Laporan Kasus Striktur Uretra
-
Upload
arif-zainuddin-noor -
Category
Documents
-
view
589 -
download
44
description
Transcript of Laporan Kasus Striktur Uretra
Laporan Kasus
STRIKTUR URETRA
oleh:
Pembimbing:
BAGIAN/SMF ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASINOktober, 2009
BAB I
Pendahuluan
Retensi urin akut adalah ketidakmampuan secara mendadak untuk urinasi
(miksi) dan biasanya merupakan kondisi simptomatik dari prekursor kondisi lain
yang memerlukan penanganan medis yang segera. Kateterisasi uretra adalah prosedur
medis rutin yang memfasilitasi drainase langsung dari kandung kemih.1 Pemasangan
kateter uretra menjadi terapi akut pada pasien yang mengalami retensi urin akut.
Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu
yang cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan retensi
urin. Penyebab utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan trauma
(33%).5 Salah satu manipulasi uretra adalah pemasangan kateter Folley.
Studi yang dilakukan di India menyebutkan penyebab dari striktur uretra
meliputi trauma pelvis (54%), post-kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-
instrument (5,6%). Study ini menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas
menentukan prognosis dari penatalaksanaan striktur uretra.6 Studi yang dilakukan
oleh Lumen,et all juga mendapatkan hasil7 sebanyak 45,5% striktur uretra disebabkan
iatrogenik yang didalamnya termasuk reseksi transuretral, kateterisasi uretra,
cystoscopy, prostatectomy, brachytherapy, dan pembedahan hypospadia.8 Penelitian
ini menjadi penting mengingat prosedur pemasangan kateter uretra merupakan
1
prosedur rutin pada penanganan kasus retensi urin akut seperti benign prostat
hiperplasia, adanya bekuan darah, urethritis, kronik obstruksi yang menyebabkan
hidronefrosis, dan dekompresi kantung kemih akibat permasalahan saraf.17
Keteterisasi urin merupakan salah satu tindakan yang membantu eliminasi
urin maupun ketidakmampuan melakukan urinasi. Prosedur pemasangan kateter
uretra merupakan tindakan invasif. Pasien akan dipasangkan sejenis alat yang disebut
kateter Dower pada muara uretra. Dalam melakukan prosedur ini diperlukan
keprofesionalan. Banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri, dan tidak
nyaman pada saat dilakukan kataterisasi uretra. Hasil studi11 dari Mushhab,2006
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara lama waktu terpasang kateter
dengan tingkat kecemasan pada pasien yang terpasang kateter uretra.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I.1 Identitas
Nama : Tn. M
Umur : 80 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : jl.padat karya rt.09 barito selatan
Pekerjaan : swasta
MRS : 25 februari 2015
I.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Tidak bisa buang air kecil (BAK)
Riwayat Pe nyakit sekarang :
Satu Hari sebelum SMRS pasien tidak bisa BAK, sebelum sudah 3
bulan pasien menngalamikencing tidak tempias selala mentes saat
terakhir kencing. Pasien juga mengeluh tidak bisa menahan kencing
dulu tapi pasien menyanggkal ad kencing darah dan keluar batu tpi
sebelum menurut pasien dia pernah mengalami hal serupa di tahun 2010
dan menurut pasien pada saat itu dia dilakukan operasi, pasien pada saat
di IGD di coba dipasang kateter dari kemaluan namun gagal, kateter
tidak bisa masuk.
Riwayat Penyakit Dahulu:
3
- Riwayat sakit kencing manis (-)
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat trauma tidak ada
Riwayat Penyakit dalam Keluarga:
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal
I.3 Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Pernafasan : 20x/ menit
Nadi : 82x/menit
Suhu : 36,8 0C
Kepala : konjungtiva pucat (-), sclera ikterik
(-/-)
Leher : Tidak ada kelainan
Pupil : Isokor/ Reflek Cahaya +/+
KGB : Tidak ada kelainan
Thorax : Tidak ada kelainan
Abdomen : Lihat status urologikus
Genitalia Eksterna : Lihat status urologikus
Ektremitas atas dan bawah : Tidak ada kelainan
B. Status Urologikus
Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) dextra et sinistra:
Inspeksi : Bulging (-)
Palpasi : Ballotement (-)
4
Palpasi : Nyeri ketok -/-
Regio Suprapubik:
Inspeksi : Bulging (+), distensi (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+)
Regio Genitalia Eksterna :
Inspeksi : bloody discharge (-)
Rectal Toucher (RT):
TSA baik, BCR (+), mukosa recti licn, teraba prostat tidak membesar,
konsistensi kenyal.
I.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin ( 25 februari 201 5 )
Hb : 11,8 g/dl (L: 14-18 g/dl)
Ht : 35,5 vol% (L: 40-48 vol%)
Leukosit : 8.300/mm3 (L: 5000-10.000/mm3)
Trombosit : 299.000/mm3 (200.000-500.000/mm3)
Kimia Klinik (5 Juli 2011)
BSS : 176 mg/dl
Ureum : 53 mg/dl (15-39 mg/dl)
Creatinin : 1,4 mg/dl (L: 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,0
mg/dl)
Natrium : 139,3 mmol/l (135-155)
Kalium : 4,3 mmol/l (3,5-5,5)
5
I.5 Diagnosis Banding
Hiperplasia prostat
I.6 Diagnosis Kerja
Retensio urin et causa striktur uretra
I.7 Penatalaksanaan
- Uretrotomi interna (Sachse)
I.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Laporan operasi tanggal 25-02-2015
Dilakukan antiseptik pada daerah operasi
Indentifikasi fistula supra pubik
Insersi NGT no.3,5
Didapat urin keluar 200cc
Dilakukan fiksasi NGT dengan sika 10
Operasi selesai
Folow up pasien
25-02-2015 Pasien datang ke igd dengan keluhan tidak bisa BAK
Pasien di coba pemasakan kateter di IGD tapi gagal
Konsul ke konsulen untuk usul dilakukan sistotomi karena
didaptkan distensi pada area CVA
(18.30) Advice acc sistotomy tapi lakukan pemasangan NGT pada fistula kalau
gagal baru dilakukan sistostomy
TD : 110/80 nadi : 88 x/menit
RR : 22
6
Terapi : terapi post op pemasangan NGT
Obseevasi tanda vital
Cek EKG 12 sadapan
Oksigen 3 lpm
Cairan infus
Antibiotik
Analgetik
Inhibito H2
26-02-2015
Keluhan : nyeri daerah op sedikit
TD : 130/80 nadi : 90 x/menit
RR : 22x/menit
Terapi :
IVFD RL 20 Tpm
Inj Ceptriaxone 2x1mg
Antrai 2x1
Ranitidin 2x1
27-02-2015
Keluhan : nyeri daerah op sedikit
TD : 130/80 nadi : 85 x/menit
RR : 24x/menit
Terapi :
IVFD RL 20 Tpm
Inj Ceptriaxone 2x1mg
Antrai 2x1
Ranitidin 2x1
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Uretra merupakan bagian terpenting dari saluran kemih. Pada pria dan wanita,
uretra mempunyai fungsi utama untuk mengalirkan urin keluar dari tubuh. Saluran
uretra juga penting dalam proses ejakulasi semen dari saluran reproduksi pria. Uretra
pria berbentuk pipa yang menyerupai alat penyiram bunga.
Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya
jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam
berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat
mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat
menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian dunia
tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra
pada wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai
uretra dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra,
meskipun hal itu jarang terjadi.
8
II.2 Anatomi Uretra
Gambar 1. Anatomi Uretra
Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-
buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi.
Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior.
Uretra posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea.
Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra.
Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch =
0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.
1. Uretra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini
dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior
ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau
memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.
2. Uretra bagian posterior
9
Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang
dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya
adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua
bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang
membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat
menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea
terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada
simpisis pubis dapat mencederai uretra membranasea.
II.3 Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi pada:
1. Kelainan Kongenital, misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra
posterior
2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
3. Trauma, misalnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars
membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang
mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan
kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada
bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transuretra
yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar,
fiksasi kateter yang salah.
10
4. Post operasi, beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan
striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
5. Infeksi, merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra,
seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis
gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun
sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik,
kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun juga
terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab
utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan individu yang
terinfeksi atau menggunakan kondom.
II.4 Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal.
Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna
epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara
epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat)
yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas
dan memperkecil lumen uretra, sehinggaterjadi striktur uretra.
11
Gambar 2. Patofisiologi Striktur Uretra
II.5 Derajat Penyempitan
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu derajat:
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra
2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra
12
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
II.6 Gambaran Klinis
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan
bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi,
disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang
membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urin.
1. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari
penyebab striktur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra,
infiltrat, abses atau fistula.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
13
proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik
dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga
normal menandakan ada obstruksi.
Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan
dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai
panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan
cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara
retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui
sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.
Instrumentasi
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan
kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter
dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila
dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan
lumen uretra.
Uretroskopi
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan
adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu
memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.
14
II.7 Diagnosis
Diagnosis striktur uretra dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis
pasti striktur uretra didapat dari pemeriksaan radiologi, tentukan lokasi dan panjang
striktur serta derajat penyempitan dari lumen uretra.
II.8 Penatalaksanaan
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan apapun.
Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik
untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan
pemberian antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi
tergantung panjang dan lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa adanya
glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie bengkok
merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria;
bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan
umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang
lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak. Berikan sedatif ringan sebelum
memulai prosedur dan mulailah pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan
selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan
kulit dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan
15
dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang untuk
mengisolasi penis. Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan
memasukkan sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan
memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut.
Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau lurus
ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang
kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada
akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang
bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk
memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan
bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan
terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan
penggunaan antibiotik.
2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong
jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau
elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama bagian
distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada
wanita dengan striktur uretra. Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat
Sachse adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil
16
dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2-3
hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu
selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali
seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila
pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.
3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian
dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat, cara ini
tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara Johansson; dilakukan
bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik. Stadium I, daerah striktur
disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit jaringan sehat di proksimal dan
distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan
dipasang kateter selama 5-7 hari. Stadium II, beberapa bulan kemudian bila daerah
striktur telah melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
4. Uretroplasti
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau
dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse.
Operasi
uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur di eksisi,
uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau
pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan
menyertakan pembuluh darahnya.
17
II.9 Komplikasi
1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot
kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat
kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula
akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase
dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan
divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot
buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli
adalah tonjolan mukosa keluar bulibuli tanpa dinding otot.
2. Residu urin
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu
adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung
kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.
3. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang
meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli
akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
18
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap
saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan
dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka bulibuli mudah
terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul
refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya
timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine
yang terinfeksi keluar dari buli buli atau uretra menyebabkan timbulnya
infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah
timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.
II.13 Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah
dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.
19
BAB III
ANALISIS KASUS
Dari kasus di atas, Tn. M usia 80 tahun datang dengan keluhan tidak bisa
buang air kecil (miksi) sejak 3 minggu yang lalu. Keadaan ini disebut sebagai
retensio urin yaitu suatu keadaan dimana penderita tidak dapat kencing padahal
kandung kemih penuh. Keadaan ini disebabkan oleh sumbatan mekanis pada uretra
atau gangguan fungsional kandung kemih dan sfingternya.
Dari anamnesa didapatkan keluhan berupa sulit BAK, BAK mengejan,
setelah BAK penderita merasa tidak puas dan diikuti oleh pancaran urine yang lemah,
dipertengahan miksi seringkali miksi berhenti kemudian memancar lagi
(intermitensi). Keluhan ini merupakan gejala obstruktif saluran kemih. Jadi
kesimpulan yang diambil bahwa penderita mengalami suatu gejala obstruktif saluran
kemih. Dan juga ditemukan adanya keluhan sering berkemih (frequency) terutama
pada malam hari (nocturia), sehingga pasien ini disimpulkan mengalami gejala iritatif
dari saluran kemih. Berdasarkan kondisi faktual diatas pasien ini mengalami gejala
obstruktif dan gejala iritatif saluran kemih yang dikenal dengan LUTS (Lower
Urinary Tract Symptoms).
LUTS merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan pada
saluran kemih bagian bawah yang meliputi gejala obstruktif dan iritatif pada saluran
kemih. Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi (straining),
menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness), miksi
20
terputus (intermitten), dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif
meliputi rasa ingin miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi (frequency),
sering miksi pada malam hari (nocturia), dan nyeri ketika miksi (dysuria). Dari
keluhan utama dan anamnesis pada pasien ini terjadi suatu retentio urine yang
disebabkan adanya sumbatan pada saluran kemih bagian bawah yang bisa disebabkan
oleh gangguan pada vesika urinaria atau infravesika. Gangguan pada vesika urinaria
bisa berupa batu vesika atau gangguan neurogenic pada vesika. Sedangkan gangguan
infravesika berupa pembesaran prostat dan striktur uretra.
Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, riwayat kencing manis dan riwayat
pernah trauma disangkal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada status generalis didapatkan vital sign
dalam batas normal, konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik. Pada inspeksi
regio CVA dan regio supra pubik didapatkan dalam keadaan distensi dan nyeri tekan,
regio genitalia externa tidak ditemukan bloody discharge. Pada pemeriksaan Digital
Rectal Examination (Rectal Toucher) didapatkan tonus spingter ani dalam keadaan
baik sehingga hal ini dapat menyingkirkan diagnosis bahwa retensio urine yang
terjadi diakibatkan oleh neurogenic bladder. Selain itu juga prostat dalam keadaan
normal, sehingga diagnosis retensio urine akibat hiperplasia prostat dapat
disingkirkan.
Pada pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan kadar Hb
menurun. Pemeriksaan kimia klinik dalam batas normal.
21
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
pasien ini didiagnosa dengan Striktur Uretra.
Pada pasien ini memiliki akan ditatalaksana dengan pemberian antibiotik
dan analgetik untuk pengobatan secara simtomatik, kemudian rencana untuk
dilakukan uretrotomi interna dengan pisau sachse.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsuhidayat, R. Wim de Jong. Buku ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta : 1997
2. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar urologi Edisi kedua. CV. Sagung Seto. Jakarta :
2003
3. Urethral Stricture Disease. http://www.urologyhealth.org/,.
4. Gousse, Angelo. Urethral Stricture, Male Workup.
http://www.emedicine.medscape.com.
23