makalah+kelompok+4+apem+FIX
-
Upload
davedogawa -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of makalah+kelompok+4+apem+FIX
PERAN PARTISIPASI DAN PENGAWASAN MASYARAKAT DALAM
RENCANA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
Studi Kasus : Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satpol PP dalam
“Penertiban” Lokasi Makam Mbah Priok
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas akhir semester Mata Kuliah “Administrasi
Pembangunan”
oleh :
1. Abimanyu Hilmawan (0806463460)
2. Fitria Diah Sari (0806468625)
3. Furi Andriyana (0806463486)
4. Intias Maresta Buditami (0806347095)
5. Rahmi Khairun Nisa (0806347164)
Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2010
KATA PENGANTAR
0
Puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah kelompok yang berjudul “Partisipasi dan Pengawasan Masyarakat dalam
Kasus Penggusuran Makam Mbah Priok” berisikan studi kasus yang menyangkut pokok –
pokok bahasan mengenai hal – hal yang menjadi faktor penyebab terjadi kerusuhan yang
dilakukan masyarakat atas rencana penggusuran makam Mbah Priok, bentuk partisipasi
masyarakat dalam rencana penggusuran makam Mbah Priok, dan bentuk pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap rencana penggusuran makam Mbah Priok. Pokok –
pokok bahasan tersebut dikaitkan kepada teori partisipasi, pengawasan, good governance,
dan administrasi pembangunan supaya pembahasan studi kasus lebih terarah dan
komprehensif.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein dan Prof.
Dr. Irfan Ridwan Maksum, M. Si selaku dosen dan fasilitator yang telah memberikan ilmu
dan bantuan, baik materil dan nonmateril, kepada penulis sehingga penulis memiliki bekal
guna menyusun makalah ini. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman –
teman Departemen Ilmu Administrasi Negara kelas B mata kuliah Administrasi
Pembangunan yang telah menciptakan suasana yang kondusif sehingga mempermudah
penulis mendapatkan ilmu guna menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan
kepada kedua orang tua atas dukungan, baik materi maupun non materi dan seluruh
pihak ,seperti penulis buku, jurnal, dan artikel yang telah memberikan bahan materi untuk
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna maka penulis mengharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki kesalahan di dalam makalah ini
dan selanjutnya di mata kuliah ini atau di mata kuliah lain.
Depok, Mei 2010
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar 1
1
Daftar Isi 2
Bab 1 Pendahuluan 3
1.1 Latar Belakang Masalah 5
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
1.4 Metode Penulisan 5
1.5 Sistematika Penulisan 5
Bab 2 Kerangka Teori 7
2.1 Partisipasi Masyarakat 7
2.2 Good Governance 11
2.3 Administrasi Pembangunan 14
2.3.1 Ciri –Ciri Administrasi Pembangunan 15
2.3.2 Ruang Lingkup 16
2.3.3 Fungsi dan Peran Pemerintah dalam Pembangunan 17
2.4 Pengawasan 18
2.4.1 Konteks-konteks dalam pengawasan 19
2.4.2 Jenis-jenis Pengawasan 20
2.4.3 Tujuan Pengawasan 22
Bab 3 Analisis Masalah 23
3.1 Studi Kasus: Bentrok antara Masyarakat Koja
dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) 23
3.2 Analisis Kasus 24
Bab 4 Penutup 29
4.1 Kesimpulan 29
4.2 Saran 29
Daftar Pustaka 30
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
2
Pemerintahan di era Presiden Soeharto yang cenderung otoriter menimbulkan rasa
tidak puas kepada masyarakat Indonesia. Sistem sentralistik yang dianut saat itu, menjadikan
pemerintah menjadi pihak penyelenggara negara yang kebal dari pengawasan, khususnya dari
masyarakat. Pemerintahan yang top down membuat kreatifitas dan inovasi masyarakat
menjadi mati karena kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sangat dibatasi.
Padahal di satu sisi, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan sebuah hal yang
sangat penting agar evaluasi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi
pembangunan dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Konsekuensi logis dari matinya mekanisme pemberian pendapat dan kritik terhadap
pemerintah adalah ketidakmerataan pembangunan yang berjalan selama 32 tahun saat itu di
Indonesia. Muncullah kesenjangan antara orang-orang yang tinggal di daerah dan ibukota.
Pada akhirnya, kemarahan masyarakat memuncak saat kerusuhan Mei tahun 1998 yang
ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto.
Secara garis besar, masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam sistem
pemerintahan di Indonesia. Masyarakat menginginkan adanya keterbukaan dalam
berpendapat dan penghapusan terhadap sistem sentralistik yang dianggap mematikan
pembangunan dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Akhirnya dibentuklah undang-
undang tentang otonomi daerah yang menandai dimulainya sistem desentralisasi di Indonesia.
Desentralisasi dianggap dapat menjawab masalah-masalah pembangunan seperti tidak
transparannya penggunaan keuangan, serta memaksimalkan persebaran pembangunan
berdasarkan kebutuhan masyarakat. Fungsi pengawasan masyarakat yang belum berkembang
saat pemerintahan Soeharto diharapkan dapat muncul dan memberi andil dalam
pembangunan negara.
Namun demikian, pemerintahan dan pembangunan yang terdesentralisasi tidak akan
berjalan dengan efektif tanpa adanya partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat sangat
penting peranannya dalam proses pembangunan di wilayahnya sendiri. Partisipasi masyarakat
bisa berbentuk partisipasi dalam pembangunan infrastruktur atau maintenance-nya;
partisipasi dalam proses politik; melakukan pengawasan saat pemerintah merumuskan dan
melaksanakan kebijakan publik. Penyertaan peran masyarakat dalam sistem pemerintahan
akan menimbulkan sinergisitas yang sempurna untuk menciptakan good governance yang
menginginkan adanya kerjasama dan partisipasi sempurna dari 3 aktor utama di negara, yaitu
pemerintah atau government, pihak swasta atau privat, dan masyarakat atau civil society.
3
Sinergitas ketiga elemen ini sangat penting agar terjadi proses pembuatan kebijakan publik
yang berkeadilan dan pembangunan nasional yang merata.
Pelibatan masyarakat sebagai shareholder dan stakeholder dalam proses perumusan
kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasinya adalah hal mutlak yang harus terjadi agar good
governance dapat benar-benar ditegakkan. Jika dalam pelakasanaannya pemerintah tidak
menerapkan nilai dasar good governance yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dalam
proses kenegaraan, maka yang akan terjadi adalah proses pembangunan yang tidak
berkeadilan dan akan menumbuhkan konflik.
Salah satu dampak dari pemerintah tidak menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam
membuat, memutuskan, dan melaksanakan kebijakan publik ialah banyak terjadinya konflik-
konflik sosial. Salah satu contohnya adalah bentrokan di Makam Mbah Priok pada tanggal 14
April 2010 kemarin yang melibatkan Satpol PP dan masyarakat sekitar makam. Disinyalir
bentrokan ini terjadi karena tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan
penggusuran makam. Pemerintah hanya melibatkan PT Pelindo yang dalam hal ini adalah
sebagai pihak swasta dalam membuat kebijakan tersebut. Masyarakat merasa tidak terima
karena tidak pernah dicapai keputusan yang final antara pihak masyarakat, pemerintah dan
pihak Pelindo sendiri. Akibatnya adalah terjadi bentrokan berdarah yang membuat ratusan
korban luka dan beberapa orang meninggal. Tidak adanya sinergisitas yang seharusnya
dilakukan dalam sebuah good governance dalam pemutusan kebijakan penggusuran ini
adalah pemicu terjadinya konflik yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih jauh
bagaimana sebenarnya proses pelibatan masyarakat dalam rencana penggusuran Makam
Mbah Priok serta mekanisme pengawasannya dalam pelaksanaan rencana tersebut. Dengan
demikian, penulis juga berharap makalah ini bisa semakin menguatkan pernyataan bahwa
good governance perlu dibentuk sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya konflik
kepentingan yang berbeda satu sama lain antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta,
salah satunya seperti yang digambarkan pada kasus Makam Mbah Priok.
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa penyebab terjadi kerusuhan yang dilakukan masyarakat atas rencana
penggusuran makam Mbah Priok?
4
2. Bagaimana bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana
penggusuran makam Mbah Priok?
3. Bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses
pembangunan?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu
1. Mengetahui penyebab terjadi kerusuhan yang dilakukan masyarakat atas rencana
penggusuran makam Mbah Priok.
2. Mengetahui bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana
penggusuran makam Mbah Priok.
3. Mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat
dalam setiap proses pembangunan.
1.4. Metode penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan studi literatur dari beberapa bahan bacaan
yang berasal dari buku-buku penunjang dan website-website yang memiliki korelasi terhadap
tema makalah ini.
1.5. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penulisan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan
Bab 2 Kerangka Teori terdiri dari Teori Partisipasi Masyarakat, Teori Good Governance,
Teori Administrasi Pembangunan, Teori Pengawasan
Bab 3 Pembahasan terdiri dari Studi Kasus Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam Rencana Penggusuran Makam Mbah Priok, dan
Analisis Kasus
Bab 4 Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Rekomendasi.
5
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Partisipasi masyarakat
Istilah partisipasi berasal dari bahasa asing yang artinya mengikutsertakan pihak lain.
Beberapa definisi lain mengenai partisipasi adalah :
6
Santoso Sastropoetro mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan
kesadaran disertai tanggung-jawab tehadap kepentingan kelompok untuk mencapai
tujuan bersama.1
Alastraire White mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan komuniti setempat
secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksananaannya terhadap proyek-
proyek pembangunan.2
Allport mengemukakan bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami
keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam
pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga berarti keterlibatan
pikiran dan perasaannya.3
Keith Davis mengemukakan definisi partisipasi sebagai
“Mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages
him to contribute to group goals and share responsibility in them”.
Menurut Davis, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang di
dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan
kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut.4
Selain itu, Keith Davis juga melengkapi definisinya mengenai partisipasi dengan
mengemukakan gagasan lain tentang partisipasi.
There are three ideas in this definition which are important to managers who will
practice the art of participation, most of them do agree on the importance of these
three ideas”.
Di dalamnya terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para manajer atau
pemimpin yang hendak menerapkan seni partisipasi dan kebanyakan dari mereka sependapat
dengan tiga buah gagasan tersebut.
Dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi memiliki tiga
gagasan penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab.
1 ?Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hal 39 – 40.2 ? Ibid. hal. 52.3 ?Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hal 12.4 ?Keith Davis & John W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Terjemahan. (Jakarta : Erlangga, 1995) hal. 179.
7
1. Keterlibatan mental dan emosional/inisiatif.
Keterlibatan ini bersifat psikologis daripada fisik. Seseorang dalam berpartisipasi
lebih terlibat egonya daripada terlibat tugas.5
2. Motivasi kontribusi
Unsur kedua adalah kesediaan menyalurkan sumber inisiatif dan kreatifitasnya
untuk mencapai tujuan kelompok.6
3. Tanggung jawab
Partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas
kelompok. Ini juga merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi
terlibat sendiri dalam organisasi dan ingin mewujudkan keberhasilannya. Pada saat
orang-orang ingin menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, orang-orang
tersebut melihat adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang diinginkan, yaitu
merasa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang upaya
menimbulkan kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah utama
mengembangkan kelompok untuk menjadi unit kerja yang berhasil. Jika orang ingin
melakukan sesuatu, orang tersebut akan menemukan cara melakukannya.7
Menurut Keith Davis, partisipasi memiliki beberapa bentuk dan jenis, antara lain :
1. Bentuk Partisipasi
Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa.
Sumbangan spontan berupa uang dan barang.
Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari
sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu.
Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli
setempat.
Aksi massa.
Mengadakan pembangunan di kalangan keluarga desa sendiri.
Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.
5 ?Loc Cit.6 ?Keith Davis & John W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh.
Terjemahan. (Jakarta : Erlangga, 1995) hal. 180.7 ?Ibid., hal. 181.
8
2. Jenis-jenis partisipasi
Pikiran (psychological participation).
Tenaga (physical participation).
Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation).
Keahlian ( participation with skill).
Barang (material participation).
Uang (money participation).
Selain Keith Davis, Hamijoyo juga mengemukakan beberapa bentuk dari partisipasi,
antara lain8:
1. Partisipasi buah pikiran
Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Sumbangan pemikiran yang diarahkan
pada penataan cara pelayanan dari lembaga/badan yang ada, sehingga mampu
berfungsi sosial secara aktif dalam penentuan kebutuhan anggota masyarakat.
2. Partisipasi tenaga
Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha
yang dapat menunjang keberhasilan dari suatu kegiatan.
3. Partisipasi keterampilan
Jenis keterampilan ini adalah memberikan dorongan melalui keterampilan yang
dimilikinya pada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Kegiatan ini
biasanya diadakan dalam bentuk latihan bagi anggota masyarakat. Partisipasi ini
umumnya bersifat membina masyarakat agar dapat memiliki kemampuan
memenuhi kebutuhannya.
4. Partisipasi uang (materi)
Partisipasi ini adalah untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan
masyarakat yang memerlukan bantuan.
4. Partisipasi harta benda
8 ?Santoso Sastropoetro, Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hal 32.
9
Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta benda, biasanya berupa perkakas,
alat-alat kerja bagi yang dijangkau oleh badan pelayanan tersebut.
Terdapat beberapa pakar yang mendefinisikan partisipasi masyarakat. Beberapa
definisi tersebut adalah sebagai berikut:
Canter mendefinisikan partispasi masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah
yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara
penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan
sedang dianalisis oleh badan yang berwenang.9
Goulet mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi
antara dua kelompok, yaitu kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan
pengambilan keputusan (elite).10
Wingert merinci partisipasi atau peran serta masyarakat menjadi beberapa paham
sebagai berikut:
a. Partisipasi masyarakat sebagai suatu kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu
kebijakan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu
pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan dan terkorbankan oleh
suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan.
b. Partisipasi masyarakat sebagai strategi
Penganut paham ini mengendalikan bahwa partisipasi masyarakat merupakan
strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Pendapat ini didasarkan kepada
suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memilki akses terhadap pengambilan
keputusan dan kepedulian masyarakat kepada tiap tingkatan pengambilan keputusan
didomentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memilki kredibilitas.
c. Partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan
masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini
dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani
masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah
masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsive.
9 Sirajudin, dkk. Hak Rakyat Mengontrol Negara. (Jakarta: Yappika, 2006) hal 12-1310 Ibid, hal 13
10
d. Partispasi masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa
Partisipasi masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi
konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat yang ada. Asumsi yang
melandasi paham ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan
pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan dan kerancuan.
e. Partisipasi masyarakat sebagai terapi
Menurut paham ini, peran masyarakat dilakukan untuk mengatasi masalah-
masalah psikologis masyarakat seperti halnya ketidakberdayaan, tidak percaya diri,
dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting di dalam masyarakat.11
Perlunya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Koeshadi Hardjasoemantri,
bahwa selain untuk memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan,
partisipasi masyrakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima
keputusan. Selanjutnya, partisipasi masyarakat akan membantu perlindungan hukum.12
2.2 Teori Good Governance
Tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep
yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik.
Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil,
partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.
Pada akhir dasawarsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan dalam
reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini
dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma
baru ini menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama
mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi,
akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi
(Thoha, 2004: 78).
Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan mendorong ramainya diskusi
dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara perspektif yang berkaitan dengan
struktur pemerintahan yang timbul antara lain (Thoha, 2004: 78):
11 Ibid. hal 14-1612 Ibid. hal 20
11
a. Hubungan antara pemerintah dengan pasar.
b. Hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
c. Hubungan antara pemerintah dengan organisasi vo¬luntary dan sektor privat.
d. Hubungan antara pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang diangkat
(pejabat birokrat).
e. Hubungan antara lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan
pedesaan.
f. Hubungan antara legislatif dan eksekutif.
g. Hubungan pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional.
Dalam menganalisis perspektif ini banyak para praktisi dan teoretisi dalam bidang
administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan proses yang bisa dipergunakan untuk
mencapai dan mengidentifikasikan prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata
kepemerintahan yang baik. Sementara itu negara donor dan lembaga-lembaga multilateral
telah mengambil peran yang mengemuka (a leading role) dalam merumuskan good
governance. Salah satunya ialah United Nations Development Programme (UNDP).
UNDP merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dari kewenangan
politik, ekonomi, dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah
sosialnya (UNDP, 1997) Istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa
mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya
dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan
untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali, kemampuan suatu negara
mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kelola
intahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial
dan civil society.
Karim (2003: 45) menyatakan ada 5 prinsip good governance, yaitu transparansi,
kesetaraan, daya tanggap, akuntabilitas, dan pengawasan.
Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi
Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari
12
prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut
meliputi:
a. Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang
mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi
secara konstruktif.
b. Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang
bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c. Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses
pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan
dipantau.
d. Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha
melayani semua pihak yang berkepentingan.
e. Berorientas pada konsensus: tata kelola pemerintahan yang baik menjembatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh
dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin,
konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
f. Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka.
g. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan
hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya
yang ada seoptimal mungkin.
h. Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi
masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga
yang berkepentingan.
i. Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke
depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa
13
saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga
harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi
dasar bagi perspektif tersebut.
2.3 Teori Administrasi Pembangunan
Administrasi pembangunan mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan
pembangunan. Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan – keputusan
yang telah diambil dan diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha
mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh
suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).13
Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli.
Hiram S. Phillips mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai rather than the
traditional term of public administration to indicate the need for a dynamic process designed
particularly to meet requirements of social and economic changes.14 Pernyataan ini diartikan
sebagai lebih baik dari pada masa tradisional administrasi publik untuk menunjukkan
kebutuhan untuk suatu proses dinamis yang didesain secara khusus untuk mendapatkan syarat
perubahan sosial dan ekonomi.
Paul Meadows mendefinisikan administrasi pembangunan sebagai development
administration can be regarded as the public management of economic and social change in
term of deliberate public policy. The development administrator is concerned with guiding
change.15 Pernyataan ini diartikan sebagai administrasi pembangunan dapat dipandang
sebagai manajemen publik perubahan ekonomi dan sosial yang disengaja dalam masa
kebijakan publik. Administrator pembangunan dapat memfokuskan pada perubahan terarah.
2.3.1 Ciri – Ciri Administrasi Pembangunan
Ada beberapa ciri administrasi pembangunan menurut Irving Swerdlow16 dan Saul M.
Katz17. Pertama, adanya suatu orientasi administrasi untuk mendukung pembangunan.
13 Sondang P. Siagian. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya. (Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara, 2007.14 H.S. Phillips, “Development Administration and The Alliance of Progress”, International Review of the Administrative Science, Vol. XXIX, 1968.15 Paul Meadows, “Motivation for Change and Development Administration”, dalam ibid., hal. 86.16 Irving Swerdlow (ed.), Development Administration, Concepts and Problems, (New York: Syracuse University Press, 1963).17 Saul M. Katz, op. Cit.
14
Administrasi bagi perubahan – perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik.
Keadaan yang lebih baik ini bagi negara – negara baru berkembang dinyatakan dengan usaha
ke arah modernisasi, atau pembangunan bangsa atau pembangunan sosial ekonomi. Di dalam
administrasi pembangunan, diberikan uraian mengenai saling kait – berkaitnya administrasi
dengan aspek – aspek pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lain –
lain. Kedua, adanya peran administrator sebagai unsur pembangunan. Peranan serta fungsi
pemerintah sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Administrator juga dapat menciptakan suatu sistem dan praktek administrasi yang membina
partisipasi dalam pembangunan. Ketiga, perkembangan, baik dalam ilmu maupun
pelaksanaan perencana pembangunan terdapat orientasi yang semakin besar memberikan
perhatian terhadap aspek pelaksanaan rencana. Suatu perencanaan yang berorientasi pada
pelaksanaannya akan lebih banyak memperhatikan aspek administrasi dalam aspek
pembangunannya. Keempat, administrasi pembangunan masih berdasarkan pada prinsip –
prinsip administrasi negara. Namun, administrasi pembangunan memiliki ciri – ciri yang
lebih maju daripada administrasi negara.
Sondang P. Siagian juga merumuskan ciri – ciri administrasi pembangunan18.
Pertama, Administasi pembangunan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan
masyarakat yang berbeda – beda, terutama bagi lingkungan masyarakat negara – negara baru
berkembang. Kedua, administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan berkepentingan
terhadap tujuan – tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya maupun
dalam pelaksanaannya yang efektif. Bahkan, administrasi ikut serta mempengaruhi tujuan –
tujuan pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan – tujuan sosial, ekonomi,
dan lain – lain yang dirumuskan kebijaksanaannya dalam proses politik. Ketiga, administrasi
pembangunan berorientasi kepada usaha – usaha yang mendorong perubahan ke arah keadaan
yang dianggap lebih baik untuk suatu masyarakat di masa depan atau berorientasi masa
depan. Keempat, administrasi pembangunan lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas –
tugas pembangunan dari pemerintah. Administrasi pembangunan lebih bersikap sebagai
”development agent”, yakni kemampuan untuk merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan
pembangunan dan pelaksanaan yang efektif, serta sebagai kemampuan dan pengendalian
instrumen – instrumen bagi pencapaian tujuan – tujuan pembangunan. Kelima, administrasi
pembangunan harus mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan
pelaksanaan tujuan – tujuan pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, budaya, 18 Beberapa diambil dari Dr. S.P.Siagian, “Konsepsi dan Masalah – Masalah Administrasi Pembangunan.”, Administrasi Negara, Tahun X, No. 1, Mei 1970.
15
dan lain – lain. Keenam, dalam administrasi pembangunan, administrator dalam aparatur
pemerintah juga bisa menjadi pergerak perubahan. Ketujuh, administrasi pembangunan lebih
berpendekatan lingkungan, berorientasi pada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah.
Ketiga unsur ini disebut mission driven.
2.3.2 Ruang Lingkup Administrasi Pembangunan
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, ada beberapa gambaran mengenai ruang lingkup
administrasi pembangunan. Pertama, administrasi pembangunan mempunyai dua fungsi,
yaitu the development of administration dan the administration of development. The
development of administration menyangkut usaha penyempurnaan organisasi, pembinaan
lembaga yang diperlukan, kepegawaian, tata kerja, dan pengurusan sarana – sarana
administrasi lainnya, sedangkan the administration of development menyangkut masalah
perumusan kebijaksanaan – kebijaksanaan dan program – program pembangunan di berbagai
bidang serta pelaksanaannya secara efektif. Kedua, administrasi untuk pembangunan dapat
dibagi menjadi dua subfungsi. Pertama, perumusan kebijaksanaan pembangunan. Formulasi
kebijaksanaan negara atau pemerintah tidak hanya dilakukan dalam proses administrasi,
tetapi juga dalam tingkat tertentu dalam proses politik. Kebijaksanaan dan program
dirumuskan dalam suatu rencana pembangunan. Mekanisme dan tata kerja dalam proses
analisa, perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijaksanaan dan program
pembangunan tersebut dapat diupayakan untuk disempurnakan. Kedua, pelaksanaan dari
kebijaksanaan dan program tersebut dahulu secara efektif. Untuk melakukannya,
administrator memerlukan penyusunan instrumen – instrumen yang baik. Ada dua kegiatan
yang mendapat perhatian. Pertama, masalah kepemimpinan, koordinasi, pengawasan, dan
fungsi administrator sebagai unsur pembangunan. Kedua, pengendalian atau pengurusan yang
baik dari administrasi fungsionil, seperti perlembagaan dalam arti sempit, kepegawaian,
pembiayaan pambangunan, dan lain – lain sebagai sarana pencapaian tujuan kebijaksanaan
dan program pembangunan.
2.3.3 Fungsi dan Peran Pemerintah dalam Pembangunan
Menurut Awaloedin19, ada beberapa cara pelaksanaan peranan pemerintah, antara lain:
1. Fungsi pengaturan, dibagi lagi menjadi beberapa fungsi, yaitu penentuan
kebijaksanaan, pemberian pengarahan dan bimbingan, pengaturan melalui perizinan,
19 Dr. Awaloedin Djamin, “Masalah Organisasi dalam Administrasi Pembangunan”, Prisma No. 4, Agustus 1974, hal. 14.
16
dan pengawasan. Fungsi pengaturan ini akan menghasilkan output berupa berbagai
peraturan.
2. Kepemilikan sendiri dari usaha – usaha ekonomi atau sosial yang penyelenggaraannya
dapat dilakukan sendiri atau oleh swasta.
3. Penyelenggaraan sendiri dari berbagai kegiatan – kegiatan ekonomi atau sosial.
Fungsi pokok pemerintah dapat dibagi menjadi dua tugas, yakni tugas pemerintahan
rutin atau umum dan tugas pemerintahan pembangunan. Tugas pemerintahan umum dapat
dilakukan dalam rangka pemerintahan umum, pemeliharaan ketertiban, keamanan, dan
pelaksanaan hukum. Tugas ini seringkali diperluas dengan tugas – tugas pelayanan umum
yang dilakukan, baik melalui penyelenggaraan sendiri maupun melalui pelaksanaan fungsi
pengaturan. Di samping itu, tugas pembangunan dilakukan dalam rangka penyesuaian
kepentingan sosial dan ekonomi tradisional dengan kebutuhan pembangunan. Tugas
pembangunan termasuk di dalamnya tugas memajukan kesejahteraan umum yang terdiri dari
tugas mengemban mobilisasi daya dan dana untuk pembangunan dan pengalokasian sumber –
sumber daya yang rasional dan tepat.
2.4 Teori Pengawasan
Menurut Stoner dan Wankel “Pengawasan berarti para manajer berusaha untuk
meyakinkan bahwa organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu
bagian dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari
sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar “.20
Sementara itu menurut McFarland (dalam Handayaningrat, 1994:143). “Control is the
process by which an executive gets the performance of his subordinates to correspondas
closely as possible to chosen plans, orders, objectives, or policies “. 21(Pengawasan ialah
suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang
dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang
telah ditentukan ).
Selanjutnya Smith menyatakan bahwa:“Controlling“ sering diterjemahkan pula
dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian rencana-rencana dan norma-norma
yang mendasarkan pada maksud dan tujuan manajerial, dimana norma-norma ini dapat
20 (dalam Subardi,1992:6)21 Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 2, No. 1, Maret 2000: 43 – 56 Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/management/46
17
berupa kuota, target maupun pedoman pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang
ditetapkan. 22
Pengawasan merupakan kegiatankegiatan dimana suatu sistem terselenggarakan
dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan keseimbangan bahwa
pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat diterima, dipercaya atau
mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit) merupakan tingkat nilai atas atau
bawah suatu sistem dapat menerima sebagai batas toleransi dan tetap memberikan hasil yang
cukup memuaskan.
Dalam manajemen, pengawasan (controlling) merupakan suatu kegiatan untuk
mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana
(planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi.
Dengandemikian yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan,
penyimpangan, cacat dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya
kecurangan,pelanggaran dan korupsi.
Menurut Winardi "Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh
pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang
direncanakan".23 Sedangkan menurut Basu Swasta "Pengawasan merupakan fungsi yang
menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan".24
Menurut Sondang P.Siagian, Pengawasan adalah Proses pengamatan pelaksanaan
seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang
dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Menurut Suyamto,
Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan
yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang
semestinya atau tidak .
Lebih lanjut menurut Komaruddin mengatakan, "Pengawasan adalah berhubungan
dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal Unk langkah perbaikan
terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti". 25
22 (dalam Soewartojo, 1995:131-132)23 Winardi (2000, hal. 585)24 Basu Swasta (1996, hal. 216)25 Komaruddin (1994, hal. 104)
18
Lebih lanjut menurut Kadarman”Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik
untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik
informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan,
untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk
mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber
daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan
perusahaan.”26
2.4.1 Konteks-konteks dalam Pengawasan
Pengawasan dalam Konteks Manajemen (Schermerhorn, 2001)
Proses pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin hasil yang
diinginkan
Merupakan peran penting dan positif dalam proses manajemen
Menjamin segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai waktunya
Pengawasan dalam Konteks Politik (Little dan Ogle, 2006)
fungsi parlemen dalam menjamin bahwa undang-undang yang telah dikeluarkan oleh
parlemen dapat diimplementasikan dan diadministrasikan secara efektif oleh pihak
eksekutif, yaitu dilakukan secara sesuai dan dengan cara yang diatur dalam undang-
undang tersebut
fungsi yang dilakukan parlemen dalam menjamin bahwa anggaran yang telah
disetujui, telah dibelanjakan oleh pihak eksekutif sesuai dengan hal yang telah
disepakati dan mampu mencapai sasaran yang diinginkan/ditetapkan
pengawasan merupakan tanggungjawab yang sangat penting dari parlemen dan harus
dilakukan secara agresif, karena hanya melalui pengawasan inilah parlemen dapat
menjamin adanya check and balances yang memadai terhadap pihak eksekutif
cenderung kurang diapresiasi dan kinerjanya paling buruk
2.4.2 Jenis-jenis Pengawasan
Menurut Schermerhorn (2001), jenis-jenis pengawasan terbagi menjadi:
1. Pengawasan Feedforward (umpan di depan)
Dilakukan sebelum aktivitas dimulai
26 Kadarman (2001, hal. 159)
19
Dalam rangka menjamin: kejelasan sasaran; tersedianya arahan yang
memadai;ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan
Memfokuskan pada kualitas sumberdaya
2. Pengawasan Concurrent (bersamaan)
Memfokuskan kepada apa yang terjadi selama proses berjalan
Memonitor aktivitas yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuatu
dilaksanakan sesuai rencana
Dapat mengurangi hasil yang tidak diinginkan
3. Pengawasan Feedback (umpan balik)
Terjadi setelah aktivitas selesai dilaksanakan
Memfokuskan kepada kualitas dari hasil
Menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja di masa
depan
4. Pengawasan Internal & Eksternal
Pengawasan Internal: memberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri
Pengawasan Eksternal: terjadi melalui supervisi dan penggunaan sistem
administrasi formal
Sementara itu, dalam birokrasi dan lembaga, pengawasan terbagi atas (Nugraha, et all,
2005):
1. Pengawasan Internal dan Eksternal
Pengawasan internal adalah pengawasan dilakukan oleh orang atau badan
yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan seperti pengawasan
atasan langsung atau pengawasan melekat.contoh:Itjen, Bawasda, BPKP
Pengawasan Eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau
badan yang ada di luar unit organisasi yang bersangkutan.contoh:BPK, KPK, dan
ORI.
2. Pengawasan Preventif dan Represif
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu
kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan sehingga dapat mencegah terjadinya
penyimpangan. Pengawasan ini lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh
atasan langsung.
Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap kegiatan
setelah kegiatan itu dilakukan. laporan pelaksanaan anggaran di akhir tahun.
3. Pengawasan Aktif dan Pasif
20
Pengawasan Aktif (dekat) adalah pengawasan yang dilaksanakan di tempat
kegiatan yang bersangkutan dan pengawasan ini bersifat melekat.
Pengawasan Pasif (jauh) adalah pengawasan dengan melakukan penerimaan
dan pengujian terhadap laporan pertanggungjawaban. Pengawasan kebenaran formil
menurut Hak (Rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai
maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).
4. Pengawasan Formal dan Informal
Pengawasan formal dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang, baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Di lain pihak, pengawasan informal
dilakukan oleh masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung atau sebagai social
control.
2.4.3 Tujuan Pengawasan
Tujuan utama pengawasan adalah ikut berusaha memperlancar roda pembangunan
serta mengamankan hasil – hasil pembangunan. Pengawasan diperlukan bukan karena kurang
kepercayaan dan bukan pula ditujukan mencari – cari kesalahan atau mencari siapa yang
salah, tetapi untuk memahami apa yang salah demi perbaikan di masa datang.
Selain tujuan utama di atas, pengawasan juga memiliki peran-peran strategis, yakni
diantaranya adalah :
Memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi,
tujuan serta target-target organisasi.
Mengetahui tingkat akuntabilitas kinerja tiap instansi yang akan dijadikan para meter
penilaian keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstra instansi
Dua tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar
Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa dana
pembangunan digunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka
memenuhi rasa keadilan
Dari sisi proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang
dampak dari program atau intervensi yang dilakukan, sehingga pengambil keputusan
dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program yang lebih efektif
21
BAB 3
ANALISIS MASALAH
3.1 Studi Kasus: Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) dalam “Penertiban” Lokasi Makam Mbah Priok
Tragedi Priok bermula dari konflik yang terjadi antara PT Pelindo dengan ahli waris
Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau yang lebih dikenal dengan Mbah Priok. PT
Pelindo mengklaim bahwa tanah di Makam Mbah Priok adalah miliknya, namun di sisi lain,
menurut ahli waris, tanah tersebut merupakan miliknya berdasarkan Eigendom Verponding
nomor 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5, 4 Ha. Pengadilan Negeri Jakarta Utara pernah
memutuskan bahwa tanah tersebut secara sah milik PT Pelindo pada tanggal 5 Juni 2002. Ini
didasarkan pada Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektar.
Pada dasarnya, Makam Mbah Priok yang asli sudah dipindahkan ke Tempat
Pemakaman Umum (TPU) Semper 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11
dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Namun pada perkembangannya, ahli waris
kembali membangun kompleks makam Mbah Priok pada September tahun 1999 tanpa seizin
PT Pelindo karena ahli waris masih mengklaim bahwa sebagian tanah yang menjadi hak
pengelolaan PT Pelindo ada yang masih menjadi haknya. Di sisi lain, PT Pelindo merasa
kalau pembangunan kembali kompleks makam tersebut sepihak dan dianggap menjadi
bangunan liar.
22
PT Pelindo sebenarnya masih melakukan toleransi terhadap pembangunan kembali
makam tersebut, namun munculnya bangunan-bangunan ilegal selain pembangunan makam
itulah yang menurut PT Pelindo harus ditertibkan.
Oleh karena itu, PT Pelindo meminta bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Utara
untuk menertibkan bangunan liar tersebut, namun ahli waris dan masyarakat yang memiliki
kepentingan dalam keberadaan Makam Mbah Priok tidak mengetahui tentang keputusan
penertiban makam. Akhirnya saat dilakukan eksekusi, masyarakat dan ahli waris yang
merasa belum mendapat kesepakatan akan penertiban bangunan liar, melawan balik Satpol
PP yang sebenarnya hanya ditugaskan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar Makam
Mbah Priok, bukan menggusur makam itu sepenuhnya.
Perintah penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP, pada dasarnya sudah sesuai
dengan instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan. Lebih dari itu,
setelah dilakukan penertiban atas bangunan liar tersebut, pemerintah setempat memiliki
rencana untuk melakukan penataan ulang pada Makam Mbah Priok dan arealnya akan
diperluas dari 20 meter persegi menjadi 100 meter persegi. Masyarakat yang terlibat bentrok
salah paham dengan maksud penertiban yang akan dilakukan oleh Satpol PP karena ada yang
mengisukan Makam Mbah Priok akan dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Persilangan pendapat dan saling klaim atas tanah Makam Mbah Priok yang belum
mencapai kesepakatan final, serta kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat yang
hanya bermaksud menggusur bangunan liar berubah menjadi bentrokan yang tidak bisa
dihindari. Meluasnya area konflik juga diduga muncul akibat ada provokasi orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Akibatnya korban luka-luka terhitung mencapai hampir 200 orang,
dan ada beberapa korban yang meninggal. Kerugian negara akibat bentrokan tersebut juga
mencapai miliaran rupiah karena aset negara seperti kendaraan dinas dirusak oleh masyarakat
yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah.
3.2 Analisis Kasus
Kasus bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) merupakan salah satu contoh dari kasus informasi asimetris yang didapat oleh
kedua belah pihak dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan bahwa pada
dasarnya isu penggusuran yang didapatkan masyarakat merupakan sebuah kabar burung yang
23
hanya menyebabkan masyarakat tersebut menjadi sangat emosional ketika berhadapan
dengan Satpol PP. Padahal saat itu, yang akan dilakukan oleh Satpol PP tersebut hanya
menertibkan bangunan liar yang ada di sekitar bangunan Makam Mbah Priok.
Secara legal, lahan Makam Mbah Priok memang sudah menjadi hak milik PT Pelindo
II. Hal ini jelas terlihat dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara
pada 5 Juni 2002. Namun hal penting yang patut untuk dianalisis adalah ketidaktahuan
masyarakat terhadap rencana pemerintah untuk merenovasi bangunan tersebut dan
menambah luas lahannya menjadi 100 meter persegi, serta menertibkan banguna liar yang
ada di sekitarnya.
Jika dilihat dari konsep partisipasi masyarakat, penulis tidak melihat adanya korelasi
positif yang tercipta antara pelibatan masyarakat dan konflik yang terjadi dalam kasus ini.
Artinya, jika memang masyarakat Koja dilibatkan dalam perumusan rencana Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dengan PT Pelindo II terkait keberadaan Makam Mbah Priok, tentu
masyarakat setempat tidak serta merta merasa “terkejut” dengan kehadiran Satpol PP, yang
pada akhirnya menjadi bentrok satu sama lain.
Dalam pembuatan sebuah kebijakan publik, seharusnya masyarakat memiliki peran
sebagai stakeholder yang memiliki hak penuh atas proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal
ini dikarenakan kebijakan publik tersebut akan memiliki keterkaitan dalam keberlangsungan
masyarakat. Pada kasus ini, dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan untuk menertibkan
bangunan liar di sekitar bangunan Makam Mbah Priuk sekaligus merenovasi makam tersebut
tidak disertai dengan pelibatan partisipasi masyarakat ataupun melakukan konsultasi publik.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau yang biasa dikenal dengan Musrenbang
pun tampak tidak disebut-sebut dalam tahap pembuatan kebijakan pemabangunan ini.
Padahal seharusnya, musrenbang sebagai sarana penyatuan kesepakatan antara masyarakat
dan pemerintah, bahkan juga pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo bisa mewadahi
samua kepentingan masing-masing pihak. Koja, meskipun bukan sebuah kabupaten,
setidaknya memiliki relevansi untuk menerapkan bagan di bawah ini dalam setiap rencana
pembangunan, termasuk rencana renovasi Makam Mbah Priok.
24
Berdasarkan bagan di atas, dapat dilihat bahwa dalam sebuah sistem strategis dari
pembangunan, peran partisipasi masyarakat haruslah seimbang dengan peran pemerintah dan
swasta. Artinya, dalam perencanaan pembangunan, masyarakat dipandang sebagai subjek,
bukan objek pembangunan. Sama halnya dengan pemerintah melibatkan pihak swasta.
Pemaparan tersebut mencerminkan sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance), dimana pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam segala
hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan negara, akan tetapi ada aktor-aktor lain
yang memiliki peran yang sama dengan pemerintah, yaitu swasta dan masyarakat.
Manurut hemat penulis, bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP
merupakan sebuah konsekuensi logis dari tidak diikutsertakannya masyarakat dalam rencana
prenovasi bangunan makam ini. Satpol PP yang juga tidak tahu menahu mengenai urusan
keputusan Pemprov DKI Jakarta untuk merenovasi Makam Mbah Priuk akhirnya melakukan
perlawanan terhadap respon negatif masyarakat. Hal ini diperparah oleh adanya kelompok
ketiga yang memprovokasi masing-masing pihak yang mengalami bentrok. Dengan kata lain,
tata kelola pemerintahan pada kasus ini belumlah berjalan dengan baik.
Keputusan Pemprov DKI Jakarta terkait kasus ini memang tidak melibatkan
partsisipasi masyarakat, akan tetapi pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo, menjadi
pihak yang turut memutuskan hal tersebut. Namun kemudian, perlu dipertanyakan, apakah
kesepakatan yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat ini memiliki kecenderungan unsur
25
kongkalikong antara kedua pihak. Kecenderungan inilah yang disebabkan oleh partisipasi
masyarakat yang minim sehingga berakhir dengan aksi massa yang anarkis.
Pada dasarnya, permasalahan pembangunan bisa diatasi dengan pelaksanaan fungsi
pengawasan dalam kegiatan pembangunan itu sendiri, baik pengawasan internal, maupun
pengawasan eksternal. Pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat merupakan
pengawasan eksternal. Salah satu bentuk dari pengawasan eksternal tersebut adalah kontrol
sosial yang dilakukan oleh masyarakat, bisa dalam bentuk preventif ataupun represif.
Masyarakat tidak bisa melakukan pengawasan eksternal yang baik tanpa adanya
keterbukaan pemerintah setempat. Pada kasus yang terjadi di Koja, masyarakat tidak
mendapatkan informasi yang terbuka dari pemerintah mengenai rencana pembangunan ini.
Bahkan secara sepihak, pemerintah setempat memutuskan untuk menurunkan pasukan Satpol
PP dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah, kontrol sosial
yang dilakukan oleh masyarakat bukanlah sebagai fungsi preventif atau mencegah terjadinya
bentrok atu konflik lain, melainkan sebagai fungsi represif.
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat Koja termasuk pengawasan represif
karena masyarakat melakukan kontrol sosial dalam bentuk yang anarkis ini setelah terjadinya
keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan PT Pelindo II yang berujung pada bentrok
tersebut. Masyarakat tersebut melakukan aksi penolakan terhadap keputusan yang dibuat
pemerintah karena merasa keputusan tersebut merugikan mereka. Masyarakat Koja saat itu
melakukan pengawasan represif, atas ke-tidak terbuka-an pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dan tertutupnya pembuatan kebijakan tersebut dari akses rakyat.
Namun, terlepas dari bagaimana masyarakat melakukan prosedur pengawasan yang
bisa dikatakan anarkis, setidaknya mereka sudah memberi peringatan kepada pemerintah
yang telah melakukan kesalahan karena sudah membuat kebijakan yang tidak melibatkan
pertisipasi masyarakat. Lebih dari itu, kontrol sosial ini berhasil di blow up oleh media massa
yang pada akhirnya menyebabkan fenomena minimnya partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan pada kasus ini menjadi begitu populis.
Hal positif lain yang bisa dianalisis dari pengawasan non legal formal ini adalah
meminimalisasi kemungkinan sistem patron-client atau nepotisme yang terjadi dalam
pengawasan internal di dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Lagi-lagi terlepas dari
pengawasan masyarakat yang kurang sopan tersebut, kontrol sosial ini berjalan dengan
26
obyektif. Tidak memandang siapa yang berada dalam pembuatan kebijakan Oleh karena itu,
dalam kasus ini pengawasan eksternal yang telah dilakukan oleh masyarakat Koja terhadap
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat membantu terciptanya kegiatan pembangunan yang
lebih baik.
Namun demikian, pada dasarnya penulis sangat menyayangkan munculnya fenomena
pelampiasan kekesalan warga dan masyarakat Indonesia lain yang mengetahui kasus ini
kepada pihak Satpol PP. Penulis beranggapan bahwa Satpol PP dalam kasus ini hanya
berperan sebagai “korban”, tidak berbeda dengan warga Koja. Satpol PP hanya memainkan
perannya sebagai front liner, tanpa mereka tahu bagaimana dan mengapa ekskusi penertiban
serta renovasi makam Mbah Priok perlu untuk dilakukan. Kesalahan terbesar terdapat pada
pemerintah yang tidak memaksimalkan partisipasi masyarakat Koja dalam rencana
pembangunan ini. Oleh karena itulah, pelimpahan sumber masalah kepada Satpol PP
merupakan sebuah kesalahan besar.
BAB 4
PENUTUP
27
4.1. Kesimpulan
Kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP terhadap rencana
“penertiban” Makam Mbah Priok sebenarnya disebabkan oleh sinergisitas yang buruk antara
masyarakat Koja, Wakil Gubernur Jakarta selaku pemerintah, dan PT. Pelindo II selaku pihak
swasta. Kesalahan penyerapan informasi oleh masing-masing pihak juga menjadi penyebab
terjadinya kerusuhan di Koja. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan pemahaman oleh
masing-masing pihak, terutama masyarakat. Namun, lebih dari itu semua, penyebab utama
dari bentrok ini adalah partisipasi masyarakat yang sangat minim terhadap pembuatan
kebijakan ini. Pada kasus penataan ulang makam Mbah Priok ini, pihak pemerintah dan
swasta tidak mengikutsertakan suara masyarakat atas rencana tersebut. Konsekuensi logis
dari hal tersebut adalah aksi massa yang anarkis berbentuk kerusuhan yang dilakukan oleh
masyarakat Koja dan direspon dengan negatif oleh Satpol PP yang juga tidak tahu menahu
atas keputusan ini.
Dalam kasus ini, masyarakat Koja akhirnya melakukan fungsi pengawasan eksternal
berupa tindakan represif. Tindakan represif tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kontrol
sosial dari masyarakat berupa bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah yang diisukan
akan menggusur Makam Mbah Priok. Bentuk pengawasan eksternal yang dilakukan
masyarakat memang tidak dapat dikatakan sebagai pengawasan yang baik, karena yang
terjadi adalah tindakan represif anarkis. Namun terlepas dari hal tersebut, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta telah mendapatkan “teguran keras” dari masyarakat setempat dalam
proses pembangunan daerahnya
4.2. Rekomendasi
Menurut penulis, untuk menciptakan good governance dalam setiap proses
pengambilan kebijakan pembangunan, seperti dalam rencana penataan ulang makam Mbah
Priok harus melibatkan partisipasi masyarakat, karena masyarakat bukanlah objek dalam
pembangunan. Selain itu, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ada komunikasi
yang sinergis sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara masing-masing pihak.
Daftar Pustaka
Davis, Keith., dan John W. Newstrom. 1995. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh.
Terjemahan. Jakarta : Erlangga.
28
Dr. Awaloedin Djamin, “Masalah Organisasi dalam Administrasi Pembangunan”, Prisma
No. 4, Agustus 1974, hal. 14.
Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra. ”Jurnal
Manajemen & Kewirausahaan” http://puslit.petra.ac.id/journals/management/. Vol.
2, No. 1, Maret 2000.
Phillips, H.S. “Development Administration and The Alliance of Progress”, International
Review of the Administrative Science, Vol. XXIX, 1968.
Sastropoetro, Santoso. 1986. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam
Pembangunan Nasional. Bandung: Penerbit Alumni.
Siagian, Sondang. “Konsepsi dan Masalah – Masalah Administrasi Pembangunan.”,
Administrasi Negara, Tahun X, No. 1, Mei 1970.
---------------------- 2007. Administrasi Pembangunan Konsep, Dimensi, dan Strateginya.
Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
Sirajudin, dkk. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara. Jakarta: Yappika.
Suprayogi, Aribowo. ”Bentrokan di Makam Mbah Priok”
http://berita.liputan6.com/hukrim/201004/272337/Bentrokan.di.Makam.Mbah.Priok
diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.17 WIB.
Swerdlow, Irving. 1963. Development Administration, Concepts and Problems. New York:
Syracuse University Press.
Warung informasi. ”Mbah Priok-Sejarah Makam Mbah Priok.” http://kutak-
ketik.blogspot.com/2010/04/mbah-priok-sejarah-makam-mbah-priok.html. diunduh
pada 21 April 2010 pukul 11.15 WIB.
Winarno, Hery. “Asal Mula Sengketa Makam Mbah Priok Versi Pemprov DKI.”
http://www.detiknews.com/read/2010/04/14/194712/1338476/10/asal-mula-sengketa-
makam-mbah-priok-versi-pemprov-dki. diunduh pada 21 April 2010 pukul 11.11
WIB.
29