Makalah Study Fiqih Kel 11 Kelas b
Click here to load reader
-
Upload
zuhriya-sholichah -
Category
Documents
-
view
685 -
download
0
Transcript of Makalah Study Fiqih Kel 11 Kelas b
MAKALAH STUDI FIQIH
SUMBER-SUMBER FIQH YANG DIPERSELISIHKAN
DALAM PERSPEKTIF AGAMA
Dosen Pembimbing:
Mochamad Imamuddin, M.A
Oleh
Kelompok 11 :
Sijid Maulana (08720030)
Bettie Retno Anggraeni (08620007)
Heri Santoso (08620061)
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG, 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh merupakan salah satu instrument penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan mekanisme ijtihad dan istinbath
hokum dalam islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan
kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan dalam salah satu
syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan
istinbath tetap pada koridor yang semestinya, ushul fiqh-lah salah satu
penjaganya.
Fikih sebagai hasil olah pikir (ijtihad) ulama dalam mengakselerasikan nash
(dalil hukum) dengan permasalahanpermasalahan yang dihadapi masyarakat,
maka pemikiran fikih akan selalu berkembang sesuai dengan dinamika dan
tuntutan masyarakat.
Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang
disebut juga dengan al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah,
Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan
bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah
SAW, Ijma', Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut
dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara' melalui
ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian
hukum.
Allah menurunkan agama Islam kepada umat-Nya disertai dengan
aturanaturan (hukum). Aturan-aturan (hukum) tersebut dibuat oleh Allah agar
manusia selamat hidup di dunia sampai ke akhirat kelak. Agama (Islam) beserta
aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu,
diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad, s.a.w.1
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk
menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu,
dan dalam ilmu al-Qur’an dikenal dengan istilah asbabun-nuzul atau sebab-sebab
turunnya wahyu (ayat al-Qur’an). Namun apabila Allah tidak menurunkan wahyu
kepada Nabi atau Rasul untuk menyelesaikan persoalan hukum (tertentu) yang
sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad, menggali
hukumnya (istinbath), kemudian hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan al-
Sunnah (qauliyah, fi’liyah dan taqriyah). Dengan demikian terlihat bahwa,
sumber hukum Islam semasa Nabi Muhammad s.a.w., hidup hanya dua yaitu, al-
Qur’an dan al-Sunnah Nabi sebagai empirisasi dari wahyu Allah.2
Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad s.a.w., meluasnya wilayah
kekuasaan Islam, terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan
banyaknya para sahabat yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam
mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala masalah (hukum)
yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan
dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang
dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah
menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam
kala itu karena para sahabat sangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad.3
Dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka otoritas
tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan seterusnya.
Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum
yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-
Qur’an, al- Sunnah dan ijma’ para sahabat.4
1 Mahmuzar. Maslahah-Mursalah; Suatu Methode Istinbath Hukum. artikel internet
2 idem
3 idem
4 idem
Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu
berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-
Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama
dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di
antaranya; maslahah-mursalah atau istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam
Hanafi), qiyas (Imam Syafi’i), istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lain
sebagainya.5
Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-
Qur'an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad
tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama usul fiqh.
Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan
sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi'i
menolaknya.6 Dalam hal ini lah istihsan dan maslaha mursalah dikategorikan
sebagai sumber hukum yang dipermasalahkan.
1.1 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini antara lain:
1. Apa definisi Istihsan dan Maslahah Mursalah?
2. Apa saja macam-macam Istihsan dan Maslahah Mursalah?
3. Bagaimana contoh Istihsan dan Maslahah Mursalah?
1.2 Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui definisi Istihsan dan Maslahah Mursalah.
2. Untuk mengetahui macam-macam Istihsan dan Maslahah Mursalah.
3. Untuk mengetahui contoh Istihsan dan Maslahah Mursalah.
5 Mahmuzar. Maslahah-Mursalah; Suatu Methode Istinbath Hukum. artikel internet
6 idem
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ISTIHSAN
2.1.1 Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik sedangkan
menurut istilah menurut ulama ushul adalah berpaling seorang mujtahid dari
tutunanan qiyas yang jalli (nyata) kepaa tutunnan qiyas yang kaffiy (samar), atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang istisnaiy (pengecualian) ada dalil
yang menyebabkan mencela akalnya dan ada yang berpaling dari padanya.7
Ihtisan berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang
berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif-sin dan ta' , ber-wazan
istif’al, sehingga menjadi istahsana-yastahsinu- istihsaanan. Kata benda
(mashdar) yang berarti.8
Artinya:
Menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai)
lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk.9 Sedangkan secara istilah,
ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki
kesamaan.10
7 Abu Zahroh, Ushul Fiqh, hal. 244
8 idem
9 Oleh H. Abdullah Qomaruddin Lc - AL ISTIHSAN Dosen STID Dirosat Islamiyah Al-Hikmah
Jakarta
Berikut ini beberapa definisi Istihsan:11
dari beberapa ulama fiqih yaitu
diantaranya:
Artinya:
Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri
(karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak
adanya kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.12
Artinya:
Meninggalkan/ mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas
yang lebih kuat darinya.13
Artinya:
Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan
dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.14
Artinya:
Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan
yang serupa karena adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda
karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang
pertama.15
11 idem
12 Ibnul Quddamah, Raudhotun Nazhir, hal 86
13 Jasim Muhalhil, Al Jadawil, hal. 55
14 Asy Syatiby, Al Muwafaqot 4/205
15 Al Jayzani, Ma’alim Ushul Al Fiqh, hal 236,
Artinya:
Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh
lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.16
Artinya:
Qiyas yang tersembunyi.17
2.1.2 Macam-macam Istihsan
Menurut sandaranya, Ulama Hanfiyah menbagi menjadi empat macam
yaitu Istihsan yang sandaranya Qiyas Khafi, Istihsan yang sandaranya Nash,
Istihsan yang sandaranya Urf’, dan Istihsan yang sandaranya Darurat sedangkan
Ulama Malikiyah menbagi menjadi tiga macam yaitu Istihsan yang sandaranya
Urf’, Istisan yang sandaranya Maslahat dan Istihsan yang sandaranya Raf’ul
Haraj.18
Menurut perpindahan hukumnya dibagi menjadi tiga yaitu Istihsan dari
qiyas jally ke qiyas Kahfy, Istihsan dari nas hukum yan umum ke hukum yan
khusus, dan Istihasan dai hukum kully ke hukum istisna’.19
Dijelaskan bahwa Istihsan dibagi menjadi beberapa bentuk berdasarkan
dua kategori, yaitu:20
a. Berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya Dalam
pembagian ini, pengaruh istihsan dikaitkan dengan pengaruh qiyas. Baik qiyas
maupun istihsan dibagi menjadi dua.21
16 Al Qorofi, Nafais Al Ushul, 9/4216
17 Al Bukhori, Kasyful Asror, 4/3
18 Wahab khallaf, Syeikh Abdul, 2005.Ilmu Fiqih, Jakarta : Rineka Cipta
19 idem
20 idem
21 idem
Qiyas dibagi menjadi dua yaitu qiyas jali tetapi pengaruhnya lemah bila
dibandingkan dengan pengaruh dalil yang berlawanan dengannya, dan qiyas khafi
yang memiliki pengaruh yang kuatatas hukum. Istihsan juga dibagi menjadi dua;
yaitu istihsan yang kuat pengaruhnya walaupun khafi, dan istihsan yang lemah
pengaruhnya walaupun jelas (dzahir). Tarjih antara qiyas dan istihsan dalam hal
ini didasarkan pada kuat dan lemahnya pengaruh, bukan pada jelas (dzahir) dan
tidak jelas (khafi) nya.22
Qiyas akan menjadi rajih atas istihsan apabila
pengaruhnya lebih kuat, dan begitu juga sebaliknya. Ini terjadi apabila terdapat
pertentangan (ta’arudh) antara istihsan dengan qiyas.23
1.1.2 Kehujjahan istihsan
Jumhur ulama Malikiyah dan hanabillah menetapkan bahwa istihsan adalah
suatu dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum
terhadap sesutu yang telah ditetapkan qiyas atau keumuman nas. Kebolehan
mengunakan istihsan sebagai hujjah, para ulama berbeda pendapat ada yang
menyetujui ada yang tidak, akan tetapi perselisihan mereka terletak pada
perbedaan mereka dalam menberi batasan terhadap istihsan itu sendiri, jadi bukan
bukan oprasionalmnya dalam meetapkan hukum berdasarkn istihsan.24
2.2 MASLAHAH MURSALAH
Seiring dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi,
maka otoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’in-tabi’in
dan seterusnya. Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-
persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap
berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun
karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan
22 Wahab khallaf, Syeikh Abdul, 2005.Ilmu Fiqih, Jakarta : Rineka Cipta
23 idem
24 idem
merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’
para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali
hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-
mursalah atau istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam
Syafi’i), istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya.25
Beberapa metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid
di atas, metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan
umat Islam karena berdasarkan kepada nass-nass (al-Qur’an dan atau al-
Sunnah) tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam
yang keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat.Sedangkan
metode istinbath hukum yang lainnya, termasuk maslahah-mursalah atau
istislah yang diperkenalkan oleh Perkembangan hukum Islam dapat dilihat .26
Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta,
hal 1-23. Imam Malik selalu diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas
penganut mazhab asy-Syafi’iyah.27
2.2.1 Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan
maslahah (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada penentuannya dari syara’ baik
ketentuan secara umum atau secara khusus.28
Jadi, termasuk adalah yang dapat mendatangkan kegunaan (manfaat) dan
dapat menjauhkan keburukan (kerugian), serta hendak diwujudkan oleh
kedatangan syariat Islam, serta diperintahkan nash-nash syara’ untuk semua
lapangan hidup. Akan tetapi, stara’ tidak menentukan satu persatunya maslahah
tersebut maupun macam keseluruhannya. Oleh karena itu, maslahah dinamai
mursal artinya terlepas dengan tidak terbatas.29
25 Uman, Chaerul, Dkk.2000.Ushul Fiqh I, CV. Bandung : Pustaka Setia
26 Wahab khallaf, Syeikh Abdul, 2005.Ilmu Fiqih, Jakarta : Rineka Cipta
27 Uman, Chaerul, Dkk.2000.Ushul Fiqh I, CV. Bandung : Pustaka Setia
28 idem
29 Wahab khallaf, Syeikh Abdul, 2005.Ilmu Fiqih, Jakarta : Rineka Cipta
Akan tetapi, jika suatu maslahah telah ada ketentuannya dari syara’ yang
menunjuk kepadanya secara khusus, seperti penulisan Al-Qur’an karena
dikhawatirkan akan tersia-sia, atau seperti memberantas buta huruf (mengajarkan
menulis dan membaca), atau ada nash umum yang menunjukkan macamnya
maslahah yang harus dipertimbangkan seperti wajibnya mencari dan menyiarkan
ilmu pengetahuan pada umumnya atau seperti amar ma’ruf dan nahi munkar,
maslahah penetapan hukumnya didasarkan atau nash, bukan didasarkan atas
aturan maslahah mursalah.30
2.2.2 Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam
pembentukan hukum islam telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang
harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan
dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga tidak menjadikan
keinginannya sebagai ilhamnyadan menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:31
1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan.
Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu
memendang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah
hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak
bahaya dari mereka.32
Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang
dipandang sebagian orang dalam sebagian syari’at tidaklah diperlukan, seperti
dalil maslahah yang dikatakan dalam soal hak talak tersebut kepada hakim
30 idem
31 Burhanuddin. 2001. Fiqh Ibadah.Bandung : Pustaka Setia
32 idem
saja dalam semua keadaan.Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini
menurut pandangan kami tidak mengandung terhadap maslahah.33
Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan
masyarakat, hubungan suami dengan istrinya ditegakkan diatas suatu dasar
paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang dan
cinta-mencintai.34
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang
tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
Imam Al-ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat
menyeluruh ini dengan suatu contoh-contoh orang kafir telah membentangi
diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin.35
Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara
kehidupan orang Islam yang membentangi memusnahkan kaum muslimin
seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang
membentangi orang tersebut demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin
seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.36
3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh
syari’.
Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan
oleh syari’. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka
maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam.
Bahkan tidak dapat disebut maslahah.37
33 idem
34 Burhanuddin. 2001. Fiqh Ibadah.Bandung : Pustaka Setia
35 idem
36 idem
37 idem
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada
tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.38
2.2.3 Macam-macam Maslahah Mursalah
Adapun macam-macam Maslahah Mursalah adalah sebagai berikut:
1. Maslahah Adz-Dzaruriyyah
yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada 5, yaitu:
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan, danmemelihara harta. Kelima kemaslahatan ini disebut dengan Al-
Maslahah Al-Khamsah.39
Memeluk suatu agama merupakan fitrah dan naluri insani yang tidak
dapat diingkari dan sangat dibutuhkan umat manusia.Untuk kebutuhan
tersebut Allah mensyariatkan agama yang wajib dipelihara setiap orang, baik
yang berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun muamalah.40
Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia.Dalam
kaitan ini, untuk kemaslahatan keselamatan jiwa dan kehidupan manusia,
Allah mensyariatkan berbagai hukum yang terkait dengan itu, seperti syariat
qisas, kesempatan mempergunakan hadis sumber dan untuk dikonsumsi
manusia, perkawinan untuk melanjutkan generasi manusia dan berbagai
hukum lainnya.41
Akal merupakan sasaran yang menentukan seseorang dalam menjalani
hidup dan kehidupannya.Oleh sebab itu, Allah menjadikan pemeliharaan akal
itu sebagai suatu yang pokok.Untuk itu, antara lain Allah melarang
38 idem
39 Djazuli, Prof. H. A. 2005. Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum
Islam.Jakarta :Prenada Media
40 idem
41 idem
meminum-minuman keras karena minuman itu dapat merusak akal dan hidup
manusia.42
Berketurunan juga merupakan masalah pokok bagi manusia dalam
rangka memelihara kelangsungan manusia di muka bumi ini.Untuk
memelihara dan melanjutkan keturunan tersebut, Allah mensyariatkan nikah
dengan segala hak dan kewajiban yang diakibatkannya.43
Terakhir, manusia tidak dapat hidup tanpa harta.Oleh sebab itu, harta
merupakan sesuatu yang dzaruri (pokok) dalam kehidupan manusia.Untuk
mendapatkannya, Allah mensyariatkan berbagai ketentuan dan untuk
memelihara harta seseorang, Allah mensyariatkan hukuman pencuri dan
perampok.44
2. Maslahah Al-Hajiyah
yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya,
dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qasr) shalat dan berbuka
puasa bagi yang musafir dalam bidang muamalah diperbolehkan melakukan
jual-beli pesanan (Bay As-Salam), kerja sama dalam pertanian (muzaraah)
dan perkebunan (musaqqah). Semuanya ini disyariatkan Allah untuk
mendukung kebutuhan mendasar Al-Masalah Al-khamsah di atas.45
3. Maslahah Al-Tahsiniyah
yaitu kemaslahan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang
dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk
mengkonsumsi makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
42 idem
43 Djazuli, Prof. H. A. 2005. Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum
Islam.Jakarta :Prenada Media
44 idem
45 idem
melakukan ibadah-ibadah sunah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis
cara menghilangkan najis dari badan manusia.46
2.2 4 Dalil Yang Mengemukakan Hijjah
Menurut ulama-ulama terkemuka, bahwa maslahah mursalah itu
merupakan hujah syari’ah.Di atasnya itu dibina syari’at hukum. Masalah-masalah
yang tidak diatur oleh hukum, baik yang berdasar nash ataupun ijma’, qiyas atau
istihsan. Dalam hal ini, orang mensyariat hukum yang mengatur maslahah
muthlak, tidak menghentikan tasyri’ hukum dibina di atas maslahah ini untuk
mengadakan saksi tasyri’ dengan penjelasannya.47
Dalil-dalil yang dikemukakan orang dalam masalah ini ada dua:48
Pertama, memperbaharui kemaslahatan masyarakat dan tidak mengadakan
larangan-larangan. Kalau tidak disyariatkan hukum maka dengan apa orang akan
mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Dengan apa orang mengadakan,
mengembangkan, dan mempersempit ruang tasyri’ terhadap kemaslahatan yang
difikirkan oleh syari’, untuk mengenai kemungkinan-kemungkinan yang mungkin
timbul. Mendirikan tasyri’ dalam lalu lintas perkembangan masyarakat, ada hal-
hal yang tidak disepakati dan tidak diinginkan oleh syari’ dalam menetapkan
kemaslahatan masyarakat.49
Kedua, ketetapan tasyri’ sahabat dan tabi’in begitu juga imam-imam
mujtahid.Nyatanya mereka mensyariatkan hukum untuk menetapkan secara
mutlak kemaslahatan masyarakat.Bukan hanya sejedar untuk mengadakan saksi
dengan keterangan-keterangan yang diberikannya.Abu bakar mengumpulkan
benda-benda yang bertuliskan Al-Qur’an. Dia juga memerangi oarang-orang yang
enggan membayarkan zakat.50
46 Djazuli, Prof. H. A. 2005. Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum
Islam.Jakarta :Prenada Media
47 idem
48 idem
49 idem
50 idem
Setelah Umar jadi khalifah, dia pernah menjatuhkan talak tiga dengan satu
perkataan.Dia melarang orang menyakiti hati mu’alaf dalam masalah sedekah. Dia
memungut pajak dan membentuk dewan-dewan, mendirikan penjara. Dia
melaksanakan hukum terhadap pencurian pada tahun maja’ah. Usman
mengumpulkan mushaf itu menjadi satu dan menyebarkannya dan membakar
selain dari yang satu itu. Mengatur hak waris bagi isteri yang diceraikan oleh
suaminya. Ali bin Abi Thalib pernah memenjarakan pemimpin-pemimpin kaum
Rifadhah dari golongan Syi’ah.51
Mazhab Hanafi melarang orang menjadi mufti lucu, dokter bodoh,
memungut sewa kepada orang yang jatuh failit. Mazhab maliki memperbolehkan
memenjarakan orang bertuduh memuliakannya, menghubungkan kepada
ketetapannya.Mazhab syafi’i mewajibkan kisas terhadap serombongan orang yang
membunuh seseorang. Semuanya itu adalah kebaikan yang dimaksudkan oleh
dengan apa yang disyariatkan dari hukum yaitu maslahah mursilah.52
Syariat mereka itu dibinakan kepadanya karena dia adalah kemaslahatan,
tidak ada dalil dari syari’ untuk membatalkannya.Mereka tidak menegakkan
syariat itu untuk keselamatan sebelum ada orang yang menyaksikan syari’ itu
dengan i’titarnya.Dalam hal ini kata Ibnu Aqil, siasat itu ialah segala perbuatan
orang lebih mendekatkan kepada perdamaian, dan menjauhkan kerusakan
sekalipun diperbuat oleh Rasul. Ada orang yang mengatakan, siasat itu tidak lain
selain dari apa yang dibicarakan orang tentang syariat itu. Pernah ada kekhilafan
para sahabat dalam syari’at mereka.53
51 Wahab khallaf, Syeikh Abdul, 2005.Ilmu Fiqih, Jakarta : Rineka Cipta
52 idem
53 idem
BAB III
KESIMPULAN
Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang
disebut juga dengan al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah,
Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan
bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah
SAW, Ijma', Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut
dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara' melalui
ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian
hukum.
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik sedangkan
menurut istilah menurut ulama ushul adalah berpaling seorang mujtahid dari
tutunanan qiyas yang jalli (nyata) kepaa tutunnan qiyas yang kaffiy (samar), atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang istisnaiy (pengecualian) ada dalil
yang menyebabkan mencela akalnya dan ada yang berpaling dari padanya. Ihtisan
berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang berarti
buruk. Sedangkan Maslahah mursalah ialah pembinaan (penetapan) hukum
berdasarkan maslahah (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada penentuannya dari
syara’ baik ketentuan secara umum atau secara khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Qomaruddin. Al Istihsan. STID Dirosat Islamiyah Al-Hikmah.
Jakarta. Tanpa tahun
Abu Zahroh, Muhammad. Ushul Fiqh, terbitan Dar Al Fikri Al ’Arobi, tanpa
tahun
Al Qorofi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman. Nafais Al Ushul Fi Syarh Al
Mahshul, terbitan Maktabah Nazzar Musthofa Al Baz, Arab Sa’udi,
cetakan ke, tahun 1418 H/ 1998
Burhanuddin. 2001. Fiqh Ibadah. Bandung : Pustaka Setia
Djazuli, Prof. H. A. 2005. Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan
hukum Islam. Jakarta :Prenada Media
Ibn Quddamah, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. Al Mughni. terbitan Dar
Al Kitab Al Arobi, cetakan tahun 1403 H/ 1983
Uman, Chaerul, Dkk.2000.Ushul Fiqh I . CV. Bandung : Pustaka Setia
Wahab khallaf, Syeikh Abdul, 2005. Ilmu Fiqih. Jakarta : Rineka Cipta