FIQIH THOHAROH

17
FIQIH THOHAROH Pengertian Thaharah Thaharah adalah membersihkan dan menghilangkan diri dari kotoran baik berupa dzat seperti najis atau makn awi seperti hasad dan dengki. 1  Dalam kitab al mughni dikatakan bahwa thaharah adalah membersihkan diri dari kotoran. Dalam pengertian yang lain, thaharah adalah mengangkat hadats (yaitu menghilangkan sifat yang melekat pada badan seseorang yang menghalangi seseorang itu dari melakukan shalat dan sejenisnya) dan menghilangkan khabats (yaitu najis) 2 Jenisnya Dari definisi diatas, thoharoh terbagi menjadi dua jenis a. Thoh aroh d ari najis !al in i berka itan de ngan b adan, pakaia n dan t empat .  b. Thoharoh dari hadas !al ini berkaitan dengan badan, yaitu bersu"i dari hadas ke"il dengan  berwudlu ataupun bersu"i dari hadas besar dengan man di janabah atau mandi besar Wasilah Untuk Berthaharah #da empat "ara untuk melakukan thaharah, yaitu, dengan air, dengan debu, dengan kulit kering (telah disamak) dan batu untuk beristinja (istijmar). #da empat tujuan dalam thaharah yaitu, untuk  berwudhu, untuk m andi, untuk tayamum dan untu k menghilangkan najis. $ Air #ir merupakan alat bersu"i yang paling banyak digunakan manusia. %erikut ma"am&ma"am air yang dibolehkan untuk bersu"i menurut para ulama 1. Thuhur  (muthlaq) yaitu air yang asli dari pen"iptaannya, baik berasal langsung dari langit atau yang keluar dari bumi. #llah berfirman, '. #l #nfal 11 asulullah bersabda,   ه لط اؤ محل ات ت ي م  "Dia (air laut) adalah suci, airnya dan juga bangkainya." * +ntuk jenis air ini masih terbagi menjadi empat ma"am a. #i r yan g ha ram un tu k di pe rg un akan, ia ti dak da pa t me ng an gk at ha dats dan ti da k da pa t menghilangkan khabats (najis) dan bukan air yang mubah untuk dipergunakan. ontoh kategori untuk air ini adalah air dari hasil menggosob (mengambil tanpa izin pemiliknya).  b. #ir yang hanya dapat mengang kat hadats wanita dan tidak dapat menyu"ikan hadats laki&laki yang  baligh, yaitu air sisa wanita yang dipergun akan untuk menghilangkan had ats. #da beberapa riwayat mengenai hal ini, di antaranya, ن عكلح اب ا عر ف  ل ا! " #  $  %   & ر ' ل ا(   ) "$  *+ #   ت ,  - # ل ا . ف ب  //   0 1$ ل اDar i #l !ak am bin #mru al ghifar i τ bahwasan nya Rasul ullah telah melar ang bag i laki-laki berwudhu dengan sisa air yang untuk bersuci dari wanita." 5 Tetapi dalam hadis yang lain disebutkan bahwa osululloh pernah bersu"i dari air sisa wanita. Diantaranya hadits dari -bnu #b bas, ن عب ا2    4 # ع" #  $  %   & ر ' ل ا"  5  6  ت ,  . ف ب7)  ي م1   a/utun 0afis fi mazdhabi ibni -dris, #hmad bin +mar #ssathiri #l alawi # l !isaini 1 2  anarussabil fi sya rhi dalil -brahin bin uhammad bin alim 13 24 $   a/utun 0afis fi mazdhabi ibni -dris, #hmad bin +mar #ssathiri #l alawi # l !isaini 15 *  !. khamsah dan dishahihka n oleh at tirmizdi , 6ihat di irwaul ghalil no. 7 4  !. 8hamsah ke"uali ibnu ajah #n 0asa9i dan menurut #t Tirmizdi hadits ini hasan 1

description

Materi

Transcript of FIQIH THOHAROH

FIQIH THOHAROHPengertian ThaharahThaharah adalah membersihkan dan menghilangkan diri dari kotoran baik berupa dzat seperti najis atau maknawi seperti hasad dan dengki. Dalam kitab al mughni dikatakan bahwa thaharah adalah membersihkan diri dari kotoran.Dalam pengertian yang lain, thaharah adalah mengangkat hadats (yaitu menghilangkan sifat yang melekat pada badan seseorang yang menghalangi seseorang itu dari melakukan shalat dan sejenisnya) dan menghilangkan khabats (yaitu najis)

JenisnyaDari definisi diatas, thoharoh terbagi menjadi dua jenis:

a. Thoharoh dari najis : Hal ini berkaitan dengan badan, pakaian dan tempat.b. Thoharoh dari hadas : Hal ini berkaitan dengan badan, yaitu bersuci dari hadas kecil dengan berwudlu ataupun bersuci dari hadas besar dengan mandi janabah atau mandi besarWasilah Untuk BerthaharahAda empat cara untuk melakukan thaharah, yaitu, dengan air, dengan debu, dengan kulit kering (telah disamak) dan batu untuk beristinja (istijmar). Ada empat tujuan dalam thaharah yaitu, untuk berwudhu, untuk mandi, untuk tayamum dan untuk menghilangkan najis.

AirAir merupakan alat bersuci yang paling banyak digunakan manusia. Berikut macam-macam air yang dibolehkan untuk bersuci menurut para ulama:1. Thuhur (muthlaq) yaitu air yang asli dari penciptaannya, baik berasal langsung dari langit atau yang keluar dari bumi. Allah berfirman, QS. Al Anfal: 11 Rasulullah bersabda, "Dia (air laut) adalah suci, airnya dan juga bangkainya."

Untuk jenis air ini masih terbagi menjadi empat macam:a. Air yang haram untuk dipergunakan, ia tidak dapat mengangkat hadats dan tidak dapat menghilangkan khabats (najis) dan bukan air yang mubah untuk dipergunakan. Contoh kategori untuk air ini adalah air dari hasil menggosob (mengambil tanpa izin pemiliknya).b. Air yang hanya dapat mengangkat hadats wanita dan tidak dapat menyucikan hadats laki-laki yang baligh, yaitu air sisa wanita yang dipergunakan untuk menghilangkan hadats.Ada beberapa riwayat mengenai hal ini, di antaranya, Dari Al Hakam bin Amru al ghifari ( bahwasannya Rasulullah telah melarang bagi laki-laki berwudhu dengan sisa air yang untuk bersuci dari wanita."

Tetapi dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Rosululloh pernah bersuci dari air sisa wanita. Diantaranya hadits dari Ibnu Abbas, Dari Ibnu Abbas bahwasannya rasulullah pernah mandi besar dengan sisa air dari Maimunah. HR. Ahmad dan Muslim dan dalam riwayat Ahmad dikatakan, " Bahwa Rasulullah pernah berwudhu dengan sisa dari mandinya karena junub."Berdasarkan hadits di atas, para ulama memberikan pernjelasan tentang bagaimana menggunakan sisa air dari seorang wanita,

Dinukil dari imam An Nawawi beliau menjelaskan bahwa telah disepakati akan bolehnya seorang wanita menggunakan sisa air wudhu laki-laki dan tidak boleh jika sebaliknya. Imam As Syaukani (penulis kitab nailul authar) mengatakan bahwa mayoritas ulama menyatakan bahwa itu adalah keringanan (rukhshah) bagi seorang laki menggunakan air sisa wanita namun imam Ahmad menyatakan makruh demikian juga Ishaq. Adapun mandinya laki-laki dan wanita dan juga wudhunya dengan bersama-sama tidak ada perselisihan akan kebolehannya. Ummu salamah berkata, "Saya dan Rasulullah pernah mandi junub bersama-sama dari satu bejana."

c. Air yang makruh untuk dipakai seiring bahwa air itu jarang untuk digunakan, yaitu air dari sumur yang berada di kuburan. Imam Ahmad sendiri memakruhkannya. Atau air yang panas sekali atau dingin atau air yang bercampur dengan najis (meragukan) atau air dari hasil ghasab. Rasulullah bersabda, "Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan beralih kepada yang tidak meragukan."

Atau air yang digunakan untuk thaharah yang tidak wajib (seperti untuk memperbaharui thaharah atau mandi hari jum'at) atau yang dipakai untuk mandi orang kafir (sebagai sikap kehati-hatian)d. Air yang tidak makruh untuk bersuci seprti air laut, sumur, mata air, air sungai, airpanas, air yang terkena terik matahari, air yang berubah karena lama menggenang, air yang bau karena terkena angin dari bau busuk bangkai atau air yang telah berlumut atau terkena dedaunan.2. Air yang tercampur dengan benda yang suci, Jika air yang telah tercampuri benda lain yang suci, maka air itu tetap air suci dan mensucikan. Karena nabi ( pernah menyiramkan air wudhunya kepada Jabir.

3. Air yang tercampur dengan benda yang najis.

Apabila air itu tercampur dengan benda yang najis hingga berubah warna, rasa dan baunya, maka ia tidak bisa dipakai untuk bersuci.1. BERSUCI DARI NAJIS.Pengertian najis

Najis secara bahasa adalah setiap kotoran. Sedangkan secara istilah adalah kotoran yang menghalangi kesahannya shalat, seperti; darah dan air kencing.

Termasuk hal-hal yang najis ialah apa saja yang keluar dari dua lubang manusia berupa tinja, atau urine, air madzi. Begitu juga air kencing dan kotoran semua hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan.

Hukum menghilangkan najis

Menghilangkan najis dari badan, pakaian dan tempat ibadah adalah wajib, kecuali najis yang dimaafkan karena sulit dihilangkan atau sulit dihindari. Maka dalam hal ini tidaklah wajib, karena untuk menghindarkan kesukaran. Mengenai pakaian berdasarkan Firman Allah swt,

((((((((((( ((((((((( ((("Dan bersihkanlah pakaianmu".

Adapun mengenai badan, maka badan lebih pantas dan lebih berhak disucikan ketimbang pakaian yang hukum menyucikannya ditegaskan dalam ayat tersebut. Sedangkan mengenai tempat ibadah, maka tujuan utama menghilangkan najis daripadanya ialah agar keadaan orang yang shalat itu lebih baik, suatu keadaan dimana ia sedang bermunajat atau berkomunikasi dengan Rabbnya. Maka dalam hal ini, tempat ibadah tak ubahnya dengan pakaian.

Tidak ada perbedaan antara najis yang sedikit maupun banyak, semuanya sama saja tetap najis, kecuali sesuatu yang dimaafkan tentang sedikitnya itu, seperti pada pakaian, darah dan lainnya.

Cara menghilangkan najis

Cara mensucikan badan, pakaian, lantai dan sebagainya yang terkena najis cukup dengan menghilangkan najis itu dari tempatnya. Karena didalam syariat tidak disyaratkan untuk menyucinya berkali-kali, kecuali jika terkena najis anjing disyaratkan mencucinya sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.

Syaikh Asy Sa'di menetapkan bahwa bila najis telah hilang, dengan cara apapun hilangnya baik dengan air maupun yang lainnya, maka benda itu telah suci. Demikian juga bila kotoran-kotorannya telah menghilang atau berubah wujud dan berubah sifat dan wujudnya menjadi suci, maka benda itu telah dianggap suci. Berdasarkan pendapat diatas, minyak yang terkena najis bisa disucikan dengan cara menyulingnya hingga kotoran yang ada didalamnya hilang.

Benda-benda yang najis menurut syareat.

1. Bangkai

Bangkai ialah binatang yang mati dengan sendirinya, tanpa disembelih menurut ketentuan agama (islam). Hal ini berdasarkan firman Allah swt,

((( ((((((( (((((((( (((( ((((( (((((((((( (((( (((((( (((((((( ((((((((( ((((((Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor.

Yang dimaksud dengan bangkai disini adalah setiap hewan yang mati tanpa melalui proses pemyembelihan yang disyariatkan oleh islam dan juga potongan tubuh dari hewan yang dipotong atau terpotong dalam keadaan masih hidup.

2. Daging Babi

Babi merupakan hewan yang tubuhnya secara keseluruhan dihukumi najis. Firman Allah swt, Qs Al Anam: 145.

((( (( (((((( ((( (((( ((((((( (((((( ((((((((( (((((( ((((((( (((((((((((( (((( ((( ((((((( (((((((( (((( ((((( (((((((((( (((( (((((( (((((((( ((((((((( (((((( (((( ((((((( (((((( (((((((( (((( ((((( ( (((((( (((((((( (((((( ((((( (((( ((((( (((((( (((((( ((((((( ((((((( (((((Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

3. Anjing

Anjing adalah hewan yang dihukumi najis. Sesuatu atau benda yang terjilat olehnya harus dicuci sebanyak tujuh kali, yang salah satunya adalah dengan menggunakan tanah (air dicampur tanah). Rasulullah bersabda:

"Apabila ada anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali dengan air dan campurilah dengan tanah, untuk yang kedelapan kalinya.

Dibersihkannya bekas jilatan anjing ini adalah, karena najisnya terletak pada mulut dan air liurnya. Adapun bulu anjing adalah suci jika bulunya kering, dan tidak ada ketetapan yang menyebutkannya sebagai najis.

4. Kotoran Dan Kencing Hewan Yang Haram Dimakan Dagingnya

Setiap hewan yang haram dimakan dagingnya menurut syariat islam seperti keledai dan bighal, maka semua yang keluar dari binatang-binatang tersebut adalah najis, baik itu kotoran maupun kencingnya. Sabda Nabi ,

: "Nabi pernah buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga batu untuk beliau. Akan tetapi, aku hanya mendapatkan dua batu saja. Selanjutnya aku mencari batu yang ketiga, namun tidak juga mendapatkannya. Lalu aku mengambil kotoran dan aku membawanya kepada beliau. Maka beliau hanya mengambil dua batu saja dan membuang kotoran tersebut dan seraya berkata, "Ini adalah kotoran (tidak dapat digunakan untuk bersuci).

Adapun kotoran dan kencing binatang yang dapat dimakan dagingnya, menurut pendapat yang kuat, hukumnya tidak najis. Dan bila seseorang sholat, sedang dipakaian atau badannya terdapat kotoran tersebut, maka sholatnya tetap sah dan tak ada dosa baginya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Asal daripada kotoran itu suci, kecuali yang dikecualikan. Dan jilatan binatang yang dapat dimakan dagingnya adalah suci yaitu; sisa makanan dan minumannya.

5. Wadzi

Wadzi adalah cairan kental yang biasanya keluar setelah seseorang selesai dari buang air kencingnya. Wadzi ini dihukumi najis dan harus disucikan seperti halnya kencing, akan tetapi tidak wajib mandi. Sabda nabi,

"Wadi itu keluar setelah proses kencing selesai. Untuk itu hendaklah seorang muslim (muslimah) memcuci kemaluannya dan berwudhu serta tidak diharuskan untuk mandi.

6. Madzi

Madzi adalah cairan bening sedikit kental yang keluar dari saluran kencing ketika bercumbu atau ketika nafsu syahwat mulai terangsang. Terkadang seseorang tidak merasakan akan proses keluarnya. Hal itu sama-sama dialami oleh laki-laki dan juga wanita, akan tetapi pada wanita jumlahnya lebih banyak. Menurut kesepakatan para ulama, madzi ini dihukumi najis. Apabila madzi ini mengenai badan maka harus dibersihkan dan apabila mengenai pakaian maka cukup hanya menyiramkan air pada bagian yang terkena. Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis, bahwa sahabat Ali pernah menyuruh seseorang untuk bertanya kepada Nabi perihal madzi:

: "Aku ini seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi, lalu aku suruh seorang untuk menanyakan hal itu kepada nabi saw, karena aku malu, sebab puterinya adalah isteriku. Maka orang yang disuruh itupun bertanya dan beliau menjawab; berwudhulah dan cuci kemaluanmu. 7. Hewan Jalalah.Jalalah adalah hewan liar yang memakan kotoran, baik kotoran unta, sapi, kambing, ayam, angsa, dan lain-lainnya, sehingga hewan tersebut berubah baunya. Semua yang keluar dari hewan tersebut adalah najis, dagingnya tidak boleh dimakan dan air susunya juga tidak boleh diminum, serta tidak boleh dijadikan sebagai hewan tunggangan (dinaiki punggungnya). Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah melarang minum air susu hewan jalalah".

Riwayat lain, "Rasulullah melarang menunggangi hewan jalalah". Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Juga sabda beliau, "Rasulullah melarang memakan daging keledai peliharaan dan juga hewan jalalah yang dilarang menunggangi serta memakan dagingnya.

Akan tetapi jika hewan jalalah ini ditangkarkan serta diberikan makanan yang suci sehingga dagingnya menjadi baik dan bau busuknya hilang, maka hewan ini menjadi halal untuk dimakan. Sementara sebutan jalalah padanyapun hilang dengan sendirinya dan selanjutnya kembali menjadi suci.

8. Mani

Mengenai mani terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, yang mana sebagian dari mereka menganggapnyan najis. Pendapat yang kuat menyatakan bahwa mani hukumnya suci. Akan tetapi disunnahkan mencucinya apabila basah dan cukup dengan menggaruknya apabila dalam keadaan telah kering. Rasulullah bersabda, "Aku selalu menggaruk mani dari pakaian Rasululah saw apabila mani itu telah mengering dan mencucinya apabila dalam keadaan basah. Hadis riwayat Daruquthni dari Aisyah. Rasulullah pernah ditanya seseorang tentang mani yang mengenai kain, maka jawabnya,

Ia hanya seperti ingus dan ludah, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.

Madzhab Syafii dan Hambali berpendapat, Mani adalah suci, kecuali mani anjing dan babi. Ulama madzhab Hanbali menambahkan mani hewan yang tidak dimakan dagingnya, semua itu adalah najis.

9. Kencing Dan Muntah manusia

Menurut kesepakatan para ulama, keduanya adalah najis. Sabda Rasulullah saw,

."Bersucilah dari kencing, karena pada umumnya adzab kubur itu didapat dari sebab air kencing.

Akan tetapi beliau memberi keringanan pada kencing yang keluar dari kemaluan seorang bayi laki-laki yang belum memakan makanan lain, selain hanya minum air susu ibunya. Sedang apabila telah memakan makanan yang lain, maka dalam hal ini wajib dicuci, dimana tidak ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai masalah ini. Adapun mengenai muntah, tidak ada satu dalilpun yang menajiskannya.

10. Darah

Yang dimaksud darah disini adalah darah haidh, pendarahan yang dialami oleh wanita yang tengah hamil, nifas maupun darah yang mengalir, misalnya darah yang mengalir dari hewan yang disembelih. Menurut ijma ulama, seluruh darah tersebut adalah najis, tetapi dimaafkan jika terkena sedikit saja darinya. Sedangkan darah yang terdapat pada urat (daging hewan yang disembelih) juga diberikan keringanan dan dimaafkan.

Dalam kitab shahih Imam Bukhari disebutkan, "Bahwa orang-orang muslim pada permulaan datangnya islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti umar bin khathab yang mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir.

Adapun Abu Hurairah berpendapat bahwa keluarnya darah satu atau dua percikan ketika dalam melaksanakan shalat tidak membatalkan shalat tersebut. Juga diberikan keringanan pada nanah, darah bisul dan darah kutu. Namun diutamakan agar sedapat mungkin seseorang menghindarinya. Karena pada dasarnya, islam merupakan agama yang menjunjung tinggi akan kebersihan. Ibnu Taimiyah mengatakan, "Diwajibkan mencuci pakaian yang terkena nanah. Walaupun tidak terdapat satupunn dalil yang menajiskannya. Karena yang terbaik agar setiap orang semampu mungkin menghindarinya.

11. Khamer

Menurut jumhur ulama, khamer dihukumi najis. Firman Allah, Qs Al Maidah: 90.((((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((((((( (((((((((( (((((((((((((( (((((((((((( ((((((((((((( (((((( ((((( (((((( (((((((((((( ((((((((((((((( (((((((((( ((((((((((( (((("Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."

Sebagian ulama ada yang menyatakan, bahwa khamer itu pada dasarnya suci. Dalam hal ini mereka mengartikan "perbuatan keji" pada ayat tersebut sebagai perbuatan keji dalam pengertian maknawi. Karena lafadz rijsun (perbuatan keji) itu merupakan khabar (prediket) dari khamer dan yang diathafkan padanya. Khomer secara pasti disifati sebagai najis inderawi.

Imam Ash Shan'ani mengatakan, "Yang benar, adalah bahwa hukum pokok pada semua kewajiban adalah suci, sedangkan semua yang haram itu belum tentu najis.

12. Sisa Air Minum binatang.

Yaitu air yang tersisa didalam bekas tempat air minum. Mengenai air ini ada beberapa macam:

a. Sisa air minum anjing dan babi

Sisa air minum kedua binatang ini adalah najis dan harus dihindari. Rosululloh bersabda: "Apabila ada anjing yang meminum air didalam bejana salah seorang diantara kalian, maka hendaklah dia mencuci bejana tersebut sebanyak tujuh kali..

Sedangkan mengenai sisa air minum babi adalah karena airnya sangatlah kotor.

b. Sisa air minum bighal, keledai dan binatang buas

Sisa air minum hewan-hewan itu suci. Sabda Rasulullah, "Beliau pernah ditanya: Apakah kami boleh berwudhu dengan sisa air minum keledai? Beliau menjawab: Boleh demikian juga sisa air seluruh binatang buas.

Albaihaqi mengatakan, Hadits ini memiliki beberapa isnad yang apabila dipadukan menjadi kuat.

c. Sisa air minum kucing

Bahwasannya sisa air minum kucing adalah suci. Hal ini sesuai dengan hadits dari Kabsyah binti Kaab, menantu perempuan Abu Qatadah, bahwa Abu Qatadah pernah pernah datang kepadanya, dan iapun menyiapkan air wudhu untuk Abu Qatadah. Lalu seekor kucing hendak minum, dan Abu Qatadah memiringkan bejana itu sehingga semakin mudah bagi kucing tersebut meminumnya. Kabsyah berkata, Abu Qatadah mengetahui kalau aku melihatnya. Karenanya ia bertanya, apakah engkau heran, wahai putri saudaraku? Ya, jawabku. Selanjutnya Abu Qatadah berkata, rasulullah pernah bersabda: Sesungguhnya kucing itu termasuk diantara binatang piaraan yang mengelilinginya. Hr Khamsah.

d. Sisa air minum manusia

Sisa air minum orang lain, baik muslim maupun kafir, tengah berada dalam keadaan junub atau dalam keadaan haidh adalah suci. Adapun berkenaan dengan firman Allah Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Maksudnya adalah najis secara aqidah.2. BERSUCI DARI HADAST

Macam-macam hadas dan cara bersuci darinya.Hadas ada dua macam : 1. Hadas kecil. Penyebabnya adalah buang angin (kentut), buang air besar/kecil, keluarnya madzi dan wadi. Cara bersuci dari hadas ini cukup dengan wudlu dan tayamum.

2. Hadas besar : Penyebabnya adalah keluar mani, baik dalam keadaan sadar ataupun tidak, haidl, nifas, hubungan badan. Cara bersuci dari hadas ini harus dengan mandi janabah atau tayamum.

1. Wudlu.

Pembahasan wudlu mencakup pengertian wudlu, fardlu-fardlu wudlu, sunah-sunah wudlu, Hal-hal yang makruh, pembatal-pembatal wudlu dan hal-hal yang disunahkan ketika wudlu.2. Mengusap sepatuDefinisi mengusap khuf (sepatu)

Al-Mashu secara bahasa adalah menggerakkan tangan terhadap sesuatu.

Adapun secara Syar'i adalah mengusap dengan tangan dengan menggunakan air pada sepatu yang khusus, tempat yang khusus dan waktu yang khusus pula.

Al-khuf secara syar'i adalah sesuatu yang menutupi dua mata kaki baik yang terbuat dari kulit ataupun yang lainnya pada tempat yang khusus yaitu di luar sepatu bukan didalamnya dan dipakai pada waktu yang khusus pula. Definisi Khuf adalah semacam sadal yang terbuat dari kulit yang menutupi dua mata kaki.

(mengusap) menurut bahasa berasal dari kata yaitu meratakan tangan pada sesuatu dengan telapak tangan secara terbuka.

Sementara adalah mengusap dan membasahi khuf, pada tempat tertentu, dan waktu tertentu sebagai ganti dari mencuci kaki saat berwudhu'.

Pensyare'atan mengusap sepatu.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi mengomentari ayat diatas dari kalimat () menunjukkan kebolehan syariat mengusap sepatu. : ( )Dari Anas, Bahwa Nabi Saw bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian berwudhu' lalu memakai sepatunya, maka shalatlah dengan mamakainya, hendaklah ia mengusapnya, kemudian tidak perlu melepasnya selama yang engkau kehendaki kecuali dalam keadaan junub."

Ulama sepakat bahwa orang yang telah sempurna wudhu'nya lalu ia memakai sepatu, kemudian ia berhadast, maka ia boleh mengusap sepatuya.

Ibnu Mubarok berkata, "Tidak ada perselisihan di kalangan ahli ilmi bahwa mengusap sepatu adalah sesuatu yang di perbolehkan. Hukum mengusap sepatu.

Menurut jumhur Ulama' mengusap khuf di perbolehkan, walaupun membasuh kaki lebih baik. Menurut madzhab Hambali bahwa yang lebih utama adalah mengusap karena mengambil rukshoh.

Menurut Syikhul Islam Ibnu Taimiyah yang benar adalah bahwa yang lebih utama pada setiap orang sesuai dengan keadaan kakinya, bagi orang yang mengenakan khuf dianjurkan mengusapnya, dan tidak perlu melepasnya karena mengikuti Nabi Saw dan para sahabat, dan bagi orang yang kedua kakinya terbuka hendaknya dia membasuhnya, dan hendaknya dia tidak bersikeras mengenakan khuf agar dapat mengusapnya atau memaksakan diri melepasnya hanya karena ingin membasuh kakinya.

Dr Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, "Bahwasanya mengusap sepatu merupakan rukhsoh menurut imam yang empat, baik dalam safar maupun muqim lakilaki ataupun perempuan sebagai bentuk kemudahan bagi kaum muslimin, khususnya waktuwaktu musim panas dan musim dingin ketika safar atau para pegawai yang di tuntut untuk selalu siaga setiap saat seperti tentara, polisi dan para murid yang bekerja untuk kampusnya.

Batasan waktu mengusap sepatu.Menurut Jumhur Ulama' diantaranya Madzhab Hanafi, Hambali dan Imam Asy-Syafi'I dalam qaul jadidnya bahwa batas waktu mengusap khuf bagi musafir selama 3 hari 3 malam dan sehari seamalam bagi orang yang mukim.

Mereka mengambil dalil dalil dari :

Hadist Ali, bahwa Nabi Saw menjadikan 3 hari 3 malam bagi musafir dan sehari semalam bagi orang yang mukim.

Hadist Auf bin Malik Al Asyjai, bahwa Nabi Saw memerintahkan mengusap khuf pada waktu perang tabuk 3 hari 3 malam bagi musafir dan sehari semalam untuk yang mukim.

Hadist Shofwan bin Asal, dia berkata, "Rasulullah Saw memerintahkan kami apabila sedang berpergian agar tidak melapaskan khuf kami selama 3 hari 3 malam, kecuali ketika junub, namun tidak untuk buang air besar, kencing dan tidur.

Menurut pendapat Imam Malik, Al-Laits dan Imam Asy-Syafi'I dalam qoul qodimnya (pendapat lamanya) tidak adanya batasan waktu, boleh mengusap sepatu selama belum dilepas atau terkena najis.Mereka berdalil dengan beberapa hadis berikut :

Diriwayatkan oleh Ubay bin 'Amarah, dia berkata, "Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku boleh mengusap sepatu?" Beliau menjawab, "Ya." Aku berkata, "Sehari?" Dijawab, "Sehari." Aku berkata, Dua hari?" aku berkata lagi, "Tiga hari?" beliau menjawab, "Sesuka hatimu

Diriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit, dia berkata, "Rasulullah menjadikan untuk kami 3 hari, jika kami meminta tambahan niscaya akan di tambah. Yaitu mengenai mengusap khuf bagi musafir, meskipun benar tidak dapat dijadikan hujjah, karena hal itu merupakan perkiraan sahabat dan tidak dapat dijadikan dalih denganya.

Dari Anas bin Malik Nabi Saw berkata," Jika salah seorang diantara kalian berwudhu' lalu memakai sepatunya, maka shalatlah dengan memakainya, hendaklah ia mengusapnya, kemudian tidak perlu melepasnya selama kau kehendaki, kecuali ketika junub.

Perlu diketahui bahwa hadist hadist ini dloif.

Permulaan batas waktu mengusap.

Sufyan At-Tsauri, Imam Asy- Syafi'I dan Imam Abu Hanifah berpendapat di mulai ketika permulaaan hadast setelah memakainya. Mereka mengatakan demikian karena setelah berhadast adalah waktu yang di perbolehkan untuk mengusap, ini adalah waktu setelah mengusap..

Hasan Al Bahsri berpendapat bahwa ia terhitung di mulai pada waktu memakai.

Menurut pendapat Ahmad bin Hanbal, Al-Auza'I, Imam An-Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Utsaimin di mulai ketika permulaan pengusapan setelah berhadast, dan inilah pendapat yang paling kuat, berdasarkan sabda Nabi Saw, "Musafir mengusap" dan "Yang mukim mengusap". Tidak mungkin seseorang di katakan sebagai orang yang mengusap, kecuali setelah melakukan perbuatan mengusap itu sendiri dan tidak boleh berpaling dari kenyataan ini tanpa memiliki kejelasan.

Syarat syarat mengusap sepatu.

1. Seorang muslim mengenakan sepatu dan sejenisnya dalam kedaaan suci, kerena Rasulullah Saw bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu'bah Radliyallahu anhu ingin melepas kedua sepatu beliau untuk ia basuh dalam wudhu', "Biarkanlah kedua sepatumu, karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci"

2. Hendaknya sepatu menutup telapak kaki.

3. Sepatu harus tebal sehingga kulit tidak terlihat.

4. Masa mengusap tidak lebih dari sehari semalam bagi orang yang mukim, dan tidak lebih dari tiga hari tiga malam bagi musafir, karena Ali bin Abi Tholib Radliyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Saw menentukan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi orang yang mukim.

5. Seorang muslim tidak melepas sepatunya setelah mengusapnya. Jika ia melepasnya, ia wajib membasuh kedua kakinya. Jika tidak melakukan seperti itu maka wudhu'nya batal.

6. Hendaknya menutupi tempat-tempat kaki yang wajib dibasuh ketika wudhu

7. Sepatu tersebut hendaknya memungkinkan kuat untuk berjalan.

8. Syarat syarat ini merupakan syarat yang telah di sepakati diantara Fuqoha'.

Adapun syarat syarat yang masih di perselisihkan di kalangan fuqoha' adalah :

1. Hendaknya sepatu dalam keadaan tidak cacat seperti terbakar.

2. Hendaknya sepatu terbuat dari kulit.

3. Hendaknya memakai sepatu yang terbuat dari sesuatu yang mubah seperti halnya tidak terbuat dari kain sutra dan sepatu tersebut bukan dari hasil ghosob.

4. Tidak memakai sepatu yang terbuat dari kaca karena tidak menutupi tempat tempat wajib untuk di tutup.

Yang membatalkan mengusap sepatu.

Menurut pendapat Sayyid Sabiq hal hal yang membatalkan usapan sepatu adalah:

1. Selesainya masa pemakaian.2. Karena junub.3. Melepas khuf (tanpa ada sebab).

Menurut pendapat Dr Wahbah Az-Zuhaili :

1. Yang membatalkan usapan sepatu sebagaimana halnya pembatal pembatal wudhu' lainnya.

2. Jika dalam keadaan junub sedang ia memakai khuf atau jika ia berhadast yang mewajibkan baginya mandi seperti haid ketika masa pemakaian.

3. Melepas salah satu khuf atau keduanya.

4. Nampak sebagian anggota kaki seperti terbakarnya sepatu.

5. Menuangkan banyak air ke salah satu kaki pada sepatunya.

6. Habisnya masa pemakaian sepatu.

Tempat dan tata cara mengusap.

Yang disyare'atkan ketika mengusap khuf adalah bagian atasnya bukan bagian bawah, satu kali usapan, berdasarkan hadist Ali bin Abi Tholib, dia berkata, " Seandainya agama ini dengan akal niscaya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya, sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatu".(HR Abu Dawud 162, Daruqutni 73, dan Baihaqi 111). Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Al-Auzai, Ahmad, Abu Hanifah dan sahabatnya yang merupakan madzhab yang benar. Imam Malik dan Imam Asy- Syafi'I berpendapat mengusap bagian atas dan bawahnya, namun jika mengusap bagian atasnya saja, maka sudah mencukupi, berdasarkan hadist Al-Mughirah bin Syu'bah bahwa Rasulullah SAW berwudhu' lalu mengusap bagian bawah dan bagian atas sepatunya. Hadist ini lemah, melainkan yang benar dari Al-Mughirah melalui perkataanya, "Aku melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatunya". Maka tidak ada keterangan yang mengusap sepatu pada bagian bawah. Jika hanya mengusap pada bagian bawah tanpa bagian atas maka tidak mencukup (tidak sah).

Menurut Al- Hanafiyah : Dengan memakai tiga jari dari jari- jari tangan yang paling kecil, serta mengusapkan pada bagian kaki yang atas, cukup hanya sekali saja tidak boleh didalam sepatu, di belakangnya dan sampingnya serta tidak di sunnahkan untuk mengulanginya dan mengusap dibawah sepatu karena itu semua sudah terdapat didalam nash syarI.

Menurut Malikiyah: Hendaknya mengusap diatas sepatu secara keseluruhan dan di cintai mengusap bagian bawahnya.

Menurut pendapat Asy-Syafiiyyah: Cukupklah dinamakan mengusap sepatu seperti halnya mengusap kepala pada tempat tempat yang wajib di basuh dan inilah dhohir mengusap sepatu, bukan pada bagian bawahnya, sampingnya atau belakangnya karena dalam masalah mengusap sudah terdapat didalam nash secara mutlaq, dan tidak sah mengira- ngira pada sesuatu yang telah di tentukan, maka tentukanlah sesuai penyebutan nama mengusap secara umum seperti meratakan dengan tangan.

Menurut pendapat Al-Hanabalah: Yang sah dalam mengusap adalah hendaknya lebih banyak mengusap bagian atas sepatu dengan jari-jari dan tidak di sunnahkan mengusap dibawah atau di belakang sepatu.Kesimpulan :Menurut Dr Wahbah Az-Zuhaili : Bahwasanya yang wajib adalah mengusap seluruh yang nampak pada sepatu hal ini sesuai dengan pandapat Al- Malikiyah sebagaimana membasuh anggota tubuh ketika berwudhu' kemudian menggunakan tiga jari jari tangan sesuai dengan pendapat Al-Hanafiyah sebagaimana membasuh kepala ketika berwudhu' dan kebanyakan mengusap diatas sepatunya sesuai pendapat Al-Hanabalah hal didasar kan hadist Mughirah bin Syu'bah beliau berkata, "Aku melihat Rasulullah Saw mengusap di atas sepatunya. Menurut Sayyid Sabiq : Hendaknya khuf menutup segala yang terkena air wudhu' dan tempat yang di syare'atkan untuk mengusap adalah di atas sepatu sebagaimana hadist Mughirah, "Aku melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatunya". Dan perkataan Ali bin Abi Tholib, "Seandainya agama ini dengan akal niscaya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya, sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatu"

Hukum mengusap sepatu yang terkoyak.

Kebanyakan Ahlul fiqh memberikan syarat bagi khuf yang boleh untuk diusap yaitu yang menutupi bagian anggota wudhu' (kaki) yang harus dibasuh, mereka melarang sepatu yang robek kerena terlihat bagian anggota wudhu'nya yang wajib di basuh, karena tidak boleh di gabingkan antara membasuh dan mengusap, maka yang lebih di perhatikan adalah membasuhnya, inilah madzhab Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat boleh mengusap sepatu yang terkoyak selagi masih dapat dipakai berjalan dan masih di sebut namanya sepatu, menurut pendapat Tsauri, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Hazm, dan dipilih juga oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Taimiyah inilah yang benar, karena "di perbolehkannya mengusap" lafadznya umum, maka termasuk yang di dalamnya semua yang dinamakan sepatu dan tidak dapat di kecualikan antara yang satu dengan yang lainnya kecuali dengan dalil. Jika sepatu yang robek tidak boleh di usap, niscaya Nabi SAW akan menjelaskanya, terlebih lagi orang miskin di kalangan sahabat sangat banyak, dan yang jelas bahwa sepatu mereka banyak juga yang robek. 3.Mengusap jabiroh/gib atau yang sejenisnya.4.Tayamum

.

Pengertian tayamum

a. Secara bahasa : " Al-Qosdu " Artinya menyengaja

b. Secara syar'i. Para Fuqoha' mendefinisikannya dengan pengertian yang hampir sama. Berikut definisi tayamum menurut imam empat:1. Imam Abu Hanafiah mendefinisikan tayamum yaitu mengusap muka dan kedua tangan dengan menggunakan debu yang suci

2. Menurut Malikiyah tayamum adalah bersuci dengan debu atau tanah yang suci meliputi wajah dan kedua tangan di sertai niat

3. Menurut Syafi'iyyah tayamum adalah meratakan tanah ke wajah dan 2 tangan sebagai pengganti wudhu' atau mandi dengan syarat-syarat tertentu.

4. Menurut Hanabilah tayamum adalah mengusap muka dengan dua tangan dengan tanah yang suci dengan cara tertentu

Masyruiyah tayamum.Tayamum telah di tetapkan Berdasarkan dalil Al-qur'an maupun Al-hadist juga Ijma'

a. Dalil dari Al-qur'an yaitu surat al Maidah ayat 6.b. Dalil dari As-sunnah

c. Dalil ijma'

Hal-hal yang menyebabkan dibolehkannya tayamum.1. Tidak di dapati air atau di dapati tapi tidak cukup di gunakan untuk bersuci

2. Terdapat luka di anggota badan atau sedang sakit di takutkan jika terkena air akan bertambah parah

3. Jika air sangat dingin dan apabila di gunakan akan membahayakan

4. Takut di serang musuh / tidak aman tempat yang di gunakan untuk berwudhu'.5. Apabila air itu sedikit dan sangat di butuhkan untuk keperluan yang lain ( minum, masak )

6. Jika di takutkan waktu sholatnya akan habis, kalau harus mencari air wudlu.

Rukun-rukun tayamum.1. Niat 2. Debu / tanah yang suci.

3. Mengusap muka.4. Mengusap dua tangan sampai siku-siku. Ia harus melepas sesuatu yang menutupi anggota yang di usap seperti cincin

Sunnah-sunnah tayamum.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal-hal yang disunahkan dalam tayamum.1. Hanafiyah

Membaca basmalah, memukul dengan telapak tangan, mengusap kemuka dan tangan, menyela-nyela jari dan berurutan

2. Malikiyah

Urut ( wajah baru ke 2 tangan ), pukulan kedua untuk dua tangan dan membasuh sampai siku3. Syafi'iyyah

Membaca basmalah, di mulai dari mengusap wajah, mendahulukan kanan baru kiri dan menyela-nyela jari

4. Hanabilah

Membaca basmalah, tertib dan berurutan

Hal-hal yang membatalkan tayamum.Yang membatalkan tayamum adalah segala apa saja yang membatalkan wudhu'

Tata cara tayamumMemulai dengan do'a basmalah, meniatkan diri agar bisa mengerjakan ibadah yang sebelumnya tidak boleh, meletakkan kedua tangan di ats permukaan tanah atau pasir, atau batu, boleh juga baginya meniup tanah tersebeut kemudian di usapkan ke muka sekali lalu meletakkannya ke tanah lagi setelah itu kemudian mengusapkan ke kedua tangan hingga siku atau jika hanya pada telapak tangan saja tidak mengapa.

5. Mandi janabahPengertian mandi

Secara bahasa, mandi adalah mengalirkan air pada sesuatu secara mutlak. Adapun alghuslu artinya adalah sesuatu yang digunakan untuk mencuci seperti pasta, sabun, sampo dan lain sebagainya.

Secara istilah adalah mengguyurkan atau menyiramkan air yang bersih keseluruh sisi badan dengan cara yang khusus.

Dalam masalah mandi timbul permasalahan antar ulama, apakah yang dimaksud mandi hanya sekedar mengguyurkan air kebadan atau harus dibasuhkan sebagaimana dalam wudlu. Sebab perselisihan mereka karena adanya dua hadist yang bertentangan, yaitu hadist mandi yang menyebutkan dengan menggosok dan hadist Aisyah dan Mimunah, yang tidak disebutkan menggosokkan. Maka timbul perselisihan tersebut, antara yang memegang dhohir hadis dan yang mengambil qiyas.

Yang mewajibkan mandi1. Keluarnya mani dengan syahwat, baik dalam keadaaan tidur maupun sadar.

Jika seseorang merasakan adanya mani karena syahwat, lalu diperiksa kemaluannya dan tidak ada mani maka tidak mandi. Karena Nabi mengatakan wajibnya mandi dengan melihat mani.

2. Bertemunya dua kemaluan walau tidak kelaur mani.

Yaitu jima' dengan memasukkan dzakar atau memperkirakannya pada lubang yang di tuju, entah lubang senggama, lubang kencing atau anus. Baik laki-laki atau perempuan, sengaja atau terpaksa, tidur atau sadar.

Berkata Syafi'i, "Menurut orang Arab, yang dimaksud janabah itu jima', walau tidak keluar mani."

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Jika duduk dibawah empat bagian lalu beraktifitas (senggama) maka wajib mandi, keluar atau tidak (mani)." Dan dari Sa'id bin Musayyab bahwa Abu Musa Al 'Asy'ari berkata kepada A'isyah, "Saya mau bertanya kepadamu sesuatu hal tetapi aku malu?" dia menjawab, "Tanyalah dan jangan malu, karena aku adalah ibumu." Lalu ia bertanya tentang laki-laki yang menindihi (istrinya) tetapi tidak keluar mani. Jawabnya, "Jika kedua kemaluan bertemu, maka wajib mandi."

Tetapi harus disertai melihat, aktifitas (jima') apa yang baru dilaksanakan. Karena kalau hanya meyentuh atau meraba tanpa memasukkan dari salah satu subjek (istri atau suami) tidak wajib mandi.

Jumhur berkata, "Wajib mandi bagi yang jima' dengan mayit dan hewan, karena masuk keumuman hadits.".

Dan yang dimaksudkan dengan 'bertemu' adalah tidak sekedar orangnya bersandingan atau menempel saja tapi harus masuknya penis kelobang kencing perempuan.

.

3. Haid dan nifas

Seorang perempuan yang telah berhenti dari haid dan nifas, maka wajib baginya untuk mandi. Berdasarkan firman Allah,"janganlah kamu dekati mereka, sehingga mereka suci." Demikian juga sabda Rosul pada Fatimah Binti Abi Hubais RA," Tinggalkanlah Sholat beberapa hari yang kamu haid didalamnya, kemudian setelah selesai mandilah dan sholatlah!"

Terkhusus nifas hukumnya sama dengan haid. Dan jika wanita melahirkan dan tidak keluar darah, maka tetap wajib mandi..

Adapun wanita yang mengalami istihadoh tidak wajib mandi, tapi disunahkan pada saat terputusnya.

4. Meninggal dunia bukan sebagai syahid.

Seorang muslim yang meninggal dunia wajib dimandikan. Dalilnya adalah bahwa ada seseorang yang meninggal dari kendaraanya, maka Rosul berkata," Cucilah dengan daun bidara dan air dan kafanilah dengan dua lapis."

.

5. Masuk islam.

Hal ini berdasarkan hadist qois bin ashim, bahwa ketika dia masuk islam maka Rosulullah menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara."

Juga hadist Tsumamah al Hanafi yang tertawan lalu masuk islam, maka Rosulullah menyuruhnya mandi dan sholat dua rokaat.

Rukun mandi1. Niat,

Ini penting karena untuk membedakan dengan mandi biasa dan tempatnya adalah dihati, bukan harus dilafatkan. Apakah niat hukumnya wajib ataukah tidak?. Dalam hal ini terjadi silang pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama mewajibkannya seperti imam Maliki, Syafi'i, Ahmad, dan Daud beserta teman-temannya. Sementara Imam Abu Hanifah dan Sufyan At Tsauri tidak mewajibkan.

2. Mencuci semua anggota badan

Hal ini sangat penting karena hakekat mandi adalah mencuci anggota badan

Fardlu mandi

Meratakan kesemua badan dengan air, hingga membasahi rambut-rambutnya dan seluruh permukaan kulit. Apabila rambut itu diikat, maka cukup disiram ikatan tersebut selama air bisa masuk kedalam ikatan tersebut, tetapi apabila dengan membasahi rambut membahayakan dirinya, maka boleh ditinggalkanan.

Berkata Malikiyah," Hendaknya ikatan rambut tidak terlalu kencang sehingga air bisa masuk kedalamnya dan jika tidak bisa membasahi hingga pangkal rambutnya, maka harus dilepas".

Adapun bulu halus dimata dan dihidung, maka tidak harus membasahinya.,

Berkumur dan isytinsak (memasukkan air kedalam hidung).

Menurut Hanafiyah dan Hanabilah hukumnya wajib. Menggosok anggota badan dan berurutan.

Yang dimaksud menggosok disini adalah menggosokkan salah satu anggota tubuh ke tubuh lainnya, baik kaki ataupun tangan, maka tidak mengapa menggosok kaki dengan kaki. Para fuqoha sepakat bahwa berurutan dan tertib hukumnya tidaklah wajib. Adapun menggosok, menurut Malikiyah hukumnya wajib, walaupun dengan pelindung. Apakah perempuan harus membersihkan 'bagian' dalam kemaluaanya?

Menurut Syaihul islam seorang perempuan yang mandi besar tidak harus membersihkan bagian dalam kemaluannya..

Cara mandi Rosul

Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan dari Aisyah dan Maimunah (Muttafaqu alaihi) tentang sifat mandi rosul adalah sebagai berikut:

1. Dimulai dengan mencuci kedua tangannya.

2. Menggosokkan sebelah kanan lalu sebelah kirinya.

3. Mencuci kemaluannya.

4. Berwudlu. Ulama ijma' bahwa wudlu sebelum mandi adalah sunah karena meniru rosulullah. demikian dalamkitab al mughni..

Sunah-sunah ketika mandi besar

Rosulullah saw telah menjelaskan tata cara mandi sesuai yang sesuai dengan syari'at dan itu menjadi dalil bagaimana kita haarus melakukan mandi baik mandi wajib maupun mandi sunah,yang menurut mazhab hanabillah ada 10 macam,yaitu: Niat, membaca basmalah, mencuci kedua tangannya tiga kali, mencuci yang ada kotorannya, berwudlu, menuangkan air pada kepala tiga kali dan membasahkan pada pangkal-pangkal rambut, mengalirkan air keseluruh badan dimulai dengan bagian kanan dan menekan seluruh badannya dengan tangan dengan berpindah ketempat lainnnya hingga sampai pada kakinya. Dan disunahkan hendaknya menyela-nyela pada pangkal rambutnya dan juga pada jenggotnya sebelum mengguyurnya.

Adapun urutan secara detailnya,maka ada perselisihan diantara madzhab-madzhab yang ada:

1. Dimulai dengan mencuci kedua tangan dan kemaluannya, kemudian menghilangkan najis-najis pada badannya.2. Berwudlu sebagaimana wudlu dalam sholat, tanpa mencuci kaki dulu jika airnya tergenang lalu mencucinya setelah menyingkir atau bila dia berdiri diatas kayu atau batu atau yang lainnya, menurut madzhab hanafiyah, wudlunya dengan berkumur dan istinsak yang diwajibkan menurut madzhad hanafi dan madzhab ahmad. Dan dengan mengusap kedua telinganya menurut madzhad imam malik.

3. Mencuci dengan cermat semua anggota badannya, menurut madzhab syafiiyyah dengan menggambil lalu memasukkannya pada tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh air, seperti dua telinga, sekitar perut sampai kelubang pusarnya dan juga diulangi pada bagian telinganya lalu dimasukkan juga kedalam daun telinganya sampai kebagian bawahnya juga, lalu memeriksa juga bagian lengan dan ketiaknya, juga kedua buah payudaranya sampai pada pusarnya.

4. Mengguyurkan air pada kepalanya dan menyilang-nyilang rambut, lalu keseluruh badannya tiga kali dari bagian kanannya lalu bagian kirinya,sebagaimana dalam hadist

: " "yaitu mendahulukan yang kanan daripada yang kiri- juga dengan memeriksa pangkal-pangkal rambutnya karena dalam hadist disebutkan;

yang artinya adalah disetiap rambut adalah harus dicuci dalam janabat"dan disunahkan untuk menekan dan memijit seluruh anggota badannya karena bisa lebih bersih dan harus yakin bahwa air sudah merata keselurah anggota badannya.

Menurut madzhab Hanafi:"jika dia mandi pada tempat yang mengalir atau yang sepertinya dan berhenti disitu maka sudah melengkapi sunnah"

Para madzhab sepakat bahwa tidak diwajibkan untuk barurutan karena pada hakekatnya badan itu adalah satu, dan berbeda dengan wudlu. Adapun mengurai rambut adalah wajib menurut Syafiiyyah jika air tersebut tidak sampai pada pangkal rambutnya.dan secara umum adalah sunah sebagaimana hadis dari Aisyah bahwasannya Rosulullah berkata kepadanya ketka dia dalam keadan haid:

"uraikannlah rambutmu dan mandilah!"

Disunahkan menurut madzhab Hanabilah dengan menggunakan daun bidara, atau sabun bagi yang mandi dikarenakan baru masuk islam, dengan dalil hadist dari Ashim, ketika dia baru masuk islam,"bahwasannya dia baru saja masuk islam, maka Rosulullah menyuruh agar mandi dengan daun bidara (sabun kalau jaman sekarang)".juga pada mandi haid dan mandi nifas dengan dalil hadist A'isyah dari Imam Bukhori, dan Hadis dari Asma' yang diriwayatkan oleh imam Muslim.

Dan disunahkan menurut madzhab syafiiy dan hambali, agar disertai dengan memasukkan pada kemaluannya dengan kapas atau kain dan diberi wewangian agar hilang bau bekas darah haid dan nifas tersebut dan makruh meninggalkannya tanpa udzur karena hadist

:

: (( ) : , , : : , , , , ))

Dari aisyah "bahwasannya ada seorang wanita yang datang kepada nabi saw menanyakan tentang mandi karena haid,maka berkata:ambilah sedikit minyak wangi lalu bersihkanlah padanya,dia bertanya lagi: bagaimana caranya?jawab rosul: maha suci allah!lalu dia bersembunyi dibalik pakaiannya, kamu cuci dengannya lalu aisyah, dan dia mengetahuinya bahwasannya dusapkan pada bekas darah tersebut"

Dan tidak disunahkan memperbaharui mandi untuk melaksanakan sholat karena mengandung keberatan, berbeda dengan wudlu.

Takaran air untuk mandi besar

Disunahkan menurut Madzhab Syafi'i Dan Hanbali agar tidak kurang dari sekitar satu sho',yaitu 4 mud atau setara dengan 2175 ghom ,karena hadist dari muslim dari Sufainah," adalah rosulullah mandi dengan satu sho' dan berwudlu dengan satu mud"

Dan tidak ada batasan minimal dalam air wudlu dan mandi, walaupun kurang dari itu asalkan cukup.karena perintahnya adalah mencucinya(ghusl)dan apabila lebih dalam penggunaannya maka hal itu tidak mengapa.dengan dalil" saya (Aisyah) pernah mandi bersama rosulullah dalam satu bejana yang disebut dengan faroq(1 faroq = 16 rotl menurut ukuran iraq)

Menurut madzhab hanafi dan maliki"tidak ada pembatasan dalam ketentuan air mandi dan air wudlu karena berbedanya keadaan manusia,dan hendaknya oranag yang mandi tidak berlebih-lebihan dan juga terlalu hemat"

Tentang pengunaan air, jika terlalu banyak, apakah makruh? menurut Ibnu Taimiyah " Dan salah satu tanda dari kefakihan seseorang adalah tidak boros dalam mengunakan air"..

Hal-hal yang makruh ketika mandi besar

Menurut madzhab hanafi, sama pada hal-hal yang dibenci pada wudlu, yaitu ada 6 hal:boros air, taqtir, memukul wajahnya, berbicara , dengan bantuan orang lain tanpa udzur, dan do'a di kamar mandi.

Menurut madzhab maliki ada 5 yaitu; boros, taknis fiamalihi, mengulanginya jika merasa kurang sempurna, mandi ditempat yang ada Wcnya berbicara selain dzikir."

Menurut madzhab syafi'I" boros, dalam air yang tergenang, lebih dari 3 kali, tanpa kumur dan istinsak. Selain itu makruh bagi orang yang junub, haid dan nifas untuk makan, minum, tidur dan jima' sebelum mencuci kemaluannya dahulu dan berwudlu"

Menurut madzhab hambali" boros walaupun dalam air yang mengalir karena hadist "bahwasannya nabi melewati Saad dan dia berwudlu, maka beliau" kamu boros Saad?"jawabnya" apakah dalam wudlu ada boros?"sabdanya" ya, walaupun kamu dalam air yang mengalir"

Dan dimakruhkan mengulangi wudlunya setelah sebelumnya sudah, kecuali dia memegang kemaluanya atau hal lain yang membatalkann wudlu seperti memegang perempuan dengan syahwatl, dengan dalil "nabi tidak berwudlu setelah mandi"

REFERENSI

1. Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Cet: I tahun 1998, Pustaka Al Kautsar2. Manhajus Salikin Wa Taudhihu Al Fikh Fie Addin, Syaikh Al Alamah Abdurrahman Bin Nashir Ash Sa'di, Edisi Indonesia Pedoman Praktis Fikih Setiap Muslim, Cet I, tahun 2002 M Pustaka Dar El Hujjah Jakarta3. Al Fikhu Al Islamiyah Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az Zuhaily Cet IV tahun 1997 M, Dar Al Fikr4. Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Cet: Ke IV tahun 2002 M, Pustaka Darul Falah.5. Dr. Shaleh Fauzan bin Abdullah Fauzan, Al Mulakhas Fiqhi, Dar 'Ashimah Riyadh, Cet I, th 1423 H, juz 1.6. Dr. Musthafa Al Khin ,Dr. Musthafa Al Bugha Dan Aly As Syaryahi, Al Fiqhul Manhaji Al Madzhabil Imam As Syafii, Darul Qalam Damsyiq, Cet 2 th 1998.7. Ibnu Qudamah, Al mughni, Hajr kairo, cet I th 1986.8. Ta'liqat Ar Radhiyah Ala Raudhtun Nadiyah, Lilalamah Shiddiq Hasan Khan Biqalam Syaikh Nashirudin Albani, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cet 1 th 19999. Fikhu Sunnah Al Ibadat, Said Qutub, Jilid I-V, Cet Ke IV tahun 1403 H/1983 M, Pustaka Dar Al Fikr10. Al Umdah Fi Al Ahkam Fi Ma'alim Al Hilal Wa Al Hiram, Al Hafidh Abdul Ghani Bin Abdil Wahid Al Maddisy Al Jama'ily, Cet I, Pustaka Dar Al Kutub Al 'Ilmiyah Bairut Libanan11. Fatawa Lillajnah Ar Raimah Lilbuhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta', Jamu Wa At Tartib Syaikh Ahmad Bin Abdir Raziq Ad Duwaisy, Cet ke III tahun 1421 H/2000 M, Dar Balnisiyah12. Bidayah Al Mujtahid Wa Nihayatu Al Muqtashid, Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rusd Al Qurthuby, cet I tahun 1418 H/1997 M, Pustaka Dar Al Ma'rifah13. Majmu' Al Fatawa, Taqiyuddin Ahmad Bin Taimiyah Al Hirany, Cet II tahun 1419 H/1998 M, Pustaka Dar Ibnu Hazm14. Al Wajiz Fi Fkhi As Sunnah Wa Al Kitab Al 'Aziz, Abdul Adhim Bin Badawy, Cet ke II tahun 1421 H/2001 M, Dar Ibnu Rajab15. Ar Raudhatu An Nadiyah Syarhu Ad Duraru Al Bahiyah, cet tahun 1398 H/1978 M, Pustaka Dar Al Ma'rifah16. Tamamul Minnah Fie At Taqliq 'Ala Fikhi As Sunnah, Syaikh Muhammad Nassirudin Al Albani Edisi Indonwsia Tamamul Minnah koreksi dan komentar secara ilmiyah terhadap kitab fikhu sunnah karya Sayid Kutub, cet I tahun 1422 H/2001 M, Pustaka Maktabah Salafy Press17. Asysyarhu Al Kabir Liibni Qudamah Al Maqdisy, Syaikh Al Imam Syamsudin Abi Al Farj Abdirrahman Bin Abi Umar Bin Ahmad Bin Qudamah Al Maqdisy, Dar Kulliyah Asy Syariyah Yaqutun Nafis fi mazdhabi ibni Idris, Ahmad bin Umar Assathiri Al alawi Al Hisaini: 17

Manarussabil fi syarhi dalil Ibrahin bin Muhammad bin Salim: 1/ 25

Yaqutun Nafis fi mazdhabi ibni Idris, Ahmad bin Umar Assathiri Al alawi Al Hisaini: 18

HR. khamsah dan dishahihkan oleh at tirmizdi , Lihat di irwaul ghalil no. 9

HR. Khamsah kecuali ibnu Majah An Nasa'i dan menurut At Tirmizdi hadits ini hasan

Nailul authar, imam asy Syaukani: 1/33

HR. muttafaq alaih

HR. An Nasa'i dan tirmizdi dan beliau menshahihkannya

HR. Bukhari , lihat di irwaul ghalil no. 19

Dr. Musthafa Al Khin ,Dr. Musthafa Al Bugha Dan Aly As Syaryahi, Al Fiqhul Manhaji Al Madzhabil Imam As Syafii, jilid I/38

Qs Al Mudatsir: 4.

Ays Shalatu 'Ala Al Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat Empat Madzhab, hal: 38-39

Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid I/30

Manhajus Salikin Wa Taudhihu Al Fikh Fie Addin, Syaikh Al Alamah Abdurrahman Bin Nashir Ash Sa'di, Edisi Indonesia Pedoman Praktis Fikih Setiap Muslim, hal: 29

Ibid Yang Dinukil Dari Kitab Al Mukhtarak Al Jaliyah

Ays shalatu 'Ala Al Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat Empat Madzhab, hal: 30 dan dalam kitab Al Wajiz Fi Fkhi As Sunnah Wa Al Kitab Al 'Aziz, Abdul Adhim Bin Badawy, hal: 25

Qs Al Anam: 145

Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia, "Fikih Wanita", hal: 21

Al Jami Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia, Fikih Wanita, Hal: 16

QS al-An'am : 145

Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 15

Muttafqun 'alaih

Fikhu Sunnah Al Ibadat, Said Qutub, jilid I/27

Al Jami Fil Fikhi An Nisa , Syaikh Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita , Hal: 16

Imam bukhari, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah Dari Abu Hurairah.

Fatawa Lillajnah Ar Raimah Lilbuhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta', Jamu Wa At Tartib Syaikh Ahmad Bin Abdir Raziq Ad Duwaisy, jilid V/378

Dr. Shaleh Fauzan bin Abdullah Fauzan, Al Mulakhas Fiqhi, jilid I/78

Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 19

Ibnu Mundir dari Aisyah

Ibid

Diriwayatkan Imam Bukhari dari Ali Bin Abi Thalib., Al Umdah Fi Al Ahkam Fi Ma'alim Al Hilal Wa Al Hiram, Al Hafidh Abdul Ghani Bin Abdil Wahid Al Maddisy Al Jama'ily, hal: 43

Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal:17

HR Ahmad, an nasai, abu dawud dari umar bin syuaib adari ayahnya dari kakeknya

Al Jami'filfikhi An Nisa', Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 21

HR Daruqudny, Baihaqy, dan Thahawy dari Ibnu Abbas

Ays Shalatu 'Ala Al Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat Empat Madzhab, hal , 36

Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 20

Ibid

QS al-Maidah : 90

Al Jami Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 18

Al Jami' Fil Fikhi An Nisa', Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 22-23

HR Imam bukhari dan muslim dari Abu Hurairah

Imam Syafii, Daruquthni, Al Baihaqi dari Jabir

Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/317.

Shahih fiqh sunah, Abu Malik Kamal bin Sayid Salim, maktabah At-Taufiqiyah, jilid 1 hal 149.

QS. Al- Maidah:6

Minhajul Muslim Hal 161.

HR Hakim

shahih fiqh sunah 149.

Al- Majmu' 1/305.

Al-Ikhtiyaraat 13.

Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/317.

HR Muslim 276

HR Ahmad dan Ibnu Majah 556

HR Abu Daud 158

HR Abu Daud 157

HR Baihaqi

Shohih Fiqh Sunnah 150 151.

Al-Mughni 1/291

Al- Iklil Syarh Manar As-sabil, Syekh Wahid Abdusslam 1/136

Shohih Fiqh Sunnah 150 151.

HR Mutafaq alaih

HR Muslim

Minhajul Muslim hal 178.

Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/326.

Idem hal 327

Fiqh Sunnah 1/60.

.Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/338.

HR Abu Dawud 165, At-Tirmidzi 98

Shohih fiqh Sunnah 232 terj.

Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/321.

HR Abu Dawud

Fiqhu Sunnah 1/60.

Shohih Fiqh Sunnah 1/231 terj.)

Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu. Juz 1 hal 406

Fiqih sunnah juz 1 hal 66

Idem 67-69

Al-Fiqh 'Ala Mazdahibil Arba'ah. Juz 1 Hal 146

Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu. Juz 1 hal 445-447

Dr. Wahbah Az-Zuhaily Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy, Darul Fikr, Beirut, Cet IV, 1418 H / 1997 M, Juz 1 hal 512

Imam Abu Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Rusd Al Qurtuby,Darul Ma'rifah,Beirut,Cet 1 1418/1997,Tahqiq Abdul Majid To'mah,Juz 1,hal 77-79

Doktor Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 517

HR. Ahmad dan Muslim.

HR. Ahmad dan Muslim dan lafadz yang muhtalifah

ibid

ibid hal 153

muttafaqun alaihi

Sayyid Sabiq,Fiqhu Sunah,Darl Fikr,Cet 4-1403/1983,Juz 1,hal57

Dr Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 520

mutafaq alaihi dari Ibnu Abbas

HR lima kecuali Ibnu Majah dalam nailul autor 1/224

HR Ahmad dan lafadnya dari Bukhori dan Muslim

Sayyid Sabiq,Fiqhu Sunah,Darl Fikr,Cet 4-1403/1983,Juz 1,hal 63

Ibnu Rusd Al Qurtuby,Darul Ma'rifah,Beirut,Cet 1 1418/1997,Tahqiq Abdul Majid To'mah,Juz 1,hal 179

Sayyid Sabiq,Fiqhu Sunah,Darl Fikr,Cet 4-1403/1983,Juz 1,hal 63

Dr Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 523

ibid hal 525

Dr Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 527

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Majmu' Fatawa,Darul Wafa',Cet 2,1998-1419,Juz 21 hal 170

Fiqih Islam Hal 522

HR Ibnu Majah Dengan Sanad Yang Shohih

Hr Ahmad,Abu Daud,Dan Tirmidzi Dan Ia Menghasankannya

Fiqih Islam ,Hal 532

nailul author ,1/250 dan setelahnya.

Majmu' Fatawa ,juz 21,hal 270-271

Hr Ibnu Hibban

PAGE 10