makalah striktur uretra
-
Upload
arum-dwi-setiarini -
Category
Documents
-
view
127 -
download
70
description
Transcript of makalah striktur uretra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Urine di keluarkan melalui uretra. Uretra wanita jauh lebih pendek dari
pada uretra pria hanya 4 cm panjangnya di bandingkan dengan panjang
sekitar 20 cm pada pria. Perbedaan anatomis menyebabkan insiden infeksi
saluran kemih asendens lebih tinggi pada wanita. dengan demikian hitung
koloni yang lebih dari 100.000 sel bakteri permililiter urin di anggap
bermakna patologis. Sfingter internal bagian atas di tempat keluar dari
kandung kemih, terdiri atas otot polos dan dibawah pengendalian otonom.
Sfingter eksternal adala otot rangka dan berada di bawah pengendalian
folunter. Uretra pada pria memiliki fungsi ganda sebagai saluran untuk urin
dan spermatozoa melalui koitus. Striktur urethra merupakan penyakit atau
kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra akibat
adanya obstruksi. Striktur urethra di sebut juga penyempitan akibat dari
adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau
daerah urethra.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan striktur uretra ?
2. Bagaimana etiologi dari striktur uretra ?
3. Bagaimana patofisiologi dari striktur uretra ?
4. Apa saja manifestasi klinis dari striktur uretra ?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang dari striktur uretra ?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari striktur uretra ?
7. Apa saja komplikasi dari striktur uretra ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan dari striktur uretra ?
1
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi striktur uretra
2. Mengetahui etiologi striktur uretra
3. Memahami Patofisiologi striktur uretra
4. Mengetahui manifestasi klinis striktur uretra
5. Mangetahui pemeriksaan penunjang striktur uretra
6. Mengetahui Penatalaksanaan striktur uretra
7. Mengetahui komplikasi dari striktur uretra
8. Mengetahui Asuhan Keperawatan striktur uretra
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Striktur urethra adalah penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra
akibat adanya obstruksi (long,1996). Striktur uretra lebih sering terjadi pada
pria daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra (C. Long ,
Barbara;1996 hal 338). Striktur urethra adalah penyempitan akibat dari
adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra atau
daerah urethra.(UPF Ilmu Bedah, 1994). Striktur uretra adalah penyempitan
lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan kontraksi (C. Smeltzer,
Suzanne;2002hal 1468).
Stricture urethra (striktur uretra) adalah penyempitan lumen uretra
karena fibrosis pada dindingnya akibat infeksi, trauma uretra atau kelainan
kongenital.
B. Epidemiologi
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada
bagian duniatertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada
wanita, karena uretra pada wanitalebih pendek dan jarang terkena infeksi.
Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkanstriktur. Orang dapat
terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal itu jarang terjadi.
C. Etiologi
1. Kongenital
a. Meatus kecil pada meatus ektopik pada pasien hipospodia.
b. Divertikula kongenital, merupakan penyebab proses striktur uretra.
2. Didapat
a. Cedera uretral
3
Cedera ini meliputi cedera akibat insersi peralatan bedah selama
operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sitoskopi.
b. Cedera akibat peregangan
c. Cedera akibat kecelakaan
d. Uretritis gonorheal yang tidak ditangani
e. Infeksi
f. Spasmus otot
g. Tekanan dari luar misalnya pertumbuhan tumor
D. Patofisiologi
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada urethra akan
menyebabkan terbentuknya jaringan sikatriks pada urethra. Jaringan sikatriks
pada lumen urethra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine.
Aliran urine yang terhambat akan mecari jalan keluar di tempat lain (di
sebelah proksimal striktur) dan akhirnya akan mengumpul di rongga
periurethra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periurethra yang kemudian
pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak
sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa.
Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter
dan ginjal. Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat
orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri
dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi
penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh
jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini
menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehingga
terjadi striktur uretra.
4
E.
Manifestasi Klinis
1. Pancaran air kencing lemah
2. Frekuensi
Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih
dari tujuh kali. Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia.
Dikatakan nocturia apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali,
dan keinginan kencingnya itu sampai membangunkannya dari tidur
sehingga mengganggu tidurnya.
3. Inkontinensia paradoxal
Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin
yang terus menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada
tekanan di uretra. Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol.
5
Jadi disini terlihat adanya perbedaan antara overflow inkontinensia
(inkontinesia paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow
incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus spshincter urtetra,
urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada overflow
incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh),
namun urin keluar tanpa bisa dikontrol.
4. Dysuria dan hematuria
5. Gejala infeksi
6. Retensi urinarius
7. Adanya aliran balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis dan
pielonefritis
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap/terang, penampilan
keruh, pH : 7 atau lebih besar, bakteria.
b. Kultur urin: adanya staphylokokus aureus. Proteus, klebsiella,
pseudomonas, e. coli.
c. BUN/ kreatin : meningkat
d. Uretrografi: adanya penyempitan atau pembuntuan uretra. Untuk
mengetahui panjangnya penyempitan uretra dibuat foto iolar (sisto)
uretrografi.
e. Uroflowmetri : untuk mengetahui derasnya pancaran saat miksi
f. Uretroskopi : Untuk mengetahui pembuntuan lumen uretra.
G. Penatalaksanaan
Menurut Basuki B. Purnomo; 2000 hal 126 dan Doenges E. Marilynn, 2000
hal 672 penatalaksanaan dari striktur adalah :
1. Filiform bougies untuk membuka jalan jika striktur menghambat
pemasangan kateter.
2. Medika mentosa
6
a. Analgesik non narkotik untuk mengendalikan nyeri.
b. Medikasi antimikrobial untuk mencegah infeksi.
3. Pembedahan
a. Sistostomi suprapubis
Metode diversi urin yang jarang dilakukan adalah sistostomi
suprapubis. Kateter khusus biasanya dimasukkan ke kandung kemih
melalui insisi dinding abdomen bawah atau melalui pungsi dengan
trokar. Umumnya, sistostomi dilakukan pada pasien yang mengalami
obstruksi pada bagian bawah kandung kemih ( obstruksi prostatik )
yang menyebabkan kateter uretral tidak dapat dimasukkan.
Sistostomi dapat bersifat sementara ( sampai bedah korektif
dilakukan ) atau permanen.
b. Businasi ( dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-
hati. Businasi merupakan tindakan yang berupa pelebaran canalis
analis.
c. Uretrotomi interna : memotong jaringan sikatrik uretra dengan pisau
otis/ sachse. Otis dimasukkan secara blind ke dalam buli–buli jika
striktur belum total. Jika lebih berat dengan pisau sachse secara
visual.
d. Uretritimi eksterna : tondakan operasi terbuka berupa
pemotonganjaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis
diantara jaringan uretra yang masih baik.
H. Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih.(prostatitis, sistitis, divertikel buli-buli/uretra, abses
periuretra, batu uretra, fistel utero-kutan.
2. Degenerasi maligna menjadi karsinoma uretra
7
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Meliputi nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama, suku, bangsa,
pekerjaan, no. MRS, diagnose medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama: biasanya klien mengeluh pancaran urin berkurang.
b. Riwayat penyakit sekarang: bisanyanya kekuatan pancaran dan jumlah
urin berkurang, adanya gejala infeksi, dan adanya retensi urin.
c. Riwayat penyakit dahulu: biasanya klien mengalami mengalami
DM,kecelakaan, pernah mengalami pembedahan, dan pernah
mengalami infeksi.
d. Riwayat penyakit keluarga: biasanya ada keluarga yang mengalami
DM.
e. Rwayat lingkungan: biasanhya klien tinggal di lingkungan yang
kurang bersihatau kumuh yang dapat menyebabkan infeksi.
3. Pemeriksaan fisik
a. TTV
TD: biasanya>120/80 mmHg
RR: biasanya normal.
N: biasanya >100 x/menit
S: biasanya >37,5OC
b. Kepala dan leher: biasanya tidak ada kelainan.
c. Thoraks: biasanya tidak ada kelainan.
d. Abdomen: biasanya tidak ada kelainan.
e. Genitalia: biasanya terjadi tanda dan gejala infeksi, retensi urin,
pancaran danjumlah urin berkurang.
8
f. Ekstremitas: biasanya tidak ada kelainan.
4. Pola fungsi kesehatan
a. Sirkulasi
Tanda: peningkatan TD ( efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala: penurunan aliran urin, ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan frekurnsi berkemih
Tanda: adanya masa/sumbatan pada uretra
c. Makanan dan cairan
Gejala: anoreksia, mual muntah, penurunan berat badan.
d. Nyeri/ kenyamanan
Tanda : Nyeri suprapubik
e. Keamanan : demam
f. Penyuluhan/ pembelajaran
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre- Operasi
a. Perubahan pola eliminasi b.d jumlah urin berkurang.
2. Post- Operasi
a. Nyeri b.d insisi bedah sitostomi suprapubik
b. Perubahan pola eliminasi perkemihan b.d sitostomi suprapubik
c. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah
sitostomi suprapubik
C. Intervensi
1. Perubahan pola eliminasi b.d jumlah urin berkurang.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam eliminasi urine
normal dan tidak terjadi retensi urine.
Kriteria Hasil :
a. Klien akan berkemih dalam jumlah normal tanpa retensi.
9
b. Klien akan menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung
kemih.
c. Tidak terdapat bekuan darah sehingga urine lancer lewat kateter.
Intervensi :
a. Pemantauan output urine dan karateristik.
b. Mempertahankan irigasi kemih yang konstan selama 24 jam.
c. Mempertahankan kepatenan dauer kateter dengan irigasi.
d. Mengusahakan intake cairan (2500 – 3000).
e. Setelah kateter diangkat, terus memantau gejala-gejala gangguan pola
eliminasi BAK
2. Nyeri b.d insisi bedah sitostomi suprapubik
Tujuan : nyeri berkurang/ hilang
Kriteria hasil:
a. Melaporkan penurunan nyeri
b. Ekspresi wajah dan posisi tubuh terlihat relaks
Intervensi:
a. Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama dan faktor pencetus dan penghilang
nyeri.
b. Kaji tanda nonverbal nyeri ( gelisah, kening berkerut, mengatupkan
rahang, peningkatan TD).
c. Berikan pilihan tindakan rasa nyaman.
d. Bantu pasien mendapatkan posisi yang nyaman.
e. Ajarkan tehnik relaksasi dan bantu bimbingan imajinasi.
f. Dokumentasikan dan observasi efek dari obat yang diinginkan dan
efek sampingnya.
g. Secara intermiten irigasi kateter uretra/ suprapubis sesuaiadvis,
gunakansalin normal steril dan spuit steril.
h. Masukkan cairan perlahan-lahan, jangan terlalu kuat.
i. Lanjutkan irigasi sampai urin jernih tidak ada bekuan.
10
j. Jika tindakan gagal untuk mengurangi nyeri, konsultasikan dengan
dokter untuk penggantian dosis atau interval obat
3. Perubahan pola eliminasi perkemihan b.d sitostomi suprapubik
Kriteria hasil:
a. Kateter tetap paten pada tempatnya.
b. Bekuan irigasi keluar dari dinding kandung kemih dan tidak
menyumbat aliran darah melalui kateter.
c. Irigasi dikembalikan melalui aliran keluar tanpa retensi.
d. Haluaran urin melebihi 30 ml/ jam.
e. Berkemih tanpa aliran berlebihan atau bila retensi dihilangkan.
Intervensi :
a. Kaji uretra dan atau kateter suprapubis terhadap kepatenan.
b. Kaji warna, karakter dan aliran urin serta adanya bekuan melalui
kateter tiap 2 jam.
c. Catat jumlah irigan dan haluaran urin, kurangi irigan dengan haluaran,
laporkan retensi dan haluaran urin <30 ml/ jam.
d. Beritahu dokter jika terjadi sumbatan komplet pada kateter untuk
menghilangkan bekuan
e. Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu sesuai instruksi.
f. Gunakan salin normal steril untuk irigasi.
g. Pertahankan tehnik steril.
h. Masukkan larutan irigasi melalui lubang yang terkecil dari kateter.
i. Atur aliran larutan pada 40-60 tetes/ menit atau untuk
mempertahankan urin jernih.
j. Kaji dengan sering lubang aliran terhadap kepatenan.
k. Berikan 2000-2500 ml cairan oral/hari kecuali dikontraindikasikan.
4. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah
sitostomi suprapubik
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil :
11
a. Suhu tubuh pasien dalam batas normal.
b. Insisi bedah kering, tidak terjadi infeksi.
c. Berkemih dengan urin jernih tanpa kesulitan.
Intervensi:
a. Periksa suhu setiap 4 jam dan laporkan jikadiatas 38,5C.
b. Perhatikan karakter urin, laporkan bila keruh dan bau busuk.
c. Kaji luka insisi adanya nyeri, kemerahan, bengkak, adanya kebocoran
urin, tiap 4 jam sekali.
d. Ganti balutan dengan menggunakan tehnik steril.
e. Pertahankan sistem drainase gravitas tertutup.
f. Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.
g. Pantau dan laporkan jika terjadi kemerahan, bengkak, nyeri atau
adanya kebocoran di sekitar kateter suprapubis.
12
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Stricture urethra (striktur uretra) adalah penyempitan lumen uretra karena
fibrosis pada dindingnya akibat infeksi, trauma uretra atau kelainan kongenital.
Striktur uretra dapat disebabkan karena faktor herediter atau kongenital
ataupun secara didapat. Sedangkan pemeriksaan penunjang dari striktur uretra
meliputi urinalisis, kultur urin, BUN/ kreatin, uretrografi, uroflowmetri dan
uretroskopi.
Penatalaksanaan dari striktur uretra meliputi : filiform bougies, medika
mentosa dan pembedahan.Sedangkan komplikasi yang dapat timbul pada klien
dengan striktur uretra meliputi infeksi saluran kemih dan degenerasi maligna
menjadi karsinoma uretra.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan strikrur uretra
meliputi diagnosa pre- operasi : perubahan pola eliminasi b.d jumlah urin
berkurang, dan diagnosa post- operasi : nyeri b.d insisi bedah sitostomi
suprapubik, perubahan pola eliminasi perkemihan b.d sitostomi suprapubik dan
resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah sitostomi
suprapubik.
13