Makalah tradisi sariga kabupaten muna

27
MAKALAH BAHASA INDONESIA TRADISI SARIGA YANG KINI TERLUPAKAN Disusun oleh : Nama : Muhamad Arzan NIM : F1B113021 Program Studi : Fisika Jurusan : Fisika Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo Kenda

Transcript of Makalah tradisi sariga kabupaten muna

Page 1: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

MAKALAH BAHASA INDONESIA TRADISI

SARIGA YANG KINI TERLUPAKAN

Disusun oleh :

Nama : Muhamad Arzan

NIM : F1B113021

Program Studi : Fisika

Jurusan : Fisika

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Halu Oleo

Kendari

2013

Page 2: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

1

KATA PENGANTAR

Puji sukur penyusun panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

limpahan rahmat hidayah dan kerunia-Nya karya tulis ini dapat diselesaikan.

Disamping itu, penyelesaian karya ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyelesaian

karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu

saran dan kritik yang membangun selalu penyusun harapkan demi perbaikan-

perbaikan selanjutnya. Akhirnya penyusun berharap semoga karya tulis ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Kendari, 27 November 2013

Penyusun

Page 3: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

2

Daftar Isi

Halaman Sampul ........................................................................................................ 0

Kata Pengantar .......................................................................................................... 1

Daftar Isi ..................................................................................................................... 2

Bab I Pendahuluan ..................................................................................................... 3

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 3

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4

1.3. Tujuan........................................................................................................ 4

1.4. Manfaat...................................................................................................... 4

Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 5

Bab III Pembahasan ..................................................................................................... 8

Bab IV Penutup .......................................................................................................... 13

4.1. Kesimpulan.............................................................................................. 13

4.2. Saran ........................................................................................................ 13

Daftar Pustaka ............................................................................................................ 14

Page 4: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah kecil di ujung tenggara pulau

Sulawesi dengan keajaiban alam, keindahan dan sumber-sumber alam yang

menakjubkan. Ditambah dengan budaya dan sejarah didaerah ini yang sangat banyak.

Dewasa ini Muna adalah tempat yang menarik. Muna adalah suku yang

jumlahnya paling besar diantara orang-orang Buton, dengan jumlah jiwa 300.000.

Orang Muna yang tinggal dalam Kabupaten Muna merasa bangga menjadi orang

muna dan mengidentifikasi diri dengan kota Raha, khususnya mereka yang tinggal di

utara pulau ini (Coppenger, 2012).

Dalam masyarakat Muna terdapat falsafah daerah yang memiliki makna

sangat mendalam. Dalam Muharto (2012) falsafah ini menggambarkan strukturisasi

nilai yang ,menjadi prioritas dalam memilih landasan hidup. Bunyi falsafah tersebut

adalah “Hansuru-hansur u mbadha kono hansuru liwu. Hansuru-hansuru liwu

kono hansuru adhati. Hansuru-hansuru adhati kono hansuru (tangka) agama”.

Kabupaten Muna merupakan daerah yang cukup banyak memiliki cerita,

tradisi dan realitas soisal budaya yang ada namun tidak terekam dengan baik atau

tidak bnayak diketahui oleh masyarakat luas. Seiring dengan perjalanan waktu pada

akhirnya cerita, tradisi dan realitas itu menjadi kabur, jauh dan tenggelam secara

perlahan-lahan, tanpa meninggalkan jejak. Hal itu patut dimaklumi karena pada saat

ini sudah banyak masyrakat khususnya suku Muna yang tak mengetahui atau tidak

pernah lagi menjalankan tradisi nenek moyang yang telah berkembang sejak zaman

dahulu kala itu . Misalnya tradisi kasambu, kaago-ago, kafematai, kaalano wulu,

kasampu, katoba, sariga, karia dan sebagainya, tradisi tradisi itu sekarang sebagian

sedikit demi sedikit telah ditinggalkan atau dicampur adukkan dengan budaya barat.

Selain hal itu, tradisi-tradisi tersebut termasuk bahasa daerah muna sendiri pun saat

Page 5: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

4

ini dikategorikan sudah terancam punah, sebab banyak masyarakat mulai

meninggalkan tradisi-tradisi tersebut dalam kehidupan sehari harinya, bahkan

masyarakat yang tinggal dikampung-kampungpun sudah sedikit demi sedikit mulai

meninggalkannya.

Oleh karena itu, muncul keinginan penulis untuk menghidupkan kembali

cerita tradisi dan realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Kabupaten Muna Pada

khususnya dan Sulawesi Tenggara pada umumnya, khususnya yang menyangkut

kehidupan masyarakat muna, melalui karya tulis ini. Adapun materi yang penulis

angkat adalah salah satu tradisi yang kini mulai terlupakan yaitu tradisi sariga.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang di atas dirumuskan beberapa permasalahan yang

akan diuraikan sebagai berikut.

a. Apakah yang dimaksud dengan tradisi sariga?

b. Bagaimana pelaksanaan tradisi sariga ?

c. Bagaimana eksistensi tradisi sariga di Kabupaten Muna saat ini ?

1.3. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya tulis ini adalah dapat

mengetahui bagaimana pelaksanaan dan eksistensi tradisi sariga di Kabupaten

Muna, Sulawesi Tenggara.

1.4. Manfaat

Manfaat dari karya tulis ini adalah tidak lain agar para pembaca dapat

menghidupkan kembali kebudayaan daerah muna yang saat ini sudah mulai

banyak ditinggalkan dan bahkan banyak yang mendekati ambang kepunahan.

Page 6: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

5

BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

Koentjaraningrat (2010) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan

gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta

keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

Menurut Selo Soemardjan (1993) kebudayaan dapat diartikan sebagai

keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan menurut

karsa masyarakat itu.

Budaya menurut Taylor (1871) merupakan suatu keseluruhan kompleks yang

meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat serta

kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota

masyarakat (Keesing, 1981).

Dalam Muharto (2012) Kroeber dan Kluckhohn memberikan definisi

kebudayaan dari sisi historis sebagai warisan yang dialih-turunkan dari satu generasi

ke generasi berikutnya.

Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah

sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan

suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau

agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi

yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (seringkali) lisan,

karena tanpa adanya ini suatu tradisi dapat punah (Wikipedia, 2013).

Dalam masyarakat Muna terdapat falsafah budaya daerah yang memiliki

makna sangat mendalam. Dalam Muharto (2012) falsafah ini menggambarkan

strukturisasi nilai yang ,menjadi prioritas dalam memilih landasan hidup. Agama

merupakan nilai tertinggi yang harus diprioritaskan. Dalam falsafah tersebut

mengharuskan agar agama dapat menjadi fondasi yang harus dipertaruhkan dalam

totalitaspotensi yang dimiliki oleh seseorang . Bunyi falsafah tersebut adalah

Page 7: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

6

“Hansuru-hansuru mbadha kono hansuru liwu. Hansuru-hansuru liwu kono

hansuru adhati. Hansuru-hansuru adhati kono hansuru (tangka) agama”.

Pesta katoba adalah pesta pada waktu anak-anak diislamkan pada umur kira-

kira sebelas tahun atau hampir mencapai umur kedewasaan. Para anak laki-laki

termasuk golongan maradika, dihiasi dengan pakaian yang paling bagus memakai

pengikat kepala sama dengan yang dipakai oleh lakina agama, serta memakai sebuah

keris. Para anak perempuan berpakaian lengkap dengan perhiasan keluarga (apabila

keluarga tidak memiliki perhiasan maka dipinjam dari orang lain), wajah mereka

dihiasi dengan bedak berwarna putih atau kuning muda, alis digunting rapi sehingga

berbentuk sabit, rambut kepala dekat telinga dicukur sedikit, sedangkan rambut

kepala bagian depan diselipkan sebuah pena rambut terbuat dari emas atau perak

lengkap dengan perhiasan kecil-kecil yang melambai-lambai seperti daun-daun

pohon yang tertiup angin bila mereka berjalan. Pendek kata, mereka ini dihiasi

secantik mungkin.

Kemudian para anak laki-laki dan perempuan dari golongan La Ode yang

telah didandani itu, dipikul diatas bahu oleh beberapa anggota keluarganya dan

diantar kepada pejabat agama, dalam hal ini lakina agama, imam atau khatib. Pada

golongan wesembali dan maradika anak-anak ini harus berjalan, pejabat agama

mereka adalah modhi bhalano (Couvreur, 2001).

Tradisi sariga merupakan salah satu dari sekian banyak tradisi sakral yang

biasa dilakukan oleh masyarakat suku Muna, di Sulawesi Tenggara. Tradisi ini wajib

dilakukan oleh orang tua yang telah memiliki sepasang anak laki-laki dan

perempuan. Tradisi ini dilakukan dengan harapan agar anak nantinya menjadi anak

yang shaleh dan tidak durhaka kepada kedua orang tuanya (Wikipedia, 2013).

Apabila anak telah dapat mengenal atau membedakan ibu dan bapaknya

dengan orang lain, maka dia diwajibkan mengikuti pendidikan yang dalam bahasa

muna dikenal dengan sebutan sariga (Fariki, 2010).

Pendekatan pengajaran materi toba pada sariga berbeda dengan pendekatan

pada mangkilo/kangkilo. Toba pada sariga diberikan dalam bentuk perbuatan yaitu

membanting-banting kepala anak sebanyak 7 kali dipapan setiap pagi dan sore

Page 8: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

7

selama 4 hari. Makna membanting-banting kepala, yaitu agar anak selalu taat pada

perintah orang tua atau tidak durhaka kepada orang tua (Fariki, 2009).

Sariga dilakukan pada saat seorang anak berumur antara 1-10 tahun. Makna

prosesi ini adalah supaya anak kelak tidak menjadi manusia durhaka, tetapi dapat

menghormati kedua orang tuanya. Anak dilatih sejak dini agar mereka patuh

terhadap orang tua.

Cara prosesi ini, yaitu gendang dipukul menurut irama Muna dan anak

dimandikan sambil disandar sandarkan kepala si anak di lantai yang telah

dipersiapkan sebanyak 7 kali mengikuti irama gendang. Acara ini berlangsung setiap

pagi dan sore hari selama 4 hari. Acara ini ditutup dengan doa selamat (Fariki, 2009).

Menurut Caleb Coppenger (2012) di Kabupaten Muna terdapat banyak ritual

dan upacara tradisional yang dilakukan dimasa silam, namun ada beberapa ritual dan

upacara tradisional yang sudah tidak dilakukan lagi.

Page 9: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

8

BAB III

PEMBAHASAN

Kabupaten Muna merupakan daerah kecil di ujung pulau Sulawesi. Daerah

ini beribukotakan kota Raha dengan jumlah penduduk 248.461 jiwa (Survei Sosial

Ekonomi Nasional - BPS 2010). Pada daerah ini kita dapat melihat cukup banyak

keindahan alam, sumber-sumber sejarah yang masih terjaga, budaya, cerita-cerita

tradisional (folklore, mitos, dan legenda), tradisi serta realitas soisal budaya yang

menarik. Di daerah ini kita masih dapat menjumpai berbagai tradisi-tradisi yang

merupakan warisan budaya dalam masyarakatnya. Tradisi-tardisi ini telah berjalan

sejak masa lampau dan dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Salah satunya adalah tradisi sariga.

Sariga merupakan salah satu bentuk tradisi pada masyarakat suku Muna,

Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang kini mulai terlupakan. Sariga biasa

dilakukan oleh masyarakat suku Muna pada anak yang baru mulai tumbuh gigi atau

pada anak yang akan memasuki usia balig/dewasa (berusia antara 1-10 tahun).

Tradisi ini dilakukan dengan harapan agar anak yang disariga tidak menjadi anak

yang durhaka terhadap kedua orang tuanya serta agar sang anak cepat beradaptasi

dengan lingkungannya. Selain hal itu tradisi ini juga dilakukan dengan tujuan untuk

mengobati anak-anak suku Muna yang terkena penyakit kulit, seperti kudis agar

cepat sembuh dari penyakitnya. Tradisi ini dilakukan pada hari yang dianggap baik

oleh suku Muna, berdasarkan perhitungan/penanggalan yang masih menggunakan

cara yang sangat tradisional berdasarkan penampakan bulan dilangit.

Tradisi sariga dahulu merupakan tradisi sakral dikalangan suku Muna,

pelaksanaannya memiliki makna agar anak kelak tidak menjadi manusia durhaka,

yang melupakan orang tua dan Tuhannya, namun menjadi anak-anak shaleh dan

tetap berbakti serta menghormati kedua orang tuanya. Para orang tua berharap anak

yang disariga nantinya akan menyadari bahwa semua perbuatan yang akan

dilakukannya kelak ketika memasuki usia balig/dewasa akan mendapat balasan dari

Page 10: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

9

Allah SWT, Sang Pencipta Alam Semesta. Kebaikan akan dibalas dengan pahala,

sebaliknya keburukan akan dibalas dengan dosa. Yang nantinya hasil perbuatannya

akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Berbeda dengan katoba yang menerapkan pemberitahuan dan pengingatan

kepada sang anak agar patuh dan taat terhadap orang tuanya serta tidak melupakan

Allah SWT selaku Tuhan yang menciptakannya , tradisi ini lebih menekankan

pengingatan terlebih dahulu dalam bentuk perbuatan kepada sang anak.

Dalam budaya muna, apabila suatu keluarga telah memiliki sepasang anak

laki-laki dan anak perempuan, maka keluarga tersebut telah diwajibkan untuk

melaksanakan tradisi sariga.

Syarat-syarat dalam Tradisi Sariga

Syarat untuk melakukan tradisi ini tidak terlalu sulit. Syarat ini merupakan

syarat utama untuk melaksanakan tradisi sariga . Adapun syarat untuk melaksanakan

tradisi sariga adalah sebagai berikut:

a. Keluarga yang akan melaksanakannya telah memiliki sepasanang anak laki-

laki dan anak perempuan.

b. Keluarga wajib menyediakan bahan-bahan yang telah ditentukan dalam

pelaksanaan tradisi sariga.

c. Tradisi ini dilakukan pada hari yang dianggap baik berdasarkan perhitungan

penanggalan para pemuka suku muna.

Dalam pelaksanaanya pihak keluarga diwajibkan menyediakan bahan-bahan

yang diperlukan dalam pelaksanaan prosesi sariga. Bahan-bahan mudah ditemukan

dilingkungan sekitar masyarakat muna. Bahan-bahan yang wajib disediakan oleh

keluarga yang akan melaksanakan tradisi ini adalah sebagai berikut:

1. Selembar papan

2. Pucuk bunga kelapa (bansa)

Page 11: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

1010

3. Pelepah kulit batang pinang (kulubhea)

4. Umbi-umbian yang dalam suku muna dikenal sebagai mafu.

5. Sebatang pohon pisang

6. Sebatang Tebu yang masih berdaun

7. Pelepah kelapa

8. Gerabah tanah (nuhua wite)

9. Keranjang buah

Tata Cara Pelaksanaan Tradisi Sariga

Tata cara pelaksanaan tradisi ini memiliki cara yang beragam disetiap kampung

atau kecamatan di Kabupaten Muna. Tata cara yang akan penulis uraikan disini

adalah tata pelaksanaan tradisi sariga yang umum digunakan. Tradisi ini biasa

dimulai dari malam hari dan dilanjutkan pada pagi harinya.

Adapun tata cara pelaksanaan tradisi ini pada malam hari adalah anak yang

akan disariga terlebih dahulu dimandikan oleh orang tua/sesepuh kampung, dan

diiringi dengan pukulan gong dan gendang sesuai dengan irama muna. Setelah

dimandikan, anak tersebut dibaringkan sejenak diatas papan yang telah

dipersiapkan, sebelumnya pepan tersebut dilapisi dahulu dengan pelepah pohon

pinang (kulubhea ). Kemudian kepala sang anak disandar-sandarkan secara

perlahan (dibanting-banting secara halus) oleh orang tua/sesepuh kampung pada

papan yang telah dilapisi pelepah batang pinang tadi sesuai irama pukulan gong dan

gendang sebanyak 7 (tujuh) kali ke kanan dan 7 (tujuh) kali ke kiri .

Pada Pagi harinya, dilaksanakan kegiatan yang sama seperti pada malam

harinya, yaitu anak yang akan disariga terlebih dahulu dimandikan oleh orang

tua/sesepuh kampung, dan diiringi dengan pukulan gong dan gendang sesuai dengan

irama muna. Setelah dimandikan, anak tersebut dibaringkan sejenak diatas papan

yang telah dipersiapkan, sebelumnya papan tersebut dilapisi dahulu dengan pelepah

pohon pinang (kulubhea ). Kemudian kepala sang anak disandar-sandarkan

secara

Page 12: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

1111

perlahan (dibanting-banting secara halus) oleh orang tua/sesepuh kampung pada

papan yang telah dilapisi pelepah batang pinang tadi sesuai irama pukulan gong dan

gendang sebanyak 7 (tujuh) kali ke kanan dan 7 (tujuh) kali ke kiri . Setelah itu,

anak-anak yang disariga diberi pakaian muna yang dilengkapi dengan pengikat

kepala bagi laki-laki serta mereka didandani seelok/secantik mungkin. Bagi batita

cukup diberi pakaian yang menarik. Apabila sang anak telah didandani sedemikian

rupa maka ia dibawa ketempat keluarga sang anak berkumpul untuk didoakan

bersama dengan imam (modhi) kampung. Pada saat sang anak didoakan oleh imam

(modhi) kampung biasanya keluarga/orang tua anak tersebut menyediakan

dupa/menyan* (saat ini agar lebih praktis banyak yang menggunakan lilin) serta

sesajen berupa bahan makanan yang diletakkan diatas nampan dan ditutup dengan

penutup berupa kain putih.

Pada saat sang anak telah selesai didoakan, seseorang dari kelurganya

(ayah/paman/sepupu) menunggunya diluar untuk memikulnya dibahu kemudian

diarak keliling kampung. Biasanya sang anak dibawa menuju kearah timur sampai

ketempat yang telah ditentukan diiringi dengan pukulan gendang dan gong serta tari-

tarian suku Muna. Pada saat mulai mengarak biasanya didahului dengan para pesilat

muna yang menunjukan kebolehannya dalam adu silat bersenjata tajam

menggunakan parang (ewa wuna). Setelah tiba ditempat tujuan yang telah

ditetapkan, sang anak diarak kembali kerumah.

Sambil menunggu arakan selesai, keluarga sang anak yang disariga

menyiapkan sebatang pohon pisang yang telah ditancapkan di halaman rumah.

Dibawah pohon pisang disiapkan pula keranjang buah untuk diletakkan mafu dan

pucuk bunga kelapa (ba nsa). Disamping keranjang tersebut disusun rapih

gerabah tanah (nuhua wite), pelepah kelapa, dan sebatang tebu yang masih berdaun.

Setelah tiba di rumah, satu dari para pesilat yang terdiri dari 4 orang

memisahkan diri dari kelompoknya. Salah satu pesilat ingin menjaga pohon pisang

dihalaman rumah sang anak dan yang lainnya ingin mencuri dan momotong pohon

pisang tersebut. Akhirnya, satu dari ketiga pesilat yang ingin memotong pohon

pisang yang dimaksud bertarung dengan yang menjaganya menggunakan senjata

Page 13: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

1212

tajam berupa parang/golok. Pertarungan mereka mengikuti irama pukulan gong.

Irama pukulan gong yang dilakukan oleh pemukul gong tidak sembarang, apabila

pemukul gong memukul dengan irama yang salah maka salah satu dari pesilat yang

bertarung akan terluka parah terkena sabetan senjata tajam/parang. Sebelum

memukul gong untuk pertarungan pesilat tersebut pemukul gong membaca mantra-

mantra. Pertarungan akan berhenti apabila ada dua pesilat lainnya berhasil memotong

batang pisang tersebut. Pertarungan silat tersebut dapat pula menjadi hiburan bagi

anak yang disariga ataupun para penonton dari keluarga besar orang tua anak yang

disariga. Biasanya para penonton akan bersorak ketika batang pohon pisang berhasil

dipotong/ditebas dengan menggunakan parang oleh salah seorang pesilat

Setelah batang pisang berhasil dipotong/ditebas oleh pesilat, anak yang akan

disariga, dibanting-bantingkan pantatnya sebanyak tiga kali diujung potongan

tersebut. Tiap bantingan mengikuti irama pukulan gong Tujuan membanting banting

pantat anak pada ujung potongan tersebut adalah untuk menghilangkan katutura atau

penyakit yang tidak dinginkan pada anak, biasanya untuk menghindarkan atau

mengobati anak dari penyakit kulit seperti kudis.

Setelah rangkaian prosesi tersebut anak-anak yang disariga dilemparkan uang

atau hadiah tertentu oleh keluarga sebagai tanda berakhirnya prosesi sariga.

Saat ini tradisi sariga banyak ditinggalkan oleh masyarakat muna . Salah satu

penyebab ditinggalkannya tradisi ini adalah kurangnya perhatian masyarakat dan

pemerintah untuk menjaga budayanya akibat pengaruh moderenisasi dan globalisasi.

Selain itu, dari tinjauan bahwa tradisi ini dapat mengobati/mencegah penyakit kulit

hanya dianggap sebagai sebuah mitos belaka yang tidak terbukti secara medis.

Namun bagi para orang tua yang rata-rata kelahiran tahun 50 an tradisi ini masih

dianggap merupakan tradisi sakral dan apabila ada anak atau cucu mereka yang

terkena penyakit kulit cara yang efektif untuk menyembuhkan penyakit kulit anak-

anak mereka atau cucu-cucu mereka adalah tradisi sariga. Tradisi ini masih dapat kita

jumpai di daerah Tongkuno atau Wakuru, Kabupaten Muna.

Page 14: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

1313

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Tradisi sariga merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh suku Muna yang

memiliki makna agar anak kelak tidak menjadi manusia durhaka, yang melupakan

orang tua dan Tuhannya, namun menjadi anak-anak shaleh dan tetap berbakti serta

menghormati kedua orang tuanya. Pelaksanaan tradisi ini melalui tahapan

membentur-benturkan kepala anak yang akan disariga pada selembar papan yang

telah dilapisi pelepah pohon pinang sebanyak 7 kali, pada malam dan pagi hari.

Makna membanting-banting kepala, yaitu agar anak selalu taat pada perintah orang

tua atau tidak durhaka kepada orang tua. Namun saat ini tradisi sariga mulai

ditinggalkan, akibat tergerus arus arus moderenisasi dan globalisasi.

4.2. Saran

Penyusun berharap agar para pembaca dapat mengetahui tradisi-tradisi yang

ada di Kabupaten Muna. Selain itu penyusun berharap masyarakat Muna paling tidak

dapat menjaga atau menjalankannya, agar tradisi tersebut tidak ditinggalkan atau

tidak akan punah dengan sendirinya. Oleh karena itu mari kita jaga tradisi ini sebagai

salah satu unsur kebudayaan Indonesia.

Page 15: Makalah tradisi  sariga  kabupaten muna

1414

Daftar Pustaka

BPS. 2010. Kebupaten Muna dalam Angka. Kendari: Badan Pusat Statistik Sulawesi

Tenggara.

Coppenger, Caleb. 2012. Misteri Kepulauan Buton: Menurut Sesepuh dan Saya

(dalam terjemahan Doreen Widja yana ). Jakarta: Adonai

Couvreur, J. 2001. Seja rah dan Kebudayaan Kerajaan Muna (dalam terjemahan

Rene van den Berg). Kupang: Artha Wacana Press.

Fariki, La. 2009. Mengapa Perempuan Buton dan Muna dipingit.

Kendari: Komunika.

.2009. Pusaka Moral dari Pulau Muna. Kendari: Komunika.

.2010. Sistem Pendidikan Toba pada Masyarakat Buton dan Muna .

Kendari: Komunika.

Keesing, Roger M. 1981. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer

(dalam terjemahan Guna wan Samuel). Jakarta: Erlangga.

Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaa n di Indonesia. Jakarta:

Djambatan. Muharto. 2012. Wuna Barakati: Antara Falsafah dan Realitas.

Jogjakarta: Indie

Book Corner.

Soemardjan, Selo. 1993. Masyara kat dan Manusia dalam Pembangunan.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wikipedia. 2013. Tradisi. ht t p: / / i d.wikipedi a .or g /wik i /Tr a dis i.

Wikipedia. 2013. Tradisi Sariga. ht t p: / / id.wik i p e dia.o r g /wik i /T r a dis i _ S a rig a.