MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...

88
1 MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA (STUDI KASUS MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN LAJANG YANG BEKERJA DI KECAMATAN SUKOHARJO) Skripsi Oleh: Nuraini Dewi Masithoh K8405003 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...

Page 1: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

1

MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA (STUDI KASUS MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN LAJANG

YANG BEKERJA

DI KECAMATAN SUKOHARJO)

Skripsi

Oleh:

Nuraini Dewi Masithoh

K8405003

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus

dijalankan, tidak terkecuali manusia. Kodrat merupakan kekuasaan Tuhan yang

meliputi sesuatu hal yang melekat pada diri manusia, baik itu berupa hukum alam

maupun sifat bawaan yang dimiliki oleh manusia. Dengan adanya kodrat Toety

Nurhadi ( 1991 :122 ) mengatakan, “ manusia akan terjebak dalam keadaan baku

yang tidak bisa diubah”. Secara alamiah dan biologis, kodrat membagi manusia

dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Masing-masing jenis kelamin akan

memiliki implikasi yang berbeda-beda. Perempuan memiliki kodrat menstruasi,

hamil, melahirkan dan menyusui, yang semua kemampuan ini tidak dimiliki oleh

laki-laki. Sedangkan kodrat yang didefinisikan secara sosial, mengandung arti

bahwa manusia harus menjalani serangkaian tahapan kehidupan, yang disebut

sebagai siklus kehidupan. Siklus kehidupan manusia dimulai dari masa bayi,

beralih ke masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, hingga akhirnya masuk

pada kehidupan keluarga.

Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam hubungan

sosial masyarakat. Keluarga terbentuk dari adanya suatu tahapan dari siklus hidup

manusia yaitu perkawinan. Perkawinan menurut Siany Liestysari ( 2007 : 122 )

diartikan sebagai “ penyatuan antara dua pihak yang berbeda kelamin yakni antara

laki-laki dan perempuan”. Proses penyatuan ini, jika dipandang dari sudut

kebudayaan manusia, maka akan berhubungan dengan kehidupan seksual dan

persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Koentjaraningrat( 1985 ; 90 )

mengatakan, “ perkawinan akan menyebabkan seorang laki-laki dan perempuan

dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan sembarang lelaki

atau perempuan lain” . Selanjutnya Henry ( 1997 : 197 ) mengatakan “

Page 3: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

3

perkawinan menjadi sebuah kesatuan (union) yang dimasuki oleh laki-laki dan

perempuan dan berharap untuk membagi bagian utama dari kehidupan mereka

bersama-sama”. Dari dua pengertian tersebut maka secara implisit akan

memberikan makna bahwa dengan adanya perkawinan akan memberikan

pembedaan peran ( hak dan kewajiban ) baik bagi laki-laki atau perempuan.

Dalam masyarakat Jawa kultur pembagian peranan antara laki-laki dan

perempuan akan semakin kental terasa meskipun di berbagai kultur masyarakat

yang lain juga demikian halnya. Perkawinan menempatkan laki-laki dalam posisi

yang lebih dominan. Sedangkan perempuan, sebagai seorang istri harus berada

dalam ranah domestik yang kedudukannya lebih rendah dari laki-laki. Seorang

laki-laki berperan sebagai kepala keluarga—seperti yang digariskan dalam budaya

Jawa dan agama serta aturan pemerintah, sementara seorang istri berperan

sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai aktivitas domestik yang dilimpahkan

kepadanya.

Membincang kembali tentang perkawinan maka pada konteks tahun

1970-an, mayoritas perkawinan Jawa dilaksanakan segera sesudah anak

perempuan mengalami haidnya yang pertama. Secara kultural para perempuan

tersebut memiliki beban untuk menikah dan mempunyai anak. Perkawinan

tersebut biasanya diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Orang tualah yang

mencarikan bakal jodoh dan menentukan hari pernikahan. Sehingga tidak heran

jika banyak perempuan kita yang telah memiliki status sebagai seorang istri rata-

rata pada saat berumur 16-17 tahun. Namun hal ini berbeda konteksnya bagi laki-

laki, dalam keluarga Jawa memberikan kebebasan dan izin bagi para anak laki-

lakinya untuk menikah sampai mereka telah merasa siap baik secara sosial

maupun material., yaitu ketika mereka telah mampu menyangga sebuah keluarga

dengan layak.

Geertz (1982:81) menjelaskan, “perkawinan pada masyarakat Jawa

yang bersifat parental tersebut tidak hanya dilihat dari kerangka organisasi

kekeluargaan semata-mata, tetapi lebih dari itu dilihat dari struktur ekonomi dan

gengsi”. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengertian perkawinan yang

dipandang secara konvensional. Artinya bahwa perkawinan dilakukan sebagai

Page 4: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

4

salah satu life cycle yang pasti dilalui oleh setiap manusia. Setiap individu harus

melalui tahapan perkawinan ketika mereka menginjak dewasa. Perkawinan

ditekankan sebagai bentuk kewajaran yang harus dilakukan oleh setiap manusia

dan dijadikan sebagai kewajiban sosial bukan hak kebebasan individu.

Perkawinan semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat yang bersifat

tradisional ataupun pedesaan bahkan juga di masyarakat perkotaan.

Ketika perempuan sudah memasuki institusi perkawinan, maka

kewajiban mutlak yang melekat pada dirinya adalah menjadi seorang ibu rumah

tangga dengan sederet pekerjaan domestik yang mulai menanti. Kewajiban untuk

menjadi ibu rumah tangga ini, erat kaitannya dengan kekalahan perempuan atas

laki-laki dalam kepemilikan harta pribadi (privat property). Awalnya pekerjaan

domestik perempuan seperti meramu, memasak dan mengasuh anak adalah

pekerjaan yag memiliki posisi lebih tinggi dari laki-laki. Namun setelah

berkembangnya pertanian dan perdagangan laki-laki memiliki posisi yang lebih

kuat dengan kemampuan mereka untuk menukarkan hasil buruan mereka dengan

hasil pertanian yang lainnya. Sejak itulah laki-laki meganggap bahwa lembaga

perkawinan sebagai tempat untuk melindungi property yang dimilikinya.

Pekerjaan domestik yang dilimpahkan pada perempuan, menjadi suatu bagian

yang tidak memiliki arti penting lagi. Inilah yang mengawali posisi perempuan

selalu berada di bawah bayang-bayang lelaki.

Dikatakan oleh Ayu Ratih (2002 : 47) pekerjaan domestik yang melilit

perempuan, ketika mulai masuk pada jenjang perkawinan ini dalam konstruksi

masyarakat telah dianggap sebagai kontrak sosial yang seolah tidak memberikan

kesempatan pada perempuan untuk memiliki sebuah pilihan, karena hal tersebut

selalu dibumbui atas nama kewajiban. Tidak mengikuti aturan sosial ini

merupakan suatu hal yang tabu dan di luar kebiasaan. Salah-salah akan dicap

melanggar aturan agama dan tak layak mendapat predikat istri solehah.

Perempuan harus selalu berteman dengan berbagai perkerjaan domestik mulai dari

memasak, mencuci, mengurus rumah tangga, megurus suami, mengurus anak,

yang semuanya akan mengikat badan, hati dan pikiran perempuan ke rumah sejak

ia bangun pagi hingga malam hari.

Page 5: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

5

Di Indonesia, keadaan tersebut seolah dipertegas dan dilegalkan oleh

peraturan undang-undang yang berlaku. Dalam UU perkawinan no 1 Tahun 1974

dengan jelas dikatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu

rumah tangga, yang memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Ini

menunjukkan bahwa betapa undang-undang telah ikut berperan dalam melegalkan

budaya patriarki dalam hubungan keluarga dan dalam masyarakat. Perempuan

dibentuk sebagai pribadi yang berada dalam kekuatan laki-laki. Dan hal ini

dibenarkan oleh hukum kita, maka implikasinya perempuan harus berada di

bawah bayang kuasa laki-laki. Apabila ini tidak dilakukan, maka perempuan kita

dianggap melanggar kaidah atau aturan.

Namun seiring berjalannya waktu, modernitas dan berbagai hal lainnya

membawa babak baru dalam kehidupan manusia. Modernisasi, menunjuk pada

suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai

(fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan

fungsional. Berbagai perubahan pun muncul mengikuti perkembangan proses

modernisasi tersebut. Perubahan tersebut meliputi cara berfikir dan cara

berperilaku yang semuanya mengerucut pada adanya perubahan pada kebudayaan

manusia.

Dalam konteks masyarakat Jawa, maka salah satu perubahan itu terlihat

dari masuknya perempuan ke dalam sektor publik yakni bekerja. Banyak

perempuan bekerja dalam berbagai sektor, baik formal ataupun informal.

Pendidikan dianggap sebagai salah satu hal yang berpengaruh positif pada

terbukanya ruang bagi partisipasi perempuan adalam meningkatkan kesempatan

kerja. Banyak perempuan yang mulai memasuki jenjang pendidikan tingkat SLTA

bahkan ada pula yang mencapai gelar sarjana. Bekerja pun menjadi tujuan mereka

dalam upaya merampungkan pendidikannya. Perkembangan ini erat pula

kaitannya dengan makin dikenalnya ide dan pemikiran feminisme pada

perempuan.

Feminisme berangkat dari kesadaran dan keinginan perempuan untuk

bebas dalam kultur patriarki yang selama ini menjerat mereka. Kamla Bhasin

Page 6: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

6

(1995 : 5) mendefinisikan, “ feminisme adalah perjuangan untuk mencapai

kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih

dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah

tangga”. Kenyataan inilah kemudian membawa keinginan perempuan untuk

menuntut dan berjuang demi “persamaan” agar tercipta keadilan dalam kehidupan

masyarakat, termasuk halnya keadilan dalam ruang publik dan ruang kerja.

Dengan masuknya perempuan pada dunia kerja, maka akan membuka

peluang karir serta posisi yang lebih sesuai bagi perempuan. Konsep bekerja jika

ditelaah lebih jauh memiliki makna yang luas. Definisi bekerja secara umum

adalah usaha mencapai tujuan. Adapun secara ekonomi, definisi bekerja adalah

kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa baik untuk

digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Jadi, ada prinsip

pertukaran dalam hal ini. Namun, bekerja sesungguhnya bukan sekadar pertukaran

ekonomi. Bekerja itu dalam arti yang sangat mendasar adalah kegiatan yang

dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan hidup seseorang atau

sekelompok orang dalam suatu lingkungan tertentu dimana melalui kegiatan

tersebut mereka dapat menemukan jati diri (eksistensi) mereka. Bekerja dengan

demikian, bukan sekadar untuk mengubah lingkungan fisik atau suatu bahan baku

menjadi barang material yang dikonsumsi sendiri atau oleh orang lain lalu

dipertukarkan dengan imbalan ekonomi - demikian pula bukan sekadar

memberikan jasa untuk mendapatkan imbalan - melainkan merupakan bagian dari

untuk mendapatkan harkat kemanusiaannya

(http://www.bkkbn.go.id/print.php?tid=2&rid=225).

Hal ini sejalan seperti yang terjadi pada perempuan masa kini. Bekerja

bagi perempuan, bukan hanya sekedar mencari tambahan penghasilan berupa

uang dan berbagai materi lainnya, tapi mereka memanfaatkan kerja juga sebagai

ajang aktualisasi atas kemampuan diri mereka. Ketika para perempuan bekerja

dalam sektor domestik, komentar miring sebagai seorang “pengangguran”, akan

senantiasa mendatangi mereka. Ini dikarenakan pekerjaan domestik tidak

menghasilkan suatu hasil material atau uang. Namun sebaliknya bila

menghasilkan uang dalam sektor publik maka pelakunya dianggap bekerja. Hal ini

Page 7: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

7

dikarenakan pemahaman bahwa kerja upahan dalam sektor publik dianggap

sebagai kerja produktif yang notabene lebih bernilai daripada kerja yang bukan

upahan.Buktinya para pembantu rumah tangga (PRT), yang aktivitasnya sama

seperti yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga, justru dianggap bekerja,

karena mereka menghasilkan uang atau penghasilan secara material.

(http://www.bkkbn.go.id/print.php?tid=2&rid=225)

Masuknya perempuan dalam ruang kerja publik membuka wacana baru

dalam pemikiran mereka. Hal ini membawa dampak pula pada pergeseran

persepsi tentang makna perkawinan. Perkawinan dimaknai sebagai hak kebebasan

individu. Bagi perempuan lajang kita, perkawinan menjadi sebuah kontrak sosial,

yang mengharuskan terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak, tanpa ada

intervensi dari pihak lain. Para perempuan lajang yang notabene perempuan yang

memiliki otonomi dan kuasa penuh atas dirinya sendiri (Wiwik Sushartami, 2002 ;

29), menganggap perkawinan adalah sebuah pilihan rasional, personal dan tidak

ditentukan oleh masyarakat. Dengan demikian sistem perjodohan yang dilakukan

oleh orang tua menjadi hal yang tidak relevan lagi , karena setiap individu

memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih pendamping hidupnya.

Konstruksi masyarakat tentang stigma perawan tua tak laku mulai

bergeser. Dahulu ketika perempuan memilih untuk menunda pernikahan di usia

yang sudah mapan, maka akan muncul stereotipe bahwa perempuan tersebut tidak

laku, turun pasaran , ataupun perawan tua. Yang terjadi kemudian banyak di

antara mereka yang memutuskan untuk menikah tanpa pertimbangan yang matang,

namun sekedar mengikuti keharusan sosial yang berlaku. Mereka mengikat

komitmen bukan karena keinginan atau menemukan pasangan yang tepat, tapi

kondisi budaya, agama dan lingkungan sekitar membuat perempuan tersebut

wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan.

Budaya menikah muda juga mulai bergeser. Menurut Terrence Hull yang melakukan riset di beberapa kota besar di Indonesia pada tahun 1970-an,

angka pernikahan bagi perempuan di Indonesia dilakukan ketika menginjak usia

16-19 tahun, pada tahun 2005 banyak perempuan yang menikah pada akhir umur

30 tahun. Tercatat 51,4 % perempuan Indonesia yang berumur 25-29 memilih

Page 8: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

8

untuk menunda perkawinanya. Jadi makin banyak prosentase perempuan

Indonesia yang menikah pada usia yang cukup mapan, baik dai segi karir maupun

pendidikan dan materi.

Dari sinilah muncul pemaknaan dan definisi tentang perkawinan. Bagi

perempuan, perkawinan tidak hanya dipandang dari segi kebutuhan secara

kultural, namun lebih dari itu perkawinan mulai dimaknai secara sosial maupun

ekonomis. Diperlukan berbagai pertimbangan bagi perempuan hingga akhirnya

memtuskan untuk melakukan perkawinan. Semakin majunya tingkat pendidikan,

terbukanya peluang kerja ekonomis untuk perempuan, semakin lancarnya arus

informasi dan komunikasi membuat kehidupan manusia mengalami perubahan.

Semakin tinggi usia perkawinan dan fenomena perempuan bekerja/ berkarier

merupakan satu dari sekian banyak gejala bahwa perkawinan pun menjadi sesuatu

yang bisa dinegosiasikan khususnya oleh perempuan

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka akan diambil rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana makna perkawinan bagi perempuan lajang (bekerja) ?

2. Mengapa para perempuan lajang (bekerja) menunda usia perkawinannya ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui makna perkawinan bagi perempuan lajang yang bekerja.

2. Untuk mengetahui alasan para perempuan lajang menunda usia

perkawinannya.

Page 9: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

9

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan tentang

kajian dalam ilmu sosiologi dan antropologi.

2. Manfaat Praktis

a) Untuk memberikan gambaran tentang makna dan fungsi perkawinan

bagi perempuan masa kini.

b) Dapat memberikan masukan atau sumbangan terhadap kajian

antropologi dalam pola kekerabatan (perkawinan) pada umumnya, dan

memahami persoalan sosial budaya yang terkait fenomena perkawinan.

3. Manfaat Metodologis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan penelitian selanjutnya

yang lebih mendalam

Page 10: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Perkawinan

Secara sosial manusia memiliki kodrat berupa rangkaian atau tingkat-

tingkat hidup tertentu. Koenjaraningrat (1992 : 192) menyatakan bahwa tingkat-

tingkat sepanjang hidup individu ini dalam kitab antropologi sering disebut

sebagai stages along the life-cycle. Life cycle ( siklus kehidupan ) adalah

serangkaian tahapan yang harus dilalui manusia dimulai dari masa bayi, beralih ke

masa kanak-kanak, masa remaja, adolescent, masa dewasa, hingga akhirnya

masuk pada kehidupan keluarga. Asumsinya perkembangan dan pertumbuhan ini

akan menjadikan manusia sebagai seorang sosok yang utuh atau sempurna yaitu

utuh secara pertumbuhan biologis, sosial dan juga utuh secara psikologis atau utuh

kepribadiannya.

Perkembangan siklus kehidupan manusia ini menurut Khairudin (1985 :

10) mencapai titik puncaknya pada saat setiap individu membentuk suatu keluarga

dimana institusi tersebut merupakan kelompok primer yang terpenting dalam

masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk dari suatu organisasi terbatas dan

mempunyai ukuran minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya

mengadakan suatu ikatan.

Keluarga menurut Gertz (1982 : 58) terbentuk dari adanya suatu tahapan

siklus hidup manusia, yaitu perkawinan. Sementara itu perkawinan dapat

didefinisikan dari berbagai macam perspektif atau sudut pandang. Menurut UU

Perkawinan No 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan Yang Maha Esa. Ini definisi perkawinan yang dipandang dari agama

islam, diman selanjutnya perkawinan dipandang sebagai jalan yang alami bagi

9

Page 11: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

11

perempuan dan laki-laki. Selanjutnya menurut Suryani dan Bagus JL (2007 ; 5 )

mendefinisikan bahwa,“ Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat

karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan ini mengikat kedua pihak

dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan nonformal yang

dibentuk atas kemauan bersama secara sungguh-sungguh yang hanya mengikat

kedua pihak tersebut”.

Dari sudut pandang kaum fungsionalisme, perkawinan jelas

dipandang sebagai bagian dari rangkaian siklus hidup manusia. Lebih

lanjut, Koentjaraningrat (1992 : 193) menjelaskan bahwa,“ perkawinan

adalah suatu peralihan terpenting pada life cycle semua manusia di seluruh

dunia, saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat berkeluarga”.

Jadi perkawinan menjadi bagian kehidupan manusia dari proses

peralihan masa remaja menuju tingkatan keluarga, yang selanjutnya akan

membentuk kesatuan hidup bersama. Dalam hubungannya dengan kehidupan

bersama ini, dijelaskan oleh Gough (1959 : ) perkawinan lantas dimaknai sebagai

struktur yang memproduksi, memelihara dan mengembangkan anak, untuk dapat

menjadi anggota dari masyarakat. Perkawinan menjadi tempat dimana

ditetapkannya legitimasi anak sebagai anggota yang bisa diterima oleh

masyarakat.

Dari sudut pandang kaum strukturalisme, perkawinan dapat dilihat dari

makna yang timbul di dalamnya akibat pengaruh dari unsur-unsur budaya yang

berkembang dalam masyarakat. Perkawinan dikatakan sebagai bagian dari proses

pertukaran. Ini berarti perkawinan dijelaskan Henry (1997 ; 198) sebagai berikut

“in the section on exchange, marriage is one means of maintaning communication

between peoples, whether it be friendly or hostile”. (dalam konteks pertukaran,

perkawinan adalah satu tujuan dari pemeliharaan komunikasi di antara manusia

apakah itu persahabatan atau permusuhan).

Di sini lebih lanjut, Levi Strauss menjelaskan bahwa dalam perkawinan

tersebut terdapat suatu bentuk komunikasi antar kelompok kekerabatan, di mana

wanita merupakan wahana bagi berlangsungnya proses komunikasi tersebut.

Menurut Ahimsa Putra dalam Siany Indria L (2003 : 49) menjelaskan bahwa

Page 12: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

12

perspektif tersebut dapat dilihat bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sebagai

persatuan bukan antara laki-laki dan perempuan, tetapi laki-laki dan laki-laki. Hal

ini disebabkan karena setelah menikah si wanita akan tinggal bersama suaminya,

dan dalam kerangka teori Levi Strauss wanitalah yang dianggap sebagi sesuatu

yang dipertukarkan, dan melalui pertukaran inilah terjadi persatuan antara pria dan

wanita.

Dikatakan oleh Siany Indria L (2003 : 49) melalui proses pertukaran

yang terjadi dalam perkawinan tersebut, maka akan terbentuk suatu komunitas

baru yang anggotanya berasal dari kedua belah pihak. Dalam proses pertukaran

tersebut kita akan mengenal konsep dowry, sebagai sesuatu yang harus ada dalam

perkawinan. Dowry atau mas kawin dianggap sebagai perantara yang bersifat

material maupun non material, sebagai bentuk pertukaran atau gift. Artinya

pemberian mas kawin dalam perkawinan bisa berbentuk pemberian berupa materi

atau uang, namun demikian juga bisa berbentuk barang dan hal lainnya. Yang

terpenting di sini adalah segala bentuk pemberian tersebut diberikan sebagai

bentuk pemberian yang bersifat simbolik yang berarti akan terbentuk komunikasi

yang lebih internal dari kedua belah pihak ( laki-laki dan perempuan ataupun

keluarga dari pihak perempuan dan laki-laki ).

Dikatakan oleh Geertz (1983: 58) di dalam kultur masyarakat Jawa,

perkawinan menjadi sebuah tanda terbentuknya sebuah somah baru di mana anak

segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas

dari kelompok orang tua dan membentuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga

baru Di sini pengertian perkawinan menurut Geertz (1982 : 58) lebih ditekankan

pada keadaan dimana seseorang memiliki kelompok kecil baru dengan beban

ekonomi yang lepas dari orang tua ataupun kelompoknya. Namun demikian bukan

berarti mereka terlepas dari hubungan kekerabatan atau kelompoknya, tetapi

dengan adanya perkawinan maka akan terjadi pelebaran menyamping tali ikatan

antara dua kelompok himpunan yang tak bersaudara, atau pengukuhan

keanggotaan dalam suatu kelompok endogam bersama. Anggota keluarga besar

masing-masing pihak tetap memberikan dukungan, sumbangan, bantuan,

Page 13: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

13

kesaksian sesuai dengan kekhususan hubungannya dengan pasangan suami istri

yang baru tersebut.

2. Perkawinan Dalam Konsep Feminisme

Perkawinan bisa dipandang dari berbagai sudut atau berbagai pengertian

yang berbeda-beda. Salah satunya adalah pandangan yang dikemukakan oleh

kaum feminis, perkawinan dipandang dari sudut pandang kaum perempuan

dengan berbagai bentuk pertimbangan yang bersifat kultural maupun sosial.

Feminisme menurut Kamla Bhasin (1995 : 5) diartikan sebagai , “ perjuangan

untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan

untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun

di luar rumah tangga.”

Bagi kaum feminis perkawinan dikaji dari berbagai aspek seperti;

perkawinan sebagai tempat di mana kategori-kategori gender direproduksi;

sebagai tempat dimana terdapat pembagian kerja secara seksual dan subordinasi

perempuan serta sebagai model bagi pelembagaan sosial lainnya yang berkaitan

dengan norma seksual ( Anonim , 2002 ; 127 ).

Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan menjadi tempat

untuk memenuhi kebutuhan biologis atau nafsu seksual bagi kaum laki-laki.

Dikatakan oleh Subiantoro ( 2002 : 9) bahwa dalam hal ini perempuan dinikahi

sebagai objek seks laki-laki dalam rangka menghasilkan keturunan. Dalam

konteks inilah perempuan akan memasuki wilayah kontrol atas seksualitas yang

menjadi bidang subordinasi perempuan dengan mewajibkan untuk memberikan

pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan laki-

laki. Konsep ini sebenarnya erat kaitannya dengan bagaimana subordinasi pada

perempuan pada ranah perkawinan itu dimulai., yaitu berhubungan dengan

pembagian kerja seksual yang menyertai proses perkawinan tersebut.

Dalam kaitanya dengan pembagian kerja secara seksual, dapat dilihat

bahwa perkawinan menjadi suatu proses yang akan membentuk struktur

pembagian kerja yang didasarkan atas pembagian gender yang mana akan

memunculkan berbagai aktivitas sosial yang mengharuskan masing-masing pihak

terlibat di dalamnya. Perempuan akan menjadi objek yang memiliki posisi yang

Page 14: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

14

subordinat dibanding laki-laki. Hal ini dapat terlihat dari berbagai aktivitas rumah

tangga.

Subordinasi perempuan dalam pembagian aktivitas kerja rumah tangga,

berkaita erat dengan pengertian perkawinan yang masih kental dengan budaya

patriarki. Menurut Engles perkawinan merupakan konsep yang masih kental

dengan ideologi patriarki, yang belum bisa memecahkan masalah keterpurukan

nasib bagi perempuan (Veny, 2002 ; 114 ). Hal ini terlihat dalam sistem “mas

kawin ”, yang dianggap sebagai pembayaran cash yang menimbulkan

konsekuensi seolah perempuan “dibeli” oleh laki-laki. Dalam kondisi demikian,

perempuan seolah harus selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki.

Perkembangan ajaran Budha seperti yang tertuang dalam kitab Anggutara Nikaya

IV, 265 dalam Venny, 2002 ; 115 misalnya, menggambarkan bahwa dalam

perkawinan istri berkewajiban memenuhi syarat menjadi istri yang sempurna.

Seperti ; bangun pagi lebih dulu dari suami, pergi tidur setelah suami tidur, selalu

mematuhi perintah suami, selalu bersikap ramah dan sopan, serta mulutnya hanya

keluar kata-kata ramah .

Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan menempatkan

perempuan pada posisi lebih subordinat dari laki-laki. Dan perempuan memiliki

suatu kewajiban secara kultural terhadap laki-laki. Kewajiban-kewajiban inilah

yang lantas menempatkan perempuan pada putaran aktivitas domestik, yang

membuat mereka harus menerima ini sebagai suatu kewajiban sosial. Berbagai

kewajiban sosial tersebut tumbuh sebagai bagian dari adanya pembagian aktivitas

dan ruang kerja secara seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang yang

memiliki kuasa yang lebih tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat property,

dan perempuan harus berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas sosial yang

disusun dan di atur oleh laki-laki.

Lebih lanjut, dalam hubungannya dengan perkawinan, dijelaskan oleh

Subiantoro (2002 : 10). perempuan akan terjebak pada kuasa yang diciptakan

kaum laki-laki. Salah satu contohnya bahwa pekawinan dilakukan sebagi imbas

dari mitos “cinderella compleks”. Dalam mitos ini, diperlihatkan bahwa

perempuan mendambakan seorang “pangeran” untuk mempersunting dirinya. Para

Page 15: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

15

perempuan dalam rasionalitasnya selalu mendambakan laki-laki yang diyakini

sebagai seorang pangeran yang diimpikan dengan segala kesempurnaan baik itu

secara sosial, fisik maupun ekonomi, yang akhirnya akan memberikan

kebahagiaan dalam hidupnya. Pada posisi ini, perempuan akan pasrah untuk

diperlakukan apa saja demi pangeran yang didambakannya. Ini akan membawa

dampak munculnya pengertian bahwa perempuan tidak berarti apa-apa tanpa

kehadiran laki-laki. Budaya patriarki pun mulai berkoalisi dengan mitos tersebut,

sehingga menyebabkan makin bertahannya konsep tersebut

Selain itu secara kultural, dijelaskan oleh Subiantoro ( 2002 : 11)

perkawinan dilakukan perempuan untuk menghindari mitos “perawan tua”. Bagi

perempuan di Indonesia khususnya pada konteks masyarakat Jawa, menikah

adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah lama dikondisikan dengan

budaya patriarki. Kondisi budaya, agama dan pengaruh lingkungan sekitar

membuat perenpuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Karena

jika hal ini tidak dilakukan, maka akan muncul labeling sebagai “perawan tua”.

Banyak orang tua menginginkan anak perempuannya segera menikah, agar

mereka tidak dianggap sebagai perawan tua. Sedikit saja perempuan tersebut

terlambat menikah pada usia yang diyakini pantas untuk menikah, maka akan

berkembang mitos, bahwa perempuan tersebut tidak akan mendapat suami dan

akhirnya menjadi perawan tua

Koentjaraningrat (1992 : 192)menjelaskan bahwa dalam prakteknya,

perkawinan bukan hanya berfungsi sebagai pengatur perilaku sex, tetapi

perkawinan juga berfungsi secara sosial dalam kehidupan kebudayaan dan

masyarakat manusia. Perkawinan akan memberikan perlindungan, hak dan

kewajiban kepada hasil persetubuhan yaitu anak-anak. Selanjutnya, perkawinan

juga akan memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berhubungan dengan teman

hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, akan gengsi dan perwujudan berbagai

kelas sosial dalam masyarakat, serta memelihara hubungan baik antara berbagai

kelompok kekerabatan.

Page 16: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

16

3. Makna Perkawinan

Dari berbagai pandangan dan pengertian tentang perkawinan tersebut di

atas, maka perkawinan menjadi suatu hal yang memiliki makna luas bukan

sekedar sebagai bentuk penyatuan antara dua belah pihak yang melakukan

perkawinan. Lebih dari itu dalam proses penyatuan antara dua orang individu

yang akan membentuk suatu relasi sosial baru bagi keduanya, yang akan

berpengaruh pada perubahan dan pembagian peran dalam masing-masing aktivitas

yang timbul dalam perkawinan. Perkawinan lantas menjadi bagian dari hubungan

sosial manusia dalam masyarakat, yang terjadi atas dasar berbagai kepentingan

dan tujuan, yang didasarkan atas berbagai pertimbangan yang bersifat personal,

yang tak lupa diikuti pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sosial . Berbagai

kepentingan dan tujuan tersebut dapat terwujud tergantung dari sudut mana

masing-masing pihak menentukan makna serta esensi perkawinan itu sendiri.

Dalam masyarakat kita berkembang 2 makna umum tentang perkawinan,

yaitu perkawinan dengan makna konvesional dan perkawinan yang bermakna

sebagai pilihan rasional ( modern). Dari sudut pandang perempuan, perkawinan

menjadi sebuah konsep yang menimbulkan berbagai konsekuensi sosial, yang

menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dilaksanakan. Baik itu kewajiban

yang dipandang dari sudut ekonomi, sosial, politik maupun ikatan kultural. Ini

yang menandai perkawinan dalam arti atau makna konvensional. Perkawinan

menurut Henry (1999 : 197) adalah ,“ sebagai sebuah penyatuan yang dimasuki

oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan harapan dapat membagi kehidupan

secara bersama”.

Perkawinan menjadi kerangka atau dasar untuk dua orang individu

menjalani aktivitas hidup bersama. Artinya yang terpenting dalam perkawinan

adalah membentuk hubungan atau penyatuan antara laki-laki dan perempuan.

Perkawinan dalam makna konvensional ini, biasanya dilakukan oleh masyarakat

yang memiliki pola pikir dan pola tindak yang masih tradisional.

Page 17: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

17

Hal ini terlihat pada konteks masyarakat Jawa pada tahun 1970-an

misalnya, dimana perempuan memiliki kewajiban untuk menikah tepat setelah

mereka memasuki masa dewasa secara biologi yaitu setelah mengalami haidnya

yang pertama. Perkawinan oleh Geertz (1982 : 59) dijelaskan sebagai bagian dari

siklus yang harus dilalui manusia untuk tahapan hidup selanjutnya. Sistem

perjodohan pun tak ayal menjadi pilihan yang digunakan untuk mengikuti tekanan

kultural atas perkawinan tersebut. Kebanyakan perkawinan diatur oleh orang tua

kedua belah pihak. Orang tualah yang mencarikan bakal jodoh dan memutuskan

hari perkawinan, terutama apabila perkawinan pertama untuk anak mereka.

Barangkali kebanyakan gadis Jawa telah kawin setidaknya untuk waktu yang

singkat pada saat kira-kira berumur 16-17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah

menikah sama sekali.

Perjodohan merupakan tindakan sosial konvensional yang berlaku di

banyak negara di dunia ini. Perkawinan di sini adalah perjodohan antara laki-laki

dan perempuan yang dilakukan oleh pihak lain, tapi biasanya oleh kedua orang tua

mereka. Dalam memilih jodoh, orang tua biasanya akan mempertimbangkan dari

sudut bibit, bebet atau bobot dari masing-masing pihak, sehingga diharapkan

jodoh yang dipilihkan untuk anak akan tepat dan dapat memberikan kebahagiaan

bagi anak secara material maupun sosial. Perkawinan yang dilakukan dengan

mempertimbangkan tiga “B” inilah yang seringkali dianggap ideal pada sebagian

besar masyarakat Jawa pada konteks tahun 1970-an.

Dijelaskan oleh Ahimsa Putra ( 2006 : 411-412) dari sudut bibit, jodoh

dipilih dengan melihat asal-usul dari pihak yang dijodohkan, bagaimana latar

belakang keluarga dan keturunannya. Dalam masyarakat Jawa yang diutamakan

pula adalah bagaimana memilih bibit yang sehat, yang artinya calon jodoh tidak

berasal dari keluarga yang salah seorang anggotanya “cacat” misalnya memiliki

penyakit keturunan maupun penyakit jiwa. Sedangkan dari pengertian bebet,

mengacu ada harta kekayaan. Pihak keluarga yang ingin menikah biasnya akan

memperhatikan juga tingkat ekonomi keluarga atau orang tua calon suami atau

istri. Pertimbangan faktor ekonomi calon jodoh ini lebih kuat terlihat pada pihak

perempuan, karena biasanya setelah menikah si perempuan akan tinggal di tempat

Page 18: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

18

suami atau mengikuti suami . Yang terkahir dilihat dari segi bobot. Bobot secara

harfiah berarti “beratnya”. Bobot ini berrati status sosial atau kualitas yang

dimiliki oleh seorang individu, yang di masa lalu itu berrati kebangsawanan

seseorang. Kini bobot biasanya dikaitkan dengan pendidikan atau jabtan

seseorang.

Sekitar tahun 1970 sistem perjodohan ini banyak terjadi pada

masyarakat di Indonesia. Prosentasi perempuan yang belum menikah di usia

tersebut masih berkisar 62,6 %, berbeda dengan tahun 2005 yang angkanya terus

naik hingga mencapai 90, 8 %. Jadi awalnya pernikahan bagi anak yang berusia

15-19 tahun adalah hal yang memang wajar dan menjadi kehendak masyarakat. (

Badan Pusat Statistik, 2006 )

Selanjutnya dalam pengertian perkawinan secara konvensional tersebut,

perempuan tidak memiliki banyak kesempatan untuk memilih dan menyampaikan

pilihan lagi. Dalam hal ini, perkawinan menjadi bentuk kewajiban bagi

perempuan, dan menjadi sebuah pilihan bagi laki-laki. Sistem perjodohanpun

biasanya lebih banyak diterima oleh perempuan daripada laki-laki. Laki-laki,

diberikan kebebasan untuk tidak segera menikah sampai dia benar-benar siap

untuk membentuk sebuah keluarga. Umumnya para orang tua menunggu sang

anak untuk akhirnya siap menikah dan menyampaikannya pada orang tua (Geertz,

1982 ; 60) . Pembedaan pandangan dan makna dalam perkawinan inilah yang

kadang menyebabkan perempuan, tak kuasa memaknai perkawinan sesuai dengan

keinginan atau makna secara pribadi, melainkan lebih pada mengikuti berbagai

tuntutan dan aturan sosial masyarakat.

Dijelaskan oleh Sofia Kartika ( 2002 : 60 ) bahwa ketika perempuan

tidak segera menikah pada usia yang “tepat” menurut budaya masyarakat (yaitu

setelah masa haidnya yang pertama), lingkungan yang akan memberikan label

“perawan tua”, akan memberikan pengaruhnya yang lebih signifikan daripada

laki-laki yang diberi label dengan “perjaka tua”. Realita yang terjadi dalam

masyarakat inilah yang kemudian membuat perempuan lebih cepat ingin menikah.

Karena untuk menghindari berbagai macam hal yang tentunya tidak diinginkan

Page 19: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

19

oleh masyarakat. Mereka setidaknya akan segera memikirkan perkawinan,

menciptakan keluarga yang bahagia dan memiliki anak.

Ayu Ratih ( 2002 : 47 ) menjelaskan bahwa ketika perempuan masuk

dalam lembaga perkawinan serangkaian tugas telah menanti. Mulai dari

melahirkan, mengurus anak, suami dan rumah tangga, sudah menanti. Hal ini

harus diterima sebagai sesuatu yang semestinya. Sesuatu yang alamiah dan

bersifat semestinya ini kemudian menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang

dikuasai oleh laki-laki. Mitos itupun kemudian diterima dan didukung oleh

struktur sosial-budaya dan pengorganisasian dalam suatu masyarakat. Umumnya

tanpa disadari tugas-tugas tersebut akan mengikat badan, hati dan pikiran

perempuan ke rumah sejak ia bangun hingga malam hari.

Perkawinan dalam makna dan pengertian konvensional ini secara

keseluruhan dilakukan dengan berbagai tujuan dan dilatar belakangi berbagai hal,

salah satunya adalah pandangan yang bersifat ekonomis. Dari sisi ekonomis

dijelaskan oleh Subiantoro ( 2002 : 10 ), terjadi kasus perkawinan dilakukan atas

dasar perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Dalam kisah Siti Nurbaya, akan

jelas terlihat bagaimana perempuan tidak memiliki kekuatan untuk membebaskan

diri atau membela diri dalam tradisi patriarki yang sangat kental. . Perjodohan ini,

menjadi sebuah tradisi yang harus dijalankan sebagai sesuatu yang “lumrah” dan

kodrati. Apabila terjadi penolakan atas perjodohan ini, diyakini akan

mendatangkan aib yang akan mencelakan kesejahteraan keluarga. Perjodohan

inipun biasanya dilakukan dengan laki-laki yang dianggap memiliki kecukupan

secara material maupun memiliki kedudukan yang kuat secara sosial. Ini akan

menciptakan keuntungan secara ekonomis bagi keluarga pihak perempuan.

Secara konvensional perkawinan memiliki makna yang berdasarkan

pada suatu konsep tentang kewajiban harus yang dilalui oleh manusia (dalam hal

ini kita berbicara tentang perempuan lajang), dan dilakukan atas dasar hal-hal

yang berhubungan dengan tuntutan sosial kemasyarakatan. Umumnya perkawinan

dilakukan berdasar pada patokan usia tertentu dengan ketentuan pemilihan jodoh

yang sesuai dengan keinginan orang tua maupun masyarakat. Ketika berhasil dan

Page 20: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

20

telah melalui hal tersebut dengan baik, maka mereka akan dianggap menjadi

anggota masyarakat secara sempurna.

Selain makna secara konvensional, kita juga mengenal makna

perkawinan secara rasional. Secara rasional, perkawinan diartikan sebagai proses

yang dilalui individu atas dasar pilihan atau kriteria tertentu. Bagi para perempuan

lajang, yang notabene memiliki otonomi dan kekuasaan yang luas terhadap

dirinya, memaknai perkawinan tak lagi secara konvensional, tetapi perkawinan

dimaknai dari sudut pandang kebebasan individu. Perkawinan dalam hal ini lebih

dimaknai sebagai kontrak sosial yang mensyaratkan adanya kesepakatan di antara

kedua belah pihak tanpa ada intervensi dari pihak lain. Perkawinan pada makna

ini dijadikan sebagai sebuah pilihan rasional atau hak setiap individu dan bukan

merupakan kewajiban sosial dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian,

menurut Siany Liestyasari ( 2003 : 124 ) perjodohan yang dirancang orang tua

sudah tidak relevan lagi, namun setiap individu berhak untuk menentukan

pasangan hidup sendiri.

Perlu adanya berbagai macam pertimbangan yang dianggap rasional bagi

perempuan, untuk akhirnya dapat memilih seseorang menjadi pasangan hidup,

sesuai dengan yang diinginkannya. Baik itu pertimbangan yang didasarkan pada

kriteria secara material, emosional, maupun sosial.

“Schooling and work not only offer socially legitimate alternatives to marriage for women, ……but they also are instrumental in motivating young men and womn to emulate a wetern conceptualization f marriage in terms of self- selection of spouses and more nuclear, conjugal, and egalitri marital relationsip.” (pendidikan dan pekerjaan tidak hanya menawarkan kepada para wanita alternatif pernikahan yang dapat diterima secara sosial…namun juga memotivasi para pria dan wanita muda untuk menerapkan konsep pernikahan ala barat dalam hal menyeleksi sendiri pasangan, juga dalam hal hubungan pernikahan yang lebih seimbang) (Malhotra, 1997:437)

Pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam memutuskan

perkawinan, didasarkan pada anggapan bahwa perkawinan adalah pilihan

individual dari setiap manusia, oleh sebab itu mereka berhak untuk memilih

pasangan sesuai dengan prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan mereka.

Lebih lanjut Mahotra ( 1997 : 437) menjelaskan bahwa, “…….marriage becomes

Page 21: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

21

a more individualized process, to be entered into for love or self-fulfillment rather

than for traditional family concern” (…pernikahan menjadi proses yang lebih

individual, berdasarkan cinta atau pemenuhan kebutuhan pribadi, dan bukan

urusan keluarga).”

Pelaksanaan perkawinan yang didasarkan atas keputusan masing-masing

pihak, tidak lagi melibatkan hal-hal yang berhubungan denagn pertimbangan

keluarga, seperti layaknya perkawinan yang dilaksanakan pada masyarakat

tradisional. Hal-hal yang bersifat esensial tetap menjadi keputusan pihak yang

akan menjalankan perkawinan.

Dalam hubungan perkawinan tersebut terciptalah privatisasi perkawinan.

Perkawinan dalam cara pandang ini menjadi upacara pribadi yang tak harus

diperhatikan dan dihormati secara khusus oleh publik. Hubungan perkawinan pun

hanya menjadi hubungan mitra (partner) daripada hubungan suami-istri. Bahkan

Hillary Clinton (dalam Suryani dan Lesmana, 2007 : 8 ). pernah mengatakan; “

saya belajar sejak lama bahwa hanya ada dua orang yang penting dalam

perkawinan, yaitu kedua orang yang menikah tersebut”. Ini kembali mempertegas

bahwa perkawinan sebagai sebuah pilihan yang rasional, perkawinan menjadi

bagian yang dikonstruksi oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan.

Segala keputusan yang berhubungan dengan perkawinan menjadi kuasa masing-

masing pihak, dan ketika perkawinan itu terjadi maka segala proses dan keputusan

yang terjadi di dalamnya merupakan keputusan bersama antara dua pihak tersebut.

Segala bentuk pemaknaan tentang perkawinan secara rasional ini

berkembang mengikuti arus perubahan zaman kearah yang lebih modern. Menurut

Huntington (dalam Mansour Fakih 2007 ; 32 ), “ modernisasi merupakan proses

yang bersifat revolusioner ( perubahan cepat dari tradisi ke modern ) , kompleks (

melalui berbagai cara sistematik ) , global ( akan mempengaruhi semua manusia

), bertahap ( melalui langka-langkah ), hegemonisasi , convergency dan progresif.

Modernisasi terjadi suatu proses perubahan yang direncanakan dimana melibatkan

semua kondisi, nilai-nilai sosial maupun kebudayaan secara integratif.”

Modernisasi juga mulai memasuki kancah pemikiran para perempuan kita. Para

perempuan kita mulai berupaya untuk mencoba mengubah tradisi tentang berbagai

Page 22: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

22

sistem yang menunjukkan ketiadkadilan bagi mereka dengan berbagai orientasi

nilai yang lebih rasional dengan berbasis pada keadilan.

Ini membawa wacana baru dalam kajian mengenai perempuan dan

berbagai realita sosial yang menyertainya, yang dikenal sebagai feminisme.

Feminisme sesungguhnya bukan ajaran yang menanamkan kebencian pada kaum

lelaki. Feminisme juga bukan gerakan pemberontakan terhadap laki-laki dalam

upaya melawan pranata sosial yang ada. Namun lebih dari itu, feminisme

memiliki kajian yang sarat akan nilai-nilai keadilan. Menurut Kamla Bhasin dan

Khan ( 1999 : 9) “feminisme adalah perjuangan untuk mecapai kesederajatan /

kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola

kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga”.

Feminisme mengantarkan persamaan bagi perempuan, demi menciptakan keadilan

dalam masyarakat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.

Menilik dari apa yang ada dalam kajian feminisme, perempuan selalu

berada dalam bayang-bayang lelaki, karena erat kaitannya dengan kultur patriarki

yang terlanjur melembaga di negara ini. Dalam setiap urusan publik, perempuan

dibatasi oleh kondisi yang dibedakan atas konstruksi yang dinamakan gender.

Perbedaan gender akan melahirkan peran gender yang mengkonstruksi perempuan

secara biologis seperti kemampuan hamil, melahirkan, menyusui dengan peran

gender seperti merawat, mengasuh dan mendidik anak. Awalnya ini menjadi

bahasan yang tidak menimbulkan masalah, namun yang lantas menjadi masalah

adalah ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender tersebut. Marginalisasi

perempuan ini terjadi mulai dari kehidupan rumah tangga, masyarakat maupun

negara, yang banyak membuat berbagai kebijakan yang seolah menganggap

perempuan menjadi kaum yang tidak penting. Hal ini diperkeruh lagi, dengan

makin dibatasinya gerak atau aktivitas perempuan dalam berbagai sektor. Sektor

ekonomi, keluarga, maupun kancah sosial dan politik.

Namun perubahan yang dilandasakan pada gerakan feminisme mulai

membawa babak baru dalam kehidupan banyak perempuan. Makin terbukanya

pikiran dan pandangan mereka tentang berbagai aktivitas hidup, membuat

perempuan pun mulai banyak yang memasuki ruang publik. Ruang publik

Page 23: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

23

memungkinkan masing-masing individu untuk menunjukkan eksitensi diri dalam

kehidupan masyarakat. Para perempuan pun mulai banyak yang memasuki dunia

kerja atau karir. Hal ini erat kaitannya dengan makin tinggi pula pendidikan yang

dapat mereka miliki untuk akhirnya dapat memperoleh jenjang karir dan kerja

yang sesuai dengan potensi mereka masing-masing. Jenjang karir dan pendidikan

yang cukup tinggi, memberikan pengaruh yang cukup besar daam berbagai

aktivitas hidup mereka, salah satunya adalah ketika mereka memikirkan

perkawinan.

4. Perempuan Lajang

Perkawinan tidak lagi ditentukan atas dasar hal-hal yasng berbau kutural,

yang menyangkut usia maupun keinginan masyarakat.Hal ini tentu tidak akan

sesuai lagi, karena modernisasi makin membuka pemikiran manusia bahwa

perkawinan adalah perkara yang sangat esensial, yang tidak hanya dapat

dilakukan untuk mengikuti kewajiban. Bagi perempuan lajang di Indonesia

perkawinan telah menjadi bagian dari pola hidup yasng penting, rasional dan

bersifat personal. Inilah yang lantas menyebabkan perkawinan menjadi suatu hal

yang membutuhkan pertimbangan dari berbagai sudut. Perkawinan bukan hanya

dilakukan untuk mengikuti patokan usia wajib menikah yang terlanjur

membudaya dalam masyarakat, yaitu ketika perempuan sudah memasuki masa

haidnya yang pertama.

Bagi perempuan lajang di Indonesia dijelaskan oleh Sushartami

(2002:36) ,pertimbangan tersebut menjadi sangat mutlak, karena perempuan

lajang adalah perempuan yang notabene memiliki kekuasaan penuh atas dirinya

sendiri Jadi setiap keputusan dan berbagai pertimbangan yang menyangkut

hidupnya membutuhkan suatu pemikiran atas dasar kajian yang rasional dan

personal.

Berbicara mengenai perempuan lajang, tentu akan menjadi suatu wacana

yang berbeda ketika kita membicarakan dengan perempuan menikah. Perbedaan

itu dapat dilihat dari segi sosial, moral, ekonomis dan politis yang masih sangat

kental dan terasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Suhartami (2002 : 36-

Page 24: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

24

37) menyebutkan bahwa definisi tentang perempuan lajang menampilkan satu

fenomena bahwa perempuan lajang menjadi simbol yang kuat atas modernitas

yang aktif, yang memiliki image sebagai perempuan yang menggambarkan

berbagai identitas perempuan Indonesia modern.

Ada berbagai pandangan atau definisi yang menggambarkan tentang

perempuan lajang. Cargan dan Melko (1982 : 18) menyatakan “perempuan lajang

seringkali diidentikkan dengan perawan tua yang tidak mendapat laki-laki karena

dia tidak atraktif, dan tidak memiliki kemampuan untuk mendapat laki-laki karena

dia memiliki pendidikan tinggi, ambisius dan biasanya memiliki karir atau

pekerjaan yang mapan”. Di sini dapat terlihat pengertian bahwa perempuan lajang

mempresentasikan dirinya secara aktif, sehingga mereka dapat memiliki dan

memperoleh bidang-bidang kegiatan publik yang cukup baik atau bisa dikatakan

mapan. Mereka memiliki pertimbangan sediri dan berpikir atas dasar kepentingan

personal, sehingga apa yang mereka inginkan dapat tercapai secara maksimal.

Stein (1981), menjelaskan bahwa kategori dari perempuan lajang ini ada

2, yaitu lajang atau dasar keinginan sendiri (secara sengaja dan tidak sengaja) dan

lajang secara permanen (sementara dan tetap). Perempuan yang sengaja melajang

sementara (voluntary temporary singles) terdiri dari orang-orang yang lajang

(belum menikah atau sudah pernah menikah), mereka masih membuka diri untuk

menikah tapi hal tersebut bukan menjadi prioritas utama, melainkan yang

diutamakan adalah pendidikan, karir, politik maupun pengembangan dirinya.

Perempuan yang sengaja melajang seterusnya (voluntary stables singles) terdiri

dari perempuan lajang yang sengaja tidak ingin menikah atau melakukan

perkawinan . Sedangkan perempuan yang tidak sengaja melajang sementara

(involuntary temporary singles) adalah perempuan lajang yang belum menikah

tapi mereka menginginkan perkawinan dan berupaya untuk menemukan pasangan

yang tepat. Dan yang terakhir adalah Perempuan yang tidak sengaja melajang

seterusnya (involuntary stables singles) adalah perempuan lajang yang berusia tua

yang ingin menikah tapi belum menemukan pasangan yang tepat dan pasrah

menerima status singlenya.

Page 25: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

25

5. Makna Kerja Bagi Perempuan

Berbicara mengenai perempuan lajang, tentunya erat kaitannya dengan

kerja dan peluang karir yang senantiasa melingkupi aktivitas mereka. Perempuan

lajang umumnya memang memiliki prioritas utama dalam pendidikan dan dunia

kerja. Kedua hal tersebut menjadi sangat penting bagi mereka untuk membentuk

eksistensi diri dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi penting karena

perempuan lajang memiliki pola pikir yang lebih modern.

Kerja memiliki berbagai makna dan pengertian, yang dibedakan atas

berbagai konsep. Bekerja menurut Burman dan Wallman (1979 : 2, dalam Moore,

1998 : 83 ) bukan hanya berkaitan dengan persoalan apa yang dilakukan orang,

karena setiap definisi harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu

dilakukan, dan nilai atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu Menurut

Karl Marx, bekerja merupakan aktivitas yang sangat hakiki bagi manusia. Bekerja

adalah aktivitas yang menjadi sarana bagi manusia untuk menciptakan eksistensi

dirinya. Timboel Siregar ( 2003 : 78-79 ) menjelaskan bahwa bekerja pada

dasarnya adalah wadah aktivitas yang memungkinkan manusia mengekspresikan

segala gagasannya, kebebasan manusia berkreasi, sarana, menciptakan produk,

dan pembentuk jaringan sosial. Manusia eksis bukan hanya untuk dirinya sendiri,

melainkan untuk orang lain.

Selain itu Nash ( 1984 : 45 ) menjelaskan, “ bekerja diartikan sebagai

aktivitas tertentu yang berhubungan dengan cara memproduksi atau

mengkonsumsi barang dan jasa. Jadi bekerja berhubungan dengan usaha manusia

untuk memenuhi kebutuhan sosial dalam hubungannya dengan penghargaan diri

dan bagaimna orang memandang terhadap dirinya”. Usaha untuk memenuhi

kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri juga merupakan rangkaian dari

usaha pemenuhan kebutuhan fisik, yag lebih banyak dikaitkan dengan kebutuhan

ekonomi.

Page 26: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

26

Bekerja dimaknai berdasarkan masing-masing pihak, dalam konteks

kajian yang berbeda-beda pula. Bagi perempuan lajang , yang merupakan fokus

penelitian kali ini bekerja memiliki makna, pengertian dan konsep tertentu.

Konsep bekerja menjadi bagian penting yang membentuk fungsi dan peran

mereka dalam masyarakat. Berbagai aktvitas kerja bagi perempuan lajang Di

Indonesia , setidaknya telah membawa pengaruh besar dalam memaknai dan

memperbincangkan berbagai aktivitas hidup, termasuk halnya dengan perkawinan.

Berbicara mengenai wilayah kerja bagi perempuan, Engels (1992 :149)

menjelaskan awalnya perempuan memiki wilayah / ruang kerja yang penting

dalam aktivitas kehidupan. Awalnya laki-laki dan perempuan memiliki posisi

kerja yang sejajar, bahkan bisa dikatakan perempuan lebih banyak memiliki andil

yang besar dalam kerja rumah tangga. Laki-laki bertugas untuk berburu, meramu,

dan mengumpulkan makanan. Sedangkan peremuan berkutat dalam aktivitas

domestiknya mulai dari mengurus kebutuhan rumah tangga sampai pada

mengelola hasil buruan laki-laki. Nilai kerja bagi keduanya memiliki posisi yang

seimbang, walaupun dalam wilayah yang terpisah. Bagi perempuan, walaupun

aktivitas kerjanya tidak menghasilkan keuntungan secara material, namun nilai

kerjanya terap diakui oleh kaum pria atau masyarakat luas

Namun hal ini mengalami perubahan, ketika mulai terjadi kepemilikan

pribadi (privat property) dan berkembangnya keluarga monogamy, yang

kemudian mengubah kedudukan kaum wanta dalam masyarakat, dan hal inilah

sebagi tanda awal kekalahan perempuan atas laki-laki. Keadaan ini terus berlanjut

hingga sekarang. Ketika perempuan bekerja dalam aktivitas domestik, mereka

dianggap tidak bekerja karena mereka tidak memiliki nilai kerja berupa

penghasilan secara material. Secara konvesional, Moore (1998:83) menjelaskan

bahwa makna kerja berhubungan dengan kerja upahan di luar rumah sedangkan

kerja yag berhubungan dengan aktivitas domestik tidak diakui. Pekerjaan seperti

mencuci, memasak, mengasuh anak, melayai suami, tidak dianggap sebagai satu

kerja produktif walaupun secara nyata mereka telah melakukan berbagai aktivitas

yang menguras dan mengeluarkan banyak tenaga.

Page 27: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

27

Saat ini, dengan makin terbukanya ruang publik bagi perempuan, mereka

pun mulai mendapatkan kesempatan untuk memasuki berbagai wilayah kerja.

Awalnya, perempuan masuk dalam wilayah kerja, secara umum terdorong untuk

mencari nafkah karena tuntutan ekonomi keluarga. Saat penghasilan suami belum

dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang terus meningkat, dan tidak seimbang

dengan pendapatan riil yang tidak ikut meningkat. Hal ini lebih banyak terjadi

pada lapisan masyarakat bawah. Namun yang terjadi pada perempuan kini,

bekerja bukan semata-mata diorientasikan untuk mencari tambahan dana secara

ekonomis, namun lebih dari itu bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri, mencari

afiliasi diri dan wadah untuk sosialisasi.

Bekerja memberikan pengaruh dan berbagai babak baru dalam

kehidupan perempuan. Perempuan telah mulai memasuki ruang publik yang lebih

luas yang pada awalnya hanya dikuasi oleh kaum laki-laki. Bekerja bagi

perempuan menjadi bagian yang penting dalam menciptakan berbagai keputusan

hidupnya. Hal ini sessuai dengan yang dijelaskan Molo (1993 : 91) bahwa

“bekerja memiliki status sebagai junior partner. Dalam tingkatan ini, hak-hak

instrumental perempuan meningkat, yang selanjutnya meningkatkan otoritas

perempuan dalam pengambilan keputusan.”

Seperti yang dijelaskan oleh Molo dengan masuknya perempuan dalam

kerja produktif (aktivitas dalam ruang publik), mereka memiliki kesempatan

untuk mengembangkan potensi atau kemampuan diri, pada tingkatan tertentu. Hal

ini turut andil dalam meningkatakn pola piker, pola tindak maupun pola tingkah

laku yang berpengaruh dalam akivitas hidup, yang berhubungan dengan

aktualisasi diri maupun berhubungan dengan hal-hal yang bersifat pribadi,/

personal, salah satunya adalah perkawinan.

Perempuan lajang dengan pendidikan dan tingkatan kerja yang tinggi

tentu akan memaknai perkawinan secara lebih luas, sebagai bagian dari pola pikir

yang rasional. Umumnya mereka memiliki berbagai kriteria dan pandangan

tertentu sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Terkadang hal inilah yang

kemudian menyulut anggapan bahwa perempuan lajang kita banyak yang

menunda perkawinan. Menurut Jones (2004), proporsi kenaikan angka perempuan

Page 28: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

28

yang belum menikah pada usia 30-40 tahun, disebabkan makin tingginya

kesempatan pendidikan dan makin terbukanya ruang kerja bagi perempuan,

terutama dalam sektor-sektor publik yang selama ini menjadi kuasa laki-laki.

B. Kerangka Berpikir

Perkawinan merupakan salah satu praktek budaya, yang berada dalam

siklus hidup manusia yang dikonstruksi sebagai landasan munculnya hubungan

keluarga. Perkawinan meletakkan perempuan dan laki-laki dalam suatu ikatan

yang legal, dan memunculkan hak dan kewajiban antara keduanya. Hal ini, akan

mengakibatkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam institusi

rumah tangga tersebut.

Perkawinan dalam konteks tahun 1970-an awalnya dimaknai secara

konvensional .Perkawinan dimaknai sebagai kewajiban (khususnya bagi para

perempuan), yang dilakukan untuk mengikuti perkembangan siklus hidup

manusia, sebagai bagian dari kultur yang berkembang dalam masyarakat.

Konsekuensinya adalah para perempuan harus memikirkan perkawinan segera

sesudah ia dinyatakan dewasa secara alamiah, yaitu sesudah mengalami haidnya

yang pertama. Perkawinan banyak dilakukan dengan sistem perjodohan, untuk

menemukan pasangan yang ideal menurut masyarakat. .

Namun perubahan terjadi dalam kehidupan manusia. Perubahan ini

merujuk pada penciptaan nilai baru, yang terjadi karena adanya pengetahuan dan

wacana baru dalam ruang berpikir manusia. Hal ini akan berdampak pada

perubahan perilaku, cara pandang maupun sikap manusia. Sama halnya dengan

perkawinan bagi perempuan. Perkawinan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban

secara kultural, tetapi perkawinan menjadi suatu pilihan yang bersifat personal

dan rasional, yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang akan melakukan

perkawinan.

Agaknya hal inilah yang banyak menghinggapi pemikiran perempuan

lajang di Indonesia. Perempuan lajang yang memiliki keaktifan atas dirinya

Page 29: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

29

sendiri memandang perkawinan secara rasional yang bisa terjadi karena berbagai

faktor, bukan karena tuntutan kultural. Pendidikan dan ruang kerja yang terbuka

lebar bagi banyak perempuan lajang, kian membuka pemikiran mereka.

Perkawinan menjadi perkara yang penting namun bukan menjadi prioritas utama.

Kerja dan karir untuk menunjukkan eksistesi mereka dalam ruang publik menjadi

hal yang lebih penting.

Perkawinan menjadi bagian dari pola hidup yang dapat diperbincangkan

dengan berbagai kesepakatan bersama antara kedua belah pihak yang melakukan

perkawinan, walaupun tak dapat menutup mata komunikasi dan hubungan

kekerabatan antara keluarga keduanya akan mempengaruhi pola hubungan

selanjutnnya.

Page 30: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam setiap penelitian diperlukan adanya metodologi penelitian, yang

digunakan dalam rangka pengumpulan data yang dapat mendukung dan menjadi

sasaran dari tujuan penelitian. Menurut Y Slamet ( 2002 : 25) “ metodologi

adalah filsafat dari proses penelitian, yang mencakup asumsi-asumsi dan nilai-

nilai yang merupakan jalan berfikir (rationale) bagi penelitian dan standar atau

ukuran yang dipakai untuk meninterpretasikan data dan memperoleh kesimpulan”.

Dengan demikian, metodologi adalah proses penelitian yang digunakan mulai dari

perumusan masalah, kerangka teori yang dipakai, pengumpulan data, pengujian

hipotesis sampai pada penarikan kesimpulan.

Sedangkan pengertian penelitian sebagai suatu usaha untuk mempelajari

suatu problem atau permasalahan secara sistematik dan objektif dengan maksud

menarik prinsip-prinsip umum menurut Theodorson dalam Y Slamet ( 2006 : 1).

Dalam prosesnya, berbagai penelitian sosial tersebut dilakukan sebagai kegiatan

yang berhubungan dengan pengumpulan data untuk memudahkan dalam

menjawab berbagai aspek kemasyarakatan yang menjadi bahan kajian atau

permasalahan.

Jadi, secara umum menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003 :

18) metodologi penelitian adalah “ cara melakuan sesuatu dengan menggunakan

pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Pendapat tersebut

mengandung arti bahwa metodologi penelitian merupakan cara dan upaya yang

ditempuh oleh seorang peneliti untuk mencapai tujuan penelitiannya , dengan

menggunakan metode atau paradigma ilmiah”.

Page 31: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

31

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian yang mengambil judul “Makna Perkawinan Bagi Perempuan

Bekerja ” ini, dilakukan di Kecamatan Sukoharjo. Lokasi tersebut dipilih karena

memiliki kriteria yang tepat untuk menemukan informan yang akan dijadikan

sebagai sumber penelitian, yaitu perempuan lajang yang bekerja pada berbagai

aktivitas ruang publik.

Berdasarkan data yang dihimpun dari KUA Kecamatan Sukoharjo, pada

awal tahun 2005, lebih dari 70% perempuan menikah pada usia 20-25 tahun.

Perubahan ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun 1970-an. Menurut

data yang terdapat di KUA, rata-rata usia “normal” bagi perempuan untuk

menikah maksimal berusia 25 tahun, namun akhir-akhir ini banyak perempuan-

perempuan yang berusia hampir 30 tahun yang baru melaksanakan perkawinan.

Kriteria tersebut lah yang digunakan sebagai salah satu dasar pemilihan lokasi.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapatkan ijin penelitian dari

pihak yang terkait diantaranya Program, Dekan, Rektor, Bapeda, Kesbanglinmas,

dan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dalam hal ini adalah di bawah Departemen

Agama. Penelitian diawali dengan penyusunan proposal sampai pada penulisan

laporan akhir. Waktu penelitian dilakukan mulai pada bulan November 2008

sampai dengan bulan Desember 2009.

Page 32: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

32

No

Kegiatan

Bulan Nov ‘08

Des ‘08

Jan ‘09

Feb ‘09

Mar ‘09

Apr ‘09

Mei ‘09

Jun ‘09

Jul’09 - Des ‘09

1. Penyusunan proposal

2. Desain Penelitian

3. Pengumpulan data dan analisis data

4. Penyusunan laporan

B. Bentuk Dan Strategi Penelitian

1. Bentuk Penelitian

Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian untuk

menemukan makna perkawinan bagi perempuan lajang yang bekerja, maka

bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan bentuk

penelitian study kasus terpancang tunggal. Gorman dan Clayton dalam Santana

(2007 ; 28) menjelaskan “ penelitian kualitatif adalah meaning of event dari apa

yang diamati penulis. Laporannya berisi amatan berbagai kejadian dan interaksi

yang diamati langsung penulis dari tempat kejadian. Tujuan akhir dari penelitian

kualitatif adalah untuk memahami apa yang dipelajari dari perspektif itu sendiri

dari sudut pandang kejadiannya itu sendiri”.

Jadi menurut Santana ( 2007 : 81 ) dalam penelitian kualitatif tidak

hanya sekedar untuk mendiskripsikan suatu peristiwa atau masalah, tetapi juga

partisipasi penulis dalam rangka memaknai berbagai peristiwa memiliki peranan

penting. Penulisan ilmiah secara kualitatif bertujuan hendak mendalami

pemahamnnya mengenai sebuah topik, yang telah ditemukannya. Analisis

penulisan ini bukan berdasar pemikiran yang berbentuk judgmental dan

perspektif, melainkan melalui pemaknaan temuan-temuan pemaknaan dari

Page 33: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

33

kehidupan dan segala kejadiannya. Penelitian kualitatif ini berusaha untuk

menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa

yang lebih berharga daripada sekedar pernyataan kuantitatif ataupun frekuensi

dalam bentuk angka.

Dari penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini dipilih jenis

penelitian kualitatif karena dalam penelitian kualitatif proses untuk memperoleh

makna digali lebih luas, sehingga diperoleh makna yang dalam. Sesuai dengan

sifatnya, penelitian kualitatif ini bersifat holistic, jadi memandang suatu masalah

sebagai sebuah kesatuan dari proses sosial. Dalam masalah keputusan menikah

ataupun menemukan makna perkawinan, teknik kualitatif akan lebih mudah

digunakan karena didalamnya terdapat berbagai proses interpretative secara lebih

dalam, yang berusaha untuk menjawab hakekat dari realitas yang tebentuk secara

sosial. ( Cassirer, 1985 ; Berger & Luckmann, 1991 ). Dari berbagai proses

tersebut, maka dapat diungkap informasi kualitatif dengan mendeskripsikan secara

cermat dan penuh makna berharga. Maka dari itu dengan proses kualitatif ini

diharapkan dapat ditemukan makna dan definisi perkawinan dari sudut pandang

perempuan lajang yang bekerja,. Dari hasil penelitian ini dianalisis secara

diskriptif dan diintepretasikan, sehingga akan terjaring makna sesuai dengan

pertanyaan dan tujuan penelitian.

2. Strategi Penelitian

Strategi penelitian ini adalah studi kasus terpancang. Studi kasus

menurut Schramm dalam Yin 1981 adalah suatu pendekatan untuk mempelajari,

menerangkan atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya

secara natural, tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Mulyana (2003 ; 201

)menjelaskan, “ studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai

berbagi aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas),

suatu program, atau suatu situasi sosial “. Jadi dalam studi kasus yang terpenting

adalah bagaimana menyajikan pandangan subjektif dari peneliti. Hal ini dapat

dilakukan atau dapat dicapai dengan menggunakan metode wawancara,

pengamatan, telaah dokumen atau survei.

Page 34: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

34

Dalam penelitian ini, menggunakan studi kasus tentang makna

perkawinan bagi perempuan lajang (karir), dipilih 6 informan untuk mewakili dan

mengungkapkan jawaban tentang bagaimana keputusan para perempuan lajang

(karir) tersebut dalam menentukan perkawinan, serta menjelaskan makna

perkawinan itu sendiri. Studi kasus dipilih karena dengan menggunakan studi

kasus maka peneliti dapat menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek

yang diteliti ( yaitu para perempuan lajang yang bekerja ), lewat berbagai metode

yang beraneka seperi ; wawancara, pengamatan langsung, penelaah dokumen,

ataupun survey. Dengan studi kasus ini dapat mempelajari semaksimal mungkin

seorang individu yang menjadi informan atau responden, yang dapat memberikan

pandangan yang lengkap mengenai masalah yang diteliti, yang dalam hal ini

adalah masalah perkawinan. Ini akan membawa dampak pada data yang diperoleh

lebih nyata dan dalam, sehingga dari data tersebut dapat dimaknai secara lebih

luas, dan menghasilkan gambaran permasalahan yang tampak lebih jelas.

C. Sumber Data

Dalam penelitian, data memiliki peranan penting untuk menentukan

ketepatan dan kebenaran tujuan penelitian dari informasi yang diperoleh. Menurut

Slamet (2006 ; 164) data didefinisikan , “data merupakan bahan mentah yang

masih harus diolah, dimana data tersebut dipilih dari berbagai hal yang relevan

dan dianggap penting dalam penelitian”. Data atau informasi yang diperoleh dari

penelitian digali dari berbagai sumber data. Dalam penelitian ini, menggunakan

sumber data yaitu berasal dari informan-informan yang menjadi objek penelitian,

yaitu para perempuan lajang di Sukoharjo yang bekerja di berbagai sektor publik.

Menurut Spradley (2007 : 39 ) “ informan adalah sumber informasi atau

secara harfiah informan menjadi guru bagi etnografer “. Seorang informan ,

menurut HB Sutopo (2002 : 50), memiliki peranan penting bukan hanya sekedar

memberikan tanggapan pada apa yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih

memiliki arah dan selera dalam menyajikan informasi. Maka dari itu, dalam

penelitian ini dipilihlah informan yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan

penelitian. Dalam memilih informan yang baik, Spradley (1997 : 61) menjelaskan

Page 35: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

35

ada 5 syarat minimal yang harus dipenuhi dalam memilih informan yang baik,

yaitu : 1) Enkulturasi penuh, 2) Keterlibatan langsung, 3) Suasana budaya yang

tidak dikenal, 4) Waktu yang cukup, dan 5) Non-analisis. Informan atau

narasumber yang dipilih dalam penelitian kali ini adalah

a. para perempuan lajang yang berusia minimal 25 tahun. . Ini disesuaikan

dengan angka perkawinan yang dianggap wajar bagi perempuan pada

masyarakat Jawa yaitu ketika menginjak masa haidnya yang pertama. Dan

para perempuan yang memasuki usia minimal 25 tahun disinyalir merupakan

usia yang rentan segera menikah, sehingga bagi mereka yang belum menikah

pada usia tersebut tentu memiliki berbagai alasan yang mendasar.

b. perempuan yang bekerja dalam berbagai aktivitas sektor publik, yang dibatasi

pada aktivitas kerja kantor dan sejenisnya. Artinya dipilih para perempuan

lajang yang bekerja pada berbagai sektor pelayanan publik yang ditempatkan

dalam aktivitas kerja formal. Ini dikarenakan pengaruh kerja dan hubungan

dengan teman kerja dalam aktivitas kantor, tentu akan mmberikan pengaruh

dan pandangan yang baru dan berbeda bagi para perempuan lajang tersebut

dalam memutuskan atau membincangkan perkawinan.

c. perempuan yang memiliki tingkat pendidikan minimal Strata 1. Karena

jenjang S1 merupakan jenjang paling awal dari sekolah tinggi, dimana

mahasiswa memiliki berbagai ilmu dan pandangan baru yang tingkatannya

lebih tinggi, sehingga dengan demikian akan berpegaruh pula dalam proses

hidup kedepannya.

Data yang diperoleh selain berasal dari informan, juga diperoleh dari

dokumen atau arsip. Menurut Sugiyono (2005 : 82) , “dokumen merupakan

cacatan peristiwa yang sudah berlalu”. Lebih lanjut HB Sutopo (2002 : 54)

menjelaskan bahwa “ dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang

bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu”. Dokumen ini bisa

berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.

Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah arsip serta data mengenai

angka / usia pernkawinan pada perempuan lajang di daerah Sukoharjo , dari tahun

Page 36: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

36

1970-an sampai pada tahun 2000an, yang diperoleh di Kantor Urusan Agama

(KUA).

Pengumpulan data melalui Kantor Urusan Agama ini dipilih untuk

memudahkan dalam membandingkan dan mengetahui tingkat atau angka usia

perkawinan pada perempuan di Sukoharjo dari tahun ke tahun. Di KUA telah

disediakan data yang tertulis secara jelas, angka dan waktu pelaksanaan

perkawinan pada masyarakat di Sukoharjo. Jadi dengan demikian akan diperoleh

angka atau perhitungan yang riil tentang usia perkawinan pada kebanyakan

perempuan di Sukoharjo.

D. Teknik Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data merupaka bagian yang penting dalam setiap

penelitian. Dalam penelitian kualitatif, data penelitian bukan sebagai alat dasar

pembuktian tetapi sebagai modal dasar bagi pemahaman, sehingga proses

pengumpulan data akan lebih lentur dan dinamis ( HB Sutopo, 2001 : 47). Dalam

penelitian kualitatifm dikenal beberapa teknik pengumpulan data :

1. Wawancara, yaitu cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui

kegiatan interaksi sosial antara peneliti dan yang diteliti, melalui kegiatan

tanya jawab ( Y Slamet, 2006 : 101). wawancara kepada informan. Sedangkan

Mulyana (2003 :180) menjelaskan bahwa wawancara adalah bentuk

komunikasi antra dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh

informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,

berdasarkan tujuan tertentu

2. Observasi / Pegamatan ( secara langsung ), adalah teknik pengumpulan data

yang bersifat non verbal, biasanya berupa studi lapangan di mana peneliti

berperan sebagai pengamat.

3. Dokumentasi, pengumpulan data yang dilakukan menelaah dokumen, arsip

yang berhubungan dengan peristiwa atau masalah. Umumnya berupa catatan

yang berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Mencatat dokumen menurut

Yin bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen

atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat.( Sutopo, 2002 : 69-70)

Page 37: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

37

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

dengan wawancara dan dokumentasi. Wawancara dipilih karena untuk

memperoleh informasi langsung kepada responden-respondn, melalui proses

komunikasi lewat tanya jawab. Lebih lanjut, Susan Stainback dalam Soegiyono

(2005 : 72) menjelaskan bahwa interviewing provide the researcher a means to

gain a deeper understanding of how the participant interpret a situation or

phenomenon than can be gained through observation alone. Jadi, dengan

wawancara maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang

partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana

hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.

Dalam penelitian tentang makna perkawinan bagi perempuan lajang ini,

teknik wawancara dipilih karena akan memudahkan dalam pengumpulan data

pada para informan. Guna mendukung agar data yang diperoleh memiliki makna

yang lebih dalam dan lebih luas maka dipilih wawancara secara tak terstruktur

atau dikenal pula dengan wawancara mendalam. Soegiono ( 2005 : 74)

menjelaskan bahwa , “ wawancara tidak berstuktur adalah wawancara yang telah

tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman

wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang

akan ditanyakan”. Wawancara jenis ini menurut Mulyana bersifat lebih luwes,

susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah

pada saat wawancara, yang disesaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat

wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya responden yang di hadapi.

Sehingga suasana ynag terjadi dalam proses wawancara tidak berjalan kaku dan

formal, dan memudahkan informan mengeluarkan argumen dan pendapatnya

secara lebih terbuka.

E. Teknik Cuplikan Atau Sampling

Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Teknik

sampling atau cuplikan merupakan bentuk khusus atau proses bagi pemusatan

atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi. Fokus teknik

cuplikan dalam kualitatif ini lebih bersifat selektif. Peneliti mendasarkan pada

Page 38: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

38

landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris

yang dihadapi ( HB Sutopo, 2002 : 55-54). Dalam penelitian ini, menggunakan

teknik sampling, purposive sampling. Sugiyono ( 2005 : 54 ) menjelaskan bahwa ,

“ purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan

menggunakan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini , misalnya orang

tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, atau mungkin

dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi situasi

sosial yang diteliti “.

F. Validitas Data

Untuk mengetahi tingkat keabsahan data yang berhasil dikumpulkan

maka, dalam penelitian kualitatif perlu diadakan pengukuran atau pengujian

validitas data. Dalam penelitian kualitatif, Sogiono (2006 : 119) menyatakan

bahwa untuk mengetahui valid tidaknya data atau temuan di lapangan , yang

dilihat adalah tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa

yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Yang perlu diingat bahwa

dalam penelitian kualitatif, kebenaran realitas data tidak bersifat tunggal tetapi

bersifat jamak dan tergantung pada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri

seseorang sebagai hasil proses mental tiap individu dengan berbagai latar

belakangnya. Trianggulasi dalam penelitian kualitatif dibedakan atas 4 jenis :

1. Trianggulasi Data ( trianggulasi sumber )

Trianggulasi sumber adalah untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan

dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. (

Sugiyono, 2005 : 127)

2. Trianggulasi Metode

Trianggulasi jenis ini dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan

data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data

yang berbeda (HB Sutopo, 2002 : 80 )

3. Trianggulasi Peneliti

Page 39: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

39

Trianggulasi adalah hasil penelitian baik data ataupun kesimpulan mengenai

bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa

peneliti ( HB Sutopo, 2002 : 81 )

4. Trianggulasi Teori

Trianggulasi ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih

dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. ( HB Sutopo, 2002

: 82 )

Dalam penelitian ini, validitas data diperoleh melalui model trianggulasi

sumber dan menggunakan bahan referensi guna mendukung data yang telah

terkumpul agar dapat diuji kebenarannya. Trianggulasi sumber menurut Sugiyono

(2005 : 125) dijelaskan sebagai, teknik pengumpulan data yang bersifat

menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah

ada. Bila peneliti melaukan pengumpulan data dengan trianggulasi, maka

sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus mernguji kredibilitas data.

Trianggulasi ini didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat

multiperspektif. Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak

hanya satu cara pandang.

Trianggulasi sumber dipilih karena data yang sudah diperolah yang

berasal dari sumber data yang beragam, yang sifatnya sama atau sejenis akan

lebih mantap kebenarannya. Dengan demikian apa yang diperoleh dari satu

sumber bisa dibandingkan dengan data sejenis yang dipeoleh dari sumber lain

yang berbeda. Untuk mengetahui validitas data dengan mengggunakan teknik ini,

dapat dilakukan dengan :

1. membandingkan hasil wawancara antara satu informan dengan informan

lain tentang makna perkawinan dalam pandangan mereka.

2. membandingkan hasil wawancara dengan data yang diperoleh di KUA

tentang angka perkawinan pada masyarakat sukoharjo

Selain trianggulasi validitas data juga dapat diperoleh atau diketahui dari

menggunakan bahan referensi. Sugiyono (2005 : 128) menjelaskan bahwa “ bahan

referensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah

ditemukan oleh peneliti”. Contohnya hasil wawancara perlu didukung dengan

Page 40: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

40

rekaman wawancara. Oleh karena itu dalam penelitian kali ini, disertakan pula

rekaman hasil wawancara untuk mendukung validitas data dan sebagai dokumen

yang sifatnya autentik.

G. Analisis Data

Sugiyono (2005 : 89) menjelaskan bahwa, “ analisis data adalah proses

mencari data dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan

data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,

dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun

orang lain”.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat

pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam

periode tertentu. Miles dan Huberman dalam Sugiyono ( 2005 : 91)

mengemukakan bahwa, “ aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara

interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas”. Aktivitas dalam

analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing /

verification. Langkah langkah analisisnya dapat ditunjukkan sebagai berikut, yaitu

analisis data model interaktif.

Data collection

Data reduction

Conclusion: drawing / verifying

Data display

Page 41: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

41

Gambar 2. Analisis Data Kualitatif Menurut Milles Dan Huberman

a. Reduksi data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih

jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. Dalam mereduksi data, setiap

peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Reduksi data ini

merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan

dan kedalaman wawasaaan yang tinggi., sehingga peneliti dapat mereduksi

data-data yan memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yan signifikan.

(Sugiyono, 2005 : 92-93)

b. Data Display (penyajian data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data.

Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian

singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal

ini Miles dan Huberman menyatakan, “the most frequent form of display data

for qualitative research data in the past has been narrative text”. Artinya

yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian

kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. ”(Sugiyono, 2005 : 95)

c. Conclusion Drawing / verification

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles Dan Hubermaan

adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan

bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan berikutnya.

Page 42: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

42

d. Penarikan Kesimpulan / Verifikasinya

Dari proses penarikan kesimpulan, maka peneliti akan mengerti pola atau

hubungan sebab akibat dari permasalahan yang diteliti. Kesimpulan akhir

tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir.

Kesimpulan tersebut harus diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar

dapat dipertanggung jawabkan secara sosial maupun keabsahannya.

H. Prosedur Penelitian

Adapun langkah-langkah penelitian menurut HB Sutopo (2002 : 187-

190), yang terdiri dari berbagai alur kegiatan mulai dari tahap persiapan,

pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan penelitian, dapat

dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

1. Persiapan

a. Menyusun proposal yang dimulai dengan proses pengajuan judul kepada

dosen pembimbing.

b. Mengurus berbagi perijinan yang diperlukan, baik itu perijinan yang

berasal dari FKIP maupun perijinan yang berhubungan dengan instansi

masyarakat (KUA)

c. Menentukan lokasi dan menentukan informan yang dijadikan sumber

informasi

d. Menyiapkan instrumen penelitian

2. Pengumpulan Data

a. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam

dan membuat catatan dari dokumen atau arsip.

b. Membuat field note atau cacatatan lapangan dan menyajikannya dalam

transkrip hasil wawancara.

3. Analisis Data

a. Menentukan analisis data yang meliputi tahap reduksi data, penyajian data,

verifikasi dan penarikan kesimpulan.

b. Mengembangkan hasil intepretasi data dengan analisis lanjut kemudian

disesuaikan dengan hasil temuan dilapangan.

Page 43: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

43

4. Penyusunan Laporan Penelitian

a. Penyusunan laporan awal

b. Review laporan

c. Perbaikan laporan dan disusun sebagai laporan akhir

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Diskripsi Lokasi Penelitian

Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Propinsi

Jawa Tengah. Kabupaten ini berada pada jarak 10 Km dari Kota Surakarta.

Kabupaten ini memiliki luas area sekitar 444,666 km persegi, dengan batas

wilayah yang diapit oleh 6 ( enam ) kabupaten. Yaitu sebelah utara berbatasan

dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar, sebelah timur berbatasan

dengan Kabupaten Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten

Gunung kidul ( Provinsi DIY ) dan Kabupaten Wonogiri, serta sebelah barat

berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.

Sukoharjo merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk cukup

tinggi. Terhitung pada tahun 2007 terdapat 831.613 jiwa dengan pembagian

jumlah penduduk laki-laki sebanyak 411.340 ( 49,46%) dan penduduk perempuan

sebesar 420.273 ( 50,54 %). Sehingga tidak heran, dengan kepadatan penduduk

demikian, Sukoharjo menjadi salah satu daerah sub urban di Surakarta dengan

potensi pengembangan wilayah yang cukup potensial. Bahkan beberapa daerah di

Sukoharjo pun telah menjadi bagian dari pusat pengembangan pemerintah Kodya

Surakarta yang mendatangkan income baik dari segi material maupun sumber

daya manusia dan sumber daya alam.

Sebagai daerah sub urban yang notabene merupakan daerah pinggiran

Surakarta, beberapa daerah di Kabupaten Sukoharjo menjadi pusat pengembangan

Page 44: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

44

pemerintah Kodya Surakarta karena daerah ini menjadi batas peralihan antara pola

hidup modern dan tradisional. Hal ini terkait dengan tingginya sektor

perkembangan ekonomi dan industri. Data di Disperindagkop ( tahun 2007)

menjelaskan bahwa jumlah pabrik di Sukoharjo saat ini sebanyak 15.690 unit.

Sektor Industri yang paling berkembang adalah industri tekstil dan sentra-sentra

kerajinan yang ada di Sukoharjo, seperti mebel, rotan, kaca dan lainnya.

Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa Sukoharjo memiliki potensi dan

pengembangan kerja yang cukup baik. Saat ini Kabupaten Sukoharjo memiliki

potensi yang sangat besar di bidang industri dan perdagangan yaitu mencapai 31

persen, angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan potensi pertanian

yang hanya mencapai angka di bawah 13 persen.. Menurut data yang dihimpun

dari DP4 ( tahun 2008 ), jumlah tenaga kerja di bidang industri di Sukoharjo

tercatat 326.893 orang laki-laki dan 339.592 orang perempuan. Namun untuk

posisi-posisi pegawai negeri masih tetap didominasi oleh kaum laki-laki. Dari

9701 jumlah pegawai di Sukoharjo, terdapat 5334 Laki-laki dan 4367 tenaga

perempuan.

Dapat terlihat bahwa jumlah tenaga kerja perempuan di bidang industri

dan pabrik jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan

upah dari tenaga kerja perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Selain itu

banyak sekali para ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam UMK ( Usaha

Menengah Kecil ) mendirikan berbagai jenis atau bidang industri rumah tangga

yang dapat menunjang perekonomian.

Tenaga kerja terampil yang menduduki berbagai posisi kerja merupakan

potensi sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan dalam berbagai hal

pembangunan, sehingga untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil ini tidak

lupa terkait pula dengan pendidikan. Di Kabupaten Sukoharjo sendiri, menurut

data yang terdapat di Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo tahun 2007

lulusan terbanyak di duduki lulusan SLTA dengan jumlah pekerja terbaanyak di

bidang industri.

Guna meningkatkan potensi dan kualitas dalam bidang pendidikan,

pemerintah Kabupaten Sukoharjo, menyelenggarakan sekolah gratis bagi pelajar

Page 45: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

45

sampai tingkat SLTA terhitung mulai tahun 2006. Dari pemberian sekolah gratis

ini, pemerintah mengharapkan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk

dapat memiliki peluang kerja yang lebih tinggi. Bagi perempuan tentu saja ini

membawa iklim yang lebih positif. Karena dengan demikian kesempatan para

perempuan di Sukoharjo untuk mendapatkan pendidikan dan kerja yang baik bisa

terpenuhi. Dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo tahun 2007,

beberapa posisi bidang kerja didominasi oleh perempuan misalnya saja pada

bidang industri ataupun jasa.

Ini menunjukkan bahwa geliat posisi perempuan dalam berbagai ruang

publik yang vital di Sukoharjo makin terlihat. Hal ini juga didukung dengan data

yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat kelulusan di bidang

pendidikan ( strata 1 ) yang lebih tinggi dari laki-laki. Terdapat 145 lulusan laki-

laki dan 350 lulusan perempuan.

Sukoharjo memiliki potensi yang cukup besar di bidang industri. Hal ini

membuat minat kerja bagi masyarakatnya cukup tinggi, tak terkecuali bagi

perempuan. Menurut data yang dilansir dari beberapa artikel yang berkenaan

dengan wilayah Sukoharjo, posisi perempuan dalam sektor ekonomi sebenarnya

sudah cukup berkembang dengan baik. Namun yang menjadi pangkal persoalan

sekarang pemerintah masih kurang melibatkan perempuan dalam berbagai

aktivitas dan keputusan pemerintahan. Hal ini mengakibatkan kurangnya

keterlibatan perempuan dalam posisi pendidikan maupun hal-hal yang berkenaan

dengan masalah-masalah krusial.

Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah minat mereka tentang kerja dan

kepentingan ekonomi sangat tinggi. Berbagai jaringan kerja perempuan banyak

terbentuk di daerah Sukoharjo. Mulai dari pembentukan koperasi maupun

UMKM, yang kesemuanya memiliki andil besar bagi pendapatan di Sukoharjo.

Hal ini membawa dampak semakin tingginya kesadaran untuk meningkatkan

kemandirian bagi kaum perempuan. Tidak hanya meliputi sektor ekonomi saja,

hal ini akan berkelanjutan dan membawa dampak pada berbagai keputusan dan

bersifat aktivitas sosial masyarakat.

Page 46: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

46

Berpengaruh pula pada keputusan untuk melakukan perkawinan. Dari

catatan KUA Kecamatan Sukoharjo pada tahun 1970-an, rata-rata usia

perkawinan pada perempuan berkisar antara usia 16- 21 tahun dan untuk laki-laki

berkisar antara usia 19-22 tahun.Misalnya saja pada tahun 1973, dari bulan Juli

sampai bulan Agustus terhitung 23 kali jumlah perkawinan dengan usia

perempuan 16 – 22 tahun dan laki-laki 19-23 atau 24 tahun. Tentu saja ini tak

lepas dari status pendidikan atau pekerjaan yang mereka miliki. Umumnya untuk

perempuan akan melakukan perkawinan begitu memasuki usia dewasa secara

biologis ( setelah haidnya yang pertama ). Namun perubahan cara pikir yang

dipengaruhi oleh kompleksitas kehidupan sosial dalam ruang kerja atau

pendidikan memberikan perubahan yang cukup signifikan. Mulai awal tahun 2000

banyak perempuan yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun bahkan ada yang

mendekati 30 tahun. Pada tahun 2005 saja misalnya pada bulan Januari 20 kali

jumlah perkawinan rata-rata usia perempuan adalah 26 dan 27 tahun ( kebanyakan

perempuan kelahiran 1977, 1978 dan 1979 ). Namun demikian memang masih

dijumpai perempuan berusia 24 atau 23 tahun yang sudah menikah. Perkara

perkawinan lantas menjadi bagian dari kompleksitas hidup manusia yag tidak

hanya dilakukan karena mengikuti siklus semata tetapi dilakukan dengan berbagai

negosiasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor sosial, mental

maupun material.

B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori

Persoalan perkawinan menjadi bagian dari praktek budaya yang memiliki

beragam fungsi dan makna. Perkawinan menjadi suatu permasalahan yang

kompleks dan membutuhkan berbagai analisa yang tepat untuk menemukan setiap

makna dan sistem permasalahnnya, dari alasan dalam melakukan perkawinan

sampai pada proses hidup baru yang terbentuk dari perkawinan Hal ini menjadi

bahan perbincangan yang membutuhkan pemikiran dan pembahasan yang cukup

detail. Dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan tentu bukanlah

keputusan yang mudah bagi seorang individu. Ada banyak tujuan dan berbagai

Page 47: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

47

pertimbangan yang harus dipikirkan, sehingga akhirnya dapat sampai pada

keputusan untuk melakukan perkawinan. Berbagai macam pertimbangan

diberikan oleh seseorang sampai akhirnya dia memutuskan untuk melangsungkan

perkawinannya atau menundanya.

Dari hasil pembahasan yang terdapat dalam bab ini menjelaskan hasil

wawancara dan pengamatan dari informan untuk menggali tentang persoalan

bagaimana mereka memaknai perkawinan. Apakah yang menjadi pertimbangan

dan alasan mereka (informan — perempuan lajang yang bekerja) menunda usia

perkawinan. Ada 6 informan yang bersedia diwawancarai untuk membagi kisah

dan cerita menyangkut persoalan tersebut, yaitu WT ( 26 tahun) , SR ( 26 tahun),

FTR ( 27 tahun ), KK ( 39 tahun ), TY ( 26 tahun ) dan TR ( 25 Tahun ) .Dari

jawaban para informan ini dapat memberikan gambaran tentang persoalan yang

diajukan dalam penelitian ini.

1. Makna Perkawinan

a. Makna Perkawinan Bagi Informan

Perkawinan sebagai bagian dari kompleksitas budaya kehidupan

masyarakat yang kemudian menjadi salah satu bagian dari siklus kehidupan

manusia. Siklus hidup manusia menurut diartikan sebagai serangkaian tahapan

yang harus dilalui manusia yakni berupa tingkatan-tingkatan dari hal-hal

sederhana sampai pada proses hidup yang lebih kompleks (Koentjaraningrat,1992

: 192). Siklus hidup manusia akan mengalami puncaknya pada waktu manusia

membentuk sebuah keluarga. Hal ini berarti manusia mengalami puncak aktivitas

hidup waktu membentuk keluarga. Oleh karena itu keluarga menjadi bagian yang

penting dan paling primer dalam hidup bermasyarakat.

Keluarga terbentuk dari proses hidup yang diawali dengan adanya

perkawinan ( Geertz, 1982:58). Perkawinan menjadi cikal bakal penyatuan dua

orang dalam satu kesatuan yang disebut sebagai keluarga. Dalam kultur

masyarakat Jawa (khususnya), perkawinan menjadi sebuah tanda terbentuknya

kedewasaan anak untuk membentuk sebuah somah baru di mana anak segera akan

memisahkan diri dengan orang tua, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal,

untuk membentuk sebuah keluarga dalam rumah tangga baru. Pengertian

Page 48: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

48

perkawinan lebih ditekankan pada terbentuknya kelompok kecil baru dengan

beban ekonomi dan tempat tinggal yang lepas dari orang tuanya ( Geertz,

1983:58).

Ada beberapa definisi tentang perkawinan yang diutarakan oleh para

informan. Definisi masing-masing informan tentu saja berbeda sesuai dengan

bagaimana cara mereka memandang perkawinan itu sendiri. Berdasarkan hasil

wawancara maka ditemukan opini tentang perkawinan dari WT dan KK masing-

masing berusia 26 tahun dan 39 tahun, yang memberikan pengertian bahwa

perkawinan sebagai penyatuan antara dua orang individu yang akan membentuk

suatu relasi sosial baru, yang merupakan suatu kesatuan personal yang disepakati

bersama antara laki-laki dan perempuan secara sah. .Lebih lanjut WT menuturkan

sebagai berikut “Perkawinan adalah suatu proses hidup bersama yang dilakukan

secara legal antara laki-laki dan perempuan. ”( W/WT /19/04/09 )

Jawaban hampir serupa juga dikemukakan oleh KK ( 39 tahun ), sebagai berikut

“ Perkawinan itu ya hubungan dua manusia antara laki-laki dan perempuan yang

telah diikat oleh ikatan hukum perkawinan.” (W/KK/20/06/09)

Dari komentar WT maupun KK, terlihat bahwa perkawinan adalah

hubungan antara laki-laki dan perempuan secara sah baik lahir maupun batin yang

membutuhkan legalisasi/ legitimasi hukum tertentu, baik secara hukum negara

maupun hukum agama. Hal ini sejalan yang dikatakan Suryani dan Bagus ( 2007 :

5) bahwa perkawinan sebagai hubungan ikatan lahir. Artinya bahwa perkawinan

sebagai hubungan formal yang dibentuk oleh undang-undang atau legitimasi

tertentu bagi keduanya dalam hubungan masyarakat.

Legalisasi yang dimaksud adalah adanya keabsahan perkawinan dengan

diperolehnya surat nikah yang tercatat di KUA tentang perkawinan kedua orang

laki-laki dan perempuan, dan tersimpan sebagai arsip negara. Menurut WT dan

KK, pelegalan semacam ini perlu dilakukan karena keabsahan dari suatu lembaga

negara terhadap perkawinan tentu akan dapat digunakan untuk memperkuat status

hubungan berdasarkan hukum serta hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan

perkawinan (persoalan anak maupun harta) sehingga untuk kemudian hari tidak

Page 49: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

49

menjadi masalah apabila terjadi sesuatu. Selain itu keabsahan tersebut juga

menunjukkan eksistensi mereka dalam masyarakat sebagai pasangan yang sah.

Legitimasi perkawinan sangat penting (dalam konteks perempuan) karena

di dalamnya terdapat pola / ikatan-ikatan tertentu yang mengatur hubungan

perkawinan tersebut. Dalam hubungannya dengan kepemilikan anak misalnya,

legalitas perkawinan penting, seperti diungkapkan oleh Gough ( 1959)

“ Perkawinan menjadi tempat dimana ditetapkannya legitimasi anak sebagai

anggota yang bisa diterima oleh masyarakat “. Artinya dalam hubungan

perkawinan tersebut, perkawinan sebagai struktur yang memproduksi ,

memelihara dan mengembangkan anak, untuk dapat menjadi anggota dari

masyarakat, dan dapat diterima serta diakui sebagai anggota baru. Anak yang lahir

dalam hubungan perkawinan yang sah akan mendapatkan jaminan hukum yang

pasti, misalnya terakui dalam bentuk akte kelahiran.

Namun sebaliknya, kedudukan atau posisi anak yang lahir di luar

hubungan perkawinan akan sangat lemah. Artinya bahwa salah satu

konsekuensinya adalah menjadi bahan pembicaraan masyarakat dan sulit untuk

menentukan anak dari bapak siapa ( dalam masyarakat Jawa disebut anak Jaddah).

Dalam berbagai kasus misalnya laki-laki tidak bisa dirtuntut pertanggung

jawabannya jika tidak ada ikatan perkawinan. Artinya seorang perempuan yang

hamil di luar pernikahan harus menanggung sendiri segala biaya yang

dikeluarkan, tidak ada penuntutan terhadap si laki-laki ( Arivia, 2002 : 88). Ketika

anak lahir diluar nikah, maka dalam akta kelahiran akan dicatat sebagai “anak luar

nikah” atau anak tidak sah dan konsekuensinya anak hanya akan memiliki

hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai

hubungan hukum dengan ayah. Selain itu anak yang lahir di luar perkawinan yang

sah secara hukum mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya

kehidupan dan pendidikan dari ayahnya ( Musdah Mulia, 2006 : 76)

Bagi perempuan perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum

negara, akan membuat mereka lebih merasa “aman” dalam menuntut dan

melaksanakan hak dan kewajiban yang ada dalam perkawinan. Sebut saja,

misalnya yang telah dijelaskan dalam UU Perkawinan pasal 30, 31 dan 32

Page 50: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

50

menjelaskan hak-hak yang diterima istri (perempuan) walaupun memang tidak

tertuliskan secara gamblang. Diantaranya adalah perkawinan berkaitan dengan

posisi dan kedudukan istri yang sejajar dengan suami yang berimplikasi bahwa

istri (perempuan) dalam rumah tangga memiliki posisi dan peran yang sama

pentingnya, sehingga tidak ada salah satu yang mendominasi.

Jika secara hukum tidak ada legitimasi hukum yang sah maka istri akan

berada dalam posisi yang dirugikan baik secara hukum maupun secara hubungan

sosial ( Musdah Mulia, 2006 : 76) . Dalam hubunganya dengan hukum, istri tidak

dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki bukti hukum yang autentik.

Akibatnya istri tidak berhak atas harta gono gini1 jika mungkin terjadi perceraian

atau kematian. Sedangkan dalam dampak sosial, perempuan akan merasa sulit

untuk melakukan sosialisasi di masyarakat, karena mungkin akan muncul

anggapan sebagai istri simpanan atau hanya kumpul kebo2.

Jawaban berbeda justru ditemukan dari informan yang lainnya, yang

memandang bahwa perkawinan sebagai bagian dari proses penyatuan antara dua

orang individu yang berbeda. Dalam hal ini perkawinan didefinisikan sebagai

sebuah penyatuan yang dimasuki oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan

harapan dapat membagi kehidupan secara bersama ( Henry, 1999:197). Jadi

perkawinan sebagai sarana atau tempat untuk menyatukan dua orang individu

menjadi satu kesatuan hidup bersama dan membagi segala aktivitas hubungan

perkawinan secara bersama. SR mengungkapkan definisi perkawinan sebagai

berikut, “Marriage is combaining two person with another characteristic into

one” (Perkawinan adalah mengkombinasikan dua orang yang berbeda

karakteristik untuk menjadi satu)( W/SR/26/04/09). Sama halnya dengan SR, TR

memberikan definisi tentang perkawinan sebagai bagian dari proses penyatuan

dua individu pula. Lebih lanjut dia menyatakan, “ Perkawinan adalah ikatan yang

menyatukan dua hati dan pikiran laki-laki dan perempuan supaya bisa membentuk

keluarga sakinah. ”(W/TR/19/06/09)

1 Gono-gini Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama ( pasal 35 UU Perkawinan ) 2 Kumpul Kebo : tinggal serumah tanpa menikah ( Musdah Mulia, 2006 : 76)

Page 51: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

51

Dari opini yang dikemukakan SR dan TR terlihat bahwa perkawinan

sebagai proses yang dilakukan 2 orang bersama (laki-laki dan perempuan) dengan

dua sifat, dua karakter dan dengan aktivitas hidup yang berbeda (kerja) untuk

dapat menyatu dan hidup selaras dalam satu rumah tangga.

Dalam hubungan perkawinan tersebut ada proses bersama yang

dilakukan oleh kedua belah pihak. Aktivitas atau proses bersama ini mengandung

pengertian bahwa dua orang tersebut berada dalam satu ikatan rumah tangga yang

membagi aktivitas sehari-hari secara bersama, mulai dari bangun pagi sampai

malam hari khususnya mengerjakan pekerjaan rumah dan sama-sama bekerja,

mengurus anak dan kebutuhan rumah tangga. Lebih lanjut konsep tentang proses

hidup bersama ini diartikan hidup bersama secara hukum yang memungkinkan

tinggal dalam satu atap bersama, membagi struktur pekerjaan rumah tangga

ataupun pekerjaan di luar rumah secara bersama, serta proses bersama dalam

mewujudkan keturunan ( anak-anak yang dihasilkan dari hubungan perkawinan ).

Perkawinan dilakukan untuk membentuk kehidupan keluarga yang

harmonis, dinamis, selaras, saling menghormati dan menghargai antara yang satu

dengan yang lain. Menurut SR tidak ada keinginan untuk saling mengubah sifat

mapun karakterisik dasar masing-masing, tapi justru berupaya untuk

menyeimbangkan dan menyelaraskan hubungan dalam rangka menumbuhkan atau

menciptakan kesatuan dalam hidup berumah tangga.

Hal ini mengadung arti bahwa adanya hubungan perkawinan

mengharapkan adanya kebersamaan untuk menghindari konflik sekecil apapun

sehingga tidak akan terjadi silih pendapat yang akan mengganggu kehidupan

perkawinan dan akan lebih mudah mewujudkan tujuan sebagai keluarga yang

sakinah. Misalnya dengan cara saling mengerti perbedaan sifat atau karakter,

mengerti akan pekerjaan dan profesi masing-masing. Pola hubungan yang seperti

ini oleh Geertz dalam tatanan masyarakat Jawa sering disebut sebagai konsep

harmoni sosial. Harmoni sosial ini sebagai salah satu nilai kejawen yang penting

dalam hubungan keluarga. Geertz (1983 : 154 ) menjelaskan sebagai berikut

“..determinasi untuk memelihara pernyataan sosial yang harmonis dengan memperkecil sebanyak-banyaknya pernyatan konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk apapun..........didasarkan pada

Page 52: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

52

pandangan kejawen tentang keseimbangan emosional-statis emosional- sebagi nilai tertinggi“

Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh SR maupun TR menyiratkan

suatu keadaan dimana dalam hubungan keluarga dibutuhkan adanya upaya atau

hal-hal dalam rangka menciptakan keselarasan atau kedamaian pasangaan (suami

istri) serta berupaya memperkecil terjadinya konflik atau pertengkaran. Masing-

masing pihak (laki-laki dan perempuan) berupaya untuk menjalin komunikasi atau

hubungan yang terbuka, sehingga setiap aktivitas rumah tangga (aktivitas sehari-

hari, aktivitas hubungan personal, aktivitas hubungan sosial, aktivitas hubungan

kerja) akan dapat berjalan secara selaras, seimbang, serasi, harmonis dan dinamis

sehingga penuh kerukunan.

Pola hubungan perkawinan yang menuntut adanya kehidupan yang

harmonis dan penuh kerukunan juga disampaikan oleh responden yang ketiga,

FTR sebagai berikut ,“ Suatu hal atau peristiwa yang harus dipikirkan matang-

matang agar dalam perkawinan tersebut tidak seumur jagung dan tetap bertahan

untuk selamanya menjadi keluarga yang harmonis, sakinah , mawadah dan

warohmah. ”( W/FTR/17/05/09)

Istilah tentang kerukunan dan keharmonisan di sini menurut SR, TR

maupun FTR menjadi nilai yang penting dalam membina hubungan perkawinan

antara laki-laki dan perempuan. Kerukunan ini tidak hanya berhubungan dengan

kegiatan yang saling membantu dan bekerja sama, tapi juga berupaya untuk

mencoba menghindari perbedaan pendapat. Karena disadari atau tidak, diinginkan

atau tidak dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan itu tentu tidak selalu

terjadi secara sejalan. Seperi halnya yang diungkapkan oleh Anderson ( 2005 :

164 ) bahwa “....they can also of trouble, conflict and sorrow “(...mereka-

perkawinan juga akan terdapat masalah, konflik maupun derita) .Maka kerukunan

dalam konsep harmoni sosial ini juga mengupayakan untuk memperkecil dan

menghindari konflik dalam hubungan perkawinan. Selanjutnya dalam

hubungannya dengan kerukunan / rukun, Geertz ( 1983 : 156 ) menjelaskan bahwa

“ Istilah rukun......menyatakan adanya kesepakatan, adanya kebulatan suara dalam kelompok dalam hal cara dan tujuan, setidak tidaknya pada tindak tanduk lahiriah. Jika tidak terdapat pernyataan pendapat dan

Page 53: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

53

perasaan berselisih yang terbuka, kelompok yang bersangkutan disebut rukun. ....rukun sebenarnya penampilan sebagaimana mestinya, tiadanya pertentangan antar pribadi secara terbuka “

Dengan adanya nilai-nilai kerukunan dalam mewujudkan harmoni sosial inilah

maka perkawinan lantas akan dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa sudah

terjadi kesepakatan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai harmonis, serasi,

seimbang Selain itu dengan adanya kerukunan dan upaya untuk menghindari

konflik sekecil mungkin, maka diharapkan akan dapat membentuk hubungan

keluarga sesuai dengan tujuan atau fungsi perkawinan dalam konsep mereka.

Perkawinan berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa makna perkawinan adalah sebagai suatu hubungan antara laki-laki dan

perempuan sebagai suami istri yang sah. Konsep-konsep tentang keabsahan ini

menjadi penting ( khususnya bagi perempuan ) karena di dalamnya terdapat

berbagai bentuk kepastian dan perlindungan hukum yang dapat memberikan

jaminan secara kuat. Ini akan membawa implikasi juga pada diterimanya

hubungan 2 orang manusia ( laki-laki dan perempuan ) untuk dapat menjalankan

segala aktivitas hidup dalam satu atap bersama, tanpa terjadi berbagai konflik

yang sifatnya bertentangan dengan nilai moral kemasyarakatan.

Selanjutnya konsep perkawinan juga sebagai bentuk penyatuan secara

personal, emosional antara laki-laki dan perempuan dalam upaya mewujudkan

tujuan perkawinan serta dapat hidup bersama dengan damai, bahagia, sejahtera

dan harmonis dalam suatu lembaga keluarga yang dibina atas dasar persamaan

tanggung jawab dan kasih sayang. Hal ini memberikan arti bahwa dalam

perkawinan juga harus terdapat negosiasi yang kuat dalam merencanakan atau

menyadari berbagai kesepakatan bersama yang dibentuk untuk membina nilai-

nilai harmonis dalam keluarga, baik itu secara finansial maupun emosional. Nilai

harmoni secara finansial lebih ditekankan pada terpenuhinya kebutuhan ekonomi

keluarga baik itu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Sedangkan harmonis

secara emosional, lebih pada ikatan batin dalam menunjukkan atau membina

perasaan cinta kasih dalam rangka memperkecil terjadinya konflik atau

pertengkaran.

Page 54: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

54

Perkawinan seperti yang diungkapkan oleh FTR tersebut juga berupaya

mewujudkan pola atau hubungan yang sakinah, mawadah dan warohmah. Hal ini

erat kaitannya dengan konsep perkawinan yang dipandang dari sudut suatu agama,

dalam hal ini islam. Dalam islam perkawinan adalah institusi yang paling penting

bagi komunitas manusia. Haifa (2002: 105 ) menjelaskan bahwa , “ pernikahan

harus membawa maslahat , baik bagi suami atau istri, maupun masyarakat”. Hal

ini berkaitan erat bahwa dalam islam perkawinan dilakukan untuk mewujudkan

rumah tangga yang bisa menyenangkan bagi pasangan suami istri.

b. Fungsi Perkawinan Bagi Informan

Kembali pada persoalan mengenai pengertian perkawinan maka

sebenarnya akan diperoleh berbagai pengertian dan makna yang dapat dianalisis

dari sudut pandang berbeda. Artinya masing-masing definisi perkawinan yang

diungkapkan informan menunjukkan arah pengertian yang berbeda tentang

perkawinan dalam benak mereka ( WT, SR, FTR, KK,TR maupun TY ). Terlepas

dari itu semua, pembicaraan mengenai perkawinan, tentu akan membawa pada

kajian tentang fungsi perkawinan. Fungsi perkawinan memiliki implementasi

terhadap manfaat atau tujuan yang ingin dicapai dari proses perkawinan tersebut.

Ada berbagai anggapan ataupun asumsi yang diberikan masing-masng

orang tentang fungsi dari perkawinan, tak terkecuali bagi keenam informan.

Perkawinan memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan dan

mengaplikasikan kebutuhan emosional bersama yang berhubungan dengan aspek-

aspek kebutuhan pribadi, yang salah satunya berhubungan dengan kebutuhan akan

rasa cinta dan kasih sayang. Ini nampaknya sama dengan fungsi perkawinan yang

disampaikan oleh SR,“Yang pertama perkawinan sebagai tempat untuk

mendapatkan kenyaman dan kasih sayang dari orang yang kita sayangi.”

(W/ SR/26/04/09). Hal ini serupa dengan yang dikatakan Malhotra ( 1997 : 437)

bahwa “…….marriage becomes a more individualized process, to be entered into

for love or self-fulfillment ” (…perkawinan menjadi proses yang lebih

individual, berdasarkan cinta atau pemenuhan kebutuhan pribadi...........)

Page 55: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

55

Jadi dengan adanya perasaan cinta dan kasih sayang akan menjadi

landasan dasar terjadinya perkawinan. Kebutuhan yang berhubungan dengan

afeksi atau rasa cinta kasih menjadi bagian dari kebutuhan utama manusia. Hal ini

sama seperti yang diungkapkan oleh Maslow, yang menjelaskan berbagai macam

kebutuhan manusia, yang disajikan dalam bentuk piramida kebutuhan manusia.

Salah satunya adalah kebutuhan yang menyangkut pada rasa cinta kasih. Jadi

kebutuhan ini berkaitan dengan penyeimbangan aspek spiritual.

Selain itu perkawinan juga memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan

biologis dalam memperoleh keturunan. Jawaban ini dapat ditemukan dari dua

responden yaitu SR dan TY. SR mengatakan bahwa, “ Fungsi perkawinan yang

kedua adalah untuk sarana meneruskan keturunan “ (W/ SR/26/04/09) TY

memberikan jawaban yang hampir sepadan, “ Ya perkawinan itu untuk

berkembang biak ( sambil tertawa). Eh..maksudku biar dapat keturunan “

(W/TY/20/06/09).

Keturunan merupakan konsekuensi biologis dari adanya hubungan secara

seksual antara laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada kehadiran seorang

anak. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1992 : 192) menjelaskan, “ dari anak-anak

yang dihasilkan dari proses persetubuhan tersebut, wajib diberikan perlindungan

dan kasih sayang serta rasa aman”. Perkawinan menjadi tempat dimana

ditetapkannya legitimasi anak sebagai anggota yang bisa diterima oleh

masyarakat.

Selain itu dengan hadirnya seorang anak, maka akan dapat meningkatkan

dan mempererat hubungan berkeluarga antara pihak laki-laki dan perempuan.

Sehingga, akan terjadi suatu pelebaran menyamping tali ikatan antara dua

kelompok himpunan yang tak bersaudara, atau pengkuhan keanggotaan di dalam

suatu kelompok endogam bersama. Lebih lanjut Geertz (1983: 58) menyatakan

bahwa dari hasil hubungan yang melibatkan dua somah tersebut akan melahirkan

cucu milik bersama, yang dapat mempererat keintiman atau kedekaatan hubungan

kekerabatan.

Ini menggambarkan bahwa dari anak hasil keturuanan tersebut dapat

menjadi pengikat tali persaudaraan antara keluarga atau hubungan kekerabatan

Page 56: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

56

( dari pihak laki-laki dan pihak perempuan ) sehingga akan memperluas jumlah

anggota suatu kelompok kekerabatan. Hal ini juga dapat menjadi bagian dari

upaya untuk mempertahankan eksistensi atau kedudukan suatu kelompok

kekerabatan dalam masyarakat. Karena dengan adanya pewaris atau penerus maka

akan tetap mempertahankan kedudukan kelompok dalam masyarakat, sekalipun

nantinya generasi tua sudah tidak ada.

Perkawinan juga berfungsi untuk dapat hidup bersama dengan orang

yang kita sayang, dan mengungkapkan berbagai perasan secara legal, sehingga

perkawinan digunakan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup lahir

batin yang berhubungan dengan teman hidup. Yang berarti seseorang

membutuhkan orang lain, dalam kesehariannya ( dalam konteks intim dan

kontinue) . Hal ini berarti perkawinan merupakan bagian dari kebutuhan manusia

dalam hubungannya dengan teman hidup ( Koentjaraningrat 1992 :192).

Dalam hubungannya dengan teman hidup, seseorang akan memiliki

kesempatan yang sah untuk tinggal dan melakukan aktivitas hidup bersama

dengan aturan resmi yang berdasarkan hukum masyarakat maupun negara.

Berdasarkan hukum artinya tidak ada yang akan menyalahkan atau

mempergunjingkan apa yang dilakukan seseorang dengan lawan jenisnya, karena

sudah memiliki ikatan yang legal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh WT dalam

membicarakan fungsi perkawinan.

“ piye ya, saya bingung kalau harus menjelaskan tujuan atau fungsi saya ne kawin. Saya bukan orang yang berplaning hidup jauh. Saya hanya orang yang suka berangan-angan. Jadi ne kawin ya tujuane apa ya………..pokoe tidak ada yang menyalahkan ne hidup bersama dengan orang yang aku mau.( Tujuan perkawinan itu bagi saya sangat sederhana saja yaitu dapat hidup bersama dengan orang yang kita suka)” ( W/WT/19/04/09 )

Jawaban hampir sama pun juga ditemukan dari FTR , “ Dari perkawinan itu nanti

kita bisa hidup dengan suami, saling menghargai dan saling melengkapi satu sama

lain “ ( W/FTR/ 17/05/09). Dengan melakukan perkawinan menurut WT dan FTR

maka akan terjadi proses hidup dan tinggal bersama dalam satu atap, namun tidak

memiliki konsekuensi yang negatif dari masyarakat, karena mereka telah

mendapatkan pengakuan yang sah lewat perkawinan yang telah dilakukan.

Page 57: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

57

Perkawinan sebagai suatu proses hidup yang ternyata dilakukan sesuai

dengan fungsinya maing-masing. Hampir setiap informan memberikan jawaban

yang berbeda. Ini berarti fungsi perkawinan dilihat dari konteks makna

perkawinan menurut maing-masing orang. Dapat dilihat pula bahwa bagi

informan, perkawinan berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup yang nyaman

dan penuh kasih sayang, dan memenuhi kebutuhan hidup bersama baik kebutuhan

biologis ( akan datangnya keturunan ) maupun kebutuhan yang berhubungan

dengan kelangsungan hidup selanjutnya.

c. Pandangan informan tentang perkawinan ideal

Perkawinan berupaya untuk membentuk dan menciptakan suatu keadaan

atau pola yang ideal yang sesuai dengan keinginan masing-masing pasangan.

Dalam perkawinan, akan terbentuk suatu hubungan perkawinan(dalam keluarga)

secara ideal yaitu terbentuknya hubungan yang harmonis dan dinamis dengan

tercapainya kebutuhan hidup, yang menjadi tujuan dari perkawinan. Sebagai

tujuan dari perkawinan, tentu masing-masing orang / pasangan berusaha untuk

mewujudkan nilai-nilai ideal tersebut.

Pemberian definisi tentang perkawinan ideal ini berkenaan dengan

berbagai konteks. Dari keenam informan WT, SR, FTR, TY, TR maupun KK

memberikan gambaran yang hampir sepadan. Namun demikian TY maupun KK

lebih memandang perkawinan ideal dari sudut agama yang mereka anut muslim.

TY mengatakan, “Yo ideal menurutku lho..mbuh ne wong liyo. Ne menurutku

perkawinan ideal ki akur sama pasangan, harmonis, kompak, selaras, mwadah dan

warrohmah ( perkawinan ideal menurut saya adalah harmonis, kompak, selaras,

mawadah dan warohmah terhadap pasangan)”.( TY/19/06/09).

FTR memberikan gambaran tentang perkawinan ideal, yang hampir

serupa, “ Perkawinan ideal itu, perkawinan yang harmonis, gak sering padu dan

yang paling penting ki saling menerima kekurangan (Perkawinan ideal itu adalah

perkawinan yang harmonis, tidak saling bertengkar dan saling menerima

kekurangan masing-masing)“( FTR/17/05/09). Sedangkan KK menceritakan

Page 58: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

58

gambaran perkawinan ideal sebagai berikut, “ Bagi saya perkawinan yang ideal

itu ya perkawinan yang di dasari saling mencintai punya kesamaan tujuan dan

tentu saja perkawinan yang seagama. “ ( KK/20/06/09)

Ideal juga merujuk pada keinginan untuk membentuk keluarga yang

harmonis. Hal yang demikian inilah yang dapat ditangkap dari jawaban ketiganya.

Kembali konsep harmoni sosial yang mengemuka dalam hal ini, bahwa

perkawinan berupaya mewujudkan kenyamanan dan keharmonisan keluarga untuk

menciptakan kerukunan dan menghindari berbagai konflik yang mungkin timbul

dalam hubungan perkawinan.

Sedangkan SR dan WT memberikan gambaran yang sedikit berbeda

tentang bagaimana konsep perkawinan ideal dalam benak mereka. SR

menjelaskan sebagai berikut,

“ Perkawinan ideal menurutku terjadi perkumpulan atau hidup bersama. Laki-laki dan perempuan tinggal dan hidup bersama, dari pagi sampai pagi lagi. Walaupun pada siang hari mereka bebas melakukan aktivitas apapun. Tapi istri harus sudah ada di rumah sebelum suami pulang dan mengurus rumah tangga serta menjamin kebutuhan jasmani maupun rohani anak terpenuhi. Selain itu terdpat aktivias sharing bersama, sehingga dapat berkumpul jadi satu.“ (SR/26/04/09 )

Sedangkan perkawinan ideal yang menjadi keinginan WT sebagai berikut

“ Secara riil aku belum tau piye-piyene. Tapi aku pengen ne kawin aku bebas ngapa-ngapain, suamiku juga bebas ngapa-ngapain. Maksudnya bebas kerja atau melakukan apapun, tanpa ganggu dan merugikan lho ya, dasare ya sama kesepakatan tadi lho. Piye ya sing penting ki urip bareng sak omah, penak-penakan ae gitu …..( secara riil saya belum tahu perkawinan ideal itu seperti apa. Tapi ketika saya sudah menikah nanti saya ingin hubungan kami tidak saling mengganngu, tidak saling merugikan ) ”(WT/19/04/09)

Dalam konsep perkawinan ideal, SR dan WT juga sedikit banyak

menggambarkan tentang bagaimana pembagian peran atau hak dan kewajiban

antara laki-laki ( suami) dan perempuan ( istri ). Dalam membentuk perkawinan

dengan konsekuensi hidup bersama antara 2 orang yang berbeda tentu bukan

menjadi hal yang mudah. Apabila tidak bisa saling mengerti dan memahami posisi

Page 59: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

59

dan tugas masing-masing bisa saja terjadi permasalahan. Oleh karena itu WT dan

SR menyadari, dibutukan adanya kesapakatan dan keterbukaan menyangkut apa

saja yang menjadi hak atau kewajiban antara keduanya. Hal ini perlu menjadi

bahan perbincangan sebelum melakukan perkawinan, agar masing-masing

mengetahui dan menyadari kekurangan dan kelebihannya serta posisi dan

kedudukan mereka dalam perkawinan. Perjanjian atau kesepakatan ini menjadi

penting bagi WT maupun SR.

Pengertian penting di sini memiliki makna bahwa dengan

memperhitungkan hal-hal yang menjadi resiko atau akibat dari perkawinan

mereka. Tak mengherankan jika hal ini mendera pola pikir keduanya yang

memang telah mulai terpengaruh oleh pola-pola hidup kekinian / modern.

Modernitas menjadi salah satu hal yang membawa pola pikir ke arah rasional,

dengan membentuk opini dan pertimbangan yang didasarkan pada landasan pikir

yang berdasarkan akal / rasional. Ini dapat di lihat dari background pendidikan

keduanya ( yang sama-sama memegang gelar S1), di mana pendidikan tinggi

setidaknya menyumbang berbagai bentuk pemikiran yang berwawasan luas dan

modern. Pendidikan atau sekolah dapat memberikan berbagai ilmu, pemahaman

tentang berbagai cara berperilaku baru, dan berbagai aspirasi baru dalam rangka

pengembangan pikir seseorang ke arah yang kompleks dan kearah modern

(Caldwell,1982 ;Goode ,1963 ;Thornton & Lin, 1994).

Dalam perkembangan hidup selanjutnya, dengan makin terbukanya ruang

pendidikan yang tinggi ini perempuan lebih banyak memiliki kesempatan terbuka

untuk berkutat dalam segala aktivitas publik ( kerja ). Ini tentu berbeda jika

dipandang dengan konteks bagi perempuan pada tahun 1970-an ( pada masyarakat

Jawa ). Perempuan tidak memiliki banyak pilihan ketika dia telah mulai

menginjak masa dewasanya. Masa dewasa yang ditandai dengan haidnya yang

pertama, mengharuskan bagi mereka memiliki tanggung jawab baru untuk segera

mencari pasangan, memiliki suami dan memiliki anak dalam hubungan

perkawinan.( Geertz, 1983 : 59). Pandangan Geertz tentang perkawinan masih

sangat primitif dan tradisional yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman saat

ini, bahwa perempuan harus berada dalam aktivitas domestik yang kedudukan dan

Page 60: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

60

posisinya sangat tegantung atau dibatasi oleh kuasa laki-laki. Pola pikir dan

pengembangan diri mereka pun akan makin dibatasi oleh kultur tersebut.

Namun realita sosial yang berkembang dalam masyarakat kita, mengikuti

arus perubahan zaman. Modernisasipun lahir mengikuti perubahan tersebut.

Menurut Huntington (dalam Mansour Fakih 2007 ; 32 ) modernisasi merupakan

proses yang bersifat revolusioner ( perubahan cepat dari tradisi ke modern ) ,

kompleks ( melalui berbagai cara sistematik ) , global ( akan mempengaruhi

semua manusia ), bertahap ( melalui langka-langkah ), hegemonisasi ,

convergency dan progresif. Modernisasi terjadi suatu proses perubahan yang

direncanakan dimana melibatkan semua kondisi, nilai-nilai sosial maupun

kebudayaan secara integratif. Modernisasi juga mulai memasuki kancah

pemikiran para perempuan . Pemikiran mereka pun mulai terbuka dan berupaya

untuk merubah sistem sesuai dengan perkembangan pemikiran mereka yang di

dasarkan atas pertimbangan yang rasional.

Membentuk suatu kesepakatan dalam perkawinan adalah mutlak

keinginan dari masing-masing pasangan.Perjanjian perkawinan memang perlu

dibuat, karena UU Perkawinan tidak mungkin mengatur secara detail tentang

pembagian peran dan bagaimana pola perkawinan. Namun perjanjian perkawinan

memang belum banyak terdapat dalam budaya kita. Perlu rambu-rambu,

perjanjian-perjanjian, sebagai petunjuk arah nantinya, hingga perkawinan jadi

ajeg, langgeng. Memang perlu perjanjian tentang harta, namun harus ditekankan

dalam perjanjian berisikan komitmen agar perkawinan langgeng, bagaimana

suami-istri saling menjaga kepercayaan, berkomunikasi, jujur.

Perjanjian dalam perkawinan ini dapat juga diistilahkan sebagai bentuk

negosiasi dalam perkawinan. Negosiasi adalah persetujuan aturan kontrak,

transaksi atau persetujuan dengan saling membicarakan persoalan,dalam

memecahkan masalah. Hubungan suami istri melibatkan negosiasi di mana

terdapat diskusi bersama dengan pengaturan atau persetujuan hal-hal yang

bersangkutan dengan perkawinan. Misalnya, pembagian kerja domestik, jumlah

anak, pembelian rumah, mobil, pengaturan liburan, pengaturan hubungan seks,

dan sebagainya.

Page 61: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

61

Perjanjian dalam perkawinan menjadi penting, seperti halnya opini yang

disampikan oleh WT berikut ini

“…aku maune sebelum nikah harus buat kontrak atau perjanjian lebih dulu. Ya semacam perjanjian pra nikah gitu lah.Aku belum tau isi atau detailnya. Tapi garis besarnya ya soal pembagian aktivitas rumah tangga, harta sama anak kali ya..Jadi kalau ada masalah, tapi ya moga-moga gak……dapat diselesaikan dengan mudah. Dasare ya ..perjanjian tadi” ( W/WT/ 19/04/09)

Hal ini juga hampir sejalan dikatakan ole SR “Ya buat semacam kesepakatan

gitu. Koyo MOU ya( sambil tertawa ), tapi ya gak perlu formal-formal. Yang

penting harus dibicarakan dahulu apa yang menjadi hak atau kewajiban masing-

masing pihak. Jadi untuk kemudian hari gak timbul masalah.” (W/SR/26/04/09)

Walaupun bagi sebagian orang perjanjian pra perkawinan menjadi hal

yang penting, namun sebagaian orang tetap menganggap bahwa perjanjian dalam

perkawinan itu bukan perkara yang harus dilakukan dalam perkawinan. Bagi

mereka yang terpenting adalah komitmen bersama yang dimiliki oleh pasangan

dengan tetap mempertahanakan prinsip pembagian peranan dalam rumah tangga

serta mengutamakan pula tentang rasa saling pengertian. Setidaknya demikian

yang dapat ditangkap dari apa yang diucapkan FTR , “ Tidak perlu ada perjanjian

lah...nanti kesannya seperti ada tata tertib. Masa kawin ada tata tertib “

( W/FTR/17/05/09).

Dengan atau tanpa adanya perjanjian tertulis , dalam perkawinan tetap

membutuhkan suatu komitmen bersama yang berhubungan dengan pembagian

peranan atau posisi, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam

perkawinan tersebut. Memahami hak dan kewajiban, posisi, peran, dan kedudukan

dalam perkawinan memang menjadi hal penting agar nantinya setiap aktivitas

rumah tangga, mulai aktivitas domestik, aktivitas kerja, maupun pengurusan anak,

dapat dibagi secara adil. Implikasi dari adil di sini adalah tidak saling

memberatkan salah satu pihak, dan keduanya dapat menjalankan tugas atau

kewajiban dengan baik.

Hak dan kewajiban ini pada umumnya, menyangkut pada pembagian

aktvitas dan ruang kerja secara seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang

Page 62: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

62

yang memiliki kuasa yang lebih tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat

property, dan perempuan harus berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas

sosial yang disusun dan diatur oleh laki-laki. Hal ini seolah turut pula dilegalkan

oleh hukum yang berkembang di negara kita. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun

1974, yang mengatur tugas suami dan istri yang menyatakan bahwa suami adalah

kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga, yang memiliki kewajiban untuk

mengurus rumah tangga.perkawinan. Jadi kewajiban suami adalah mencari nafkah

dan istri memiliki kewajiban mengurus semua aktivitas dan kebutuhan rumah

tangga.

Agaknya apa yang tertuang dalam undang-undang tersebut memang

sedikit banyak hampir sejalan dengan pemikiran SR, FTR, KK maupun TR

terkait hak dan kewajiban dalam perkawinan,

“ Kewajiban seorang laki-laki dalam rumah tangga adalah working out home, mencari penghasilan dan nafkah untuk anak istri , sedangkan kewajiban seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Karena anak akan menjadi seperti apa nantinya adalah tergantung dari didikan orang tua terutama ibu. Hak menjadi sesuatu yang mengikuti kewajiban yang dilakukan kedua belah pihak. “( W/SR/ 26/04/09)

Sedangkan FTR menuturkan, “ Kewajiban laki-laki itu ya menafkahi kelaurga,

dan hak nya ya dilayani istri. Kalau kewajiban istri adalah melayani sumai dan

mengatur rumah tangga. Ne haknya ya dilindungi suami kayae.

”(W/FTR/17/05/09). KK memberikan penjelasan sebagai berikut , “ Ya kalau

bicara tentang kewajiban setahu saya laki-laki ya wajibe mencukupi kebutuhan

secara finansial, mengayomi dan melindungi anggota keluarsga, jadi imam

lah....Ne istri wajibe ya melayani suami, trus apa ya...ndidik anak-anake no “(KK/

20/06/09).

Mencari nafkah adalah kewajiban seorang laki-laki, dimana laki-laki

harus bertanggung jawab penuh memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan

istri memiliki kewajiban penuh pada aktivitas rumah tangga, mulai dari urusan

dapur, mencuci dan mengurus anak, dan memberikan pelayanan kepada suami.

Semua aturan tersebut tertuang dalam undang-undang perkawinan, yang bisa

ditemukan dalam buku nikah, sehingga seolah-olah sudah menginternal hampir di

Page 63: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

63

seluruh kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang masih memiliki pola

serta pemikiran yang tradisional. Semua menjadi sebuah rutinitas yang harus

dilakukan karena hal tersebut telah dibumbui atas nama kewajiban secara kultural,

yang kemudian disebut sebagai kodrat ( sosial).

Dalam aktivitas domestiknya perempuan lebih banyak tidak memperoleh

ruang untuk memilih, karena semua dinamakan kewajiban oleh kultur patriarki.

Hal ini erat kaitannya dengan sistem mas kawin yang berlaku dalam perkawinan.

“mas kawin ”. Mas kawin ini yang dianggap sebagai pembayaran cash yang

menimbulkan konsekuensi seolah perempuan “dibeli” oleh laki-laki. Dalam

kondisi demikian, perempuan seolah harus selalu berada dalam bayang-bayang

laki-laki (Veny, 2002 ; 114 ) Dan perempuan memiliki suatu kewajiban secara

kultural terhadap laki-laki. Kewajiban-kewajiban inilah yang lantas menempatkan

perempuan pada putaran aktivitas domestik, yang membuat mereka harus

menerima ini sebagai suatu kewajiban sosial. Berbagai kewajiban sosial tersebut

tumbuh sebagai bagian dari adanya pembagian aktivitas dan ruang kerja secara

seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang yang memiliki kuasa yang lebih

tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat property, dan perempuan harus

berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas sosial yang disusun dan di atur

oleh laki-laki.

Namun pendapat SR, FTR, KK maupun TR justru berbeda dengan yang

diungkapkan WT. Menurut WT, bahwa kewajiban itu sebenarya hanya

menyangkut masalah yang sifatnya biologis, bukan hal-hal yang menyangkut pada

masalah-masalah kodrat sosial. Dalam pandangan kaum feminis hal ini kerap

disebut dengan peran gender yang dikonstruksi atas dasar perbedaan gender, yaitu

perbedaan secara seksual antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki

kewajiban secara permanen yang tidak bisa berubah sebagai ketentuan biologis

yang disebut sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat ( Fakih, 2007 : 8)

Kewajiban adalah sesuatu yang terjadi atas dasar kodrat dari Tuhan yang

memang tidak bisa tergantikan secara sosial, dan bukan kultur yang diciptakan

dan berkembang dalam masyarakat.. WT mengatakan pembagian hak dan

kewajiban suami istri adalah sebagai berikut

Page 64: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

64

“ seorang isri hanya memiliki kewajiban mengandung, melahirkan dan menyusui. Dan selanjutnya semua aktivitas hidup menjadi kewajiban dan hak bersama. Jadi ndak ada lho kewajiban bagi saya buat masak, nyuci. Lha ne suami bisa ya wis dikerjake sendiri. Saya juga bisa kerja, jadi bukan suami aja yang wajib kerja“(WT/19/04/09)

Kewajiban istri untuk mengandung dan memiliki anak memang menjadi

perkara biologis yang tidak bisa ditawar lagi. Secara biologis hanya perempuan

yang memiliki rahim. Praktis hanya perempuan juga yang bisa mengandung dan

melahirkan. Ketika berbicara pada konteks kewajiban memang hal ini akan terjadi

demikian adanya. Namun terkait dengan kehamilan dan memiliki anak,WT lebih

lanjut menuturkan bahwa dalam perkawinan persoalan anak tetap menjadi

keputusan oleh keduanya ( laki-laki dan perempuan yang menjalani ). Secara

eksplisit terlihat bahwa dalam perkawinan, kehamilan dan memiliki anak adalah

perkara wajib bagi perempuan, namun semuanya itu dapat dinegosiasikan dan

dapat ditentukan kapan atau tidak sama sekali memiliki anak.

Memiliki anak, juga bagian dari keinginan untuk menghindari berbagai

stereotipe yang mungkin terdengar buruk dari kehidupan sosial masyarakat. Masih

kuatnya anggapan yang berkembang, bahwa perempuan yang tidak bisa hamil

akan di cap sebagai perempuan yang tidak subur atau mandul. Ini tentu tidak

hanya menimbulkan tekanan secara psikologis tapi juga akan mengganggu

bagaimana proses sosialisasi dalam masyarakat.

Konsepsi tentang perkawinan ideal ini, kemudian merujuk pula pada

sosok lawan jenis yang tentu juga dianggap ideal, cocok atau pas untuk

mewujudkan perkawinan yang sesuai dengan keinginan. Laki-laki yang dipilih

untuk menjadi pasangan hidup tentu bukan dipilih laki-laki yang sembarangan.

Tetapi dipilih laki-laki yang sesuai dengan apa yang menjadi keinginan mereka.

Berbagai hal yang menyangkut kecocokan secara visi,misi, keinginan, cita-cita,

pikiran ataupun kerja menjadi hal yang sedikit banyak memberikan pengaruh bagi

keduanya dalam menentukan dengan siapa mereka melakukan perkawinan.

Diakui ataupun tidak banyak perempuan yang masih banyak dipengarahi

oleh mitos dalam ciderella kompleks. Dalam mitos ini, diperlihatkan bahwa

perempuan mendambakan seorang “pangeran” untuk mempersunting dirinya. Para

Page 65: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

65

perempuan dalam rasionalitasnya selalu mendambakan laki-laki yang diyakini

sebagai seorang pangeran yang diimpikan dengan segala kesempurnaan baik itu

secara sosial, fisik maupun ekonomi, yang akhirnya akan memberikan

kebahagiaan dalam hidupnya (Subiantoro, 2002 : 11). Jadi tidak heran jika

kemudian para perempuan selalu berupaya untuk mendapatkan laki-laki yang

memang memiliki kriteria yang “sempurna “ baik secara material, emosional,

maupun sosial.

Ini kemudian memicu pemikiran para perempuan ( maupun laki-laki

)untuk menyeleksi pasangan sesuai yang diinginkannya. Hal ini sejalan dengan

apa yang diungkapkan oleh Malhotra ( 1997 :437).

“…………motivating young men and women to emulate a western conceptualization of marriage in terms of self- selection of spouses and more nuclear, conjugal, and egalitr marital relationsip.”……… memotivasi para pria dan wanita muda untuk menerapkan konsep pernikahan ala barat dalam hal menyeleksi sendiri pasangan, juga dalam hal hubungan pernikahan yang lebih seimbang) (Malhotra, 1997:437)

Setiap orang berhak untuk memilih pasangan hidup yang sesuai dengan

kriteria dan keinginananya. Dalam kajian agama Islam misalnya, juga terlihat

bahwa perkawinan sebagai penyatuan dua orang dewasa yang didasari oleh

kemauan bersama, maka persetujuan bersama antara kedua belah pihak yang akan

melakukan perkawinan merupakan sebuah esensi untuk mewujudkan kehidupan

perkawinan dalam keluarga ( Haifaa Jawad, 2002 : 17). Jadi tidak akan terjadi

proses perjodohan yang seringkali masih terjadi pada masyarakat Jawa pada tahun

1970-an, dimana orang tua seringkali memilihkan jodoh kepada anaknya. Bahkan

dijelaskan bahwa pada umumnya mereka (orang tua) memilihkan bakal jodoh

untuk anaknya (Ahimsa Putra, 2006 : 411-412). Biasanya pasangan yang

dpilihkan harus memenuhi krteria dari segi bibit, bebet maupun bobot.

Memilih pasangan lewat perjodohan menurut sepertinya sudah tidak

relevan lagi. Masing-masing orang berhak untuk memilih dan menentukan

pasangan hidup yang sesuai dengan keinginannya. Apalagi saat ini zaman sudah

semakin maju, hal-hal yang sifatnya tradisional telah mulai berubah dan begeser

Page 66: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

66

kearah modern, yang menyertakan pemikiran yang lebih rasional. WT

mengutarakan,

“ memangnya ini jaman siti Nurbaya dik. Dijodohin……Lha memangnya tar yang mau kawin sapa, yang mau hidup bareng sapa? Bapak ibuku apa aku?( memangnya ini jaman siti nurbaya, dijodohin segala. Memangya nanti yang mau menikah dan hidup bersama siapa?bapak ibuku atau aku? ) “ (W/WT/19/04/09)

Dalam kaitannya dengan sistem perjodohan ini SR menambahkan,

“Kalau dulu mungkin banyak perjodohan. Karena waktu itu perkawinan lebih pada kepentingan ekonomis. Setelah siap reproduksi mereka harus cari suami. Kalau gak dapet-dapet ya di jodohke. Tapi ne sekarang ya beda. Kawin ya pake pertimbangan dewe. Gak perlu dijodohke ( tapi kalau sekarang ya berbeda. Menikah itu memakai pertimbangan sendiri. Tidak perlu dijodohkan)”. (W/SR/26/04/09)

FTR pun tak surut ikut berkomentar pula tentang perjodohan “ Aku gak setuju

sama perjodohan. Lha memange gak iso golek dewe. Lagian kalau dijodohke kan

jamanya ibuk bapak dulu....( aku tidak setuju sama perjodohan. Memangnya tidak

bisa mencari sendiri. Dijodohkan itu kan zamannya bapak ibu dulu ).

”(W/FTR/17/05/09)

Pasangan yang dipilih setidaknya memiliki beberapa kecocokan

sehingga dapat saling menyeimbangkan hubungan, ataupun bahkan memiliki

perbedaan yang saling melengkapi dalam rangka menimbulkan keselarasan ,

keharmonisan dan kedinamisan dalam hubungan perkawinan.

“Ideal menurutku , kalau laki-laki yang memiliki chemistry sama aku. Artinya ada sesuatu yang cocok dan pas gitu, yang bisa saling terima dan menyesuaikan. Trus cara berpikirnya paling gak kita harus sejalan, ya gak harus sama, tapi ada hal-hal yang hampir sama sudah cukup”.(W/SR/26/04/09)

Ideal bukan hanya sekedar kesempurnaan secara fisik ataupun bukan

meliputi kesamaan yang mereka miliki, justru sebaliknya dari berbagai perbedaan

yang dimiliki masing-masing pasangan akan tercipta hubungan yang saling

melengkapi, jadi alur hubunganya tidak hanya sekedar monoton saja. Masing-

masing orang tentu memiliki cara berfikir atau idealisme yang berbeda, tapi justru

dengan perbedaan itu dapat menjadi penyeimbang dan pelengkap.

Page 67: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

67

“ Sifat kami berbeda sekali. Aku ini tipe yang emosian tinggi, cepet marah, sebaliknya dia sedikit lebih sabar dan bisa meredamkan emosiku. Kami memang berbeda tapi justru itulah uniknya kami bisa saling mengisi. Tapi kami juga punya kesamaan kok, sama-sama hobi liat film...”(W/ SR/26/04/09)

Memiliki suami dengan kriteria yang diinginkan atau dianggap ideal juga

diinginkan oleh WT, hal ini dapat diismak dari jawabnya

“ Aku penginnya punya suami itu laki-laki yang pintar dan memiliki pengetahuan umum yang luas.. Trus laki-laki yang open minded terhadap segala perubahan dan perbedaan. Yang terakhir adalah……laki-laki tersebut dapat memposisikan saya sebagai teman hidupnya, bukan pria yang menguasai hidup saya.”(W/WT/19/04/09)

Jawaban yang diungkapkan oleh WT tersebut memberikan banyak

implikasi dan pemaknaan. Bahwa memilih pasangan hidup itu adalah tergantung

dari bagaimana seorang menentukan seseorang yang sesuai dengan kenginannya,

ada kecocokan yang tidak hanya keinginan dari segi fisik, tapi juga dari sisi

emosional. Ini berarti hak utama atau keputusan mutlak tetap menjadi milik dari

seseorang yang akan melakukan perkawinan.

Dalam memilih pasangan hidup, juga tak lepas dari sifat atau

karakteristik yang dimiliki pasangan yang memang sesuai dengan keinginan. Hal

demikian dapat dilihat dari jawaban yang dikemukakan oleh FTR,

“ Laki-laki ideal buat calon suami menurutku ki yang kerja keras dan

bertanggung jawab. Kaya pacarku kae...dia itu pekerja keras banget, gak gampang

nyerah. Selain itu ya harus tanggung jawab sama istri dan anak-anaknya itu.”

(W/FTR/17/05/09)

Sebagai kaum muda, proses pacaran dan berkenalan dengan lawan jenis

telah beberapa kali mereka lakukan. Menurut SR, WT, FTR,TR maupun TY

memiliki pacar dan kemudian membina hubungan yang disebut “pacaran” , perlu

dilakukan agar dapat menyeleksi atau memilih pasangan yang sesuai dengan

keinginan. Istilah pacaran 3 ini menjadi ajang untuk melakukan penjajakan

(pengenalan sifat dan karakter, keluarga, kehidupan kerjanya atau sekolahnya)

3 Menurut KBBI (2002: 807), pacar adalah kekasih yang mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; berkasih-kasihan [dengan sang pacar]

Page 68: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

68

dari masing-masing pihak, untuk kemudian dipertimbangkan kelanjutan hubungan

yang terjalin antara keduanya, yaitu meneruskan hubungan kearah perkawinan

atau justru menghentikan hubungan.

Saat ini SR memiliki teman dekat, yang telah menjalin komitmen dan

hubungan selama 8 tahun. Mas AT, sebut saja demikian nama teman dekat SR,

menurutnya adalah figur seorang teman dekat yang hampir ideal untuk diadikan

sebagai suami. Hubungan yang mereka bina awalnya memang tidak mendapat

restu dari orang tua, mengingat menurut orang tua keduanya saat itu masih

sekolah dan kuliah. Namun hubungan tersebut akhirnya semakin bertambah dekat

dan intim ketika keduanya telah sama-sama bekerja.

SR pun tak sungkan membawa Mas AT untuk bertemu kedua orang

tuanya, sekedar memperkenalkan tentang keluarganya. Sebaliknya SR pun telah

beberapa kali pula bertandang ke rumah Mas AT untuk lebih mengenal

keluarganya

“ Dikenalke ibu bapak ….baru berani akhir-akhir ini. Dulu pacaran aja gak boleh. Paling kalau pas SMA ya ketemu di sekolah.Habis itu kuliah long distance, dia di Jogja aku di Solo, jarang ketemu malah hamper gak pernah. Komunikasi lewat Hape aja. Nah sekarang ibu bapak udah ngizinin ya aku lebih santé ngajak dia maen kerumah “ ( W/ SR/26/04/09 )

FTR pun demikian adanya“ Aku punya pacar sekarang.. Gak usah aku sebut

namanya ya...aku serius sama dia. Aku 4 kali pacaran. Yang 3 cuma iseng, tapi ne

yang ini yang serius. “(W/FTR/17/05/09)

Dari apa yang diuturkan FTR, 4 kali dia membina hubungan dekat

dengan laki-laki hanya satu orang lah yang dianggap serius. Artinya bahwa

hubungannya dengan pacarnya yang sekarang memiliki konteks yang lebih dekat

bahkan dikenalkan pada orang tua juga. Selain karena pacarnya sudah bekerja,

waktu acaran yang cukup lama membuat FTR sampai sekarang tetap

mempertahankan hubungan dan berharap hubungannya akan sampai pada tahap

perkawinan. Jawaban yang diungkapkan oleh SR maupun FTR, disadari atau

tidak, dalam memilih pasangan yang menurut mereka ideal tetap berpatokan pada

Page 69: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

69

pakem yang seringkali digunakan pada masyarakat Jawa. Yaitu bibit, bebet dan

bobot.

Sedangkan cerita lain datang dari WT, KK dan TY. Saat ini WT tidak

melakukan hubungan dengan siapapun, atau “jomlo”4. Beberapa kali dia pacaran

akhirnya berakhir dan tidak dapat bertahan. Sampai saat ini dia tetap saja asik

melajang dan belum memikirkan tentang teman dekat atau pun tentang calon

suami.

Teman dekat/ pacar yang menurutnya harus calon suami bukanlah orang

yang harus ngoyo dicari. Tetapi dia akan datang sendiri, dan kalaupun pada

akhirnya tidak ada dia merasa hal itu bukan masalah besar, karena dalam

agamanya pun juga dijelaskan bahwa perkawinan itu tetap saja sunnah, bukan

kewajiban. Dia mempercayai Tuhan sudah menetapkan jodoh untuk masing-

masing orang. Dia mengatakan “ jika sampai ini saya belum ketemu orang yang

pas, ya berarti saya belum ketemu jodoh saya , dan itu masih rahasia Tuhan. Ne

ngoyo cari terus kapan kerjane, kapan cari duite,...”(W/WT/19/04/09)

KK pun demikian adanya, Di usinya yang kini telah menginjak 39 tahun,

dia belum memiliki laki-laki yang dianggap tepat untuk menjadi suaminya.

Beberapa kali dia pacaran, tapi pun tidak dapat bertahan. Hingga kini di usianya

yang kian matang, dia mulai sedikit lelah untuk mencari dan menemukan laki-laki

yang diharapkan menjadi suaminya kelak. Dalam benaknya selalu terbersit pikiran

positif, bahwa memang belum ketemu jodoh. KK menjelaskan, “ Sebagai

perempuan normal saya juga pengen kawin. Tapi, belum ketemu yang cocok aja.

Belum ketemu jodoh. Ya sudah...pasrah sajalah. Saya punya

Allah...”(KK/20/06/09)

“ Belum ketemu jodoh “ seringkali menjadi alasan klasik bagi banyak

perempuan yang belum menikah. Hal ini sejalan dari apa yang dikatakan oleh

Hull ( 2002 :8).

“ the problem of marriages market is not lack of avalaible males, but the shortages of man who share theit value and expectation......When asked to describe the process of remaining single, none of them could give

Page 70: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

70

clear answer. The most typical and spontaneous answer was I have not found my soulmate ( belum ketemu jodoh)”.

Banyak perempuan yang akhirnya belum melakukan perkawinan pada

usia 26 tahun ke atas, lebih dikarenakan belum menemukan laki-laki yang

dianggap tepat atau sesuai dengan keinginan atau secara umum dikatakan belum

ketemu jodoh. Di sadari atau tidak ungkapan seperti ini sebenarnya adalah

ungkapan yang sifatnya riil. Artinya orang diajak untuk lebih berfikir terbuka

bahwa Tuhan telah memberikan pasangan bagi siapa saja. Dan tinggal manusia

menunggu saat yang tepat ditemukan dengan jodoh tersebut.

Perkawinan secara langsung atau tidak langsung tetap menjadi keinginan

semua orang, termasuk WT dan KK. Tetapi keduanya justru menunjukkan sikap

yang lebih santai dan tidak terlalu ngoyo. Perkawinan itu perkara penting tetapi

ada banyak hal yang lebih penting yang harus dilakukan yang akan menjadi

pertimbangan dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan atau dengan siapa

melakukan perkawinan. Selain itu sikap percaya pada jodoh membuatnya selalu

meyakini bahwa Tuhan pasti akan memberikan laki-laki yang tepat pada saat yang

tepat juga suatu hari nanti

“ Ibuku selalu bilang, manusia itu pasti punya jodo. Tapi kapan ketemunya, dimana ketemunya ya belum tau.Dan aku percaya banget itu. Ditunggu wae, wong udah dijamin Allah ada we kok. Ya usaha nyari sih….tapi ya ne gak dapet-dapet yo wis to.Sekarang mending cari temen yang banyak dulu ajalah…sapa tau nemu juga….. “(W/WT/19/04/09 )

Berbagai keputusan dan pertimbangan dalam melakukan perkawinan

tentu tak lepas juga dari peran orang tua. Memang perkara perkawinan menjadi

perkara individual yang menjadi urusan antara kedua belah pihak, mulai dari

memilih pasangan, bagaimana kehidupan perkawinannya. Tetapi orang tua juga

turut memberikan andil terutama dalam memberikan masukan yang biasanya

berupa nasehat-nasehat yang berhubungan dengan perkawinan. SR berkata,

“ Orang tua tidak ikut campur dengan siapa aku meh nikah. Tapi, orang tua tetep

memberikan nasehat untuk mencari laki-laki yang bertanggung jawab pada anak

istri dan beriman “ (W/SR/26/04/09 )

Page 71: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

71

WT juga demikian adanya, dia menuturkan, “ Bapak ibu itu paling Cuma

bilang. kalau cari suami ki yang penting pinter dan rajin sholate. Trus kata

bapakku ya nk bisa gak usah dari keluarga yang kaya banget, tapi ya jangan yang

miskin. Yang sejajar sama keluarga kita wae...paling cuma gitu-gitu

aja“(W/WT/19/04/09). KK pun tak luput dari nasehat-nasehat seputar perkawinan

yang diberikan oleh orang tuanya, “ Orang tua selalu nasehati, kalau udah nikah

nanti..saya harus manut mituhu sama suami saya. Biar perkawinannya ndak jadi

masalah. “ ( W/KK/20/06/09)

Orang tua memberikan berbagai masukan dan nasehat penting dalam

perkawinan lebih pada konteks agar si anak mau belajar dari proses perkawinan

yang telah mereka lalui. Berharap dapat berbagi pengalaman dan menularkan hal-

hal yang positif dan mencoba menguraikan hal-hal yang negatif agar anak tidak

mengulangi hal yang sama. Anak pun demikian juga, menilik dari perkawinan

yang dilalui orang tuanya akan menimbulkan berbagai tanggapan, dan akhirnya

mereka mulai mereka reka perkawinan nya kelak seperti apa, mulai mengadopsi

nilai-nilai perkawinan orang tua yang menurut mereka sesuai dengan keinginan.

Hal ini disadari benar oleh SR. Hubungan perkawinan orang tuanya

sedikit banyak telah menginspirasi cara pikir dan cara pandangnya tentang

perkawinan. Gambaran perkawinan dari orang tua, seolah memberikan suatu

pembelajaran baru yang mmebuatnya ingin meniru/ mengikuti. SR berujar,

“ Bapak ibu itu saling menghormati. Jarang berantem, walaupun sama-sama sibuk

kerja....aku yo pengen kata gitu “ ( W/SR/26/04/09)]

Ada beberapa bagian yang memang menjadi wacana anak untuk akhirnya

di tiru. Tapi menilik dari proses perkawinan orang tua, kadang anak juga akan

memiliki gagasan lain yang sifatnya tidak sejalan. Ini seperti apa yang diucapkan

WT berikut ,

“ Bapak ibu itu sebenarnya penak hubungane. Aku seneng cara pembagian uange. Ibuku gak pernah di kasih nafkah bapak. Tapi mereka udah janjian. Uang bapak buat sekolah anak, uang ibu buat urusan rumah tangga. Tapi sing ra tak senengi kadang ne dirumah ibu kalahan sama bapak...”(W/WT/19/04/09)

Page 72: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

72

Bagi WT, SR, FTR, KK, TR maupun TY perkawinan menjadi perkara

penting dan sakral yang dilakukan pada saat yang tepat ( pada waktu dan keadaan

yang pas ), dan hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal

yang berhubungan dengan perkawinan itu sendiri. Pertimbangan ini didasari pada

kenyataan bahwa perkawinan bukanlah perkara yang sederhana yang berhenti

pada aktivitas penyatuan antara laki-laki dan perempuan dalam satu atap. Lebih

dari itu perkawinan akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat

sosial, yang membutuhkan adanya komitmen dan kesepakatan dari pihka yang

akan melakukan perkawinan.

Perkawinan bukan hanya berkenaan tentang kesiapan secara biologis,

tetapi lebih dari itu, perkawinan juga harus dilandasi berbagai kesiapan yang

berhubungan dengan materi maupun kesiapan secara psikis. Perkawinan memiliki

makna yang lebih dalam, sehingga dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang

harus dipikirikan secara maksimal atau matang. Dalam perkawinan membutuhkan

negosiasi dan kesepakatan tertentu, sehingga akhirnya tujuan, makna dan fungsi

perkawinan itu sendiri dapat terwujud. Pertimbangan-pertimbangan yang

diperlukan bersifat rasional, sehingga dapat dimengerti implikasi dari masing-

masing tindakan, inilah yang kemudian di sebut sebagai perkawinan yang

bermakna rasional.

Perkawinan bermakna rasional akan merujuk pada pemaknaan yang lebih

konkret bahwa dalam hal ini perkawinan lebih dimaknai sebagai kontrak sosial

yang mensyaratkan adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak tanpa ada

intervensi dari pihak lain. Perkawinan pada makna ini dijadikan sebagai sebuah

pilihan rasional atau hak setiap individu dan bukan merupakan kewajiban sosial

dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, perjodohan yang dirancang orang

tua sudah tidak relevan lagi, namun setiap individu berhak untuk menentukan

pasangan hidup sendiri. ( Liestaysari, 2003 ; 124 ).

2. Penundaan usia perkawinan

Dari data yang berhasil dihimpun dari KUA Kecamatan Sukoharjo

sedikit banyak menunjukkan bahwa pada tahun 1970 perempuan memiliki rata-

Page 73: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

73

rata usia perkawinan pada umur 16-20 tahun, sedangkan laki-laki melakukan

perkawinan rata-rata diatas usia 20 tahun. Dari fakta yang terlihat ini memang

menunjukkan bahwa awalnya memang dalam menentukan perkawinan menjadi

suatu perkara yang cukup sederhana yaitu berdasarkan kesiapan secara usia. Bagi

perempuan, dahulu pada konteks tahun 1970-an, faktor usia memang memiliki

pengaruh yang cukup penting dalam menentukan kapan harus melakukan

perkawinan. Ketika perempuan sudah memasuki masa siap reproduksi ( setelah

haidnya yang pertama ) mereka akan dianggap telah siap memasuki jenjang

perkawinan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Geertz ( 1982 : 59 ) bahwa

gadis –gadis Jawa telah kawin setidaknya untuk waktu yang singkat pada saat

kira-kira berumur 16-17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah menikah sama

sekali . Ini menunjukkan bahwa betapa banyak gadis-gadis yang berusia belasan

tahun harus segera menerima keputusan kultural untuk melakukan perkawinan,

karena dianggap telah memiliki kesiapan bereproduktif.

Namun hal ini tentu berbeda dengan keadaan masyarakat sekarang ini.

Mulai tahun 2000-2005 di Sukoharjo (dari data KUA Kecamatan Sukoharjo)

keadaan mulai berubah. Yang awalnya rata-rata usia “normal” bagi perempuan

untuk menikah maksimal berusia 25 tahun, namun akhir-akhir ini banyak

perempuan-perempuan yang berusia hampir 30 tahun yang baru melaksanakan

perkawinan. Bukti tersebut menunjukkan bahwa perkembangan dan perubahan

yang terjadi pada sistem/ pola kehidupan masyarakat, menyebabkan perubahan

cara pandang pula terhadap perkawinan. Mobilitas masyarakat Sukoharjo kian

tinggi dan mulai majunya berbagai sektor publik membuat hal-hal yang dulu

dianggap tabu secara kultural, kini telah dianggap lumrah.

Pergeseran cara pandang, cara pikir maupun cara bersikap ini juga

dipengaruhi oleh proses modernisasi yang berpengaruh signifikan pula pada kian

meningkatknay mobilitas masyarakat Sukoharjo. Kemajuan ini dapat terlihat dari

kian tingginya angka kerja dan angka pendidikan pada masyarakat. Terlebih lagi

bagi kaum perempuan. Jumlah perempuan yang memasuki dunia kerja dan

pendidikan pun semakin tinggi. Dengan demikian, Di Sukoharjo akan makin

Page 74: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

74

banyak dijumpai perempuan yang bekerja pada berbagai sektor publik mulai dari

instansi pemerintah, swasta maupun wiraswasta dan buruh.

Dari data yang berhasil dihimpun, terbukanya kesempatan kerja dan

pendidikan bagi kaum perempuan inilah yang ternyata menjadi faktor utama

penundaan usia kawin bagi perempuan di Sukoharjo, walaupun memang masih

ada beberapa faktor lain yang mendasari. Perkawinan kemudian tidak hanya

dipandang dari kesiapan secara usia atau umur, melainkan kesiapan secara fisik,

material maupun mental. Inilah bentuk pemaknaan baru dalam perkawinan bagi

para perempuan.

Pendidikan memang sedikit banyak akan mempengaruhi ruang hidup

setiap manusia. Lewat tingginya penidikan, tentu saja orang akan diajak untuk

berfikir lebih kompleks sehingga tingkat pengetahuan merekapun akan lebih luas.

Selain itu lewat pendidikan dapat membuka ruang atau jalan bagi terpenuhinya

suatu sistem kerja, karena memang pendidikan memiliki hubungan yang erat

dengan kerja. Ini seperti yang diungkapkan oleh Jones ( 1993 : World Bank,

1995a) dalam Malhotra ( 1997 : 439) bahwa “ Third, the standard human capital

argument is that eduacation can effect marriage timing by increasing

employability through the additional skills or training it provides (standar

pendapat rata-rata orang bahwa pendidikan dapat memberikan efek pada waktu

perkawinan dengan meningkatnya kemampuan kerja melalui kemampuan atau

tersedianya pelatihan) “. Ini mengandung arti bahwa dengan adanya pendidikan,

maka kemampuan dan keterampilan seseoarang akan lebih meningkat dan makin

memperluas kesempatan dalam dunia kerja.

Selain itu kajian tentang pendidikan bagi para responden memberikan

pengaruh secara sosial maupun secara akadaemis. Secara akademis pendidikan

tentu saja mampu memberikan bekal ilmu dan pengetahuan bagi individu,

sehingga mampu berwawasan luas yang dapat diaplikasikan dalam berbagai

bidang kerja atau aktivias hidup dalam masyarakat. Ini diakui oleh Mbak KK,

“ Aku kuliah di UNNES. Perubahan habis kuliah ya tentu aja aku dapet banyak

ilmu buat bekal ngajar sekarang. “(W/KK/20/06/09)

Page 75: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

75

Sedangkan secara sosial, pendidikan juga mampu memberikan

perubahan pada cara pandang, cara pikir, cara tingkah laku serta pola pergaulan

dengan teman sejawat. Maksudnya dengan pendidikan seseorang akan

mendapatkan pergaulan yang luas dengan komunitas yang lebih kompleks

sehingga akan makin membuka wacana atau ruang pikir mereka.Apalagi dari

keenam informan ini 4 di antaranya memperoleh pendidikan tingkat universitas di

beberapa kota besar di Indonesia, seperti bandung, Jogjakarta dan Semarang.

Secara langsung ataupun tidak langsung sebenarnya keberadaan atau lokasi dan

pola wilayah tempat pendidikan ini juga akan membentuk suatu pola pikir baru

yang tentunya memberikan pengaruh yang berbeda bahkan lebih kompleks dan

modern.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh WT, “ Temen-temenku itu sangat

menyenangkan. Umume meraka dari kota besar. Jadi....ya sedikit banyak katut

juga cara mereka bergaul, bicara, atau berpikir juga, lebih ceplas-ceplos.

“(W/WT/19/04/09).

Kerja dan pendidikan yang tinggi inilah yang disinyalir kuat

menyebabkan perempuan lajang menunda perkawinan. WT, mengakui secara

gamblang, bahwa saat ini dirinya memang menunda perkawinan. Ini dikarenakan

masih banyak targer yang berhubungan dengan kerja dan aktivitas pendidikan

yang masih ingin diraihnya. WT menyatakan, “ Setiap orang mengiginkan

menikah. Aku pun juga gitu. Tapi untuk sekarang aku masih pengen sendiri,

menikmati hidupku sendiri, dan aku masih belum ingin terikat siapapun. Lagian

planingku juga masih banyak“ ( W/WT/19/04/09)

Pendidikan dan kerja melingkupi aktivitas hidup masyarakat saat ini, baik

bagi perempuan dan laki-laki. Khususnya bagi perempuan saat ini makin

terbukanya ruang pendidikan pada posisi-posisi dalam ruang kerja. Ini salah

satunya sebab modernitas cara berfikir mereka yang mulai juga terpengaruh oleh

pola pikir feminisme. Feminisme sesungguhnya bukan ajaran yang menanamkan

kebencian pada kaum lelaki. Feminisme juga bukan gerakan pemberontakan

terhadap laki-laki dalam upaya melawan pranata sosial yang ada. Namun lebih

Page 76: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

76

dari itu, feminisme memiliki kajian yang sarat akan nilai-nilai keadilan.

Feminisme adalah perjuangan untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan, harkat,

serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan

tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga ( Bhasin dan Khan, 1999 :

9 ). Feminisme mengantarkan persamaan bagi perempuan, demi menciptakan

keadilan dalam masyarakat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.

Berbicara mengenai wilayah kerja bagi perempuan, awalnya perempuan

memiki wilayah / ruang kerja yang penting dalam aktivitas kehidupan. Namun

seiring dikenalnya budaya berburu, meramu dan mengumpulkan makanan, nilai

kerja laki-laki memiliki posisi yang lebih dominan atau bisa dikatakan lebih

tinggi. ( Engels, 1992 :149). Budaya patriarki pun kemudian berkembang subur,

sampai saat ini. Namun untuk perkembangan saat ini, akar-akar budaya patriarki

mulai disadari sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya. Artinya aktivitas

patrarki makin dipersemit dengan makin tingginya keaktifan para perempuan

( perempuan lajang khususnya ) untuk ikut pula berkecimpung dalam ranah

publik.

Ini juga seperti yang dialami keenam informan. Beberapa dari mereka

seperti WT, SR mapun FTR secara langsung atau tidak langsung memang

memang mengakui bahwa perkawinan bukan menjadi prioritas utama, karena

mereka menyadari pentingnya kerja bagi kehidupan mereka kedepannya. Dari

apa yang disampaikan para responden kerja dimaknai sebagai aktivitas yang

berhubungan dengan kegiatan untuk mencari dan memperoleh penghasilan utama

berupa materi. Didalamnya tentu ada berbagai aktivitas produksi dan konsumsi

yang membawa pengaruh pada terpenuhinya kebutuhan secara finansial. Ini

berarti kerja sebagai aktivitas tertentu yang berhubungan dengan cara

memproduksi atau mengkonsumsi barang dan jasa ( Nash, 1984 : 45). .

Jadi dalam aktivitas kerja tersebut yang terpenting adalah bagaimana

menghasilkan sesuatu atau hal ( barang maupun ilmu ) sebagai proses produksi

untuk menghasilkan materi sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan

hidup ( konsumsi ). Namun demikian, tidak menolak kemungkinan pula, bahwa

kerja tidak hanya dimaknai untuk memperoleh uang, tetapi kerja juga dapat

Page 77: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

77

menjadi ajang untuk memenuhi kebutuhan akan kepuasan batin, serta

menunjukkan eksistensi seseorang. Terkait dengan eksistensi diri ini, ini

menunjukkan bahwa kerja akan menyangkut pula pada penilaian sosial terhadap

seseorang atas pekerjaannya ( Moore , 1988:43),. Artinya bekerja dilakukan

bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan seseorang dari segi material saja, tapi

bekerja juga dilakukan untuk menunjukkan keberadaan seseorang dalam suatu

komunitas sosial tertentu. Dengan demikian akan mengundang persepsi orang

terhadap apa yang dilakukan orang tersebut. Ini misalnya diuangkapkan oleh WT

“ Kalau perempuan itu kerja kan dia jadi dianggap ada gitu lho dik. Jadi kalau nanti nikah dia kan tetep dianggap oleh suaminya. Ya intinya dengan kerja perempuan ki jadi terakui. Lagian kalau aku kerja semua orang jadi tau to aku bisa Bahasa Jepang, ada kepuasan juga dalam batin”(W/WT/19/04/09)

Selanjutnya dari berbagai posisi ruang kerja yang dapat diraih oleh

banyak perempuan saat ini, membawa perubahan pula pada sikap dan cara pikir

mereka. Ini seperti yang diungkapkan oleh Greenhalgh, 1985 : Salaff, 1981 dalam

Malhotra ( 1997:439 )

“ ...employement as an alternative that makes women more independent, ambitious, mobile, and free of family concern in moe modern setting “( pekerjaan sebgaai alternatif yang membuat wanita makin mandiri, ambisius, aktif, dan mampu menciptakan konsep keluarga nyaman yang modern).

Jadi dengan kerja akan membawa dampak yang besar bagi para perempuan

( khususnya perempuan lajang ) lebih memiliki kebebasan berpendapat

membentuk karakter dan sifat yang ambisius serta menjadikan seseorang memiliki

jiwa yang aktif. Kenyamaman beke;luara dalam konsep yang lebih modern.

Semua sikap ini, makin membuka angapan bahwa kerja sebagai bagian

dari hal yang mampu membentuk individu yang mandiri dan memiliki

kepercayaan tinggi atas kemampuannya, sehingga membawa dampak pada

meningkatkan otoritas keputusan . Terkait dengan hal tersebut, “ bekerja memiliki

status sebagai junior partner. Dalam tingkatan ini, hak-hak instrumental

perempuan meningkat, yang selanjutnya meningkatkan otoritas perempuan dalam

pengambilan keputusan” ( Molo, 1993 : 91). Jadi dengan bekerja, perempuan akan

Page 78: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

78

lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengembangkan otonomi bagi

keputusan yang meyangkut diri sendiri, termasuk halnya tidak menutup

kemungkinan pada keputusan untuk melakukan perkawinan.

Berbagai kasus tentang penundaan perkawinan ini, awalnya hanya dapat

kita temui di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan

maupun Jogjakarta. Namun ternyata daerah urban seperti halnya Sukoharjo pun

memiliki “nasib” yang sama. Jones ( 2004 ; 16) dalam penelitiannya pada

sebagian besar perempuan di Asia Tenggara , memberikan pandangan, bahwa

secara umum ada dua argumen yang menjadi alasan perempuan kita terkesan

menunda perkawinan.

“two argument to explain delays in marriages : one is that women have lost faith in marriage, and instead, give priority to career and independencee, and the second is taht women still want marriage, but because they potspone it too long for other priorities, they are later unable to find suitable men to marry” (ada dua argument yang menjelaskan penundaan perkawinan : pertama perempuan kehilangan waktu menikah karena mengutamakan karir dan yang kedua perempuan sebenarnya tetap ingin menikah, tetapi karena mereka lebih mengutamakan kepentingan lain dan belum menemukan laki-laki yang tepat untuk menikah)

Jadi penundaan perkawinan pada perempuan terjadi karena makin

meningkatnya aktivitas dan kesempatan kerja serta berbagai hal lain yang

menyangkut kepentingan secara pendidikan maupun kesipaan secara material.

Sehingga tidak dapat disangkal lagi, makin banyak perempuan yang akhirnya

memiliki bermacam-macam alasan sampai akhirnya mereka memutuskan untuk

melakukan perkawinan.

Kian hari, prosentase penundaan usia perkawinan bagi sebagian

perempuan lajang di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.

Dimulai pada tahun 1971 prosentase perempuan yang belum menikah dari semua

kelompok umur berjumlah sekitar 19,3 persen. Kemudian mengalami kenaikan

prosentasenya pada tahun 1980 menjadi sebanyak 20,0 persen. Dan prosentase

terbanyak terjadi pada tahun 2005 mengalami kenaikan yang cukup signifikan

menjadi 23, 4 persen. Untuk prosentase kelompok umur terbesar yang menunda

perkawinannya adalah 15-19 tahun.

Page 79: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

79

Bagi perempuan lajang khususnya otoritas pertimbangan dan pemilihan

pasangan akan terasa semakin kental. Tidak bisa dipungkiri seorang perempuan

lajang memiliki otoritas yang kuat atas dirinya sendiri sehingga dengan siapa atau

kapan dia akan melakukan perkawinan pun hal utama juga berdasarkan pada

kemauannya. Perempuan lajang menurut Suhartami ( 2002 : 36-37 ) diidentikkan

dengan perempuan yang aktif , simbol yang kuat atas modernitas yang aktif, yang

memiliki image sebagai perempuan yang menggambarkan berbagai identitas

perempuan Indonesia modern.

Perkawinan menurut WT menjadi hal yang memang diinginkannya. Tapi

untuk saat ini masih banyak hal yang harus dilakukan yang mungkin dapat

dijadikan juga sebagai salah satu dasar atau pertimbangan dalam menentukan

perkawinan. Selain itu ada semacam ketakutan baginya untuk “giving up

freedom”, yaitu melepas kebebasan yang sudah terlanjur terbentuk sebagai sistem

yang sangat baik dalam hidupnya. Sedangkan jawaban dengan nada berbeda

muncul dari Mbak FTR maupun Mbak SR. Mbak SR dengan tegas mengatakan, “

Ya kalau menunda gaklah...tapi kalau banyak pertimbangan iya“

( W/SR/26/04/09). Sedangkan menurut Mbak FTR, “ Gak nunda. Lha ngapa

nunda selax tuwa. Aku masih hanya nunggu aku ma calon suamiku mapan kerja

aja. “ ( W/FTR/17/05/09).

Keputusan menikah akan segera dilakukan oleh Mbak SR dan Mbak

FTR. Akhir tahun ini, keduanya merencanakan untuk mengakiri masa lajangnya.

Bagi Mbak SR keputusan ini membutuhkan pemikiran yang cukup sulit dan

cukup lama. Bukan karena pengaruh siapapun akhirnya dia memutuskan untuk

menikah. Faktor utama yang mempengaruhi adalah faktor usia. Usia di sini bukan

karena usianya yang dibilang sudah mapan dan pantas untuk menikah. Tetapi dia

memertimbangkan soal reproduksi.

“ untuk akhirnya memutuskan menikah bukan perkara mudah. Bagi perempuan usia 26 tahun adalah masa reproduksi yang tepat. Ya kalo habis nikah langsung dapat anak. Kalau enggak ? jadi njagani aja. Kan biar jarak sama anak enggak terlalu jauh. Kalau aku udah tua dan pensiun, trus anakku masih kecil yang mau ngasih makan trus sapa ?“ ( W/SR/26/04/09)

Page 80: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

80

Pertimbangan yang dimaksud Mbak SR berkaitan dengan perkembangan

kehidupan mendatang bagi dirinya dan anak-anaknya. Artinya pertimbangan dari

segi usia dan bagaimana pemenuhan kebutuhan hidup bagi keluarga dan

kesejahteraan bagi anak nantinya menjadi bahan pertimbangan untuk akhirnya

menentukan perkawinan.

Sedangkan untuk Mbak FTR, perkawinan pun tak pelak sudah menjadi

agendanya tahun ini. Beberapa bulan lalu acara tunangan yang diyakini sebagai

simbol ikatan awal pun sudah dilalui. Apalagi menurutnya calon suaminya pun

sudah kerja matang, “ Lha gimana. Pacarku uda lulus kuliah. Gek malah cepet

banget dadi PNS. Aku juga udah kerja. Trus nunggu apa meneh...ya modale

lumayan udah ada lah”(W/FTR/17/05/09).

Keputusan melajang memiliki konotasi yang dapat dimaknai secara

berbeda-beda. Namun secara umum melajang berkaitan dengan bagaimana cara

seseorang untuk mengatur dan menentukan hidupnya sendiri tanpa pengaruh dan

pertimbangan dari orang lain. Kebanyakan dari perempuan lajang lebih memilih

untuk menunda perkawinan, karena mereka lebih banyak memiliki waktu dan

kesempatan untuk mempertimbangkan hal-hal yang memang penting dalam

hubungannya dengan perkawinan. Mereka memiliki kekuasaan yang mutlak

terhadap diri mereka sendiri, sehingga segala apa yang mereka lakukan memang

menjadi keputusan yang harus dipikirkan matang oleh dirinya juga.

Menjadi seorang lajang dengan status belum menikah pada usia yang

memang dianggap normal dan pantas menikah, memberikan warna dan cerita

yang berbeda dalam hubunganya dengan kehidupan sosial masyarakat. Manusia

adalah makhluk sosial yang terlahir secara naluriah membutuhkan bantuan dan

pertolongan orang lain. Sehingga tidak dapat dipungkiri kelangsungan hidup

seseorang juga ditentukan bagaimana proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berada dalam suatu wilayah

tertentu kadang memiliki segenap “aturan main”, yang lantas dimaknai sebagai

aturan kultural. Untuk dapat diakui eksistensinya serta dianggap “wajar” dalam

masyarakat, orang senantiasa harus mematuhi aturan-aturan kultural tersebut, agar

Page 81: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

81

dia tetap dapat terakui dalam kelompoknya. Ini biasanya terjadi pada masyarakat

yang masih memiliki pola pikir yang rasional.

Ada berbagai aktivitas sosial, yang selalu dibungkus atas nama aturan-

aturan kultural, sama halnya dengan perkawinan. Perkawinan menjadi perkara

yang memiliki kajian yang cukup pelik dalam masyarakat. Ada sejumlah aturan di

dalamnya mulai dari menentukan kapan harus menikah, dengan siapa menikah,

prosesi atau ritual dalam perkawinan itu sendiri sampai pada bagaimana proses

hidup sesudah perkawinan tersebut banyak diliputi aturan-aturan kultural.

Untuk di Sukoharjo sendiri, sebagai daerah yang terus mengalami

perkembangan, tidak lepas dari perubahan sistem/pola-pola sosial masyarakatnya.

Terdapat pula perbedaan atau perubahan dalam menentukan usia perkawinan.

Berada dalam kawasan tempat tinggal yang cukup ramai dan cukup padat dengan

berbagai aktivitas publik, tidak membuat masyarakat memiliki pandangan yang

lebih modern. Termasuk dalam urusan memutuskan untuk melakukan

perkawinan. Dari keenam responden memberikan pernyataan yang hampir sama.

Kadang mereka mendapati pernyataan yang sedikit sumbang dari masyarakat atau

keluarga sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Mbak FTR, “ Ya gak ekstrim

sih..paling ditanya kapan nikah??selak tua lho. Tapi ne aku yo bodo amat dik “ (

W/FTR/ 17/05/09). Rata-rata usia perkawinan di daerah mereka adalah 20 tahun

bagi perempuan ataupun ketika sudah lulus kuliah, dan untuk laki-laki pada umur

23-24 tahun atau yang penting sudah bekerja.

Ketika disinggung mengenai anggapan ataupun label miring yang

mungkin dilontarkan pada keduanya sebagai perempuan tak laku atau perawaan

tua karena belum melakukan perkawinan pada usia mendekati 30 tahun, dengan

jujur keenam informan inipun mengatakan kadang memang merasa khawatir

menanggapi label seperti itu. Apalagi semua orang mengamini anggapan bahwa

perawan tua memiliki konotasi yang buruk, walaupun secara nyata tak selamanya

seperti itu. Pelabelan tersebut nantinya juga tidak hanya mengusik kehidupan

pribadinya saja, namun juga kehidupan keluarganya. Namun beruntunglah karena

mereka berada ditengah keluarga yang selalu menghormati keputusan masing-

masing anggota keluaraga lainnya. Awalnya menurut mereka orang tuanya juga

Page 82: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

82

kadang memang ribut dan seringkali mencerca dengan pertanyaan yang sama

“kapan kawin?”. Namun seiring berjalannya waktu mereka kemudian meyadari

hal tersebut menjadi urusan pribadi yang tidak berhak diatur dan dicampuri orang

lain.

Bukan hanya karena ingin terbebas dari citra negatif

masyarakat/pelabelan yag kurang menyenangkan, mereka harus mengikuti apa

yang diinginkan masyarakat termasuk halnya dalam memutuskan untuk menikah

atau tidak. Ada kalanya perlu juga untuk menutup telinga dan membiarkan orang

merasa puas membicarakan apa yang menurut mereka lemah atau buruk tentang

kita. Soal perkawinan adalah menjadi urusan yang sangat sensitif dan tidak berhak

dicampuri oleh orang lain/masyarakat lain. Kadang kita juga perlu bersikap

individual dan egois jika merasa apa yang kita lakukan memang terbaik untuk kita

dan tidak mengganggu kemaslahatan orang lain/orang banyak.

Perkawinan merupakan bagian dari kompleksitas budaya yang memiliki

nilai dan fungsi yang beraneka. Baik itu mulai dari proses ritual dari perkawinan

itu sendiri sampai pada proses yang berhubungan dengan kepentingan sosial.

Perkawinan adalah bentuk ikatan atau penyatuan antara laki-laki dan perempuan

yang menurut perkembangannya dapat dilakukan dengan negosiasi yang baik dari

kedua belah pihak yang melakukan perkawinan. Bagi perempuan lajang di

Sukoharjo, berbagai negosiasi dan kesepakatan ini yang utama adalah berkenaan

dengan hubungan antara personal pelaku perkawinan walaupun memang

hubungan antar keluarga juga menjadi bagian penting.

Dengan adanya negosiasi ini lantas perkawinan dilakukan dengan

berbagai pertimbangan yang matang. Bagi perempuan lajang yang bekerja di

Sukoharajo, pertimbangan ini lebih ditekankan pada adanya kesiapan secara

material ataupun kesiapan secara mental dan sosial. Sehingga perkawinan bukan

hanya perkara penyatuan manusia secara biologis ketika sudah memasuki usia

dewasa. Berbagai pertimbangan yang mengiringi pelaksanaan perkwinan ini

lantas membuat para perempuan seolah menunda waktu perkawinan sampai

mereka merasa sudah memiliki kesiapan secara penuh.

Page 83: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

83

Hal ini dipengarauhi oleh perkembangan pemikiran para perempuan ke

arah yag lebih kompleks. Modernktas dan feminisme secara tidak langsng

membawa pengaruh dalam membuka pemikiran perempuan akan pentingnya

berkecimpung dalam dunia kerja dan pendidikan. Lewat kerja dan pendidikan

maka perempuan akan memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan

perkawinan. Baik pertimbangan dari segi material, maupun hubungan personal

dan sosial yang semuanya dilakukan dalam rangka mewujudkan fungsi dan tujuan

perkawinan.

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dipadukan dengan analisis data pada bab

sebelumnya, maka dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkawinan menjadi bagian dari kompleksitas budaya manusia , yang menjadi

bagian pula dari siklus hidup manusia. Sebagai bagian dari siklus hidup,

perkawinan menjadi perkara krusial yang dilakukan dengan berbagai tujuan

ataupun makna yang menyertai. Sama halnya dengan ( sebagian besar)

perempuan lajang yang bekerja di wilayah kecamatan Sukoharjo. Perkawinan

menjadi hal yang krusial yang dilakukan dengan pemikiran tertentu dan

pemaknaan yang membutuhkan berbagai pertimbangan. Ada dua makna yang

diutarakan oleh keenam responden dalam memaknai perkawinan :

a. Perkawinan dimaknai sebagai penyatuan antara dua orang individu yang

akan membentuk suatu relasi sosial baru,menjadi suatu kesatuan personal

yang disepakati bersama antara laki-laki dan perempuan secara sah. Ini

berarti bahwa perkawinan adalah hubungan antara laki-laki dan

Page 84: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

84

perempuan secara sah baik lahir maupun batin yang membutuhkan

legalisasi/ legitimasi hukum tertentu, baik secara hukum negara maupun

hukum agama. Legalisasi yang dimaksud adalah adanya keabsahan

perkawinan dengan diperolehnya surat nikah yang tercatat di KUA tentang

perkawinan kedua orang laki-laki dan perempuan, dan tersimpan sebagai

arsip negara. Legitimasi perkawinan sangat penting (dalam perempuan)

karena di dalamnya terdapat pola /ikatan-ikatan tertentu yang mengatur

hubungan perkawinan tersebut. Misalnya pengaturan tentang hak dan

kewajiban suami istri, tentang pembagian harta bersama ataupun perkara

keturunan hasil perkawinan ( anak).

b. Pengertian perkawinan didefinisikan sebagai sebuah penyatuan yang

dimasuki oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan harapan dapat

membagi kehidupan secara bersama. Jadi perkawinan sebagai sarana atau

tempat untuk menyatukan dua orang individu menjadi satu kesatuan hidup

bersama dan membagi segala aktivitas hubungan perkawinan secara

bersama. Hal ini mengadung arti bahwa adanya hubungan perkawinan

mengharapkan adanya kebersamaan untuk menghindari konflik sekecil

apapun sehingga tidak akan terjadi silih pendapat yang akan mengganggu

kehidupan perkawinan dan akan lebih mudah mewujudkan tujuan yang

diinginkan.

2 Makna dan definisi perkawinan mengalami perubahan, pergeseran atau

perbedaan jika dibandingkan dengan kehidupan perempuan jaman dahulu

( dalam konteks tahun 1970-an). Perkawinan dilakukan segera ketika

perempuan telah memasuki masa dewasa yang ditandai dengan haidnya yang

pertama. Pada masa inilah perempuan dianggap telah siap secara reproduksi,

walaupun memang secara material ataupun psikis terkadang belum siap.

Namun keadaan ini mengalami perubahan. Ketika wacana tentang perempuan

mulai mengemuka, pola pikir yang kian kompleks membuat para perempuan

mulai berfikir rasional. Dengan demikian perkawinan dilakukan dengan

Page 85: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

85

berbagai pertimbangan yang memang telah dipikir secara maksimal terlebih

dahulu oleh pelakunya. Inilah mungkin salah satu hal yang menyebabkan

perempuan lajang yang sudah bekerja dianggap menunda perkawinan.

Setidaknya hal ini mereka lakukan karena beberapa hal ( atau pertimbangan ) :

a. Mulai terbukanya pendidikan yang luas, membuat banyak perempuan yang

akhirnya berlomba untuk memperoleh pendidikan tinggi, sampai pada

tingkat sarjana. Ini dilakukan karena sebagai bagian dari aktualisasi diri

dan proses untuk menemukan berbagai ilmu dan pengetahuan yang dapat

menjadi bekal kehidupan di masa datang. Jadi tidak heran jika para

informan telah menyelesaikan gelar strata satunya, bahkan ada beberapa

dari mereka yang telah memulai pendidikan magisternya. Ini menunjukkan

bahwa pendidikan menjadi salah satu hal yang kemudian dipikirkan

sebelum akhirnya memikirkan perkawinan.

b. Pekerjaan juga disinyalir sebagai hal yang menyebabkan penundaan

perkawinan. Lewat pendidikan dan bekal keterampilan yang matang,

mereka akan berusaha untuk menyalurkan berbagai keterampilannya agar

memperoleh pekerjaan yang memang sesuai. Apalagi saat ini makin

terbuka lebar kesempatan perempuan untuk bergerak dalam berbagai

bidang usaha. Mereka meyakini bahwa bekerja sebagai bagian dari

aktualisasi diri, disamping keinginan untuk memperoleh material. Ketika

perempuan telah memiliki posisi tempat kerja yang stabil atau nyaman,

maka akan terus terjadi keinginan untuk memperoleh tingkat pendidikan

yang lebih tinggi. Fokus dan optimalisasi dalam dunia kerja ini yang

menyebabkan mereka menganggap perkawinan bukan perkara yang sangat

penting untuk dipikirkan.

c. Belum menemukan pasangan atau jodoh yang tepat kadang juga menjadi

alasan klise mengapa para perempuan lajang yang bekerja tersebut masih

menunda perkawinan. Ketika pemikiran mereka berkembang maka

keinginan untuk memperoleh pasangan yang ideal pun semakin tinggi.

Akhirnya yang terjadi adalah mereka terus menyeleksi dan memilih

Page 86: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

86

pasangan yang sesuai dengan keinginan mereka. Baik itu kemapanan

secara material, maupun secara pekerjaan dan fisik.

d. Kematangan atau kesiapan diri juga menjadi alasan perempuan lajang

yang bekerja masih menunda perkawinan. Perkawinan bagi mereka tentu

akan melibatkan emosi dan proses penyatuan dan penyeimbangan yang

tidak mudah.. Sehingga persiapan secara mental atau persiapan secara

batin untuk menyandang posisi atau dunia baru ketika melakukan

perkawinan juga menjadi bahan pemikiran mereka sebelum akhirnya

memutuskan untuk melakukan perkawinan.

B. Implikasi

1. Implikasi secara teoritis

a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam tentang makna dan alasan

bagi perempuan dalam melaksanakan perkawinan. Perkawinan menjadi

hal yang dapat dinegosiasikan bersama oleh kedua belah pihak yang akan

melakukan perkawinan. Bagi perempuan masa kini, perkawinan menjadi

hal yang butuh pertimbangan yang matang, karena didalamnya terdapat

proses atau hal-hal baru yang menjadi kesepakatan bersama.

b. Menguji kebenaran serta memantapkan keberadaan teori-teori sosiologi

dan antropologi terutama yang berkaitan dengan teori tentang perkawinan

sebagai bagian dari kompleksitas budaya manusia. Yang selanjutnya tidak

hanya dikaji masalah yang berhubungan dengan tradisi, melainkan faktor

pendorong atau pelaksanaan perkawinan juga menjadi kajian yang penting

dibahas.

c. Dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti yang lain tentang berbagai

hal yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat maupun tentang

perkawinan.

2. Implikasi secara praktis

Page 87: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

87

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana baru yang dapat

dijadikan sebagai referensi dari berbagai wacana tentang perkawinan,

yang dipandang dari perspektif perempuan.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam memecahkan

berbagai permasalahan yang terkait dengan masalah perempuan,

terutama berhubungan dengan keputusan dalam melakukan perkawinan.

c. Memberikan stimulus pada masyarakat agar lebih bersikap peka dan

kritis terhadap perubahan yang terjadi, sehingga setiap masalah baru

yang muncul dari pergeseran budaya atau norma dapat ditanggapi dan

disikapi tanpa perlawanan atau hal-hal yang negatif.

d. Mengajak untuk bersikap lebih terbuka dalam menerima berbagai bentuk

wacana baru yang terjadi dalam masyarakat.

C. Saran

Dari hasil temuan dan analisis data di atas, ada beberapa hal yang dapat

dijadikan sebagai masukan, antara lain:

1. Bagi masyarakat

a. Perkawinan hendaknya dipahami tujuan utamanya sehingga proses dalam

perkawinan dan membentuk keluarga akan berjalan dengan baik

kedepannya.

b. Ketika akan melakukan perkawinan hendaknya dilakukan dengan berbagai

pertimbangan mulai dari kesiapan secara materi maupun kesiapan secara

mental.

c. Orang tua hendaknya memberikan kesempatan bagi anak untuk

menentukan sendiri pilihannya dalam menentukan pasangan hidupnya.

2. Bagi kalangan akademisi

Bagi kalangan akademisi ketika mengkaji masalah sosial hendaknya

lebih kritis dan memandang suatu fenomena dari berbagai sudut, sehingga

tidak akan timbul subjekativitas dalam memaknai suatu fenomena sosial.

Page 88: MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA/Makna... · 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak

88