MAKNA PENANDA DALAM KESENIAN MASYARAKAT SUMBAWA …eprints.unram.ac.id/11557/1/JURNAL SKRIPSI.pdfand...
Transcript of MAKNA PENANDA DALAM KESENIAN MASYARAKAT SUMBAWA …eprints.unram.ac.id/11557/1/JURNAL SKRIPSI.pdfand...
MAKNA PENANDA DALAM KESENIAN MASYARAKAT SUMBAWA
DI KECAMATAN TALIWANG KABUPATEN SUMBAWA BARAT
JURNAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana
Strata Satu (S-1) Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Oleh
HIDAYAT FIRMANSYAH
NIM. E1C114036
PROGRAM STUDI BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNVERSITAS MATARAM
2018
1
MAKNA PENANDA DALAM KESENIAN MASYARAKAT SUMBAWA
DI KECAMATAN TALIWANG KABUPATEN SUMBAWA BARAT
Oleh:
Hidayat Firmansyah
E1C 114 036
Universitas Mataram
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia Dan Daerah
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Jl. Majapahit No. 62 Mataram NTB 83125 Telp. (0370) 623873
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan makna penanda dalam kesenian
masyarakat di Sumbawa Kecamatan Taliwang Sumbawa Barat. Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan
fakta-fakta yang ada di dalam fenomena yang secara empiris di dalam hidup penuturnya.
Dalam pengumpulan data menggunakan metode simak dan teknik catat. Dalam mengalisis
data, penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil analisis data
penelitian ini disajikan menggunakan metode formal dan nonformal. Hasil penelitian ini
menunjukkan beberapa bentuk dan makna penanda di dalam kesenian yang berada di
Kecamatan Taliwang Sumbawa Barat, yakni (1) bentuk penanda (a) bangkat (sawah) di
dalam barapan kebo : memiliki bentuk penanda berbentuk persegi dengan panjang petak
sawah 50 meter dan kondisi sawahnya digenangi air keruh dan berlumpur; (b) gerak nyema di
dalam tari nguri : memiliki bentuk penanda, yaitu penari wanita yang duduk dengan rapi
sambil melakukan gerakan menyatukan kedua tangan dan menggerakkannya ke depan; (c)
dua orang petarung di dalam berampok : memiliki bentuk penanda dua orang laki-laki yang
saling berhadapan mengangkat dan mengepalkan bulir padi pada kedua tangannya yang
menunjukan sifat saling menantang. (2) Makna penanda dalam kesenian yang berada di
kecamatan Taliwang Sumbawa Barat, yakni (a) noga di dalam barapan kebo memiliki
makna, yaitu „sebuah alat‟ untuk menyatukan pasangan kerbau dan penghubung kareng di
dalam barapan kebo; (b) nyema di dalam tari nguri : memiliki makna, yaitu „gerakan tari‟
sebagai bentuk penghormatan dan pemberian persembahan; (c) padi di dalam berampok :
memiliki makna, yaitu „sebuah alat’ untuk pelapis atau pembalut pada kedua tangan petarung
sebagai pengaman untuk memukul.
Kata Kunci: kesenian Sumbawa, bentuk penanda, makna penanda
2
THE MEANING OF MARKER ART IN THE PEOPLE IN THE
TALIWANG DISTRICT OF WEST SUMBAWA DISTRICT
By:
Hidayat Firmanyah
E1C 114 036
ABSTRACT
This study aims to describe the markers in the arts in the Taliwang Sumbawa Barat sub-
district which are related to: (1) the shape of the marker, and (2) the meaning of the marker.
This study uses a descriptive qualitative research type, which is research based solely on facts
that are in a phenomenon that empirically lives on the speaker. The data in this study are data
in the form of symbols or symbols obtained from videos and photos then collected using the
note and technique of note taking. Data analysis methods and techniques in this study use
qualitative analysis methods. The results of data analysis in this study are presented using
formal and non-formal methods. The results of this study indicate several forms and
meanings of markers in art in Taliwang West Sumbawa sub-district, namely (1) (a) noga
marker form in barapan kebo: has a wooden marker shaped instrument resembling a stick
and tied over both buffalo necks ; (b) the motion of the echo in the nguri dance: has a marker
form, that is a female dancer who sits neatly while doing movements to unite both hands and
move them forward; (c) rice in a berampok: has a marker of a plant that grows in the rice
field. (2) The meaning of the markers in art in the Taliwang Sumbawa Barat sub-district,
namely (a) noga in the barapan kebo: has meaning, namely as a tool to unite buffalo pairs and
chain linkages in the kebo barracks; (b) the motion of nyema in nguri dance: has meaning,
namely a form of respect and giving offerings; (c) rice in a berampok: meaning that is a
coating or bandage on both fighter's hands as a safety to hit.
Keywords: Sumbawa art, form signifier, mean signifier
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesenian merupakan salah satu
unsur budaya universal yang menjadi
cerminan dari peradaban manusia.
Macaryus (2008:105-106) mengatakan
bahwa dalam komunitas masyarakat
sederhana, seni cenderung dipandang
sebagai ekspresi dan produk budaya
yang berkaitan dengan sistem sosial
masyarakat. Pendapat ini sesungguhnya
terkait dengan seni yang mengandung
nilai-nilai dan pengalaman estetika
yang diwujudkan dalam perilaku atau
aktivitas berkesenian yang
dikembangkan oleh masyarakat di
Kecamatan Taliwang Sumbawa Barat.
Budaya kesenian Sumbawa
merupakan salah satu bagian budaya
nasional yang keberadaannya masih
bertahan sesuai dengan perkembangan
zaman. Budaya kesenian yang ada di
Sumbawa dibangun oleh solidaritas,
filsafat, estetika, dan religius. Budaya
kesenian masyarakat Sumbawa terus
turun-temurun melekat di dalam
masyarakat dan berkembang hingga
masih bertahan di salah satu kecamatan
yang ada di Sumbawa, yaitu Kecamatan
Taliwang.
Makna budaya kesenian yang
digunakan oleh masyarakat Sumbawa
dalam berinteraksi merupakan ide,
gagasan, dan konsep hasil nilai dan
norma budaya yang dimiliki masyarakat
Sumbawa. Penanda tersebut
direalisasikan dengan tujuan
mengetahui suatu tanda dari kegiatan
yang akan dirayakan atau dilaksanakan.
Dengan kata lain, masyarakat di
Kecamatan Taliwang akan tahu tentang
penanda sehingga dapat diketahui
bentuk dan makna yang terkandung di
dalam suatu kegiatan budaya kesenian.
Adapun segala kegiatan kesenian
yang terjadi di dalam masyarakat
Sumbawa selalu ditandai oleh kebiasan
masyarakat yang membudaya, seperti
(a) kerapan menandakan masyarakat
akan menyambut musim tanam padi,
(b) berampok (tinju) menandakan
musim panen tiba dan ajang
pembuktian jawarah atau terhebat, (c)
ngumang menandakan awal dimulainya
sebuah pertunjukan , (d) gong genang
menandakan bahwa ada acara syukuran
baik acara syukuran pernikahan atau
sunatan, (e) sakeco menandakan bahwa
adanya kegiatan seni pertunjukan.
Biasanya sakeco ini sebagai
penghiburan dalam suatu kegiatan
acara, (f) lawas sama juga dengan
sakeco, lawas ini menandakan adanya
kegiatan seni pertunjukan dalam suatu
acara, (g) tari nguri sebuah kegiatan
seni tari dalam pembukaan menyambut
tamu, (h) tari tanjung menangis sama
dengan tari nguri, tar tanjung menangis
sebuah kegiatan seni tari yang berasal
dari cerita rakyat masyarakat Sumbawa.
Berdasarkan beberapa kesenian di
atas, penulis memutuskan memilih tiga
kesenian yaitu (1) barapan kebo, (2)
berampok, dan (3) tari nguri, ketiga
kesenian ini sangat menarik untuk
dikaji. Dalam ketiga kesenian ini
terdapat berbagi alat dan perlengkapan
yang digunakan saat kegiatan akan
berlangsung serta gerakan indah yang
memiliki makna dalam setiap
gerakannya.
4
Penulis menyimpulkan bahwa
dalam kesenian di kecamatan Taliwang
Kabupaten Sumbawa barat ini
menggunakan berbagai alat
perlengkanpan guna melengkapi
kegiatan kesenian tersebut serta gerakan
indah yang diiringi dengan musik khas
Sumbawa. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk mengangkat kesenian di
kecamatan Taliwang Kabupaten
Sumbawa Barat yang berjudul, Makna
Penanda Dalam Kesenian Yang Berada
di Kecamatan Taliwang Sumbawa
Barat. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan teori semiotika dari
Ferdinand de Saussure, karena peuluis
ingin mengkaji tentang makna penanda
dalam kesenian. Teori Ferdinand de
Sausure ini mengkaji tentang pennda
sebagai bentuk dan petanda sebagai
makna.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka permasalahan yang akan dikaji
yaitu:
1. Bagaimanakah bentuk penanda
dalam kesenian masyarakat
Sumbawa di Kecamatan Taliwang
Sumbawa Barat ?
2. Bagaimanakah makna penanda
dalam kesenian masyarakat
Sumbawa di Kecamatan Taliwang
Sumbawa Barat ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut
, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini yaitu ;
1. Mendeskripsikan bentuk penanda
dalam kesenian masyarakat
Sumbawa di Kecamatan Taliwang
Sumbawa Barat.
2. Mendeskripsikan makna penanda
dalam kesenian masyarakat
Sumbawa Kecamatan Taliwang
Sumbawa Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah
diharapkan dapat menambah pengetahuan
tentang budaya kesenian di Taliwang dan
menjadi referensi penelitian dalam bidang
semantik.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Dapat dijadikan bahan referensi
dalam rangka mempertahankan
budaya kesenian di Taliwang, dan
menumbuhkan rasa cinta kepada
kebudayaan;
2) Dapat menjadikan upaya dalam
mempertahankan adat dan budaya
kesenian yang mengalami
kemunduran.
1.5 Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup penelitian
ini adalah kesenian barapan kebo,
berampok, dan tari nguri. Dalam penelitian
ini konsep penanda mengacu pada
nonverbal.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Relevan
Penelitian mengenai Makna
Penanda Dalam Kesenian Masyarakat
Sumbawa di Kecamatan Taliwang
Sumbawa Barat pernah dilakukan oleh
penelitian lain. Namun, sebagai rujukan
penulis mengacu pada penelitian terdahulu
yang objek pembahasannya tentang makna
penanda, seperti penelitian yang dilakukan
oleh Kasadana (2016) dengan judul
“Makna Budaya dalam Ungkapan Bahasa
5
Sumbawa Besar Sebuah Kajian
Etnolinguistik”. Kemudian, Melati (2016)
dengan judul “Makna Simbol-Simbol
Budaya dalam Prosesi Adat Pernikahan
di Kabupaten Dompu Kajian Semiotika
(Roland Barthes)”. Penelitian ini
menaruh perhatian pada masalah makna
penanda dalam kesenian masyarakat
Sumbawa di Kecamatan Taliwang
Sumbawa Barat
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Makna dalam Sistem Tanda
1) Teori-teori makna
Ada beberapa yang menjelaskan
ihwal teori atau konsep makna. Model
proses makna Wendell Johnson 1951
(dalam Sobur, 2003:158) menawarkan
sejumlah implikasi bagi komunikasi
antarmanusi:
a. makna ada dalam diri manusi.
b. Makna berubah. Kata-kata relatif
statis.
c. Makna membutuhkan acuan.
d. Penyingkatan yang berlebihan akan
mengubah makna.
e. Makna tidak terbatas jumlahnya.
f. Makna dikomunikasikan hanya
sebagian.
2) Makna dalam sistem tanda
Dalam keseluruhan sistem tanda,
keberadaan makna sangat ditentukan
oleh karakteristik setiap unsur
pendukung sistem yang membangun
sistem tanda itu sendiri. Perubahan
abstraksi buni p-e-p-o-h-o-n-a-n
menjadi p-e-r-m-o-h-o-n-a-n
menyebabkan perbedaan signifie,
perbedaan abstraksi bunyi h-u-j-a-n
dari pemakai yang berbeda-beda dapat
menimbulkan asosiasi dunia luar yang
berbeda-beda pula, seperti „air yang
jatuh dari langit‟, dimaknai sebagai
„rahmat‟, „hambatan‟ dan sebagainya.
Pengubahan pola struktur kalimat
sebagai bagian dari sistem
kebahasaan, pengunaan sistem kode
maupun wujud ujaran, juga sangat
menentukan aspek makna maupun isi
pesan yang akan disampaikan. Dalam
hal demikian itulah sebenarnya
seseorang perlu menggunakan bahasa
secara cermat agar pesan yang ingin
disampaikan juga terpaparkan secara
tepat (dalam Aminuddin, 2015:79).
3) Ragam makna dalam pemakaian
Makna kata yang masih
menunjuk pada acuan dasarnya sesuai
dengan konvensi yang telah disepakati
bersama disebut makna denotatif atau
makna dasar. Sesdangkan makna kata
yang telah mengalami penambahan
terhadap makna dasarnya disebut
makna konotatif atau makna
tambahan. J.S. Mill (1843) dalam hal
ini memberikan contoh, kata putih,
misalnya memiliki warna dasar
„warna‟ seperti yang dimiliki salju,
kertas, atau mungkin kemilauannya
air. Akan tetapi, kata putih ternyata
juga dapat diacukan pada makna yang
lain, misalnya „kesucian‟. Acuan
makna kata yang pertama merupakan
contoh dari makna dasar, sedangkan
yang kedua contoh dari makna
tambahan.
Pemberian mankna referensial
suatu kata pada sisi lain tidak dapat
dilepaskan dari pemahaman pemberi
makna itu sendiri terhadap ciri referen
6
yang diacu. Referen yang dinamai
kambing, misalnya dapat diberi ciri
“hewan berkaki empat”, “hewan
berbulu”, “hewan yang berbau tidak
sedap”, dan sebagainya. Pada sisi lain,
kata kambing secara subjektif dapat
juga diacukan pada makna tertentu.
kalimat dalam bahasa Jawa dialek
Malang misalnya, Wedhus iku
laoporene „kambing itu kenapa ke
sini‟, kata Wedhus „kambing‟ di situ
mungkin mengandung makna “anak
yang berbau tidak sedap”, bandot tua”,
“anak yang tidak disenangi”, dan
sebagainya (dalam Aminuddin,
2015:89).
Karena sifatnya subjektif, maka
pemberian makna itu sangat
ditentukan oleh motivasi, minat,
maksud, maupun tujuan pemakainya.
Makna yang ditentukan oleh unsur-
unsur tersebut diistilahkan makna
intensional. Lyons mengungkapkan
adanya aspek semantis yang telah
berada dalam suatu satuan gagasan,
yakni (1) makna deskriptif, yaitu
apabila makna itu memberikan suatu
fakta, misalnya bandung hampir setiap
hari beerkabut, (2) makna sosial,
misalnya makna dalam ujaran, silakan
mampir, serta (3) makna ekspresif,
yakni makna yang ditentukan oleh
unsur-unsur subjektif pemakainya
(Lyons, 1979, dalam Aminuddin,
2015:90).
2.2.2 Semiotika
Semiotika mengeksplorasi
bagaimana makna yang terbangun oleh
teks telah diperoleh melalui penataan
tanda dengan cara tertentu dan melalui
penggunaan kode-kode budaya
(Barker, 2004, dalam Vera, 2014:2).
Menurut Culler (1981), semiotika
adalah instrumen pembuka rahasia teks
penandaan, karena semiotika adalah
puncak logis dari apa yang disebut
Derrida sebagai “logosentrisme”
(dalam Vera, 2014:2)
Semiotika memeiliki daya tarik
tersendiri dalam sebuah penelitian
karena semiotika memiliki jangkauan
yang cukup luas dalam wilayah kajian
yang aplikatif, dan tersebar pada
beberapa disiplin ilmu. Semiotika
dapat diterapkan pada bidang ilmu
komunikasi, arsitektur, kedokteran,
sastra dan budaya, biologi, seni dan
desain,sosiologi, antropologi,
linguistik, psikologi, dan lain-lain
(dalam Vera, 2014: 10).
Kajian semiotika sampai sekarang
telah membedakan dua jenis semiotika,
yakni semiotika komunikasi dan
semiotika signifikasi. Yang pertama
menekankan pada teori tentang
produksi tanda yang salah satu di
antaranya mengasumsikan adanya
enam faktor dalam komunikasi, yaitu
pengirim, penerima kode (sistem
tanda), pesan, saluran komunikasi, dan
acuan (hal yang dibicarakan). Pada
jenis kedua, tidak dipersoalkan adanya
tujuan berkomunikasi. Sebaliknya,
yang diutamakan adalah segi
pemahaman suatu tanda sehingga
proses kognisinya pada penerima tanda
lebih diperhatikan dari pada proses
komunikasinya (dalam Sobur,
2003:15).
Tradisi semiotika tidak pernah
menganggap terdapatnya kegagalan
pemaknaan, karena setiap pembaca
mempunyai pengalaman budaya yang
relatif berbeda, sehingga pemaknaan
7
diserahkan kepada pembaca. Dengan
demikian, istilah kegagalan
komunikasi tidak peernah berlaku
dalam tradisi ini karena setiap orang
berhak memaknai teks dengan cara
yang berbeda. Maka makna menjadi
sebuah pengertian cair, tergantung
pada frame budaya pembacanya (John
Fiske, dalam Vera, 20014:8)
Tanda-tanda (signs) adalah basis
dari seluruh komunikasi (Littlejohn,
1996, dalam Sobur, 2003:15). Manusia
dengan perantaraan tanda-tanda, dapat
melakukan komunikasi dengan
sesamanya.
Menurut Ferdinand de Saussure,
tanda/simbol bersifat arbitari, yaitu
tergantung impuls (rangsangan)
maupun pengalaman personal
pemakainya. Berdasarkan pandangan
Saussure, dalam satu sistem
penandaan, tanda merupakan bagian
tak terpisahkan dari sistem konvensi.
Sifat arbitari ini, menurut Saussure
artinya tidak ada hubungan alamiah
antara bentuk (penanda) dengan makna
(pertanda). Namun, penggunaan
bahasa tidak sepenuhnya arbitari,
karena itu tergantung pada kesepakatan
antar pengguna bahasa (dalam Vera,
2014:18)
Prinsip dari teori Saussure ini
mengatakan bahwa bahasa adalah
sebuah sistem tanda, dan setiap tanda
itu tersusun dari dua bagian, yakni
signifier (penanda) dan signified
(pertanda) (Kelan, 2009, dalam Vera,
2014:19).
Penanda adalah bentuk-bentuk
medium yang diambil oleh suatu tanda,
seperti sebuah bunyi, gambar, atau
coretan yang membentuk kata disuatu
halaman, sedangkan pertanda adalah
konsep dan makna-makna. Hubungan
antara bunyi danb bentuk-bentuk
bahasa atau penanda, dengan makna
yang disandangya atau pertanda, bukan
merupakan hubungan yang pasti harus
selalu demikian. Penanda dan pertanda
merupakan kesatuan, seperti dua sisi
dari sehalai kertas. Jadi, meskipun
antara penanda dan pertanda tampak
sebagai entitas yang terpisah, namun
keduanya hanya ada ebagai komponen
tanda (dalam Vera, 2014:20).
2.2.3 Seni Sebagai Unsur
Kebudayaan
Berbicara kesenian, tidak dapat
dilepaskan dari konteks kebudayaan
yang menjadi kesatuannya. Keterkaitan
ini disebabkan karena kesenian
merupakan salah satu di antara unsur
kebudayaan yang bersifat universal.
Jadi sekecil apapun kebudayaan suatu
suku bangsa unsur kesenian ada di
dalamnya.
Seni merupakan unsur yang sangat
penting yang memberi wajah
manusiawi, unsur-unsur keindahan,
kelarasan, keseimbangan, perspektif,
irama, harmoni, proporsi, dan
sublimasi pengalaman manusia pada
kebudayaan dan tanpa nilai-nilai itu
manusia akan jatuh ke kekuasaan saja
(Lubis, 1992:83).
Kesenian adalah konsep gaya seni
atau style of art. Bagaimanapun yang
akan dilihat perkembangannya adalah
pada pertamanya gaya seni itu.
Sesudah itu dalam rangka mencari
penjelasan atau memilih aspek untuk
8
menjelaskan mengenai gaya seni
(Sedyawati, 2006:124)
Kesenian sebagai salah satu aspek
kebudayaan memiliki arti penting
dalam kehidupan masyarakat. Seni dan
masyarakat tidak dapat dipisahkan,
masyarakat dan seni bersumber dari
hubungan antara manuia dengan
lingkungannya. Oleh sebab itu, sejarah
telah membuktikan bahwa tidak ada
masyarakat tanpa seni, karena seni
selalu hadir dalam kehidupan manusia
dan mempunyai peranan yang sangat
penting (dalam Koentjaraningrat,
2002: 200).
Koentjaraningrat (2002)
mengatakan bahwa kebudayaan itu
hanya dimiliki oleh manusia dan
tumbuh dengan berkembangnya
masyarakat. Dalam rangka
memahaminya, Koentjaraningrat
menggunakan sesuatu yang disebut
“kerangka kebudayaan”. Kerangka
kebudayaan ini memiiki dua aspek
tolak. Kedua aspek tolak tersebut, yaitu
wujud kebudayaan dan isi kebudayaan.
Yang disebut dengan wujud
kebudayaan berupa: (a) wujud
gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau
benda. Ketiga wujud itu secara
berurutan disebut juga (a) sistem
budaya, yang bersifat lumayan abstrak;
(b) sistem sosial, yang bersifat konkret;
dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat
sangat konkret. Adapun isi kebudayaan
itu terdiri atas tujuh unsur yang bersifat
universal. Artinya, ketujuh unsur
tersebut terdapat di dalam setiap
masyarakat yang ada di dunia ini.
Ketujuh unsur tersebut, yaitu (1)
bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem
mata pencaharian hidup atau ekonomi,
(4) organisasi sosial, (5) sistem
pengetahuan, (6) sistem religi, dan (7)
kesenian. Kesenian terdiri dari (a) seni
patung, (b) seni relief, (c) seni lukis
dan gambar, (d) seni seni rias, (e) seni
vokal (f) seni instrumental, (g) seni
kesusastraan, (h) seni drama (dalam
Chaer & Leonie, 2010: 154-156).
Dalam bukunya Koentjaraningrat
(2002:380-381) menjelaskan bahwa
kesenian terbagi menjadi dua; seni
rupa dan seni suara. Seni rupa adalah
kesenian tentang menggambar, lukis,
atau kesenian yang dinikmati
menggunakan mata. Sedangkan seni
suara jelas dinikmati melalui indra
pendengaran.
2.2.4 Hubungan Bahasa dan Kebudayaa
Bahasa dan kebudayaan
merupakan dua sistem yang “melekat”
pada manusia. Dengan kata lain,
hubungan yang erat itu berlaku bahwa
kebudayaan merupakan sistem di
dalam mengatur interaksi manusia,
sedangkan kebahasaan merupakan
sistem yang berfungsi sebagai sarana
keberlangsungan sarana tersebut.
Pendapat yang mengatakan
bahasa dan kebudayaan suatu sistem
yang tidak dapat dipisahkan
ditegaskan lagi oleh Silzer di dalam
Chaer & Agustina (2010: 166), yaitu
bahasa dan kebudayaan merupakan
dua fenomena yang terikat, bagai dua
anak kembar siam, atau sekeping mata
uang yang pada satu sisi berupa sistem
bahasa dan pada sistem yang lain
berupa sistem budaya. Dengan
demikian, sesuatu yang tampak di
dalam budaya akan tercermin di dalam
bahasa. Begitu pula sebaliknya.
Di sisi lain, Edward Sapir dan
Benjamin Lee Whorf (di dalam Chaer
9
& Agustina, 1995:219) yang begitu
kontroversial dari hipotesisnya
menyatakan bahwa bahasa
mempengaruhi kebudayaan. Di dalam
hipotesis ini dikemukakan bahwa
bahasa bukan hanya menentukan
corak budaya, melainkan juga
menentukan cara dan jalan pikiran
manusia. Dengan kata lain, suatu
bangsa yang berbeda bahasanya dari
bangsa lain, akan mempunyai corak
budaya dan jalan pikiran yang berbeda
pula. Jadi, perbedaan-perbedaan
budaya dan jalan pikiran manusia itu
bersumber dari perbedaan bahasa.
Apabila bahasa itu mempengaruhi
kebudayaan dan jalan pikiran
manusia, maka ciri-ciri yang ada di
dalam suatu bahasa akan tercermin di
dalam sikap dan budaya penuturnya.
2.2.5 Konsep-konsep Kajian Budaya
Dalam kebudayaan meliputi
praktek-praktek budaya, representasi,
bahasa dan kebiasaan-kebiasaan suatu
masyarakat tertentu. Konsep-konsep
kunci di dalam kajian budaya menurut
Barker (2012: 7-10) sebagai berikut.
1) Praktek-praktek budaya (sinifying
practices) dalam masyarakat yang
menghasilkan makna. Budaya yang
dimaksudkan adalah makna sosial
yang dibagi, yakni bagaimana
dunia (dan kehidupannya)
dimaknai.
2) Representasi. Pertanyaan dasar
studi-studi budaya adalah pada
representasai-representasi, yakni
„bagaimana dunia dikonstruksi
secara sosial dan direpresentasikan
kepada kita di dalam cara-cara
yang bermakna‟.
3) Materialismedan Nonreductionism.
Kajian budaya mengembangkan
kajian-kajian yang mengarah
kepada bentuk-bentuk materialisme
budaya yang menekankan kajian
„bagaimana dan mengapa makna-
makna dihasilkan seperti itu di
dalam kondisi atau pada saat
diproduksi‟.
4) Artikulasi. Kajian budaya juga
memilih menggunakan konsep
„artikulasi‟. Konsep artikulasi
adalah konsep yang mengupayakan
melakukan representasi/ekspresi
dan membawa bersama atau
„putting together‟.
5) Kekuasaan (power). Konsep
„kekuasaan‟ bagi kajian budaya
merupakan sentral pertanyaan di
dalam studi-studinya. Kekuasaan
selalu berada pada setiap tingkatan
hubungan sosial.
6) Budaya populer. Kajian budaya
melihat budaya popular sering
dijadikan dasar kajiannya. Budaya
pop yang diproduksi
mengahasilkan banyak praktek
proses produksi makna yang
beragam.
7) Teks dan pembaca/penonton. Teks
merupakan bentuk representasi
yang polysemic atau mempunyai
makna yang lebih dari satu atau
tidak tunggal. Sehingga kajian
budaya perlu memperhatikan
pembaca atau audiens sebagai
bagian penting yang menyebabkan
„teks itu bekerja‟ (texts work).
Audiens menjadi penting, karena ia
melihat proses makna diproduksi
dan cara makna diproduksi dalam
10
hubungan antara teks itu sendiri
dan audiens. Momen konsumsi teks
lalu menjadi penting sebagai
momen produksi yang sangat
bermakna.
8) Subjektivitas dan identitas. Momen
konsumsi teks yang dilakukan oleh
audiens (pembaca maupun
penonton) merupakan proses yang
dibentuk oleh subjektivitas dan
identitas lalu menjadi isu sentral
kajian budaya pada tahun 1990-an.
2.2.6 Simbol
Menurut Depdikbud (1984) (dalam
Nurul, 2015:29) simbol atau lambang
adalah sebagai sesuatu hal yang atau
keadaan yang merupakan pengantar
pemahaman terhadap obyek. Dengan
demikian simbol merupakan
penggambaran suatu obyek. Lambang atau
simbol mempunyai suatu fungsi sebagai
media untuk berkomunikasi dengan
sesamanya. Sesungguhnya lambang-
lambang yang dikembangkan oleh
manusia tidak hanya mempunyai arti
sebagaimana terkandung di dalamnys,
akan tetapi yang lebih penting adalah
dayanya. Lambang tidak sekedar
menunjukan ide tetapi juga mempunyai
kekuatan sebagai perangsang. Jadi
lambang bagi manusia pendukungnya
tidak sekedar mengandung makna, akan
tetapi ia mengandung arti apa yang
dilaksanakan orang dengan makna
tersebut.
Secara etimologis, simbol (symbol) berasal
dari kata Yunani “sym-ballein” yang
berarti melemparkan suatu (benda atau
perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide.
Biasanya simbol tetjadi berdasarkan
metonimi, yakni nama untuk benda lain
yang berasosiasi atau yang menjadi
atributnya, misalnya Si kaca mata untuk
seseorang yang berkaca mata. Dan
metafora, yaitu pemakaian kata atau
ungkapan lain untuk objek atau konsep
lain berdasarkan kias atau persamaan,
misalnya kaki gunung, kaki meja,
berdasarkan kias pada kaki manusia
(Kridalaksana, 2001 dalam Sobur,
2003:155).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Menurut
Sudaryono di dalam Muhammad (2011:
180) penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang semata-mata hanya
berdasarkan fakta-fakta yang ada di
dalam fenomena yang secara empiris
hidup pada penuturnya. Sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa
varian bahasa yang bisa dikatakan
sifatnya seperti potret atau paparan
seperti apa adanya.
3.2 Jenis Data dan Sumber Data
3.2.1 Jenis Data
Adapun jenis data yang akan
dianalisis di dalam penelitian ini berupa
simbol atau lambang dalam kesenian
masyarakat di Kecamatan Taliwang
Sumbawa Barat.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data penelitian ini
diperoleh dari video dan foto atau
gambar tentang kesenian di Kecamatan
Taliwang Sumbawa Barat.
11
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan
Data
Pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan metode
simak, Metode penyediaan data ini
diberi nama metode simak karena cara
yang digunakan untuk memperoleh
data dilakukan dengan menyimak
penggunaan bahasa. Istilah menyimak
di sini tidak hanya berkaitan dengan
penggunaan bahasa secara lisan, tetapi
juga penggunaan bahasa secara
tertulis (dalam Mahsun, 2013: 92).
Metode simak adalah metode yang
digunakan untuk memperoleh data
dengan melakukan penyimakan
terhadap penggunaan bahasa.
Di dalam pemakaian metode ini
lebih ditekankan pada teknik
menyimak simbol atau lambang pada
kesenian di Sumbawa Barat dalam
video yang telah dijadikan sumber
data. Dalam menyimak, peneliti
menggunakan teknik lanjutan yaitu
teknik catat. Teknik catat dalam
penelitian ini, yaitu mencatat data
yang relevan dengan data yang
diinginkan dalam penelitian, berupa
simbol-simbol dalam budaya
kesenian masyarakat Sumbawa Barat.
3.4 Teknik Analisis Data
Setelah pengumpulan data tentang
kesenian di Kecamatan Taliwang, lalu
akan dianalisis menggunakan metode
analissis deskriptif kualitatif. Analisis
kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu
analisis berdasarkan data yang di
peroleh, selanjutnya dikembangkan
menjadi hipotesis (dalam Sugiyono,
2014:89). Dalam menganalisis penanda
pada kesenian akan digunakan model
dalam bidang semiotik.
3.5 Teknik Penyajian Data
Hasil analisis data penelitian ini
akan disajikan dengan dua cara, yaitu
menggunakan metode formal dan
metode informal. Metode formal adalah
metode penyajian hasil analisis data
menggunakan rumusan tanda dan
lambang (Mahsun, 2012:279). Tanda
yang dimaksud adalah tanda kurung
biasa ( ), tanda kurung siku [ ], dan
lain-lain. Adapun metode informal,
yaitu rumusan dengan kata-kata biasa,
termasuk terminologi yang bersifat
teknis.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Makna Penanda dalam Kesenian
Masyarakat di Kecamatan
Taliwang Sumbawa Barat
Analisis tentang makna penanda
kesenian barapan kebo, tari nguri, dan
berampok tersebut akan dijelaskan di
bawah ini.
4.1.1 Makna Penanda Barapan Kebo
Dengan menggunakan teori
semiotika dari Ferdinand de Saussure,
dapat disimpulkan makna yang
terkandung dalam permainan barapan
kebo ini menghasilkan sebuah makna
konseptual, yaitu merupakan makna
yang sesuai dengan konsep ataupun
pikiran pamakainya.
Dalam permainan barapan kebo ini
ada sepasang kerbau yang merupakan
simbol hewan pacuan. Sepasang kerbau
ini nantinya akan dihiasi dengan
perhiasan pada kepala dan tanduknya,
perhiasan ini merupakan simbol
ketangguhan. Dalam permainan ini
membutuhkan bangkat (sawah) yang
12
merupakan simbol suatu arena dalam
barapan kebo. Setelah sepasang kerbau
telah terpilih dan bangkat (sawah) telah
siap, permainan ini selanjutnya
memerlukan noga, kareng, dan mangkar
yang merupakan simbol sebuah alat yang
harus ada pada barapan kebo. Tidak
hanya alat-alat tersebut saja yang perlu
dipersiapkan, ada juga peralatan lainnya
yang harus ada dalam permainan
barapan kebo. Peralatan tersebut adalah
bendera yang merupakan simbol pemberi
aba-aba atau pemberi tanda dalam
barapan kebo. Selain bendera ada juga
saka yang merupakan simbol tujuan
yang harus dituju oleh kerbau. Saat
barapan kebo telah dimulai akan ada
sandro (dukun) yang akan menggangu
joki (pengendara) dan kerbaunya.
Makna yang terkandung di sini
adalah bahwa dalam mensyukuri nikmat
Tuhan terhadap sektor pertanian karena
musim tanam akan segera datang,
masyarakat Sumbawa Kecamatan
Taliwang mengadakan permainan
barapan kebo sebagai hiburan dalam
menyambut musim tanam. Pada
permaianan ini ada sepasang kerbau
yang akan dijadikan hewan pacuan.
Kerbau yang awalnya digunakan untuk
membajak sawah, kini dijadikan hewan
pacuan yang akan diadu kecepatannya
dalam berlari. Kerbau yang digunakan
bukanlah sembarang kerbau, kerbau
harus diseleksi terlebih dahulu. Dalam
memilih kerbau untuk dijadikan hewan
pacuan harus memiliki ciri-ciri khusus
berupa pusaran pada bulunya itu berada
pada bagian tengkuk. Kepala kerbau
selalu memandang tegak ke depan, dan
tanduknya tumbuh sempurna
melengkung ke atas. Setelah kerbau
terpilih, selanjutnya akan dihiasi dengan
perhiasan pada kepala dan tanduknya,
hal ini bertujuan agar kerbau yang
terpilih terlihat tangguh dan gagah.
Pada saat mengadakan suatu acara
pasti terlebih dahulu menentukan tempat
atau lokasi. Sama seperti permainan
barapan kebo ini memerlukan arena
untuk mengadakannya. Bangkat (sawah)
yang awalnya dijadikan lahan pertanian
kini berganti menjadi tempat atau arena
dilaksanakannya pacuan kerbau.
Dipilihnya bangkat (sawah) menjadi
tempat atau arena barapan kebo karena
berniat untuk mengelolah tanah pada
bangkat agar dapat diupayakan sebaik-
baiknya.
Dalam melaksanakan permainan
barapan kebo memerlukan bantuan dari
alat-alat untuk membantu kerbau agar
dapat berlari dengan cepat dan
bersamaan. Alat-alat tersebut adalah
noga, kareng, dan mangkar atau uwe.
Ketiga alat tersebut akan membantu
kerbau agar berlari dengan cepat secara
bersamaan. Noga ini akan menyatukan
sepasang kerbau dengan cara
mengikatnya pada bagian atas leher
kerbau. Tujuan noga ini adalah supaya
ketika sepasang kerbau ini berlari
mereka tidak akan terpisah melainkan
berlari secara beriringan. Kareng ini
digunakan sebagai tempat berdirinya
joki, kareng disediakan agar ada tempat
joki berdiri dan berpijak dalam
mengendarai kerbau. Kareng juga
digunakan dengan tujuan agar tanah
pada sawah menjadi gembur dan dapat
diupayakan dalam menanam padi.
Selanjutnya ada mangkar atau uwe, alat
ini bertujuan untuk memicu sepasang
kerbau agar berlari dengan cepat.
Dengan adanya alat ini kerbau akan
13
berpacu dengan cepat karena terus
dipukul.
Dalam mengawali barapan kebo
diperlukan aba-aba atau tanda
memulainya, agar permainan
berlangsung dengan aman, sesuai aturan
dan tertib. Dalam memberi aba-aba
untuk memulai balapan digunakan
bendera, panitia akan menggerakkan
bendera agar kerbau pacuan mulai
berlari dan akan menggerakkannya lagi
saat kerbau berhasil megenai atau
menabrak saka. Saka ini merupakan
tujuan akhir dari barapan kebo, saka
merupakan tujuan yang harus dituju oleh
kerbau. Dalam menuju saka, kerbau dan
joki akan di ganggu oleh sandro, ia akan
menggunakan segala cara agar
menggangu kerbau dan joki agar tidak
dapat mengenai saka walaupun
menggunakan ilmu hitam. Akan tetapi
pada pihak joki juga memiliki sandro,
sehingga akan saling adu ilmu antara
sandro saka dan sandro joki.
Makna yang dapat diambil pada
seni permainan barapan kebo ini adalah
bahwa proses mencapai tujuan yang baik
itu tidak mudah, kadang kita akan terus
berhadapan dengan berbagai masalah
yang menghadang. Tetapi dengan
berbagai masalah yang menghadang itu,
kita tidak boleh menyerah dan bekerja
keras dalam berusaha berusaha, karena
dalam mencapai tujuan yang baik akan
diberi bantuan dari Tuhan atau dari
makhluk lainnya. Sama seperti pada
permainan barapan kebo ini, denagan
bertujuan untuk menjadikan tanah pada
sawah agar bagus dan dapat diupayakan
dengan baik memerlukan bantuan dari
kerbau dan sebuah alat untuk menggarap
sawah. Dalam mencapai tujuan musim
panen dengan menghasilkan kualitas
padi yang bagus tidaklah mudah, kadang
akan datang berbagai masalah, seperti
gangguan dari hama-hama tikus dan
kekurangan air irigasi. Maka dari itu kita
harus busahadan terus kerja keras dalam
mengatasi malasah-masalah tersebut.
4.1.2 Makna Penanda Tari Nguri
Dengan menggunakan teori semiotika
dari Ferdinand de Saussure, dapat
disimpulkan makna yang terkandung
dalam kesenian tari nguri ini
menghasilkan sebuah makna
konseptual, yaitu merupakan makna
yang sesuai dengan konsep ataupun
pikiran pamakainya.
Tari nguri adalah seni pertumjukan
yang wajib di Sumbawa. Dalam tari
nguri ini terdiri dari beberapa gerakan,
yaitu gerak nyema‟ merupakan simbol
penghormatan. Dan gerakan tabe, lunte,
dan jempit tope. Keempat gerakan
tersebut merupakan simbol sopan
santun dan ramah. Dalam kegiatan tari
ini, penari memakai pakaian berwarna
terang khas Sumbawa dan dihiasi
dengan berbagai perhiasan merupakan
simbol keanggunan pada penari wanita.
Semua penari membawa dalang (tempat
persembahan) sebagai persembahan
kepada raja.
Makna yang terkandung di sini adalah
bahwa seni tari nguri adalah „tarian
persembahan dan penghormatan‟.
Tradisi seni pertunjukan tari nguri ini
adalah bentuk penghormatan serta
pengabdian kepada raja yang
menciptakan kemakmuran untuk
masyarakat Sumbawa. Penghormatan
dan pengabdian tersebut dikemas ke
dalam sebuah tarian. Pada zaman
sekarang raja di kerajaan Sumbawa
sudah tidak ada. Oleh karena itu,
14
penghormatan dan persembahan
tersebut ditujukan kepada para tamu
yang datang di sebuah acara. Bentuk
penghormatan dan persembahan ini
dituangkan ke dalam gerak nyema‟
yang menunjukan penari menyatukan
kedua tangannya dan mengankatnya ke
atas. Gerak tari ini seolah menunjukan
ingin memberi penghormatan dan
persembahan kepada rajanya.
Dalam tari nguri ini penari wanita juga
menunjukkan sikap sopan dan ramah
kepada tamu dalam beberapa gerakan,
seperti gerak tabe, lunte, dan jempit
tope. Keempat gerakan ini menunjukan
kesopanan dan keramahtamahan
dengan melakukan gerakan duduk rapih
dan tangannya dilentikkan seolah
menunjukan sifat ramah tamah dan
sopan kepada tamu atau penonton. Dan
ada juga gerak tabe, gerakan ini
memperlihatkan penari yang berada
dalam satu barisan rapih melalukan
gerakan mengangkat setengah kain
yang ia gunakan seolah menunjukan
sifat sopan dan anggun.
Pakaian adat dalam tarian ini berwarna
kuning terang menunjukkan identitas
perempuan Sumbawa yang memang
menyukai warna terang. Selain
pakaiannya penari juga menggunakan
perhiasan agar tampak anggun dan
cantik menunjukkan bahwa perempuan
Sumbawa menyukai keanggunan
dengan memakai perhiasan yang cantik.
Makna yang dapat diambil dalam
kesenian tari nguri adalah sifat sopan
santun kepada sesama dan bersikap
ramah. Bila ingin hidup dengan damai
tanpa ada masalah dan tidak ada yang
mengganggu kehidupan kita sebaiknya
bersikap sopan santun dan ramah
kepada sesama dan berprilaku baik agar
orang lain juga berprilaku baik pula.
4.1.3 Makna Penanda berampok
Dengan menggunakan teori
semiotika dari Ferdinand de Saussure,
dapat disimpulkan makna yang terkandung
dalam seni permainan berampok ini
menghasilkan sebuah makna konseptual,
yaitu merupakan makna yang sesuai
dengan konsep ataupun pikiran
pamakainya.
Makna kesenian berampok adalah
permainan rakyat sebagai hiburan di pulau
Sumbawa. Permainan barampok
bermaksud untuk mengisi waktu istirahat
petani pada masa panen dengan
menjadikannya sebagai hiburan.
Dalam seni berampok ini terdapat
dua orang pria yang merupakan simbol
dua orang petarung. Untuk bertarung, dua
orang petarung ini menggunakan bulir padi
yaitu merupakan simbol alat memukul,
pelapis, dan pelindung. Pada saat
berampok dimulai ada tau basangela‟ yang
merupakan simbol seorang pengatur.
Makna yang terkandung di sini
adalah bahwa seni permainan berampok
adalah hiburan dimana dua orang petarung
yang akan saling memukul satu sama lain.
Meskipun permainannya dilakukan dengan
cara saling memukul, tetapi acara itu tetap
dalam suasana kegembiraan, bukan suatu
perkelahian.
Dalam bertarung membutuhkan alat
penganman, alat yang digunakan adalah
bulir padi yaitu „alat memukul‟ yang
digunakan sebagai pelapis atau pelindung
pada kedua tangan petarung sebagai
pengaman untuk memukul. Seperti yang
kita ketahui padi merupakan sejenis
tanaman yang menjadi bahan pangan
sebagai makanan dan menjadi sumber
15
kehidupan umat manusia. Akan tetapi,
dalam berampok padi bermakna „sebuah
alat‟ yang digunakan sebagai pelapis
pengamanan pada saat memukul
lawannya.
Untuk dapat bermain aman tanpa da
yang luka berat, permainan berampok
membutuhkan seseorang yang bisa
mengatur permaianan dengan tertib. Yakni
tau basangela‟ seseorang pengatur
berjalannya permainan berampok ini. Tau
besengela‟ adalah nama yang diberikan
oleh masyarakat Sumbawa yang berarti
„juri‟. Tau basengela‟ akan memberi aba-
aba untuk memulai pertarungan dan akan
berakhir jika dikatakan berhenti. Dia akan
mengatur permainan berampok agar tidak
ada pelanggaran yang dilakukan oleh
petarung. Apabila ada yang melakukan
pelanggaran, maka permainan akan
langsung dihentikan dan poin petarung
yang melakukan pelanggaran dikurangi.
4.2 Bentuk Penanda dalam Kesenian
Masyarakat Sumbawa di
Kecamatan Taliwang Sumbawa
Barat
Kesenian yang akan dibicarakan ada
tiga. Ketiga kesenian tersebut, yaitu
barapan kebo,tari nguri, dan berampok.
Analisis pembahasan bentuk penanda
ketiga kesenian tersebut akan dijelaskan
dibawah ini.
4.2.1 Bentuk Penanda Barapan Kebo
a) Bangkat (sawah)
Bangkat adalah tanah atau lahan
yang digarap dan diairi untuk tempat
menanam padi. Untuk keperluan ini,
bangkat harus mampu menyangga
genangan air karena padi memerlukan
penggenangan pada periode tertentu dalam
pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah
digunakan sistem irigasi dari mata air.
Bangkat tidak hanya sebuah lahan yang
berfungsi sebagai lahan untuk menanam
padi. Pada budaya kesenian masyarakat
Sumbawa, bangkat adalah arena untuk
melaksanakan pacuan kerbau. Tinggi
permukaan air dan ketebalan lumpur
bangkat dalam pacuan kerbau ini
tergantung dari panjang areal bangkat tepat
kompetisi diadakan. Jika panjang petak
bangkat adalah 50 meter, maka debit air
bangkat harus banyak agar lumpur di
sawah lebih dalam.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda sawah yang
terdapat dalam kesenian barapan kebo.
Bentuk penanda sawah dalam kesenian
barapan kebo, yaitu berbentuk persegi
dengan panjang petak sawah 50 meter dan
kondisi sawahnya digenangi air keruh dan
berlumpur.
b) Sepasang kerbau
Kerbau adalah salah satu binatang
jinak yang sudah banyak ditemukan dan
diternakan di berbagai daerah khususnya
Indonesia. Di Indonesia kerbau adalah
hewan ternak yang digunakan oleh petani
untuk membajak sawahnya. Dalam suatu
budaya kesenian masyarakat di Taliwang
Sumbawa Barat, kerbau adalah hewan
yang dikendarai untuk pacuan adu lari.
Kerbau balap tidaklah sembarangan,
namun biasanya memiliki ciri khusus
berupa pusaran pada bulunya yang berada
tepat dibagian tengkuk kerbau dan di
antara kedua mata kerbau. Kepalanya
selalu memandang tegak ke depan dan
tanduknya tumbuh sempurna melengkung
ke atas.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda sepasang kerbau
yang terdapat dalam kesenian barapan
kebo. Bentuk penanda sepasang kerbau
adalah berpostur besar, berkaki empat,
16
memiliki tanduk kuat, dan berkulit hitam.
Kerbau yang digunakan kepalanya selalu
memandang tegak ke depan, dan
tanduknya tumbuh sempurna melengkung
ke atas.
c) Noga
Noga adalah salah satu peralatan yang
wajib digunakan dalam barapan kebo.
Noga ini adalah alat dari kayu dengan
panjang 2,5 meter yang digunakan untuk
menyatukan sepasang kerbau dengan
mengikatnya pada kedua pundak kerbau.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda noga yang terdapat
dalam kesenian barapan kebo. Bentuk
penanda noga, yaitu terbuat dari kayu
menyerupai tongkat dengan panjang 2.5
meter.
d) Kareng
Kareng peralatan wajib yang
digunakan dalam barapan kebo. Kareng
adalah tempat berpijak atau tempat
berdirinya joki saat mengendarai kerbau.
Kareng ini terbuat dari kayu atau bambu,
ujung kareng diikatkan pada bagian tengah
noga.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda kareng yang
terdapat dalam kesenian barapan kebo.
Bentuk penanda kareng, yaitu menyerupai
huruf A yang terbuat dari beberapa
potongan kayu atau bambu.
e) Mangkar atau Uwe
Mankar atau uwe juga salah satu
peralatan wajib dalam barapan kebo.
Mangkar adalah alat berupa cambuk yang
terbuat dari kayu atau rotan yang memiliki
struktur keras, lentur, dan tidak mudah
patah. Mangkar digunakan untuk memukul
punggung kerbau agar berlari dengan
kencang.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk penanda pada mangkar yang
terdapat dalam kesenian barapan kebo.
Bentuk penanda mangkar atau uwe, yaitu
sebuah kayu atau rotan yang memiliki
panjang sekitar 1 meter dengan struktur
keras, lentur, dan kuat.
f) Saka
Saka terbuat dari kayu yang memiliki
panjang 120 centimeter, ujung tiang saka
dibaluti dengan kain atau daun-daunan dan
ada pula yang dibiarkan polos tanpa ada
balutan. Saka dipancang ke dalam lumpur
tidak terlalu kuat agar saat ditabrak noga
mudah. Saka, biasanya telah dijampi oleh
para sandro dengan perlakuan khusus
mistis ala mereka, beberapa hari sebelum
barapan kebo dimulai. Saka digunakan
sebagai finis atau sebagai akhir dari
barapan kebo, jadi permaian ini akan
berakhir bila berhasil mengenai atau
menabrak saka.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda saka yang terdapat
dalam kesenian barapan kebo. Bentuk
penanda saka, yaitu berupa tiang kayu
setinggi 120 centimeter. Saka dibaluti
dengan kain atau daun-daunan dan ada
pula yang dibiarkan polos tanpa ada
balutan.
g) Bendera
Bendera yang digunakan dalam
permainan ini sebanyak dua buah, yaitu
satu buah dipakai oleh juri di garis star
(palepas) dan satu buah lagi dipakai oleh
juri di dekat saka (garis finish). Fungsi
bendera untuk memberi tanda atau aba-aba
bahwa pasangan kerbau mulai berlari dan
untuk memberi tanda bahwa kerbau telah
melanggar saka atau tidak melanggar saka.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda bendera yang
terdapat dalam kesenian barapan kebo.
Bentuk penanda bendera ini, yaitu berupa
potongan kain yang terbuat dari benang,
strukturnya ringan hingga pada saat tertiup
angin bendera akan berkibar.
17
h) Sandro
Sandro adalah seoarang laki-laki yang
dianggap sebagai orang pintar atau orang
berilmu dan dituakan di tengah-tengah
masyarakat. Fungsi sandro adalah
mengurus saka, baik menancapkan saka
atau mencabut saka. Sandro juga akan
mengganggu kerbau dan joki agar tidak
dapat mengenai atau menabrak saka.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda sandro yang
terdapat dalam kesenian barapan kebo.
Bentuk penanda sandro, yaitu
menunjukkan seorang pria yang memiliki
ilmu hitam dan selalu berdiri di dekat saka.
i) Joki
Joki adalah seorang laki-laki yang
memiliki keahlian atau kemampuan untuk
mengendarai kerbau. Peran joki ini adalah
mengendarai kerbau agar dapat mengenai
saka.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda joki yang terdapat
dalam kesenian barapan kebo. Bentuk
penanda joki ini, yaitu seorang pria yang
berdiri di atas kareng dan memegang
mangkar atau uwe.
4.2.2 Bentuk Penanda Tari Nguri
a) Gerak nyema
Gerak nyema adalah gerakan dalam
tari nguri yang menunjukan penghormatan
dan memberikan persembahan kepada
tamu.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk penanda gerak nyema, yaitu
menunjukkan penari wanita yang duduk
dengan rapi sambil melakukan gerakan
menyatukan kedua tangan dan
menggerakannya ke depan.
b) Gerak tanak
Gerak tanak gerakan dalam tari nguri
yang menunjukan keramahtamahan
masyarakat Sumbawa dalam menyambut
tamu di sebuah acara.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk penanda gerak tanak yaitu
menunjukkan penari wanita dalam satu
barisan melakukan gerakan duduk
setengah dan satu tangan dilentikkan di
depan dada.
c) Gerak tabe
Gerak tabe adalah gerakan dalam tari
nguri yang menunjukan kesopanan
masyarakat Sumbawa dalam menyambut
tamu di sebuah acara.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk penanda gerak tabe, yaitu
menunjukan penari wanita dalam satu
barisan yang rapih melakukan gerakan
tangan kanannya mengangkat setengah
kain panjang dan tangan kirinya
memegang sesembahan yang diangkat
sampai bagian antara perunt dan dada.
d) Gerak jempit tope
Gerak jempi tope adalah gerakan
dalam tari nguri yang menunjukan
keramahtamahan masyarakat Sumbawa
dalam menyambut tamu di sebuah acara.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk penanda gerak jempit tope, yaitu
penari wanita dalam satu barisan yang
menuju ke depan penonton lalu
menebarkan bunga di hadapan penonton.
4.2.3 Bentuk Penanda berampok
a) Dua orang petarung
Dua orang petarung ini adalah
peserta dalam seni permainan berampok.
Dua orang petarung ini memiliki badan
yang kekar dan kuat, mereka akan masuk
ke dalam lapangan diawali dengan
ngumang yaitu berteriak dengan kata-kata
menantang, ini bertujuan untuk menantang
para petarung yang ingin bertarung.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda dua orang
18
petarung yang terdapat dalan kesenian
berampok. Bentuk penanda dua orang laki-
laki ini, yaitu dua orang laki-laki yang
saling berhadapan mengangkat dan
mengepalkan bulir padi pada kedua
tangannya yang menunjukan sifat saling
menantang.
b) Bulir padi
Bulir padi adalah satu-satunya alat
yang digunakan dalam seni permainan
berampok, yaitu hanya butir padi dan
tangkainya yang baru saja dipotong
sebanyak segenggam yang dipegang oleh
kedua tangan petarung. Bulir padi ini
berfungsi sebagai pelapis atau pembalut
tangan serta sebagai alat pemukul.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda bulir padi tang
terdapat dalam kesenian berampok. Bentuk
penanda bulir padi ini menunjukkan
beberapa bulir padi sejenis tanaman yang
tumbuh di sawah yang telah matang.
c) Tau basangela‟
Tau basangela‟ adalah seorang yang
mengatur berjalannya seni permainan
berampok ini. Tau basangela‟lah yang
akan memulai dan mengakhiri seni
permainan berampok.
Dari penjelasan di atas, terdapat
bentuk-bentuk penanda tau basangela‟
yang terdapat dalam kesenian berampok.
Bentuk penanda tau basangela‟, yaitu
seorang pria yang selalu berada di antara
dua orang petarung yang akan berampok.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Didalam penelitian ini dibicarakan
bentuk dan makna penanda dalam
kesenian yang berada di Kecamatan
Taliwang Sumbawa Barat. Adapun hasil
penelitian bentuk penanda dalam ketiga
kesenian, yaitu (1) noga di dalam barapan
kebo : memiliki bentuk penanda alat yang
terbuat dari kayu menyerupai tongkat dan
diikat di atas kedua leher kerbau; (2) gerak
nyema di dalam tari nguri : memiliki
bentuk penanda, yaitu penari wanita yang
duduk dengan rapi sambil melakukan
gerakan menyatukan kedua tangan dan
menggerakkannya ke depan; (3) padi di
dalam berampok : memiliki bentuk
penanda sebuah tanaman yang tumbuh di
sawah.
Selain bentuk, ketiga kesenian
tersebut juga menghasilkan makna
konseptual. Adapun hasil penelitian makna
konseptual penanda dalam ketiga kesenian,
yaitu (1) noga di dalam barapan kebo
memiliki makna, yaitu „sebuah alat‟ untuk
menyatukan pasangan kerbau dan
penghubung kareng di dalam barapan
kebo; (2) nyema di dalam tari nguri :
memiliki makna, yaitu „gerakan tari‟
sebagai bentuk penghormatan dan
pemberian persembahan; (c) padi di dalam
berampok : memiliki makna, yaitu „sebuah
alat‟ untuk pelapis atau pembalut pada
kedua tangan petarung sebagai pengaman
untuk memukul.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas penulis
memberi empat saran. Keempat saran
tersebut sebagai berikut.
1. Bagi masyarakat di kecamatan Taliwang
diharap dapat melestarikan tradisi
kesenian barapan kebo, berampok, dan
tari nguri. Hal tersebut disebabkan oleh
ketiga kesenian itu merupakan aset
budaya yang berharga.
2. Untuk pemerintah dan instansi terkait
diharap dapat ikut serta melestarikan
kesenian ini yang dapat dimasukkan ke
19
dalam salah satu aset budaya dengan
tujuan menghindari kepunahan.
3. Perlu diterbitkan buku tentang ketiga
kesenian ini sehingga dapat dijadikan
referensi yang cukup bagi pembaca dan
peneliti selanjutnya.
4. Penelitian tentang ketiga kesenian ini
jarang dilakukan sehingga sangat perlu
diadakan penelitian lebih lanjut agar
diperoleh gambaran yang lebih jelas
dan lengkap bagi peneliti selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2015. Semantik Pengantar
Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik
Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010.
Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ida, Rachmah. 2014. Studi Media dan
Kajian Budaya. Jakarta: Prenada
Media Group.
Kasadana, Satria. 2016. “Makna Budaya
dalam Ungkapan Bahasa Sumbawa
Besar; Sebuah Kajian Etnolinguistik.”
Skripsi. Mataram: FKIP Univeritas
Mataram.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Kountur, Ronny. 2009. Metode Penelitian.
Jakarta: PPM.
Lubis, Mochtar. 1993. Budaya Masyarakat
dan Manusia Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Macaryus, Sudartomo. 2008. Aneka
Problem Pembelajaran Bahasa
Daerah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa
(Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya). Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada.
Melati, Tily Putri. 2016. “Makna Simbol-
simbol Budaya dalam Prosesi Adat
Pernikahan di Kabupaten Dompu
Kajian Semiotika Roland Barthes.”
Skripsi. Mataram: FKIP Universitas
Mataram.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya Offset.
Muhammad. 2011. Paradigma Kualitatif
Penelitian Bahasa. Yogyakarta:
Liebe Book Press.
Nuri, Nasir Yuniar. 2015. Analisis
Kesalahan Dalam Penulisan Karya
Ilmiah. Mataram: FKIP Unram.
Nazir, Yuniar Nuri. 2015. Fonologi
Sebuah Kajian Deskriptif. Mataram:
Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Mataram.
Sakban. 2014. “Penanda Lingual
Bermakna Sangat Bahasa Sasak
Dialek A-E di Desa Ranggagata
Lombok Tengah.” Skripsi. Mataram:
FKIP Universitas Mataram.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia:
Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
20
Jakarta: Divisi Buku Perguruan
Tinggi, Raja Grafindo Persada.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suciani. 2015. “Penanda Kesantunan
Imperatif dalam Bahasa Sasak Dialek
Meno-Mene di Desa Penegadang
Lombok Tengah.” Skripsi. Mataram:
FKIP Unicersitas Mataram.
Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian
Kualitatif. Bandung: CV Alvabeta.
Sunan, Kalimati Wahyu. 2005. Pilar-Pilar
Budaya Sumbawa. Disbudpar
Kabupaten Sumbawa Barat.
Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika dalam
Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia
Indonesia.