demam.
h. Kanker otak
Sakit kepala sering merupakan manifestasi kanker otak stadium lanjut.
i. Kanker Mulut
Bengkak kecil di dasar mulut yang dapat bergerak dan tidak menimbulkan
nyeri.
j. Kanker hati
Nyeri akut karena pendarahan dari tumor, acites ( penumpukan cairan di
rongga perut), nafsu makan menurun dan muncul ikterus ( kuningan )
k. Kanker Pankreas
Penurunan nafsu makan, penurunan berat badan dan nyeri punggung.
l. Nasofaring
Gejala pertama baru muncul setelah pertumbuhan masuk meluas
kelingkungan sekitar misalnya menyebabkan mata juling, tuli satu telinga
dan bengkak dileher akibat metastatis di kelenjar limfe leher.
m. Kanker serviks
Gangguan silus haid, keputihan berlebihan dan bau busuk, penderita sering
mendadak sakit perut.
B.2 Pengobatan Kanker
Meskipun pengobatan kanker seperti operasi, kemoterapi, radiasi telah
meningkatkan masa hidup penderita, manipulasi respon imun terhadap kanker
untuk meningkatkan destruksi kanker, merupakan hal yang penting. Mengontrol
kanker dengan cara-cara imunologis berperan dalam eradiksi kanker primer,
metastasis, dan residu yang tertinggal setelah regimen terapi konvensional.
Imunoterapi adalah bentuk terapi kanker yang baru diciptakan yang
memanfaatkan dua sifat atau ciri utama dari sistem imun : spesifitas dan daya
ingat. Imunoterapi dapat digunakan untuk mengidentifikasi tumor dan
memungkinkan pendeteksian semua tempat metastasis yeng tersembunyi.
Imunoterapi dapat merangsang sistem kekebalan penjamu agar berespon secara
lebih agresif terhadap tumor , atau sel sel tumor dapat diserang oleh antibodi yang
dibuat di laboratorium.
Imunoterapi yang digunakan seperti ; Antibodi Berlabel Fluoresen,
Stimulan Imunitas dan Antibodi penyerang. Selain itu, sedang dikembangkan
terapi yang didasarkan pada biologi molekuler sel tumor yang khas yang berbeda
dengan sel – sel non kanker, contoh terapi biologi untuk tumor yang
menggunakan obat-obat yang secara spesifik menghambat faktor angiogenesis
dan enzim-enzim tumor tertentu misalnya tipe IV. Hasil imunoterapi yang ideal
adalah eradiksi spesifik kanker dengan kerusakan minimal terhadap sel normal
penjamu.
a) Imunoterapi Pasif
1. Antibodi Monoklonal
Imunoterapi (IT) pasif yang menggunakan antibody monoclonal
(mAb) untuk menghancurkan sel ganas telah dicoba, namun tidaklah
spesifik. Anti CD20 adalah mAb yang banyak digunakan dalam
onkologi. mAb membunuh sel kanker melalui apoptosis atau aktivasi
komplemen, ADCC atau fagositosis. Sebagai contoh CD20 diekspresikan
pada sel B normal dan sel limfoma.Infus anti CD20 dapat mengurangi
atau menyembuhkan 50% limfoma sel B.
Anti CD20 menghancurkan sel B ganas melalui aktivasi
komplemen dan sitotoksisitas selular, serta menginduksi apoptosis sel B.
Anti-CD20 telah pula dikonjugasikan dengan bahan radioaktif untuk
menghantarkan dosis tinggi radioaktif langsung ke tempat kanker. Anti-
CD20 juga merusak sel normal dan bila dilabel dengan bahan radioaktif
dapat juga digunakan untuk mengetahui luas penyebaran limfoma dalam
tubuh.
2. Imunotoksin
Imunoterapi dengan mAb terhadap TAA telah dicoba bersama
toksin yang dapat mencegah proses selular atau bersama radioisotop yang
membantu membunuh DNA dan melepas partikel dengan energy tinggi.
Namun dosis yang diperlukan adalah tinggi dan toksik untuk sumsum
tulang. Cara pemberian antibody ini belum nampak berhasil.
b) Imunoterapi Aktif
Imunoterapi aktif telah digunakan dalam usaha mencegah anergi sel T.
Anergi terjadi bila antigen kanker dipresentasikan ke sel T tanpa bantuan
molekul konstimulator.Jalan mudah untuk melakukan hal itu ialah dengan
menginfuskan sitokin. IL-2 akan mengaktifkan sel T dan sel NK secara
langsung. Namun IL-2 dapat menimbulkan efek samping berat yaitu
kebocoran kapiler, edem dan hipotensi.Pemberian IFN sistemik, baik IFN-α
dan IFN-β meningkatkan ekspresi MHC-1.IFN juga menunjukkan efek anti-
proliferasi terhadap sel kanker, meskipun pemberian sistemik memberikan
efek samping.
c) Lymphokine Activated Killer cells
CTC/Tc dapat diaktifkan di luar tubuh dan kemudian diinfuskan
kembali dengan atau tanpa IL-2.Limfosit perifer dibiakkan dengan IL-2 untuk
memperoleh Lymphokine Activated Killer (LAK) sitotoksik yang diaktifkan.
Sel tersebut tidak lain adalaha sel NK, jadi tidak mempunyai spesifisitas sel
T, tetapi hanya bereaksi dan membunuh sel kanker saja yang tidak atau
sedikit mengekspresikan MHC-I. Cara tersebut menunjukkan toksisitas yang
bermakna.
d) Tumor Infiltrating Lymphocyte
Pada pemeriksaan histologi kanker padat ditemukan infiltrasi sel.
Tumor.Infiltrating Lymphocyte (TIL) tersebut terutama terdiri atas
makrofag dan limfosit yang terdiri atas sel NK dan CTL.Seperti halnya
dengan LAK, TIL diperoleh dari penderita dengan kanker, diaktifkan
dengan IL-2.TIL adalah limfosit CD8+ yang diperoleh dari kanker penderita
yang beberapa diantaranya spesifik untuk kanker.Cara yang juga
menginfuskan kembali ke penderita dengan atau tanpa IL-2 ini
menunjukkan toksisitas yang berarti.
e) Macrophage Activated Killer Cells
Pendekatan lain yaitu menggunakan sitokin dan makrofag yang
diaktifkan. Monosit diisolasi dari darah perifer penderita dengan kanker,
dibiakkan in vitro dengan sitokin (IFN-ɣ) yang mengaktifkan sel dan
meningkatkan sitotoksisitas sebelum diinfuskan kembali ke
penderita.Meskipun sel yang diperoleh sangat sitotoksik dan fagositik, namun
non-spesifik.
C. IMUNOTERAPI PENYAKIT DEGENERATIF
Penyakit degeneratif adalah penyakit yang mengiringi proses penuaan.
Sistem imun mengalami perubahan seiring bertambahnya umur, karena terjadi
kemunduran respon imun seluler dan humoral terhadap antigen, juga terjadi
peningkatan respon imun terhadap autoantigen.Timbulnya penyakit degenerative
berhubungan dengan penyakit
autoimun dimana system imun tidak mengenali jaringan tubuh sendiri dan
menyerangnya. Gangguan ini bercirikan terdapatnya auto-antibodi atau sel T
autoreaktif, dan lazimnya dibagi dalam dua kelompok : - auto-imunitas organ
spesifik (menyangkut organ tunggal), misalnya anemia; - auto-imunitas non-organ
spesifik (menyangkut pelbagai organ) misalnya SLE, rema, MS. (multiple
sclerosis = banyak pengerasan, cth bicara kaku, kaki tangan kaku, persendian
kaku.
Penyakit degeneratif yang dibahas ada dua macam yaitu penyakit
generative yang disebabkan karena gangguan autoimun yaitu rema dan diabetes
mellitus tipe 1.
C.1 PENYAKIT REMA (ARTHRITIS RHEUMATICA)
Arthitis rheumatic, singkatan A.R., rematik atau rema adalah
penyakit sendi kronis dan sistematis yang termsuk kelompok gangguan auto-
imun. Bercirikan perubahan-perubahan beradang kronis dari sendi dan
membrannya (Synovium) dan kemudian destruksi tulang rawan dengan perubahan
anatomis. Yang khusus dihinggapi rema adalah persendian tangan dan kaki, lutut,
bahu, dan tengkuk.
Gejalanya yang khas berupa bengkak dan nyeri simetris di sendi-sendi
tersebut. Nyeri ini paling hebat waktu bangun pagi dan umumnya berkurang
setelah melakukan aktivitas. Nyeri waktu malam dapat menyulitkan tidur. Sendi-
sendi menjadi kauk waktu pagi (morning stiffnes), sukar digerakkan dan kurang
bertenaga, khususnya juga setelah bangun selama 1-2 jam lebih. Gejala lainnya
adalah perasaan lelah dan malaise umum. Pada lebih kurang 20% dari pasien
terdapat benjolan-benjolan kecil (noduli), terutama di jeriji serta pergelangan
tangan dan kaki.
Jalannya penyakit. Rema berlangsung dengan serangan bergelombang
secara progresif, artinya berangsur-angsur bertambah berat akibat degenerasi
tulang rawan. Sering kali penyakit ini mengakibatkan cacat seperti pada artrose
akibat pertumbuhan sendi yang keliru, misalnya jeriji dan tangan membengkok.
Progres rema sukar diramalkan, kadang-kadang kerusakan hanya terbatas tetapi
adakalanya terjadi dekstruksi hebat setelah beberapa tahun sampai puluhan tahun,
yang dapat menyebabkan invaliditas. Selain itu, sering kali terjadi komplikasi-
komplikasi di luar sendi (extra articular) misalnya di paru-paru, jantung, ginjal,
kulit (nodules), dan organ-organ lain.
Prevalensi rema menghinggapi kira-kira 2% dari populasi baik di Negara-
negara dingin dan lembab seperti Eropa Barat. Insidensinya kira-kira tiga kali
lebih sering pada wanita daripada pria. Rema dapat timbul sejak usia 10 tahun,
tetapi paling sering antara 30-40 tahun. Pada penyakit ini, factor keturunan
memegang peranan yang nyata.
Pathogenesis
Rema merupakan suatu penyakit auto-imun, dimana antibody tubuh
menyerang dan merusak organ/jaringan sendiri. Penyakit diawali dengan
masuknya suatu antigen (entah mikro-organisme atau zat lain) ke dalam sirkulasi.
Antigen ini diperangkap oleh makrofag, tetapi tidak dimusnahkan atau
dikeluarkan karena sebab-sebab yang tidak diketahui. Akibatnya adalah
terbentuknya antibodies dari jenis igM, yang disebut factor rema. Antigen dan
antibodies bergabung dengan komplemen dan menghasilkan suatu
imunokompleks, yang kemudian menimbulkan serentetan reaksi peradangan.
Akibat penggabungan ini antara lain terjadi pelepasan zat-zat chemotactic, yang
berdaya menarik lekosit tertentu (neutrofil) ke daerah peradangan (Yun.
taxis=pergerakan, regulasi). Dalam 24 jam, kira-kira satu milyar neutrofil
menginvasi sendi bersangkutan. Granulosit tersebut “memakan” imunokompleks
(fagocytose), lalu mati sambil melepaskan enzim-enzim lysosomal, seperti
protease, glikoprotease dan fosfatase. Semua enzim ini dapat merusak tulang
rawan dan bahan dasar tulang (matrix).
Tulang rawan terdiri dari jaringan lebat benang-benang kolagen kuat
dengan diantaranya molekul-molekul besar dari proteoglycan, yang dapat
mengikat air. Kadar air di dalam tulang rawan adalah 80%. Proteoglycan adalah
molekul-molekul besar yang terdiri dari inti protein, tempat terikatnya zat-zat
glucosamino-glycan (GAG) SEPERTI Chondroitinsulfat (CS) keratansulfat (KS).
Fungsinya ialah untuk memelihara kelenturan dan melumasi tulang rawan.
Bila tulang rawan mengalami kerusakan, jaringan kuat itu pecah dab
proteoglycan dapat lolos. Akibatnya, tulang rawan hilang kekuatan dan
fleksibilitasnya. Berhubung tidak memiliki pembuluh darah atau neuron, maka
kerusakannya pada umumnya tidak dapat diperbaiki lagi (irreversible). Zat-zat
peronbakan dari tulang rawan dan sisanya kemudian dapat bekerja sebagai antigen
lagi dan siklus peradangan senantiasa berlanjut.
Diagnosa
Pertama-tama didasarkan atas gejala tersebut di atas dan dapat dipastikan
melalui foto X-ray yang pada umumnya selama 6 bulan pertama belum
menunjukkan kelaian sendi. Selain itu, di dalam darah dapat ditentukan adanya
factor rema (=IgM), kenaikan laju endap eritrosit, dan turunnya kadar hemoglobin
(anemia), yang semuya tidak spesifik bagi rema. Lebih khas lagi adalah tes
endapan mucine dalam cairan synovial (di antara sendi) serta pemeriksaan
mikroskopis dari nodule dan jaringan synovial, (di antara sendi) serta pemeriksaan
mikroskopis dari nodule dan jaringan synovial, yang memperlihatkan kelainan-
kelainan tertentu.
Pengobatan
Guna menanggulangi gejala nyeri, peradangan dan kelakuan banyak digunakan
analgetika antiradang dan kortikosterida.
a. Analgetika antiradang atau NSAIDs (Non-Steroidal Anti-inflmaatory
Drugs) sangat berguna untuk menghalau gejala rema. Obat ini lebih efektif
daripada analgetika perifer(parasetamol, asetosal atau kombinasinya denga
obat antinyeri lain). Respons individual untuk NSAIDs amat bervariasi,
maka sebaiknya dicoba beberapa obat untuk menentukan obat mana yang
paling efektif bagi pasien tertentu. Setiap obat hendaknya diminum selama
1 minggu. Pilihan pertama adalah obat denga relative sedikit efek
sampingnya, seperti ibuprofen, ketoprofen, naproksen, dan diclofenac,
juga obat selektif baru nabumeton dan meloxicam. Yang ternyata efektif
untuk morning stiffness adalah zat-zat long-acting atau sediaan time-
release yang diminum sebelum tidur, misalnya diklofenac retard 75 mg.
Sebagai obat tambahan, kombinasi parasetamol dengan kodein atau
propoksifen sering kali sangat ampuh.
Penggunaan jangka panjang dianjurkan dengan tambahan suatu
penghambat asam lambung (omeprazol, lansoprazol, pantoprazol) atau zat
pelindung mukosa misopristol guna mencegah terjadinya tukak lambung .
b. Kortikosteroid sangat efektuf tetapi sering kali mengakibatkan efek
samping dan tetapi sukar dihentikan, maka terutama digunakan bila
penyakit menjadi parah (exacerbatio). Misalnya, pada penderita lansia,
exacerbasi dapat diatasi dengan dosis rendah prednisone (sekecil 10 mg)
yang sepanjang tahun dapat dikurangi sampai dosis pemeliharaan. Tetapi,
pada pasien yang lebih muda diperlukan dosis yang jauh lebih tinggi untuk
waktu yang lama dengan resiko efek samping besar (6,7). Secara
intraartikuler, kortikosteroid digunakan untuk kekuatan dan nyeri hebat
pada sendi
c. Obat-obat supresif long acting, juga disebut DMARD’S (Disease
Modifying AntirheumaTIC Drugs) memiliki khasiat antiradang kuat. Obat
ini juga berdaya anti-erosif, artinya dapat menghentikan atau
memperlambat progress kerusakan tulang rawan. Senyawa-senyawa ini
tidak dapat menghentikan atau memperlambat progress kerusakan tulang
rawan. Senyawa-senyawa ini tidak bekerja analgetis, maka biasanya
dikombinasi dengan NSAIDs guna memperkuat efeknya.
IMUNOSUPRESIVA
Imunosupresiva adalah zat-zat yang justru menekan aktivitas system-imun
dengan jalan interaksi di pelbagai titik dari system tersebut. Titik kerjanya dalam
proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokine, sehingga mata
rantai penting dalam respons-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial
bagi perbanyakan dan diferensiasi limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek
sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan
pemberian antibody terhadap limfosit.
Penggunaannya. Imunosupresiva banyak digunakan untuk mencegah
reaksi penolokan pada transplantasi organ, karena tubuh membentuk antibody
terhadap sel-sel asing yang diterimanya. Guna mencegah penolakan transplantasi
selalu diberikan:
- Kortikosteroida
- Azatioprin, siklofosfamida, atau mycofenolat
- Siklosporin-A dan tacrolimus
- Limfositimunoglobulin (lumfoglobulin)
Obat-obat imunosupresif lain adalah sulfasalazin dan talidomida.Guna
menekan aktivitas penyakit autoimun sering digunakan zat-zat imunosupresif.
Misalnya pada rematik dan penyakit radang usus (colitis ulcerosa, M. crohn)
diberikan sulfasalazin dan sitostatika (MTX, azatropin) dengan hasil baik.
Penyakit autoimun. Pada gangguan ini, fungsi system-imun terganggu akibat
adanya auto-antibodi, pada mana limfo-T dan NK-cells menyerang jaringan dan
organ tubuh sendiri.
Keadaan ini dapat terjadi bila system-imun tidak berdaya (lagi) untuk
mengenali jaringan tubuh sendiri sebagai miliknya dan menyerangnya. Gangguan
autoimun terkenal adalah rema, diabetes tipe I, dan radang tiroid. Penyebab
mengapa system tangkis kehilangan daya pengenalannya belum begitu jelas,
meskipun diketahui bahwa faktor genetis, hormonal, viral dan lingkungan
berperan pada manifestasi dan hebatnya penyakit.
Auto-antibodies dalam keadaan normal juga dibuat oleh system imun,
tetapi segera dinonaktifkan oleh makrofag dan limfo-T. bila produksinya terlau
banyak, barulah dapat merusak jaringan. Auto-antibodies dapat bereaksi langsung
terhadap organ dengan menimbulkan peradangan dan kerusakan, seperti pada
membrane glomerolus ginjal. Dapat pula mngacaukan fungsi suatu proses,
misalnya dari reseptor asetikolin pada myasthenia grafis. Kemungkinan lain
adalah terbentuknya kompleks imun yang beredar dengan aktivitas biologis.
Zat-zat tersendiri
a. Siklosporin
Bersifat imunosupresif istimewa dengan jalan menghambat secara spesifik
respon imun seluler. Siklosporin terutama digunakan padda transplantasi organ
atau sumsum untuk profilakse dan penanganan reaksi penolakan. Siklosporin
dapat dikombinasi dengan kortikoida atau imunosupresiva lain dengan maksud
mengurangi nefrotoksiknya. Resorpsinya dari usus sangat variable, bersifat sangt
lipofil, maka distribusinya baik ke semua jaringan tubuh. Dalam hati dirombak
menjadi 15 metabolit yang terutama diekskresikan melalui empedu dengan siklus
enterohepatis. Hanya 6% diekskresikan lewat kemih. Efek sampingnya adalah
nefrotoksisitas yang tergantung dari dosis dengan turunnya nilai kreatinin.
Bersifat karsinogen, terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi (limfoma,
kanker).
b. Tacrolimus
Khasiat dan mekanisme imunosupresifnya sama dengan siklosporin,
namun lebih kuat dalam pencegahan sintesa. Juga bersifat sangat lipofil dan
sama efektifnya dengan siklosporin padatransplantasi hati, jantung, paru-paru
dan ginjal. Terutam digunakan bersama kortikosteroida. Lebih sering
menimbulkan efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
a. Mycofenolat-mofetil
Khasiat menekan perbanyakan dari khusus limfosit melalui inhibisi
enzim dehidrogenase yang diperlukan untuk sintesis purinnya
DNA/RNA. Dalam hati segera diubah menjadi asam mycofenolat aktif.
Ekskresinya berlangsung melalui urin.
b. Kortikosteroida
Hormon anak ginjal berkhasiat anti radang, imunosupresif dan
antialergis. Kedua efek terakhir untuk sebagian berhubungan dengan
kerja antiradangnya dan terutama Nampak pada reaksi imun di
jaringan. Kortikosteroida banyak digunakan sebagi obat tambahan
pada penyakit auto-imun seperti rema.
c. Talidomida
Obat tidur dengan efek teratogen sangat kuat yang berdasarkan
khasiat anti-angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif dan
antiradang.
d. Sulfasalazin
Bersifat antiradang dengan jalan blockade siklooksigenase serta
lipooksigenase dan dengan demikian menghambat sintesis
prostaglandin dan leukotrien. Sulfasalazin. Mempengaruhi fungsi
limfosit, juga berdaya antioksidan.
C.2 DIABETES MELLITUS TIPE 1
C.2.1 Etiologi dan Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan
sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula
yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie,
Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi
yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di
dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1.
ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat
beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel á dan sel ä. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-
sel á memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel ä memproduksi hormon
somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif
menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa
tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan
respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat,
bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah
merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun
sejalan dengan perjalanan penyakit.
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama
seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu.
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan
pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM
Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin
lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi
anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi
risiko tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, adabeberapa
otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defisiensi insulin, fungsi sel-sel á kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi
glukagon yang berlebihan oleh sel-sel á ƒnpulau Langerhans. Secara normal,
hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi
dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis
diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi
somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan
terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang
pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1
yang sedang mendapat terapi insulin.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM
Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam
lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di
jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme
glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh.
Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor
glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
Patofisiologi dari DM tipe satu yaitu hampir 90-95% islet sel pankreas
hancur sebelum terjadi hiperglikemia akibat dari antibodi islet sel. Kondisi
tersebut menyebabkan insufisiensi insulin dan meningkatkan glukosa. Glukosa
menumpuk dalam serum sehingga menyebabkan hiperglikemia, kemudian
glukosa dikeluarkan melalui ginjal (glukosuria) dan terjadi osmotik diuresis.
Osmotik diuresis menyebabkan terjadinya kehilangan cairan dan terjadi polidipsi.
Penurunan insulin menyebabkan tubuh tidak bisa menggunakan energi dari
karbohidrat sehingga tubuh menggunakan energi dari lemak dan protein sehingga
mengakibatkan ketosis dan penurunan BB. Poliphagi dan kelemahan tubuh akibat
pemecahab makanan cadangan.
Etiologi dari Diabetes Mellitus Tipe 1 yaitu tergantung insulin yang
ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas disebabkan oleh :
a. Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1. Ini
ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen HLA ( Human
Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah
sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
C.2.2 Gejala dan Tanda Diabetes Mellitus Tipe 1
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
C.2.3 Penatalaksanaa Diabetes Mellitus Tipe 1
1. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensiinsulin
dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan
setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan
waktu harapan hidup.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga
sebaiknyadiperhatikan.Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan
melebihi 300mg per hari.Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan
nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam
lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam
(terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling
tidak 25g per hari. Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu
mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan
kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-
buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.
2. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar
guladarah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan
nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita
diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE
(Continuous,Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training).Sedapat
mungkinmencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-
umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh
olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiripendinginan
antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan
aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkanpenggunaan
glukosa.
3. Terapi Insulin
insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. PadaDM
Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi
dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I
harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM
Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
Pengendalian sekresi insulin
Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh
untukmenstabilkan kadar gula darah. Apabila kadar gula di dalam darah tinggi,
sekresi insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar gula darah rendah,
maka sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula darah
di bawah 80 mg/dl akan menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah.
Stimulasi sekresi insulin oleh peningkatan kadar glukosa darah
berlangsung secara bifasik. Fase 1 akan mencapai puncak setelah 2-4 menit dan
masa kerja pendek, sedangkan mula kerja (onset) fase 2 berlangsung lebih lambat,
namun dengan lama kerja (durasi) yang lebih lama pula. 3 berikut ini
menunjukkan pengaruh pemberian infus glukosa terhadap kadar insulin darah.
Infus glukosa diberikan untuk mempertahankan kadar gula darah tetap tinggi
(lebih kurang 2 sampai 3 kali kadar gula puasa selama 1 jam). Segera setelah infus
diberikan kadar insulin darah mulai meningkat secara dramatis dan mencapai
puncak setelah 2-4 menit. Peningkatan kadar insulin fase 1 ini berasal dari sekresi
insulin yang sudah tersedia di dalam granula sekretori. Peningkatan kadar insulin
fase 2 berlangsung lebih lambat namun mampu bertahan lama. Peningkatan fase 2
ini merefleksikan sekresi insulin yang baru disintesis dan segera disekresikan oleh
sel-sel b kelenjar pankreas. Jadi jelas bahwa stimulus glukosa tidak hanya
menstimulasi sekresi insulin tetapi juga menstimulasi ekspresi gen insulin.
Disamping kadar gula darah dan hormon-hormon saluran cerna,
adabeberapa faktor lain yang juga dapat menjadi pemicu sekresi insulin, antara
lain kadar asam lemak, benda keton dan asam amino di dalam darah, kadar
hormon-hormon kelenjar pankreas lainnya, serta neurotransmiter otonom. Kadar
asam lemak, benda keton dan asam amino yang tinggi di dalam darah akan
meningkatkan sekresi insulin.
Dalam keadaan stres, yaitu keadaan dimana terjadi perangsangan
syarafsimpatoadrenal, hormon epinefrin bukan hanya meninggikan kadar glukosa
darah dengan memacu glikogenolisis, melainkan juga menghambat penggunaan
glukosa di sel-sel otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang penyerapan
glukosanya dipengaruhi insulin. Dengan demikian, glukosa darah akan lebih
banyak tersedia untuk metabolisme otak, yang penyerapan glukosanya tidak
bergantung pada insulin. Dalam keadaan stres, sel-sel otot terutama menggunakan
asam lemak sebagai sumber energi, dan epinefrin memang menyebabkan
mobilisasi asam lemak dari jaringan.
Mekanisme kerja insulin
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalampengendalian
metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pancreas akan langsung
diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan
ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah
tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan
meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi
sehingga tidak dapat memproduksi energy sebagaimana seharusnya.
Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam
sel,insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik
metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein
danmineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta
meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai
peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negative dan komplikasi
yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
Prinsip terapi insulin
Indikasi
1. Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin endogen oleh sel-sel β kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada
2. Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin
apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadarglukosa darah
3. Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard akut atau stroke
4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin,
apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik
6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik.
7. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara
bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa
darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi
peningkatan kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO
Cara Pemberian
Sediaan insulin saat initersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya
dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan
subkutan (di bawah kulit). Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada
gambar 4 atas.
Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal.Penyerapan paling cepat
terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan
bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan
terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang
dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja (onset)
dan juga mempersingkat masa kerja.
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalambentuk
pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akanmenyemprotkan
larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau
ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia untuk penggunaan di
klinik.Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih mudah
diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan.Diharapkan suatu saat nanti dapat
ditemukan sediaan insulin per oral atau per nasal.Gambar 4. Lokasi penyuntikan
insulin yang disarankan
Penggolongan sediaan insulin
Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia,
yangterutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).
Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)
Keterangan dan contoh sediaan untuk masing-masing kelompok disajikan dalam
tabel 6 (IONI, 2000 dan Soegondo, 1995b).
Tabel 6. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja
Jenis Sediaan
Insulin
Mula kerja
(jam)
Puncak
(jam)
Masa kerja
(jam)
Masa kerja
Singkat(Shortacting/
Insulin), disebut juga
insulin
Regular
0,5 1-4 6-8
Masa kerja Sedang 1-2 6-12 18-24
Masa kerja Sedang,
Mula kerja cepat
0,5 4-15 18-24
Masa kerja panjang 4-6 14-20 24-36
Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu
jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita danberapa
frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan seringkali
memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu.Umumnya, pada tahap awal
diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin
dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan.Insulin kerja
singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya
diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan.Namun,
karena tidak mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia
sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja
sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit,
tetapimemanjang pada penderita diabetes yang membentuk antibodi terhadap
insulin.Insulin dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan fungsi
ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di dalam darah (IONI,2000).
SEDIAAN INSULIN YANG BEREDAR DI INDONESIA
Dalam tabel 7 disajikan beberapa produk obat suntik insulin yang
beredardi Indonesia (IONI, 2000 dan Soegondo, 1995b).
Tabel 7. Profil beberapa sediaan insulin yang beredar di Indonesia
Nama
Sediaan
Golongan Mula
kerja
(jam)
Puncak
(jam)
Masa
kerja
(jam)
Sediaan*
Actrapid
HM
Masa kerja
Singkat
0,5 1-3 8 40 UI/ml
Actrapid
HM
Penfill
Masa kerja
Singkat
0,5 2-4 6-8 100 UI/ml
Insulatard
HM
Masa kerja
Sedang,Mula
kerja cepat
0,5 4-12 24 40 UI/ml
Insulatard
HM Penfill
Masa kerja
Sedang,Mula
kerja cepat
0,5 4-12 24 100 UI/ml
Monotard Masa kerja 2,5 7-15 24 40 UI/ml
HM Sedang,Mula
kerja cepat
dan 100
UI/ml
Protamin
Zinc
Sulfat
Kerja lama 4-6 14-20 24-36
Humulin Sediaan
Campuran
0,5 1,5-8 14-16 40 UI/ml
20/80
Humulin
30/70
Sediaan
Campuran
0,5 1-8 14-15 100 UI/ml
Humulin
40/60
Sediaan
Campuran
0,5 1-8 14-15 40 UI/ml
Mixtard
30/70
Penfill
Sediaan
Campuran
100 UI/ml
*Untuk tujuan terapi, dosis insulin dinyatakan dalam unit internasional (UI). Satu
UI merupakan jumlah yang diperlukan untuk menurunkan kadar gula darah
kelinci sebanyak 45 mg%. Sediaan homogen human insulin mengandung 25-30
U/mg.
PENYIMPANAN SEDIAAN INSULIN (Soegondo, 1995)
Insulin harus disimpan sesuai dengan anjuran produsen obat yang
bersangkutan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Insulin harus disimpan di lemari es pada temperatur 2-8o C. Insulin vialEli
Lily yang sudah dipakai dapat disimpan selama 6 bulan atau sampai200
suntikan bila dimasukkan dalam lemari es. Vial Novo Nordisk insulinyang
sudah dibuka, dapat disimpan selama 90 hari bila dimasukkanlemari es.
Insulin dapat disimpan pada suhu kamar dengan penyejuk 15-20o C bilaisi
vial akan digunakan dalam satu bulan. Penelitian menunjukkanbahwa
insulin yang disimpan pada suhu kamar lebih dari 300Cakan lebih cepat
kehilangan potensinya. Penderita dianjurkan untukmemberi tanggal pada
vial ketika pertama kali memakai dan sesudahsatu bulan bila masih tersisa
sebaiknya tidak digunakan lagi.
Penfill dan pen yang disposable berbeda masa simpannya. Penfill
regulardapat disimpan pada temperatur kamar selama 30 hari sesudah
tutupnyaditusuk. Penfill 30/70 dan NPH dapat disimpan pada temperatur
kamarselama 7 hari sesudah tutupnya ditusuk.
Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada daerah penyuntikan
yangsering terjadi bila insulin dingin disuntikkan, dianjurkan
untukmengguling-gulingkan alat suntik di antara telapak tangan
ataumenempatkan botol insulin pada suhu kamar, sebelum disuntikkan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta : Departemen Kesehatan
Sukandar, Elin Yulina, dkk. 2009. Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT. Isfi
Tjay, Drs. Tan Hoan. 2008. Obat-obat Penting Edisi Keenam. Jakarta : Elex
Media Komputindo