MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM …repository.uinjambi.ac.id/2812/1/AS131456.MHD.BASRI.SKI...

80
MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam OLEH MHD. BASRI NIM : AS 131456 FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2017

Transcript of MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM …repository.uinjambi.ac.id/2812/1/AS131456.MHD.BASRI.SKI...

  • MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN

    SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU KABUPATEN

    TANJUNG JABUNG TIMUR)

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)

    Dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam

    OLEH

    MHD. BASRI

    NIM : AS 131456

    FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

    JAMBI

    2017

  • MOTTO

    َما ِكتَا َب هللاِ َوُسنَّتِيْ هُ لَْن تَِضلُّْوا َبْعَد تََرْكُن فِْيُكْم َشْيئَيِن

    Artnya : Aku tinggalkan dua pusaka. Kalian tidak akan sesat setelah (berpegang) pada

    keduanya.Yaitu kitab allah dan sunahku.(HR.Hakim)

  • PERSEMBABAN

    Sujud syukur ku persembahkan pada ALLAH SWT yang maha kuasa, berkat dan

    rahamat detak jantung, denyut nadi, nafas dan putaran roda kehidupan yang diberikan-Nya

    hinga saat ini saya dapat mempersembahkan skripsi ku pada orang-orang tersayang. Atas

    karunia serta kemudahan yang engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat

    terselesaikan. Solawat beriring salam tak lupa dihaturkan kepada junjungan Nabi besar

    Muhammad SAW.

    Kupersembahkan karya sederhana ini kepada Kedua orang tua ku Bapak ( Bassiran)

    dan Ibunda ku ( Besse Simpuru ) Tercinta yang tak pernah lelah membesarkan ku dengan

    penuh kasih sayang, serta memberi dukungan, perjuangan, motivasi dan pengorbanan dalam

    hidup ini. Terima kasih buat Etta.

    Kupersembahkan untuk My lovely yang selalu menyemangatiku, memberi motivasi

    dan dukungan, Doa serta rasa sayang dan cintanya yang begitu indah buatku, semoga capt

    nyusul ya. Thank’s for your .

    Kupersembahkan Buat Sahabat-Sahabatku sertasahabat seperjuanganku tanpa saya

    sebutkan namanya yang selalu memberi semangat dan dukungan serta canda tawa yang

    sangat mengesankan selama masa perkuliahan, susah senang dirasakan bersama dan sahabat-

    sahabatku dan seperjuanganku yang lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Terima

    kasih buat kalian semua.

  • KATA PENGANTAR

    Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan atas

    kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi yang

    berjudul “MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN SUKU

    BUGIS STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR”

    ini dapat diselesaikan guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan

    pendidikan pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora

    Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifudd Jambi.

    Perjalanan panjang telah penulis lalui dalam rangka perampungan penulisan skripsi

    ini. Banyak hambatan yang dihadapi dalam penyusunannya, namun berkat kehendak-Nyalah

    sehingga penulis berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan

    penuh kerendahan hati, pada kesempatan ini patutlah kiranya penulis mengucapkan terima

    kasih kepada :

    1. Kedua orang tua, ayahandaBassiran dan ibunda tercinta Besse Simpuru yang senantiasi

    memberikan kasih sayang dan dukungan kepada penulis.

    2. Kepada Dra.JagoRitonga,M.Fil.I selaku pembimbing I dan bapak Muhammad Nur, M.Sy

    selaku pembimbing II. Terima kasih atas segala bimbingan, ajaran, dan ilmu-ilmu baru

    yang penulis dapatkan dari selama penyusunan skripsi ini. Dengan segala kesibukan

    masing-masing dalam pekerjaan maupun pendidikan, masih bersedia untuk membimbing

    dan menuntun penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih dan mohon maaf bila

    ada kesalahan yang penulis telah lakukan.

    3. Kepada Camat Sadu dan Masyarakat Kecamatan Sadu. Terima kasih telah mengijinkan

    penulis untuk melakukan penelitian dan membantu penulis selama penelitian.

    4. Segenap dosen pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sulthan Thaha

    Saifuddin Jambi atas ilmu,pendidikan, dan pengetahuan yang telah diberikan kepada

    penulis selama duduk dibangku kuliah.

    5. Segenap staf pegawai Adab dan Humaniora yang telah banyak membantu penulis selama

    ini.

  • ABSTRAK

    MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI DALAM PERNIKAHAN

    SUKU BUGIS

    Di bawah bimbingan Jago Ritongan selaku pembimbing I dan Muhammad Nur selaku

    pembimbing II

    Oleh

    MHD. BASRI

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuitradisi uang panai suku Bugis di Kecamatan

    Sadu dan pandangan Hukum Islam tentang pelaksanaan uang panai dalam pernikahansuku

    Bugis. Di samping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana makna

    dan nilai tradisi uang panai dalam pernikahan suku Bugis di Kecamtan Sadu Kabupaten

    Tanjung Jabung Timur. Untuk mengkaji permasalahan digunakan metodeadalah metode

    diskriptif dengan data kualitatifpenelitian melalui pendekatan terhadap objek kajian yang

    ditelit, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, dan dokumentasi sedangkan analisa

    data dilakukan dengan deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini antara lain hasil

    wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama, Tokoh Agama, Tokoh Adat,dan

    masyarakat Kecamatan Sadu.

    Berdasarkan hasil penelitian mayarakat Bugis khususnya di Kecamtan Sadu

    Kabupaten Tanjung Jabung Timur menganggap bahwa pemberian uang panaiadalah tradisi

    pemberian uang yang wajib yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan

    yang fungsinya digunakan sebagai biaya untuk melaksanakan pesta pernikahan. Tujuannya

    untuk memberikan rasa hormat bagi keluarga pihak perempuan. Kedudukan uang panai/dui’

    menre dalam perkawinan adat Bugis adalah salah satu praa syarat, karena jika tidak ada dui’

    menre maka tidak ada pernikahan. Islam tidak mengatur mengenai ketentuan uang panai/dui’

    menre akan tetapi hukumnya mubah. Islam tidak melarang pemberian uang panai/dui’ menre

    dalam pernikahan adat Bugis karena tidak ada dalil yang menerangkan hal tersebut. Yang

    penting pemberian uang panai/dui’ menre tidak bertentangan dengan syri’at dan penentuan

    nilai dui’ menre tidak ada unsur keterpaksaan, sesuai kemampuan dan kesanggupan pihak

    laki-laki.

    Kata kunci :Tradisi, Uang panai, Suku Bugis.

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i

    NOTA DINAS ............................................................................................................... ii

    PENGESAHAN ............................................................................................................. iii

    MOTTO ......................................................................................................................... iv

    PERSEMBAHAN.......................................................................................................... v

    SURAT PERNYATAN PRIETALITAS SKRIPSI ...................................................... vi

    KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii

    ABSTRAK .................................................................................................................... viii

    DAFTAR ISI ................................................................................................................. ix

    DAFTAR TABEL ......................................................................................................... x

    DAFTAR GAMBARAN GEGRAFIS .......................................................................... xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang .................................................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah................................................................................................ 8

    C. Batasan Masalah .................................................................................................. 8

    D. Tujuan Penelitian ................................................................................................. 9

    E. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 9

    F. Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 10

    BAB II KERANGKA TEORI

    A. Sejarah Uang Panai dalam Pernikahan Adat Bugis Makassar ............................... 14

    B. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat .................................................... 17

    C. Tujuan,Rukun dan Syarat Perkawinan ------------------------------------------------- 21

    D. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar Macam-Macam .......................................... 24

    E. Makna dan Nilai Mahar ...................................................................................... 25

  • F. Pelaksanaan Pemberian Mahar............................................................................. 28

    BAB III METODE PENELITIAN

    A. Lokasi Penelitian ................................................................................................ 31

    B. Defenisi Operasional Variabel ............................................................................. 32

    C. Data dan Sumber Data ......................................................................................... 32

    D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................... 33

    E. Teknik Analisis Data ........................................................................................... 34

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Tradisi Uang Panai suku Bugis ............................................................................ 36

    B. Pandangan Islam Tentang Pelaksanaan Uang panai

    dalam PerkawinanAdat Bugis .............................................................................. 49

    C. Makna dan Nilaitradisi uang Panai dalam pernikahan suku Bugis ........................ 54

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ......................................................................................................... 63

    B. Saran .................................................................................................................. 65

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 66

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 74

  • DAFTAR GAMBARAN GEOGRAFIS

    1. Kabupaten Tanjung Jabung Timur ............................................................................ 69

    2. Lambang Kabupaten Tanjung Jabung Timur ............................................................ 70

    3. Kondisi Geografi & Topografi ................................................................................. 71

    4. Potensi Pariwisata .................................................................................................... 73

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Budaya pernikahan pada tiap-tiap daerah selalu menjadi hal yang sangat menarik

    untuk dibahas. Baik dari segi latar belakang budaya pernikahan tersebut, maupun dari

    segi kompleksitas pernikahan itu sendiri, karena dalam pernikahan yang terjadi bukan

    hanya sekedar menyatukan dua orang yang saling mencintai, lebih dari itu, ada nilai-nilai

    yang tak lepas untuk dipertimbangkan dalam pernikahan seperti status sosial, ekonomi,

    dan nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga pria dan wanita.

    Di Sulawesi Selatan, pernkahanadat ikatan hidup bersama antara seorang pria dan

    wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya

    kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian

    upacara adat. 1 Pernikahan adat yang dimaksud adalah budaya pernikahan Bugis-

    Makassar sendiri ada satu hal yang sepertinya telah menjadi khas dalam pernikahan yang

    akan diadakan yaitu uang naik atau oleh masyarakat setempat disebut uang panai. Uang

    panai ini adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon

    mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan

    dan belanja pernikahan lainnya. Uang panai ini tidak terhitung sebagai mahar penikahan

    melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh

    kedua belah pihak atau keluarga.

    1Arya Astra, “Pengertian Perkawinan Adat”, jakarta (23 Juni 2012. 42)

  • Uang panai untuk menikahi wanita Bugis-Makassar terkenal tidak sedikit jumlahnya.

    Tingkat strata sosial wanita serta tingkat pendidikannya biasanya menjadi standar dalam

    penentuan jumlah uang naik. Jadi, jika calon mempelai wanita adalah keturunan darah

    biru (keluarga kerajaan Gorontalo, Gowa atau Bone), maka uang naiknya akan berpuluh-

    puluh juta. Begitupun jika tingkat pendidikan calon mempelai wanita adalah S1, S2, atau

    kedokteran, maka berlaku hal yang sama2.

    Pihak keluarga (saudara ayah atau ibu), memiliki pengaruh yang cukup penting dalam

    pengambilan keputusan mengenai besarnya uang panai dan mahar. Tidak jarangbanyak

    lamaran yang akhirnya tidak diteruskan, karena tidak bertemunya keinginan dua pihak.

    Ironisnya, bersumber dari keluarga ayah atau ibu. Langkah terakhir yang ditempuh bagi

    pasangan yang telah saling mencintai adalah kawin lari (silariang), sebagai jalan pintas

    untuk tetap bersama3.

    Andi Nurnaga mengemukakan defenisi perkawinan yaitu: Pernikahan merupakan

    salah satu cara melanjutkan keturunan dengan berdasar cinta kasih yang sah yang dapat

    mempererat hubungan antar keluarga, antarsuku, dan bahkan antar bangsa, dengan

    demikian hubungan pernikahan itu merupakan jalinan pertalian yang seteguh-teguhnya

    dalam hidup dan kehidupan manusia, sehingga pernikahan itu adalah wajib dilakukan

    oleh dua orang insan yang ingin melakukan hubungan kelamin.4

    Terkait dengan budaya uang panai untuk menikahi wanita Bugis-Makassar, jika

    jumlah uang naik yang diminta mampu dipenuhi oleh calon mempelai pria, hal tersebut

    akan menjadi prestise (kehormatan) bagi pihak keluarga perempuan. Kehormatan yang

    dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai

    2Chistian Pelras, manusia bugis, Jakarta: NALAR.(Forum Jakarta-Paris, 2006) 3Ibid, hlm.37 4Andi Nurnaga. . Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis. CV. Telaga Zamzam. Makassar. 2001.Hlm. 7

  • pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk

    pernikahannya melalui uang panai tersebut.

    Jika dalam perkawinan adat suku lain uang panai tersebut diberikankepada calon istri,

    sebaliknya dalam perkawinan adat suku Mugis-Makassar,istri justru tidak tahu menahu

    dan tidak ikut campur dalam proses pemberian dan penentuan uang panai, karena yang

    sangat berperan dalam proses tersebut justru orang yang dituakan dari pihak keluarga

    calon istri. Uang panai tersebut tidak akan diberikan kepada calon istri sedikit pun,

    karena uang panai tersebut khsusus digunakan untuk biaya resepsi perkawinan5.

    Uang panai yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyakdaripada mahar.

    Adapun kisaran jumlah uang panai dimulai dari 25 juta, 50 dan bahkan ratusan juta. Hal

    ini dapat dilihat ketika prosesi akad nikah yang hanya menyebutkan mahar dalam jumlah

    yang kecil.Terkadang karena tingginya uang panai yang dipatok oleh pihak keluarga

    calon istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagalmenikah karena

    ketidakmampuannya memenuhi uang panai yang dipatok, sementara pemuda dan si gadis

    telah lama menjalin hubungan yang serius. Dari sinilah terkadang muncul apa yang

    disebut silariang atau kawin lari.

    Masyarakat Kecamatan Sadu mengenaluang panaiberupa sejumlah uang yang wajib

    diserahkan oleh calon mempelai suami kepada pihak keluarga calon istri, yang akan

    digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan dan belum termasuk mahar6.

    Fungsi uang panai yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan

    karena uang panai yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial wanita

    mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan uang panai

    5Yuli Haryati, Wawancara, kecamatan Sadu, 22 Februari, 2017 6Masrial, Wawancara, kec. Sadu , 22 Februari 2017.

  • merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya untuk

    memenuhi keperluan pekawinan.7Jumlah uang panai yang bergantung dari tingkat strata

    sosial dan pendidikan calon mempelai wanita dilihat dari sisi peran keluarga calon

    mempelai wanita.

    Wade, C. dan Travis, C. menjelaskan bahwa peran merupakan kedudukan sosial yang

    diatur oleh seperangkat norma yang kemudian menunjukkan perilaku yang pantas. Hal

    ini menunjukkan bahwa secara sadar atau tidak sadar, mau tidak mau, masyarakat yang

    berada dimanapun memang dibagi berdasarkan beberapa tingkatan sosial.

    Dengan peran yang dimiliki keluarga calon mempelai wanita yang semakin tinggi,

    maka nilai uang panai yang juga semakin tinggi adalah perilaku yang dianggap pantas

    untuk kedudukan tersebut. Strata sosial ini akan mempengaruhi sudut pandang dan cara

    hidup masyarakat.

    Parsons, seorang ahli sosiologi menyimpulkan adanya beberapa sumber status

    seseorang yaitu :

    Keanggotaan di dalam sebuah keluarga. Misalnya, seorang anggota keluarga yang

    memperoleh status yang tinggi oleh karena keluarga tersebut mempunyai status yang

    tinggi di lingkungannya.

    Kualitas perseorangan yang termasuk dalam kualitas perseorangan antara lain

    karakteristik fisik, usia, jenis kelamin, kepribadian.

    Prestasi yang dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi statusnya. Misalnya,

    pekerja yang berpendidikan, berpengalaman, mempunyai gelar, dan sebagai nya.

    Aspek materi dapat mempengaruhi status seseorang di dalam lingkungannya.

    Misalnya, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.

    7Puspita, “Tradisi Uang Panai’ Dalam Budaya Bugis Makassar,” dalam http://akulebihdari

    yangkautau.blogspot.com/ (16 januari 2012)

  • Sebelum prosesi pa’botingeng (pernikahan) dilaksanakan, ada beberapa tahap yang

    harus dilalui oleh calon mempelai laki-laki. Salah satu diantaranya adalah assuro.Assuro

    adalah proses peminangan dari pihak keluarga calon mempelai laki-lakikepada pihak

    calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian uangpanai yang akan diberikan

    oleh calon mempelai laki-laki kepada pihak keluargacalon mempelai wanita apabila

    lamaran tersebut diterima8

    Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari suku Bugis khususnya di Kabupaten

    Tanjung Jabung Timur, memenuhi jumlah uang panai juga dapat dipandang sebagai

    praktik budaya siri’,jadi wanita yang benar-benar dicintainya menjadi motivasi yang

    sangat besar untuk memenuhi jumlah uang panai yang di syaratkan. Motivasi dapat

    diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam diri manusia dalam hal ini untuk

    memenuhi jumlah uang panai, yang akan kemudian mempengaruhi cara bertindak

    seseorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan berpengaruh terhadap performansinya

    dalam bekerja.

    Selain motivasi, keinginan untuk memenuhi uang panai yang disyaratkan juga terkait

    dengan teori kepuasan yang lebih didekatkan pada faktor–faktor kebutuhan dan kepuasan

    individu yang menyebabkannya bertindak dan berperilaku dengan cara tertentu. Hal yang

    memotivasi semangat bekerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan dan

    kepuasan material maupun nonmaterial dalam hal ini keuangan dan dapat menikahi

    wanita yang hendak dilamarnya yang diperolehnya dari hasil pekerjaannya. Jika

    kebutuhan dan kepuasannya semakin terpenuhi maka semangat kerjanya pun akan

    semakin baik pula. Jadi pada kesimpulannya, seseorang akan bertindak untuk dapat

    memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan kepuasannya.

    8Teer Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), 167

  • Pada dasarnya uang panaimerupakan tradisi dalam budaya Bugis untuk menikahi

    wanita Bugis. Uang panai dan jumlah nominalnya yang terkenal sangat banyak

    semestinya tidak dijadikan patokan karena bagaimanapun segala hal tergantung dari

    usaha individu dan berpulang pada keputusan Tuhan Yang Maha Esa, serta dari banyak

    tidaknya uang yang dimiliki oleh pria yang akan melamar. Uang hanya hiasan dalam

    kehidupan sementara tujuan hidup adalah ketenangan.Budaya seharusnya tidak dijadikan

    sebagai penghalang, namun dilihat sebagai pewarna dalam sosialisasi dan interaksi

    kehidupan.

    Dalam hal ini kewajiban atau keharusan memberikan uang panai sama seperti

    kewajiban memberikan mahar. Hal ini terjadi karena antara uang panai dan mahar adalah

    merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Seorang calon suami yang

    memberikan uang panai kepada pihak keluarga calon istri bukan berarti secara langsung

    telah memberikan mahar. Uang panaitersebut belum termasuk mahar, sehingga jika uang

    panai tidak ada maka perkawinan pun tidak akan pernah terjadi9.

    Terhadap realitas pola pikir dan kondisi yang demikian maka suatu kewajiban atau

    paling tidak jangan menjadi kajian yang terlupakan bagi sebagian kalangan masyarakat

    itu sendiri tentang bagaimana adanya tradisi Bugis, karena pada zaman sekarang tradisi-

    tradisi sudah banyak di lupakan atau di tinggalkan. Oleh karena itu penulis berkeinginan

    untuk mengangkat permasahan tersebut dalam bentuk kajian ilmiah yang di beri judul

    MaknaDan Nilai Tradisi Uang Panai Dalam Pernikan Suku Bugis (Studi Kasus di

    Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur)

    9Bassiran, Wawancara, Kecamatan Sadu, 22 F ebruari, 2017

  • B. Rumusan Masalah

    Banyak hal yang terkandung dalam tradisi perkawinan suku bugis yangperlu dikaji

    lebih mendalam dan ditinjau dari aspek kebudayaan. Dari latarbelakang yang di jelaskan

    dapat diambil beberapa identifikasi masalah yangsekaligus menjadi batasan masalah.

    1. Bagaimanatradisi Uang Panai suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung

    Jabung Timur ?.

    2. Bagaimana pandangan Islam tentang pelaksanaan uang panai dalam PernikahanAdat

    Bugisdi Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur?.

    3. Bagaimana maknadan nilaitradisi uang panai dalam pernikahan suku bugis di

    Kecamatan SaduKabupaten Tanjung Jabung Timur ?.

    C. Batasan Masalah

    Agar penelitian ini lebih terarah dengan apa yang peneliti inginkan dibuat, maka

    batasan masalah lebih fokus. Adapun batasan masalah adalah makna dan nilai tradisi

    uang panai dalam pernikahann suku Bugis di Kecamatan Sadu Tanjung Jabung Timur.

    D. Tujuan Penelitian

    Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan memecahkan

    setiap masalah yang ditemukakan dalam penelitian ini. Secara khusus, penelitian ini

    bertujuan sebagai berikut :

    1. Untuk mengetahui tradisi uang panai suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten

    Tanjung Jabung Timur.

    2. Untuk mengetahui pandangan Islam Tentang pelaksanaan uang panai dalam

    Pernikahansuku Bugisdi Kecamatan Sadu.

  • 3. Untuk mengetahui bagaimana makna dan nilai tradisi uang panai dalam pernikahan

    suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Timur.

    E. Manfaat penelitian

    Dalam penelitian ini penulis mengharapkan penelitian inimemberikan hasil yang

    bermanfaat dan berguna yaitu sebagai berikut :

    1. Bagi penulis kiranya bermanfaat untuk mengetahui tentang tradisi uang panai dalam

    Pernikahan Suku Bugis Kecamatan Sadu Tanjung Jabung Timur.

    2. Terhadap karya ilmiah, penulisan ini diharapkan sebagai sumber ilmiah dan kajian

    dunia akademik, khusunya di lembaga pendidikan dan budayaan.

    3. Mengenal kebudayaan masyarakat suku Bugis dari segi adat pernikahannya.

    4. Untuk ilmu penegetahuan, agar dapat memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan

    khususnya kebudayaan dan adat istiadat.

    Dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat dari segi teoritis dan praktis atau

    pragmatis.

    a. Manfaat teoritis

    Secara teoritik, hasil penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat bagi

    peneliti baik dosen, mahasiswa ataupun masyarakat dalam rangka ilmu

    pengetahuan dan budaya serta memberikan pemahaman penuh terhadap

    pembacanya.

    b. Manfaat praktis/ pragmatis

    Secara praktis dan atau prakmatis, diharapkan bermanfaat bagi masyarakat,

    sehingga masyarakat mengerti atau mengetahui makna dan nilaitradisi uang panai

    dalam pernikan suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung JabungTimur.

  • F. Tinjauan Pustaka

    Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah

    dilakukan, sehingga terlihat jelas bahwa kajian ini bukan pengulangan atau duplikasi dari

    kajian terdahulu. Secara langsung penulis tidak menemukan kajian atau penelitian yang

    bersinggungan langsung dengan perihal pemberian uang panai khsusnya pada

    masyarakat Bugis Makassar di Kecamatan Sadu. Akan tetapi pemberian uang panai ini

    terdapat pula diberbagai masyarakat adat di Indonesia. Seperti di Kalimantan uang panai

    disebut dengan istilah uang jujur. Sehingga penulis mengkaitkannya dalam kajian

    pustaka ini.

    Berdasarkan temuan penulis ada beberapa penelitian yang serupa dengan skripsi ini

    yaitu:

    1. Buku yang dikarang oleh A. Rachman dan Aminah Hamzah, “Adat dan Upacara

    Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Buku ini membahas tentang perkawinan di

    daerah Sulawesi Selatan diantaranya suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Tanah

    Toraja. Secara umum dalam buku ini dibahas mengenai adat dan upacara sebelum

    perkawinan sampai adat dan upacara setelah perkawinan10.

    2. Skripsi yang disusun oleh Sa’diyah. Penelitian ini mengkaji tentang “Tinjauan

    Hukum Islam Terhadap Perihal Pemberian Uang Panaik Dalam Perkawinan Adat

    Suku Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar”.

    Penelitian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan perihal pemberian uang

    panai ini dipandang urgen karena berdasarkan pada kenyataan yang ada dalam suku

    Bugis Makassar.

    10A. Rachman dan Aminah Hamzah, “Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan”, Makassar, 2006

  • Dari kajian tersebut di atas tentu memiliki titik singgung dengan penelitian ini.

    Kajian ini memiliki perbedaan dengan kajian sebelumnya. Adapun letak

    perbedaannya antara lain:

    a. Penelitian ini dilakukan dalam lingkungan masyarakat adat suku Bugis

    Kecamatan Sadu Kabupateng Tanjung Jabung Timur.

    b. Penelitian ini mengkaji tentang maknadan nilai tradisi uang panai dalam

    pernikahan adat suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung

    Timur.

    Penelitian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan makna dan nilaitradisi

    uang panai ini dipandang urgen(mendesak sekali pelaksanaannya) karena

    berdasarkan pada kenyataan yang ada dalam suku Bugis Kecamatan Sadu

    Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

    Adat istiadat, istilah tradisi dapat dimaknai sebagai warisan. Selain itu, istilah

    tradisi diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam masyarakat. Sifatnya

    sangat luas, meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan dalam

    pencarian yang tetap dan pasti11.

    Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan

    sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama

    yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta

    perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu

    kepada konsep pang‘ade‘reng atau adat istiadat, berupa serangkaian norma yang

    11Priyanto, Adat Istiadat.(1992: 15).

  • terkait satu sama lain. Dalam pangadereng (adat istiadat Bugis) terdiri atas 5 unsur

    pokok yang membangunnya yaitu :

    Ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-

    aturanadat dalam kehidupan orang Bugis.

    Bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan.

    Rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias.

    Wari, penjenisan yang membedakan satu dengan yang lain, suatu perbuatan

    yang selektif menata atau menertibkan.

    Siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh,

    mengasingkan, mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan12

    Kelima unsur pangadereng tersebut saling berkaitan sebagai kesatuan organis

    dalam pikiran dan jiwa masyarakat bugis. Seluruh aspek pangadereng tersebut

    memberikan ajaran moralitas yang membentuk prilaku seluruh masyrakat baik yang

    bersifat pribadi maupun kelompok.

    12Mattulada, “Sejarah Orang Bugis” (Makassar, 1985. 36).

  • BAB II

    KERANGKA TEORI

    A. Sejarah Uang Panai dalam Pernikahan Adat Bugis Makassar.

    Orang Makassar adalah penduduk asli dari daerah sekitar kota Makassar dan

    wilayah sekitarnya. Bahasa yang digunakan oleh orang Makassar dinamakan bahasa

    Mangkasara. Adat pemberian uang panai diadopsi dari adat pernikahan suku Bugis asli.

    Uang panai bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki

    kepada keluarga calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan13.

    Pemberian uang panai yang dilakukan pada masyarakat Bugis Makassar tidak jauh

    berbeda dengan uang panai yang ada pada masyarakat Bugis asli, yaitu sama-sama

    statusnya sebagai pemberian wajib ketika akan melangsungkan pernikahan.

    Kemungkinan besar sejarah adanya pemberian uang panai pada masyarakat Bugis

    Makassar dibawa oleh suku Bugis asli yang berimigrasi ke kota Makassar.

    1. Perbedaan Mahar dan Uang Panai

    Pengertian mahar masih banyak yang keliru. Dalam adat perkawinan mereka,

    terdapat dua istilah yaitu sompa dan duik menre’ (Bugis)atau uang panai/doik

    balanja (Bugis). Sompa atau mahar adalah pemberianberupa uang atau harta dari

    pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagaisyarat sahnya pernikahan menurut

    ajaran Islam.Sedangkan duik menre’ atau uang panai/doik balanja adalah uang

    antaran yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada

    13Puspita, “Tradisi Uang Panai’ Dalam Budaya Bugis Makassar,” dalam http://akulebihdari

    yangkautau.blogspot.com/ (16 Januari 2012)

  • pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta

    pernikahan14.

    Secara sepintas, kedua istilah tersebut di atas memang memiliki pengertian dan

    makna yang sama, yaitu keduaya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika

    dilihat dari sejarah yang melatar belakanginya, pengertian kedua istilah tersebut jelas

    berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal dengan mas kawin/mahar adalah kewajiban

    dalam tradisi Islam, sedangkan uang panai adalah kewajiban menurut adat

    masyarakat setempat. Mahar dan uang panai tidak hanya berbeda dari segi

    pengertian saja, akan tetapi berbeda pula dalam hal kegunaan dan pemegang

    keduanya. Mahar dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirnya sendiri,

    uang panai dipegang oleh orang tua istri dan digunakan untuk membiayai semua

    kebutuhan jalannya resepsi pernikahan15.

    Tetapi, sebagian orang suku Bugis memandang bahwa nilai kewajiban dalam

    adat lebih tinggi daripada nilai kewajiban dalam syariat Islam. Sejatinya sebagai

    salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas keislamannya di Nusantara,

    seharusnya mereka lebih mementingkan makna dan nilai-nilai kewajiban syariat

    Islam daripada kewajiban menurut adatkewajiban mahar dalam syariat Islam

    merupakan syarat sah dalam pernikahan, sedangkan kewajiban memberikan uang

    panai menurut adat, terutama dalam hal penentuan jumlah uang panai, merupakan

    konstruksi dari masyarakat itu sendiri.

    2. Jumlah Uang Panai

    Uang panai yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyak daripada

    mahar. Adapun kisaran jumlah uang panai dimulai dari 25 juta, 30, 50 dan bahkan

    14 Samsuni, “Budaya Mahar di Sulawesi Selatan”, dalam www.melayuonline.com/ (16 Januari 2012) 15Ibid, (16 Januari 2012)

  • ratusan juta rupiah. Terkadang karena tingginya uang panai yang dipatok oleh pihak

    keluarga calon istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagal

    menikah karena ketidakmampuannya memenuhi uang panai yang dipatok, sementara

    pemuda dan si gadis telah lama menjalin hubungan yang serius. Dari sinilah

    terkadang muncul apa yang disebut silariang atau kawin lari seperti yang telah

    dijelaskan pada bab-bab sebelumnya16.

    3. Tolak Ukur Tingginya Uang Panai

    Tinggi rendahnya uang panai merupakan bahasan yang paling mendapatkan

    perhatian dalam pernikahan Bugis Makassar, sehingga sudah menjadi rahasia umum

    bahwa itu akan menjadi buah bibir bagi para tamu undangan.

    Pernikahan itu sendiri menurut UU RI No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa

    perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami istri

    dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahma. Bentuk

    perkawinan dilakukan berdasarkan aturan atau kepercayaan yang berlaku pada

    daerah tertentu dan dianggap sah apabila dilakukan dengan aturan-aturannya17.

    B. Adat Istiadat Pernikahan Suku Bugis

    Adat istiadat, istilah tradisi dapat dimaknai sebagai warisan. Selain itu, istilah tradisi

    diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam masyarakat. Sifatnya sangat luas,

    meliputi segala kompleks kehidupan sehingga sukar disisihkan dalam pencarian yang

    tetap dan pasti18.

    16Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi

    Selatan, Cet. III, (Makassar: 2006), 29 17R.Soetojo Prawirohammidjojo, Pluralisme dalam Perundang Undangan Perkawinan di Indonesia. Airlangga

    University Press. 1988, hlm. 38.

    18Priyanto, Adat Istiadat.(1992: 15).

  • Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang

    Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di

    dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal

    dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng

    atau adat istiadat, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Dalam

    pangadereng (adat istiadat Bugis) terdiri atas 5 unsur pokok yang membangunnya yaitu :

    1. Ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-

    aturanadat dalam kehidupan orang Bugis.

    2. Bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan.

    3. Rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias.

    4. Wari, penjenisan yang membedakan satu dengan yang lain, suatu perbuatan yang

    selektif menata atau menertibkan.

    5. Siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh, mengasingkan,

    mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan.19

    Tiga bentuk siri’ yaitu siri’ buta (Kerajaan) berupa tanggung jawab negara

    atau penguasa untuk menjaga masyarakat Siri keluarga yaitu berkaitan dengan

    tatanan hidup berkeluarga dalam kaitan kekeluargaan orang Bugis mengenal kaum

    keluarga dalam kesatuan siri’ (masedi siri’) Terakhir siri’ pribadi berkaitan dengan

    menjaga harga diri pribadi seseorang.20 Tradisipanai’ termasuk dalam siri’ keluarga,

    jumlah uang panaiserta bentuk persembahan lainnya dari keluarga pria sebenarnya

    merupakan bentuk penghargaan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya.

    Kelima unsur pangadereng tersebut saling berkaitan sebagai kesatuan organis

    dalam pikiran dan jiwa masyarakat bugis. Seluruh aspek pangadereng tersebut

    19Mattulada, “Sejarah Orang Bugis” (Makassar, 1985. 36). 20Poelinggomang 2014, hal 24

  • memberikan ajaran moralitas yang membentuk prilaku seluruh masyrakat baik yang

    bersifat pribadi maupun kelompok.

    Pernikahan adat adalah salah satu bentuk budaya lokal yang tumbuh ditengah-

    tengah masyarakat. Bentuk budaya lokal ini memiliki perbedaan dan keunikan pada

    komunitas masyarakat tertentu. Apabila menelusuri proses pernikahan dikalangan

    masyrakat suku Bugis, maka dikenal beberapa jenis pernikahan yaitu sebagai berikut:

    Pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (massuro)

    Pernikahan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Bugis

    yang bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyrakat biasa.

    Perbedaanya hanya dari tata pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui

    proses yang panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyrakat awam

    berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.

    Pernikahan silariang (kawin lari)

    Pernikahan yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi

    kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari dari atau ke rumah penghulu

    atau kepala kampong untuk mendapatkan perlindungan dan selanjutnya diurus

    untuk dinikahkan.

    Dalam masyarakat Bugis peristiwa silariang (melarikan diri untuk dinikahkan)

    adalah perbuatan yang mengakibatkan siri bagi keluarga perempuan. Dahulu

    peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut tomasiri selalu

    berusaha untuk menegakkan harga diri atausiri dengan cara membunuh laki-laki

    yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut

    ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau

  • penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota

    adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.

    Pernikahan yang dilarang

    Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis/ Makassar melarang

    pernikahan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki

    hubungan darah yang dekat, seperti:

    a. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/ nenek)

    baik melalui ayah atau ibu.

    b. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkan dirinya (anak/

    cucu/ cicit) termasuk keturunan anak wanita.

    c. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturuan ayah atau ibu

    (saudara kandung/ anak dari saudara kandung)

    d. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara yang menurunkan

    (saudara kandung ayah/ saudara kandung ibu/ saudara kakek atau nenek baik

    dari ayah maupun dari ibu.

    Dari hal tersebut, berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang

    wanita dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas, apabila

    hal ini terjadi maka oleh masyarakat Bugis menganggapnya peristiwa

    malaweng (perbuatan haram menurut islam)21.

    21Taneko, Soleman Biasane. (1981). Dasar-dasar Hukum Adat & Ilmu Hukum Adat. Bandung. Alumni.

  • C. Tahapan-Tahapan Adat Pernikahan Suku Bugis

    A’jagang-jagang/Ma’manu-manu : Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon

    mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita.

    A’suro/Massuro : Acara ini merupakan pinangan secara resmi pihak calon mempelai

    pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan

    beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.

    Appa’nasa/Patenre : Ada usai acara pinangan, dilakukan appa’nasa/patenre ada

    yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan. Selain

    penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja.

    Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata

    sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.

    Appanai Leko Lompo (Erang-erang) : Setelah pinangan diterima secara resmi, maka

    dilakukan pertunangan yang disebut A’bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki

    mengantarkan passio/passiko atau pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai

    pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan pasio diiringi dengan

    mengantar daun sirih, pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan

    waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Ada atau

    Appa’nassa.

    A’barumbung (mappesau) : Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai

    wanita.

    Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing) : Kegiatan tata upacara ini terdiri dari

    appasili bunting, a’bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini

    hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan

    sebagai pembersihan diri lahir dan batin.

  • A’bu’bu : Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di

    depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta

    assesories lainnya. Prosesi acara a’bu’bu (maceko) dimulai dengan membersihkan

    rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini

    dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam

    merias pengantin wanita, dan supaya hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon

    mempelai wanita dapat melekat dengan baik.

    Appakanre Bunting : Menyuapai calon mempelai dengan makan berupa kue-kue

    khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Serikaya, Onde-

    onde, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu

    wadah besar yang disebut Bosara Lompo.

    Akkorontigi : Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita

    telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengandekorasi khas Makassar. Acara

    akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sacral yang dihadiri oleh seluruh

    sanak keluarga (famili) dan undangan.

    Assimorong/Menre’kawing : Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi

    puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai

    pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makassar)

    atau Menre’kawing (Bugis).

    Appabajikang Bunting : Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai.

    Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam

    tradisi suku bugis, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat.

    Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga

    pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian

  • diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai

    bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan

    sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal

    ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai

    wanita.

    Alleka bunting (maolla) : Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu.

    Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota

    keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. rombongan ini membawa

    beberapa hadiah sebagai balasan untuk mempelai pria. mempelai wanita

    membawasarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya, acara ini

    disebut Makkasiwiang.

    D. Uang Panai Sebagai Gengsi Sosial

    Seperti yang telah disinggung di atas bahwa status sosial calon Mempelai

    perempuan menentukan besar kecilnya uang naik. Status sosial ini meliputi jenjang

    pendidikan dan pekerjaannya. Selain dari status sosial, indikator besar kecilnya uang

    panai bisa dilihat dari kemewahan pesta pernikahan. Kaum elit Bugis Makassar yang

    biasanya dari golongan wiraswasta (pebisnis) dan pemangku jabatan tinggi di suatu

    instansi, mengadakan resepsi di tiga tempat; rumah mempelai laki-laki, rumah mempelai

    perempuan, dan di gedung. Pemilihan gedung sebagai tempat dilangsungkannya resepsi

    pernikahan juga bisa dijadikan ukuran kaya tidaknya keluarga yang mengadakan pesta

    tersebut. Jika resepsinya di hotel mewah, maka sudah pasti ia orang kaya, dan uang

    naiknya tanpa perlu orang lain tahu berapa angka nominalnya, karena sudah tentu besar22.

    22Rafael, Fernando. (2012). Gengsi Sosial. Di akses dari. http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/29/gengsi-

    sosial-453619.html. 12/01/2014.

  • Uang panai adalah gengsi sosial demi menjaga martabat keluarga karena adanya

    pertimbangan akan persepsi orang lain di luar keluarga kedua mempelai. Orang lain di

    sini adalah tetangga, teman ayah, teman ibu, dan lain sebagainya. Jika ada pernikahan,

    maka yang seringkali jadi buah bibir utama adalah berapa uang naiknya. Bahkan, tidak

    jarang ada fenomena yang terjadi seperti ini: uang naik dari pernikahan keluarga A

    menjadi patokan sebuah keluarga B jika kelak ada sanak saudaranya yang

    melangsungkan pernikahan. Sehingga keluarga B berkata: mereka saja pasang segitu,

    jadi kita harus pasang segini. Dari sinilah dapat terlihat jelas bahwa uang panai sangat

    dijadikan sebagai momok penting untuk mengangkat citra suatu keluarga dan sebagai

    gengsi sosial dalam kehidupan mereka23.

    E. Makna dan nilai

    1. Pengertian makna

    Makna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita smaksudkan. Ullmann

    dalam buku Mansoer Pateda “Semantik leksikal” mengatakan, ada hubungan antara

    nama dan pengertian; apabila seseorang membayangkan suatu benda ia akan segera

    mengatakan benda tersebut24.Makna adalah pertautan yang ada dalam unsur-unsur

    bahasa itu sendiri, terutama pada tataran kata-kata. Makna sebagai penghubung

    bahasa dengan dunia luar merupakan kesepakatan para pemiliknya sehingga

    terkadang sulit dimengerti oleh orang lain.

    Blumer mengatakan bahwa makna adalah sebuah produk sosial,yang artinya,

    dengan melakukan interaksi dengan individu lainnya, kita akanmendapatkan

    kesepahaman dengan individu yang lainnya,sehingga kita dapat memperoleh sebuah

    makna dari sebuah simbol tertentu.

    23M. Fremaldin, “Fenomena Uang Panaik Dalam Perkawinan Bugis Makassar”, dalam

    http://beritadaerah.com/article (16 Januari 2012) 24Mansoer Padeta 2001. Sematik Lexical. Jakarta: Rineka Cipta,(1990 : 45)

    http://beritadaerah.com/article%20(16

  • Menurut Patedamakna adalah apa yang kita artikan atau apa yang kita maksud25.

    Sedangkan Pradopo mendefinisikan makna adalah tidak semata-mata merujuk

    pada arti bahasanya tetapi arti bahasa dari sudut suasana dan perasaan. Dikemukakan

    juga oleh Sudarna bahwa ada 3 keberadaan makna, yakni:

    1. Makna menjadi isi suatu bentuk kebahasaan.

    2. Makna menjadi isi dari kebahasaan.

    3. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.

    Aspek-aspek maknamengangkat segala sesuatu yang terkandung dalam suatu

    makna26. Mengenai aspek makna yaitu sebagai berikut:

    a. Pengertian (sense)

    Sense berarti hubungan antara bahasa dan dunia kenyataan manusia. Banyak

    kata dalam sebuah bahasa maknanya tidak bias diungkapkan secara mendalam

    karena suatu kata mempunyai keterbatasan menjelaskan diri sendiri. Kondisi

    inilah yang sering melahirkan diskomunikasi antara penerima pesan dengan

    pengirim pesan.

    b. Nilai Rasa (feeling)

    Berbahasa pada dasarnya berhubungan dengan perasaan. Artinya, pada saat

    kita mengucapkan kata-kata mempunyai nilai rasa bagi orang yang menangkap

    pesan itu. Hal ini tergantung dari pembicara dan pendengar dan kata-kata uang

    diujarkan.

    c. Nada (tone)

    Nada dalam bahasa dapat bermakna sikap/ tinggi rendahnya suara dalam

    menyampaikan informasi. Aspek makna jenis ini lebih banyak dinyatakan oleh

    25Mansoer Padeta 2001. Sematik Lexical. Jakarta: Rineka Cipta. 26Mansoer Padeta 2001. Sematik Lexical. Jakarta: Rineka Cipta,(1990 : 50-53)

  • hubungan antara pembicara dengan pendengar, antara penulis dengan pembaca.

    Hubungan tersebut menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang

    digunakan sehingga muncullah yang disebut nilai rasa.

    d. Maksud (intention)

    Aspek makna tersebut merupakan maksud senang/ tidak senang/ efek usaha

    keras yang dilaksanakanBiasanya ketika menyatakan sesuatu ada maksud yang

    diinginkan.

    2. Pengertian nilai

    Nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu yang sangatberarti bagi

    kehidupan manusia27,khususnya mengenai kebaikan dan tindak kebaikan suatu hal,

    Nilai artinya sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan28.

    Nilai adalah sesuatu yang bersifatabstrak, ideal, nilai bukan benda konkrit,

    bukan fakta, tidakhanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian

    empirik, melainkan sosialpenghayatan yang dikehendaki, disenangi, dan tidak

    disenangi29.

    Adapun pengertian nilai menurut pendapat beberapa para ahli antara lain:

    a. Menurut Milton Rekeach dan James Bank, nilai adalah suatu tipe kepercayaan

    yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan au menghindari suatu

    tindakan, atau memiliki dan dipercayai30.

    b. Menurut Lauis D. Kattsof yang dikutip Syamsul Maarif mengartikan nilai

    sebagai berikut: Pertama, nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat

    didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami cara langsung kualitas

    27M. Chabib Thoha,Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. 1, h. 61 28W.J.S. Purwadaminta, Kamus Umum bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 1999), h. 677 29Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), h. 98 30H. Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai, (Jakarta: P3G Depdikbud, 1980), h. 1

  • yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-mata

    subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti terletak pada esensi objek itu.

    Kedua, nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada

    dalam kenyataan maupun pikiran. Ketiga, nilai sebagai hasil dari pemberian nilai,

    nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan31.

    c. Menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yangmelekat pada sesuatu (Sistem

    kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia

    yang meyakini). Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi

    manusia sebagai acuan tingkah laku.Dari pendapat para ahli diatasdapat

    disimpulkan bahwa nilai merupakan esensi yang melekat padasesuatu yang

    sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan

    oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang

    membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat32.

    Nilai Pernikahan tidak hanya menjadi aktivitas sosial saja tetapi juga memiliki

    nilai-nilai sakral. Penikahan merupakan ikatan sosial atau ikatan perjanjian

    hukum antarpribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang

    merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan

    pribadi-bisaanya intim dan seksual.

    31Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 114

    32M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam...,h. 61

  • BAB III

    METODE PENELITIAN

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif dengan data

    kualitatif. Penulis menggunakan metode diskriptif dengan data kualitatif karena penelitian

    dilakukan dengan pendekatan terhadap objek kajian yang diteliti. Dengan metode penelitian

    ini supaya mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik. Metode dalam penelitian ini juga

    sesuai dengan masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, juga memberi kemudahan

    bagi peneliti dalam menjalankan proses penelitian yang akan dijalankan dilapangan33.

    Hardiansyah mengemukakan metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk

    memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan. Didalam yang dilakukan

    dikenal adanya beberapa macam teori untuk menerapkan salah satu metode yang relevan

    terhadap permasalahan tertentu, mengingat bahwa tidak setiap permasalahan yang

    dikaitkan dengan kemampuan si peneliti.

    Menurut Peshkin, metode diskriptif dalam penelitian kualitatif adalah suatu penelitian

    yang dapat menerangkan, membuat interpretasi, menilai, mengesahkan dan melakukan

    perpaduan atau pengintegrasian ilmu tentang dunia dan apa yang berlaku di dalamnya34.

    Menurut Sudarwan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang banyak berada di

    lapangan, peneliti kebanyakan berurusan dengan fenomena atau gejala sosial. Fenomena itu

    perlu di dekati oleh peneliti dengan terlibat langsung pada situasi real, tidak cukup meminta

    bantuan orang atau sebatas mendengar penuturan secara jarak jauh. Penelitian ini pada

    dasarnya dengan partisipasi langsung kepada objek yang di teliti, sesuai dengan pendekatan

    33Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif), (Surabaya:

    Airlangga University Press, Cet. I, 2001), 138 34Ibid 140

  • etnografi. Penelitian etnografi (budaya) merupakan metode penelitian yang banyak dilakukan

    dalam bidang antropologi terutama yang berhubungan dengan setting budaya masyarakat

    dalam bentuk cara berprilaku, cara hidup, adat berprilaku sosial Variabel Dan Desain

    Penelitian35

    1. Variabel Penelitian

    Variable dalam penelitian ini menggunakan variable tunggal yaitu Makna Dan Nilai

    Tradisi Uang Panai Dalam Pernikan Suku Bugis, Study Kasus Kecamatan Sadu

    Kabuaten tanjung jabung timur’’.

    2. Desain Penelitian

    Penelitian ini termasuk deskriptif, kualitatif, yaitu mengungkapkan/

    mendekskripsikan objek penelitian, yaitu makna simbolik dalam ‘‘tradisi uang panai”

    pada prosesi perkawinan adat bugis di daerah Kecamatan Sadu

    A. Lokasi Penelitian

    Lokasi penelitian ini bertempat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur kususnya di

    Kecamatan Sadu.

    B. Definisi Operasional Variabel

    Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terarah tentang variable yang diteliti,

    maka perlu diadakan pembatasan variabel. Makna dan Nilai tradisi uang panai dalam

    pernikahan suku Bugis, adalah mengunkap segala makna yang berupa simbol dalam

    aktifitas uang panai tersebut.

    35Koentjaraningrat. (1995). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ( hal 19 -20)

  • C. Data dan Sumber Data

    1. Data

    Data adalah segala keterangan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan

    penelitian. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data lisan yang diperoleh

    dari informan, yaitu tokoh adat dan penghulu yang ada di Kecamatan Sadu.

    2. Sumber data

    Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari data yang diperoleh. Sumber

    data yang dimaksud disini adalah para informan. Penentuan informan menggunakan

    teknik snowballing, yaitu berdasarkan informasi informan sebelumnya untuk

    mendapatkan informan selanjutnya sampai mendapatkan data jenuh.

    Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua

    kategori, yaitu:

    a. Data primer

    Sumber data primer adalah data yang langsung diperoleh dari subyek penelitian

    (responden) yaitu masyarakat suku Bugis Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung

    Jabung Timur yang masih menjalankan adat tersebut yaitu para tokoh adat atau

    orang yang dituakan.

    b. Data sekunder

    Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain

    menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan

    cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literatur,

    artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang

    dilakukan36.

    36Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,Bandung: Alfabeta, 2009, Cet. Ke 8, h. 137.

  • D. Teknik Pengumpulan Data

    Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan menggunakan beberapa teknik

    pengumpulan data, yakni:

    a. Wawancara/ Interview

    Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

    dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan

    responden atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman

    wawancara37.

    Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan bertemu langsung atau

    menggunakan alat komunikasi via telpon dengan menjadikan tokoh masyarakat

    Kecamatan Sadu Sebagai key informan, karena dianggap telah mewakili masyarakat

    setempat serta mengingat kemampuan peneliti dilihat dari efisiensi waktu yang

    relatif singkat dan tempat penelitian yang jauh. Adapun key informan tersebut

    diantaranya Hasnah,Masrial,Bassiran dan Yhuli Haryati sebagai to matoa (orang

    yang di tuakan).

    b. Pengamatan/ Observasi

    Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

    mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Observasi

    dilakukan di Kecamatan Sadu Kabupeten Tanjung Jabung Timur. Objek observasi

    yang dilakaukan adalah perihal pelaksanaan pemberian uang panai dalam

    perkawinan adat suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

    c. Dokumentasi

    37Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif), (Surabaya:

    Airlangga University Press, Cet. I, 2001), 133

  • Dokumentasi yaitu cara pengalisaan terhadap fakta-fakta yang secara logis

    dari dokumen tertulis maupun tidak tertulis yang mengandung pentunjuk-petunjuk

    tertentu.38

    E. Teknik Analisis Data

    Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah analisis data. Dalam

    penelitian ini penulis menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis

    deskriptif yaitu suatu analisis yang bertujuan untuk memberi deskripsi mengenai keadaan

    atau fenomena secara mendalam dari semua aspek.

    Metode analisis ini bertujuan mengetahui deskripsi perihal pemberian uang panai

    dalam pernikahan adat suku Bugis di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Timur yang

    selanjutnya dianalisis dengan menggunakan hukum Islam. Kemudian data tersebut diuji

    dengan ketentuan yang ada dan yang sesuai dengan hukum Islam dengan pola pikir

    deduktif. Hasil penelitian dan pengujian tersebut disimpulkan dalam bentuk deskripsi

    sebagai hasil pemecahan permasalahan yang ada sesuai dengan rumusan masalah yang

    telah dibatasi dalam penelitian ini.

    38Dudung Abdurrahman,Pengantar Metode Penelitian, (Yokyakarta,GajaMadya University Press, 2003), hal 35

  • BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Tradisi Uang Panai Suku Bugis

    Dalam adat pernikahan masyarakat Bugis memiliki tradisi yang paling kompleks dan

    melibatkan banyak emosi. Bagaimana tidak, mulai dari ritual lamaran hingga selesai

    resepsi pernikahan akan melibatkan seluruh keluarga yang berkaitan dengan kedua

    pasangan calon mempelai.

    Salah satu tradisi tersebut adalah adanya kewajiban memberikan dui’menre/uang

    panaidari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat terlaksananya

    pernikahan.Uang panai/dui’menreadalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon

    mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang nantinya akan digunakan

    untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya”39. Uang

    panaiini tidak terhitung sebagai mahar pernikahan, melainkan kedudukannya sebagai

    uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang telah disepakati oleh keluarga kedua

    belah pihak dan menjadi penentu berlanjutnya rencana perkawinan ke tahap selanjutnya.40

    Proses Negosiasi dalam Budaya Panai.41meggambarkan dialog antara A, to madduta

    (orang yang membawa lamaran) dengan B, to riaddutai (orang yang menerima lamaran)

    seperti

    berikut:

    A. Iyaro bunga puteta-tepu tabbaka toni,engkanaga sappona?

    (Bunga putih yang sedang mekar apakah sudah memiliki pagar?)

    39Wawancara bapak Bassiran, Kecamatan Sadu, 22 Februari, 2017 40H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA kecamatan sadu, 24 Juli 2017 41 Survai lansung, 10 agustus 2017

  • B. De’ga pasa ri kampotta, balanca ri liputta mulinco mabela? (apakah tidak ada

    pasar di kampung anda, jualan ditempat anda sehingga anda pergi jauh?)

    A. Engka pasa ri kampokku, balanca rilipukku, nekiya nyawami kusappa(ada pasar

    di kampungku, jualan di tempatku, tetapi yang kucari adalah ahti yang suci/budi

    pekerti yang baik)

    B. Iganaro maelo ri bunga puteku?, temmakkedaung, temmakkecolli’ (siapakah yang

    berminat terhadap bunga putihku?, tidak berdaun, tidak pula berpucuk)

    Tahap Mammanu’manu’.Tahap ini merupakan tahapan paling awal dari rencana

    pernikahan orang tua bermaksud mencari jodoh untuk anak laki-lakinya yang dianggap

    sudah dewasa dan siap menikah

    dulu orang tua yang menentukan calon gadis yang akan dilamar Sekarang sebagian besar

    orang tua sudah mempertimbangkan pergaulan keseharian anaknya dalam arti apabila

    anak sudah membina hubungan dengan seorang gadis, hal ini ikut dijadikan

    pertimbangan oleh orang tu

    Informan menyebut tahap ini sebagai manu’-manu’ seperti kebiasaan burung yang

    terbang ke berbagai arah untuk menetapkan pilihan tempat tinggal Setelah menemukan

    seorang gadis yang akan dilamar, langkah ini dilanjutkan dengan mappese’pese’

    (menyelidiki).42

    Tahap Mappese’pese’Tahap ini sering dianggap sebagai tahap awal dari prosesi lamaran.

    Informan menggambarkan proses awal lamaran dimulai dari adanya pihak atau utusan

    yang mencari informasi tentang calon wanita, seperti apakah sudah ada yang melamar?

    dan kisaran besaran uang panai yang biasa diterima oleh keluarga gadis tersebut beliau

    menyampaikan keluarga kakak, kisarannya antara 30-100 juta, di lamaran terakhir 80 juta,

    42Wawancara bapak Haji, kecamatan Sadu 26 agustus 2017

  • itu hanya untuk uang panaisaja, belum yang lain43, hal ini dilakukan untuk menghindari

    malu, apabila lamaran resmi dilakukan dan ternyata keluarga calon mempelai laki-laki

    tidak mampu memenuhi permintaan keluarga wanita utusan ini biasa dipanggil to duta,

    panggilan lain untuk utusan di situs penelitian adalah mak comblang, duta biasanya

    berasal dari keluarga dekat laki-laki untuk melihat keadaan gadis tersebut setelah

    memenuhi persyaratan yang diinginkan pihak laki-laki, maka dibuatlah kesepakatan

    untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu meminang (massuro)

    Tahap Massuropada tahap ini utusan pihak laki-laki mulai membicarakan secara

    serius tentang kesepakatan lamaran duta pada tahap ini bisa sama atau berbeda dengan

    tahap sebelumnya duta pada tahap ini biasanya dipilih orang yang disegani dari pihak

    keluarga laki-laki proses pada tahapan ini bisa terjadi berulang-ulang, karena duta harus

    mengkomunikasikan hasil pembicaraan dengan keluarga perempuan ke keluarga laki-laki

    dan begitu pula sebaliknya sampai ditemukan kesepakatan terkadang keluarga perempuan

    juga menelusuri tentang asal usul laki-laki yang sering disebut sebagai mattutung lampe.

    tahap ini hanya dilakukan apabila calon mempelai laki-laki bukan berasal dari keluarga

    dekat penentuan hari dan teknis acara lamaran dibicarakan pada tahap ini pihak keluarga

    wanita juga menyampaikan permintaan terkait uang panaibarang-barang antaran dan

    sompa ke duta kesepakatan sementara tentang mahar dan lainnya termasuk penerimaan

    pinangan biasanya telah diambil pada tahap ini alaupun kesepakatan ini bisa berubah pada

    tahap berikutnya ketelah terjadi kesepakatan sementara maka dilanjutkan dengan acara

    mappettu ada (memutuskan segala keperluan pernikahan).

    Tahap mappettu ada, tahap ini menjadi tahap resmi lamaran dalam proses lamaran

    resmi biasanya orang tua dari pihak laki-laki tidak datang, bahkan bisa juga tidak hadir

    pada acara pernikahan orang tua pihak wanita jika mau hadir hanya duduk saja tanpa hak

    43 Ibid’

  • bicara, Rianti menggambarkan tabu apabila orang tua ikut bicara dalam proses lamaran

    orang kepercayaan dari keluarga besar yang akan bicara dalam acara resmi sekaligus

    memutuskan terkadang beberapa kesepakatan awal melalui duta bisa saja berubah pada

    acara resmi ini Pemegang kendali di sini bukanlah orang tua atau calon pengantin tetapi

    keluarga besar hal ini menjadi cerminan dari sistem komunal masyarakat Bugis44. Proses

    negosiasi kedua belah pihak ini seringkali berjalan cukup alot, hal ini digambarkan oleh

    istri Bapak Haji:

    Saat acara Mappettu Ada (berunding) adik S dulu, penentuan uang nai’ rame tu Istri S

    masih keturunan bangsawan uang panai yang diminta besar pihak keluarga laki -laki

    awalnya merasa berat Perempuannya tidak ada di Jambi Kemudian dia menelepon si laki-

    laki karena sudah saling mencintai si laki-laki tetap memenuhi keinginan dari pihak

    perempuan.45

    Fenomena jumlah pemberian uang panaiyang tinggi sehingga menghasilkan sebuah

    pesta perkawinan yang mewah sebenarnya hanya berlaku bagi keluarga kerajaan atau

    golongan bangsawan, namun sekarang mengalami pergseran dan mulai dipraktekkan

    masyarakat umum suku Bugis. Dalam hukum Islam memang tidak ada kewajiban

    memberikan uang panai/dui’menre, pemberian wajib ketika akan melangsungkan sebuah

    perkawinan dalam dalam hukum Islam hanyalah mahar sebagai bukti cinta kasih suami

    kepada istrinya. Sedangkan pemberian wajib uang panai/dui’ menre adalah tradisi adat

    Bugis saja.

    Pemberian Uang panai/dui’ menre pada masyarakat BugisKecamatan

    Sadumerupakan salah satu tahap dalam tradisi pernikahanBugis yaitu pada tahap

    mappettu ada (lamaran). Dimana pihak laki-laki berkunjung ke tempat pihak perempuan

    44Wawancara Ibu Rianti, Sungai Jambat, Kecamatan Sadu 26 agustus 2017

    45Wawancara istri Bapak Haji, Kecamatan Sadu, 26 agustus 2017

  • untuk membicarakan waktu pernikahan, jumlah mas kawin, dan mendengar serta

    melakukan penawaran atas permintaan uang panai/dui’ menre yang disampaikan

    langsung oleh pihak perempuan. Apabila lamaran telah diterima maka tahap selanjutnya

    adalah penentuan jumlahuang panai/dui’ menre yang ditentukan terlebih dahulu oleh

    pihak perempuan yang dilamar. Terkadang terjadi proses tawar menawar sehingga

    mencapai kesepakatan yang di inginkan, dan jika pihak laki-laki menyanggupi maka

    tahap pernikahan selanjutnya bisa segera dilangsungkan.46

    Penentuan nominal uang panai/dui’ menre bagi wanita Bugis beragam tergantung dari

    silsilah keluarga, status sosial, pendidikan, pekerjaan, umur dan lain-lain. Dapat dilihat

    apabila wanita tersebut keturunan bangsawan atau pendidikan dan pekerjaannya mapan,

    maka terkadang uang panai/dui’ menre yang harus disiapkan calon mempelai laki-laki

    juga harus tinggi, pengaruh penentuan jumlah uang panai/dui’ menre juga menjadi suatu

    cara untuk dapat mengangkat status sosial dalam masyarakat.

    Bagi pihak keluarga perempuan dapat mematok jumlah uang panai/dui’ menre yang

    tinggi adalah suatu kehormatan tersendiri. Kehormatan yang dimaksudkan disini adalah

    rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada perempuan

    yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya

    melalui uang panai/dui’ menre tersebut. Selain itu penentuan jumlah uang panai/dui’

    menre juga merupakan penolakan lamaran secara halus sehingga tidak jadi untuk

    melamar, dalam hukum adat hal ini disebut perbuatan pura-pura,bagi pria lokal atau yang

    juga berasal dari suku Bugis, memenuhi jumlah uang panai/dui’ menre juga dapat

    dipandang sebagai praktik budaya siri’, jadi perempuan yang benar-benar dicintainya

    dapat dijadikan sebagai motivasi yang sangat besar untuk memenuhi jumlah dui’ menre

    yang disyaratkan. Motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang berasal dalam

    46H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, 24 Juli 2017

  • diri manusia dalam hal ini untuk memenuhi jumlah dui’ menre, yang akan kemudian

    mempengaruhi cara bertindak sesorang. Dengan demikian, motivasi kerja akan

    berpengaruh terhadap kinerjanya selama bekerja. Contohnya saat laki-laki tersebut tidak

    mampu memenuhi permintaan dui’ menre, umumnya untuk menebus rasa malu seorang

    laki-laki pergi merantau untuk bekerja dan menghasilkan uang dan kembali ke kampong

    halaman dengan tujuan untuk memenuhi dui’ menre yang telah disyaratkan sebelumnya.47

    Yang menjadi tolok ukur tingginya jumlah dui’ menre adalah sebagai berikut:

    1. Ekonomi. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak perempuan

    yang berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi mapan maka jumlah dui’ menre

    yang diminta pun bisa sangat tinggi.

    2. Pendidikan dan pekerjaan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun

    pihak perempuan memiliki pekerjaan misalnya seorang dokter atau memiliki gelar S1

    atau S2 maka permintaan dui’ menre juga tinggi.

    3. Keturunan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak

    perempuan yang berasal dari keturunan bangswan maka permintaan dui’ menre juga

    tinggi.

    4. Strata sosial. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak

    perempuan memiliki strata sosial yang tinggi dalam masyarakat seperti Lurah, Camat,

    dan lain-lain maka hal tersebut akan berpengaruh pada tingginya jumlah dui’ menre

    yang diminta pihak perempuan kepada pihak laki-laki.

    5. Umur. Jika calon mempelai perempuan masih gadis, maka jumlah

    dui’ menre yang diminta pun bisa sangat tinggi.

    47Ngerinya Uang Panai’ Untuk Melamar Wanita BugisMakassar,https://fridayaniabdulkarim.wordpress.com ,

    diakses tanggal 29 Juli 2016, pukul 19.55 Wita

  • 6. Kondisi fisik. Jika calon mempelai perempuan memiliki paras yang cantik, kulit putih,

    maka jumlah dui’ menre yang diminta pun bisa sangat tinggi.

    Adapun penyebab tingginya jumlah uang panai tersebut disebabkan karena

    beberapa faktor diantaranya:

    a. Status ekonomi keluarga calon istri.

    Semakin kaya wanita yang akan dinikahi, maka semakin tinggi pula uang

    panai yang harus diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri, dan

    begitupun sebaliknya, jika calon istri tersebut hanya dari keluarga petani yang pada

    umumnya kelas ekonomi menengah kebawah maka jumlah uang panai yang

    dipatok relatif kecil48.

    b. Perbedaan antara Janda dan Perawan

    Adapun status antara janda dan perawan tidak luput dijadikan sebagai tolak ukur

    tingginya uang panai dalam perkawinan Bugis Makassar. Di kelurahan ini bagi

    perempuan yang janda dan perawan memang terdapat perbedaan dalam penentuan

    uang panai. Biasanya perawan lebih banyak diberikan uang panai dari pada janda,

    namun tidak menutup kemungkinan bisa juga janda yang lebih banyak diberikan

    jika status sosialnya memang tergolong bagus. Hal ini disebabkan tidak lain dan

    tidak bukan karena adanya pengaruh adat yang masih sangat kuat dan sudah

    menjadi kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat49.

    Itulah beberapa faktor penyebab tingginya uang panai dalam pernikahan adat

    Bugis Makassar. Menurut Dahlia, informan berumur kurang lebih 45 tahun asal

    Makassar yang bertempat tinggal di kecamatan sadu yang saya temui berkata, saat

    ini nominal uang naik yang termasuk rata-rata (standar) berkisar antara 25, 30, 50

    48Hasnah, Wawancara, 22 februari 2017 49Ibid

  • juta rupiah, bahkan untuk golongan dan kondisi tertentu bisa mencapai ratusan juta

    rupiah.50Penghormatan yang dimaksudakan disini adalah rasa penghargaan yang

    diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya

    dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai

    tersebut51

    Umumnya, masyarakat Bugis beranggapan bahwa uang serahanyang diterima pihak

    pengantin perempuan sebagai uang belanja akandigunakan untuk acara resepsi yang

    mereka selenggerakan sekaitandengan kedatangan mempelai laki-laki. Tidak jarang

    merekamembelanjakan jauh lebih banyak, sehingga tambahan uang dari tamuresepsi

    (jumlahnya sedikit lebih kecil ketimbang uang belanja) tidak dapatmenutupi biaya

    keseluruhan. Ketika penyelenggara pihak mempelai lakilakimenggelar resepsi yang

    terpisah yang merupakan rangkaiankunjungan balasan kepengantin laki-laki, mereka

    mengundang sejumlahtamu yang kisarannya sama dengan jumlah undangan yang disebar

    pihakmempelai perempuan. Dengan demikian jumlah uang belanja menjadipenentu bagi

    terselenggaranya pesta yang mencolok dan besarnyajumlah tamu yang hadir di kedua

    belah pihak. Sementara penyelenggaradari pihak laki-laki, yang umumnya hanya bisa

    menutupi tidak lebih darisetengah total biaya resepsi, telah mulai menyiapkan uang

    belanja danbiaya resepsi jauh sebelumnya. Dui’ menre, dengan demikian,

    menjadipenanda status yang boros, bersifat pamer, dan agresif.Pihak keluarga (saudara

    ayah atau ibu), memiliki pengaruh yangcukup penting dalam pengambilan keputusan

    mengenai besarnya uang panai/dui’menre dan mahar. Terkadang ibu-ibu di lingkungan

    sekitar juga turut adildalam penentuan jumlah dui’ menre tersebut. Alasanya karena ibu-

    50Wawancara Ibu Dahlia, Kecamatan Sadu, 24 agustus 2017

    51Nasrah, wawancara, kec Sadu, 25 februari 2017

  • ibu lahyang banyak mengetahui harga bahan makanan ataupun peralatanlainnya di

    pasar. 52 Tidak jarang, banyak lamaran yang akhirnya tidakditeruskan, karena tidak

    bertemunya keinginan dua pihak. Ironisnyabersumber dari keluarga ayah atau ibu.Uang

    panai/dui’ menre memang menjadi gengsi sosial demi menjaga martabatkeluarga karena

    dengan adanya pertimbangan persepsi orang lain di luarkeluarga kedua mempelai. Jika

    ada perkawinan, maka yang seringkali jadibuah bibir utama adalah berapa dui’ menre nya.

    Dari sinilah dapat terlihatjelas bahwa uang panaik sangat dijadikan momok penting

    untukmengangkat citra suatu keluarga dan sebagai gengsi dalam kehidupanmereka.53

    Salah satu contoh gengsi sosial yang terjadi di lingkunganmasyarakat bugis yaitu jika

    suatu keluarga pernah melaksanakan pestaperkawinan yang megah karena memang

    sanggup melaksanakannya,kemudian tetangganya ingin mengadakan pesta yang mewah

    juga akantetapi standar rumah dan penghasilan berbeda. Sehingga keluargatersebut

    memaksakan kehendaknya untuk memenuhi keinginannyamelaksanakan pesta yang

    mewah.

    Istilah bugis yang menyangkut soal gengsi adalah “namu metti,yaku pura toni

    redeh”(artinya walaupun kering(habis), yang pentingpernah masak). Maksud dari istilah

    tersebut adalah walaupun habishabisanmembiayai pesta perkawinan yang megah padahal

    hasil utangsana-sini asalkan sudah diperlihatkan54.

    Adapun dampak hukum jika pihak laki-laki tidak mampumenyanggupi jumlah uang

    panai/dui’ menre yang telah ditargetkan, maka secaraotomatis perkawinan akan batal dan

    pada umumnya implikasi yangmuncul adalah pihak laki-laki dan perempuan mendapat

    cibiran atauhinaan di kalangan masyarakat setempat, dan biasanya hubungan antarkedua

    52Ahmad Ridha, S.Ag, wawancara, Kepala KUA Kecamatan sadu, 27 Juli 2017 53Ibid 54Ahmad Ridha, S.Ag, wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 27 Juli

    2016

  • keluarga bisa renggang. Selain itu banyak laki-laki yang engganmenikah karena

    banyaknya tuntutan yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki demi sebuah perkawinan.

    Tidak sedikit perempuan yang tidak kawindan menjadi perawan tua. Bahkan bisa fatal

    bagi laki-laki jika tidak mampumenyanggupi jumlah dui’ menre dan sudah saling

    mencintai tapi tetapingin bersama sehingga menghalalkan berbagai cara. Diantaranya

    lakilakitersebut berhutang demi mendapatkan uang yang disyaratkan pihakperempuan.

    Adapula yang bahkan menghamili perempuan yang ingindinikahinya. Sehingga uang

    panai/dui’ menre tidak begitu dipermasalahkan.Terkadang juga sepasang laki-laki dan

    perempuan tersebut melakukankawin lari atau dalam istilah Bugis disebut silariang.

    Selain karena laki-lakitidak bisa menyanggupi tingginya jumlah uang panai/dui’ menre

    yang telah dipatokpihak keluarga perempuan sehingga perkawinannya batal, biasanya

    factor lain adalah karena strata sosial laki-laki rendah disbanding strata social pihak

    keluarga perempuan yang keturunan bangsawan.

    Selain itu adapuladampak positif dari tingginya jumlah uang panai/dui’ menre yaitu

    tingginya jumlah uang panai/dui’menre yang telah dipatok pihak perempuan dapat

    menjadi tindakanpreventif agar pasangan suami istri kedepannya berpikir untuk

    tidakberpisah.55interpretasi yang muncul dalam pemahaman sebagianorang bugis tentang

    pemberian dari pihak laki-laki kepada pihakperempuan yang termasuk pembiayaan dalam

    perkawinan masih kurang.

    Dalam adat perkawinan Bugis khususnya di Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung

    Jabung Timur, terdapat beberapa istilah pemberian yaitudiantaranya adalah sompa, dui’

    menre, erang-erang, bosara (berisi kuekuetradisional), walasoji (berisi buah-buahan),

    tellu lima suku/kalisunreng(3 buah ringgit perak), passio’ pattenre (cincin pengikat).

    55H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur 27

    Juli 2016

  • Informan Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta daripihak laki-

    laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnyapernikahan menurut ajaran Islam.

    Bentuk sompa ini beragam, diKabupaten Tanjung Jabung Timur, selain uang dan emas,

    biasanya juga sompanyaberupa tanah, rumah, dan pohon kelapa(tidak termasuktanah,

    hanya pohon beserta buahnya).Sompa berupa tanah umumnya dijumpai pada

    golonganbangsawan, yang merupakan kebiasaan yang telah dipertahankan

    dalamperkawinan adat Bugis pada umumnya. Hal ini sekaligus melambangkantanda

    kebesaran suatu kerabat dan tingkat sosial seseorang dalam hal inimenyangkut

    perkawinan adat Bugis. Sedangakan uang panai/dui’ menre adalah uangantaran yang

    harus diserahkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihakkeluarga perempuan untuk

    membiayai prosesi pesta perkawinan.56Adapun bosara dan walasoji adalah sajian-sajian

    berupa kue-kuetradisional dan buah-buahan yang di berikan kepada pihak

    keluargaperempuan dari pihak keluarga laki-laki. Kue-kue tradisioanl dan buah-buahanini

    tidak hanya sekedar makanan, tapi mengandung maknatersendiri yang berupa doa-doa

    yang baik untuk kedua mempelaikedepannya. Serta kalisunreng dan passio’ pattenre

    adalah perhiasanyang juga memiliki makna yang terkandung di dalamnya.57

    Di balik itu semua bukan sekedar ritual belaka, bukan sekederanpemberian saja, akan

    tetapi ada makna yang terkandung sebelum masukke jenjang perkawinan. Nilai ritualnya

    mengandung nilai filosofis yangterkait pembelajaran.

    56Hj. Andi Murni, wawancara, tokoh Adat,Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjug Tajung Timur, 25 Juli 2017 57Ahmad Ridha, S.Ag, wawancara, KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 27 Juli 2017

  • B. PandanganIslam Tentang Pelaksanaan Uang panai dalam PerkawinanAdat Bugis

    Di sulawesi selatan, adat yang pertama kali menyentuh masyarakatnya. Islam

    kemudian masuk setelah tahun 1609. Sehingga adat yang mendominasi masyarakat

    Bugis tapi Islam juga tetap berjalan. Islam datang tidak hampa budaya. Islam seperti

    saringan, yang halus tetap jalan sedangkan yang kasar tersangkut. Artinya, tradisi yang

    bagus dalam adat tetap dilanjutkan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Islam yang

    diwajibkan adalah mahar sedangkandui’ menre dalam Islam tidak diwajibkan. Dalam

    adat Bugis, dui’ menre harus ada akan tetapi tidak perlu di berikan ketentuan, yang

    penting sitinajae.58

    Dalam Hukum Perkawinan Islam bukan merupakan salah satu rukun maupun syarat.

    Masalah ini lebih menarik lagi karena sebagian besar masyarakat setempat adalah

    beragama Islam. Pemberian uang panai ini sudah menjadi adat kebiasaan yang turun

    temurun dan tidak bisa ditinggalkan karena mereka telah menganggap bahwa uang panai

    merupakan suatu kewajiban dalam perkawinan.

    Sitinajae adalah istilah dalam masyarakat Bugis yang artinya sesuai atau sewajarnya.

    Dalam hal penentuan jumlah dui’ menre, harus sesuai dengan kemampuan dan

    kesanggupan dan tidak dipaksakan,sitinajae, pelaksanaan pemberian uang panai/dui’

    menre walaupun tidak tercantum dalam hukum Islam, hal ini tidak bertentangan dengan

    Syari’at dan tidak merusak akidah karena salah satu fungsi dari pemberian dui’ menre

    adalah sebagai hadiah bagi mempelai perempuan untuk bekal kehidupannya kelak dalam

    menghadapi bahtera rumah tangga dan ini merupakan maslahat baik bagi pihak

    mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.

    58H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,

    24Juli 2017

  • Adat seperti ini sering disebut dengan urf sahih yaitu adat yang baik, sudah benar

    dan bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.Mahar dan uang panai/dui’ menre

    dalam perkawinan adat Bugis adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena

    dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban dan

    harus dipenuhi. Akan tetapi uang panai/dui’ menre lebih mendapatkan perhatian dan

    dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannyaproses

    pernikahan 59 . Sehingga jumlah uang panai/dui’ menre yang ditentukan oleh pihak

    keluarga perempuan biasanya lenih banyak daripada jumlah mahar yang diminta.

    Idelanya dalam Islam dui’ menre itu jangan ditentukan jumlahnya apalagi sampai

    jumlahnya tinggi, yang penting ada dan sesuai kemampuan laki-laki. Sedangkan yang

    perlu jumlahnya tinggi adalahsompa. Karena sompa adalah hak milik istri yang akan

    digunakan kedepannya sedangkan dui’ menre akan habis terpakai untuk membiayai pesta

    pernikahan, sehingga akan lebih baik apabila jumlah dui’ menre sama dengan jumlah

    sompa atau jumlah sompa lebih tinggi daripada jumlah uang panai/dui’

    menre.60Walaupun kenyataannya sekarang terbalik, justru uang panai/dui’ menre yang

    tinggi sementara sompa nya rendah, uang panai/Dui’ menre bisa mencapai ratusan juta

    rupiah karena dipengaruhi beberap faktor, justru sebaliknya mahar atau sompa yang tidak

    terlalu dipermasalahkan jumlah nominalnya diserahkan kepada kerelaan suami.

    Mengenai masalah tersebut di atas dalam sebuah hadist Rasul bersabda yang maknanya

    bahwa perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya.

    melihat dari makna hadist tersebut maka jelaslah sangat tidak etis jika uang panai/dui’

    menre yang diberikan oleh calon mempelai laki-laki lebih banyak daripada jumlahsompa.

    59H.A.Muhammad Akmal, Wawancara, Kepala KUA Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,

    24Juli 2017 60Hj. Andi Murni, wawancara, tokoh Adat, Kecamatan Sadu, 25 Juli 2017

  • Hadist tersebut menganjurkan kepada perempuan agar meringankan pihak laki-laki untuk

    menunaikan kewajibannya membayar mahar apalagi uang panai/dui’ menre yang sama