BAB III KEHIDUPAN SUNNI DAN SYI'AH ERA REZIM SYI'AH … fileKeadaan ini akan memiliki implikasi...
Transcript of BAB III KEHIDUPAN SUNNI DAN SYI'AH ERA REZIM SYI'AH … fileKeadaan ini akan memiliki implikasi...
92
BAB III
KEHIDUPAN SUNNI DAN SYI'AH ERA REZIM SYI'AH NOURI
AL-MALIKI
A. Pemerintahan Nouri al-Maliki
Politik di Irak adalah sebuah kompetisi kekuasaan dan sumber daya.
Perebutan ini telah menjadikan diri mereka berada di dalam sebuah pertarungan guna
mengontrol institusi negara. Dalam pelbagai masa sejarah kebencian di Irak,
kumpulan orang-orang dalam partai politik telah mencoba memperluas pengaruhnya
dalam kementrian negara, angkatan keamanan, dan kelompok-kelompok sosial
sebagai bentuk untuk mempertinggi kekuasaan mereka. Kompetisi ini juga menjadi
sangat personalisasi, dan keberhasilan politik di Irak terus meningkat mengikat
kelangsungan hidup pribadi.164
Realitas politik tersebut di atas terjadi, ketika Perdana Menteri Irak Nouri
al-Maliki, yang memusatkan kontrol negara dalam lima tahun terakhir ini.
Konsolidasi keamanan Maliki dimulai pada akhir tahun 2006, tak lama setelah
pendakiannya atas jabatan Perdana Menteri. Hari ini, Maliki memberikan kontrol
yang ketat atas angkatan bersenjata Irak dan aparat intelijen melalui rantai alternatif
perintah yang berjalan langsung ke kantornya dan melalui jaringan loyalis dalam
posisi pertahanan senior. Kekuasaan negara dikendalikannya secara koersif, sehingga
memungkinkan dia untuk mencegah upaya kudeta, menegakkan keamanan relatif
164 Marisa Sullivan, 2013, Maliki's Authoritarian Regime, Washington, DC: the United States of
America by the Institute for the Study of War, halaman 9.
93
untuk meningkatkan legitimasi politiknya, dan mengancam secara implisit atau
eksplisit rival politik.165
Maliki juga telah meningkatkan kekuasaannya atas lembaga sipil Irak. Proses
konsolidasi ini telah dipercepat sejak pemilihan parlemen 2010, ketika Maliki
menghadapi tantangan politik terbesar untuk masa jabatannya sebagai perdana
menteri. Sejak saat itu, Maliki telah memberikan pengaruh yang signifikan atas
peradilan, yang telah digunakannya untuk memperluas kekuasaan eksekutif. Dia telah
menggunakan putusan pengadilan yang menguntungkan untuk membatasi potensi
pemeriksaan pada otoritas yang mungkin berasal dari parlemen atau dari independen
tubuh Irak, termasuk Komisi Pemilihan atau Komisi Integritas.166
Perdana menteri telah memperluas kendalinya atas lembaga keuangan Irak,
memberinya akses yang lebih besar ke sumber daya keuangan yang dapat ia gunakan
untuk memajukan kepentingannya. Ia juga menggunakan kekuasaannya atas pasukan
keamanan, peradilan, dan lembaga sipil lainnya, juga menangkis tantangan parlemen
untuk memecah-belah kekuasaannya, memilih anggota, atau memaksa saingan,
meskipun ia telah dibantu dalam upaya ini dengan disfungsi lawan-lawan
politiknya.167
Maliki telah menempatkan kekuasaan eksekutif yang luas, menentang keras
dalam pemerintah pusat dengan alasan kebutuhan keamanan, kepentingan politik, dan
stabilitas. Ia juga menyebutkan bahwa disfungsi parlemen sebagai alasan untuk
165 Ibid. 166 Ibid. 167 Ibid.
94
kekuatan perdana menteri yang lebih besar, dan dia telah menyalahkan saingannya
guna menghalangi kemajuan politik mereka.168
Perilaku Maliki menunjukkan dia semakin menghubungkan kelangsungan
hidup pribadi sendiri dengan rezimnya. Keinginannya untuk memusatkan dan
mempertahankan kekuasaan, justru menimbulkan paranoid politik, ketidakpercayaan,
dan ketakutan, daripada bersifat menggerakan ideologi dengan kuat. Namun, hasilnya
adalah sama: Irak hari ini lebih otoriter daripada setiap peristiwa dalam sepuluh tahun
terakhir. Pemerintah persatuan nasional yang dibentuk setelah pemilu parlemen 2010
telah memberikan cara kepada pemerintah mayoritas yang mana Maliki memiliki
monopoli pada lembaga-lembaga negara. Keadaan ini akan memiliki implikasi
penting bagi masa depan Irak dan lintasan dan daya tahan transisi demokratis.169
Politik Irak saat ini semakin terpolarisasi oleh sektarianisme. Lingkungan ini
telah menguntungkan Maliki dalam usahanya untuk menjaga oposisi politiknya
terfragmentasi karena akan menjadi lebih sulit bagi saingan Sunni, Kurdi, dan blok
Syiah untuk bersatu melawan Maliki. Semakin tingginya sektarianisme juga telah
memfasilitasi Maliki untuk menggunakan de-Ba'athisasi (penangkapan dan
pemenjaraan mantan anggota Partai Ba'ath) dan tuduhan terorisme sebagai alat politik
untuk melemahkan atau menghilangkan saingan, sambil mempertahankan kesatuan
Syiah.170
Usahanya untuk memecah, mengkooptasi, atau untuk meniadakan rival politik
168 Ibid. 169 Ibid. 170 Ibid, halaman 33.
95
Sunni telah terbukti berhasil, yakni dengan melemahnya pengaruh blok Iraqiyya dan
reduksi bagian perwakilan Sunni dalam pemerintahan. Ia juga telah menggunakan
retorika anti-Kurdi untuk mengisolasi Kurdi secara politik di tingkat nasional dan
untuk menggalang dukungan dari Arab Sunni di wilayah yang diperselisihkan Irak
Utara. Pemerintah persatuan nasional yang muncul atas usaha besar selama negosiasi
pembentukan pemerintah tahun 2010 secara efektif mati; sebaliknya, ada pemerintah
mayoritas de facto di bawah pimpinan perdana menteri yang menunjukkan perilaku
otoriter yang kuat.171
Maliki masih menghadapi beberapa tantangan dalam kekuasaanya bahwa ia
mungkin akan harus bertentangan di masa depan. Yang pertama, berasal dari
persaingannya dengan anggota Sadris untuk kekuasaan politik antara Syiah Irak.
Sejauh ini, Sadris telah mempertahankan aliansi mereka yang lemah dengan Maliki,
secara parsial mereka diuntungkan atas kepentingan mereka dengan perlindungan
guna menguasai kementerian negara dan sumber daya. Mereka juga berada di bawah
tekanan besar dari blok Syiah Irak lainnya, serta Iran, untuk menjaga persatuan Syiah,
akibatnya, dominasi politik Syiah. Sadris tidak bisa mengambil risiko kerugian politik
yakni dengan berpihak pada Sunni atau Kurdi daripada Syiah. Namun, Muqtada
al-Sadr dan Maliki memiliki hubungan pribadi yang keras. Pasukan keamanan Maliki
telah melakukan serangan terhadap Sadris pada tahun 2007 dan 2008 yang
membangkitkan rasa kebencian yang besar, terutama terlihat dengan keengganan
al-Sadr untuk mendukung Maliki dalam proses pembentukan pemerintah tahun
171 Ibid, halaman 33-34.
96
2010.172
Sadris juga mempunyai kekhawatiran tentang konsolidasi kekuasaan Maliki.
Oleh karena itu, Sadris, dengan representasi signifikan mereka dalam parlemen, telah
mendorong beberapa inisiatif untuk mengekang Maliki melalui undang-undang.
Sadris telah mendukung undang-undang yang akan membatasi perdana menteri dan
presiden. Mereka juga baru-baru ini menekan kebutuhan Maliki untuk melembagakan
peraturan untuk mengatur pekerjaan Dewan Menteri, mungkin dalam upaya untuk
menentukan (dan batas) kekuasaan perdana menteri dalam kabinet. Tidak jelas
apakah Sadris memiliki pengaruh politik agar berhasil dalam salah satu dari upaya ini,
tetapi ketidakpuasan mereka dan kekhawatiran Maliki tumbuh, mereka dapat mencari
tindakan lebih agresif untuk membatasi perdana menteri.173
Bahkan jika mereka tidak dapat membatasi atau menggeser Maliki, Sadris
dapat menerapkan tekanan politik pada perdana menteri melalui demonstrasi dan
kritik pengangguran merajalela serta pentingnya pelayanan pemerintah terhadap
penyediaan bagi kaum miskin. Sadris sebelumnya telah menggelar demonstrasi
tersebut, termasuk protes besar-besaran di Basra pada Mei 2012. Pendekatan ini
bukan tanpa batas, namun, seperti Sadris juga saat ini menjadi bagian dari pemerintah.
Maliki mungkin mencoba untuk menangkis kritik ini dengan menyalahkan anggota
kabinetnya, termasuk Sadris sendiri.174
Tantangan kedua berasal dari tumbuhnya ketidakpuasan Sunni dengan status
172 Ibid, halaman 34. 173 Ibid. 174 Ibid.
97
quo. Sejak Desember 2012, Sunni di barat dan utara Irak telah menyuarakan keluhan
mereka atas sasaran (bulan-bulanan) yang tidak wajar dan meluasnya ketidakadilan
perlakuan rezim terhadap Sunni serta adanya demonstrasi yang terus-menerus
dilakukan Sunni terhadap pemerintah Maliki. Sementara demonstrasi sejauh ini
sebagian besar tetap damai, mereka telah mengerahkan sejumlah besar Sunni di
oposisi pemerintah, sesuatu yang Maliki telah berusaha untuk menghindari.175
Ada juga bahaya bahwa ketidakpuasan Sunni dan ketidakstabilan di Suriah
dapat diterjemahkan ke dalam kebangkitan al-Qaeda di Irak, yang mungkin dapat
merusak upaya Maliki untuk memperoleh legitimasi politik dengan mempertahankan
keuntungan keamanan. Bergantian, ancaman ekstrimis yang berkembang mungkin
menawarkan kesempatan bagi Maliki untuk membenarkan konsolidasi keamanan
lebih lanjut dan penyebaran pasukan di provinsi yang bergolak. Setiap tindakan keras
keamanan atau tindakan lebih lanjut dilihat sebagai pencabutan hak pilih partisipasi
Sunni yang mungkin benar-benar memperburuk kendali ketidakstabilan yang bisa
memicu regenerasi al-Qaeda di Irak.176
B. Konflik Sunni-Syi'ah Era Rezim Syi'ah Nouri al-Maliki
Demokrasi di Irak pasca Saddam adalah sebuah pemerintahan yang hanya
menguntungkan salah satu kelompok masyarakat saja. Terbukti, Irak hari ini lebih
otoriter. Kebijakan Maliki dari Partai Dakwah Syi'ah dinilai terlalu sektarian, lebih
memberikan tempat kepada kaum Syi'ah dan mengesampingkan kaum Sunni, dan
175 Ibid. 176 Ibid.
98
juga dinilai-korup.177
Masa depan Irak menjadi prioritas setelah pasukan terakhir AS hengkang dari
Irak, yang ditandai dengan upacara penurunan bendera AS di salah satu pangkalan AS
di Baghdad pada Kamis 15 Desember 2011. Bagaimana Irak setelah mundurnya
pasuka AS, lebih aman, stabil, dan damai? Perasaan cemas dan pesimistis lebih kuat
daripada optimisme. Kondisi Irak sebenarnya ibarat benang kusut lantaran telah
menjadi ajang rebutan pengaruh tetangga.178
Persoalan laten Irak adalah isu sektarian antara Sunni dan Syi'ah, antara etnis
Arab dan Kurdi, juga persaingan di antara sesama kaum Syi'ah sendiri dan sesama
kaum Sunni. Konflik di antara sesama Syi'ah diwakili perseturuan sengit antara
Perdana Menteri Nouri al-Maliki dan mantan PM Ayad Allawi serta antara Partai
Dakwah pimpinan al-Maliki dan kubu al Sadr (Sadris) pimpinan Moqtada al-Sadr.
Lebih menonjol adalah konflik antara Syi'ah dan Sunni, dan masing-masing
kelompok ini memiliki dukungan dari negara tetangga. Sunni didukung Arab Saudi
dan Syi'ah disokong Iran. Masing-masing faksi memiliki milisi bersenjata.179
Kecemasan akan situasi Irak pasca mundurnya pasukan AS dari negara Irak
kian menjadi kenyataan. Seiring krisis politik yang melibatkan elite negara,
serangkaian ledakan dahsyat terjadi secara serempak pada Kamis 22 Desember 2011
di berbagai distrik Syi'ah maupun Sunni. Kementrian Dalam Negeri Irak kepada
177 Trias Kuncahyono, "Dian yang Meredup", Kompas,
11
Agustus 2014, halaman 8. 178 Musthafa Abd. Rahman, "Pesimisme Lampaui Optimisme", Kompas,
18
Desember 2011, halaman 10. 179 Ibid.
99
al-Arabiya mengungkapkan, sedikitnya ada 11 ledakan ranjau darat di pinggir jalan
dan bom mobil yang mengguncang Baghdad. Ledakan tersebut terjadi di distrik yang
dihuni mayoritas Sunni, seperti Distrik Karada, Adhamiyah, dan Shaala. Televisi
satelit Al-Arabiya menyebutkan bahwa sedikitnya 63 orang tewas dan 167 orang
luka-luka akibat insiden itu. Para analis mengatakan bahwa rangkaian ledakan itu
tidak lepas dari konflik yang melibatkan elite politik Sunni dan Syi'ah di Irak. Hal itu
dikhawatirkan akan memicu konflik sektarian yang lebih luas antara Syi'ah dan Sunni
di Irak.180
Kekerasan sektarian meluas pada bulan April 2013. Kekerasan mematikan
dalam sehari itu adalah yang terburuk dibandingkan dua hari sebelumnya. Secara
keseluruhan, akibat kekerasan dalam tiga hari, hampir 200 orang tewas. Mayoritas
korban adalah warga Sunni.181
Bentrokan pertama meletus pada Selasa di Hawija, kota yang berjarak 240
kilometer (km) di utara Baghdad, ibu kota Irak. Bentrokan itu diawali penyergapan
oleh aparat keamanan dari rezim yang didominasi kau Syi'ah ke kamp para pemrotes
Sunni di alun-alun Hawija. Penyergapan itu dibalas tembakan dari kamp lalu meluas
menjadi kekerasan sektarian.182
Bentrokan bersenjata antara pasukan militer Irak dengan milisi Sunni di
Hawija, dekat Kirkuk, utara Baghdad pada Selasa 24 April 2013 adalah pertempuran
180 MTH, "Ledakan di Baghdad Tewaskan 63 Orang, Krisis Politik Memburuk", Kompas,
23
Desember 2011, halaman 10. 181 AF/AFP, "Kekerasan Sektarian Meluas", Kompas,
27
April 2013, halaman 9. 182 Ibid.
100
yang terburuk sejak ribuan warga Sunni mengawali protes, Desember lalu, untuk
menuntut keadilan. Warga Sunni mendesak Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki
segera mengakhiri marjinalisasi atas warga Sunni. Pertikaian itu terjadi ketika
pasukan militer Irak mendatangi kamp pengunjuk rasa, dan kaum Sunni melakukan
perlawanan. Akibatnya, 54 orang tewas dan lebih dari 70 orang terluka.183
Hari ketiga, kekerasan terfokus di Mosul. Sama seperti Hawija dan Ramdi,
Mosul adalah salah satu pusat konsentrasi penduduk Sunni. Kekerasan yang
menyasar warga Sunni di Mosul telah menewaskan lebih dari 50 orang. Di samping
itu, bom meledak di sebuah masjid Sunni pada Jumat 26 April 2013, dan
mengakibatkan empat orang tewas dan puluhan orang terluka.
Kekerasan sektarian berpotensi besar menjalari sejumlah kota lain di luar
Hawija dan Mosul. Konflik ini berpotensi menyeret Irak ke perang saudara yang lebih
hebat. Hal itu juga merupakan sebuah ujian berat bagi netralitas aparat keamanan
dalam menjaga keutuhan negara pasca penarikan tuntas pasukan AS, pada Desember
2011.184
Apa yang terjadi dari Hawija itu adalah akibat dari "kebencian lama" yang
dibangun oleh Saddam Hussein ketika berkuasa. Di era Saddam, yang menganut
Islam Sunni, kelompok Syi'ah, yang jumlahnya kurang lebih 60%, mendapatkan
perlakuan politik yang sangat kejam dari Saddam karena dianggap berpihak pada Iran
dalam Perang Teluk. Setelah AS menginvasi Irak pada tahun 2003 lalu, rezim Saddam
183 AF/AFP, "Militer Sergap Kamp Pendemo", Kompas,
25
April 2013, halaman 9. 184 AF/AFP, "Kekerasan Sektarian Meluas", Kompas,
27
April 2013, halaman 9.
101
pun, dicap sebagai pemimpin tiran, berakhir dan bergulirah demokratisasi. Sunni
yang berkuasa tersingkir dari pusat-pusat kekuasaan. Hawija, yang dulunya
dianakemaskan oleh Saddam, kini menghadapi alur sejarah yang berkebalikan.
Hawija merasa dianaktirikan oleh PM Nouri al-Maliki.
Tesis Jack Snyder sepertinya tepat dalam melihat perkembangan
demokratisasi di Irak saat ini bahwa demokratisasi sekadar mencerminkan cita-cita
kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan
cita-cita kelompok rakyat yang lain. Argumen "kebencian lama" merupakan salah
satu bentuk wawasan "persaingan antar-kelompok rakyat".185
Perlakuan sebagai anak
tiri bagi warga Hawija (yang mayoritas Sunni) oleh PM Nouri al-Maliki sepertinya
tidak lepas dari argumen "kebencian lama" tersebut. Snyder menambahkan bahwa
demokratisasi (pemilihan umum) sekadar menjadi sensus dan bukan proses
permusyawaratan. Demokratisasi, dengan nasionalisme SARA, akan cenderung
menghasilkan tirani mayoritas atau pertarungan hidup-mati antara kelompok SARA
yang sama-sama menghendaki negara buat kelompok sendiri.186
C. Fenomena Konflik Sunni-Syi'ah di Irak menurut teori konflik
Ibn Khaldun
Ibn Khaldun membangun sikap yang berbeda dalam mempelajari sejarah,
dengan mencoba lebih meneliti berbagai peristiwa atau fakta-fakta dan mencari
hubungan yang niscaya ada antar satu peristiwa dengan yang lainnya. Sebagai perintis
185 Jack Snyder dalam Ahmad Sahide, 2013, Konflik Syi'ah-Sunni Pasca The Arab Spring:
KAWISTARA, halaman 319.
186 Ahmad Sahide, 2013, Konflik Syi'ah-Sunni Pasca The Arab Spring: KAWISTARA, halaman
319-320.
102
sosiologi, ia membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta
memberikan penjelasan atas fakta-fakta. Hingga akhirnya ia menemukan hukum
sebab akibat dalam kehidupan masyarakat. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa
sesungguhnya masa lalu dan masa depan diatur oleh hukum sosial yang sama.
Perbedaannya, hanyalah pada bentuk-bentuk kemunculannya. Kesamaan antara
keduanya lebih tepat dibandingkan dua tetes air. Apabila sebab yang melingkupinya
sama, maka akan menghasilkan akibat yang sama pula.187
Ibn Khaldun mendefiniskan sejarah dalam dua pengertian, pertama, sejarah
dilihat hanya sebatas rekaman peristiwa masa lalu. Kedua, sejarah adalah suatu
penalaran kritis yang bila diteliti secara lebih mendalam mengandung hukum-hukum
sosial kemasyarakatan. Sejarah dalam pengertian ini mampu menjelaskan tentang
sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu atau mengandung pengetahuan tentang
bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi.188
Ia menegaskan di dalam Muqaddimah-nya bahwa sejarah bertujuan agar kita
dapat memahami kondisi sosial manusia, yaitu peradaban, sehingga kita dapat
memahami fenomena-fenomena yang secara alamiah menggabungkan pengetahuan,
kehidupan liar, pengahalusan adat kebiasaan, semangat kesukuan atas garis keturunan,
perpecahan-perpecahan superioritas di mana orang saling mencaplok dan
menyebabkan lahirnya imperium-imperium dan dinasti-dinasti, perbedaan kedudukan,
begitu juga dengan pencurahan karya-karya mereka seperti; profesi-profesi yang
menguntungkan, ilmu-ilmu sosial, dengan harapan dapat mengubah agar benda-benda
187 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 74. 188 Ibn Khaldun, 2008, Muqaddimah Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, halaman 3.
103
dapat berjalan dalam karakter sosial.189
Berdasar penjelasan hukum sebab-akibat perspektif Ibn Khaldun di atas,
kemudian, jika kita amati secara seksama dapat disimpulkan bahwa fenomena konflik
Sunni-Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki hari ini adalah sebuah fenomena yang
sama dengan fenomena konflik Sunni-Syi'ah yang terjadi di masa lalu, tepatnya era
rezim Sunni Saddam Hussein. Hal ini dapat dibuktikan bahwasannya konflik antara
Sunni dan Syi'ah yang terjadi pada era Nouri al-Maliki dan Saddam Hussein adalah
sebuah konflik yang sama-sama berdimensi politik, yaitu berhubungan dengan
perjuangan memperebutkan dominasi dan kekuasaan negara.
1. Sebab-sebab munculnya konflik Sunni-Syi'ah di Irak
Ibn Khaldun memandang konflik sebagai sesuatu yang tidak berdiri
sendiri. Konflik lahir dari interaksi antara individu maupun kelompok dalam
berbagai bentuk aktivitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Lalu, apa saja
penyebab munculnya konflik Sunni-Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki?
Berikut penjelasannya.
Berdasarkan teori konflik perspektif Ibn Khaldun, munculnya konflik
Sunni-Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki antara lain disebabkan:
a. Besarnya perbedaan semangat hidup berkelompok Sunni dan Syi'ah di Irak
Ibn Khaldun menjelaskan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri.
Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Untuk bertahan hidup
misalnya, manusia butuh makan. Dan untuk memenuhi kebutuhan makan,
189 Hakimul Ikhwan Affandi, op. cit, halaman 75-76.
104
manusia membutuhkan bantuan orang lain. Begitu halnya dengan keamanan
jiwa. Tiap manusia memerlukan bantuan dari sesamanya dalam pembelaan
diri terhadap ancaman bahaya dari makhluk lain. Oleh karenanya, diperlukan
adanya kerja sama antar sesama manusia. Kerja sama tersebut kemudian
membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Organisasi kemasyarakatan ini
oleh Ibn Khaldun dinamakan "kota" (Arab; al-madinah, Latin; polis). Dan
dari sini lah sebuah negara berdiri.
Manusia awal mulanya membentuk suatu organisasi kemasyarakatan
disebabkan karena ketidakmampuannya hidup sendiri. Manusia dalam
menjalani kehidupannya memerlukan bantuan orang lain. Dan negara adalah
sebuah perkembangan paling maju dalam kehidupan berkelompok manusia.
Negara dipandang sebagai wadah untuk mencapai berbagai keinginan dan
tujuan hidup. Namun, negara seringkali dipandang sebagai arena pertarungan
antar kelompok dalam masyarakat. Bila benar demikian adanya, maka tentu
saja bertentangan dengan semangat hidup berkelompok manusia pada awal
mulanya. Pertarungan terjadi karena masing-masing kelompok ingin
memegang kekuasaan, dan puncak kekuasaan tersebut adalah kekuasaan
negara.
Keadaan inilah yang terjadi antara Sunni dan Syi'ah di Irak.
Masing-masing kelompok masyarakat baik Sunni maupun Syi'ah, keduanya
menginginkan dominasi kekuasaan dalam pemerintahan pasca Saddam
Hussein. Kaum Syi'ah menuntut pencapaian yang lebih tinggi dari kekuasaan
105
dan dominasi yang dimiliki sebelumnya, sementara bagi Sunni mereka harus
terus berjuang untuk mempertahankan dominasinya dalam panggung politik
Baghdad. Maka baik Sunni maupun Syi'ah, keduanya saling memperkuat
ikatan solidaritas ('ashabiyah) mereka dalam membedakan dirinya dengan
yang lain. Kemudian saling menyerang karena perbedaan ikatan solidaritas
tersebut ('ashabiyah). Semua itu dilakukan semata-mata karena mereka ingin
memegang kekuasaan penuh di Irak.
Dikarenakan besarnya perbedaan semangat untuk hidup berkelompok
dari Sunni dan Syi'ah inilah yang memunculkan ketegangan-ketegangan
(konflik) dalam perkembangan kedua kelompok tersebut di Irak. Terlebih
Nouri al-Maliki adalah sosok pemimpin yang otoriter seperti Saddam
Hussein yang hanya menganakemaskan 'ashabiyah-nya dan menganaktirikan
kelompok lain.
b. Besarnya rasa cinta terhadap identitas kelompok ('ashabiyah)
Menurut Ibn Khaldun, manusia secara fitrah telah dianugerahi rasa
cinta terhadap garis keturunan dan golongannya. Sunni dan Syi'ah adalah dua
kelompok yang memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa perpecahan di antara kedua kelompok
dalam Islam itu disebabkan karena perbedaan pendapat seputar "siapa yang
dianggap paling sah" sebagai pengganti Rasulullah saw. dalam memimpin
umat Islam. Perbedaan pandangan itu kemudian menghendaki munculnya
pembagian umat menjadi dua kelompok besar, yaitu Sunni dan Syi'ah.
106
Awalnya perbedaan Sunni dan Syi'ah hanyalah berkaitan dengan
masalah-masalah yang bersifat marjinal dan persoalan-persoalan tersebut
tidak berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pokok seorang Muslim (salat,
puasa, zakat, haji, dan jihad). Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu,
perdebatan tersebut telah merosot dari pertengkaran mengenai persoalan
penerus Nabi Muhammad saw. menjadi perpecahan ritual, teologi, dan
hukum yang dapat memengaruhi keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap dasar
tertentu, paling tidak secara tidak langsung.190
Kelompok Sunni dan Syi'ah masing-masing memiliki 'ashabiyah
yang kuat. Penganut Sunnah maupun Syi'ah sama-sama memiliki rasa cinta
yang besar terhadap 'ashabiyah-nya masing-masing. Mereka sama-sama
memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan serta harga diri kelompok,
kesetiaan, kerja sama, dan saling membantu dalam menghadapi musibah atau
ancaman yang pada akhirnya akan membentuk kesatuan dan persatuan
kelompok.
Dengan munculnya rasa cinta terhadap identitas kelompok
('ashabiyah) dalam diri masing-masing penganut Sunnah dan Syi'ah, maka
mereka tidak akan rela jika salah satu anggota kelompoknya terhinakan dan
dengan segala daya upaya akan membela dan mengembalikan kehormatan
kelompok mereka. Sehingga tepatlah jika adanya rasa cinta terhadap
'ashabiyah dapat menjadi sebab munculnya konflik. Seorang penganut
190 Hamid Enayat, 2001, Reaksi Politik Sunni dan Syi'ah Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi
Abad ke-20, Bandung: Penerbit Pustaka, halaman 47.
107
Sunnah pastilah akan membela sesama penganut Sunnah, begitu pula
penganut Syi'ah juga akan membela 'ashabiyah-nya. Terkadang, tebalnya
rasa cinta itu melampaui batas kebenaran. Maksudnya, bahwa rasa cinta
terhadap 'ashabiyah lebih besar jika dibandingkan dengan tegaknya keadilan.
Baik Sunni maupun Syi'ah, faktor pengikat 'ashabiyah-nya bukan
sesuatu yang murni lagi, tetapi sudah tercampur, yakni didasarkan atas
kepentingan-kepetingan anggota kelompok maupun kepentingan kelompok.
Meski demikian, rasa cinta, senasib dan sepenanggungan dalam segala suka
maupun duka juga dirasakan mereka walaupun tidak terikat dengan garis
keturunan. Hal ini dibuktikan dengan keloyalitasan mereka kepada
pemimpin. Sehingga, pemimpin mereka bisa kapan saja menggerakkan
mereka guna mencapai tujuan bersama.
Hal inilah yang kemudian menjadi sebab lain yang menggerakkan
mereka (kelompok Sunni dan Syi'ah) di era Saddam Hussein dan Nouri
al-Maliki untuk memperjuangkan eksistensi kelompoknya dan demi
mewujudkan cita-cita kelompoknya. Dikarenakan rasa cinta yang besar
terhadap 'ashabiyah inilah menjadi sebab munculnya konflik antara Sunni
dan Syi'ah di Irak.
c. Adanya sifat agresif dalam diri manusia
Manusia memiliki watak agresif sebagai akibat adanya animal power
dalam dirinya yang mendorong untuk melakukan kekerasan atau
penganiayaan. Agresifitas manusia ini bisa berakibat terjadinya pertumpahan
108
darah dan permusuhan, bahkan pemusnahan umat manusia itu sendiri.
Disebabkan adanya animal power dalam diri setiap manusia, tepatnya
karena besarnya animal power dalam diri Nouri al-Maliki, sehingga menjadi
sebab timbulnya konflik. Hal ini penting karena ia sebagai kepala negara
yang mana seharusnya bertugas sebagai penengah, pemisah antar anggota
masyarakat (dalam hal ini: Sunni dan Syi'ah) dan sekaligus pemegang
otoritas tertinggi negara, justru menjadi pemicu terjadinya konflik antar
mereka. Dan hal ini tak seharusnya dilakukan oleh seorang kepala negara.
d. Pemimpin yang diharapkan mampu menjadi penengah dan pemisah di antara
kelompok-kelompok yang berbeda, justru tidak adil, berlaku zalim dan
aniaya
Konflik terjadi manakala peran yang semestinya dilakukan oleh
seorang pemimpin, yang diharapkan mampu menjadi penengah dan pemisah
di antara kelompok-kelompok yang berbeda, justru diabaikan. Sehingga
ketika dia memimpin, dia berlaku zalim dan aniaya. Fenomena inilah yang
terjadi di Irak. Maliki menerapkan gaya pemerintahan dengan tangan besi,
secara otoriter persis seperti gaya kepemimpinan yang diterapkan Saddam
Hussein sebelumnya.
Pemimpin yang awalnya diharapkan mampu menjadi penengah dan
pemisah di antara kelompok-kelompok yang berseteru (Sunni dan Syi'ah),
justru menonjolkan agresifitas dan diskriminasi. Oleh karenanya, baik
Saddam maupun Maliki sama-sama saling menguatkan 'ashabiyah nya
109
masing-masing guna menguasai dominasi kekuasaan negara. Akibatnya,
kedua kelompok itu saling bermusuhan, saling serang-menyerang, dan
bahkan saling membunuh satu sama lain. Parahnya, baik Saddam maupun
Maliki mereka sama-sama mengeluarkan kebijakan guna memusnahkan
sebagian besar oposisi pemerintahannya.
Di bawah pemerintahan yang otoriter inilah, konflik antar kelompok
masyarakat di Irak muncul. Terlebih, rezim yang berkuasa selalu
"menganakemaskan" kelompoknya dan selalu "menganaktirikan" kelompok
oposisi. Kenyataan inilah yang terjadi di era Saddam Hussein dan terulang
kembali di era Nouri al-Maliki.
2. Akibat Konflik Sunni-Syi’ah di Irak
Secara tegas Ibn Khaldun menyatakan bahwa tujuan akhir dari 'ashabiyah
adalah kekuasaan tertinggi dalam negara. Kekuasaan dalam artian ini berbeda
dengan kekuasaan yang dimiliki oleh kepala suku, karena ia dapat
memerintahkan dengan kekuatan pemaksa melalui alat kekuasaan yang ada di
tangannya. Pertarungan terjadi dalam masyarakat adalah untuk memperebutkan
puncak kekuasaan negara. Apabila seseorang telah sampai pada tingkat
kekuasaan tertentu, maka ia akan berusaha untuk mendapatkan kekuasaan yang
lebih tinggi lagi dan apabila ia melihat kesempatan untuk mendapatkannya ia
tidak akan melewatkan kesempatan tersebut. Sesungguhnya pencapaian tersebut
hanya mungkin dilakukan dengan 'ashabiyah.191
191 Ibid, halaman 124-125.
110
Dalam memimpin suatu kaum—terdiri dari bermacam 'ashabiyah—harus
ada satu 'ashabiyah yang berada di atas 'ashabiyah masing-masing individu.
Sebab, apabila 'ashabiyah masing-masing individu mengakui keunggulan
'ashabiyah sang pemimpin, maka mereka akan siap untuk tunduk dan patuh
mengikutinya.192
Mengenai masyarakat yang plural, Ibn khaldun meyakini bahwa pluralitas
akan menimbulkan perbedaan pandangan dan kepentingan. Tiap pandangan
memiliki 'ashabiyah yang dijadikan sebagai pelindung sehingga jarang sekali
terjadi suatu negara terdiri dari beragam suku dan kelompok bisa berdiri dengan
aman. Sekalipun pada mulanya negara tersebut tegak di atas 'ashabiyah dari
berbagai suku dan golongan.193
Apabila kekuatan-kekuatan antara suku dan golongan dalam masyarakat
seimbang atau tidak ada yang dominan, maka pemberontakan akan sering terjadi.
Ibn Khaldun mencontohkan panjangnya waktu yang harus dipergunakan bangsa
Arab untuk menegakkan kekuasaan di Ifriqia dan Maroko. Begitu juga dengan
Syria di masa Israel yang harus menghadapi berbagai kekacauan.194
Apabila suatu 'ashabiyah dapat mengalahkan atau menaklukkan
'ashabiyah yang lain, keduanya dimungkinkan untuk bergabung untuk kemudian
bersama-sama menuntut pencapaian yang lebih tinggi dari kekuasaan dan
dominasi yang dimiliki sebelumnya. Jika suatu 'ashabiyah telah mencapai
192 Ibn Khaldun, 2008, Muqaddimah Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, halaman 157. 193 Ibid, halaman 201. 194 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 126.
111
maksud tersebut, maka suku yang mejadi pengikut 'ashabiyah tersebut turut
memegang kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak langsung.195
Tetapi,
dimungkinkan juga terjadi 'ashabiyah yang kalah akan dihancurkan. Tokoh-tokoh
dengan kelompok yang mendukungnya akan disingkirkan, sehingga tidak
mempunyai peranan apa-apa lagi dalam lingkaran kekuasaan selanjutnya.
Ibn Khaldun menggambarkan bahwa ketika seorang pemimpin telah
sampai pada puncak kekuasaan negara akan menjalankan kekuasaannya dengan
cara yang berbeda-beda. Ibn Khaldun membedakan pola kepemimpinan ke dalam
tiga bentuk. Pertama, kekuasaan dijalankan dengan lemah lembut dan penuh
keadilan. Sehingga salah satu ciri yang menonjol dalam masyarakat ini adalah
ketaatan bahwa setiap orang dapat mengemukakan pendapat secara bebas, tanpa
rasa takut dan tekanan. Kedua, kekuasaan dijalankan dengan dominasi, kekerasan,
dan teror. Masyarakat di bawah kepemimpinan pola kedua ini akan hidup dalam
tekanan dan rasa takut. Tidak ada kebebasan dalam menyatakan pendapat. Ketiga,
kekuasaan dijalankan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi atau hukuman-hukuman.
Dalam keadaan seperti ini moral rakyat akan hancur dan rakyat akan mengalami
demoralisasi.
Fenomena yang terjadi di Irak adalah Saddam dan Maliki sebagai kepala
negara menerapkan pola yang kedua, yaitu kekuasaan dijalankan dengan
dominasi, kekerasan, dan teror. Akibatnya, masyarakat di bawah kepemimpinan
pola kedua ini akan hidup dalam tekanan dan rasa takut. Adanya tekanan-tekanan
tersebut sehingga menimbulkan kekecewaan yang pada akhirnya menjadi pemicu
195 Ibn Khaldun, op. cit, halaman 167.
112
munculnya pemberontakan-pemberontakan baik yang dilakukan oleh kelompok
Syi'ah pada era rezim Sunni, maupun maupun yang dilakukan oleh kelompok
Sunni pada era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki, guna menuntut sebuah keadilan.
Terlebih bila kekuasaan telah digunakan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi.
Menurut Ibn Khaldun, inilah salah satu faktor penyebab hancurnya sebuah
kekuasaan.
Lengsernya rezim Saddam, menandakan kehidupan baru bagi kaum Syi'ah
dan sekaligus merupakan awal dari kemunduran politik kaum Sunni Irak. Ibn
Khaldun menjelaskan bahwa apabila suatu 'ashabiyah dapat mengalahkan atau
menaklukkan 'ashabiyah yang lain, keduanya dimungkinkan untuk bergabung
untuk kemudian bersama-sama menuntut pencapaian yang lebih tinggi dari
kekuasaan dan dominasi yang dimiliki sebelumnya. Jika suatu 'ashabiyah telah
mencapai maksud tersebut, maka suku yang mejadi pengikut 'ashabiyah tersebut
turut memegang kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetapi,
dimungkinkan juga terjadi 'ashabiyah yang kalah akan dihancurkan. Tokoh-tokoh
dengan kelompok yang mendukungnya akan disingkirkan, sehingga tidak
mempunyai peranan apa-apa lagi dalam lingkaran kekuasaan selanjutnya.
Saddam Hussein lengser, maka pemerintahan selanjutnya, yakni Nouri
al-Maliki, menghendaki kelompok-kelompok oposisi khususnya Sunni dan
anggota-anggota Partai Ba'ath disingkirkan dari kekuasaan pemerintahan Irak.
Akibatnya, muncul kekecewaan-kekecewaan kaum Sunni yang berujung pada
pemberontakan-pemberontakan guna menggulingkan rezim yang berkuasa,
113
karena dirasa tidak adil, dan hanya mencerminkan kepentingan salah satu
kelompok masyarakat saja seperti apa yang telah dijelaskan oleh Jack Snyder.
Pada dasarnya, orang yang memerintah adalah orang yang memiliki rakyat,
dan rakyat adalah mereka yang memiliki orang yang memerintah. Sehingga,
hubungan antara keduanya adalah hubungan kepemilikan. Apabila kepemilikan
ini dan akibat-akibat yang timbul darinya baik (sebagaimana mestinya), maka
tujuan pemerintahan benar-benar telah dipenuhi. Sebab, dengan demikian
kepentingan rakyat akan terjamin. Tetapi sebaliknya, apabila kekuasaan itu
dijalankan di atas cara-cara yang nista dan menindas, maka 'ashabiyah akan
hancur dan berubah menjadi kekuatan pemberontak terhadap negara.196
Walaupun fenomena yang ada, 'ashabiyah (ikatan solidaritas) antara Sunni dan
Syi'ah sulit terwujud, terlebih perlakuan yang tidak adil yang dialami oleh
keduanya (era Saddam dan Maliki).
Berkenaan dengan tahapan perkembangan sebuah dinasti, Ibn Khaldun
menyatakan bahwa sebuah dinasti biasanya tidak lebih dari lima tahap, yaitu197
:
1) Tahap sukses, penggulingan seluruh oposisi, dan penguasaan aset kekuasaan
dari dinasti sebelumnya.
2) Tahap penguasaannya mulai bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat
dan sistem yang sentralistik.
3) Tahap senang-sentosa yang ditandai berdirinya bangunan megah dan kokoh.
4) Tahap pemenuhan kepuasan penguasa bersama kroni-kroninya.
196 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, op. cit, halaman 127. 197 Ibid, halaman 130.
114
5) Tahap boros dan berlebihan.
Bila tahapan-tahapan ini telah terjadi, maka dapat dipastikan kekuasaan
sebuah dinasti akan hancur dan digantikan oleh bangunan kekuasaan lain.
3. Bentuk-Bentuk Konflik Sunni-Syi'ah di Irak
Konflik Sunni-Syi'ah adalah konflik yang memiliki akar sejarah yang
panjang. Telah dijelaskan bahwa konflik ini berawal setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. Di dalam tulisannya yang berjudul Konflik Syi'ah-Sunni Pasc
the Arab Spring Ahmad Sahide (2013) menjelaskan bahwa konflik Sunni-Syi'ah,
terutama di kawasan Timur Tengah memiliki dua bentuk universal. Pertama,
konflik antara kelompok masyarakat dengan rezim, baik itu rezim yang Syi'ah
dan kelompok masyarakat yang Sunni maupun sebaliknya. Kedua, konflik
antarnegara (rezim).198
Berdasar fakta yang ada bahwa konflik Sunni-Syi'ah di Irak menempati
bentuknya yang pertama, yaitu konflik antara kelompok masyarakat dengan
rezim. Baik itu rezim yang Sunni dan kelompok masyarakat yang Syi'ah; seperti
pada era Saddam Hussein. Ataupun sebaliknya, yaitu antara kelompok
masyarakat Sunni dengan rezim Syi'ah; era Nouri al-Maliki.
4. Strategi Dalam Menyikapi Konflik
Setiap orang yang berkonflik akan selalu mencari cara dalam menyikapi
konflik tersebut. Pruitt dan Rubin menjelaskan bahwa setidaknya ada 5 strategi
yang biasanya ditempuh dalam menyikapi konflik. Kelima strategi tersebut adalah
198 Ahmad Sahide, 2013, Konflik Syi'ah-Sunni Pasca The Arab Spring, KAWISTARA, halaman 319.
115
contending (bertanding), yielding (mengalah), problem solving (pemecahan
masalah), withdrawing (menarik diri), inaction (diam).
Strategi contending adalah mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai
oleh salah satu pihak atas pihak yang lain. Strategi kedua, yielding, yaitu strategi
yang menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang
sebetulnya diinginkan. Strategi ketiga adalah problem solving, yaitu mencari
alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Strategi keempat adalah
withdrawing, strategi ini memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik
maupun psikologis. Startegi terakhir adalah inaction, yaitu tidak melakukan
apapun. Ketiga strategi konflik: contending, yielding, dan problem solving dapat
dianggap sebagai strategi untuk mengatasi konflik, dalam arti bahwa
masing-masing melibatkan beberapa usaha yang relatif konsisten dan koheren
untuk mengatasi konflik. Sebaliknya, withdrawing dan inaction adalah strategi
yang tidak dimaksudkan untuk mengatasi tetapi untuk menghentikan atau untuk
mengabaikan konflik.199
Berdasar pada analisis sebelumnya bahwa strategi yang dapat dipakai
untuk mengatasi konflik Sunni-Syi'ah yang terjadi di Irak adalah dengan
menerapkan strategi problem solving (pemecahan masalah). Strategi problem
solving, adalah strategi yang dilakukan dengan mencari alternatif yang
memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Dengan terpuaskan aspirasi dari kedua
kelompok (Sunni dan Syi'ah), maka pemerintahan Irak di masa depan akan
199 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman
4-7.
116
berjalan dengan adil, merata, dan sejahtera. Namun, hal ini sulit terwujud
mengingat kenyataan "garis pemisah", baik itu garis sektarian maupun etnis yang
dirasa begitu mencolok mata. Hal ini tidak bisa terlaksana jika pemegang
kekuasaan kembali menerapkan gaya kepemimpinan yang otoriter. Jika hal itu
terjadi maka akan mengulang kembali sejarah konflik Sunni-Syi'ah di era Saddam
dan Maliki. Sementara jika strategi contending (bertanding) atau yielding
(mengalah) diterapkan dalam mengangani fenomena konflik Sunni-Syi'ah yang
terjadi di Irak, maka hasil akhirnya sama-sama mengarah pada konfrontasi
Sunni-Syi'ah.
D. Dampak Konflik Sunni-Syi’ah di Irak terhadap Kerukunan
Beragama di Indonesia
Indonesia yang sudah lama membangun wacana toleransi dan pluralisme tidak
lepas dari dampak prahara di Timur Tengah. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
sentimen Sunni-Syi'ah yang mewarnai konflik politik di negara-negara Timur Tengah
khususnya di negara Irak, sentimen itu adalah sentimen mazhab Sunni-Syi'ah yang
memiliki akar sejarah yang panjang.
Keberadaan Syi’ah di Indonesia kini menjadi problem tersendiri di kalangan
umat Muslim Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah pengikut
Islam terbesar di dunia, dan kebanyakan mereka adalah penganut Sunnah. Indonesia
yang sangat menjunjung tinggi toleransi beragama, akankah mampu bertahan di
tengah hembusan angin kencang perselisihan Sunni-Syi’ah yang sudah lama terjadi di
negara-negara Islam di Timur Tengah. Problem ini jika tidak segera diatasi dan
117
diambil jalan tengah dapat memecah belah persatuan dan kerukunan beragama di
Indonesia.
Menurut sejarah perkembangannya, Syi’ah di Indonesia melalui empat
tahapan, yaitu pertama, bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia; kedua,
pasca revolusi Islam Iran; ketiga, melalui Intelektual Islam Indonesia yang belajar di
Iran; dan keempat, tahap keterbukaan melalui Pendirian Organisasi Ikatan Jamaah
Ahlul Bait Indonesia.200
Belakangan ini, kelompok Syi'ah di beberapa kota sempat terusik dengan
adanya isu-isu penyerangan terhadap markas mereka. Beberapa di antara mereka
tutup untuk sementara, mislanya yayasan Rausyanfikir di Yogyakarya. Selain itu ada
banyak selebaran yang bertuliskan "Jangan Ragu, Syi'ah Bukan Islam", seminar yang
diadakan, serta buku-buku yang diterbitkan oleh kelompok tertentu untuk
mendiskreditkan kelompok masyarakat yang beraliran Syi'ah.201
Sebagai bentuk respon kaum Syi'ah di Indonesia terhadap tulisan-tulisan
tersebut yang mendiskreditkan kelompok mereka, di bulan Agustus tahun 2012 ulama
Syi'ah Indonesia yang tergabung dalam Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI)
mengeluarkan sebuah buku yang mencoba meluruskan keslahpahaman tentang
mengenal faham Syi'ah. Buku itu diberi judul Buku Putih Mazhab Syi'ah Menurut
Para Ulamanya yang Muktabar.
Lewat buku itu para ulama Syi'ah di Indonesia mencoba meluruskan
kesalahpahaman yang selama ini ada perihal keyakinan mereka yang telah
200 Moh. Hasim. 2012. Syiah: Sejarah Timbul dan Perkemabangnnya di Indonesia, halaman 147. 201 Ahmad Sahide. 2013. Konflik Syi'ah-Sunni pasca the Arab Spring, halaman 321.
118
menyimpang dari ajaran Islam. Mereka menyebutkan bahwa adanya
perbedaan-perbedaan antara Sunni dan Syi'ah tidak mengharuskan perpecahan di
kalangan umat Islam di Indonesia. Bagi mereka perbedaan-perbedaan tersebut
sengaja digencarkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai adanya Persatuan Islam.
Mereka juga tidak membenarkan adanya konflik Sunni-Syi'ah yang telah terjadi di
Indonesia. Mereka menyatakan bahwa penerjemahan buku-buku Syi'ah telah
dipalsukan. Di akhir tulisan, mereka menyebutkan bahwa secara historis Syi'ah lah
yang pertama kali masuk di Indonesia. Dan mereka menyatakan bahwa NU secara
kultural adalah Syi'ah.202
Menjawab buku tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang adalah
penganut Sunni, mengeluarkan buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan
Syi'ah di Indonesia ini diterbitkan pada bulan April 2013. Sebagai respon tidak
diterimanya gagasan-gagasan dalam Buku Putih Mazhab Syi'ah tersebut.
Di dalam buku tersebut MUI dengan tegas memfatwakan bahwa Syi'ah
bukanlah bagian dari Islam. Lewat buku ini MUI mencoba menyebarluaskan
perbedaan Syi'ah dengan Sunni dan peringatan untuk mewaspadai
penyimpangan-penyimpangan Syi'ah di Indonesia. MUI juga memberikan data-data
seputar perkembangan Syi'ah di Indonesia dan metode penyebarannya. Lima poros
persebaran Syi'ah di Indonesia seperti yang diungkapkan MUI adalah: (1) Poros
Jakarta di Islamic Cultural Centre (ICC), (2) Poros Pekalongan-Semarang, (3) Poros
Yogyakarta, (4) poros Bangil dan Pasuruan, (5) Poros Bandung203
.
202 Lihat Buku Putih Mazhab Syiah Menurut Para Ulamanya yang Muktabar, halaman 101-106. 203 Lihat buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi'ah di Indonesia halaman 87-112.
119
Dengan demikian, maka mungkin jika konflik Sunni-Syi'ah yang terjadi di
negara-negara Timur Tengah juga dapat terjadi di Indonesia sewaktu-waktu.
Sebenarnya, konflik antara Sunni dan Syi'ah di Indonesia belum terlalu parah yang
dengan gamblang beroposisi seperti yang telah terjadi di negara-negara Timur Tengah,
khususnya di negara Irak. Tetapi, dengan munculnya konflik Sunni-Syi'ah di
Indonesia dipandang sebagai sebuah bom waktu yang dapat meledak kapan saja,
mengingat kedua kelompok saling serang argumen dan menganggap diri mereka
adalah yang paling benar.