NILAI EKONOMI UANG PANAI’ DALAM ADAT SUKU BUGIS
Transcript of NILAI EKONOMI UANG PANAI’ DALAM ADAT SUKU BUGIS
1
NILAI EKONOMI UANG PANAI’ DALAM ADAT SUKU BUGIS
(STUDI KASUS KECAMATAN RETEH KABUPATEN
INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU)
SKRIPSI
Oleh :
HERMAN
NIM: EES150673
Pembimbing :
AMBOK PANGIUK, S.Ag. M.Si
G.W.I. AWAL HABIBAH, M.E.Sy
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2019 M / 1441 H
2
ii
3
Pembimbing : Ambok Pangiuk, S.Ag. M.Si
Pembimbing II : G.W.I. Awal Habibah, M.E.Sy
Alamat : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Jalan Arif Rahman Hakim No. 01 Telanaipura
Jambi 36361 Telp : (0741) 60500
Jambi, Oktober 2019
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Di –
Jambi
NOTA DINAS
Assalamu‘alaikum wr. wb.
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami
berpendapat bahwa skripsi saudara Herman NIM. EES. 150673 yang berjudul :
Nilai Ekonomi Uang Panai’ Dalam Adat Suku Bugis (Studi Kasus
Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau) telah dapat
diajukan dan dimunaqasahkan guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar
Strata Satu (S.1) dalam ilmu Ekonomi Syariah Pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Demikian, persetujuan pembimbing ini kami sampaikan. Atas perhatian
dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Pembimbing I Pembimbing II
iii
4
Ambok Pangiuk, S.Ag. M.Si G.W.I. Awal Habibah, ME.Sy
NIP. 197508292005011005 NIP. 198601252015032002
PENGESAHAN TUGAS AKHIR Nomor:
Tugas dengan judul “Nilai Ekonomi Uang Panai‟ dalam Adat Suku Bugis
(studi kasus Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau)” yang
dipersiapkan dan disusun oleh :
Nama : Herman
NIM : EES.150673
Telahdimunaqasyahkanpada : 04 November 2019
NilaiMunaqasyah :78,66 (B+)
Dinyatakan telah diterima oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
Tim Munaqasyah/Tim Penguji
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM Jl. Arif Rahman Hakim No. 1 Telanaipura Jambi 36122 Telp./fax: (0741) 65600 website:febi-iainjambi.ac.id
KetuaSidang
H. Sissah, S.Ag., M. HI
NIP. 19650215 199903 1 001
Sekretaris Sidang,
Efni Anita, M.E.Sy
NIP. 19810730 201503 1 001
Penguji I
Dr. M. Nazori, S.Ag., M.Si
NIP. 19730418 199903 1 002
Pembimbing II
G.W.I Awal Habibah, M.E.Sy
NIP. 19860125 201503 2 002
Pembimbing I
Ambok Pangiuk, S.Ag., M.Si
NIP. 19750829 200501 1 005
Penguji II
BambangKurniawan, S.P.,M.E
NIP. 19810426 201503 1 002
Jambi, 04 November 2019
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
UIN SulthanThahaSaifuddin Jambi
Dekan
Prof. Dr. Subhan, M.Ag
NIP: 196409271993021001
iv
5
MOTTO
والرين إذآ أنفقىا لم يسرفىا ولم يقتروا وكان بين ذلك قىاما
Artinya :
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah
antara yang demikian.1
1 Q.S. Al-Furqan (25) : 67
v
6
PERSEMBAHAN
Dengan Rahmat Allah SWT
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahandaku Usman dan Ibundaku
Naida yang sangat kuhormati, kubanggakan dan kusayangi yang telah mendidik
serta memberikan semangat dan kasih sayang yang luar biasa dan doa-doa yang
selalu dipanjatkan untuk penulis.
Kepada kakak, abang dan adik-adikku yang sangat kusayangi.
Semoga semua kebaikan ini menjadi amal baik dan mendapat pahala dari Allah
SWT. Aamiin yaa rabbal’alaamiin.
vi
7
ABSTRAK
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, metode ini digunakan untuk mengamati, memahami serta
mendeskripsikan suatu kajian tentang uang panai‟ dalam perkawinan yang berlaku
pada suku Bugis yang berada di Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir,
Provinsi Riau. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 30 mengatakan bahwa
dalam sebuah perkawinan pemberian wajib calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita hanyalah mahar. Sedangkan dalam adat perkawinan suku Bugis
khususnya yang berada di Kecematan Reteh, seorang laki-laki yang akan menikah
tidak hanya memberikan mahar melainkan juga uang panai‟, akan tetapi juga
diwajibkan sompa (berupa tanah). Penelitian ini didasarkan pada kerangka
berpikir bahwa selain hukum Islam juga berlaku hukum adat bagi masyarakat
bugis. Salah satu adat yang masih dilestarikan saat ini seperti yang terjadi dalam
perkawinan adat suku bugis yang berada di reteh yang mana dalam perkawinan
adat suku bugis ini calon mempelai pria diwajibkan untuk membayar uang panai‟
kepada keluarga calon mempelai wanita dan jumlahnya dipatok oleh pihak
perempuan da jika pihak laki-laki tidak sanggup akan panai‟ yang diinginkan oleh
pihak perempuan dan acara pernikahan tersebut menjadi batal dan uang panai ini
sering menjadi senjata penolakan. Ini merupakan tradisi atau budaya turun
temurun masyarakat suku bugis yang masih dilaksanakan hingga saat ini.
Kata Kunci : Uang Panai‟, Pernikahan Adat Bugis.
vii
8
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Di samping itu, tidak lupa pula iringan shalawat serta salam
penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini berjudul “Nilai Ekonomi Uang Panai’ dalam Adat Suku
Bugis (studi kasus Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi
Riau)” Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai tugas akhir
yang merupakan syarat untuk meraih gelar Serjana jenjang Strata 1 Jurusan
Ekonomi Syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Dalam penyusunan skripsi ini, tidak luput
dari keterbatasan dan kekurangan.
Penulis menyadari bahwa penyusan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa
adanya dukungan, usaha dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
sudah sepantasnya penulis menghaturkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
Kepada Kedua orang tuaku tercinta Ayahanda Usman dan Ibunda Naida yang
tidak pernah lelah memberikan do‟a, dukungan, semangat, motivasi, cinta dan
kasih sayang. Berikut ucapan terimakasih kepada Bapak Ambok Pangiuk, S.Ag.
M.Si dan Ibu G.W.I Awal Habibah, M.E.Sy, selaku Dosen Pembimbing I dan
Pembimbing II, Serta kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Su‟aidi Asy‟ari, MA., Ph.D, selaku Rektor UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
2. Bapak Prof. Dr. Subhan, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Ibu Dr. Rafidah, SE., M.EI, selaku Wakil Dekan I bidang Akademik dan
Perkembangan Lembaga.
viii
9
4. Bapak Dr. Novi Mubyarto, SE., ME, selaku Wakil Dekan II bidang
Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan.
5. Ibu Dr. Halimah Dja‟far, M.Fil.I, selaku Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan Dan Kerjasama.
6. Bapak Dr. Sucipto, MA dan Ibu G.W.I Awal Habibah, M.E.Sy, selaku Ketua
dan Sekretaris Jurusan Ekoomi Syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
7. Bapak dan Ibu dosen serta karyawan/i dilingkungan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam.
8. Tokoh Masyarakat Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
9. Teman-teman baikku di jurusan Ekonomi Syariah angkatan 2015
10. Semua pihak yang tak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Tiada kata selain ucapan terimakasih, semoga Allah Swt. Memberikan
balasan kebaikan atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis, akhir kata
penulis berharap semoga hasil penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, November 2019
Penulis,
Herman
NIM. EES.150673
ix
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR .................................. ii
NOTA DINAS .............................................................................................. iii
PENGESAHAN TUGAS AKHIR .............................................................. iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 10
C. Tujuan dan Kegunaaan Penelitian ...................................................... 10
D. Batasan Masalah ................................................................................ 11
E. Kerangka Teori .................................................................................. 12
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 26
G. Kerangka Berfikir ............................................................................. 30
BAB II : METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 32
B. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 32
C. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 33
D. Subyek dan Obyek Penelitian ........................................................... 34
x
11
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 36
F. Teknik Analisis Data ......................................................................... 38
BAB III : GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Kecamatan Reteh ................................................................. 40
B. Geografis ........................................................................................... 43
C. Potensi Penghasilan Daerah Kecematan Reteh ................................. 44
D. Struktur Organisasi ........................................................................... 46
BAB IV : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Pandangan Ekonomi Islam Terhadap Uang Panai‟ Suku Bugis ........ 53
B. Kedudukan Uang Panai dalam Adat Suku Bugis ............................... 61
C. Tolak Ukur Uang Panai dalam adat Suku Bugis ................................ 68
D. Hikmah Uang Panai dalam Adat Suku Bugis .................................... 72
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 74
B. Implementasi Penelitian .................................................................... 75
C. Kata Penutup ..................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
xi
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk Kecamatan Reteh secara garis besarnya dapat dibedakan atas
empat suku , yaitu suku Bugis, Melayu, Jawa dan Banjar. dari 24 kecamatan yang
ada di kabupaten Indragiri hilir provinsi riau, suku bugis banyak terkonsentrasi
serta mendiami Kecamatan Tanah Merah, Telok Blekong, Tembilahan,
Tempuling, Batang Tuaka, Concong, dan lain-lain.
Jumlah penduduk suku Bugis cukup besar yang tersebar di kabupaten dan
kota di seluruh Provinsi Riau.Suku Bugis yang bertempat tinggal di daerah
tersebut memiliki kebudayaan sebagai dasar dalam mengatur tata cara hidupnya.
Kebudayaan Bugis di beberapa Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir
Provinsi Riau pada dasarnya sama. Perbedaan yang tidak terlalu prinsipil terdapat
pada perbedaan variasi pelaksanaannya.
Pernikahan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam
kehidupan manusia guna meneruskan kelangsungan kehidupan di bumi ini.
Pernikahan merupakan unsur yang akan meneruskan kelangsungan kehidupan
manusia dan masyarakat di bumi ini, perkawinan menyebabkan adanya keturunan
dan keturunan akan menimbulkan keluarga yang nantinya akan berkembang
menjadi kerabat dan masyarakat2. Pernikahan merupakan suatu aktivitas antara
2. Moh. Ikbal „Uang Panaik’ dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar’. Al-
Hukama, The Indonesian Journal of Islamic Family Law. Volune 06/ Nomor 01/ ((Juni (2016));
ISSN:2089-7480. Hlm.2
1
2
pria dan wanita yang mengadakan ikatan lahir batin untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanaan yang Maha Esa.
Memang jika kita membicarakan tentang pernikahan selalu menarik karena itulah
yang melahirkan keluarga dan sebagai tempat seluruh kehidupan manusia
berputar3.
Dalam pandangan Islam pernikahan merupakan ikatan yang suci dimana
dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama,
kerabat dan masyarakat. Tata cara pernikahan adat suku Bugis-Riau yang
sebagian besar menganut agama Islam diatur sesuai dengan adat dan agama
sehingga merupakan rangkaian upacara yang menarik, penuh tata-krama dan
sopan-santun serta saling menghargai. Pengaturan atau tata cara pernikahan diatur
mulai dari pakaian atau busana yang digunakan sampai kepada tahapan-tahapan
pemberlakuan adat perkawinan. Kesemuanya itu mengandung arti dan makna.
Upacara pernikahan secara adat adalah segala kebiasaan serta kegiatan-kegiatan
yang telah disajikan dalam melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan
kesepakatan bersama yang dianggap lebih baik. Tata cara pernikahan adat suku
bugis diatur sesuai dengan adat dan agama sehingga rangkaian upacara yang
menarik , penuh dengan tata krama dan sopan santun serta saling menghargai.4
Upacara pernikahan adalah salah satu momentum penting dalam
kehidupan manusia di Indonesia, entah apapun suku bangsa, agama, ras, dan
golongannya. Proses pernikahan bukan hanya melibatkan pemuda dan pemudi,
3Moh. Ali ‘Kedudukan Uang Panaik dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten Tojo
Una-Una Provinsi Sulteng’. Skripsi. Unversitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hlm.1 4 Andi Nugraha, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis (Makassar: Cv Telaga
Zamzam, 2001), H. 1-4
3
melainkan dua keluarga besar. Mulai dari perkenalan secara mendalam, pasangan
yang ingin melanjutkan hubungannya sampai ke jenjang pernikahan harus melalui
berbagai tahapan dan ritual, baik secara agama maupun budaya. Dalam
perkawinan adat tradisional, Nampak dengan jelas sifat komunalnya, sebab
perkawinan itu, dianggap sebagaimasalah yang menyangkut tidak hanya terbatas
sebagai kepentinganseluruh kesatuan masyarakat hukumnya5
Di samping itu pula manfaat dari perkawinan adalah bahwa perkawinan itu
dapat menentramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari segala yang
dilarang oleh Allah swt. dan untuk mendapat kasih sayang (mawaddatan
warahmah) suami istri yang dihalalkan oleh Allah swt dalam ayat sebagai berikut:
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang
demikian itubenar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir6.
Ayat tersebut, dapat diketahui bahwa salah satu tanda-tanda kebesaran
Allah SWT. adalah diciptakan-Nya laki-laki dan perempuan agar dapat hidup
harmonis dan bahagia di atas bumi ini. Hikmah yang dapat ditimbulkan dengan
dilaksanakannya pernikahan yaitu untuk menjalin ikatan kekeluargaan antara
keluarga istrinya untuk memperkuat ikatan kasih sayang sesama mereka karena
5 Soerojo Wingnjodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah
Kemerdekaan (Cet. II Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983), h.118 6 Q.S. Ar. Ruum (30):21.
4
keluarga yang diikat dengan ikatan cinta kasih adalah keluarga yang kokoh
bahtagia.
Dalam melangsungkan pernikahan, calon suami diwajibkan memberi
sesuatu kepada calon istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda).
Pemberian inilah yang dinamakan mahar (uang panai‟). Pemberian mahar (uang
panai‟) ini wajib atas laki-laki dan sudah disepakati oleh keluarga laki-laki dengan
keluarga wanita. Selain mahar, di Provinsi Riau khususnya di Kecamatan Reteh
Kabupaten Indragiri Hilir mewajibkan calon pengantin laki-laki menyerahkan
uang panaik (uang belanja) kepada calon pengantin wanita.
Budaya „Panai‟ merupakan proses penentuan jumlah uang belanja pesta
perkawinan yang berasal dari daerah Provinsi Riau. Budaya ini juga masih kuat
dipertahankan oleh sebagian besar suku Bugis bahkan suku bugis perantauan.
Walaupun sudah meninggalkan daerah nenek moyang bertahun-tahun, bahkan
telah lahir di daerah perantauan, budaya panai‟ tetap juga digunakan dalam proses
lamaran sebelum pernikahan. Budaya ini menimbulkan kegelisahan bagi pihak
laki-laki baik dari masyarakat suku Bugis maupun dari luar masyarakat suku
Bugis berkaitan dengan mahalnya uang „panai‟ yang akan diberikan oleh pihak
keluarga laki-laki7. Salah satu budaya perkawinan pada suku Bugis yang erat
kaitannya dengan budaya siri‟ na pacce yaitu uang panai‟. Pengakuan orang Bugis
yang berada di Provinsi Riau membenarkan bahwa uang panai‟ telah menjadi
7Kementrian Agama RI. ‘Al-Qur’an dan Terjemahan’. (PT. Sinergi Pusaka Indonesia)
(2016). Hlm.572
5
tradisi dalam proses pernikahan budaya Bugis-Makassar8. Masyarakat bugis
menjunjung tinggi adat istiadat yang disebut siri yang berarti segala sesuatu yang
menyangkut hal yang paling peka dalam diri masyarakat bugis, seperti martabat
atau harga diri reputasi dan kehormatan yang semuanya harus dipelihara dan
ditegakkan dalam kehidupan nyata9.
Uang panai atau uang belanja yang sudah di kenal dikalangan suku bugis
maupun kalangan suku lain menjadi persyaratan yang sangat penting untuk
menuju kejenjang yang lebih serius atau pernikahan dimana uang panai harus
ditetapkan terlebih dahulu dari pihak perempuan dan memberitahukan kepada
pihak laki-laki apakah setuju dengan kesepakatan bersama agar bisa
melaksanakan pernikahan yang sesuai kesepakatan bersama. Uang panai atau (doi
mendre) salah satu syarat pernikahan bagi suku bugis yang harus terpenuhi sesuai
permintaan dari pihak perempuan ke pihak laki-laki.
Fungsi uang panai‟ yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran
kekayaan karena uang panai‟ yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara
sosial wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara
keseluruhan uang panai‟ merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-
laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keperluan pernikahan10
.ain halnya
yang penulis jumpai pada masyarakat di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri
Hilir, masih banyak yang melakukan salah satu bentuk proses persyaratan pra
pernikahan yaitu memberikan sejumlah uang belanja yang biasa disebut dengan
8Ahsani, Jamaludin, Hos, dan Peribadi. ‘Uang Panaik dan Tantangan bagi Pemuda Bugis
di Perantauan (Studi di Desa Wunggoloko Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur). Neo
Societal; Vol. 3/ Nomor 3/ ISSN; 2503-359 (2018). Hlm. 541-546 9Ibid.
10Ibid. hlm.5
6
uang panaik/uang belanja dan bahkan hal itu dijadikan landasan utamanya, dan
biasanya keluarga gadis menuntut jumlah uang tertentu untuk menguji atau
mengetahui kerelaan, kesanggupan berkorban pihak laki-laki sebagai perwujudan
keinginannya untuk menjadi anggota keluarga dan apabila pihak laki-laki tidak
dapat memenuhi permintaan orang tua perempuan tersebut, maka lamaran laki-
laki itu biasanya ditolak. Melihat yang demikian itu otomatis memberatkan pihak
laki-laki dalam melaksanakan suatu pernikahan.
Padahal ajaran Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk
mempermudah terjadinya suatu pernikahan. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS An-Nur / 24 : 32.
Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang beriman, di antara kamu dan orang-orang
yang layak (berkawin) dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberi-Nya) lagi mengetahui.11
Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa hendaklah laki-laki yang belum
menikah atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat
menikah. Olehnya itu, selayaknya manusia mempermudah terlaksananya suatu
pernikahan jangan hanya karena persoalan uang belanja sehingga terhalang
terjadinya suatu pernikahan, karena boleh jadi antara seorang wanita dan seorang
11
Q.S. An-Nur (24) : 32.
7
pria yang sudah saling mencintai menempuh suatu jalan untuk yang tidak
dibenarkan oleh ajaran agama.
Syarat utama yang menjadi dasar pada pelamaran sebelum melangsungkan
perkawinan adalah besaran “uang panaik” (uang belanja), uang panaik atau uang
belanja adalah uang yang harus diberikan, calon mempelai laki-laki pada calon
mempelai perempuan. Uang panaik ini seringkali di maknai dengan keliru karena
di anggap atau dipersamakan dengan mahar, padahal uang panaik tersebut
berbeda dengan mahar. Kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib
dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga mempelai.
Suatu perkawinan diiringi dengan sejumlah pemberian dari pihak laki-laki
kepihak perempuan. Ada dua jenis pemberian yaitu sompa yang secara simbolis
berupa sejumlah uang yang dilambangkan dengan rella (real) yang sesuai dengan
derajat perempuan dan dui‟ mendre (uang naik) atau untuk perongkosan pesta
perkawinan, yang biasanya diikuti denganlise‟ kawin (isi perkawinan) dan mahar
baisanya sejumlah uang yang sekarang sering diserahkan dalam bentuk Mushaf
Al-Quran dan seperangkat alat sholat. Sebelum zaman belanda seorang laki-laki
dari luar harus membayar pajak kepada pihak pemerintah setempat, pallawa tanah
(pengamanan negeri) yang proporsinnya sama dengan sompa12
.
Uang panaik juga akan semakin berat ketika keluarga mempelai
perempuan meminta sompa (harta tidak bergerak seperti sawah dan kebun),
erang-erang (asesoris resepsi pernikahan). Pembayaran uang panaik ini dapat
12
Ibid. Hlm.5
8
dilakukan pada saat lamaran telah diterima atau penentuan hari perkawinan atau
pada saat mappaenre doi‟ (hari memberikan uang belanja), ataupun pada saat akad
nikah akan dilangsungkan. Adapula yang melakukan pembayaran sekaligus dan
ada yang melakukan pembayaran sebagian dan di selesaikan pada saat akad nikah
akan dilangsungkan. Hikmah yang dapat ditimbulkan dengan dilaksanakannya
perkawinan yaitu untuk menjalin ikatan kekeluargaan antara keluarga istinya
untuk memperkuat ikatan kasih sayang sesame mereka karena keluarga yang
diikat dengan ikatan cinta kasih adalah keluarga yang kokoh bahagia13
Melihat realitas yang ada, arti uang panaik ini sudah bergeser dari maksud
sebenarnya, uang panaik sudah menjadi ajang gengsi untuk memperlihatkan
kemampuan ekonomi secara berlebihan, tidak jarang untuk memenuhi permintaan
uang panaik tersebut maka calon mempelai pria harus rela berutang, karena
apabila prasyarat uang panaik tersebut tidak terpenuhi akan dianggap sebagai
malu atau “siri‟” (rasa malu atau merasa harga diri dipermalukan). Bahkan tak
jarang permintaan uang panaik dianggap sebagai senjata penolakan pihak
perempuan bagipihak laki-laki yang datang meminang jika pihak laki-laki tersebut
tidak di restui oleh orang tua pihak perempuan dengan modus meminta uang
panaik yang setinggitingginya yang mereka anggap bahwa laki-laki yang
bermaksud meminang tersebut tidak mampu memenuhi permintaan uang panaik
tersebut.
13
H.S. A. Al-Hamdani, Risalatun Nikah, Diterjemahkan Oleh Drs. Agus Salim, Dengan
Judul “Hukum Perkawinan Islam” (Cet. III: Pustaka Amani,1989), h.27
9
Pengambilan keputusan akan besarnya uang panai‟ terkadang dipengaruhi
oleh keputusan keluarga perempuan (saudara ayah ataupun saudara ibu), karena
besarnya uang panai‟ yang terkdang tidak mampu diberikan oleh calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai wanita membuat calon mempelai laki-laki
melakukan tindakan diluar dari tradisi Bugis-Riau yaitu silariang (kawin lari).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa uang panai‟ bukan lagi menjadi mahar
melainkan candu dalam sebuah pernikahan. Uang panai‟ kerap menjadi momok
bagi pemuda yang akan menikahi gadis Bugis-Riau sebab jumlahnya sering kali
mencekik.
Islam mengajarkan Pernikahan sebuah kewajiban tanpa ada unsur
memberatkan kedua pihak dalam segala apapun. Pemberian uang panai‟ dalam
proses pernikahan suku Bugis- Riau menjadi sebuah persaingan sosial, besaran
uang panai‟ sering juga menjadi standar kemakmuran mempelai pria dan juga
kualitas mempelai wanita. Sehingga ketika seorang wanita di nikahi oleh seorang
pria dengan uang panai‟ yang kecil dapat membuatnya malu dengan teman atau
keluarganya yang mendapat uang panai‟ yang lebih besar. Seperti itulah persepsi
dari sebagian besar masyarakat Suku Bugis- Riau.
Sejatinya sebagai salah satu masyarakat yang dikenal paling kuat identitas
keIslamannya di Nusantara, seharusnya lebih mementingkan nilai kewajiban
syariat Islam dari pada wajiban menurut adat. Kewajiban uang panai‟ dalam
syariat Islam merupakan hal yang masih perlu ditinjau lebih jauh, sedangkan
kewajiban memberikan uang panai‟ menurut adat, terutama dalam hal penentuan
jumlah uang, merupakn konstruksi dari masyarakat itu sendiri.
10
Fanomena yang terjadi di kecamatan reteh ialah setiap ada pernikahan
uang panai‟ ini selalu menjadi trending topik dikalangan masyarakat bugis maka
dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan Judul “Nilai Ekonomi
Uang Panai’ dalam Adat Suku Bugis (Studi Kasus Kecamatan Reteh Kabupaten
Indragiri Hilir Provinsi Riau)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang
muncul adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana pandangan ekonomi islam terhadap uang panai suku bugis?
2. Bagaimana kedudukan uang panai‟dalam pernikahan adat suku bugis?
3. Bagaimana tolak ukur uang panai‟ dalam adat suku bugis?
4. Bagaimana hikmah uang panai‟ dalam adat suku bugis?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka dapat ditetapkan
beberapa ttujuan serta kegunaan dari penelitian ini, adapun tujuan dari keegunaan
peneelitian ini adalah :
1. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab
rumusan masalah yang dipaparkan diatas, yaitu sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui pandangan ekonomi islam terhadap uang panai dalam
pernikahan adat bugis di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir.
11
2) Untuk mengetahui kedudukan uang panai dalam pernikahan adat bugis di
Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir.
3) Untuk mengetahui apa yang menjadi tolak ukur uang panai dalam adat bugis
di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir.
4) Untuk mengetahui hikmah dengan adanya uang panai‟ dalam adat suku bugis
di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir.
2. Kegunaan
1) Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi sebagai masukan dalam
memahami tentang perihal pemberian uang panai‟ dalam pernikahan adat suku
bugis-Riau Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir
2) Kegunaan Praktis
Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat suku bugis-Riau Kecamatan
Reteh Kabupaten Indragiri Hilir dalam pelaksanaan pernikahan adat tentang uang
panaik.
D. Batasan Masalah
Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya
penyimpangan ataupun pelebaran pokok masalah agar penelitian tersebut lebih
terarah ataupun terfokus pada masalah yang akan dibahas dan tercapai tujuannya,
maka peneliti merasa perlu membatasi masalah yang akan diteliti adalah Nilai
Ekonomi Uang Panai‟ dalam Adat Suku Bugis (studi kasus di Kecamatan Reteh
Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau)
12
E. Kerangka Teori
1. Uang Panai‟ Dalam Adat Bugis
Uang Panai‟ adalah sejumlah uang yang harus diserahkan oleh pihak pria
kepada keluarga calon pengantin wanita untuk melaksanakan resepsi pernikahan.
Uang Panai‟ tersebut ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan. Uang
Panai‟ memiliki peran yang sangat penting dan merupakan salah satu rukun dalam
perkawinan adat suku Bugis. Pemberian Uang Panai‟ adalah salah satu kewajiban
yang tidak bisa diabaikan. Uang Panai‟ ini tidak terhitung sebagai mahar
pernikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah
yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga.
Secara sepintas, kedua istilah tersebut diatas memang memiliki pengertian
dan makna yang sama, yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun
jika dilihat dari sejarah yang melatar belakanginya, pengertian kedua istilah
tersebut jelas berbeda. Mahar adalah kewajiban dalam tradisi Islam sedangkan
Uang Panai‟ adalah kewajiban menurut adat masyarakat setempat. Mahar dan
Uang Panai‟ tidak hanya berbeda dari segi pengertian saja, akan tetapi berbeda
pula dalam hal keguanaan dan pemegang keduanya.
Penentuan besarnya Uang Panai‟ atau Uang Belanja itu tidak sama halnya
dengan pemberian uang mahar, yakni sesuai dengan kerelaan pihak keluarga laki-
laki dan berdasarkan strata sosial kedua belah pihak. Mahar diberikan oleh
keluarga pihak laki-laki kepada calon pengantin perempuan sebagai milik
pribadinya, maka Uang Panai‟ diberikan kepada pihak keluarga perempuan
sebagai sumbangan pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan upacara pesta
13
perkawinan. jumlah yang harus diberikan kepada pihak keluarga perempuan itu
biasanya lebih besar bila dibandingkan mahar.
Jumlah uang mahar biasanya hanya berkisar Rp 10.000 sampai jutaan.
Mahar untuk saat ini biasanya lebih mengutamakan aset seperti emas dan tanah.
Akan tetapi Uang Panai‟ adalah hasil kesepakatan dari kedua belah pihak. Bahkan
terkadang terjadi saling tawar-menawar. Itulah sehingga biasa memerlukan waktu
yang berlarut-larut karena masing-masing pihak bertahan. Bahkan boleh jadi
penentuan uang belanja yang begitu tinggi yang diminta oleh pihak perempuan
hanya bermotif penolakan lamaran secara halus.
Besarnya Uang Panai‟ tidak selalu dianggap memiliki nilai rupiah saja,
melainkan lebih dari itu. Besarnya uang yang dinaikkan itu dapat juga merupakan
prestise di mata masyarakat, sebab semakin besar mendapatkan uang belanja dari
pihak laki-laki, berarti pula baik yang bersangkutan maupun segenap keluarga dan
kerabatnya yang lain akan merasa prestisenya juga naik. Sehingga ada kesan
bahwa besarnya uang belanja itu menandakan tinggi rendahnya strata sosial
mereka di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian yang terjadi di tengah masyarakat Bugis, makin tinggi
derajat seseorang di tengah-tengah masyarakat, maka uang belanja yang akan
diminta lebih besar pula. Karena itulah, pihak keluarga perempuan akan berusaha
agar pihak laki-laki bersedia memberikan Uang Panai‟ sebanyak mungkin dan
meningkatkan prestisenya di tengah masyarakat. Mengenai tinggi Uang Panai‟
yang diberikan kepada pihak keluarga pengantin perempuan, tidak mutlak
berdasarkan karena status kebangsawanannya semata.
14
Akan tetapi, banyak faktor penyebabnya, antara lain karena memiliki
kekayaan, semakin kaya calon mempelai semakin tinggi pula Uang Panai‟ yang
dipatok, jenjang pendidikan. besar kecilnya Uang Panai‟ sangat terpengaruh
jenjang pendidikan calon istri, apabila pendidikannya hanya tingkat Sekolah
Dasar maka semakin kecil pula Uang Panai‟ yang dipatok begitu pula sebaliknya
jika calon istri lulusan sarjana maka semakin tinggi pula jumlah nominal Uang
Panai‟ dan parasnya cantik, tinggi badan, dan kulit putih. Semua faktor ini tetap
saling berhubungan, bisa saja calon istri tidak memiliki paras yang cantik tapi
kondisi ekonomi yang kaya, tetap saja Uang Panai‟ akan tetap tinggi. berlatar
belakang pendidikan yang tinggi (sarjana) memiliki kelebihan tertentu (prestasi)
dan sebagainya.
Di samping itu, indikator besar kecilnya Uang Panai‟ bisa dilihat dari
kemewahan pesta pernikahan. Cuman yang menjadi permasalahan adalah karena
terkadang suatu lamaran perkawinan tidak diterima disebabkan oleh tidak adanya
kesepakatan tentang Uang Panai‟, di mana kita ketahui bersama bahwa hal
tersebut bukanlah suatu perkara wajib dalam perkawinan sebagaimana wajibnya
membayar mahar. Pada umumya Uang Panai‟ dalam perkawinan itu tujuannya
adalah untuk memakai uang tersebut dalam rangka melaksanakan suatu
perkawinan yang dimulai dari persiapan sampai dilangsungkannya perkawinan
itu. Jadi, Uang Panai‟ itu digunkan untuk memenuhi segala biaya-biaya pihak
keluarga perempuan yang melaksanakan pesta perkawinan.
Selain Uang Panai‟ itu digunakan untuk pesta perkawinan. biasanya juga
digunakan untuk memperbaiki rumah dan melengkapi perabotnya. Sehingga
15
dengan sendirinya akan menuntut Uang Panai‟ yang cukup tinggi kepada pihak
laki-laki yang meminang anak gadisnya, dengan maksud agar pesta pernikahan
dapat dilaksanakan dengan semeriah mungkin, tanpa melihat lagi kemampuan
pihak laki-laki.
Dui‟ menre‟(Uang Panai‟) bertujuan untuk membiayai pesta pernikahan
mempelai perempuan. Menurut beberapa informan bahwa indikator besar
kecilnya dui‟ menre‟ dapat dilihat dari kemewahan pesta pernikahan, semakin
tinggi uang belanjanya semakin meriah pula pesta pernikahannya. Persaingan
yang terjadi dalam mengangkat derajat sosial di masyarakat dan terfokus pada
usaha memeriahkan walimah dengan pemberian dui‟ menre‟ yang dijadikan syarat
mutlak untuk terlaksananya suatu pernikahan sehingga seakan melupakan hakikat,
tujuan, dan hikmah pernikahan itu sendiri.
Tradisi Uang Panai‟ tidak berlaku bagi pernikahan antara pria Bugis
dengan wanita non Bugis. Pria Bugis akan mengikuti tradisi dari keluarga wanita
yang akan dinikahinya. Budaya ini umumnya tetap dipertahankan apabila wanita
Bugis di lamar oleh pria non Bugis. Hal ini terjadi, karena dalam tradisi
pernikahan Bugis, wanita adalah pihak yang dijemput, sehingga adat istiadat yang
digunakan dari sisi keluarga wanita.
Asal Muasal Uang Panai‟ adalah apa yang terjadi pada zaman penjajahan
belanda dahulu, pemuda belanda seenaknya menikahi perempuan bugis Makassar
yang ia inginkan, setelah menikah ia kembali menikahi perempuan lain dan
meninggalkan istrinya itu karena melihat perempuan lain yang lebih cantik
daripada istrinya. Budaya seperti itu membekas di bugis Makassar setelah
16
indonesia merdeka dan menjadi doktrin bagi pemuda indonesia sehingga mereka
juga yang bebas menikah lalu meninggalkan perempuan yang telah dinikahinya
seenaknya. Itu membuat perempuan bugis Makassar seolah-olah tidak berarti.
Namun budaya itu berubah sejak seorang pemuda mencoba menikahi
seorang perempuan dari keluarga bangsawan. Pihak keluarga tertentu saja
menolak karena mereka beranggapan bahwa laki-laki itu merendahkan mereka
karena melamar anak mereka tanpa keseriusan sama sekali. Mereka khawatir
nasib anak mereka akan sama dengan nasib perempuan yang lainnya sehingga
pihak keluarga meminta bukti keseriusan pada pemuda atas niatannya datang
melamar. Jadi pada saat itu orang tua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang
pemuda kalau ia ingin menikahi anak gadisnya ia harus menyediakan mahar yang
telah ditentukan. Mahar yang dia ajukan sangatlah berat sang pemuda harus
menyediakan material ataupun non material. Hal ini dilakukan untuk mengangkat
derajat kaum wanita pada saat itu.
Pergilah seorang pemuda itu untuk mencari persyaratan oleh orang tua si
gadis. Bertahun tahun merantau untuk mencari mahar demi pujaan hatinya ia rela
melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan tabungan
untuk meminang gadis pujaannya. Setelah mencukupi persyaratan yang diajukan
oleh orang tua si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan
pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orang tua si gadis merelakan
anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut.
Adanya persyaratan yang diajukan memberikannya sebuah pelajaran yakni
menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti apalagi
17
sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari penghasilan jerih payahnya sendiri
itulah sebabnya ia menyayangi istrinya. jadi mahalnya mahar gadis bugis
Makassar bukan seperti barang yang diperjual belikan, tetapi sebagai bentuk
penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan
menikah lagi maka sang pemuda akan berfikir berkali-kali untuk melakukannya
karena begitu sulitnya ia mendapatkan si gadis ini. Hingga akhirnya tradisi Uang
Panai inipun turun-temurun ke generasi-generasi melekat pada masyarakat bugis
dan menjadikannya sebagai ajang gengsi untuk memperlihatkan kemampuan
ekonomi secara berlebihan, karena apabila perasyarat Uang Panai‟ tersebut tidak
terpenuhi akan dianggap sebagai malu atau siri‟ (rasa malu atau merasa harga diri
dipermalukan).
2. Nilai Ekonomi
Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan
atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan dengan
pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai membuat elemen
pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu mengenai hal-hal yang
benar, baik atau diinginkan.14
Nilai dalam kamus adalah daya tukar suatu barang
atau jasa untuk memperoleh barang atau jasa lain yang diukur secara kuantitatif
dengan jumlah suatu barang atau uang.15
Sedangkan Menurut Sprenger, Nilai
ekonomi adalah nilai yang terkait dengan pertimbangan nilai yang berkadar
untung dan rugi, yang berarti mengutamakan kegunaan suatu bagi manusia.16
14
Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat, 2007, hal. 146-156 15
Tim Panca Aksara, Kamus Lengkap Istilah Ekonomi, (Yogyakarta: Indoliterasi, 2017) 16
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Niat, (Bandung: Alfabeta, 2004)
18
Dalam pemikiran Adam Smith dalam dagun menguraikan teorinya tentang
teori nilai membedakan dengan dua jenis nilai yaitu nilai guna dan nilai
tukar.Masing-masing nilai ini cocok dengan perasaan kita tentang nilai ekonomi,
Suatu benda itu memiliki nilai guna jika benda itu berguna bagi kita, sebagai
sesuatu tidak pernah hanya tertuju pada hal tertentu begitu nilai suatu barang itu
dapat dilihat berbagai macam.Disini, jika kita peroleh dalam diskusi ini kita diberi
kesempatan untuk berimajinasi dan pengertian akal sehatmengenai kegunaan dan
ketidak gunaan suatu hal. Konsep nilai guna ini akan mencerminkan pengertian
akal sehat kita tentang nilai, sering bila kita bertanya tentang nilai sesuatu, kita
ingin mengetahui harganya. Ini berarti kita ingin mengetahui berapa banyak uang
yang kita miliki untuk ditukarkan dengan barang tersebut.17
Menurut Adam Smith dalam dagun, perilaku ekonomi terhadap orang
tidak terelakkan terlibat dalam tukar menukar barang, karena jelas bahwa orang-
orang tidak dapat mencukupi dirinya dengan semua barang yang mereka inginkan
dan butuhkan.Setiap orang berusaha sebaik-baiknya untuk menghasilkan barang-
barang sebagus-bagusnya. Kalau orang-orang lainberbuat yang sama, maka
mereka mampu melakukan tukar menukar barang sehingga mereka akhirnya
menemukan apa mereka inginkan dan butuhkan itu tidak mereka hasilkan untuk
dirinya sendiri.
Konsep nilai kesederhana berlaku berlaku dalam tingkah laku ekonomi,
terutama dalam menjauhi konsumerisme dan menjauhi pemborosan berlaku tidak
hanya pembelanjaan yang diharamkan saja, tetapi juga pembelanjaan yang
17
Save M Dagun, Pengantar Filsafat Ekonomi. Hlm. 25.
19
berlebihan.Islam menekankan keselarasan antara lahir dan batin, individu dan
masyarakat, Oleh sebab itu, sumber daya ekonomi harus diarahkan untuk
mencapai kedua kesejahteraan tersebut.Islam menolak secara tegas umat manusia
yang terlalu rakus dengan penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran
keberhasilan ekonomi.18
Memahami perilaku kegiatan ekonomi dibutuhkan banyak waktu dalam
memberi refleksi setiap langkah, Kegiatan ekonomi setiap hari menyita waktu dan
perhatian dan boleh jadi topik ini sangat memperihatinkan kehidupan, karena itu
satu-satunya tanggapan yang masuk akal terhadap pentingnya kehidupan ekonomi
adalah sedapat mungkin dan bersikap kritisterhadap kehidupan ekonomi, kalau
tidak, akan menjadi korban pasifdari orang-orang lain yang memahami dan
memanfaatkan perilaku kegiatan ekonomi19
Nilai dasar ekonomi Islam adalah seperangkat nilai yang telah diyakini
dengan segenap keimanan, dimana ia akan menjadi landasan paradigma ekonomi
Islam. Nilai-nilai dasar tersebut berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Kemudian
sebagai ekonomi yang bersifat Rabbani maka Ekonomi Islam mempunyai sumber
nilai-nilai normatif-imperatif sebagai panduan serta pedoman yang mengikat.20
Dengan mengakses kepada aturan Ilahiyah (ketuhanan), setiap perbuatan manusia
mempunyai unsur moral, etika, dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh
lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moralitas yang baik, dan
18
M. Umer Chapra, “ Negara Sejahtera Islami Dan Perannya Dibidang Ekonomi”, dalam
Ainur R. Sophian, Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategi Pembangunan Masyarakat
Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h.28 19
Save M. Dagun, Pengantar Filsafat Ekonomi, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992), hlm.1 20
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: Granfindo Persada, 2012), hlm. 12
20
secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Nilai
moral samahah (lapang dada, lebar tangan dan murah hati) ditegaskan sebagai
prasyarat bagi pelaku ekonomi untuk mendapatkan rahmat Allah baik selaku
pedagang/pebisnis, produsen, konsumen, debitor maupun kreditor.
Nilai ekonomi Islam meliputi berbagai sisi prilaku ekonomi manusia.
Kepatutan moral, etika dan keharusan produksi sebagai kegiatan ekonomi
dihubungkan oleh realitas fisik sebagai fenomena ekonomi dan keharusan wujud
metafisik yang menjadi landasan ontologis setiap kegiatan ekonomi.21
Dengan
demikian masalah ekonomi dalam Islam meliputi aspek fisik dan juga aspek
mental yang bukan saja terbatas pada sisi psikologi manusia, dinamika politik
manusia, persoalan sosiologis- antropologis manusia, tetapi juga terkait erat
dengan spiritual manusia yang dalam masyarakat Islam.
Ekonomi Islam mempelajari prilaku individu yang dituntun oleh nilai-nilai
islami, mulai dari penentuan tujuan hidup, cara memandang dan menganalisis
masalah ekonomi, serta prinsip-prinsip yang harus dipegang untuk mencapai
tujuan tersebut.22
Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvesional tidak
hanya dalam aspek cara penyelesaian masalah, namun juga dalam aspek cara
pandang dan anilisis terhadap masalah ekonomi. Dengan demikian, dapat dilihat
bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang
dalam segala hal kehidupan.
21
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat Ekonomi, (IAIN SU Medan : CitaPustaka Media
Perintis, 2014), hlm. 75 22
Usman Yatim, Nilai Ekonomi Islam, (Jakarta : Bina Rena Parieara, 2009), hlm. 243
21
Sistem ekonomi Islam, kegiatan ekonomi itu, meskipun sifatnya material,
akan tetapi juga ia bercorak spiritual. Asasnya dari corak ini ialah kesadaran dan
taqwa kepada Allah SWT dan mengharapkan akan ridho-Nya. Sendinya, menurut
Islam bahwa manusia itu tidak hanya sekedar berhubungan antara satu sama
lainnya, tetapi juga ia berhubungan dengan Allah SWT. Apabila dalam sistem
ekonomi yang positif hanya terfokus pada asas material, dan asas itu yang
membentuk hubungan antara individu-individu, maka dalam ekonomi Islam tidak
demikian, asasnya adalah ketaqwaan kepada Allah SWT, harapan akan mendapat
ridho-Nya, dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Hal yang demikian itulah yang
membentuk hubungan diantara individu-individu.
3. Perkawinan Adat Bugis
Adapun tahapan prosesi pernikahan masyarakat Kecamatan Reteh
Kabupaten Indragiri Hilir dibagi atas 3 tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahapan pranikah
Untuk lebih jelasnya, dibawah ini penjelasan tentang tahapan pranikah yaitu:
1) Madduta Massuro (Melamar)
Banyak pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta pernikahan
(Mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil maka
keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai
untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan
diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mreka
sesuai atau tidak. Karena tidak boleh tingkatan pelamar lebih rendah dari tingkat
perempuan yang akan dilamar.Madduta artinya meminang secara resmi. Dahulu
22
kala dilakukan beberapa kali hingga ada kata sepakat, namun secara umum proses
yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut:
a) Mammanu-manu‟ (Merencanakan ingin melamar) bermakna sebagai burung
yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki apakah ada gadis yang
berkenan dihati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada
seseorang biasanya kepada paruh baya perempuan yang akan melakukan
kunjungan biasa kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu seluk
beluknya, namun biasanya proses ini sangat tersamar. Mappese-pese
dilakukan setelah kunjungan pertama tadi, yaitu melakukan kunjungan resmi
pertama untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung
dan sangat halus agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka atau malu jika
pendekatan ini tidak membuahkan hasil.
b) Madduta (Melamar) yaitu jika keluarga perempuan memberi lampu hijau,
kedua belah pihak kemudian menentukan hari untuk mengajukan lamaran
secara resmi (Madduta). Selama proses lamaran ini berlangsung garis
keturunan, status kekerabatan, dan harta calon mempelai diteliti lebih jauh,
sambil membicarakan sompa dan uang antaran (dui menre) yang harus
diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya perkawinan pasangannya, serta
hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.
c) Mappettu Ada (Menyepakati persetujuan yang telah ditentukan), biasanya
juga ditindak lanjuti dengan mappasierekeng atau menyimpulkan kembali
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses
sebelumnya. Ini sudah merupakan lamaran resmi atau disaksikan biasanya
23
oleh keluarga dan kerabat. Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka
segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang prinsipil. Pada kesempatan ini
diserahkan oleh pihak laki-laki Pattenre ada atau Passio (pengikat) berupa
cincin.
d) Mappaisseng atau (memberi kabar)
Setelah kegiatan Madduta atau peminangan telah selesai dan menghasilkan
kesepakatan, maka kedua pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan
kabar mengenai pernikahan ini. Biasanya yang diberi tahu adalah keluarga
yang sangat dekat, tokoh masyarakat yang dituakan, serta tetangga-tetangga
dekat, mereka inilah yang akan mengambil peran terhadap kesuksesan semua
rangkaian upacara pernikahan ini.
2) Mattampa / Mappalettu Selleng (Mengundang)
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu
Mappaisseng dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan mengundang
seluruh sanak saudara dan kerabat-kerabat. Undangan tertulis ini dilaksanakan
kira-kira 1 atau 2 minggu sebelum resepsi pernikahan dilangsungkan. Kegiatan
tertulis ini disebut juga Mappalettu Selleng karena diharapkan pihak yang
diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan
salam dan harapan dari pihak yang mengundang kiranya berseia datang untuk
memberi restu.
3) Mappatettong Sarap/Baruga (Menegakkan Tenda Pernikahan)
Sarapo/Baruga adalah bangunan tambahan didirikan disamping kiri atau
kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga
24
adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal pengantin dan
dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut Walasuji. Di
dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan
kedua orang tua mempelai yang disebut Lamming. Tetapi akhir-akhir ini
Kabupaten Indragiri Hilir sudah jarang lagi mendirikan Sarapo oleh karena sudah
ada beberapa gedung atau tenda yang disewakan lengkap dengan peralatannya
namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan
bangsawan dan orang berada.
4) Mappacci / Tudampenni (Malam Berinai)
Upacara adat Mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni (sanding
Malam), yaitu menjelang acara akad nikah/ijab qabul keesokan harinya. Upacara
Mapacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya
menggunakan (inai) daun pacar atau Pacci. Sebelum kegiatan dilaksanakan
biasanya terlebih dahulu dilakukan acara Khatam al-Qur‟an (Mappanre Temme
dan Barasanji). Daun inai ini dikaitkan dengan kata Pacci yang maknanya adalah
kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan berinai mengandung
makna kebersihan raga dan kesucian jiwa.
2. Tahapan Nikah
Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara
beruntun, kegiatan yang dimaksud yaitu:
1) Mappenre Botting (Mengantar pengantin)
Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki kerumah pengantin
perempuan untuk melaksanakan akad nikah.
25
2) Madduppa Botting (menjemput kedatangan mempelai laki-laki)
Diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum pengantin
laki-laki berangkat kerumah perempuan biasanya dibicarakan terlebih dahulu
rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak perempuan.
3) Akad Nikah
Orang yang bersiap melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon
mempelai perempuan atau imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh
Departemen Agama. Dua orang saksi dari kedua belah pihak. Setelah akad nikah
selesai, maka dilanjutkan dengan acara Mappasiluka atau Mappasikarawa
(Menyatukan pengantin laki-laki dan perempuan dengan tradisi adat bugis).
Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan
pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh
keluarganya menuju kamar pengantin perempuan. Mempelai pria menyentuh
tangan atau anggota badan mempelai perempuan yang dianggap mempunyai
makna tersendiri bagi kedua mempelai, biasanya pada daerah ubun-ubun, leher
dan dada.
3. Tahapan Sesudah Akad Nikah
Adapun upacara setelah akad nikah yaitu :
1) Mapparola (Kunjungan balasan pihak mempelai perempuan)
Acara ini merupakan prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bugis,
yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Jadi
merupakan suatu kekurangan, apabila seseorang atau mempelai wanita tidak
diantar kerumah orang tua mempelai laki-laki. Kegiatan ini biasanya
26
dilaksanakan sehari atau beberapa hari setelah upacara akad nikah
dilaksanakan, biasanya tidak dilaksanakan apabila pernikahan tersebut tidak
mendapat restu dari kedua orang tua mempelai.
2) Marola Wekka Dua
Mempelai perempuan biasanya bermalam satu malam saja dan sebelum
matahari terbit kedua mempelai harus kembali kerumah mempelai perempuan.
3) Ziarah Kubur
Meskipun banyak pihak yang mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah
merupakan rangkaian upacara perkawinan adat Bugis namun sampai saat ini
kegiatan tersebut masih sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat
kebiasaan bagi masyarakat Bugis, yaitu lima hari atau seminggu setelah kedua
belah pihak melaksanakan upacara pernikahan.
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan penelusuran terdahulu yang memiliki kaitan
langsung atau tidak langsung dengan permasalahan penelitian yang diangkat,
Tinjauan pustaka sangat diperlukan untuk sebelum peneliti menemukan
permasalahan23
Tabel 1
Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama dan
Judul
Metode
Penelitian
Hasil Penelitian Persamaan dan
Perbedaan
1 Hardianti
UIN Alauddin
Makassar
Metode
Kualitatif
berupa
metode
Suku bugis adalah
suku yang sangat
menjunjung tinggi
harga diri dan
Perbedaannya
adalah penelitian
ini untuk melihat
bagaimana
23
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi, hlm. 26.
27
Tahun 201524
Adat
Pernikahan
Bugis Bone
Desa Tuju-
Tuju
Kecamatan
Kajura
Kabupaten
Bone dalam
Persfektif
Budaya Islam
penelitian
Sejarah, yang
memiliki 3
tahap yaitu :
Heuristik,
Interpretasi
dan
Historiografi
martabat, Suku ini
sangat menghindari
tindakan-tindakan
yang
mengakibatkan
turunnya harga diri
atau martabat
seseorang. Hal ini
menunjukkan suatu
upaya untuk
menghargai kaum
wanita dengan
meminta restu dari
kedua orang
tuanya.
persfektif budaya
Islam terhadap adat
pernikahan suku
bugis.
Persamaannya
yaitu meneliti
tentang adat
pernikahan suku
bugis.
2 Reski Kamal
UIN Alauddin
Makassar
Tahun 201625
Persepsi
Masyarakat
Terhadap
Uang Panai‟ di
Kelurahan
Metode
Kualitatif
Teknik
pengumpulan
data yang
digunakan
adalah
observasi,
wawancara
dan
dokumentasi
Uang panai dalam
persepsi
masyarakat bugis
menilai sebagai
tolak ukur dari
derajat suatu
keluarga sehingga
ketokohan status
sosial, ekonomi,
pendidikan,
kecantikan ataupun
kesempurnaan fisik
Perbedaannya
dalam penelian ini
lebih melihat dari
persepsi mayarakat
dan persamaan
penelitian ini juga
melihat dari segi
ekonomi hanya
saja tidak terfokus
pada ekonomi
24
Hardianti, Adat Pernikahan Bugis Bone Desa Tuju-Tuju Kecamatan Kajura Kabupaten
Bone Dalam Perspektif Budaya Islam, (Skripsi Uin Alauddin Makassar,2015) 25
Reski Kamal ‘Persepsi Masyarakat Terhadap Uang Panai’ di Kelurahan Pattalasseng
Kecamatan Pattalasang Kabupaten Takalar’. Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Alauddin Makassar. (2016)
28
Pattalassang
Kecamatan
Pattalassang
Kabupaten
Takalar
perempuan ataupun
kehormatan
lainnya menjadi
penentu tinggi
rendahnya uang
panai di kelurahan
pattalassang
3 Andi Asyraf
UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta
Tahun 201526
Mahar dan
Paenre‟ dalam
Adat Bugis
Metode
Kualitatif.
Penelitian ini
menggunakan
pendekatan
yang disebut
etnografi
refleksif,
antropologis
dan analitik.
Strata sosial tidak
hanya berarti
berasal dari
keturunan
bangsawan tetapi
bisa juga karena
seseorang telah
memiliki jabatan
yang tinggi,
pekerjaan yang
layak, atau karena
jenjang pendidikan
yang dilalui
Perbedaannya
adalah dalam
penelitian ini
terfokus pada
syariat islam dan
persamaannya
adalah penelitian
ini juga melihat
dari segi positif
dan negative dalam
uang panaik itu
sendiri
4 Ginanjar
Prayoga
IAIN Raden
Intan
Lampung
Tahun 201627
Metode
Kualitatif
Penelitian ini
bersifat
deskriptif
normative
dengan
metode
Dalam hukum
islam tidak
diisyaratkan akan
mengenai
pemberian doi
mendre hanya saja
pemberian doi
mendre menurut
Perbedaannya
penelitian ini untuk
mengetahui
bagaimana uang
panai tersebut
dalam hukum
islam, Sementara
Persamaannya
26
Andi Asyraf, Mahar Dan Paenre’ Dalam Adat Bugis, (Skripsi Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2015) 27
Ginanjar Prayoga, tinjauan huku islam terhadap doi‟ medre dalam perkawinan adat
bugis, (skripsi IAIN Raden Intan Lampung, 2016)
29
Tinjauan
HukumIslam
Terhadap Doi‟
Mendre‟
dalam
Perkawinan
Adat Bugis
wawancara
dan juga
dokumentasi
hukum islam
adalah mubah
(boleh) karena
kedudukannya
sebagai hibah
(hadiah) untuk
pihak perempuan
membahas tentang
uang panai‟ (doi
mendre).
5 Imam Azhari
Universitas
Lampung
Bandar
Lampung
Tahun 201628
Makna Mahar
Adat dan
Status Sosial
Perempuan
dalam
Perkawinan
Adat Bugis di
Desa
Penengahan
Kabupaten
Lampung
Selatan
Metode
Kualitatif
Teknik dalam
penelitian ini
menggunakan
pengumpulan
data dengan
cara
wawancara
mendalam,
pengamatan
langsung, dan
juga
dokumentasi
Yang terkandung
dalam dalam
mahar adat tersebut
adalah pertaruhan
sosial pada status
keluarga atau
individu dari pihak
perempuan yang
pertaruhan status
sosial dari keluarga
dan pihak
perempuan terletak
pada seberapa luas
mahar adat yang
diberikan oleh
pihak laki-laki
kepada pihak
perempuan
Perbedaannya
dalam penelitian
ini terfokus pada
status sosial
perempuan itu
sendiri.
Persamaannya
adalah dampak dari
mahar yang
dipatok tersebut
akan merugikan
atau tidak.
28
Imam Azhari, Makna Mahar Adat Dan Status Sosial Perempuan Dalam Perkawinan
Adat Bugis Di Desa Penengahan Kabupaten Lampung Selatan, (Skripsi Universitas Lampung,
2016)
30
Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama
menggunakan metode penelitian lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara
Tokoh-tokoh bugis. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
adalah berdasarkan tinjauan hukum Islam sedangkan penelitian ini berdasarkan
tinjauan nilai ekanomi uang panai itu sendiri.
G. Kerangka Berfikir
Di Indonesia terdapat beberapa hukum yang mengatur tentang sistem
perkawinan, Selain hukum Islam dan UU, di Indonesia juga berlaku hukum adat.
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat.
Kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun
menjadikan adat itu sebagai sesuatu yang seharusnya berlaku bagi semua anggota
masyarakat. Norma dan aturan kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta
pergaulan masyarakat. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pergaulan, kepercayaan
dan keagamaan yang dianut masyarakat.
Salah satu adat yang masih dilestarikan dan dipertahankan sampai saat ini
adalah seperti yang terjadi dalam perkawinan adat suku Bugis. yang mana dalam
perkawinan adat suku Bugis ini calon mempelai pria diwajibkan untuk membayar
uang panai‟ kepada keluarga calon mempelai wanita dan jumlahnya tidak sedikit.
Ini merupakan tradisi atau budaya turun temurun yang wajib dilaksanakan, karena
jika tidak ada Uang Panai‟ ini maka tidak ada perkawinan juga. Sebenarnya dalam
perkawinan hukum Islam tidak ada pembayaran selain mahar. Namun dalam
perkawinan adat suku Bugis yang mana terdapat kewajiban untuk membayar
31
Uang Panai‟ yang berasal dan berkembang suatu kebiasaan dalam masyarakat,
dan bersumber dari hukum tidak tertulis.
32
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dan waktu penelitian dapat dimuat dalam sebuah penelitian atau
skripsi jenis penelitian lapangan.29
Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan
Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Pemilihan tempat ini menurut
peneliti melihat bahwa lokasi penelitian ini sangat cocok dan dapat membantu
peneliti untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam proposal skripsi
ini. Dalam penelitian ini pada tanggal 14 Juni – 14 Agustus 2019.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah bersifat
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah cara kerja penelitian yang menekankan
pada aspek pendalaman data demi mendapatkan kualitas dari hasil suatu
penelitian. Dengan kata lain, pendekatan kualitatif (qualitative approach) adalah
suatu mekanisme kerja penelitian yang mengandalkan uraian deskriptif kata, atau
kalimat, yang disusun secara cermat dan sistematis mulai dari menghimpun data
hingga menafsirkan dan melaporkan hasil penelitian. Karena itu menurut Prof.
Burhan Bungin, pendekatan kualitatif adalah proses kerja penelitian yang
sasarannya terbatas, namun kedalam datanya tak terbatas. Semakin dalam dan
berkualitas data yang diperoleh atau dikumpulkan maka semakin berkualitas hasil
penelitian tersebut.30
Dalam penelitian ini akan mengkaji tentang Nilai Ekonomi
29
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi, (jambi: Syariah Press, 2014), hlm.30 30
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2018), hlm. 52-53.
32
33
Uang Panai Dalam Adat Suku Bugis (studi kasus di Kecamatan Reteh Kabupaten
Indragiri Hilir Provinsi Riau).
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Secara umum jenis data dapat diklarifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data pokok yang diperlukan
dalam penelitian, yang diperoleh secara langsung dari sumbernya ataupun dari
lokasi objek penelitian, atau keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh
dilapangan. Data primer tidak diperoleh melalui sumber perantara atau pihak
kedua dan seterusnya. Adapun sumber data primernya adalah wawancara dan
observasi.31
Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan
berperan serta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar
dan bertanya. Jika penelitian terkait dengan sebuah peristiwa, maka sumber data
utamanya atau data primernya adalah orang yang terlibat secara langsung dalam
peristiwa tersebut.32
Adapun sumber data primernya adalah masyarakat Bugis
yang bertempat tinggal di Kecamatatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi
Riau.
Data sekunder adalah data atau sejumlah keterangan yang diperoleh secara
tidak langsung atau melalui sumber perantara. Data ini diperoleh dengan cara
31
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi. hlm. 34. 32
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif. hlm. 69-70.
34
mengutip dari sumber lain, sehingga tidak bersifat authentik, karena sudah
diperoleh dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya.33
Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga penelitian
tinggal mencari dan mengumpulkan. Data sekunder dapat diperoleh dengan lebih
mudah dan cepat karena telah tersedia, misalnya diperpustakaan, organisasi-
organisasi perdagangan dan kantor-kantor pemerintah.
2. Sumber data
Sumber data berupa responden dan informan dikatakan juga sebagai
sumber data berupa orang (person). Sumber data peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian selama observasi berlangsung dikatakan juga sebagai sumber
data berupa tempat (place). Sedangkan sumber data berupa dokumen-dokumen
atau berupa literatur-literatur pustaka di katakan juga sebagai sumber data berupa
huruf, angka, gambar atau simbol-simbol (paper).34
Adapun sumber data dalam
penelitian ini yaitu, wawancara dengan tokoh masyarakat bugis yang berada di
Kecamatan Reteh ataupun pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian.
D. Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah orang yang diminta untuk memberikan
keterangan tentang suatu fakta atau pendapat. Jadi, subyek penelitian itu
merupakan sumber informasi yang digali untuk mengungkap fakta-fakta di
lapangan.Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat Bugis yang
bertempat tinggal di Kecamatatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau .
33
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi. hlm. 34. 34
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi. hlm. 34.
35
b. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah hal yang menjadi sasaran penelitian. Obyek
penelitian adalah pokok permasalahan yang hendak diteliti untuk mendapatkan
data secara lebih terarah. Adapun obyek penelitian dalam penelitian ini meliputi :
Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh KUA, dan Tokoh Pemuda/i.
Jika probalility sampling merupakan klasifikasi teknik pengumpulan
sumber data dalam penelitian kuantitatif, maka non probalility di gunakan untuk
klasifikasi teknik penentuan sumber data penelitian kualitatif. Maka dalam
penelitian ini menggunakan non probalility karena penulis menggunakan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini.35
Sementara itu, dalam non probalility sampling, ada beberapa teknik
pengambilan sampling, namun peneliti menggunakan purposive sampling.
Purposive sampling adalah pengambilan sampel yang telah ditentukan peneliti
dengan kriteria tertentu. Sehubungan dengan upaya untuk memperjelas penentuan
sampel dalam penelitian.36
Purposive sampling signifikan digunakan dalam 3
situasi. Pertama, peneliti menggunakan teknik purposive sampling guna memilih
responden unik yang akan memberi informasi penting. Kedua, peneliti
menggunakan purposive sampling untuk memilih responden yang sulit untuk
dicapai, untuk itu peneliti cendrung subyektif (misalnya menentukan sampel
berdasarkan kategorisasi atau karakteristik umum yang ditentukan sendiri oleh
peneliti). Ketiga, peneliti ingin mengidentifikasi jenis responden tertentu untuk
35
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif. hlm. 71. 36
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi. hlm. 45.
36
diadakan wawancara mendalam. Tujuan penelitian bukan hendak melakukan
generalisasi atas populasi yang lebih besar, tetapi lebih pada kehendak untuk
memperoleh informasi yang mendalam tentang suatu hal.37
Dengan judul peneliti yaitu Nilai Ekonomi Uang Panai dalam Adat Suku
Bugis (studi kasus di Kecamatan reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau)
Dalam penelitian ini, mengingat identitas populasi tidak diketahui, maka prosedur
pencarian responden dilakukan menggunakan teknik purposive sampling, di mana
sampel yang di ambil dengan pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan
penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi merupakan suatu kegiatan mendapatkan informasi yang
diperlukan untuk menyajikan gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk
menjawab pertanyaan penelitian, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan
untuk evakuasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan
umpan balik terhadap pengukuran tersebut. Hasil observasi berupa aktivitas,
kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu.38
2. Wawancara
Wawancara merupakan kegiatan atau metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan bertatapan langsung dengan informan. Proses memperoleh
penjelasan untuk mengumpulkan informasi dengan menggunakan cara tanya
37
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif. hlm. 72. 38
V.Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian, (Yogyakara: Pustakabarupress, 2014),
hlm. 32.
37
jawab bisa sambil bertatap muka ataupun tanpa tatap muka yaitu melalui media
telekomunikasi antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai, dengan
atau tanpa menggunakan pedoman. Pada hakikatnya wawancara merupakan
kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau
tema yang di angkat dalam penelitian.39
Petugas wawancara perlu mengetahui bagaimana seharusnya berprilaku
pada saat melakukan interview dengan responden. Bagaimana wawancara
dilakukan pada dasarnya bergantung pada siapa yang diwawancarai, dan juga
pada materi pertanyaan yang akan diajukan. Namun demikian, pewawancara
harus memahami suatu panduan umum agar wawancara yang dilakukan dapat
berhasil dengan baik.40
Informan yang akan peneliti wawancarai yaitu Tokoh Masyarat Bugis
yang bertempat tinggal di reteh atau mereka yang terlibat dengan apa yang
peneliti teliti. Untuk mendapatkan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka
teknik wawancara digunakan adalah teknik wawancara tidak terstruktur, dimana
penulis tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara
sistematis. Pedoman wawancara yang penulis gunakan hanya berupa garis-garis
besar permasalahan yang akan ditanyakan. Kelebihan dari teknik bisa memotifasi
informan yang diwawancarai untuk menjawab secara bebas dan terbuka, selain itu
peneliti juga bisa mengembangkan pertanyaan agar tidak terpaku pada satu
39
V.Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian, (Yogyakara: Pustakabarupress, 2014),
hlm. 31 40
Morissan, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014),
hlm. 216
38
pertanyaan saja sehingga peneliti bisa memperoleh informasi yang lebih
mendalam.
3. Dokumentasi
Studi dokumen merupakan metode pengumpulan data kualitatif sejumlah
besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi.
Sebagian besar data berbentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat,
cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. bahan dokumentasi terbagi beberapa
macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial,
klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data
tersimpan di website, dan lain-lain. Data jenis ini mempunyai sifat utama tidak
terbatas pada ruang dan waktu sehingga bisa di pakai untuk menggali informasi
yang terjadi di masa silam.
F. Teknik Analisis Data
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh ditulis dalam bentuk laporan atau data yang
terperinci. Laporan yang disusun berdasarkan data yang diperoleh direduksi,
gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan juga mempermudah peneliti
untuk mencari kembali data sebagai tambahan atas data sebelumnya yang
diperoleh jika diperlukan.
2. Penyajian Data
Data yang diperoleh dikategorisasikan menurut pokok permasalahan dan
dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat pola-
pola hubungan satu data dengan data lainnya.
39
3. Penyimpulan dan Verifikasi
Kegiatan penyimpulan merupakan langkah lebih lanjut dari kegiatan
reduksi dan penyajian data. Data yang sudah direduksi dan disajikan secara
sistematis akan disimpulkan sementara. Kesimpulan sementara perlu diverifikasi.
Teknik yang dapat digunakan untuk memverifikasi adalah triangulasi sumber data
dan metode, diskusi teman sejawat, dan pengecekan anggota.
40
BAB III
GAMBARAN UMUM
KECAMATAN RETEH PROVINSI RIAU
A. Sejarah Kecamatan Reteh
Kecamatan Reteh adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten
Indragiri Hilir (Inhil) Riau dengan ibu kota Kecamatan yakni Pulau Kijang berada
di aliran sungai Gangsal, Kecamatan Reteh mempunyai 16 (enam belas) desa dan
kelurahan. Adapun batas daerah atau wilayah kecamatan yaitu:
a) Sebelah utara Kecamatan Sungai Batang
b) Sebelah Barat Kecamatan Keritang
c) Sebelah Timur Selat Berhala
d) Sebelah selatan Kabupaten Tanjung jabung Barat Provinsi Jambi
Nama Kecamatan Reteh berasal dari nama sebuah sungai. Sungai tersebut
bermuara 2 (dua) dan kedua-duanya muara tersebut di sungai Gangsal. Muara
Sungai Reteh yang pertama posisinya terletak di perbatasan, Desa Sanglar dengan
Desa Pulau Kecil yang sekarang dikenal dengan sebutan Parit 20 atau Reteh
Lama. Muara ke 2 (dua) terletak di perbatasan Kota Baru Reteh dengan Kota Baru
Seberida.
Beberapa sumber menyebutkan, Sungai Reteh itu sendiri berasal dari kata
“letih”. Kata Letih menurut Kamus Bahasa Indonesia artinya loyo, lesu, tak
bertenaga, capek karena habis bekerja atau melakukan kegiatan berat. Selanjutnya
kata letih itulah yang pada akhirnya berubah menjadi Reteh. Sebagian sumber lagi
mengatakan bahwa kata Reteh berasal dari kata Seretih. Seretih yaitu nama
sebuah kampung diwilayah kekuasaan Raja Lingga yang mana masyarakat
40
41
kampung tersebut mengungsi melalui Sungai Gangsal akibat peperangan dan
pemukiman di sungai yang belum diketahui namanya sehingga mereka namakan
Sungai tersebut dengan nama asal kampung mereka yakni Seretih yang kemudian
menjadi Reteh.
Wilayah Kecamatan Reteh adalah bagian dari wilayah Kerajaan Keritang.
(cikal bakal Kesultanan Indragiri). Dengan berdirinya kesultanan Indragiri yang
berkedudukan di kota Raja (Rengat). Daerah kekuasan kesultanan Indragiri
meliputi Tembilahan, Tempuling, Sungai Luar, Anak Serkaden Enok. Sedangkan,
Reteh , Igal dan Mande diserahkan oleh Kesultanan Indragiri ke Kerajaan Bintan
sebagai pejabat yang menguasai wilayah Reteh, Igal dan Mande maka pada
tanggal 7 Januari 1833 di Istana Kota Parit Lingga dinobatkan Raja Lung dengan
Gelar Tengku Sulung dengan jabatan sebagai penguasa di wilayah Reteh, Igal dan
Mande, yang dilantik oleh Sultan Muhammad Syah.12 Dalam tatanan
Pemerintahan, Reteh sejak tahun 1833 sampai dengan tahun 1858 di bawah
pimpinan Raja Lung (Tengku Sulung) dengan pusat pemerintahannya terletak di
kemuning. Akhirnya pada tanggal 7 November 1858 Raja Lung tewas dalam
perjuangan melawan Belanda dalam pertempurannya di Desa Benteng.
Bintan dibubarkan tgl. 1-3-1913. Dengan bubarnya Kerajaan Bintan,
diutuslah pejabat dari Kerajaan Lingga Daek dengan jabatan Amir ( sekarang
Camat ) yaitu Raja Brine, Raja Usman, Raja Rafuh, Tengku Dut, Raja Nung bin
Ja‟far, Raja Maksum, Raja Cik dan Raja Husin. Selanjutnya dengan runtuhnya
Kerajaan Lingga Riau, maka Amit di Reteh diangkat dengan keputusan Presiden
yaitu:
42
1. Raja Hasan 1916-1917
2. Nursiwan 1917-1918
3. Sultan Palembang 1918-1932
4. Sidik 1932-1933
5. Mohd. Samin 1933-1935
6. Mohd. Zein 1935-1937
7. Mohd. Sirin 1937-1939
8. Bismarak 1939-1941
Dalam perjalanan sejarah sejak didefinisikan sampai dengan tahun 2006,
Kecamatan Reteh mekar menjadi beberapa Kecamatan seperti Kecamatan
Keritang, kemudian Kecamatan Keritang Mekar lagi menjadi Kecamatan Keritang
dan Kecamatan Kemuning. Pada tahun 2006 Kecamatan Reteh melebur menjadi
2(dua) Kecamatan Reteh dan Kecamatan Sungai Batang, sehingga dengan
demikian seluruh Wilayah Kecamatan Reteh pada akhir tahun 2006 sudah
terpecah menjadi 4 (empat) bagian Wilayah Kecamatan. Pada tahun 2013 desa
dan kelurahan Kecamatan Reteh terbagi menjadi 10 desa dan 4 kelurahan, yang
termasuk dalam wilayah Kecamatan Reteh adalah Pulau Kijang, Madani, Metro,
Pulau Kecil, Sanglar, Seberang Sanglar, Mekar Sari, Seberang Pulau Kijang,
Sungai Terap, Sungai Mahang, Tanjung Labuh, Pulau Ruku, Sungai Asam dan
Sungai Undan.
Kelurahan Pulau Kijang berdiri pada tahun 1981 tepatnya 1 Juli 1981.
Selama mulai berdirinya kelurahan Pulau Kijang sampai dengan sekarang sudah
beberapa kali mengalami pergantian kepemimpinan. Lurah yang pertama kali
43
menjabat sebagai kepala Kelurahan Pulau Kijang yaitu Ahmad Abdullah masa
pada tanggal 1 Juli 1981 – 18 Februari 1989. Setelah masa jabatan Ahmad
Abdullah berakhir maka digantikan oleh Mohd. Thiar Thaib, masa jabatannya
dimulai dari 1 Februari 1989 – 12 Oktober 1991. Mohd. Thiar Thaib menjabat
sebagai kepala kelurahan lebih kurang 2 tahun dan digantikan oleh Mohd Noer
OE dan menjabat lebih kurang 4 tahun yaitu dari 12 Oktober – 20 April 1995.
Setelah masa jabatan Mohd Noer OE berakhir maka digantikan oleh A. Rasyid,
AMP dan digantikan lagi oleh Maspun Thaib setelah itu digantikan oleh
Hardiansyah. Pada masa kepemimpinannya kantor kelurahan tidak lagi berada di
Jalan Kelurahan melainkan telah dipindahkan ke Jalan Sunan Gunung Jati Pulau
Kijang dan sampai saat sekarang ini yang memegang jabatan sebagai Kepala
Kelurahan adalah Ilhamzah.
B. Geografis
Sedikit pemandangan pulau kijang dari perairan saat naik speed boat Letak
geografis Kabupaten Indragiri Hilir terletak antara 104° 10' Bujur Timur - 102°32'
Bujur Timur dan 0° 36' Lintang Utara - 1° 07' Lintang Utara dengan luas wilayah
mencapai 1.160.597 Hektar. Iklim di wilayah ini adalah iklim tropis basah dengan
curah hujan 2.300 Milimeter.
a. Letak dan Luas Wilayah
Kelurahan Pulau Kijang merupakan bagian wilayah Kecamatan Reteh,
Kabupaten Indragiri Hilir. Jarak tempuh transportasi darat dari Kelurahan Pulau
Kijang ke Ibukota kabupaten 90 Kilometer, sedangkan ke ibukota Propinsi 360
44
Kilometer. jarak tempuh Kelurahan Pulau Kijang Ke Provinsi 450 Kilometer,
sedangkan luas wilayah Kelurahan Pulau Kijang 11.050 Kilometer.
b. Keadaan Alam
Kecamatan Reteh merupakan daerah tropis, pergantian musim hujan dan
musim kemarau sangat mendukung untuk tumbuh suburnya berbagai komoditas
kelapa, palawija dan multikultural, hutan bakau Nipah dan apai-api yang tumbuh
di pesisir pantai merupakan tempat berkembang biaknya biota laut. Demikian pula
hutan bakau sangat menjanjikan sebagai sumber pendapatan masyarakat pesisir
selain ikan dan udang.
c. Iklim
Curah pada bulan September sampai dengan bulan Februari rata-rata 186
mm, membuat areal sawah tadah hujan di Kecamatan Reteh cukup untuk
membuat suburnya tanam tersebut. Pergantian musim hujan ke musim
kemaraulahan sawah tadah hujan beralih fungsi sebagai lahan tanaman kedelai,
jagung dan semangka. Didaerah pesisir, pada musim Barat adalah saat yang
dinanti-nantikan oleh parah nelayan dimana produktifitas ikan dan udang
meningkat sampai melebihi kebutuhan pasar. Sehingga surplus hasil ikan dan
udang dipasarkan di Kuala Tungkal.
C. Potensi penghasilan daerah kecamatan reteh
Masyarakat di kecamatan reteh mempunyai berbagai macam ragam
potensi penghasilan bercam-macam mulai dari perkebunan, pertanian,
perdagangan, pegawai kantor / PNS, nelayan, penangkaran burung walet, dan
buruh. kita pahami mayoritas pekerjaan dilakukan masyarakat kecamatan reteh
45
adalah perkebunan kelapa. karna hal itu sesuai bagi tempat tinggal mereka, yang
cocok dipergunakan untuk lahan perkebunan.
Berbicara masalah sosial ekonomi selain berbicara masala pekerjaan juga
membicarakan masalah-masalah sumber ekonomi atau penghasilan masyarakat.
Secara umum sumber ekonomi masyarakat kecamatan reteh adalah sebagai
berikut :
a. Pertanian
Bidang usaha dalam bentuk pertaniana di kecamatan reteh yaitu berupa
padi, jagung, ubi-ubian, dan sayur-sayuran. Dari hasil pertanian tersebut, dapat
mereka jual dan dapat dipergunakan untuk kebutuhan sehari hari.
b. Perkebunan
Sesuai dengan kondisi tanah didaerah ini, tanaman yang sangat cocok
adalah tanaman kelapa. Sejak dahulu sampai sekarang daerah ini terkenal sebgai
penghasil kelapa. Buahnya selain bisa dijual, dapat digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari, dapat diolah menjadi minyak dan disela-sela kebun tersebut juga
dimanfaatkan untuk tanaman pisang.
c. Pedagang
Para pedagang biasanya menjual berbagai barang-barang yang dibutuhkan
oleh penduduk sekelilingnya. Ada sebagian peduduk yang memang usahanya
berdagang, dan ada juga yang hanya pekerjaan sampingan guna untuk
memperoleh hasil tambahan dari usaha yang lain.
46
d. Pegawai Negri Sipil
Selain guru. Petani dan nelayan yang hidup ditengah-tengah masyrakat
pada umumnya, ada juga diantara mereka yang bertugas mengabdikan dirinya
kepada negara yanng disebut dengan pegawai negri. Diantara Pegawai Negri Sipil
(PNS) tersebut adalah guru, bidan, perawat, dan bagian pemerintahan.
e. Nelayan
Selain petani atau pekebun, ada juga sebagian masyarakat kecamatan reteh
sebagai nelayan yang menangkap ikan dan udang di sungai-sungai atau pun parit-
parit. Hasil dari tangkapan ikan atau udang tersebut dapat mereka jual dan
sebagiannya mereka pergunakan untuk kebutuhan mereka sendiri.
f. Penangkaran Sarang Burung
Selain dari ketiga penghasilan tersebut diatas kecamatan reteh juga
memiliki penghasilan dari penangkaran sarang burung walet. Usaha tersebut
terbilang menjanjikan karna harga jualnya terbilang tinggi.
g. Buruh
Sebagian kecil ada juga masyarak berkerja sebagai buruh angkut barang di
pelabuhan dan buruh bangunan.
D. Susunan Organisasi Kecamatan Reteh
Kecamatan Reteh merupakan suatu unsur pemerintahan yang berada
dibawah naungan pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, mempunyai tugas pokok
menjalankan roda pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat
baik secara teknis maupun administrasi. Maka dari itu, diperlukan susunan
organisasi dan tata kerja yang baik guna menyelenggarakan tugas pemerintahan
47
dan pelayanan masyarakat secara terperinci dan sistematis. Berdasarkan Undang -
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 126 ayat
(2) dijelaskan bahwa Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh
pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian
urusan otonomi daerah. Selanjutnya pada ayat (3) disebutkan juga bahwa selain
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatas camat juga menyelenggarakan
tugas umum pemerintahan meliputi :
a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat
b. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
umum
c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang –
undangan
d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan Umum
e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat
kecamatan
f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya
dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Adapun uraian tugas dan fungsi Kecamatan Reteh adalah sebagai berikut :
1. Camat
Adapun tugas dan fungsi Camat adalah :
a. Membantu Bupati dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan
pembinaan kehidupan kemasyarakatan dalam wilayah kecamatan.
48
b. Melaksanakan kewenangan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten
c. Pelayanan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten
2. Sekretaris Kecamatan
Adapun tugas dan fungsi Sekretaris Kecamatan adalah sebagai berikut :
a. Membantu Camat Dalam Melakukan Pembinaan Administrasi Dan
Memberikan Pelayanan Teknis Administrative Kepada Seluruh
Perangkat/Satuan Organisasi Kecamatan.
b. Melakukan Pembinaan Dan Bimbingan Kepada Seluruh Pegawai Dalam
Rangka Pelaksanaan Tugas Dan Pencapaian Tujuan Organisasi.
c. Melakukan Koordinasi Disetiap Kegiatan Dengan Instansi Lainnya.
d. Pembinaan Terhadap Unit Pelayanan Terpadu (UPT) .
e. Melaksanakan Pembinaan Administrasi Umum Dan Keuangan .
3. Kasubbag Perencanaan Program
Adapun tugas dan fungsi Kasubbag Perencanaan Program adalah sebagai
berikut :
a. Merencanakan Program Kegiatan Kecamatan Dan Sub Bagian Perencanaan
Program Pada Kantor Camat Reteh.
b. Melaksanakan penyususnan dan pembuatan rencana kerja/program tahunan
(RKT), Arah Kebijakan Umum (AKU), Rencana Kerja Satuan Kerja
Perangkat Daerah (RENJA SKPD) dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP) pada Kantor Camat Reteh.
c. Menghimpun dan menyiapkan RKA serta mengkoordinir proses pembahasan
sampai menjadi DPA dengan persiapan revisi.
49
d. Mengupayakan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) pada Kantor Camat Reteh.
e. Melaksanakan pengelolaan dan mendistribusikan raskin.
f. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh sekcam dalam rangka
kelancaran pelaksanaan tugas.
4. Kasubbag Keuangan
Adapun tugas dan fungsi Kasubbag Keuanganadalah sebagai berikut :
a. Merencanakan program kegiatan kecamatan dan sub bagian keuangan pada
kantor Camat Reteh.
b. Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap kinerja bendahara
pengeluaran dan pembantu bendahara pengeluaran.
c. Melaksanakan pengelolaan administrasi keuangan, membuat laporan
pertanggungjawaban serta evaluasi terhadap administrasi keuangan pada
Kantor Camat Reteh.
d. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Sekcam dalam rangka
kelancaran pelaksanaan tugas.
5. Kasubbag Administrasi Umum
Adapun tugas dan fungsi Kasubag Administrasi Umumadalah sebagai
berikut:
a. Merencanakan program kegiatan Kecamatan dan sub bagian administrasi
umum pada Kantor Camat Reteh.
b. Mengarahkan dan mendistribusikan surat masuk dan keluar sesuai dengan
kepentingan dan permasalahannya.
50
c. Mengatur urusan rumah tangga dan tugas keprotokolan pada Kantor Camat
Reteh.
d. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Sekcam dalam rangka
kelancaran pelaksanaan tugas.
6. Kepala Seksi Tata Pemerintahan
Adapun tugas dan fungsi Kepala Seksi Tata Pemerintahan adalah sebagai
berikut :
a. Melaksanakan tugas administrasi dibidang pemerintahan Kecamatan,
Pemerintahan Kelurahan Pemerintahan Desa serta dibidang pertanahan dan
kependudukan pada Kantor Camat Reteh.
b. Melaksanakan penyelesaian sengketa tanah dan tapal batas diwilayah
Kecamatan.
c. Menyelenggarakan pembinaan keagrariaan dan pemberian surat keterangan
yang berhubungan dengan pertanahan.
d. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Camat dalam rangka kelancaran
pelaksanaan tugas.
7. Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Adapun tugas dan fungsi Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa adalah sebagai berikut :
a. Melakukan pembinaan pembangunan yang meliputi pembinaan
perekonomian, produksi dan distribusi pada Kantor Camat Reteh.
b. Mengkoordinir dan melakukan pendataan terhadap pemungutan Pajak Bumi
dab Bangunan (PBB) dan retribusi daerah diwilayah Kecamatan
51
c. Penyiapan bahan, penyusunan dan petunjuk teknis pembinaan administrasi
pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
d. Merumuskan dan melaksanakan pembuatan monografi dan profil
Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
e. Melakukan pemantauan, pengawasan dan membbuat laporan pertanggung
jawaban terhadap penggunaan dana ADD Desa dan melakukan evaluasi
kegiatan pembangunan diwilayah Kecamatan.
f. Melaksanakan kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
ditingkat Kecamatan dan Kabupaten.
g. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Camat dalam rangka kelancaran
pelaksanaan tugas.
8. Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial dan Budaya
Adapun tugas dan fungsi Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial dan Budaya
adalah sebagai berikut :
a. Memberikan pelayanan dibidang kesejahteraan sosial dan budaya yang
meliputi pelayanan umum, bantuan sosial, pembinaan kepemudaan, peranan
wanita dan olah raga diwilayah kecamatan.
b. Merumuskan dan melaksanakan kegiatan MTQ, HUT RI, HUT Indragiri Hilir
dan peringatan hari besar lainnya.
c. Merumuskan dan melaksanakan pemberian BLT dan jamkesmas kepada
masyarakat.
d. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Camat dalam rangka kelancaran
pelaksanaan tugas.
52
9. Kepala seksi Ketentraman dan Ketertiban
Adapun tugas dan fungsi Kepala seksi Ketentraman dan Ketertiban adalah
sebagai berikut :
a. Melakukan pembinaan dan pelayanan dibidang ketentraman dan ketertiban
Umum serta pembinaan Polisi Pamong Praja di Kecamatan.
b. Merumuskan dan melaksanakan penyiapan bahan penyusunan dan petunjuk
teknis pembinaan administrasi pemberian izin gangguan (HO).
c. Melakukan pembinaan ketentraman dan ketertiban diwilayah Kecamatan.
d. Melaksanakan pembinaan ideologi Negara dan kesatuan bangsa diwilayah
Kecamatan.
e. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Camat dalam rangka kelancaran
pelaksanaan tugas.
10. Kelompok Jabatan Fungsional
Adapun tugas dan fungsi Kelompok Jabatan Fungsional adalah
melaksanakan sebagian dari fungsi camat sesuai dengan kebutuhan dan keahlian
masing - masing.
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pandangan Ekonomi Islam terhadap Uang Panai‟ dalam Perkawinan Adat
Suku Bugis
Adat pemberian uang panai‟ diadopsi dari adat perkawinan suku bugis
asli. Uang panai‟ bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan.
Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan
oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai wanita yang
ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya
melalui uang panai‟ tersebut. Fungsi uang panai‟ yang diberikan secara ekonomis
membawa pergeseran kekayaan karena uang panaik yang diberikan mempunyai
nilai tinggi. Secara keseluruhan uang panai‟ merupakan hadiah yang diberikan
calon mempelai laki laki kepada calon mempelai wanita untuk memenuhi
keperluan pernikahan.
Menurut Taqim tentang uang panaik yaitu:
“Uang panai‟ sebenarnya di kalangan orang Bugis sudah menjadi adat dan
kebiasaan dari dulu. Apabila menikah dengan orang Bugis memang agak
mahal biayanya. Hal ini memang memberatkan pihak laki-laki apalagi
kalau pihak perempuan adalah turunan bangsawan. Hanya saja pada
beberapa kalangangan menganggapnya sebagai tanda keseriusan pihak
laki-laki. Namun demikian, pada hakikatnya uang panai‟ yang banyak
tersebut tetap menjadi kendala bagi pihak laki-laki. Kalau kita kembalikan
keajaran Islam, maka seharusnya pihak wanita mempermudah pinangan
tersebut.”41
41
Taqim , Masyarakat Pulau Kijang”Wawancara”, tanggal 24 Juli 2019
53
54
Dari pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa uang panai‟ yang tinggi
bisa menjadi hal yang bertentangan dengan syariat Islam ketika hal ini dilakukan
secara berlebihan hingga menjadikan pernikahan sangat sulit untuk ditunaikan.
Selain itu, tujuan uang panaik yang awalnya sebagai uang pesta, agar keluarga
mempelai dapat menyelenggarakannya dengan mengundang kerabatnya kini telah
bergeser makna. Karena uang panaik digunakan juga untuk mengundang electone
dimana pakaian biduannya yang tidak sesuai dengan syariat Islam, menyewa baju
bodo dimana kainnya yang tipis sehingga transparan, dan terlalu berlebihan dalam
hal makanan. Jadi dalam ekonomi Islam, uang panai‟ yang tinggi boleh-boleh saja
diberikan apabila pihak laki-laki sanggup memberikan dan tidak menyusahkan
pihak laki-laki.
1. Prinsip keseimbangan
Keseimbangan merupakan nilai dasar yang pengaruhnya terlibat pada
berbagai aspek tingkah laku ekonomi muslim, misal kesederhanaan (moderation),
berhemat (parsimon), dan menjahi pemborosan (extravagance).
Konsep nilai kesederhanaan berlaku dalam tingkah laku ekonomi,
terutama dalam menjauhi konsumerisme dan menjauhi pemborosan berlaku tidak
hanya untuk pembelanjaan yang diharamkan saja, tetapi juga pembelanjaan dan
sedekah yang berlebihan.
Keseimbangan yang dimaksudkan bukan hanya berkaitan dengan
keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, tapi juga berkaitan dengan
keseimbangan kebutuhan individu dan kebutuhan kemasyarakatan (umum). Islam
menekankan keselarasan antara lahir dan batin, individu dan masyarakat. Oleh
55
sebab itu, sumber daya ekonomi harus diarahkan untuk mencapai kedua
kesejahteraan tersebut. Islam menolak secara tegas umat manusia yang terlalu
rakus dengan penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran
keberhasilan ekonomi.42
Dari tulisan di atas, sudah terlihat jelas bahwa didalam islam sangat di
tegaskan untuk tidak terlalu boros dalam penguasaan materi dan menganggapnya
sebagai ukuran keberhasilan. Penulis mengangkat poin keseimbangan di dalam
melihat kedudukan uang panaik didalam ekonomi islam karena penulis
beranggapan bahwa uang (materi) tidak dapat kita simbolkan sebagai tolak ukur
kehidupan manusia kedepannya, serta tidak dapat di ukur dari segi keberhasilan
suatu resepsi pernikahan walaupun segala sesuatu yang di perlukan di dalam
resepsi itu membutuhkan uang.
Konsep pesta adat yang dibiayai dengan uang panaik ditinjau dari sudut
pandang ekonomi Islam adalah pemborosan, karena masyarakat di jaman ini
mengadakan resepsi perkawinan untuk berbangga-bangga. Kita banyak
menyaksikan adanya resepsi yang berlebih-lebihan, pemborosan. Bahkan, ada
yang membebani diri dengan resepsi yang uang panaiknya di luar
kemampuannya, sampai ada yang menggadaikan atau bahkan menjual hak
miliknya, atau dengan mencari utang yang akan mencekik lehernya. Perbuatan
demikian sebenarnya dilarang oleh agama. Allah swt. tidak mengajarkan
demikian.
42
M. Umer Chapra, “Negara Sejahtera Islami dan Perannya di Bidang Ekonomi”, dalam
Ainur R. Sophian, Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategi Pembangunan Masyarakat
Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 28
56
Islam mengatur secara jelas mengenai masalah pernikahan. Termasuk di
dalamnya adanya akad nikah, serta walīmah al-„urs. Bahwa pernikahan tidak
hanya akad nikah namun perlu adanya suatu walīmah al-„urs. Oleh sebab itu,
syari‟at menganjurkan supaya pernikahan tersebut dipublikasikan pada khalayak
umum, dan makruh hukumnya untuk dirahasiakan. Disunnahkan mengumumkan
(waktu dan tempat) prosesi akad nikah dan mengundang masyarakat sekitar,
untuk membedakan antara pernikahan dan perzinaan dan perbuatan haram, karena
perbuatan haram identik dengan perbuatan remang-remang.
Sedangkan dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. menyerukan
kepada kita agar melaksanakan pesta perkawinan sesederhana mungkin sesuai
dengan tujuan uang panaik dalam konsep Islam yaitu dengan menyederhanakan
pesta perkawinan dan dilaksanakan sesuai kemampuan.
Untuk mewujudkan prinsip tersebut, peneliti beranggapan bahwa pihak
keluarga laki-laki dan keluarga perempuan terlebih dahulu harus menyetujui atau
menyepakati uang panaik yang akan diberikan pihak laki-laki yang kemudian di
kembalikan setengahnya ke pihak keluarga laki-laki. Supaya terlihat seimbang
dan lebih ekonomis dan supaya tidak ada yang merasa dirugikan.
Pada intinya peneliti juga menyarankan bahwa yang perlu diperhatikan
adalah jangan sampai terdapat unsur keterpaksaan antara kedua belah pihak, bagi
yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan uang panaik dalam jumlah
yang besar hendaknya jangan terlalu dipaksakan. Ditinjau dari sudut agama, Islam
sebagai agama rahmat lil„alamin tidak menyukai penentuan uang panaik (pesta
pernikahan) yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan perkawinan,
57
demikian pula uang panaik (biaya pesta) yang hanya merupakan anjuran agar
tidak memberatkan bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah.
2. Prinsip keadilan
Secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana terdapat kesamaan perlakuan di mata hukum, kesamaan hak kompensasi,
hak hidup secara layak, dan hak menikmati pembangunan.
Keadilan harus ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi, baik kaitannya
dengan produksi maupun konsumsi, yaitu dengan aransemen efisiensi dan
memberantas keborosan ke dalam keadilan distribusi ialah penilaian yang tepat
terhadap faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga hasilnya sesuai dengan
takaran yang wajar dan ukuran yang tepat atau kadar sebenarnya.
Jika Ditinjau dari poin kedua yaitu prinsip keadilan sebagaimana telah di
jelaskan bahwa Nilai keadilan merupakan konsep universal yang secara khusus
berarti menempatkan sesuatu pada posisi dan porsinya. Kata adil dalam hal ini
bermakna tidak berbuat zalim kepada sesama manusia, bukan berarti sama rata
sama rasa. Dengan kata lain, maksud adil di sini adalah menempatkan sesuatu
pada tempatnya.
Dari penjelasan tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa keadilan
didalam kehidupan bermasyarakat sangatlah di butuhkan, karena didalam
kehidupan bermasyarakat sangatlah diperlukan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Dari kesadaran kemanusiaan yang tinggi inilah manusia dapat memunculkan sifat
keadilan yang bisa di pakai di dalam tawar menawar uang panaik antara pihak
pria dan pihak wanita. Tawar menawar uang panaik dalam segi prinsip keadilan
58
yang di maksud peneliti adalah sesuainya kemampuan yang di sanggupi dari
pihak laki-laki yang bisa di terima pihak perempuan atau bisa di katakan
kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan melalui pembicaraan
kedua bela pihak dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Islam telah memberikan kemudahan kepada para pemeluknya dalam
menjalankan hukum Islam sesuai dngan kemmapuannya. Hal ini dapat kita lihat
pada ayat al-Qur‟an sebagai berikut:
1. Q.S Al-Baqarah / 2 : 286
…نفسا إل وسعهال يكلف الل
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.43
2. Q.S An-Nisa / 4 : 28
يريد نسان وخلق عنكم يخفف أن الل …ضعيفا ال
Artinya :
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat
lemah.44
3. Q.S Al-Maidah / 5 : 6
يريد ما …حرج من عليكم ليجعل الل
Artinya:
Allah tidak hendak menyulitkan kamu.45
Dengan melihat ayat-ayat dia atas, nampaklah kepada kita bahawa hukum
Islam berjalan di atas kemudahan, tidak memberatkan dan tidak menyulitkan. Dan
perkawinan tiada lain hanya untuk melaksanakan ketetapan yang sudah menjadi
Sunnatullah dan melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah swt. Karena
43
Q.S. Al-Baqarah (2):286. 44
Q.S. An-Nisa (4):28. 45
Q.S. Al-Maidah (5):6.
59
adanya unsur mempersulit perkawinan dengan tuntutan mahar dan uang panai‟
yang mahal atau berbagai tuntutan yang lainnya, hal ini tidak sesuai dengan
kemudahan yang dianjurkan oleh Allah swt.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa uang panai‟ adalah sejumlah
uang yang wajib diserahkan oleh calon mempelai suami kepada pihak keluarga
calon istri yang akan digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan, di mana
uang tersebut belum termasuk mahar. Menurut pandangan bapak Drs. H. Sayuti,
M.Pd.I bahwa :
Pemberian uang panai‟ dalam perkawinan adat bugis adalah suatu yang
tidak bisa diabaikan. Tidak ada uang panai‟ berarti tidak ada perkawinan.
Karena uang panai‟ dan mahar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.46
Kebiasaan inilah yang berlaku pada masyarakat suku Bugis sejak lama dan
turun menurun dari satu periode ke periode selanjutnya sampai sekarang. Pada
hakikatnya dalam hukum perkawinan Islam tidak ada kewajiban untuk
memberikan uang panai‟, kewajiban yang ada dalam perkawinan Islam hanyalah
memberikan mahar kepada calon istri. Pemberian uang panaik ini merupakan adat
kebiasaan yang turun temurun dan tidak bisa ditinggalkan karena mereka telah
menganggap bahwa uang panaik merupakan suatu kewajiban dalam perskawinan.
Jadi hal yang terpenting adalah mahar haruslah sesuatu yang bisa diambil
manfaatnya, baik berupa uang atau sebentuk cincin yang sangat sederhana
sekalipun.
Telah dipaparkan di atas bahwa dalam Islam tidak ada ketentuan yang
pasti tentang standar minimal dan maksimal dari mahar yang harus dibayarkan
46
Drs. H. Sayuti, M.Pd.I, Ketua KUA Pulau Kijang, Wawancara, tanggal 15 juli 2019
60
oleh suami kepada calon isteri. Islam hanya menganjurkan kepada kaum
perempuan agar tidak berlebihlebihan dalam meminta jumlah mahar kepada
suami.
Anjuran di atas merupakan perwujudan dari prinsip menghindari
kesukaran atau kesusahan (raf‟ al-haraj) dan mengutamakan kemudahan (altaysir).
Dua prinsip ini merupakan prinsip universal dalam menjalankan keseluruhan
syari‟at Islam. Hanya saja, dalam melaksanakan hukum pernikahan prinsip
tersebut jauh lebih ditekankan, dalam artian mempersulit terwujudnya pernikahan
dan membebani laki-laki dengan sesuatu yang tidak kuat mereka pikul adalah
pemicu kerusakan dan bencana. Di sisi lain, Islam sangat akomodatif terhadap
kondisi dan kemampuan manusia. Tidak bisa dipungkiri, mereka berbeda dalam
hal pendapatan, kebiasaan, tradisi dan lainnya.
Islam tidak menyukai penentuan mahar yang terlalu berat atau di luar
jangkauan kemampuan seorang laki-laki, karena hal ini dapat membawa akibat
negatif antara lain: pertama, menjadi hambatan berlangsungnya nikah bagi laki-
laki dan perempuan, terutama bagi mereka yang sudah merasa cocok dan telah
mengikat janji, akibatnya kadang-kadang mereka putus asa dan nekad mengakhiri
hidupnya; kedua, mendorong atau memaksa pihak laki-laki untuk berhutang. Hal
ini bisa berdampak kesedihan bagi suami isteri dan menjadi beban hidup mereka
karena mempunyai hutang yang banyak. Dampak ketiga, adalah mendorong
terjadinya kawin lari.
Di samping itu, dampak lain yang bisa ditimbulkan adalah banyaknya
wanita yang tidak kawin dan menjadi perawan tua karena para lelaki
61
mengurungkan niatnya untuk menikah disebabkan banyaknya tuntutan yang harus
disiapkan oleh pihak lakilaki demi sebuah pernikahan. Lebih jauh lagi, akibat
yang timbul karena besarnya tuntutan yang harus dipenuhi adalah dapat
mengakibatkan para pihak yang ingin menikah terjerumus dalam perbuatan dosa.
Demikianlah, Islam sangat menganjurkan perempuan agar tidak meminta
mahar yang terlalu berlebihan atau memberatkan laki-laki. Mahar bukan tujuan
dari pernikahan, melainkan hanya simbol ikatan cinta kasih. Pernikahan dengan
mahar yang ringan bisa membawa keberkahan dalam rumah tangga.
B. Kedudukan Uang Panai‟ ditinjau dari Hukum Adat di Kecamatan Reteh
Perkawinan dalam Islam merupakan sarana efektif untuk menjaga umat
manusia dari kebobrokan moral, menjaga setiap individu dari kerusakan
masyarakat sebab manusia mempunyai naluri yang cukup mencintai lawan
jenisnya, dapat disalurkan lewat pernikahan yang formal, yaitu hubungan yang
halal.47
Itulah sebabnya Rasulullah saw. khususnya bagi kaum muda agar tidak
terbelenggu dalam jurang kenistaan sehingga ia menganjurkan perkawinan
sebagaimana sabdanya sebagai berikut :
، فقبه: يب ب ب ع عبذ الله فيقيه عث ت ت، قبه: م عيق سعىد ع حذيث عبذ الله ب ح أبب عبذ اىش
ض وجل بنشا تز م إ في أ ح : هو ىل يب أ بب عبذ اىش ب ت تعهذ ىي إىيل حبجت، فخييب فقبه عث ب م شك
ت ، فقبه: يب عيق ىيس ىه حبجت إى هزا، أشبس إىي ب سأي عبذ الله أ في ب ىئ تهيت إىيه وهى يقىه: أ فب
اىببءة ن استطبع عشش اىشببة يستطع فعييه بب قيت رىل، ىقذ قبه ىب اىبي صلى الله عليه وسلم: يب ى ج، و فييتضو
فإه ىه ى وجبء ىص
47
Thoriq Ismail, Az-Zuwajul Islami, Diterjemahkan oleh Zainuddin Mz, Mahrous Ali dan
H. Abdullah dengan judul “Pernikahan” (Cet. I; Surabaya Pustaka Progressif, 1994), h. 14.
62
Artinya:
Alqamah berkata: Ketika aku bersama Abdullah bin Mas'uud di Mina tiba-tiba
bertemu dengan Usman, lalu dipanggil: Ya Aba Abdirrahman, saya ada hajat
padamu, lalu berbisik keduanya: Usman berkata: Ya Aba Abdirrahman, sukakah
anda saya kawinkan dengan gadis untuk mengingatkan kembali masa mudamu
dahulu. Karena Abdullah bin Mas'uud tidak berhajat kawin maka menunjuk
kepadanya dan dipanggil: Ya Alqamali, maka aku datang kepadanya, sedang ia
berkata: Jika anda katakan begitu maka Nabi saw. bersabda kepada kami: Hai
para pemuda siapa yang sanggup (dapat) memikul beban perkawinan maka
hendaklah kawin, dan siapa yang tidak sanggup maka hendaknya berpuasa
(menahan diri) maka itu untuk menahan syahwat dari dosa.48
Hadis tersebut menganjurkan umatnya melakukan suatu perkawinan
apabila telah mampu. Sebagian ulama mengatakan ada dua macam kemampuan,
yakni kemampuan memberi nafkah batin antara lain senggama dan kemampuan
member nafkah lahir antara lain nafkah rumah tangga. Apabila seorang pemuda
telah memiliki dua kemampuan ini, maka hendaklah dia menikah. Jadi apabila
uang panai‟ yang cukup tinggi mengakibatkan tak terlaksanakannya perkawinan,
karena di luar kemampuan seorang laki-laki banyak yang enggan kawin akibat
terlalu tingginya uang panai‟ yang harus dipersiapkan untuk melaksanakan
perkawinan. Hal ini tidak sesuai dengan hukum Islam yakni menganjurkan untuk
melaksanakan perkawinan yang tidak menyulitkan kedua belah pihak.
Proses perkawinan tiap-tiap daerah selalu menjadi hal yang sangat
menarik untuk dibahas, baik dari segi latar belakang budaya perkawinan tersebut,
maupun dari segi kompleksitas perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu dalam
perkawinan yang terjadi bukan hanya sekedar menyatukan dua orang yang saling
mencintai. Lebih dari itu, ada nilai yang tidak lepas untuk dipertimbangkan dalam
48
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Muslim li al-Imam Abu al-Husain Muslim bin
al-
Hajjaj al-Qusyairi an-Naisburi (Cet. I; Jakarta: Pusaka As-Sunnah, 2010), h. 703
63
perkawinan, seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari masing-
masing keluarga laki-laki dan perempuan. Kompleksitas perkawinan pada
masyarakat bugis merupakan nilai-nilai yang tak lepas untuk dipertimbangkan
dalam perkawinan.
Perkawinan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan adat
dan kebudayaan mayarakat bugis. Dalam adat perkawinan masyarakat bugis
memiliki tradisi yang paling kompleks dan melibatkan banyak emosi. Bagaimana
tidak, mulai dari ritual lamaran hingga selesai resepsi perkawinan akan
melibatkan seluruh keluarga yang berkaitan dengan kedua pasangan calon
mempelai. Salah satu tradisi tersebut adalah adanya kewajiban memberikan uang
panai‟ dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat terlaksananya
perkawinan.
Tentang sejarah awal mulanya uang panaik perkawinan dalam adat
perkawinan suku Bugis dapat dilihat hasil wawancara peneliti dengan seorang
tokoh masyarakat sebagai berikut ini :
“Uang panai‟ dalam adat perkawinan suku Bugis mulai berlaku sekitar
tahun 1950, pada waktu itu yang memberlakukan uang panai‟ tersebut
hanya terbatas pada kaum bangsawan saja. Uang panai‟ tersebut
dimaksudkan untuk memeriahkan pesta perkawinan serta menunjukkan
kebangsawanan mereka, makin semarak pesta perkawinan yang
diselenggarakan, maka makin dikagumilah bangsawanan tersebut.
Demikianlah hingga akhirnya kebiasaan para bangsawan memberlakukan
adanya uang panai‟ jika mengawinkan anak-anak mereka akhirnya lambat
laun diikuti oleh seluruh anggota masyarakat dan tetap berlaku sampai
sekarang”.49
Hal lain dikemukakan oleh H. Firdaus, S.Pd. SD. salah seorang tokoh
masyarakat di Kecamatan Reteh bahwa :
49
Bahtiar, S.Ag, Ketua Pemuda ”Wawancara”, di Kecamatan Reteh tanggal 19 Juli 2019
64
“Uang panai‟ sejak adanya perkawinan dalam masyarakat bugis. Setelah
Islam datang dan ajarannya tersebar di tengah masyarakat termasuk
kewajiban memberikan mahar dalam perkawinan, maka uang panaik ini
tidak serta merta dihapus, akan tetapi tetap dipertahankan sehingga
muncullah dua kewajiban yang masing-masing harus dipenuhi oleh
mempelai pria yaitu mahar sebagai kewajiban agama dan uang panai‟
sebagai kewajiban adat”.50
Kalau melihat hasil wawancara kedua di atas, sangatlah berbeda. Hasil
wawancara yang pertama menyebutkan dengan jelas kapan berlakunya uang
belanja tersebut, sedangkan hasil wawancara yang kedua hanya
memperkirakannya. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa uang panai‟ tersebut
memang sudah ada sejak dulu yang masih tetap dipertahankan hingga sekarang
sebagai wujud dalam berpegang teguh kepada adat istiadat.
Secara sederhana, uang panai‟ atau uang belanja, yakni sejumlah uang
yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak keluarga mempelai
perempuan. Uang panai‟ ini tidak terhitung sebagai mahar perkawinan, melainkan
kedudukannya sebagai uang adat yang terbilang wajib dengan jumlah yang telah
disepakati oleh keluarga kedua belah pihak dan menjadi penentu berlanjutnya
rencana perkawinan ke tahap selanjutnya. Uang panai‟ tersebut ditujukan untuk
belanja kebutuhan pesta pernikahan.51
Fenomena jumlah pemberian uang panai‟ yang tinggi sehingga
menghasilkan sebuah pesta perkawinan yang mewah sebenarnya hanya berlaku
bagi keluarga kerajaan atau golongan bangsawan, namun sekarang mengalami
pergeseran dan mulai dipraktekkan masyarakat umum Suku Bugis. Dalam hukum
Islam memang tidak ada kewajiban memberikan uang panai‟. Pemberian wajib
50
H. Firdaus, S.Pd. SD. Tokoh Adat Desa Seberang Sanglar, Wawancara, tanggal 01 juli
2019 51
M. Fremaldin, “Fenomena Uang Panaik dalam Perkawinan Bugis Makassar” h.1
65
ketika akan melangsungkan sebuah perkawinan dalam hukum Islam hanyalah
mahar sebagai bukti cinta kasih suami kepada istrinya. Sedangkan pemberian
wajib uang panaik adalah tradisi adat bugis saja.
Seperti yang dilakukan Nabi Muhammad saw. pada saat menikahi Siti
Khadijah, beliau memberikan mahar sebanyak 500 dirham, sesuai dengan hadits
berikut ini:
صذاقه لاصواجه اث صذاق سسىه الله ص؟ قبىت: مب مب ت قبه: سبىت عبئشت: م اب سي تي عششة ع
؟ قي ب اىش . اىجبعت الا اوقيت و شب. قبىت: اتذسي بئت دسه س ت: لا. قبىت: صف اوقيت.فتيل خ
اىبخبسي و اىتشزي
Artinya:
Dari Abu Salamah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Aisyah, “Berapakah
mahar Rasulullah SAW”. Ia menjawab, “Mahar beliau kepada isteri-isterinya
adalah dua belas uqiyah lebih satu nasy”. Aisyah bertanya, “Tahukah kamu
apakah nasy itu ?”. Aku menjawab, “Tidak”. Aisyah berkata, “Setengah uqiyah,
jadi seluruhnya sama dengan lima ratus dirham”.52
Dari hadis diatas dapat kita simpulkan bahwa kewajiban membayarkan
mahar pada hakikatnya tidak hanya untuk kesenangan namun lebih kepada
penghormatan dan pemberian dari calon suami kepada calon istri sebagai awal
dari sebuah pernikahan dan sebagai tanda bukti cinta kasih seorang laki-laki.
Islam tidak menetapkan jumlah besar kecilnya mahar. Oleh karena itu, dalam
menyerahkan mahar berdasarkan kemampuan masing-masing, atau keadaan dan
tradisi keluarganya.
Berbeda dengan uang panai‟ dalam masyarakat yang dikenal dengan nama
Uang Belanja, yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
52
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Muslim li al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al
Hajjaj al-Qusyairi an-Naisburi, h. 735
66
sebelum perkawinan dilaksanakan tidak pernah di temukan dalam al-Qur‟an dan
hadis. Hal ini berarti suatu kata yang lahir dari adat istiadat suatu suku, dimana
kata uang panai‟ sering ditemui dan dengarkan dalam adat Bugis. Khususnya
masyarakat di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir, apabila terjadi suatu
pelaksanaan perkawinan, tanpa adanya sejumlah uang panai‟ tersebut maka
perkawinan tidak dapat dilaksanakan.
Sumber uang Panai‟ yaitu berasal dari adat istiadat suku Bugis, maka
sangat disesalkan jika hanya karena uang panai‟ yang terlalu tinggi yang tidak
mampu dipenuhi oleh pihak laki-laki, dengan maksud pihak laki-laki itu hanya
ingin menuruti hawa nafsunya untuk melaksanakan suatu pesta perkawinan yang
semeriah mungkin, karena ia tidak mau kalah dengan orang yang ada disekitarnya
dan merasa malu kalau uang panaiknya sedikit, sehinga biasanya perkawinan
gagal hanya karena tidak terpenuhinya uang panai‟ tersebut.
Adapun akibat hukum jika pihak laki-laki tidak mampu menyanggupi
jumlah uang panai‟ yang di targetkan, maka secara otomatis perkawinan akan
batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah pihak keluarga laki-laki
dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan di kalangan masyarakat
setempat.
Sesuai yang dikatakan H. M. Nur Paduppai bahwa:
“Khusus di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir pada saat acara
Madduta (pelamaran) yang pertama kali dibahas adalah Uang Panai‟.
Karena dari sisi adat uang Panai‟ itu wajib. Dan yang selalu
67
dipermasalahkan adalah uang Panai‟ bukan mahar karena itu sudah
menjadi pemahaman budaya.”53
Satu hal yang harus dipahami bahwa uang panai‟ yg diserahkan oleh calon
suami diberikan kepada orang tua calon istri, sehingga dapat dikatakan bahwa hak
mutlak pemegang uang panai‟ tersebut adalah orang tua si calon istri. Orang tua
mempunyai kekuasaan penuh terhadap uang tersebut dan begitupun
penggunaanya.
Akan tetapi, Bapak H. Nawawi . Menurutnya:
“Perlu dibedakan uang panaik dengan mahar. Kalau uang panai‟ sebagai
pengganti biaya pernikahan saya kira wajar selama itu sepadan dengan
biaya yang dibutuhkan. Yang biasa dan bisa bikin mahal uang panai‟ itu
karena ada korelasi antara besaran pesta dengan status sosial keluarga
mempelai. Semakin tinggi status sosial seseorang tentu akan berupaya
membuat pesta sebesar dan semewah mungkin. Itu pemikiran dasarnya.”54
Menurut Drs. H. Sayuti, M.Pd.I Ketua KUA Kecamatan Reteh uang
panaik saat ini sebenarnya telah bergeser makna. Menurutnya, selain sebagai
simbol harga diri (siri') wanita yang akan dinikahi, juga merupakan representasi
dari harga pesta perkawinan yang akan diselengggarakan. Menurutnya:
“Uang panai‟ ini adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk
keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya.
Uang panai‟ ini tidak terhitung sebagai mahar pernikahan melainkan
sebagai uang adat, namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati
oleh kedua belah pihak atau keluarga.”55
Mengamati apa yang diungkapkan oleh pak Drs. H. Sayuti, M.Pd.I, maka
seharusnya jumlah uang panai‟ tidak semahal sekarang ini. Seharusnya, uang
53
H. M. Nur Paduppai, Tokoh Masyarakat Pulau Kijang, Wawancara, tanggal 17 juli
2019 54
H. Nawawi, Tokoh Masyarakat Pulau Kecil, Wawancara, tanggal 28 juni 2019 55
Drs. H. Sayuti, M.Pd.I, Ketua KUA Pulau Kijang, Wawancara, tanggal 15 juli 2019
68
panai‟ merepresentasikan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan
pesta perkawinan.
Islam sangat menghendaki meluaskan jalan dan kesempatan kepada
sebanyak mungkin laki-laki dan perempuan untuk menempuh hidup suami-istri
agar masing-masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik, untuk
mencapai hal ini tidak lain dari pada harus memberikan jalan yang mudah dengan
saran yang praktis sehingga orang yang fakir yang sulit mengeluarkan biaya yang
besar, padahal mereka merupakan jumlah yang terbanyak dari umat manusia yang
mampu berumah tangga. Oleh karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang
terlalu banyak apalagi uang Panai‟.
Lain hal dengan di atas, segala pelaksanaan dalam Islam dianjurkan
ekonomis, termasuk dalam biaya pelaksanaan resepsinya. Namun kebanyakan
manusia sekarang telah berpaling dari ajaran Islam yang benar, sehingga yang
dijadikan dalam mengawinkan anak perempuannya hanya karena materi, bagaikan
seorang pedagang yang memandang dagangannya, mengaharap laku mahal dan
untung besar sehigga tanpa memandang norma-norma akhlak. Nilai-nilai agama
yang justru dibutuhkan demi kebaikan rumah tangga dan juga memperkuat
tongkak rumah tangga seorang muslim.
C. Tolak Ukur Uang Panai‟ dalam Adat Suku Bugis
Biaya uang panai merupakan suatu hal yang sangat diprioritaskan dalam
sebuah pesta perkawinan, karena kesuksesan pesta tersebut sebagian besar
69
ditunjang oleh jumlah uang panai tersebut. Baik dari jamuan makanan dan
perlengkapan lainnya yang disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku.
Tinggi rendahnya uang panai‟ merupakan pembahasan yang paling
mendapatkan perhatian dalam adat perkawinan Suku Bugis Riau. Sehingga sudah
menjadi rahasia umum bahwa itu akan menjadi buah bibir bagi para tamu
undangan. Adapun yang menjadi tolak ukur uang panai‟ dalam adat suku bugis
diantaranya :
a. Strata sosial keluarga calon istri
Strata sosial atau disebut sistem stratifikasi adalah perbedaan penduduk
atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam
kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas rendah. Maksudnya adalah sistem lapisan
dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat
yang hidup teratur. Strata sosial sangat berpengaruh pada prosesi perkawinan
bahkan dalam penentuan uang panai‟, strata sosial yang menjadi tolak ukur
pertama yang nantinya akan mempengaruhi tingginya uang panai‟ yang akan
diberikan pada keluarga pihak calon istri.
Hal tersebut yang diungkapkan oleh Supardi mengenai tolak ukur uang
panai dari strata sosial atau tingkatan sosial,bahwa:
“Yang menjadi tolak ukur tingginya uang panai‟ adalah status sosial
ataupun tingkatan sosial seseorang tersebut seperti keluarga pejabat,
pengusaha besar dan lain-lain”56
.
56
Supardi, Masyarakat Pulau Kijang, Wawancara, tanggal 04 juli 2019
70
Menurut informan, Strata sosial yang dimaksud tersebut yaitu perbedaan
yang sangat mendasar dan mencolok dari suatu keluarga dengan keluarga lainnya,
misalnya keluarga besar pejabat, keluarga besar pengusaha dan lain-lain yang
berbeda kelas dengan masyarakat pada umumnya.
a. Status ekonomi keluarga calon istri
Status ekonomi juga tidak lepas dari penentuan tinggi rendahnyauang
panai‟ yang akan diberikan kepada calon mempelai perempuan. Dari proses
wawancara terhadap M, Kadir, menjelaskan bahwa:
“kalau status ekonomi seseorang tersebut tinggi, maka uang panai‟nya
juga bagus (banyak) maka yang di undang juga banyak, semakin meriah
pula pesta tersebut”57
.
Penjelasan dari Bapak H. Nawawi bahwa:
“Uang Panai itu tergantung orang tua, kalau orang tuanya mampu, maka
banyak pula yang diminta, kalau yang diantarkan hanya sedikit maka
harus nambah jadi memang harus banyakyang diiantarkan”58
.
Kedua Informan diatas menegaskan bahwa, semakin tinggi status ekonomi
wanita yang akan dinikahi, maka semakin tinggi pula uang panai‟ yang harus
diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri. Dan begitupun
sebaliknya, jika calon istri tersebut dari keluarga menengah kebawah maka jumlah
uang panai‟ yang dipatok relative rendah.
b. Jenjang pendidikan calon istri
Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya uang panai‟ yangharus
dikeluarkan adalah tinggi rendahnya jenjang pendidikan calonmempelai
57
M. Kadir, Masyarakat Desa Seberang Sanglar, Wawancara, tanggal 06 juli 2019 58
H. Nawawi, Tokoh Masyarakat Pulau Kecil, Wawancara, tanggal 28 juni 2019
71
perempuan. Dari proses wawancara , menjelaskan dari Ibu Hj. Saidah S.Pd
bahwa:
“Semakin tinggi tingkat sosial seseorang itu maka semakin tinggi uang
panaiknya, tingkat pendidikan seorang wanita juga mepengaruhi uang
panai` tersebut misalnya dia seorang dokter atau tamatan perguruan tinggi
maka tinggi pula uang panai‟ tersebut”59
Sama halnya dengan yang disampaikan oleh Hj. Andi Sitti bahwa:
“Semakin tinggi pendidikan seseorang atau ilmunya semakin tinggi pula
uang panai‟yang diminta oleh pihak perempuan dan juga ada yang
mengikuti adat yang ada dikampung tersebut, jika adat dikampung tersebut
panai‟nya tinggi maka uang panai‟ yang diminta juga tinggi”60
Dari ulasan Informan diatas menjelaskan bahwa semakin tinggitingkat
pendidikan seorang wanita maka semakin banyak pula uang panai‟ yang harus
diberikan dan jika tidak diberikan uang panai dalam jumlah yang ditentukan oleh
pihak keluarga calon istri maka akan menjadi bahan omongan orang yang
kemudian akan menjadi kendala dari kelangsungan proses pernikahan.
c. Harga Bahan Makanan
Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya uang panai‟ yang harus
dikeluarkan adalah tinggi rendahnya harga bahan makanan yang akan
dihidangkan oleh calon mempelai perempuan. Dari proses wawancara dengan
bapak H. Firdaus, S.Pd. SD menjelaskan bahwa:
“Sekarang ini ekonomi sudah meningkat, maka semakin tinggi pula Uang
panai‟ yang harus dinaikkan, itu makanya harus ada rinci-rinciannya agar
pengelolaan uang panai‟ itu bisa teratur secara baik, kalau tidak ada
rinciannya kacau pembukuannya seperti pengasuhnya, uang tenda,
59
Hj. Saidah S.Pd, Tokoh Masyarakat Desa Sanglar, Wawancara, tanggal 05 juli 2019 60
Hj. Andi Sitti, Tokoh Masyarakat Desa Mekar Sari, Wawancara, tanggal 17 juli 2019
72
lembunya juga dan lain-lain, karena ingin mengadakan acara kenduri harus
mengundang orang banyak.”61
.
Informan diatas menuturkan bahwa adat istiadat Kabupaten Indragiri Hilir
kecematan Reteh dilangsungkan dengan acara besar-besaran yang memakan
banyak biaya, terkadang untuk membeli persiapan perlengkapan rumah tangga
kedua mempelai membutuhkan banyak biaya belum lagi lauk-pauknya yang harus
dan bahkan sudah wajib memotong sapi setiap pesta pernikahan jadi, tidak heran
jika harga mempengaruhi tinggi rendahnya uang panai.
D. Hikmah Uang Panai‟ dalam Adat Suku Bugis
Uang panai‟ dalam perkawinan tidaklah sekedar ditetapkan sebagai
sesuatu yang tak bermakna apa-apa. Ia memiliki makna dan hikmah yang tinggi,
uang panai‟ merupakan dana yang digunakan untuk melaksanakan pesta
perkawinan. Uang belanja yang merupakan keharusan bagi pihak laki-laki yang
diserahkan kepada pihak perempuan sebagai penunjang biaya yang dikeluarkan
oleh pihak perempuan. Ini berarti kedua belah pihak saling membantu dalam
melaksanakan pesta perkawinan.
Tolong menolong merupakan ajaran Islam yang cukup mendasar dalam
kehidupan bermasyarakat antara satu dengan yang lainnya dituntun untuk
senantiasa tolong menolong dalam mengatasi berbagai kesulitan. Hal ini dapat
dipahami dari firman Allah swt yang berbunyi:
ثم عل نىاتعاو ول والتقىي البر عل وتعاونىا واتقىا والعدوان ال إن الل العقاب شديد الل
61
H. Firdaus, S.Pd. SD. Tokoh Adat Desa Seberang Sanglar, Wawancara, tanggal 01 juli
2019
73
Artinya:
Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah swt. sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya.62
Ayat di atas memberikan petunjuk untuk saling menolong bila melakukan
suatu kebaikan dan melarang saling menolong dalam membuat dosa dan
pelanggaran. Tuntutan ini sesungguhnya merupakan jalan keluar bagi setiap orang
untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dirinya. Sebab, tak satupun manusia di
permukaan bumi ini yang sanggup memenuhi segala kebutuhan hidupnya tanpa
bantuan orang lain.
Perkawinan merupakan suatu kegiatan umat manusia yang mengandung
nilai kebaikan. Perkawinan mewakili tujuan yang mulia. Karena itulah didalam
pelaksanaannya dituntut untuk saling menolong. Dengan demikian, bagaimanapun
beratnya pelaksanaan perkawinan itu akan dapat teratasi.
62
Q.S al-Maidah (4) : 2
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan analisis dengan memperhatikan
pokok-pokok permasalahan yang diangkat dengan judul Nilai Ekonomi Islam
Uang Panai‟ dalam Suku Adat Bugis (Studi Kasus Kecamatan Reteh, Indragiri
Hilir Provinsi Jambi), maka peneliti dapat menarik kesimpulan :
1. Dalam pandangan ekonomi Islam, uang panai‟ yang tinggi boleh-boleh saja
diberikan apabila pihak laki-laki sanggup memberikan dan tidak menyusahkan
pihak laki-laki.
2. Kedudukan Uang Panai‟ dalam perkawinan adat Bugis adalah sebagai salah
satu pra syarat, karena apabila Uang Panai‟ tidak ada, maka perkawinan tidak
ada. Pemberian sejumlah Uang Panai‟ adalah pemberian wajib yang diberikan
oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang fungsinya sebagai biaya
yang digunakan dalam pesta perkawinan. Tujuannya adalah untuk
menghormati keluarga pihak perempuan.
3. Yang menjadi tolak ukur dalam uang panai‟ yakni status ekonomi, sosial,
pendidikan dan juga harga barang ataupun harga makanan sangat berpengaruh
terhadap uang panai‟.
4. Hikmah, uang panai‟ merupakan dana yang digunakan untuk melaksanakan
pesta perkawinan Ini berarti kedua belah pihak saling membantu dalam
melaksanakan pesta perkawinan, Tolong menolong merupakan ajaran Islam
74
75
yang cukup mendasar dalam kehidupan bermasyarakat antara satu dengan
yang lainnya.
B. Implikasi Penelitian
Dalam hal ini, peneliti memberikan beberapa saran yang berhubungan
dengan Uang Panai‟ Dalam Nilai Ekonomi Islam di Kecamatan Reteh, Indragiri
Hilir Provinsi Riau yaitu:
1. Adat dan kebiasaan di kalangan masyarakat Bugis-Riau yang selalu dijadikan
patokan walaupun bukan hal yang wajib dilaksanakan jika di pandang melalui
agama. Jadi apabila dilaksanakan atau tidak di laksanakan tidak jadi masalah,
yang penting rukun dan syarat perkawinan terpenuhi.
2. Uang panai ini sebagai penghormatan bagi keluarga pihak perempuan dan
seharusnya uang panai ini tidak dijadikan sebagai senjata penolakan bagi
pihak perempuan
3. Uang panai‟ ini seharusnya tidak memberatkan pihak laki-laki karena
seharusnya ada yang bisa digunakan untuk masa depannya kelak akan tetapi
dijual untuk memenuhi permintaan panai‟
4. Uang Panai digunakan sebagai Tolong menolong dalam mengatasi berbagai
kesulitan bukan dijadikan sebagai ajang gengsi-gengsian.
C. Kata Penutup
Demikianlah dengan segala keterbatasan kemampuan dan kekurangan
peneliti, akhirnya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Tentunya berkat
bimbingan dari Bapak dan Ibu dosen pembimbing serta semua pihak yang telah
membantu, memberikan motivasi, masukan dan dukungan.
76
Terima kasih juga saya ucapkan terhadap orang tua tercinta serta keluarga
dan kawan-kawan yang selalu memberikan arahan dan motivasi serta tak henti-
hentinya memberikan dukungan moril maupun materil serta do‟a nya. Sehingga
sampailah pada bab terakhir penyusunan skripsi ini, semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat berupa wawasan serta menambah ilmu pengetahuan
khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi para pembaca.
77
DAFTAR PUSTAKA
Ahsani, Jamaludin, Hos, dan Peribadi. ‘Uang Panaik dan Tantangan bagi
Pemuda Bugis di Perantauan (Studi di Desa Wunggoloko Kecamatan
Ladongi Kabupaten Kolaka Timur). Neo Societal; Vol. 3/ Nomor 3/ ISSN;
2503-359 (2018)
Andi Asyraf, Mahar Dan Paenre’ Dalam Adat Bugis, (Skripsi Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015)
Andi Nugraha, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis (Makassar: Cv Telaga
Zamzam, 2001)
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat Ekonomi, (IAIN SU Medan : CitaPustaka
Media Perintis, 2014)
Diah Via. Tradisi Kawin Lari Dalam Perkawinan Adat. (Skripsi Uin Alauddin
Makassar,2016)
Ginanjar Prayoga, tinjauan huku islam terhadap doi‟ medre dalam perkawinan
adat bugis, (skripsi IAIN Raden Intan Lampung, 2016)
Hardianti, Adat Pernikahan Bugis Bone Desa Tuju-Tuju Kecamatan Kajura
Kabupaten Bone Dalam Perspektif Budaya Islam, (Skripsi Uin Alauddin
Makassar, 2015)
H.S. A. Al-Hamdani, Risalatun Nikah, Diterjemahkan Oleh Drs. Agus Salim,
Dengan Judul “Hukum Perkawinan Islam” (Cet. III: Pustaka Amani,1989)
Ibrahim, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2018)
78
Imam Azhari, Makna Mahar Adat Dan Status Sosial Perempuan Dalam
Perkawinan Adat Bugis Di Desa Penengahan Kabupaten Lampung
Selatan, (Skripsi Universitas Lampung, 2016)
Kementrian Agama RI. ‘Al-Qur’an dan Terjemahan’. (PT. Sinergi Pusaka
Indonesia) (2016).
Moh. Ali ‘Kedudukan Uang Panaik dalam Perkawinan Adat Bugis di Kabupaten
Tojo Una-Una Provinsi Sulteng’. Skripsi. Unversitas Islam Indonesia
Yogyakarta.
Moh. Ikbal „Uang Panaik’ dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar’. Al-
Hukama, The Indonesian Journal of Islamic Family Law. Volune 06/
Nomor 01/ ((Juni (2016)); ISSN:2089-7480.
Morissan, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014)
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Muslim li al-Imam Abu al-Husain Muslim
bin al- Hajjaj al-Qusyairi an-Naisburi (Cet. I; Jakarta: Pusaka As-Sunnah,
2010)
M. Fremaldin, “Fenomena Uang Panaik dalam Perkawinan Bugis Makassar”
M. Umer Chapra, “Negara Sejahtera Islami dan Perannya di Bidang Ekonomi”,
dalam Ainur R. Sophian, Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategi
Pembangunan Masyarakat Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: Granfindo Persada, 2012)
79
Reski Kamal ‘Persepsi Masyarakat Terhadap Uang Panai’ di Kelurahan
Pattalasseng Kecamatan Pattalasang Kabupaten Takalar’. Skripsi
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. (2016)
Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat, 2007
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Niat, (Bandung: Alfabeta, 2004)
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi.
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi, (jambi: Syariah Press, 2014)
Save M Dagun, Pengantar Filsafat Ekonomi
Save M. Dagun, Pengantar Filsafat Ekonomi, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992)
Soerojo Wingnjodipoero, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah
Kemerdekaan (Cet. II Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983)
Tim Panca Aksara, Kamus Lengkap Istilah Ekonomi, (Yogyakarta: Indoliterasi,
2017)
Thoriq Ismail, Az-Zuwajul Islami, Diterjemahkan oleh Zainuddin Mz, Mahrous
Ali dan H. Abdullah dengan judul “Pernikahan” (Cet. I; Surabaya Pustaka
Progressif, 1994)
Usman Yatim, Nilai Ekonomi Islam, (Jakarta : Bina Rena Parieara, 2009)
V.Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian, (Yogyakara: Pustakabarupress,
2014)
Bahtiar, S.Ag, Ketua Pemuda ”Wawancara”, di Kecamatan Reteh tanggal 19 Juli
2019
Drs. H. Sayuti, M.Pd.I, Ketua KUA Pulau Kijang, Wawancara, tanggal 15 juli
2019
80
H. Firdaus, S.Pd. SD. Tokoh Adat Desa Seberang Sanglar, Wawancara, tanggal
01 juli 2019
H. M. Nur Paduppai, Tokoh Masyarakat Pulau Kijang, Wawancara, tanggal 17
juli 2019
H. Nawawi, Tokoh Masyarakat Pulau Kecil, Wawancara, tanggal 28 juni 201
Hj. Andi Sitti, Tokoh Masyarakat Desa Mekar Sari, Wawancara, tanggal 17 juli
2019
Hj. Saidah S.Pd, Tokoh Masyarakat Desa Sanglar, Wawancara, tanggal 05 juli
2019
M. Kadir, Masyarakat Desa Seberang Sanglar, Wawancara, tanggal 06 juli 2019
Supardi, Masyarakat Pulau Kijang, Wawancara, tanggal 04 juli 2019
Taqim , Masyarakat Pulau Kijang”Wawancara”, tanggal 24 Juli 2019
81
Lampiran Dokumentasi Wawancara Bersama Tokoh ataupun Masyarakat
Bugis di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
Lampiran 1 : Dokumentasi dengan Ketua KUA Pulau Kijang.
Bapak Drs. H. Sayuti, M.Pd.I.
Dokumentasi : 15 Juli 2019
Lampiran 2 : Dokumentasi dengan Tokoh Adat Seberang Sanglar.
Bapak H.Firdaus, S.Pd. SD
Dokumentasi : 01 Juli 2019
82
Lampiran 3 : Dokumentasi dengan salah satu Tokoh Parit Sultan Hasanuddin.
Ustad Asir Arafat, S.Pd.I
Dokumentasi : 20 Juli 2019
Lampiran 4 : Dokumentasi salah satu Tokoh Masyarakat Desa Mekar Sari.
Ibu HJ. Andi Sitti
Dokumentasi : 17 Juli 2019
83
Lampiran 5 : Dokumentasi dengan Tokoh Masyarakat Pulau Kijang.
Bapak, H. M. Nur Paduppai.
Dokumentasi : 17 Juli 2019
Lampiran 6 : Dokumentasi dengan salah satu Tokoh Masyarakat Sanglar.
Bapak H. Mastang.
Dokumentasi : 12 Juli 2019
84
Lampiran 7 : Dokumentasi dengan tokoh masyarat Kelurahan Metro.
Bapak Mastar S.Ag
Dokumentasi : 29 Juni 2019
Lampiran 8 : Dokumentasi dengan masyarakat Pulau Kecil.
Ibu Ratna Dewi
Dokumentasi : 1 Juli 2019
85
CURRICULUM VITAE
Nama : Herman
Tempat/Tgl Lahir : Sanglar, 25 Februari 1997
Email/Surel : [email protected]
No. Kontak/HP : 0821-2122-0700
Alamat : Jl. Perum Hamsari, Simpang IV Sipin, Telanaipura
Pendidikan Formal :
1. MI Nurul Huda, Sei Terusan Jaya, Desa Mekar Sari
2. MTS Nurul Huda, Sei Terusan Jaya, Desa Mekar Sari
3. SMAN 1 Reteh Pulau Kijang
Pengalaman Organisasi
1. Ikatan Pelajar Mahasiswa Riau (IPMR)
2. Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI)
Motto Hidup : “Sumange Tealara (teguh dalam keyakinan kukuh dalam
kebersamaan”
Jambi, November 2019
Herman
EES.150673