Diktat Imunologi
-
Upload
ida-ayu-sinthia-pradnyaswari -
Category
Documents
-
view
123 -
download
12
description
Transcript of Diktat Imunologi
BAB I
RESPONS IMUN
1.1 PENGERTIAN
Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran
ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem indokrin, sistem
imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar
diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk
melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan
sistem limforetikuler. Sistem ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya
tersebar diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus,
sistem saluran napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas
bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai
dengan sifat dan fungsinya masing-masing (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993; Kresno,
1991).
Dengan kemajuan imunologi yang telah dicapai sekarang ini, maka konsep
imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang bersifat faali yang melengkapi
manusia dan binatang dengan suatu kemampuan untuk mengenal suatu zat sebagai asing
terhadap dirinya, yang selanjutnya tubuh akan mengadakan tindakan dalam bentuk
netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme yang dapat
menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuh sendiri. Konsep
imunitas tersebut, bahwa yang pertama-tama menentukan ada tidaknya tindakan oleh
tubuh (respons imun), adalah kemampuan sistem limforetikuler untuk mengenali bahan
itu asing atau tidak (Bellanti,1985: Marchalonis, 1980; Roitt,1993).
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh terpapar suatu
zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi asing ini dinamakan
antigen atau imunogen dan proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan
respons imun yang menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen
atau imunogen merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons imun
tubuh yang dapat diamati baik secara seluler ataupun humoral. Dalam keadaan tertentu
(patologik), sistem imun tidak dapat membedakan zat asing (non-self) dari zat yang
berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat
anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Kejadian ini disebut dengan Autoantibodi
(Abbas dkk., 1991; Roit dkk., 1993).
Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan terjadi dua
jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons imun spesifik. Walaupun
kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun telah dibuktikan bahwa kedua jenis
respons imun diatas saling meningkatkan efektivitasnya. Respons imun yang terjadi
sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang
terdapat didalam system imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian
rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologic yang seirama dan serasi (Grange,
1982; Goodman, 1991; Roit dkk., 1993).
1. 2 Respons Imun Nonspesifik
Umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), dalam artian bahwa
respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah
terpapar oleh zat tersebut. Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut : salah satu
upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen misalnya, bakteri,
adalah dengan cara menghancurkan bakteri tersebut dengan cara nonspesifik melalui
proses fagositosis. Dalam hal ini makrofag, neutrofil dan monosit memegang peranan
yang sangat penting. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel fagositosis tersebut harus
berada dalam jarak yang dekat dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa
partikel tersebut harus melekat pada permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini maka
fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat
atau mediator tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik atau kemotaktik yang
berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil, makrofag atau komplemen
yang telah berada dilokasi bakteri (Kresno, 1991; Roitt, 1993).
Selain factor kemotaktik yang berfungsi untuk menarik fagosit menuju antigen
sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya, bakteri perlu mengalami opsonisasi
terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih dahulu dilapisi oleh immunoglobulin
atau komplemen (C3b), supaya lebih mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel
bakteri masuk kedalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan
fagosum, ia terperangkap dalam kantong fagosum, seolah-olah ditelan dan kemudian
dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang
ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan gangguan metabolisme bakteri
(Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Selain fagositosis diatas, manifestasi lain dari respons imun nonspesifik adalah
reaksi inflamasi. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh
beberapa jenis sel, misalnya histamine yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit,
Vasoactive amine yang dilepaskan oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari
komponen – komponen komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari mastosit dan
basofil. Mediator-mediator ini akan merangsang bergeraknya sel-sel polymorfonuklear
(PMN) menuju lokasi masuknya antigen serta meningkatkan permiabilitas dinding
vaskuler yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang
disebut dengan respons inflamasi akut (Abbas, 1991; Stite; 1991; Kresno, 1991).
1.3 Respon Imun Spesifik
Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang timbul akibat dari
rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar sebelumnya. Respons
imun spesifik dimulai dengan adanya aktifitas makrofag atau antigen precenting cell
(APC) yang memproses antigen sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi
dengan sel-sel imun. Dengan rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel system
imun berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel yang memiliki kompetensi
imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen (Bellanti, 1985; Roitt,1993; Kresno,
1991).
Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat dimusnahkan dan
kemudian sel-sel system imun mengadakan involusi, namun respons imun primer
tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon atau kelompok sel yang disebut
dengan memory cells yang dapat mengenali antigen bersangkutan. Apabila dikemudian
hari antigen yang sama masuk kedalam tubuh, maka klon tersebut akan berproliferasi dan
menimbulkan respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat dan lebih intensif
dibandingkan dengan respons imun primer. Mekanisme efektor dalam respons imun
spesifik dapat dibedakan menjadi :
a. Respons imun seluler
Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup dan berkembang biak
secara intra seluler, antara lain didalam makrofag sehingga sulit untuk dijangkau oleh
antibody. Untuk melawan mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons
imun seluler, yang diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T yang disebut dengan
sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan
melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada
permukaan sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk memproduksi berbagai
jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon, yang dapat membantu makrofag
untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain yang
disebut dengan sel T-sitotoksik (T-cytotoxic), juga berfungsi untuk menghancurkan
mikroorganisme intraseluler yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung
(cell to cell). Selain menghancurkan mikroorganisme secara langsung, sel T-
sitotoksik, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah penyebaran
mikroorganisme kedalam sel lainnya.
b. Respons Imun Humoral
Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit B menjadi satu populasi
(klon) sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke dalam darah. Pada respons
imun humoral juga berlaku respons imun primer yang membentuk klon sel B
memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu jenis antibody
spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini akan berikatan
dengan antigen membentuk kompleks antigen – antibodi yang dapat mengaktivasi
komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Supaya limfosit B
berdiferensiasi dan membentuk antibody diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-
helper), yang atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang
dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi antibody. Selain oleh sel T-
penolong, produksi antibody juga diatur oleh sel T penekan (T-supresor), sehingga
produksi antibody seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan.
c. Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral
Interaksi ini disebut dengan antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC),
karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini antibodi berfunsi
melapisi antigen sasaran, sehingga sel natural killer (NK), yang mempunyai reseptor
terhadap fragmen Fc antibodi, dapat melekat erat pada sel atau antigen sasaran.
Perlekatan sel NK pada kompleks antigen antibody tersebut mengakibatkan sel NK
dapat menghancurkan sel sasaran.
Respons imun spesifik (adaptif) dapat dibedakan dari respons imun bawaan,
karena adanya cirri-ciri umum yang dimilikinya yaitu; bersifat spesifik, heterogen dan
memiliki daya ingat atau memory. Adanya sifat spesifik akan membutuhkan berbagai
populasi sel atau zat yang dihasilkan (antibodi) yang berbeda satu sama lain, sehingga
menimbulkan sifat heterogenitas tadi. Kemampuan mengingat, akan menghasilkan
kualitas respons imun yang sama terhadap konfigurasi yang sama pada pemaparan
berikutnya.
1.4 Komponen Sistem Imun
Sistem imun dilengkapi dengan kemampuan untuk memberikan respons imun non
spesifik, misalnya fagositosis, maupun kemampuan untuk memberikan respons imun
spesifik yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid yang tergolong kedalam system
limforetikuler (Oppenheim dkk.,1987; Abbas dkk.,1991; Roit dkk.,1993). Sistem ini
terdiri atas sejumlah organ limfoid yaitu :
1. kelenjar timus
2. kelenjar limfe
3. limfa
4. tonsil
5. berbagai jenis sel serta jaringan diluar organ limfoid, seperti :
a. peyer,s patches yang terdapat pada dinding usus
b. jaringan limfoid yang membatasi saluran nafas dan saluran urogenital
c. jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan dalam darah
Sistem limforetikuler inilah yang merupakan system kendali dari semua mekanisme
respons imun. Disamping system limforetikuler diatas, masih ada unsur-unsur lain yang
berperan dalam mekanisme respons imun, dan factor-faktor humoral lain diluar antibody
yang berfungsi menunjang mekanisme tersebut.
1.5 Fungsi Respons Imun
Dalam pandangan modern, system imun mempunyai tiga fungsi utama yaitu:
pertahanan, homeostasis dan perondaan.
1. Pertahanan
Fungsi pertahanan menyangkut pertahanan terhadap antigen dari luar tubuh seperti
invasi mikroorganisme dan parasit kedalam tubuh. Ada dua kemungkinan yang
terjadi dari hasil perlawanan antara dua fihak yang berhadapan tersebut, yaitu tubuh
dapat bebas dari akibat yang merugikan atau sebaliknya, apabila fihak penyerang
yang lebih kuat (mendapat kemenangan), maka tubuh akan menderita sakit.
2. Homeostasis
Fungsi homeostasis, memenuhi persyaratan umum dari semua organisma multiseluler
yang menghendaki selalu terjadinya bentuk uniform dari setiap jenis sel tubuh. Dalam
usaha memperoleh keseimbangan tersebut, terjadilah proses degradasi dan
katabolisme yang bersifat normal agar unsure seluler yang telah rusak dapat
dibersihkan dari tubuh. Sebagai contoh misalnya dalam proses pembersihan eritrosit
dan leukosit yang telah habis masa hidupnya.
3. Perondaan
Fungsi perondaan menyangkut perondaan diseluruh bagian tubuh terutama ditujukan
untuk memantau pengenalan terhadap sel-sel yang berubah menjadi abnormal melalui
proses mutasi. Perubahan sel tersebut dapat terjadi spontan atau dapat diinduksi oleh
zat-zat kimia tertentu, radiasi atau infeksi virus. Fungsi perondaan (surveillance) dari
sistem imun bertugas untuk selalu waspada dan mengenal adanya perubahab-
perubahan dan selanjutnya secara cepat membuang konfigurasi yang baru timbul pada
permukaan sel yang abnormal.
1.6 Penyimpangan Sistem Imun
Sebagaimana sistem-sistem yang lain dalam tubuh, sistem imun mungkin pula
dapat mengalami penyimpangan pada seluruh jaringan komunikasi baik berbentuk
morfologis ataupun gangguan fungsional. Gangguan morfologis, misalnya tidak
berkembangnya secara normal kelenjar timus sehingga mengakibatkan defisiensi pada
limfosit T. Sedangkan gangguan fungsional yang bermanifestasi sebagai toleransi
imunologik disebabkan karena lumpuhnya mekanisme respons imun terhadap suatu
antigen tertentu. Penyimpangan lain dalam mekanisme respons imun dapat berbentuk
sebagai reaksi alergi, anafilaksis ataupun hipersensitifitas tipe lambat, dimana semua ini
kadang-kadang menimbulkan kerugian pada jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan
karena gangguan fungsi pertahanan system imun (Kresno, 1991; Abbas dkk.,1991; Roitt
dkk.,1993).
Gangguan fungsi homeostatik pada system imun dapat menimbulkan kelainan
yang dinamakan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan oleh karena system imun melihat
konfigurasi dari tubuh sendiri (self), sebagai benda asing, akibatnya respons imun
ditujukan kepada jaringan tubuh sendiri sehingga dapat membawa kerugian.
Apabila fungsi ketiga yang bertugas sebagai surveillance mengalami gangguan,
akan mengakibatkan tidak bekerjanya system pemantauan terhadap perubahan-perubahan
pada sel tubuh, sehingga akhirnya sel-sel abnormal tersebut berkembang biak diluar
kendali yang menimbulkan penyakit yang bersifat pertumbuhan ganas.
1.7 Faktor Pengubah Mekanisme Imun
Selain faktor genetik, terdapat sejumlah factor yang dapat mempengaruhi
mekanisme imun seperti: faktor metabolik, lingkungan, gizi, anatomi, fisiologi, umur dan
mikroba (Bellanti, 1985; Subowo 1993; Roitt dkk.,1993).
Faktor Metabolik
Beberapa hormon dapat mempengaruhi respons imun tubuh, misalnya pada
keadaan hipoadrenal dan hipotiroidisme akan mengakibatkan menurunnya daya tahan
terhadap infeksi. Demikian juga pada orang-orang yang mendapat pengobatan dengan
sediaan steroid sangat mudah mendapat infeksi bakteri maupun virus. Steroid akan
menghambat fagositosis, produksi antibodi dan menghambat proses radang. Hormon
kelamin yang termasuk kedalam golongan hormone steroid, seperti androgen, estrogen
dan progesterone diduga sebagai faktor pengubah terhadap respons imun. Hal ini
tercermin dari adanya perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan perempuan yang
mengidap penyakit imun tertentu.
Faktor lingkungan
Kenaikan angka kesakitan penyakit infeksi, sering terjadi pada masyarakat yang
taraf hidupnya kurang mampu. Kenaikan angka infeksi tersebut, mungkin disebabkan
oleh karena lebih banyak menghadapi bibit penyakit atau hilangnya daya tahan tubuh
yang disebabkan oleh jeleknya keadaan gizi.
Faktor Gizi
Keadaan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap status imun seseorang.
Tubuh membutuhkan enam komponen dasar bahan makanan yang dimanfaatkan untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan tubuh. Keenam komponen tersebut yaitu :
protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Gizi yang cukup dan sesuai sangat
penting untuk berfungsinya system imun secara normal. Kekurangan gizi merupakan
penyebab utama timbulnya imunodefisiensi.
Faktor Anatomi
Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba biasanya terdapat
pada kulit dan selaput lender yang melapisi bagian permukaan dalam tubuh. Struktur
jaringan tersebut, bertindak sebagai imunitas alamiah dengan menyediakan suatu
rintangan fisik yang efektif. Dalam hal ini kulit lebih efektif dari pada selaput lender.
Adanya kerusakan pada permukaan kulit, atau pada selaput lender, akan lebih
memudahkan timbulnya suatu penyakit.
Faktor Fisiologis
Getah lambung pada umumnya menyebabkan suatu lingkungan yang kurang
menguntungkan untuk sebagian besar bakteri pathogen. Demikian pula dengan air kemih
yang normal akan membilas saluran kemih sehingga menurunkan kemungkinan infeksi
oleh bakteri. Pada kulit juga dihasilkan zat-zat yang bersifat bakterisida. Didalam darah
terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara non spesifik. Faktor humoral lainnya
adalah properdin dan interferon yang selalu siap untuk menanggulangi masuknya zat-zat
asing.
Faktor Umur
Berhubung dengan perkembangan sistem imun sudah dimulai semasa dalam
kandungan, maka efektifitasnya juga diawali dari keadaan yang lemah dan meningkat
sesuai dengan bertambahnya umur. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pada umur
lanjut, sistem imun akan bekerja secara maksimal. Malah sebaliknya fungsi sistem imun
pada usia lanjut akan mulai menurun dibandingkan dengan orang yang lebih muda,
walaupun tidak mengalami gangguan pada sistem imunnya. Hal tersebut, selain
disebabkan karena pengaruh kemunduran biologik, secara umum juga jelas berkaitan
dengan menyusutnya kelenjar timus. Keadaan tersebut akan mengakibatkan perubahan-
perubahan respons imun seluler dan humoral. Pada usia lanjut resiko akan timbulnya
berbagai kelainan yang melibatkan sistem imun akan bertambah, misalnya resiko
menderita penyakit autoimun, penyakit keganasan, sehinggaakan mempermudah
terinfeksi oleh suatu penyakit.
Faktor Mikroba
Berkembangnya koloni mikroba yang tidak pathogen pada permukaan tubuh,baik
diluar maupun didalam tubuh, akan mempengaruhi sistem imun. Misalnya dibutuhkan
untuk membantu produksi natural antibody. Flora normal yang tumbuh pada tubuh dapat
pula membantu menghambat pertumbuhan kuman pathogen. Pengobatan dengan
antibiotika tanpa prosedur yang benar, dapat mematikan pertumbuhan flora normal, dan
sebaliknya dapat menyuburkan pertumbuhan bakteri pathogen.
BAB II
KOMPONEN REAKSI IMUNOLOGIK
System imun dilengkapi dengan kemampuan untuk memberikan respons imun
nonspesifik, misalnya fagositosis, maupun kemampuan untuk memberikan respons imun
spesifik yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid yang tergolong kedalam system
limforetikuler. Disamping system imun diatas, masih terdapat unsur-unsur lain yang
berperan dalam mekanisme respons imun, misalnya antigen yang dapat menyulut
timbulnya respons imun serta factor-faktor humoral lain diluar antibody yang berfungsi
menunjang mekanisme tersebut (Bellanti, 1985; Subowo, 1993; Roitt dkk., 1993).
2. 1 ANTIGEN DAN IMUNOGEN
Antigen adalah suatu substansi atau potensi dari suatu zat yang mampu
merangsang timbulnya respons imun yang dapat dideteksi, baik berupa respons imun
seluler, maupun respons imun humoral atau respons imun kedua-duanya. Karena sifatnya
itu, maka antigen disebut juga imunogen. Imunogen yang paling poten umumnya
merupakan makromolekuler protein, polisakharida atau polimer sintetik yang lain seperti
polivinilpirolidon (PVP). Imunogenisitas atau kemampuan dari imunogen untuk
merangsang terbentuknya antibody bergantung dari antigennya sendiri, cara masuknya,
individu yang menerima antigen tersebut, dan kepekaan dari metode yang digunakan
untuk mendeteksi respons imunnya (Bellanti, 1985; Abbas dkk.,1991; Kresno,1991).
Faktor-faktor yang mempengaruhi imunogenisitas dari suatu molekul atau substansi
sangat kompleks dan tidak dapat dipahami secara gamblang, akan tetapi beberapa kondisi
tertentu telah diketahui perannya dalam menimbulkan sifatnya imunogenisitas tersebut
seperti :
1. Keasingan
Sistem imun yang normal dapat membedakan antara diri (self) dan asing (non self),
maka untuk menjadi imunogenik substansi tersebut harus bersifat asing. Misalnya,
albumin yang dimurnikan dari serum kelinci kemudian disuntikkan kepada kelinci
lain yang sama galurnya, maka tidak akan menimbulkan respons imun, akan tetapi
apabila albumin tersebut disuntikkan kapada binatang lain atau kepada manusia,
maka akan menimbulkan respons imun yang nyata. Ini menunjukan albumin kelinci
dianggap asing oleh hewan yang lain.
2. Ukuran Molekul
Molekul substansi harus berukuran cukup besar, walaupun belum diketahui secara
pasti batas ukuran molekul yang menentukan imunogenitas. Molekul-molekul kecil
seperti asam amino atau monoskharida umumnya kurang atau tidak imunogenik.
Substansi yang mempunyai berat molekul kurang dari 10.000 bersifat imunogenik
lemah bahkan sama sekali tidak imunogenik. Sedangkan substansi yang memiliki
berat molekul lebih dari 100.000 (umumnya makromolekul), merupakan imunogen
yang sangat poten.
3. Kerumitan struktur kimiawi
Susunan molekul harus kompleks. Semakin kompleks susunan molekulnya maka
semakin tinggi imunogenitas substansi bersangkutan. Azas ini dapat dilukiskan secara
jelas pada percobaan-percobaan dengan menggunakan polipeptida buatan. Suatu
molekul homopolimer yang terdiri atas unit-unit yang tersusun oleh satu jenis asam
amino, walaupun merupakan molekul berukuran besar, tapi bersifat sebagai
imunogen yang lemah. Misalnya; polialanin, polilisin dan yang lainnya. Sedangkan
molekul kopolimer yang tersusun atas dua atau tiga jenis asam amino merupakan
imunogen yang sangat potensial. Adanya gugus asam amino aromatik (tirosin) akan
memberikan sifat lebih imunogenik dari pada gugus non-aromatik. Hal ini dapat
dibuktikan dengan penambahan molekul tirosin pada gelatin, sehingga dapat
meningkatkan imunogenisitasnya. Untuk menentukan batas yang jelas struktur
molekul yang bagaimana yang imunogenik tidaklah mudah. Kita hanya dapat
menyatakan bahwa makin rumit atau makin kompleks struktur molekulnya maka
semakin imunogenik zat tersebut.
4. Konstutusi genetik
Kemampuan untuk mengadakan respons imun terhadap antigen bergantung terhadap
susunan genetic dari suatu individu. Telah diketahui bahwa polisakharida yang murni
akan bersifat imunogenik apabila disuntikkan pada mencit atau manusia, namun
imunogenitasnya akan hilang apabila disuntikkan pada marmot. Ketergantungan akan
konstitusi genetic terlihat pada percobaan dengan menggunakan marmot yang
berbeda galurnya, yaitu apabila galur dua disuntik dengan polylisin akan
membangkitkan respons imun, akan tetapi jika disuntikkan pada galur 13 tidak
menimbulkan respons imun. Ternyata kemampuan untuk mengadakan respons imun
pada marmot galur dua diatur oleh gene yang memiliki otosom dan diwariskan secara
dominant.
5. Metode pemasukan antigen
Cara masuk antigen kedalam tubuh, akan menentukan respons imun yang
ditimbulkan. Ada kalanya sejumlah antigen yang dimasukkan secara intravena tidak
menimbulkan respons imun, dibandingkan dengan antigen sama yang dimasukkan
secara subkutan. Pada umumnya cara pemasukan antigen kedalam tubuh dapat
langsung melalui kulit, melalui pernapasan, melalui saluran pencernaan, atau
disuntikkan melalui subkutan, intraperitonial, intravenosa dan intramuskuler.
6. Dosis
Besarnya dosis, juga dapat menentukan respons imun. Apabila dosis minimal suatu
antigen telah dilampaui, maka makin tinggi dosisnya, respons imunnya akan
meningkat secara sebanding. Akan tetapi pada dosis tertentu akan terjadi sebaliknya
yaitu menurunnya respons imun atau bahkan dapat menghilangkan respons imun.
Keadaan ini disebut dengan toleransi imunogenik.
Walaupun imunogen umumnya merupakan makromolekul, tetapi hanya bagian-bagian
tertentu saja dari molekulnya yang dapat berikatan dengan antigen binding site antibodi.
Daerah tersebut disamping menentukan spesifisitas reaksi antigen- antibody juga sebagai
penentu timbulnya respon imun. Daerah molekul itu disebut dengan determinan antigen
atau epitop. Jumlah epitop dari sebuah molekul antigen tergantung pada ukuran dan
kerumitan struktur molekulnya. Dengan menentukan jumlah spesifisitas antibody yang
bersenyawa dengan setiap molekul antigen, orang dapat mengira-ngira jumlah epitop dari
antigen yang bersangkutan. Dengan cara pendekatan ini, dapat diperkirakan bahwa
albumin telur yang berat molekulnya 42.000 memiliki lima epitop pada setiap
molekulnya, sedangkan thyroglobulin yang berat molekulnya 700.000, memiliki sekitar
40 buah epitop pada setiap molekulnya (Antezak dan Gorman 1989; Abbas, 1991;
Subowo, 1993).
2.2 Jenis Imunogen
a. Protein
Protein merupakan sebuah antigen atau imunogen, apabila disuntikkan kepada
spesies yang bukan merupakan sumber protein tersebut. Apabila imunogen
tersebut merupakan imunogen yang dihasilkan oleh hewan berdasarkan alele yang
dimiliki oleh spesies bersangkutan, maka antigen tersebut dinamakan alloantigen.
Beberapa contoh dari alloantigen adalah : antigen golongan darah yang terdapat
pada permukaan eritrosit, antigen system HLA yang terdapat pada permukaan
leukosit, dan epitop yang terdapat pada molekul immunoglobulin disebut dengan
alotipe.
b. Polisakharida
Polisakharida dalam bentuk murni umumnya hanya dapat menimbulkan respons
imun pada spsies tertentu saja. Kelinci dan marmot yang mempunyai respons
imun sangat baik bila disuntik dengan protein, tidak akan menimbulkan respons
imun sama sekali apabila hewan tersebut disuntik dengan polisakharida murni.
Sebaliknya mencit dan manusia sangat baik responnya terhadap polisakharida,
sehingga sangat diperlukan dalam penelitian imunokimiawi. Antigen
polisakharida sederhana adalah dextran dan levan. Dextran merupakan polimer
yang hanya terdiri atas`glukosa, sedangkan levan tersusun dari fructose. Jenis lain
dari antigen polisakharida, yaitu yang terdapat sebagai kapsel pnemokokus yang
sangat penting sebagai bahan vaksin terhadap mikroorganisme tersebut.
Glikoprotein dan glikopeptida merupakan protein yang mengandung karbohidrat
yang dalam keadaan tertentu spesifisitasnya ditentukan oleh gugus
karbohidratnya. Contoh jenis ini adalah antigen golongan darah yang larut dan
antigen dari tumor (carcinoembryonic antigen = CEA)
c. polipeptida sintetik
Bentuk dari polipeptida sintetik tergantung dari yang kita kehendaki. Ada
beberapa jenis polipeptida sintetik seperti :
1. Homopolimer, merupakan polimer yang hanya terdiri dari satu jenis asam
amino.
2. Kopolimer penggal, terdiri atas peptida pendek yang tersusun dari beberapa
asam amino yang dirangkai beberapa kali.
3. Kopolimer acak, terdiri dai asam amino yang dirangkaikan secara acak.
4. Kopolimer rantai ganda, tersusun dari rantai utama, dengan rantai cabang
yang terdiri dari tiga jenis polimer lainnya.
5. Polimer dengan rantai-rantai yang merupakan peptida yang berulang secara
periodik.
d. Asam Nukleat
Asam nukleat murni, sangat sukar menginduksi respons imun, kecuali dilakukan
denaturasi terlebih dahulu. Pada manusia, antibodi terhadap asam nukleat
terbentuk secara spontan, pada beberapa kejadian penyakit seperti pada Lupus
Erythematosus.
2.3 HAPTEN
Beberapa substansi dapat berikatan dengan antibodi spesifik, walaupun substansi
itu sendiri tidak mampu merangsang timbulnya respons imun. Substansi itu umumnya
merupakan molekul berukuran kecil yang disebut dengan hapten. Hapten berasal dari
kata yunani yang berarti mempererat. Beberapa contoh hapten : Sulfonat, Arsonat dan
Carboxylate. Hapten baru akan bersifat imunogenik apabila ia berikatan dengan protein
carrier. Beberapa jenis hapten yang berasil disenyawakan dengan protein sebagai
pengemban sehingga dapat diperoleh antibodi terhadapnya antara lain : gugusan yang
berbentuk cincin aromatik, gugus gula, steroid, peptide, purin, pirimidin, nukleosid,
nukleotida dan obat-obatan seperti penisilin dan zat-zat fluoresens (Tizard 1987; Abbas,
1991; Roitt dkk., 1993).
Ciri terpenting dari suatu imunogen adalah kemampuan untuk menyulut respons imun
dengan bantuan dari limfosit T. berbagai penelitian telah membuktikan bahwa imunogen
sedikitnya harus memiliki dua determinan untuk merangsang pembentukan antibody, dan
sedikitnya satu determinan harus mampu merangsang limfosit T. selain itu ada indikasi
bahwa dalam beberapa hal, determinan antigen yang berbeda pada satu molekul protein
dapat menyulut respons subpopulasi limfosit T yang berlainan, misalnya salah satu
determinan mungkin menyulut respons limfosit T penolong, akan tetapi determinan yang
lain mungkin memicu respons limfosit T penekan (Bellanti, 1985; Subowo, 1993; Roitt
dkk., 1993).
2.4 CARA KERJA IMUNOGEN
Adakalanya suatu imunogen merangsang respons imun tanpa melibatkan limfosit
T tetapi langsung merangsang limfosit B. Imunogen-imunogen itu disebut dengan antigen
T-independent. Antigen semacam ini mungkin terdiri atas beberapa unit, yang masing-
masing mempunyai susunan molekul yang sama. Misalnya ; polisakharida pada
pneumokokus, beberapa jenis polimer protein dan PVP. Respons imun yang ditimbulkan
oleh antigen T-independent, terutama antibody Ig M atau mungkin hanya Ig M saja
(Abbas,1991; Kresno, 1991).
2.5 PENGELOMPOKKAN ANTIGEN
Secara umum antigen dapat digolongkan menjadi antigen eksogen dan antigen endogen.
Antigen eksogen adalah antigen yang berasal dari luar tubuh individu, misalnya berbagai
jenis bakteri, virus dan obat-obatan. Sedangkan antigen endogen adalah antigen yang
berasal dari dalam tubuh sendiri, misalnya; antigen xenogenic atau heterolog yang
terdapat dalam spesies yang berlainan. Antigen autolog atau idiotipik yang merupakan
komponen dari tubuh sendiri, dan antigen allogenic atau homolog yang membedakan
satu individu dari individu yang lain dalam satu spesies. Contoh determinant antigen
homolog adalah antigen yang terdapat pada eritrosit, leukosit, trombosit, protein serum
dan major histocompatibility complex (MHC) (Kresno, 1991; Abbas, 1991; Roitt dkk.,
1993).
BAB III
SISTEM LIMFORETIKULER
System limforetikuler dapat dikelompokkan menjadi :
3.1 UNSUR SELULER
Terdiri dari limfosit T, limfosit B dan subset limfosit yang terutama berfungsi
dalam respons imun spesifik, serta sel-sel lain yang berfungsi dalam respons imun
nonspesifik.
Semua sel yang berfungsi dalam respons imun, berasal dari sel induk pluripoten yang
kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur, yaitu: jalur limfoid yang akan membentuk
limfosit dan subsetnya, dan jalur myeloid yang membentuk sel-sel fagosit dan sel-sel
lain. Sel-sel imunokompeten yang utama, adalah limfosit T (sel T) dengan berbagai
subsetnya dan limfosit B (sel B). Sel T berdiferensiasi dalam kelenjar timus, sedangkan
sel B berdiferensiasi dalam bursa fabricius yang hanya terdapat dalam bangsa unggas.
Disamping populasi limfosit masih ada sel-sel lain yang berfungsi dalam respons imun
seperti : sel null, fagosit mononuclear (monosit dan makrofag), sel-sel
polimorfonuklear (neutrofil, eosinofil dan basofil), mastosit dan trombosit (Abbas,
1991; Kresno 1991; Roitt dkk., 1993).
a. Limfosit T
Limfosit T berperan pada berbagai fungsi imunologi, yaitu sebagai efektor pada
respons imun seluler dan sebagai regulator yang akan mengatur respons imun
seluler dan respons imun humoral. Untuk membedakan limfosit T dengan limfosit
B, dapat dilakukan dengan mereaksikan limfosit dengan eritrosit domba. Limfosit
T dapat membentuk roset dengan eritrosit domba secara spontan, sedangkan
limfosit B tidak. Berkat adanya antibodi monoklonal, kemudian terungkap bahwa
molekul pada permukaan limfosit T yang dapat mengikat eritrosit Domba
tersebut terdiri atas molekul glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor.
Molekul ini sekarang dikenal dengan sebutan CD2 (CD = clusters of
differentiation).
Dari jumlah limfosit yang ada dalam sirkulasi, 65 – 80% merupakan limfosit T.
Dalam perkembangannya di Timus, sel T mengekspresikan bermacam-macam
antigen permukaan diantaranya CD4, CD5 dan CD8. Namun dalam
perkembangan selanjutnya sebagian antigen itu menghilang dan sebagian lagi
menetap, yang akan menandai subset limfosit T. Pada fase pematangan sel T lebih
lanjut, antigen CD5 menghilang, kemudian sel T berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi salah satu subset sel T. Sel yang kehilangan antigen CD4, tetapi tetap
menunjukkan antigen CD8, akan menjadi sel T penekan (T suppressor = Ts) dan
sel T sitotoksik (T cytotoxic = Tc). Sedangkan sel yang kehilangan CD8, tetapi
tetap menunjukkan CD4, akan menjadi sel T penolong ( T helper = Th).
berdasarkan antigen permukaanya maka Ts dan Tc dikenal sebagai CD8 +,
sedangkan Th dikenal sebagai CD4+. berkat adanya antibodi monoclonal yang
dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai antigen permukaan, maka limfosit
CD4+ dapat dikelompokkan lagi kedalam dua subset yang ternyata mempunyai
fungsi yang berbeda yaitu T helper inducer yang berproliferasi atas rangsangan
antigen larut dan memicu sel B untuk memproduksi antibodi, dan subset lain yaitu
suppressor-inducer yang berproliferasi atas rangsangan concanavalin A dan sel
autolog, serta berfungsi menyulut sel CD8+ untuk menghambat atau menekan sel
B untuk memproduksi antibodi. Sel T suppresoor-inducer ini, tidak bereaksi
terhadap antigen yang larut.
b. Limfosit B
Limfosit B, adalah sel-sel dalam sistem imun yang mengkhususkan diri dalam
pembentukan antibodi. Hematopoetik sebagai pendahulu sel pra-B dalam sumsum
tulang membelah diri dengan cepat dan akan menjadi jenis sel berukuran besar
yang mengandung rantai u, sel prekursor mengatur kembali gena variabel (V)
dengan gena D dan gena J. Tingkat pematangan sel B dapat diketahui dengan
menentukan ciri-ciri sel B, sesuai dengan stadium pematangannya, yaitu: ada
tidaknya imunoglobulin intrasitoplasmik, imunoglobulin permukaan (surface
immunoglobulin = sIg), dan antigen permukaan lainnya. Sel B primitif (pra-B)
ditandai dengan adanya: rantai u sitoplasma, tanpa rantai ringan, tidak memiliki
rantai ringan dalam sitoplasmanya, dapat mengekspresikan Hla-DR dan reseptor
untuk C3b, tetapi tidak memiliki reseptor Fc.
Sel-sel pra-B membelah diri dengan cepatan menjadi sel dengan ukuran yang
lebih kecil. Apabila sel-sel para-B telah memiliki molekul Ig sebagai molekul
integral membran selnya, maka sel tersebut telah berkembang menjadi sel muda.
sel muda dengan cepat memiliki reseptor untuk virus Epstein barr, C3B dan
untuk Fc dari Ig G. Semakin dewasa selnya, akan dijumpai pula Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas I yang juga semakin bertambah
jumlahnya.
Sel B perawan (virgin) yang terdapat didalam sumsum tulang, dan belum pernah
terpapar oleh antigen, umumnya menunjukkan respons yang lebih lambat
dibandingkan dengan sel B yang terdapat dalam jaringan limfoid perifer. Apabila
sel B mendapat rangsangan dari antigen atau imunogen, maka limfosit B akan
mengalami dua proses perkembangan yaitu : pertama, akan berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig), dan kedua akan
membelah dan kemudian kembali dalam keadaan istirahat sebagai limfosit B
memory. Apabila kemudian ada rangsangan antigen pada sel memori ini, maka
akan timbul reaksi yang lebih cepat dari reaksi pertama tadi dan menyebabkan sel
B berproliferasi menjadi sel plasma yang akan mensekresikan Ig spesifik.
Sel B dapat mengenali antigen yang berkadar sangat rendah. hal ini disebabkan
oleh karena sel B mempunyai sIg yang berfungsi sebagai reseptor untuk antigen.
Melalui proses endositosis antigen yang ditangkap oleh sIg tersebut masuk
kedalam sitoplasma hanya dalam beberapa menit saja, untuk kemudian diproses
menjadi fragmen-fragmen. Melalui proses eksositosis fragmen antigen ini
bersama-sama dengan MHC kelas II disajikan pada limfosit T, sehingga dengan
demikian sel B juga berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC).
c. Sel Plasma
Sel Plasma merupakan fase diferensiasi terminal dari perkembangan sel B dalam
upaya memproduksi dan mensekresi antibodi. Sel plasma tidak dapat membelah
lagi dan pada permukaannya tidak dijumpai adanya s Ig maupun reseptor-reseptor
seperti yang dimiliki sel B. sel plasma berukuran lebih besar dari limfosit dan
ditandai dengan inti bulat yang letaknya eksentris dan berkromatin kasar seperti
roda. satu sel plasma dapat melepaskan beribu-ribu molekul antibodi setiap
detiknya.
d. Antigen Presenting Sel (APC)
Sel-sel ini, berfungsi untuk menyajikan antigen kepada sel limfoid yang
tersensitisasi. Supaya antigen dapat dikenal oleh sel limfoid, penyajian antigen
yang telah diproses, dilakukan bersama ekspresi MHC kelas II pada permukaan
sel. Makrofag, disamping berfungsi sebagai fagosit yang profesional, juga
merupakan APC yang pertama diketahui. Dalam garis besarnya, semua sel yang
menampilkan MHC kelas II dapat bertindak sebagai APC, misalnya: sel-sel
dendritik, kupfer, langerhans, endotel, fibroblast dan sel B. Diantara sel-sel diatas,
sel dendritik, makrofag dan sel B merupakan APC yang terpenting.
3.2 Unsur Organ dan Jaringan
Organ dan jaringan limfoid dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu organ limfoid
primer seperti timus, ekivalen bursa fabricius dan sumsum tulang.yang berfungsi sebagai
embriogenesis dari sel-sel imunologik, dan organ limfoid sekunder seperti, kelenjar
limfe, limfa dan jaringan limfoid lainnya, yang bereaksi aktif terhadap stimulasi antigen.
Kelenjar timus, dianggap sebagai organ limfoid utama dalam imunogenesis dan menjadi
pusat pengendalian aktivitas organ serta jaringan limfoid yang lainnya (Bellanti, 1985;
Abbas1991; Subowo 1993; Roitt dkk., 1993).
Menurut fungsinya, sistem limfoid dibagi dalam dua kompartemen yaitu :
a. Kompartemen sentral
Merupakan tempat terjadinya diferensiasi sel-sel yang mampu beraksi dengan
antigen.
b. Kompartemen perifer
Sebagai tempat terjadinya reaksi sel-sel limfoid dengan antigen.
Rangsangan untuk maturasi sel pada kompartemen sentral tidak diketahui secara
pasti, namun diduga proliferasinya dipengaruhi oleh hormon timus dan dapat
terjadi tanpa stimulasi antigen. Sebaliknya, maturasi sel pada kompartemen
perifer terjadi atas stimulasi antigen.
3.2.1 Organ Limfoid Primer
a. Kelenjar Timus
Kelenjar timus terletak dibagian depan mediastinum, terbagi dalam dua lobus dan
banyak lobulus yang masing-masing terdiri atas korteks dan medula. Sel induk
pluripoten yang merupakan cikal bakal sel T, masuk kedalam timus lalu
berproliferasi menjadi sel yang disebut dengan timosit. Proses diferensiasi
limfosit didalam timus, dipengaruhi oleh epitel timus dan sel dendritik yang
berasal dari sumsum tulang (interdigitating cells). Sel dendritik ini
mengekspresikan MHC kelas II dalam jumlah banyak dan diduga berperan dalam
mendidik limfosit T untuk mengenal antigen diri (self). Dalam proses maturasi ini
sel T menjadi imunokompeten. Dua sampai tiga hari, setelah sel induk masuk
kedalam timus, limfosit meninggalkan timus lalu masuk kedalam sirkulasi dan
selanjutnya menetap didalam organ limfoid perifer.
b. sumsum tulang dan ekivalen bursa fabrisius
Spesies unggas, mempunyai organ limfoid primer yang berasal dari epitel usus
janin yang disebut dengan bursa fabrisius. Sel induk pluripoten yang memasuki
bursa fabrisius berdiferensiasi menjadi sel B yang mampu membentuk antibodi.
Organ semacam ini tidak dijumpai pada mamalia, akan tetapi diketahui bahwa sel
B pada mamalia berdiferensiasi dalam sumsum tulang dan dalam organ limfoid
perifer. Selain tempat pematangan sel B, sumsum tulang juga mengandung sel T
matang dan plasmosit. Dengan demikian, sumsum tulang disamping sebagai
organ limfoid primer, juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder.
3.2.2 Organ Limfoid Sekunder
Pembentukan limfosit dalam organ limfoid primer diikuti dengan migrasi sel-sel
tersebut kedalam organ-organ limfoid perifer atau limfoid sekunder. Migrasi ini
merupakan salah satu proses sirkulasi limfosit didalam tubuh. Adapun tahap-tahap
surveillance imunologik dari limfosit di dalam tubuh adalah sebagai berikut :
1. Migrasi sel induk pluripoten dari hati janin atau sumsum tulang kedalam organ
limfoid primer serta diferensiasi dan distribusi limfosit kedalam organ limfoid
perifer.
2. Resirkulasi limfosit dari peredaran darah kedalam limfa atau kelenjar limfe
kembali ke peredaran darah lagi.
3. Distribusi sel efektor ketempat-tempat tertentu bila diperlukan untuk melakukan
reaksi imunologik.
4. Limfosit T cendrung bermigrasi ke kelenjar limfe perifer, sedangkan limfosit B
lebih banyak bermigrasi ke jaringan limfoid yang terdapat pada sepanjang mukosa
(mukosa associated lymphoid tissue = MALT).
Adapun jenis-jenis dari organ limfoid sekunder adalah sebagai berikut :
a. Kelenjar Limfe
Dalam bagian sinus dari kelenjar limfe terdapat banyak makrofag, sedangkan
dalam bagian korteksnya terdapat banyak sel T yang berasal dari darah, serta sel
B yang menyusun diri membentuk nodul. Dibagian tengah dari nodul, terdapat
pusat germinal dimana kelompok-kelompok sel B membelah diri secara aktif.
Bila kelenjar dirangsang oleh antigen, maka pusat-pusat germinal itu membesar
dan berisi banyak limfoblast. Pusat-pusat germinal diatas juga dihuni oleh banyak
sel dendritik yang mempunyai reseptor untuk C3 dan fragmen Fc dari IgG.
Dengan demikian antigen yang tidak diproses dapat dipertahankan pada
permukaan sel ini dalam bentuk kompleks antigen antibodi-C3 selama beberapa
bulan. Antigen yang tertangkap ini diduga memberikan rangsangan secara
periodik dengan sewaktu-waktu melepaskan iccomes yang kemudian ditangkap
dan diproses oleh APC dan disajikan kepada sel T. Hal ini akan mengakibatkan
sel T secara terus menerus akan merangsang sel B memory untuk berproliferasi
dan membentuk pusat-pusat germinal.
b. Limfa
Limfa terdiri atas pulpa merah sebagai tempat penghancuran eritrosit dan pulpa
putih yang terdiri atas jaringan limfoid. Didalam limfa limfosit T menumpuk
dibagian tengah lapisan limfoid periarteriolar, sedangkan sel B terdapat didalam
pusat-pusat germinal dibagian perifer. Sel B dapat dijumpai dalam bentuk tidak
teraktivasi maupun teraktivasi. Dalam pusat-pusat germinal juga dijumpai sel
dendritik dan makrofag. Makrofag spesifik umumnya terdapat didaerah marginal
dan sel ini bersama-sama dengan sel dendritik berfungsi sebagai APC yang
menyajikan antigen kepada sel B.
c. Jaringan Limfoid lain
Jaringan limfoid lain tersebar dalam jaringan submukosa saluran nafas, saluran
cerna dan saluran urogenital. Contoh jaringan limfoid yang tersusun baik dan
mengandung banyak pusat-pusat germinal adalah tonsil yang merupakan garis
pertahanan pada pintu masuk saluran cerna dan saluran nafas, dan Peyer,s patch
yang tersebar dalam mukosa saluran cerna. Peyer,s patch dan apendiks termasuk
kedalam gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam jaringan limfoid ini
terdapat bagian yang dipengaruhi oleh timus. Mucosa associated lymphoid tissue
(MALT), yang terdapat pada saluran nafas, saluran cerna dan urogenital berfungsi
untuk memberikan respons imunologik lokal pada permukaan mukosa. Jaringan
limfoid ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit sehingga mampu memberikan
respons imun nonspesifik maupun respons imun spesifik. Didalam jaringan
limfoid sepanjang saluran cerna dan saluran nafas akan terbentuk IgA sekretorik
dan Ig E yang disekresikan untuk mempertahankan tubuh terhadap antigen yang
masuk melalui mukosa.
BAB IV
PROSES PENGENALAN ANTIGEN
Respon imun diawali dengan pemrosesan antigen yang disusul dengan presentasi
fragmen-fragmen antigen oleh APC. Presentasi ini harus dilakukan bersama-sama dengan
MHC kelas II. Limfosit T penolong (CD4+) melalui reseptor TcR akan mengenal antigen
yang disajikan bersama dengan MHC kelas II, kemudian memberikan sinyal kepada sel B
untuk berproliferasi dan berdiferensiasi (Bellanti, 1985; Hendrik,1989; Subowo, 1993).
Secara garis besar semua sel yang menampilkan MHC kelas II dapat bertindak sebagai
APC, misalnya sel-sel dendritik, langerhans, endotel, fibroblast dan sel B. Diantara sel-
sel diatas sel dendritik, makrofag dan sel B merupakan APC yang terpenting, bahkan sel
dendritik folikuler mampu menyajikan antigen natif dalam bentuk kompleks imun tanpa
memprosesnya terlebih dahulu. Diduga sel-sel ini bertindak sebagai tempat menampung
antigen natif atau kompleks antigen antibodi. Antigen atau kompleks antigen antibodi
melekat pada permukaan sel dendritik polikuler tanpa diproses lebih lanjut.
Bagian – bagian sel yang berbentuk tonjolan dilepaskan bersama-sama dengan kompleks
antigen antibodi dan membentuk butir-butir kompleks imun yang disebut dengan
icoccomes. Icoccomes ini kemudian ditangkap oleh sel B atau makrofag untuk diproses
lebih lanjut. Vitetta et.al membuktikan bahwa sel dendritik merupakan APC pertama
yang mengaktivasi sel T pada hewan percobaan yang belum pernah tersensitisasi.
Sedangkan makrofag dan sel B hanya menyajikan antigen kepada sel B yang teraktivasi
atau sel T memori (Abbas dkk.,1991; Roitt dkk., 1993; Kresno,1991).
4.1 Proses Limfosit T mengenali Antigen
Sel-sel imunokompeten agar dapat mengenali antigen maka pada permukaan sel T
dan sel B dilengkapi dengan molekul receptor. Receptor antigen pada permukaan limfosit
T berbentuk heterodimer dengan molekul CD3, sedangkan pada permukaan limfosit B
terdapat sebagai molekul imunoglobulin.
Dalam proses pengenalan antigen bakteri atau parasit, limfosit B dapat melaksanakan
sendiri tanpa bantuan sel yang lain. Sebaliknya limfosit T tidak dapat mengenal secara
langsung. Proses pengenalan antigen tersebut memerlukan jenis sel lain yang dinamakan
sel pelengkap (Accessory cell) yang berfungsi untuk memproses secara nimia terlebih
dahulu, agar antigen dapat disajikan lepada limfosit T bersama-sama dengan molekul
Major Histocompatibility Complex (MHC) (Hokama, 1982; Grey dkk., 1989; Vitetta
dkk., 1989).
Limfosit T hanya dapat menanggapi antigen, apabila disajikan oleh sel pelengkap.
Sel pelengkap pertama yang diketahui sebagai penyaji antigen (APC) ádala makrofag. Sel
penyaji akan memproses antigen terlibih dahulu sebelum disajikan sebagai molekul yang
dikenali oleh limfosit T. Cara memproses dan penyajian antigen “eksogen” pada
umumnya dapat menyebabkan aktivasi limfosit dari sub populasi tertentu sehingga
membantu aktivasi limfosit B dalam memproduksi antibodi. Limfosit T yang berperan
dalam peristiwa ini hádala limfosit T helper (CD4) (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993).
Tidak semua antigen yang dikenal oleh limfosit T berasal dari luar sel penyaji.
Antigen “endogen” diperoleh oleh sel penyaji sebagai akibat infeksi virus dalam sel atau
dari sel yang telah berubah menjadi ganas. Sel-sel tersebut mengekspresikan antigen khas
virus tumor pada permukaannya. Secara tioritik semua sel dalam tubuh inang mempunyai
kemampuan sebagai sel penyaji antigen “endogen” yang khas tersebut, terhadap limfosit
T dari sub populasi yang tergolong sel sitotoksik. Sel sitotoksik dapat menanggapi
antigen “endogen” dengan cara membunuh sel-sel yang menyajikannya. (Abbas dkk.,
1991; Bellanti, 1985; 1993).
Sampai saat ini diduga bahwa antigen endogen yang disajikan sebelumnya tidak
perlu diproses. Hal ini disebabkan oleh karena protein sebagai antigen endogen tersebut
merupakan bentuk ekspresi gen virus atau gen tumor, sehingga limfosit sitotoksik dapat
bereaksi langsung terhadap antigen tersebut. Dengan demikian, dalam sistem imán
terdapat dua jalar terpisah untuk menyampaikan antigen, yaitu : Jalur untuk antigen
eksogen dan jalur untuk antigen endogen.
Protein bakteri yang diambil oleh limfosit B dari sekitarnya yang kemudian
diproses oleh limfosit T helper akan mempunyai dampak diproduksinya antibodi spesifik.
Sebaliknya protein abnormal yang dibuat oleh sel inang mendorong aktivasi limfosit T
sitotoksik untuk membunuh sel inang. Limfosit T tidak saja mampu mengenali antigen
asing akan tetapi juga molekul MHC yang terdapat pada permukaan sel inang yang
dihadapinya.
Limfosit T yang telah mengadakan respons imun terhadap antigen yang disajikan
oleh sel-sel yang terinfeksi virus bersama-sama molekul MHC kelas satu tertentu, dengan
antigen yang sama tetapi disajikan oleh sel terinfeksi virus dengan molekul MHC kelas I
yang berbeda latar belakang genetiknya. Apabila molekul protein MHC kelas I pada sel-
sel yang terinfeksi virus ini berasal dari individu yang berbeda dengan individu yang
pertama, maka sel-sel yang terinfeksi virus tersebut tidak akan dibunuh oleh sel-sel T
tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, agar limfosit dapat mengadakan respons imun,
harus mengenal dua kesatuan antigen yaitu; antigen asing dan antigen diri yang
spesifik. Persyaratan ini dinamakan sebagai Restriksi MHC (Hendrik, 1989; Kresno,
1991; Roitt dkk., 1993).
Ada beberapa hipótesis mengenai cara limfosit T berinteraksi dengan antigen
yang terikat pada MHC. Hipótesis pertama, menyatakan bahwa interaksi itu dilakukan
melalui dua reseptor pada permukaan sel T, dimana satu reseptor berinteraksi dengan
antigen sedangkan receptor yang lanilla berinteraksi dengan MHC. Hipótesis ke dua,
mengemukakan bahwa reseptor pada limfosit T berbentuk receptor tunggal yang secara
spesifik mengenal dua antigen asing dan antigen MHC secara bersama-sama.
Belakangan ini orang lebih cendrung setuju dengan teori yang kedua (Abbas dkk.,1991;
Kresno,1991; Subowo,1993).
Teori reseptor tunggal tersebut, menjelaskan bahwa antigen yang akan diproses
dan antigen MHC harus merupakan statu kesatuan kompleks yang hrus cocok dengan
reseptor pengenal tunggal dari limfosit T. dengan demikian molekul MHC pada mulanya
bertindak sebagai reseptor primer untuk antigen yang telah diproses dan selanjutnya
sebagai kompleks molekul baru yang akan berikatan secara tepat dengan reseptor
sekunder pada limfosit T agar terjadi respons imun.
Untuk membangkitkan status respons imun, agar antigen dapat ditangkap oleh limfosit T,
maka adanya kesesuaian antara molekul MHC yang berbeda pada setiap individu dengan
antigen yang telah diproses oleh sel inang merupakan tahap pertama yang sangat
menentukan (Hokama, 1982; Vitetta, 1989).
4.2 Aktivasi limfosit T
Aktivasi limfosit T merupakan akibat dari reaksi ligan-reseptor yang berlangsung
antara permukaan limfosit T dan sel penyaji antigen (APC). Interaksi ini akan mengawali
peristiwa biokimia dalam sel T yang memuncak dalam bentuk respons seluler. Walaupun
telah jelas bahwa sejumlah molekul permukaan sel yang berbeda-beda pada sel T dan sel
penyaji ikut berperan dalam interaksi antar sel selama penyajian yang rumit, Namun
untuk aktivasi limfosit T oleh antigen paling sedikit harus melibatkan perangsangan
reseptor antigen dari sel T (TCR). Antigen yang terikat oleh molekul MHC merupakan
ligan untuk reseptor pada limfosit T (Abbas dkk.,1991; Roitt dkk., 1993; Kresno, 1991).
Rangsangan oleh induksi sel antigen dapat dianggap sebagai pemberian
rangsangan primer dalam mengawali aktivitas limfosit T. Rangsangan pada T cell
receptor (TCR) saja, tidak cukup untuk menginduksi terjadinya pembelahan sel T dalam
tahap Go. Molekul-molekul permukaan yang lain pada sel T istirahat ikut berperan pula
dalam aktivasi sel sebagai molekul pelengkap dengan cara berikatan dengan molekul
mitranya pada sel penyaji atau sel sasaran. Molekul-molekul pelengkap ini ada yang
bertindak sebagai reseptor untuk molekul permukaan sel penyaji atau reseptor untuk
molekul protein yang dihasilkan oleh sel penyaji. Molekul pelengkap tersebut akan
berperan dalam proses aktivasi :
a. Sebagai mol perekat, akan memperkuat interaksi antara sel T dengan sel
penyaji.
b. Sebagai transduser, antara sinyal transmembran yang diterima oleh
receptor antigen (Ti/TCR).
c. Untuk mengawali sinyal transmembran mereka sendiri yang berbeda
dengan sinyal yang melalui TCR.
Interaksi antara TCR dengan ligannya (antigen + MHC), mengawali aktivitas
seluler dengan cara menginduksi sinyal transmembran. Transduksi sinyal semacam ini
bermanifestasi dalam bentuk mediator intraseluler yang dinamakan dengan second
Messenger yang berfungsi untuk memulai aktivasi sel (Vitetta, 1989; Hendrik, 1989;
Abbas, 1991).
Selama terjadinya proses aktivasi, akan berlangsung transduksi sinyal melalui
TCR baik secara langsung maupun secara tidak langsung, sedangkan periode berikutnya
terjadi pembelahan sel yang pada umumnya sebagai hasil dari serentetan aktivasi gen
yang sangat kompleks. Dengan demikian aktivasi seluler dari limfosit T istirahat,
menghasilkan ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi limfogen, pembelahan sel
dan diferensiasi sel menjadi sel efektor.
I nteraksi antara antigen yang disajikan oleh APC dengan limfosit T helper (Th),
merupakan tahap awal terjadinya respons imun seluler maupun respons imun humoral.
Sel T dan sel B berkomunikasi satu dengan yang lainnya melalui berbagai reseptor dan
berbagai substansi yang diproduksi. Sub populasi sel T yang bereaksi dengan antigen
yang ditampilkan bersama dengan MHC, berbeda satu dengan yang lainnya tergantung
dari sifat antigen dan MHC yang mengikat dan yang menampilkannya. Sel T yang
disebut CD4+ bereaksi dengan antigen yang diproses oleh APC dan dipresentasikan
bersama dengan MHC kelas II. Sub populasi sel T yang lain yaitu CD8+ yang berfungsi
sebagai sel sitotoksik bereaksi dengan antigen yang dibentuk oleh sel, misalnya protein
virus atau antigen histokompatibilitas minor, yang ditampilkan bersama dengan MHC
kelas I. Proses pengikatan antigen yang dibentuk dengan MHC kelas I dapat berlangsung
saat sintesis atau perakitan kedua molekul bersangkutan. Presentasi antigen yang terikat
pada MHC kelas I merangsang sel T sitotoksik untuk melancarkan aksinya (Vitetta dkk.,
1989; Hendrik, 1989; Roitt dkk.,1993).
Antigen yang ditangkap oleh makrofag atau sel-sel APC yang lain, akan masuk
kedalam sel dengan cara endositosis atau pinositosis. Sebagai APC, baik makrofag
maupun sel B mempunyai fungsi yang sama, tetapi sel B mempunyai kelebihan dari
makrofag, karena sel B mampu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan
(sIg). Dengan demikian antigen dalam jumlah kecilpun dapat ditangkap dan diproses
sehingga sel B dapat berfungsi sangat efisien. Tetapi jika konsentrasi antigen cukup
tinggi, sel B tidak perlu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan, karena
proses internalisasi dapat terjadi dengan cara pinositosis fase cair seperti halnya proses
pinositosis pada makrofag (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Antigen di dalam sel, diproses dengan berbagai cara, diantaranya melalui proses
denaturasi atau proteolisis yang terjadi di dalam endosom. Segmen-segmen yang bersifat
hidrofobik kemudian dimunculkan kembali pada permukaan sel, bersama-sama dengan
MHC. Pada beberapa keadaan antigen tidak dirombak dengan cara proteolisis tetapi
hanya dirubah konfigurasinya atau hanya dilekatkan pada molekul lipid (Vitetta dkk.,
1989; Subowo, 1993).
4.3 AKTIVASI LIMFOSIT DAN PRODUKSI ANTIBODI
Aktivasi limfosit T, khususnya limfosit Th dimulai dengan interaksi antara
reseptor sel T dengan kompleks antigen – MHC kelas II yang terdapat pada permukaan
APC. Selain menyajikan antigen, APC juga memproduksi interleukin-1 yang mampu
merangsang pertumbuhan sel T. interaksi ini merangsang berbagai reaksi biokimia
didalam sel T, diantaranya adalah perombakan fosfatidil-inositol dan peningkatan
konsentrasi ion Ca ++, serta aktivasi protein kinase-C yang diperlukan sebagai katalisator
pada fosforilasi berbagai jenis protein. Reaksi-reaksi diatas mengakibatkan serangkaian
reaksi-reaksi yang menghasilkan ekspresi reseptor IL-2, dan produksi IL-2 yang
diperlukan untuk proliferasi sel selanjutnya (Grey dkk., 1989; Abbas dkk., 1991; Roit
dkk., 1993).
Sebagian dari sel T selanjutnya akan berfungsi sebagai sel T helper-inducer untuk
membantu sel B, sebagian lagi akan kembali dalam keadaan istirahat menjadi sel
memory. Aktivasi sel B dapat terjadi atas rangsangan antigen T-independen tipe I,
antigen T-independen tipe II dan antigen T dependen. Antigen T-dependen, memerlukan
bantuan sel Th. Antigen T-independen tipe I dalam konsentrasi tinggi mampu
merangsang sel B secara poliklonal tanpa mengindahkan spesifisitas reseptor permukaan
sel B. Contoh antigen seperti ini adalah lipopolisakarida pada permukaan sel bakteri.
Tetapi pada konsentrasi rendah, sel B dengan sIg spesifik sebagai reseptor dapat
menangkap antigen sehingga sel teraktivasi.
Antigen T-independen tipe II, adalah antigen yang tidak segera dirombak didalam
tubuh, misalnya polisakharida pneumokukus, polimer polivinilpirolidon (PVP), yang
mampu merangsang sel B tanpa bantuan sel Th. Antgen dapat melekat dengan aviditas
kuat pada permukaan sel B dengan ikatan multivalen melalui sIg. Pada umumnya antigen
T-independen merangsang pembentukan IgM. Sebagian besar antigen adalah T-
dependen yang berarti respons pada sel B baru dapat terjadi atas rangsangan sel T. agar
sel B dapat dirangsang oleh sel T, maka MHC kelas II pada permukaan kedua sel harus
sesuai. Hal ini penting untuk interaksi antara sel T dengan sel B dalam keadaan istirahat
(resting B cells). Di lain fihak sel B yang sudah teraktivasi cukup dirangsang oleh
limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang sebelumnya telah teraktivasi oleh kompleks
antigen-MHC yang relevan.
Sel T yang diaktivasi oleh antigen akan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang
diperlukan untuk proliferasi sel T sendiri, disamping itu sel T juga memproduksi berbagai
faktor atau limfokin yang dapat merangsang perubahan pada berbagai jenis sel, antara
lain; sel B, sel T sitotoksik, makrofag dan lain-lain, karenanya sel itu disebut sel T
inducer (Grey dkk.,1989; Hendrik, 1989; Vitetta dkk.,1989).
Beberapa jenis limfokin yang diproduksi oleh sel T dan dipergunakan untuk
merangsang sel B adalah : B-cell stimulatory faktor (IL-4), B-cell growt factor (Il-6), B-
cell differentiation factor-mu (BCDF-mu) dan BCDF-gamma serta gamma interferon.
Dengan rangsangan limfokin diatas sel B berproliferasi dan berdiferensiasi lebih lanjut
menjadi sel plasma dan memproduksi imunoglobulin. BCDF-mu merangsang produksi
IGM, sedangkan BCDF- gamma menyebabkan perubahan kelas (class-switch) IgM yang
diproduksi menjadi IgG, dan selanjutnya akan terjadi sintesa dan sekresi imunoglobulin
oleh sel plasma (Abbas dkk.,1991; Kresno,1991).
Selain berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi imunoglobulin
stimulasi sel B perawan menyebabkan terbentuknya klon sel B yang perlahan-lahan
kembali kekeadaan istirahat dan menjadi sel memori. Sel ini sering kali mengekspresikan
reseptor yang mengalami mutasi mutasi dan menunjukan aktifitas yang lebih tinggi. Sel
B memori maupun sel T memori akan meninggalkan kelenjar limfe, limfa, atau jaringan
limfoid lain kemudian masuk kedalam pembuluh limfe dan pembuluh darah untuk
melakukan surveillance (belanti, 1985; Subowo, 1993; Kresno, 1991).
Respons imun sekunder pada umumnya timbul lebih cepat dan lebih kuat
dibandingkan dengan respons imun primer. Hal ini disebabkan oleh karena adanya sel T
dan sel B memori serta antibodi yang tersisa. Antigen dapat dikenal oleh sel B spesifik
secara efisien. Dalam hal ini sel B bertindak sebagai APC. Karena jumlah sel T dan Sel B
spesifik lebih banyak, kemungkinan untuk berinteraksi dengan antigen lebih besar,
sehingga titer antibodi juga cepat meningkat. Disamping itu antibodi yang tersisa juga
dapat bereaksi dengan antigen sehingga kompleks antigen antibodi lebih mudah
ditangkap oleh APC dan diproses, dan selanjutnya akan terjadi stimulasi sel T dan sel B
seperti halnya pada respons imun tetapi dengan kecepatan efisiensi lebih tinggi (Bellanti,
1985; Roit dkk., 1993).
4.4 Regulasi Respons Imun
setelah terbentuk antibodi, antigen dihancurkan atau dinetralkan oleh antibodi,
sehingga hanya imunosit dengan afinitas reseptor yang tinggi sajalah yang dapat
mengenali antigen, dengan demikian aktvitas imunosit makin lama makin berkurang.
Penurunan aktivitas ini selain diatur oleh penurunan jumlah antigen, juga disebabkan oleh
antibodi itu sendiri yang dapat memberikan umpan balik negatif. Penurunan aktivitas
imunosit itu juga terjadi karena penangkapan kompleks antigen-antibodi oleh APC dalam
kondisi antibodi poliklonal berlebihan menjadi kurang efisien akibat banyaknya reseptor
Fc yang ditempati oleh imunoglobulin yang mengikat molekul antigen. Selain itu antigen
yang terikat pada antibodi dalam kondisi antibodi berlebihan juga terlindung dari
proteolisis. Akibatnya pemerosesan antigen akan terganggu, sehingga aktivitas sel T juga
terhambat (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Faktor lain yang berperan dalam pengendalian respons imun adalah limfosit T.
Pengendalian atau penekanan respons imun diawali dengan aktivasi sel T suppresor-
inducer yang akan memicu aktivitas sel T penekan. Percobaan secara invitro,
menunjukkan bahwa aktivasi sel T suppressor-inducer terjadi karena adanya kontak
dengan antigen yang disajikan oleh sel T-suppressor (Ts) melalui determinan I-J yang
diekspresikan bersama MHC kelas II. Molekul I-J dianggap menggambarkan idiotip pada
sel Ts yang dipilih oleh MHC kelas II saat terjadinya perkembangan sel.
Hipotesis lain adalah melalui pengenalan idiotip pada reseptor Th oleh antiidiotip
pada sel Ts, atau interaksi antara antiidiotip dengan antibodi terhadap antiidiotip (anti-
antiidiotip), karena antiidiotip dalam keadaan tertentu dapat meniru (mimic) antigen.
Sebagai contoh, hormon yang terikat pada reseptor akan mengikat antihormon. Karena
reseptor dan antihormon dapat mengikat hormon, dan karena antihormon dapat mengikat
antibodi terhadap antihormon, maka anti-antihormon ini dapat mengikat reseptor. Dengan
demikian interaksi idiotip-antiidiotip memungkinkan sel Ts melakukan fungsi penekanan
pada sel Th maupun sel B. Penakanan juga dapat terjadi secara nonspesifik, misalnya
dengan menginkubasikan sel T dengan aktivator poliklonal Con A. Selain itu faktor-
faktor penekan yang diproduksi oleh sel Ts dapat diikat oleh APC. Pengikatan itu antara
lain mengakibatkan sintesis IL-1 dihambat, sehingga kemampuan APC menjadi
berkurang. Jumlah sel Ts yang diaktivasi tergantung dari berbagai hal, seperti; jumlah
dan cara masuknya antigen, serta umur dan dasar genetik individu bersangkutan (Kresno,
1991; Roitt dkk., Subowo,1993).
BAB V
ANTIBODI
5.1 PENGERTIAN
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat
interaksi antara Limfosit B peka antigen dan antigen khusus. Antibodi memiliki
kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat penghancuran dan
penyingkirannya.
Antibodi terdapat dalam berbagai cairan tubuh tetapi terdapat dalam konsentrasi
tertinggi dan termudah diperoleh dalam jumlah yang banyak untuk analisis dari serum
darah.
5.2 SIFAT-SIFAT DASAR ANTIBODI
Molekul antibodi seperti protein yang lain secara fisiokimiawi dapat
dikelompokan berdasarkan kelarutannya dalam larutan garam kuat, muatan elektrostatik,
berat molekul dan struktur antigennya.
Kelarutan dalam Larutan Garam
Bertahun-tahun yang lalu ketika Ilmu Biokimia masih dalam fase permulaan,
diketahui bahwa protein tertentu dalam serum diendapkan, bila serum dicampur dengan
larutan jenuh amonia sulfat dalam volume yang sama banyaknya. Protein yang
diendapkan dengan cara itu disebut globulin, sedang yang tetap larut dalam serum disebut
albumin. Antibodi diendapkan dari serum oleh amonium sulfat dan karena itu
digolongkan sebagai globulin. Teknik yang sangat sederhana ini dapat cepat disesuaikan
untuk menyediakan cara untuk memastikan apakah antibodi terdapat dalam serum dan
dengan demikian dapat dipakai untuk membuktikan apakah anak hewan sudah menyusu
pada induknya atau belum. Anak hewan yang belum menyusu mengandung sedikit sekali
antibodi dan karena itu penambahan larutan garam kuat seperti natrium, seng, atau
amonium sulfat pada serumnya menghasilkan endapan yang sangat sedikit. Sebaliknya
anak hewan yang sudah dengan baik mengandung tingkat antibodi yang tinggi dalam
serumnya dan penambahan larutan garam menimbulkan endapan yang menggumpal.
Dengan demikian jumlah globulin antibodi yang terdapat dalam serum dapat diperkirakan
dari jumlah endapan yang terbentuk dalam campuran tersebut.
Muatan elektrostatik
Karena molekul protein terdiri dari rantai berbagai asam amino, yang sebagian
asam dan sebagian basa, maka muatan elektrostatik keseluruhan pada suatu molekul
protein tergantung pada komposisi asam aminonya, dan merupakan ciri khas dari protein
tersebut. Karena itu suatu campuran protein dapat dipisahkan menjadi komponennya jika
diberi aliran listrik, menyebabkan molekul bermuatan lebih positif akan bergerak ke arah
katode, sedangkan molekul yang bermuatan negatif bergerak ke arah anoda pada
kecepatan yang tergantung pada muatannya. Teknik ini disebut elektroforesis, dilakukan
sedemikian sehingga merembesnya larutan dengan cepat dicegah oleh adanya matriks
setengah padat seperti agar-agar, selulosa asetat atau gel pati, yang kemudian dapat
memisahkan dan mengenali tiap protein di dalam campuran. Bila serum utuh
diperlakukan dengan cara ini, selalu dipisahkan empat fraksi, yang paling bermuatan
negatif terdiri dari protein tunggal, yang kebetulan juga tidak diendapkan oleh amonium
sulfat, protein ini adalah albumin serum. Ketiga fraksi yang lain semuanya berupa
globulin dan dibagi menurut pergerakan elektroforetiknya menjadi globulin α, β, dan γ.
Globulin α adalah yang paling besar muatan negatifnya karena itu bergerak ke arah anoda
tepat dibelakang albumin. Globulin ini mengandung protein serum dengan imunologis
yang berbeda-beda, diantaranya termasuk antitripsin α1, dan α2 makroglobulin yang
keduanya bertindak sebagai penghambat enzim protease dari serum. Globulin β bergerak
lebih lambat dan tepat di belakang globulin α . Globulin β bergerak lebih lambat dan
tepat di belakang globulin α. Globulin β mengandung sejumlah molekul antibodi
sebanyak komponen-komponennya. Globulin γ adalah protein yang paling kecil muatan
negatifnya. Globulin γ bergerak paling dekat dengan asalnya, dan mengandung antibodi
terbanyak.
Karena molekul antibodi adalah globulin, maka umumnya dikenal sebagai
imunoglobulin ( yang dapat disingkat menjadi Ig). Istilah imunoglobulin dipakai untuk
menggambarkan semua protein yang mempunyai aktivitas antibodi maupun beberapa
protein yang mempunyai struktur imunoglobulin yang khas tetapi tak memiliki aktivitas
antibodi.
Berat Molekul
Selain muatan elektrostatik, protein juga dapat dikenali dengan berat molekulnya.
Ada beberapa teknik untuk mengukur berat molekul. Suatu cara yang umum dipakai
adalah menentykan laju pengendapan ini tergantung pada beberapa faktor termasuk
kepekatan cairan suspensi dan bentuk protein maupun berat molekulnya. Pengenalan
jenis protein dilakukan dengan cara menghitung tetapan pengendapannya yang
dinyatakan dalam satuan svedberg atau nilai S dan tidak dengan cara mengukur berat
molekulnya secara teliti dalam satuan dalton.Bila imunoglobulin diperiksa dengan
ultrasentrifus ternyata diperoleh tetapan pengendapan sebesar 7 S, disamping itu biasanya
ditemukan juga imunoglobulin dengan tetapan pengendapan 11 S, 13 S dan 19 S.
Selain cara ultrasentrifus, penaksiran ukuran protein dalam larutan mungkin pula
ditentukan dengan cara pengukuran kecepatan protein melewati suatu kolom gelas yang
berisi manik dekstran terikat-silang, pada teknik yang disebut sebagai filtrasi gel. Karena
molekul yang sangat besar tidak dapat menyusun manink-manik dekstran, molekul kecil
menyusup dan tinggal di dalam manik dan dengan demikian melewati kolom pelan-pelan.
Karena itu kecepatan molekul protein untuk melewati suatu kolom tertentu (dalam batas
tertentu) sebanding dengan berat molekulnya yang dapat dihitung dengan menggunakan
kurva estándar. Bila berat molekul imunoglobulin ditaksir dengan cara ini, seperti halnya
tetapan pengendapannya, ternyata heterogen Imunoglobulin 7 S mempunyai berat
molekul 180.000 dalton, Imunoglobulin 11 S mempunyai berat molekul 360.000 dalton
dan Imunoglobulin 19 S mempunyai berat molekul 900.000 dalton. Karena perlakuan
kimiawi tertentu dari molekul 19 S menyebabkan terpecah menjadi lima 7 S sub unit,
ternyata imonoglobulin ini adalah pentamer dari unit 7 S dasar. Serupa pula
imunoglubulin 11 S adalah dimer dan imunoglubulin 13 S adalah trimer dari unit dasar.
Struktur Antigenik
Sebagai protein, maka imonoglobulin adalah antigen yang baik sekali bila
disuntikan pada hewan seperti spesien yang berbeda. Akibatnya dapat dibuat antiserum
yang beraksi dengan molekul imunoglobulin. Dengan menggunakan anti serum semacam
ini dapat menunjukan bahwa imonoglobulin adalah antigen heterogen dan terbagi dalam
berbagai klas atai isotipe yang ternyata terdapat pada semua hewan menyusui.
Empat klas utama imunoglobulin yang diketahui dengan cara ini diberi tanda
imunoglobulin M,G,A dan E dan masing-masing memiliki determinan antigen yang unik,
yang disebut μ, γ, α, dan Є.
5.3 STRUKSTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin G (IgG) adalah imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi
tertinggi dalam serum dan strukturnya dapat dipakai sebagai model bagi imunoglobulin
yang lain. IgG mempunyai berat molekul 180.000 dalton dan tetapan pengendapan 7 S.
Dalam mikroskop elektron IgG dapat dilihat berupa molekul berbentuk-Y dan “lengan”
dari Y yang mampu mengikat yang memecah ikatan disulfida (-S-S-), maka molekul
tersebut akan terurai menjadi empat rantai polipeptida yang terpisah. Dua diantaranya
“berat” karena masing-masing mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton. Dua
rantai yang lain “ringan” karena masing-masing mempuntai berat molekul sekitar 25.000
dalton. Informasi (tahuna) yangg lebih banyak tentang strukstur IgG dapat diperoleh
dengan mempelajari pengaruh enzim proteolitik pada molekul yang utuh. Papain
misalnya. Mampu menguraikan molekul IgG menjadi tiga fragmen yang kurang lebih
sama besarnya, yang sesuai dengan dua lengan dan satu ekor dari molekul yang
berbentuk Y. Kedua fragmen “lengan” dari molekul adalah identik dan masih memiliki
kemampuan untuk mengikat antigen kemampuannya ini disebut fragmen Fab. Fragmen
ketiga dari “ekor” tidak dapat mengikat antigen tetapi dapat terkristalkan dan karena itu
dinamakan fragmen Fc.
Enzim proteolitik yang kedua yaitu pepsin, bekerja pada IgG dengan cara yang
sedikit berbeda yaitu hampir menghancurkan sama sekali bagian Fc, tetapi meninggalkan
kedua fragmen Fab bersatu membentuk suatu fragmen yang dikenal sebagai F(ab) 1…….
5.4 STRUKTUR PRIMER IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin yang terdapat dalam serum adalah suatu campur-komplek antibodi
yang ditujukan terhadap bermacam-macam determinan antigen. Karena keanekaragaman
ini, maka tidak mungkin untuk mengadakan analisa strukturnya lebih dari ketentuan
umum yang telah diuraikan. Namun demikian pada manusia, mencit, dan anjing, sel B
dapat menjadi neoplastik, sehinga klon sel plasma yang neoplastik dapat dihasilkan dari
suatu sel pendahulu tunggal. Karena asalnya “Monoklonal”, semua sel plasma tersebut
membuat dan mengeluarkan hanya satu bentuk molekuler tungal imunoglobulin yang
tampak di dalam serum dari penderita dalam konsentrasi tinggi. Tumor sel plasma ini
dikenal sebagai mieloma atau plasmasitoma dan produk imunoglobulinnya disebut
protein mieloma. Protein mieloma terdiri dari molekul imunoglobulin yang sama sekali
homogen sehingga dapat dimurnikan dan dianalisa struktur kimiawi dan antigeniknya
secara rinci. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa setiap molekul imunoglobulin
terdiri dari bagian yang dapat berubah (variabel) pada lengan Y, tempat imunoglobulin
bertaut pada antigen, bagian engsel yang menghubungkan lengan dengan ekor, yang
menjamin kelenturan molekul dan bagian tetap pada kedua lengan dan dimana terletak
sifat biologis dari molekul.
5.3.1 Bagian Variabel
Bila susunan asam amino sejumlah besar IgG protein mieloma diperbandingkan,
didapatkan bahwa rantai polipeptidanya, baik yang ringan maupun yang berat dapat
dibagi menjadi dua bagian yang berbeda, Bagian dari rantai yang terletak ujung terminal
C (ujung rantai peptida dengan gugus karboksil bebas) mempunyai susunan urutan asam
amino yang relatif konstan, bila protein mieloma yang berbeda diperbandingkan.
Sebaliknya pada bagian terminal-N (ujung dengan gugus amino bebas) dari setiap rantai
ditemukan sangat berubah-ubah (variabel) dengan demikian susunan asam amino sangat
berbeda diantara protein mieloma yang berbeda-beda. Setiap bagian variabel ini
mempunyai panjang kurang lebih 110 asam amino residu dan merupakan kurang lebih
setengah dari setiap rantai ringan dan kurang lebih seperempat dari setiap rantai berat.
Bila bagian veriabel ini diteliti lebih lanjut dan diukur derajat variabilitasnya,
terlihat bahwa tempat-tempat tertentu di dalam bagian variabel ini sangat jauh berbeda
dari yang lain dan dengan demikian dianggap hipervariabel. Diantara bagian-bagian
hipervariabel ini terletak segmen-segmen yang relatif konstan. Bila diukur tiga dimensi
ini diperiksa, terlihat bahwa posisi hipervariabel terletak berdekatan satu sama lainnya
pada permukaan molekul. Bagian-bagian hipervariabel pada rantai ringan dan ranatai
berat bersama-sama membentuk suatu tempat pengikatan antigen tunggal. Akibatnya
setiap molekul IgG berfungsi bivalen. Kekhususan interaksi antara antigen dan antibodi
dapat dijelaskan berdasarkan bahwa susunan asam amino pada bagian hipervariabel
mengakibatkan terjadinya tempat pengikatan antigen yang berbentuk unik. Bentuk atau
konformasi dari tempat pengikatan antigen imunoglobulin itulah yang menentukan
determinan antigen khusus yang akan bereaksi dengannya.
5.3.2 Bagian Engsel
Pada mikroskopis elektron dari IGG terlihat bahwa bagian Fab (lengan dari Y)
bersifat mobil dan dapat berputar bebas mengitari pusat molekul seolah-olah terpaut pada
suatu engsel. Bila susunan asam amino pada bagian ini diteliti ternyata berisi residu
prolin yang luar biasa banyaknya. Karena bentuk yang unik ini, prolin membentuk
belokan yang tegak lurus pada rantai polipeptida, dan karena rantai polipeptida dapat
secara bebas mengitari ikatan peptida, efek dari beberapa prolin yang terikat adalah
membentuk “sendi universal” tempat rantai polipeptida dapat berayun bebas. Prolin juga
cendrung dapat “membuka” sususnan rantai polipeptida, dan itulah sebabnya mengapa
enzim proteolitik pepsin dan papain dapat merusak molekul antibodi di bagian ini.
Akhirnya ikatan disulfida antara rantai yang menghubungkan rantai berat dan ringan juga
terdapat pada bagian engsel. Karena itu bagian engsel ini berperan sangat penting dalam
aktivitas biologis dari molekul imunoglobulin.
5.3.3 Bagian Tetap
Bagian tetap molekul imunoglobulin tersusun dari C-terminal setengah setiap rantai
ringan dan C-terminal tiga perempat setiap rantai berat. Bagian konstan dari rantai ringan
(CL) panjangnya sekitar 110 residu asam amino sedangkan bagian konstan dari rantai
berat (CH) sekitar 330 residu panjangnya. Bila bagian CH dari IgG diteliti susunannya,
ternyata terdiri dari tiga sub unit yang sama, atau bagian-bagian yang homolog, yang
disebut CH1, CH2 dan CH3 (IgM dan IgE memiliki bagian homolog yang keempat pada Fc
yang disebut CH4). Setiap bagian konstan yang homolog pada ranatai ringan maupun
berat memiliki suatu ikatan disulfida tunggal yang melipat rantai tersebut menjadi suatu
lingkaran.
5.3.4 Bagian CL
Rantai ringan terbagi menjadi 2 tipe berdasarkan antigenitas dan susunan asam
aminonya. Ke dua tipe tersebut disebut kappa (k) dan lambda (λ). Kedua rantai ringan
pada satu molekul imunoglobulin harus identik. Perbandingan antara rantai k dan λ
sangat bervariasi antara pelbagai spesies. Anjing, kucing, sapi dan domba memiliki 90 %
rantai λ, sedangkan mencit, kelinci dan tikus (rat) memiliki 90 % rantai k. Babi memiliki
jumlah yang sama dari setiap tipe sedangkan kuda dan cerpelai hanya memiliki rantai λ.
5.3.5 Bagian CH
Disamping berikatan dengan antigen khusus imunoglobulin memiliki sejumlah
aktivitas biologis yang lain, yang kebanyak dimulai setelah imunoglobulin mengikat
determinan antigen. aKtivitas biologis ini meliputiaktivitas kaskade komplemen dan
pengikatan kompleks kebal pada sel fagositik sebagai persiapan pencernaan (opsonisasi).
Hal ini dan fungsi yang lain berlangsung melalaui tempat-tempat di bagian konstan dari
rantai berat imunoglobulin. Jadi suatu bagian kecil yang terdapat pada CH2 dari IgG
bertanggung jawab untuk dimulainya kaskade komplemen, sedangkan bagian yang
serupa pada CH4 IgM melakukan fungsi yang sama pada molekul tadi. Derajat katabolik
fraksional dari IgG juga dikendalikan oleh suatu tempat pada CH2, sedangkan perlekatan
pada makrophag diperantarai melalaui suatu tempat pada CH3. Pemindahan plasenta IgG
(pada manusia) dan sitotoksisitas berperantara sel yang diperantarai oleh antibodi juga
diatur oleh tempat-tempat pada rantai berat di bagian Fc tetapi mungkin tidak oleh suatu
bagian yang homolog tunggal saja.
Mikroglobulin β2 (11.800 dalton) terdapat dalam keadaan bebas dalam serum
maupun terikat pada permukaan banyak sel yang termasuk antigen histokompatibilitas
klas I. Mikroglobulin β2 mempunyai keistimewaan dalam hal susunan asam amino yang
sangat menyerupai susunan asam amino dari bagian konstan yang homolog dari
imunoglobulin, sedemikian rupa sehingga dapat mengikat komplemen dan juga berikatan
pada reseptor Fc dari makrophag. Karena itu diduga bahwa molekul ini suatu bagian
konstan yang homolog dari imunoglobulin yang terisolasi.
5.4 KLAS IMUNOGLOBULIN
5.4.1 Imunioglobulin G.
IgG adalah klas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam
serum darah dan karena itu memainkan peran utama dalam mekanisme pertahanan yang
diperantarai oleh antibodi. Zat itu merupaka imunoglobulin 7 S dengan berat molekul
180.000 dalton dan mem,iliki determinan antigen γ pada rantai beratnya. Karena ukuran
yang relatif kecil maka zat itu lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan
molekul imunoglobulin yang lain, dan karena itu cepat mengambil bagian utama dalam
mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh. IgG dapat melakukan
opsonisasi, aglutinasi dan presipitasi antigen, tetapi hanya dapat mengativitasi kaskade
komplemen bila telah terkumpul cukup banyak molekul dalam konfigurasi yang tepat
pada pwermukaan antigen. Beberapa sub klas IgG dapat berikatan pada sel mast dan
karena itu turut serta dalam hipersensitivitas tipe I.
5.4.2 Imunioglobulin M.
IgM adalah imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi nomor dua tertinggi dalam
seru dari kebabyakan hewan IgM adalah molekul 19 S dengan berat molekul 900.000
dalton yang terbentuk dari lima sub unit 7 S. Setiap sub unit ini mempunyai struktur yang
serupa dengan molekul imunoglobulin berbentuk dasar Y, kecuali bahwa sub unit itu
memiliki empat bukannya tiga, unit CH yang homolog dan membawa determinan antigen
μ. Monomer-monomer IgM terikat satu dengan yang lain oleh ikatan disulfida dengan
cara melingkari membentuk bintang, dan suatu polipeptida kecil yang kaya sistein yang
disebut rantai J (15.000 dalton) menghubungkan dua dari unut-unit tersebut. Molekul
IgM disekresi dalam keadaan utuh oleh sel plasma dan karena itu, rantai J harus dianggap
sebagai bagian integral dari molekul ini.
IgM adalah imunoglobulin utama yang dihasilkan dalam tanggap kebal primer.
IgM juga diproduksi dalam tanggap kebal sekunder, tetapi jumlahnya tertutup oleh
produksi yang banyak sekali dari IgG pada tanggap ini. Walaupun diproduksi dalam
jumlah yang relatif kecil, IgM sangat lebih efisien (berdasar molar) dari pada IgG pada
aktivitas komplemen, opsonisasi, netralisasi virus dan aglutinasi. Karena ukurannya yang
besar, molekul IgM terutama terbatas dalam sistem pembuluh darah dan karena itu
mungkin kurang penting dalam memberi perlindungan dalam cairan jaringan atau sekresi
tubuh. Monomer IgM (IgM 7 S) juga berfungsi sebagai reseptor antigen pada sel.
5.4.3 Munoglobulin A.
IgA adalah imunoglobulin yang bnayak mengandung karbihidrat berstruktur
konvensional. Zat itu cendrung untuk membentuk polimer sedemikian sehingga terdapat
dimer 11 S, trimer 13 S atau polimer yang lebih tinggi disamping molekul dasar 7 S.
Komponen yang paling sering terdapat yaitru dimer yang terdiri dari dua unit 7 S yang
dihubungkan oleh rantai J wal;aupun IgA merupakan imunoglobulin terbanyak dalam
serum manusia, biasanya dalam serum hewan IgA hanya berupa komponen minor.
Sungguhpun demikian IgA merupakan imunoglobulin utama yang terdapat dalam sekresi
eksternal tubuh. Itulah sebabnya IgA berperan sangat penting dalam perlindungan
saluran-saluran intestinal, respirasi dan urogenital, kelenjar susu dan mata, terhadap
invasi mikroba. IgA tidak mengaktivasi kaskade komplemen dan juga tidak bertindak
sebagai opsonin. Tetapi zat itu dapat mengaglutinasi partikulat antigen dan menetralisasi
virus. Diperkirakan cara kerja IgA adalah mencegah melekatnya antigen pada permukaan
tubuh.
5.4.4 Imunoglobulin E.
IgE adalah imuniglobulin khas berbentuk Y berantai empat dengan tanbaham satu
bagian homolog pada rantai berat di dekat bagian engsel. Karena itu IgE mempunyai
berat molekul 196.000 dalton dan tetapan pengendapan 8 S. Imunoglobulin ini terdapat
dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam serum berbagai jenis hewan (misalnya 20
sampai 500 μg/ml pada manusia), tetapi walaupun demikian mempunyai peranan penting
dalam memperantarai reaksi hipersensitivitas tipe I (allergi dan anafilaksis), dan juga
dihubungkan dengan tanggap kebal terhadap berbagai infestasi cacing. IgE memiliki
bagian Fc yang unik yang memungkinkannya berikatan dengan sel jaringan tertentu,
terutama sel mast dan basofil, dan bersama-sama dengan antigen, menyebabkan
keluarnya zat vasoaktif dari sel-sel ini. IgE juga unik diantara imunoglobulin lain dalam
hal akan dihancurkan oleh pemanasan sampai 560C selama 30 menit
5.5.5 Imunoglobulin D.
IgD adalah imunoglobulin 7 S yang terdapat terutama pada permukaan beberapa limfosit
B, dimana berfungsi sebagai reseptor antigen. IgD telah dibuktikan terdapat pada
manusia, hewan percobaan dan ayam. Belum berhasil diperlihatkan terdapat pada
sebagian besar hewan piaraan.
5.6 IMUNOGLOBULIN HEWAN PIARAAN
Semua hewan piaraan memiliki IgG, IgM, IgA, dan mungkin juga memiliki IgE
dan IgD. Sifat dasar dari masing-masing klas imunoglobulin ini tidak berbeda antara
spesies, dan sifat serta fungsinya telah diuraikan sebelumnya. Namun demikian hewan
berbeda dalam jumlah dan tipe sub klas yang terdapat pada masing-masing spesies
maupun dalam pemilikan alotipe.
5.6.1 KUDA.
Kuda terdapat lima sub klas IgG yaitu IgGa, IgGb, IgGc, IgG(B) (kadang-kadang
disebut IgB) dan IgG(T) (kadang-kadang disebut IgT). IgG(T) menarik perhatian dalam
hal kaya akan karbohidrat, karena terdapat dalam jum;lah banyak di dalam sekresi tubuh,
dan yang mulanya diduga sebagai IgA homolog kuda. Simbol T berasal dari pengamatan
bahwa IgG(T) sangat bertambah jumlahnya pada kuda yang dipakai untuk memproduksi
antioksin tetanus. Tetapi analisis struktur antigenik dan susunan asam aminonya
menunjukkan bahwa IgG(T) sangat mirip pada IgGdan karena itu yang terbaik adalah
dianggap subklas IgG. IgG(T) tidak mengikat komplemen mencit dan bereaksi dalam
reaksi presipitasi dengan flokulasi yang agak khas. Imunoglobulin lainnya yang tidak
diaktifkan yang terdapat pada kuda antara lain molekul 10 Sγ1, dan dua imunoglobulin
dari mobilitas γ yang cepat.
5.6.2 SAPI.
Pada sapi seperti yang telah diterangkan sebelumnya, IgG terbagi atas dua sub
klas yaitu IgG1 dan IgG2 berdasarkan atas antigenitas dan mobilitas elektroforetik. IgG2
berdasarkan atas antigen dan mobilitas elektroforetik. IgG1 merupakan kurang lebih 50
% dari IgG dalam serum dan dalam susu sapi terdapat luar biasa banyaknya sehingga
merupakan imunoglobulin yang lebih utama jika dibandingkan dengan IgA. Banyaknya
IgG2 sangat mudah diwariskan maka konsentrasinya sangat bervariasi antara sapi yang
satu dan yang lain. Alotipe telah dilaporkan terdapat pada sapi. Suatu alotipe yang
dikenal dengan nama B1 terdapat pada mata rantai ringan dari sejumlah sapi tetapi relatif
tidak umum. Telah dilaporkan terdapatnya beberapa alotipe yang lain termasuk G2A1 dan
G2A2, terdapat pada rantai berat IgG2 dan turunannya sebagai dominan antosomal, dan
G1A1, terdapat pada rantai berat IgG1. IgE juga telah diketahui terdapat pada sapi.
5.6.3 DOMBA.
Imunoglobulin pada domba sama dengan yang terdapat pada sapi. Domba memiliki
IgG1, IgG2, IgG3. Beberapa domba dilaporkan memiliki IgG1a tetapi ini mungkin hanya
alotipe. Domba juga mempunyai IgE yang tak tahan panas dengan berat molekul 210.000
dalton
5.6.4 BABI.
Babi memiliki tiga sub klas IgG yang disebut IgG1, IgG2 dan IgG3. Disamping
itu babi dewasa memiliki γ1, makroglobulin 18 S yang secara antigenik sama dengan
IgG2, dan anak babi yang baru lahir memiliki 5 S IgG, yang mungkin tidak mempunyai
rantai ringan. Empat alotipe IgG telah dilaporkan terdapat pada babi betina dan antibodi
yang terjadi spontan terhadapnya telah ditemukan dalam serum anak babi. Diduga bahwa
anak babi mungkin menjadi peka terhadap imunoglobulin induk babi sesudah penyerapan
imunoglobulin dari colostrum setelah lahir, IgE telah dilaporkan terdapat pada babi.
5.6.5 ANJING DAN KUCING.
Anjing memiliki empat sub klas IgG yang disebut IgG1, IgG2a, IgG2b, dan
IgG2c sedangkan kucing memiliki dua (IgG1 dan IgG2). Suatu alotipe IgM telah
dilaporkan terdapat pada anjing dan IgE telah dikenal pada spesies ini.
5.6.6 AYAM.
Walaupun IgG pada spesies ini mempunyai beberapa sifat yang unik (begitu
banyak sehingga oleh beberapa peneliti dinamakan IgY), mempunyai fungsi yang sama
dengan IgG pada hewan mamalia dan karena itu disini juga disebut IgG, IgG ayam
mempunyai tetapan pengendapan 8 S dan berat molekul 200.000 dalton. Sejumlah
peneliti telah melaporkan adanya tiga sub klas yaitu IgG1, IgG2 dan IgG3. Walaupun hal
ini belum dibuktikan secara sempurna. Ayam juga memiliki IgA yang terdapat dalam
sekresi dan sebagaimana halnya IgA pada mamalia, cenderung untuk membentuk
polimer. IgM ayam adalah molekul 19 S, terbentuk terutama selama tanggap kebal primer
dan memiliki rantai J. IgM 7 S dapat ditemukan dalam cairan amnion telur dan pada anak
ayam umur sehari. Zat itu diduga berasal dari sekresi saluran telur induk ayam. Adanya
IgD homolog pada ayam juga sudah dibuktikan.
Ayam memiliki tiga lokus alotipe imunoglobulin. Lokus G-1 merupakan lambang
bagi alotipe rantai berat IgG. Lokus M-1 merupakan lambang bagi alotipe rantai berat
IgM, dan lokus L-1 merupakan lambang alotipe rantai ringan. Mungkin terdapat empat
belas macam alotipe yang dikembangkan pada lokus G-1.
5.7 KERAGAMAN ANTIBODI
Suatu hasil yang langsung diperoleh dari penelitian pada antisera terhadap
konjugat pembawa hapten, kenyataan bahwa antibodi dapat membedakan antara
determinan antigen yang hanya sedikit berbeda dalam konfirgurasi strukturalnya.
Selanjutnya disadari bahwa terdapat sejumlah besar antigen yang berbeda-beda dan
bahwa jumlah antibodi yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan antigen ini harus juga
berjumlah sangat besar
Satu kesulitan yang timbul akibat temuan ini adalah adanya pendapat bahwa
dibutuhkan meterial genetik dalam jumlah yang luar biasa banyak untuk mengkodekan
bagi setiap molekul antibodi potensial. Tetapi ketika struktur imunoglobulin diketahui
baru menjadi jelas bahwa kekhususan suatu antibodi terhadap determinan antigen
komplementernya terletak hanya pada struktur dari bagian variabel dari rantai ringan dan
rantai berat. Juga menjadi jelas bahwa pengkodean bagi setiap molekul antibodi
potensial. Tetapi ketika struktur imunoglobulin diketahui, baru menjadi jelas bahwa
kekhususan suatu antibodi terhadap determinan antigen komplementernya terletak hanya
pada strukstur dari bagian variabel dari rantai ringan dan rantai berat. Juga menjadi jelas
bahwa pengkodean bagi molekul imunoglobulin dilakukan oleh sekurang-kurangnya dua
kelompok utama gen : Gen bagian variabel yang mengkodean bagi bagian variabel dan
gen bagian konstan yang mengkodean bagi bagian selebihnya dari molekul. Untuk
menerangka kekhususan antibodi, kita mesti menghitungka variasi di dalam bagian
variabel, terutama daerah hipervariabel. Untuk menerangkan bermacam-macam
pembuatan isotipe imunoglobulin yang berbeda-beda, kita harus memperhitungkan
variasi di dalam gen bagian konstan. Banyak informasi yang berikut diperoleh dari
penelitian pada mencit. Walaupun diharapkan bahwa mekanisme yang serupa operatif
pada.
Keragaman Bagian Variabel (V). Paling sedikit tiga macam gen diperlukan untuk
membentuk satu rantai ringan imunoglobulin. Satu gen, gen VL mengkodean bagi seluruh
bagian variabel, gen yang lain yaitu gen CL mengkodean bagi bagian tetap dan gen ketiga
yaitu gen JL mengkodean bagi sebagian rantai yang menghubungkan bagian variabel dan
bagian tetap.
BUKU ACUAN
Tizard, Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga university Press -1988