Makalah sunni dan syi'ah

47
SUNNI dan SYI’AH Disusun Oleh : 1. Aris Hidayat (11650014) 2. Nur Azizah Latifah (11650018) 3. Nofita El Syafirah (11650019) 4. Nashirotul Millah (11650024) 5. Subha n Indra Gunawan (11650026) 6. Ihda Ayu Faliska (11650029) TEKNIK INFORMATIKA

description

perbedaan sunni dan syi'ah

Transcript of Makalah sunni dan syi'ah

Page 1: Makalah sunni dan syi'ah

SUNNI dan SYI’AH

Disusun Oleh :

1. Aris Hidayat (11650014)

2. Nur Azizah Latifah (11650018)

3. Nofita El Syafirah (11650019)

4. Nashirotul Millah (11650024)

5. Subha n Indra Gunawan (11650026)

6. Ihda Ayu Faliska (11650029)

TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2013

Page 2: Makalah sunni dan syi'ah

PENDAHULUAN

Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran

besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat

dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik

kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-

negara seperti Irak dan Lebanon.

Syiah, syiah ini berbeda pendapatnya dengan aliran lain di antaranya dalam

pendirian, bahwa penunjukan imam sesudah wafat Nabi di tentukan oleh Nabi

sendiri dengan nash. Nabi tidak boleh melupakan nash itu terhadap pengangkatan

khalifahnya, sehingga menyerahkan pekerjaan pengangkatan itu secara bebas

kepada umatnya dan halayak ramai. Selanjutnya syi'ah berpendirian bahwa

seseorang imam yang di angkat itu harus ma'sum atau terpelihara dari pada dosa

besar atau dosa kecil, dan bahwa Nabi Muhammad dengan nash meninggalkan

wasiatnya untuk mengangkat Ali bin Abi thalib menjadi khalifahnya, bukan orang

lain, dan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabatnya yang pertama dan

utama.

Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis,

Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus

mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana.

Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas

pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini

dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah,

yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.

1

Page 3: Makalah sunni dan syi'ah

PEMBAHASAN

I. SYI’AH

A. Pengertian Syiah

Syiah secara etimologi (kebahasaan) berarti pengikut, pendukung,

pembela, pencinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan

kepada ide atau individu dan kelompok tertentu.1 Sedangkan menurut Ahmad

Al-Waili dan Abd al-Qadir Syaib al-Hamdi Guru Besar pada Universitas

Islam Madinah, sebagaimana dikutip oleh Fadil, Syiah menurut bahasa adalah

pengikut atau pembantu.2

Muhammad Husayn Thabathaba’i dalam bukunya “Islam Syiah”,

menyebutkan bahwa Syiah adalah kaum muslimin yang menganggap

pengganti Nabi saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi, dan mereka

yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab

Ahl al-Bayt.3

Muhammad Jawad Maghniyah, seorang ulama beraliran Syiah,

sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, memberikan definisi tentang

kelompok Syiah, bahwa mereka adalah “kelompok yang meyakini bahwa

Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti)

tentang khalifah (pengganti) Beliau dengan menunjuk Imam Ali. Definisi ini

sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ali Muhammad al-Jurjani

(1339-1413), seorang Sunni penganut aliran Asy’ariyah, yang menulis dalam

bukunya at-Ta’rifat (defenisi-defenisi) bahwa: Syiah adalah mereka yang

mengikuti Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah imam sesudah

Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan

keturunannya.4

1 M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 60.

2 Fadil SJ, Syiah Dalam Perspektif Sejarah: Dari Hadits al-Indzar Sampai Imamah, Jurnal STAIN Malang, No. 5 Tahun 1998, hlm. 80.

3Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syiah: Asal-Usul dan Perkembangannya, diterjemahkan dari, Shi’ite Islam, penerjemah, Djohan Effendi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 32.

4 M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah, hlm. 61.

2

Page 4: Makalah sunni dan syi'ah

Sedangkan dalam pandangan Abu Zahrah,5 bahwa Syiah adalah

mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab mereka tampil pada

akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada

masa Ali. Mereka mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya.

Sehingga mereka mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk

menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Ketika keturunan

Ali, yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang

semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa Bani Umayyah,

rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka

memandang Ahl al-Bayt sebagai syuhada dan korban kezaliman. Dengan

demikian semakin meluaslah daerah mazhab Syiah dan pendukungnya

semakin banyak.

Dari berbagai pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

Syiah adalah golongan yang lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari

sahabat lainnya, yang percaya bahwa Ahl al-Bayt lebih berhak untuk

memegang tampuk kekhalifahan sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw atas

dasar wasiat dari Rasul dan kehendak dari Allah.

Kemudian perlu diketahui bahwa di zaman Rasulullah syiah-syiah atau

kelompok yang ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah,

sehingga saat itu tidak ada lagi kelompok-kelompok atau syiah. Hal mana

karena Rasulullah diutus untuk mempersatukan umat dan tidak diutus untuk

membuat kelompok-kelompok. Allah berfirman : Ali Imran 103

Artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

5 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, penerj. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Lpgos, 1996), hlm. 34.

3

Page 5: Makalah sunni dan syi'ah

B. Sejarah Mazhab Syi’ah

Sebagaimana dipahami dari pengertian Syiah di atas, bahwa kelompok

Syiah adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib dan mereka percaya bahwa

kepemimpinan setelah Nabi wafat adalah hak Ali bin Abi Thalib dan

keturunannya. Dari sinilah bermulanya persoalan yang pada akhirnya

menimbulkan suatu polemik yang panjang diantara umat.

Ketika Nabi wafat, persoalan penggantian dipahami sebagai

penggabungan kepemimpinan politik dan religius, suatu prinsip yang dikenal

baik oleh orang Arab, meskipun tentu saja, dengan tingkat penekanan yang

berbeda pada salah satu dari dua aspek ini. Bagi sebagian orang politik lebih

diperhatikan dari pada religius, sedang bagi yang lain religius lebih

diperhatikan ketimbang politik.6

Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah

gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak

pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut

sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah

pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari

pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang

yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).

6 Sayyid H. Muhammad. Jafri, Origin And Early Development of Shi’a Islam (New York: Longman,1979). Terjemahan Indonesia oleh Meth Kieraha, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah dari Saqifah Sampai Imamah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 42.

4

Page 6: Makalah sunni dan syi'ah

Sebagaimana dijelaskan oleh Thabathaba’i dalam bukunya “Islam

Syiah”, setelah Nabi wafat, para pengikut dan sahabat Ali percaya bahwa

kekhalifahan dan kekuasaan agama berada di tangan Ali. Kepercayaan ini

berpangkal pada pandangan tentang kedudukan dan tempat Ali dalam

hubungannya dengan Nabi, para sahabat dan kaum muslimin umumnya.

Namun sebelum jasad Nabi dimakamkan, para sahabat yang lain telah

berkumpul di suatu tempat dan bertindak lebih jauh dan tergesa-gesa

menetapkan seorang khalifah pengganti Nabi tanpa berunding dengan Ahl al-

Bayt, keluarga-keluarganya ataupun beberapa sahabatnya, yang sedang sibuk

mengurusi jenazah Nabi.

Setelah selesai pemakaman Nabi, Ali dan para sahabatnya – seperti

“Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar – mengetahui

tentang pelaksanaan pemilihan khalifah. Mereka mengajukan protes terhadap

cara musyawarah dan pemilihan dalam pengangkatan khalifah tersebut, dan

juga terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilihan

itu. Akibat protes yang mereka lakukan ini menjadikan mereka dikenal

sebagai kaum partisan atau syiah Ali.7

Mereka berpendapat bahwa penunjukan Ali sebagai pengganti Nabi

telah terjadi ketika Nabi Muhammad saw. dalam perjalanan pulang dari

ibadah haji pada waktu haji wada’ pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 11 H

bertepatan dengan tahun 632 M. Di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum

yang terletak antara Mekkah dan Madinah, dikisahkan bahwa Nabi telah

membuat sebuah proklamasi yang amat menentukan, yang telah diriwayatkan

orang dengan berbagai macam versi. Yang paling populer diantara berbagai

riwayat itu adalah perkataan Nabi yang berbunyi: “Barang siapa yang

menganggap saya sebagai pemimpinnya, maka harus pula menganggap Ali

adalah pemimpinnya.8

7 Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i, Islam Syiah, hlm. 39-40.8 A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (Ed.), Syiah dan Politik di Indonesia:

Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 40.

5

Page 7: Makalah sunni dan syi'ah

Hasyimi dalam bukunya “Syiah dan Ahlusunnah”9 menjelaskan bahwa

bibit partai Syiah yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Ali lah yang berhak

menjadi Khalifah dan untuk selanjutnya adalah para pendukung Ali. Partai

Syiah ini pada mulanya adalah partai politik yang bertujuan merebut

kekuasaan. Paham politik mereka yaitu bahwa khalifah haruslah turun-

menurun dari turunan Ali bin Abi Thalib.

Asas ajaran mereka, bahwa khalifah yang dalam istilah Syiah disebut

“imam”, adalah Saiyidina Ali , setelah wafat Muhammad, kemudian berturut-

turut imam itu telah ditetapkan oleh Allah dari keturunan Ali. Menurut

mereka, bahwa mengakui imam dan mentaatinya adalah sebagian dari iman.

Muhammad Abu Zahrah mengatakan, Syiah adalah mazhab politik

yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab ini tampil pada akhir masa

pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali.

Setiap kali Ali berhubungann dengan masyarakat, mereka semakin

mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu para

propagandis Syiah mengekploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk

menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Di antara

pemikiran itu ada yang menyimpang dan ada pula yang lurus.

Ketika keturunan Ali, yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat

perlakuan zalim yang semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada

masa Bani Umayyah, rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin

mendalam. Mereka memandang Ahl al-Bayt ini sebagai syuhada dan korban

kezaliman. Dengan demikian, semakin meluaslah daerah mazhab Syiah dan

pendukungnya semakin banyak.10

Partai Syiah ini kemudian pecah menjadi berpuluh-puluh sekte, yang

satu sama lain sangat berbeda. Ada sekte yang sangat ekstrim, yang

mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan dan ada sekte yang tidak perlu ibadat,

hanya ibadat batin saja. Diantara sekte-sekte yang banyak itu yang paling

9 A. Hasyimi, Syiah dan Ahlusunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara ( Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 39-40.

10 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 34.

6

Page 8: Makalah sunni dan syi'ah

masyhur adalah sekte Zaidiyah, Kisaniyah, Imamiyah yang juga mempunyai

cabang seperti Ithna Ashariyah, Ismailiyah, dan sebagainya.

Partai Syiah yang mulanya hanya bergerak dalam bidang politik,

kemudian lama kelamaan mereka juga mempunyai mazhab dalam fiqih,

pendapat dalam filsafat, ajaran dalam tasawuf, dan keyakinan dalam aqidah.

Namun dari sekte-sekte partai Syiah yang ekstrimlah yang kemudian

banyak sekali menjelma paham-paham sesat menyesatkan, terutama dalam

bidang aqidah, filsafat dan tasawuf. Pengaruhnya meliputi seluruh dunia

Islam, sampai ke Indonesia, dan juga dalam kalangan mereka banyak lahir

ahli-ahli pikir, ulama-ulama, fuqaha-fuqaha, filosuf-filosuf, ahli-ahli tasawuf

dan penyair.11

C. Ajaran-ajaran Mazhab Syi’ah

Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib dipercayai oleh

penganutnya. Kelima prinsip itu adalah al-tauhid, al-adl, al-nubuwwah, al-

imamah, dan al-ma’ad.

1. Al-Tauhid

Kaum syi’ah mengimani bahwa Allah itu ada, Maha Esa, tunggal,

tempat bergantung segala makhluk, tidak beranak, dan tidak

diperanakkan, dan tidak seorang pun serupa dengan-Nya.12 Keyakinan

seperti ini tidak berbeda dengan akidah kaum muslimin pada umumnya

2. Al-‘Adl

Kaum syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil.

Allah tidak menyukai perbuatan zalim dan perbuatan buruk seperti

berdusta dan memberikan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia.

Allah juga bersih dari aib, cacat, dan celah.

11 A. Hasyimy, Syiah dan Ahlusunnah, hlm. 4012 Al-Sayyid Amir Muhammad al-Kazhimi al-Quzwini, Al-Syi’ah fi Aqa’idihim wa

Ahkamihim, Dar al-Zahra, Beirut, 1977, hlm. 26

7

Page 9: Makalah sunni dan syi'ah

3. Al-Nubuwwah

Kepercayaan syiah terhadap keberadaan Nabi-Nabi juga tidak

berbeda dengan kaum muslimin lain. Menurut mereka, Allah mengutus

sejumlah Nabi dan Rasul ke muka bumi untuk membimbing umat

manusia. Rasul-Rasul itu memberikan kabar gembira bagi orang yang

mentauhidkan Allah dan melakukan amal sholeh dan kabar siksa/ancaman

bagi orang yang mengingkari Allah dan durhaka.

4. Al-Imamah

Imamah merupakan masalah yang penting bagi kaum syi’ah. Bagi

mereka, imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia

sekaligus. Ia pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan

hudud (hak/hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan

kebaikan dan ketentraman umat.13

5. Al-Ma’ad

Secara harfiah Al-Ma’ad berarti tempat kembali. Yang dimaksud

di sini adalah hari akhirat. Kaum syi’ah percaya sepenuhnya akan adanya

hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti akan terjadi.

D. Sekte-sekte dalam Mazhab Syi’ah

Dari 22 sekte yang ada dalam tubuh Syi’ah, yang nampaknya masih

ada sampai sekarang ini hanya tiga: Imamiah, Ismailiah, dan Zaidiah.

1. Imamiah

Syi’ah ini dinamakan imamah karena kepercayaan mereka yang

kuat tentang imam bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah

imam. Yang berhak menggantikan Nabi sebagai pemimpin hanyalah Ali

bin Abi Thalib. Hak Ali atas kepemimpinannya itu bukan dilihat dari

sudut kecakapan, sifat, atau lainnya, tapi yang terpenting adalah bahwa

hal itu sudah diwasiatkan oleh Nabi.14

2. Ismailiah13 Sayyid Mahbuddin al-Khatib, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syi’ah al-Imamah dan

Perbedaannya Dengan Ahlussunnah, Ahli bahasa Munawwar Putera, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 25.

14 Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 138

8

Page 10: Makalah sunni dan syi'ah

Syi’ah Islamailiah adalah sekte Syi’ah yang berpendapat bahwa

imam itu hanya tujuh. Penganut aliran Ismailiah sampai sekarang masih

ada, terutama di India. Pemimpinnya adalah Prince Karim Khan, cucu

Agha Khan, yang kini menetap di Jenewa.15

3. Zaidiah

Sekte Syi’ah pengikut Zaid bin Ali Husain bin Ali bin Abi Thalib

ini berkembang di daerah Yaman. Syi’ah ini lebih moderat disbanding

syi’ah lainnya. Kalau sekte syi’ah yang lain, khususnya Imamiah dan

Ismailiah secara tegas menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW.

Menunjuk Ali dan memberi wasiat kepadanya untuk menggantikan

beliau menjadi pemimpin umat Islam setelah beliau wafat, Zaidiah tidak

berpendapat demikian.

Menurut kelompok Zaidiah, Nabi tidak menunjuk Ali secara tegas

dengan menyebutkan namanya, tapi hanya memberikan deskripsi atau

isyarat yang bersifat umum. Karena itu, kelompok ini tidak menganggap

Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai orang yang zalm yang merampas

atau merebut hak kekhalifahan Ali. Meskipun demikian, mereka tetap

beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama.16

E. Tokoh-Tokoh Mazhab Syi’ah

Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer

seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua

tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam

pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin

dan Ja’far al-Shadiq.

Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya.

Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh

dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu

Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara

langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu,

15 Ibid…, hlm 14016 Ibid…, hlm 142

9

Page 11: Makalah sunni dan syi'ah

tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor

Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di

kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.). Mahmud Syaltut

memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja’fari

Itsna ‘Asyariyah.17

Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin terkenal ahli di

bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin ‘Ali telah

dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu

karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam

bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.18

Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di

antaranya:

1. Nashr bin Muhazim2. Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari3. Ahmad bin Abi ‘Abdillah al-Barqi 4. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi 5. Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar6. Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi7. Ali bin Babawaeh al-Qomi 8. Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini 9. Ibn ‘Aqil al-‘Ummani10. Muhammad bin Hamam al-Iskafi 11. Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi 12. Ibn Qawlawaeh al-Qomi13. Ayatullah Ruhullah Khomeini 14. Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i15. Sayyid Husseyn Fadhlullah 16. Murtadha Muthahhari 17. ‘Ali Syari’ati 18. Jalaluddin Rakhmat19

19. Hasan Abu Ammar20

17 Ibid …, hlm. 13-15.18 Ibid …, hlm. 15.19 Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syi’ah Indonesia. Karya tulisnya dalam

bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syi’ah Indonesia.

10

Page 12: Makalah sunni dan syi'ah

II. SUNNI

A. PENGERTIAN SUNNI

Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ahDalam kitab Al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah

Ensiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut:

“Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammas SAW. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu’). Sebagai bandingan Syi’ah. Diantara mereka ada yang disebut “Salaf”, yaitu generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Dan ada juga yang disebut “Kholaf”, yakni generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujadiddun) dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam”. (Ghorbal et.al., 1965:278).

Dari definisi ini, jelas bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak

hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran.

Karena itu, Dr. Jalal M. Musa yang dikutip oleh M. Tholhah Hasan

mengatakan bahwa istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini menjadi rebutan

banyak kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah

Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan dimasukkannya kata “al-Jama’ah” dalam

istilah ini karena mereka menggunakan “Ijma’” dan “Qiyas” sebagai dalil-

dalil syari’ah yang fundamental, disamping al-Quran dan Sunnah Rasul.2 1

(Hasan, 2005: 3-4).

20 Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab “Rasionalisme Islam Perspektif Syi’ah dan Sunni” di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syi’ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni. 21 Dengan merujuk kepada al-Syatibi, Saleh menjelaskan bahwa para penulis Muslim merumuskan lima definisi tentang jama’ah sebagai berikut: (1) Mayoritas umat Islam; (2) para Ulama terkemuka dari umat Islam; (3) para Sahabat Nabi; (4) semua umat Islam selama mereka sepakat dalam satu masalah; dan (5) semua umat Islam ketika mereka sepakat untuk mengikuti seorang Imam atau pemimpin. (Saleh, 2004: 100).

11

Page 13: Makalah sunni dan syi'ah

Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah

banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya.

Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari

kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Dan

para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas,

Imam as-Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh

Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi

sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah

pada abad ke-3 H.

Sebagai tambahan dari penjelasan diatas, penggunaan istilah

Ahlussunnah wal Jama’ah juga didasarkan pada beberapa hadis yang

menyatakan bahwa umat Islam setelah masa Nabi akan terpecah menjadi 73

golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Satu golongan yang

selamat, menurut sabda Nabi tersebut, terdiri atas mereka yang

melaksanakan Sunnah Nabi dan para Sahabatnya.

Pada uraian diatas tentang definisi Ahlussunnah, mereka terbagi

menjadi dua generasi, yaitu Salaf dan Kholaf. Diantara generasi tersebut

memang terdapat banyak persamaan, tetapi juga ada pandangan yang

berbeda. Perbedaan pandangan tersebut antara lain dalam menyikapi ayat-

ayat mutasyabihat, utamanya yang berkaitan dengan sifat Allah, seperti kata

“yad” (tangan), “ain” (mata),”istawa” (bersemayam).

Generasi Salaf, mempercayai kebenaran kata-kata tersebut dan

membenarkannya tanpa mau banyak mendiskusikan dan memperdebatkan

arti sebenarnya. Diriwayatkan bahwa Walid bin Muslim pernah bertanya

kepada Imam Malik bin Anas, Imam Sofyan al-Tsuri, dan Imam Laits bin

Saad, tentang ayat-ayat yang berisi sifat-sifat Allah. Mereka menjawab:

Artikan seperti apa adanya, dan jangan tanya bagaimana!. Imam Malik

pernah ditanya tentang arti kata “istawa” bagi Allah. Dan Beliau menjawab:

“Duduk itu sudah jelas, tetapi bagaimana duduknya itu tidak diketahui;

mengimaninya adalah wajib, sedangkan mempertanyakan hal itu adalah

bid’ah”. (Hasan, 2005: 10).

12

Page 14: Makalah sunni dan syi'ah

Generasi Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 H, ditengah-tengah

maraknya pergolakan kehidupan intelektual umat Islam, yaitu pada masa

pemerintahan Bani Abasiyyah. Umat Islam pada waktu itu mendapatkan

fasilitas yang memadai sehingga lahir ilmu-ilmu baru dalam studi keislaman

yang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, seperti Ilmu Kalam, Ilmu

Tasawwuf dan lain sebagainya. Dan lahir pula tokoh-tokoh ahli dalam

bidang Ilmu Kalam seperti Abu Abdillah bin Sa’id Al-Kullab (w. 240 H)

yang dikenal sebagai Ibnu Kullab dan Abu al-Abbas Al-Qolanisi (w. 255 H),

mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah yang muncul sebelum al-

Asy’ari dan al-Maturidi. Berbeda dengan generasi Salaf, generasi Kholaf

menerima penggunaan dalil-dalil ‘aqli sebagai penyeimbang dalil naqli.

Dan itu yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. (Hasan, 2005: 11).

Generasi Kholaf dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat

menggunakan penafsiran yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha

Sucian dan ke-Maha Agungan Allah. Penafsiran itu disebut “Ta’wil”, seperti

kata “Yadullah” diartikan dengan “kekuasaan Allah”, “Ainullah” diartikan

“pengawasan Allah”, kata “Istawa” diartikan “mengatur”.

B. Sejarah Perkembangan Kalam Sunni

Matoritas umat Islam dewasa ini menganut Islam Sunni. Penganut

doktrin ini dikenal sebagai kaum ortodoks atau Muslim Sunni. Meskipun

demikian, secara historis, oposisi ini mencuat akibat dari ketegangan politik

pada masa awal Islam. Ketegangan- ketegangan ini diekspresikan dalam

istilah teologis dan terutama sekali berkaitan dengan persoalan imamah atau

kepemimpinan umat yang membelah identitas umat Islam. Sejak saat itulah

sebagian umat Islam mulai mengidentifikasikan diri mereka sebagai

penganut Sunni sebagai lawan dari pendukung Syi’ah. (Saleh, 2004: 97).

Meskipun Islam Sunni biasanya dikaitkan dengan aliran teologi

Asy’ari, terdapat buku yang cukup jelas bahwa istilah Sunni ini telah

dipergunakan jauh sebelum masa al- Asy’ari.22 Istilah ini telah 22 Ibn Taimiyah, misalnya, menegaskan bahwa mazhab Ahl al-Sunnah adalah mazhab

13

Page 15: Makalah sunni dan syi'ah

dipergunakan berkaitan dengan orang-orang yang ingin mendapatkan

rujukan langsung dari al-Quran dan Sunnah dalam soal-soal agama. Orang-

orang tersebut, pada masanya lebih dikenal dengan Ahli Hadits dan

terutama terdiri atas para Sahabat Nabi dan Tabi’in.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dalam pertumbuhannya,

Kalam Sunni sudah ada sejak masa para Sahabat Nabi, tetapi baru

berkembang pada abad ke-3 H. Pada awal mula perkembangannya banyak

memiliki aliran, ada beberapa Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in yang

dikenal memiliki aliran masing-masing, sampai kemudian terdapat empat

mazhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. di dalam

keyakinanSunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti,

perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Dalam

masalah aqidah (teologi), mayoritas Kaum Sunni mengikuti Imam Asy’ari

(yang kemudian disebut Asy’ariyah) dan al- Maturidi (disebut Mauridiyah).

Berikut sedikit ulasan tentang kedua tokoh tersebut, pemikiran

mereka, dan siapa saja tokoh yang ikut berperan dalam mengembangkan

ajaran-ajaran kedua tokoh tersebut:

Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari

Lahir di kota Basrah pada tahun 260 H / 873 M dan wafat pada

tahun 324 H / 935 M di kota Baghdad. Beliau mempunyai hubungan nasab

dengan Sahabat Nabi SAW., yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Imam Asy’ari

semula menjadi pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh

besar Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan

paham Mu’tazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang

anti Mu’tazilah. Menurut Tolhah Hasan (Hasan, 2005: 14-17), faktor-faktor

yang mejadikan Imam Asy’ari memisahkan diri dari paham Mu’tazilah

antara lain: Pertama, ketidakpuasan Imam Asy’ari pola pikir dan

lama dan telah dikenal sejak sebelum munculnya empat mazhab Fiqh. Ia merupakan mazhab para Sahabat Nabi yang mengambil ajaran agama mereka langsung dari Nabi. (Taimiyah, 1903: 256).

14

Page 16: Makalah sunni dan syi'ah

metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa

dukungan wahyu atau nash.

Kedua, terjadinya tragedi Mihnah yang dilakukan para pejabat

pemerintahan atas dukungan elite Mu’tazilah, yang melakukan pemaksaan

faham Mu’tazilah kepada umat Islam terutama tokoh-tokoh dan ulama yang

berpengaruh.

Ketiga, dalam pengasingan Imam Asy’ari selama lima belas hari

(ada yang mengatakan selama empat puluh hari) melakukan perenungan

dan istikharah. Konon beliau mendapatkan isyarat mimpi bertemu Nabi

Muhammad SAW. dan memerintahkannya untuk meninggalkan faham

Mu’tazilah dan membela as-Sunnah.

Pemikiran-pemikiran Imam Asy’ari antara lain: beliau menolak

ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah yang

berbeda dengan Dzat-Nya. Imam Asy’ari juga menentang faham

“Keadilan” yang wajib bagi Allah seperti kata Mu’tazilah (al-wa’du wa al-

wa’id). Menurutnya Allah berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatupun yang

wajib bagi-Nya (Hasan, 2005: 17-18).

Aliran Asy’ariyah ini memperoleh pengikut terbanyak

dilingkungan umat Islam, antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua

mazhab terbesar dalam fiqh, yaitu mazhab Syafi’i dan Maliki. Mengingat

Imam Asy’ari sendiri dalam hal fiqh menjadi pengikut mazhab Syafi’i,

sedangkan dukungan dari mazhab Maliki karena diantara sebagian tokoh-

tokoh besar Asy’ariyah menganut mazhab Maliki, diantaranya al- Baqillani

dan Ibnu Taumart (Hasan, 2005: 23). Ilmu Kalam Imam Asy’ari yang

sering juga disebut sebagai paham Asy’ariyah, kemudian tumbuh dan

berkembang menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam

sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian

besar Kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa

“jalan keselamatan” hanya terdapat pada seseorang yang dalam masalah

Kalam menganut paham Asy’ariyah. Mengenai hal ini, terdapat pendapat

yang sangat ilustratif dari Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani

15

Page 17: Makalah sunni dan syi'ah

(tokoh ulama dari semarang yang terkenal dengan sebutan Kyai Saleh

Darat) yang menafsirkan Sabda Nabi yang sangat populer tentang

perpecahan umat. Beliau mengatakan:

Wus dadi prenca2 umat ingkang dihin2 ingatasé pitung puluh loro pontho, lan bésuk bakal pada prenca2 sira kabéh dadi pitung puluh telu pontho, setengah sangking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabéh ing dalem neraka. Ana déné ingkang sewiji ingkang selamet iku iyaiku kelakuan ingkang wus dén lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iyaiku ‘aqâ’idé Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah Asy’ariyyah lan Mâturîdiyyah (Samarani, tt: 27-28).

Imam Asy’ari mendapatkan kehormatan besar karena solusi yang

ditawarkannya mengenai permasalahan klasik dibidang Ketuhanan antara

kaum “liberal” dari golongan Mu’tazilah dan kaum “konservatif” dari

golongan Ahl al-Hadits (yang dipelopori empat Imam Mazhab Fiqh). Salah

satu solusi itu adalah tentang masalah manusia dan perbuatannya, Imam

Asy’ari tidak bebas seperti paham Qadariyyah dan juga tidak terpaksa

layaknya paham Jabariyyah, tetapi diantara keduanya. Imam Asy’ari

mengajukan teori Kasb (al-Kasb, acquisition, perolehan). Menurutnya

perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak

dalam keadaan terpaksa. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan

ditentukan oleh Allah, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia

tetap bertanggungjawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan

Kasb, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk

melakukan suatu perbuatan tertentu, meskipun ia tidak menguasai dan tidak

bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan yang diinginkan, dipilih dan

diputuskan sendiri. (Madjid, 2000:210).

Ajaran-ajaran Imam Asy’ari dapat diketahui dari kitab-kitab yang

ditulisnya setelah keluar dari Mu’tazilah, terutama dari kitab Al-luma’ fi ar-

Raddi ‘ala Ahli az- Zaighi wa al-Bida’ dan kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-

Diyanah, serta kitab Maqalat al- Islamiyin.

Al-Baqillani

16

Page 18: Makalah sunni dan syi'ah

Dia adalah salah satu tokoh yang mempunyai andil penting dalam

penyebaran Asy’ariyah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib

bin Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H / 1013 M). Ia

mempelajari ajaran-ajaran Asy’ariyah melalui Ibnu Mujahhid dan Abu

Hasan al-bahili, keduanya adalah murid langsung Imam Asy’ari.

Tetapi dalam beberapa hal, terdapat perbedaan antara Imam Asy’ari

dan al- Baqillani, diantaranya masalah “perbuatan Manusia”. Menurut

Imam Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Manusia diberi

daya untuk mewujudkan perbuatan, namun daya tersebut tidak efektif jika

tanpa kehendak Allah. Imam Asy’ari menyebutnya sebagai “Kasab”.

Sedangkan menurut al-Baqillani manusia diberi oleh Allah daya dalam

dirinya dan manusia dengan daya tersebut mempunyai peran yang efektif

dalam mewujudkan perbuatannya. (Hasan, 2005: 19).

Al-Juwaini

Tokoh penting selanjutnya adalah al-Juwaini, yang dikenal

dengan Imam al- Haramain. Nama lengkapnya adalah Abdul Ma’ali al-

Juwaini (w. 478 H / 1085 M). Walaupun al-Juwaini dikenal sebagai

pendukung dan pembela Asy’ariyah, namun dalam pandangan-pandangan

Kalamnya tidak semua sama dengan Imam Asy’ari, antara lain: masalah

antropomorfisme (hal yang bersifat jasmaniyah), ia berpendapat bahwa

semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmaniyah harus dita’wilkan.

Adapun soal perbuatan manusia, al-Juwaini sedikit berbeda dengan

al-Baqillani, menurutnya manusia diberi daya oleh Allah untuk

mewujudkan perbuatannya dan daya itu mempunyai efek yang serupa

dengan yang terdapat dalam proses kausalitas. Dengan kata lain, manusia

sendirilah yang menciptakan perbuatannnya setelah mendapat daya dari

Allah (Hasan, 2005: 20).

Al-Ghazali

Pada awal abad ke-6 Hijriah, Kaum Sunni khususnya

17

Page 19: Makalah sunni dan syi'ah

kalangan Asy’ariyah mendapat tokoh besar, yakni Hujjatul Islam, Imam

Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi23 (451-505

H / 1059-1111 M). Lahir di Thus Khurasan, persia utara, propinsi yang

telah banyak melahirkan orang-orang Islam yang jenius dalam berbagai

macam disiplin ilmu (Jahja, 1996: 64).

Al-Ghazali pertama kali belajar logika dari seorang ahli Kalam

Asy’ariyah terbesar pada masanya, yaitu al-Juwaini. Tak heran jika

dikemudian hari dia menjadi pengikut aliran Asy’ariyah. Dengan modal

logika yang diperolehnya, al-Ghazali merangkak menjadi seorang

dialektikus di bidang agama, sampai dia menjadi seorang tokoh besar dan

berpengaruh.

Meskipun al-Ghazali selalu memberikan kritik kepada pihak yang

berlebihan dalam menggunakan peranan akal, yang berkaitan dengan

ajaran aqidah Syari’ah maupun Tasawwuf24, tapi al-Ghazali dengan cerdas

membela ajaran Asy’ariyah yang dinilainya moderat (tawassuth) dalam

menempatkan dalil-dalil aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah

dan secara proporsional.

Al-Ghazali kurang setuju tentang debat teologi melalui mujadalah

kalamiyah dilingkungan masyarakat awam, karena keuntungan dan

kerugiannya tidak sebanding. Salah satu alasannya masalah sosiologis,

karena kondisi obyektif masyarakat Islam tidak memerlukan lagi debat-

debat itu karena hanya menambah pertentangan dan konflik yang sia-sia

(Jahja, 1996: 163). Sikap al-Ghazali ini didukung oleh Ibnu Khaldun

pada abad ke-9 Hijriyah (Hasan, 2005: 21).

23 Disebut al-Ghazali karena pekerjaan ayahnya adalah “al-Ghazali”, pemintal wol.24 Mayoritas para ahli menganggap bahwa al-Ghazali adalah pengikut Asy’ariyah. Tetapi

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-islamiyyah, memberikan kesimpulan yang kontradiktif dengan mengatakan: “Sebenarnya, al-Ghazali bukan seorang pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari atau Abu Manshur al-Maturidi, tetapi dia seorang pemikir bebas, yang pemikirannya tak terikat dengan aliran apapun; karena dia banyak berbeda pendapat dengan kedua tokoh teolog tersebut, walaupun tetap sependapat dalam hal- hal yang dianggapnya sebagai agama yang harus diikuti”. Sayangnya, Zahrah pun tidak memberikan penjelasan bagaimana metode pemikiran yang digunakan al-Ghazali sebagai seorang pemikir bebas tersebut. (Zahrah, tt:202).

18

Page 20: Makalah sunni dan syi'ah

Jasa al-Ghazali yang sangat besar adalah keberhasilannya

mempertemukan tiga dimensi kajian Islam, yakni Fiqih, Kalam dan

Tasawwuf, dan mendamaikan para tokoh dan ahlinya (Fuqaha’,

Mutakallimun dan Mutashawifun) yang selama berabad-abad saling

berbenturan. Secara teoritis visi al-Ghazali diabadikan dalam karya

agungnya Ihya’ Ulumiddin, dan secara praktis figur al-Ghazali merupakan

teladan dan panutan.

Dikalangan Kaum Sunni, karya-karya al-Ghazali dalam masalah

Ilmu Kalam yang banyak dipakai adalah al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan

sebagai induknya adalah Ihya’ Ulumiddin. Tetapi umumnya, Kaum Sunni

lebih menempatkan al-Ghazali sebagai Imam Tasawwuf daripada sebagai

Imam Fiqih maupun Kalam. Mungkin karena dalam dua disiplin ilmu

tersebut (fiqh dan Kalam) lebih banyak bersifat analisa-analisa kritis

daripada berupa paparan-paparan diskriptif yang lebih gampang dicerna

(Jahja. 1996:260-261).

As-Sanusi

Pada abad ke-9 H lahir tokoh Asy’ariyah yang bernama

Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi, yang kemudian dikenal

dengan Imam Sanusi (833-895 H / 1427-1490 M) (Hasan, 2005: 22).

Penyebaran konsep kalamnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya sangat

populer di Indonesia. Ia membaginya kedalam tiga macam, yaitu: Sifat

Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat-sifat wajib bagi Allah yang dua puluh itu

dikelompokkan menjadi:

Sifat Nafsiyah: Wujud

Sifat Salbiyah: Qidam, Baqa’, Mukhalafah lil Hawadits,

Qiyamuhu Binafsihi, dan Wahdaniyat.

Sifat Ma’ani: Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashor

dan Kalam.

Sifat Ma’nawiyah: Kaunuhu Qodiran, Muridan, ‘Aliman,

Hayyan, Sami’an, Bashiran dan Mutakalliman.

19

Page 21: Makalah sunni dan syi'ah

Karya-karyanya yang terkenal dalam sistematika tauhid antara lain:

Syarah Tijan ad-Darari, Kifayatu al-Awam, ‘Aqidah al-Awam, Ummi al-

Barahim dan lain-lain.

Al-Maturidi

Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Muhammad Abu

Manshur al- Maturidi25. Dialah pendiri aliran yang dikenal oleh kaum Sunni

dengan Maturidiyah. Ia adalah seorang ahli fiqih mazhab Hanafi yang

belajar pada dua ulama mazhab Hanafi, yakni Muhammad bin Muqatil ar-

Razi (w. 248 H) dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w.228 H). Al-Maturidi

mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi, yaitu Abu Ayub al-

Anshori (Hasan, 2005: 24).

Sebagaimana Imam Asy’ari, sebagai Kaum Sunni al-Maturidi juga

menggunakan metode dan sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah).

Namun apabila dibandingkan antara al-Maturidi dan Imam Asy’ari dalam

penggunaan akal sebagai dasar untuk menemukan kebenaran, maka al-

Maturidi lebih luas penggunaan akalnya. Hal itu dipengaruhi oleh visi dan

wacana al-Maturidi yang bermazhab Hanafi yang dikenal sebagai

Mazhab Ahlu ar-Ra’yi. Para pengikut al-Maturidi lazim disebut aliran

Maturidiyah. Para pendukung Maturidiyah ini sebagian besar dari pengikut

mazhab Hanafi (dalam masalah fiqh).Al-Maturidi memberikan dua argumen

mengapa kita perlu menggunakan dalil- dalil ‘aqli, yaitu: Pertama, al-Quran

banyak sekali menganjurkan manusia menggunakan akal dan nalarnya

secara kritis untuk memahami fenomena yang ada di alam ini atau pada

diri mereka sendiri, untuk menuju ma’rifatullah. Sebagai contoh, pada

surat an- Nahl yang berturut-turut disebut dalam ayat 11, 12, 13, 14

dan 15 diakhiri dengan kalimat:

25 Lahir di Maturid Samarkand, tanggal kelahirannya sulit dilacak, diperkirakan pada pertengahan abad ke-3 H. Namun sebagian referensi menyebut pada tahun 333 Hijriyah.

20

Page 22: Makalah sunni dan syi'ah

Menurut al-Maturidi, yang dikutip oleh Tolhah Hasan, ia berkata

bahwa sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan ayat-ayat dalam

tersebut dengan berbagai macam tingkatan, yakni mulai “berfikir” sampai

“mendapat petunjuk” adalah karena dengan berfikir, orang dapat belajar dan

memahami, dengan pemahaman tersebut orang dapat memperluas

wawasan dan mengetahui semua itu sebagai anugerah yang harus

disyukuri. Sebagai hamba Allah yang mau bersyukur, memberikannya

jalan untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT (Hasan, 2005: 27).

Kedua, kondisi lingkungan yang dihadapi al-Maturidi, merupakan

tempat dan waktu dimana masalah teologi menjadi isu kajian keagamaan

yang sentral. Al-Maturidi mengatakan bahwa peranan akal untuk

melengkapi dalil / hujjah agama, membuat analisa kemudian

menkonstruksikan dalil-dalil tersebut untuk membuktikan kebenaran dan

membela keyakinan agama dari orang-orang mengingkari atau

menyalahfahami keyakinan-keyakinan tersebut (Hasan, 2005: 28).

Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi

Salah seorang pengikut al-Maturidi yang berpengaruh besar adalah

Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Neneknya adalah murid

al-Maturidi dan ia mengenal ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.

Walaupun al-Bazdawi adalah pengikut al-Maturidi, namun ia

tidak selalu sepaham dengan al-Maturidi, sehingga boleh dikatakan aliran

Maturidiyah terdapat dua golongan, yakni Golongan Samarkand (pengikut

al-Maturidi sendiri) dan Golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Jika

21

Page 23: Makalah sunni dan syi'ah

Golongan Samarkand mempunyai paham yang lebih dekat dengan

Mu’tazilah, maka Golongan Bukhara mempunyai pendapat yang lebih

dekat dengan Asy’ariyah (Hasan, 2005: 29).

Dalam hal keterbukaan terhadap peranan akal antara Golongan

Samarkand dan Golongan Bukhara, jika digambarkan dalam diagram maka

perbedaan itu akan seperti berikut:

Keterbukaan Terhadap

Peranan Akal

Samarkand Bukhara

C. Pemikiran Kalam Sunni

Sepanjang perjalanan aliran Asy’ariyah maupun Maturidiyah,

mereka selalu meletakkan sikap rasional, tawassuth (moderat) dan

tasamuh (toleran), karena menyadari bahwa yang memegang “kebenaran

absolut” hanyalah Allah saja, sedangkan kebenaran yang diklaim

manusia hanya “kebenaran relatif” sebatas kemampuan akalnya dalam

memahami dan menafsirkan “kebenaran absolut” tersebut, manusia

harus tetap menyadari keterbatasan dirinya, temasuk keterbatasannya

dalam menagkap dan memahami suatu kebenaran.

Dalam membahas tentang pemikiran Kalam Sunni, penulis

hanya memproritaskan pada masalah-masalah yang banyak menjadi

pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-

samar dikalangan masyarkat awam, antara lain (Hasan, 2005: 33-57., al-

Baghdadi, 1987: 300-303):

Tentang ke-Maha Esaan Allah

Dalam kajian teologi Islam, ke-Maha Esaan Allah diakui oleh semua

golongan dan hampir tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang

22

Page 24: Makalah sunni dan syi'ah

lainnya. Yang kemudian ada perbedaan justruhubungan ke-maha Esaan

Allah itu dengan persoalan lain seperti hubungannya dengan manusia dan

lain-lain.

Dalam istilah Ilmu Kalam, ke-Maha Esaan Allah mencakup tiga

macam, yaitu:

Wahdaniyat adz-Dzat, Wahdaniyat as-Shifat, Wahdaniyat al-Af’al.

Nama dan Sifat Allah

Dalam Asy’ariyah maupun Maturidiyah, bahwa Allah itu

mempunyai sifat-sifat. Dan sifat-sifat Allah bukan Dzat-Nya, tetapi

berada pada Dzat-Nya. Hanya saja menurut Asy’ariyah sifat-sifat

Allah itu dibagi menjadi Sifat Dzatiyah yang Qadim, Sifat Fi’liyah

yang tidak Qadim atau tidak Azali. Sedangkan Maturidiyah menganggap

semua sifat Allah itu Qadim atau Azali.

Al-Quran Firman Allah

Dalam pemahaman Ahlussunnah, Firman Allah dibedakan

dalam dua pengertian, yaitu: Kalam Nafsiy (Firman Allah yang

abstrak tidak berbentuk) dan Kalam Lafdhiy (Firman Allah yang

diturunkan kepada para Rasul, sudah dalam bentuk huruf atau kata-kata).

Melihat Allah di Akhirat

Baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah, sepakat bahwa oarang-orang

Mukmin mendapat kesempatan melihat Allah di Akhirat. Dasar Naqlinya

adalah Surat al- Qiyamah ayat 22-23:

“Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri, karena

melihat kepada Tuhannya”.

Tentang Perbuatan Manusia

23

Page 25: Makalah sunni dan syi'ah

Asy’ariyah maupun Maturidiyah berpendapat, bahwa perbuatan

manusia itu tidak lebih dari perbuatan yang diciptakan Allah dan

dilimpahkan pada manusia sebagai “tempat perbuatan” tersebut. Teori

Asy’ariyah dikenal dengan al-Kasb, sedangkan menurut konsep

Maturidiyah, perbuatan manusia terdiri dari dua macam, yakni perbuatan

Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia

(kholqu al-istitho’ati) dan perbuatan menusia dalam bentuk pemakaian

daya tersebut (isti’malu al-istitho’ati).

Tentang Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar

Kaum Sunni berpendapat bahwa orang Mulmin yang melakukan

dosa besar kemudian meninggal sebelum melakukan tobat, maka

hukumnya terserah kepada Allah. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq,

tapi tidak kekal didalam neraka karena masih memiliki iman. Pendapat ini

berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 48 dan 116 :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...”

Tentang Kenabian dan Kewalian

Dikalangan Kaum Sunni, meyakini bahwa setelah Nabi

Muhammad tidak ada Nabi lagi, karena Beliau adalah Nabi Terakhir.

Seperti Firman Allah dalam Surat al- Ahzab ayat 40 :

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi".

Termasuk sifat para Nabi adalah ‘Ishmat al-Anbiya’ (keterjagaan

para Nabi dari dosa). Dalam teologi Ahlussunnah wa al-Jama’ah, yang

memperoleh hak “ishmah” atau “ma’shum” itu hanya para Nabi atau

24

Page 26: Makalah sunni dan syi'ah

Rasul saja, dan manusia lain tidak ada yang ma’shum, termasuk para wali,

paa Imam dan ulama maupun para Sahabat. Tetapi ada perbedaan pendat

antara Asy’ariyah dan Maturidiyah, yaitu tentang kemungkinan seorang

Nabi atau Rasul pernah berbuat dosa kecil (maksiat ringan). Asy’ariyah

memndang hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi Maturidiyah menolak

pendapat tersebut, andai ada seorang Nabi yang pernah melakukan dosa

kecil, maka itu terjadi sebelum menjadi Nabi atau Rasul.

Selain para Nabi, menurut Kaum Sunni ada sekelompok orang yang

mendapat perlindungan dari Allah dari berbuat maksiat meskipun tidak

seperti para Nabi, mereka adalah “Auliya’”. Para Wali itu tidak ma’shum

seperti para Nabi atau Rasul, tetapi mereka itu dijaga (mahfudh) dari

perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus (tanpa melakukan

tobat dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja melakukan

kekeliruan atau kesalahan ringan.

Tentang Mukjizat dan Karomah

Ahlussunnah wa al-Jama’ah meyakini bahwa semua peristiwa dan

kejadian yang ada di dunia ini karena Kehendak dan Kekuasaan Allah.

Tetapi secara prosedural tidak selalu sama, ada yang biasa berjalan sesuai

dengan “Sunnatullah”, berlaku kapan dan dimana saja. Dan ada yang tidak

biasa atau luar biasa, menyimpang dari jalur kebiasaan (khariqul

‘aadah), berdasarkan Dekrit Allah atau degan kata lain

“Amrullah”.

Singkat kata, menurut penulis, mukjizat Nabi dan karomah Wali,

yang dianggap sebagian orang sebagai khariqul ‘aadah, adalah

merupakan Amrullah, bukan Sunnatullah. Peristiwa itu tentu tidak

berlaku umum, tetapi sangat khusus sesuai dengan Kehendak Allah

sendiri, karena ada tujuan-tujuan khusus pula.

Fungsi mukjizat bagi para Nabi adalah untuk membuktikan

kebenaran da’wahnya. Oleh karena itu, harus ditampilkan dihadapan

publik (masyarakat luas). Sedangkan fungsi karomah bagi para Wali yaitu

25

Page 27: Makalah sunni dan syi'ah

untuk menunjukkan kebenaran sikap dan peilaku mereka. Namun para

Wali tidak harus menampilakn karomahnya kepada publik, selain itu

karomah bukan untuk menantang pihak lain yang tidak mempercayainya,

malah banyak para Wali yang berusaha menutupi karomahnya, karena

khawatir menimbulkan fitnah.

Tentang Kepemimpinan Umat

Secara terang-terangan Kaum Sunni mengakui dan

membenarkan kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin, yakni Abu Bakar as-

Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,dan Ali bin Abi Thalib r.

anhum. Meskipun model dan proses pengangkatannya berbeda-beda,

tetapi masih dalam bingkai konsep ikhtiar atau ijtihad.

Tentang Metafisika dan Keakhiratan

Dalam teologi Ahlussunnah, banyak masalah ghoib (metafisika)

ini yang wajib diimani dan diyakini kebeadaannya, seperti masalah : Ruh

yang mempunyai sifat keabadian, dalam arti tidak ikut mati bersama

jasadnya, Alam Barzakh (alam transisi). Pertanyaan malaikat Munkar

dan Nakir, Siksa Kubur, Nikmat Kubur, Hari Kiamat, Hari Ba’ats,

Hari Mahsyar, adanya Hisab, Suhuf atau Kitab (catatan amal), Mizan

(neraca), Shirat, Syafa’at, Surga dan Neraka. Dan masih ada hal-hal lain,

seperti Malaikat, Bidadari dan Haudl (telaga kehidupan surga) dan lain

sebagainya yang wajib bagi kita mengimani dan meyakini adanya itu

semua.

26

Page 28: Makalah sunni dan syi'ah

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu

aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya

adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad

saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 5

macam, yaitu al-tauhid, al-adl, al-nubuwwah, al-imamah, dan al-ma’ad. Dalam

Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu

sama lain dalam memandang ajaran-ajaran.

Kaum Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah atau Ahl al-

Sunnah wa al-Jama’ah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam

yang pandangan- pandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah

disepakati oleh mayoritas Islam. Relevansinya ialah bahwa sebagian besar Kaum

Sunni, dalan masalah teologi (aqidah) menganut paham Asy’ariyah dan

Maturidiyah.

Perkembangan Kalam Sunni sebenarnya sudah ada sejak masa para

Sahabat, namun pada waktu itu Ilmu Kalam belum berdiri sendiri. Dalam kajian

Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak

masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya

digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti

Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh;

seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafi’i dan Imam

Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya

Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu

Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H.

Adalah Imam Asy’ari, seorang pengikut dan murid dari Abu Ali al-

Jubbai (seorang tokoh besar Mu’tazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia

meninggalkan paham Mu’tazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu

27

Page 29: Makalah sunni dan syi'ah

Kalam yang anti Mu’tazilah, yaitu Kalam Sunni. Beberapa tokoh Mutakallimun

dari Kaum Sunni lainnya yang berpengaruh antara lain: al-Maturidi, al-

Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, as-Sanusi dan al-Bazdawi.

Beberapa pemikiran Kalam Sunni yang banyak menjadi pembicaraan

dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar

dikalangan masyarkat awam antara lain:

Tentang Ke-Maha Esaan Allah

Nama dan Sifat Allah Al-Quran Firman Allah Melihat Allah di Akhirat

Tentang perbuatan Manusia

Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar

Tentang Kenabian dan Kewalian Tentang Mukjizat dan Karomah

Tentang Kepemimpinan Umat Tentang Metafisika dan Keakhiratan

28

Page 30: Makalah sunni dan syi'ah

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim.

Fadil SJ, Syiah Dalam Perspektif Sejarah: Dari Hadits al-Indzar Sampai Imamah, Jurnal STAIN Malang, No. 5 Tahun 1998

Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, penerj. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Lpgos, 1996).

A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (Ed.), Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000),

Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

w w w . w i k i ped i a.c o m , Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas.

29