MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN SOFTSKILL · PDF fileMakalah yang ditulis penulis ini ... Dunia...

29
MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN SOFTSKILL DAN MULTIPLE INTELEGENCE OLEH: WIDYA WATI DOSEN PEMBIMBING: Prof. FESTIYED, MS KONSENTRASI PENDIDIKAN FISIKA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2010

Transcript of MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN SOFTSKILL · PDF fileMakalah yang ditulis penulis ini ... Dunia...

0

MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN

SOFTSKILL DAN MULTIPLE INTELEGENCE

OLEH:

WIDYA WATI

DOSEN PEMBIMBING:

Prof. FESTIYED, MS

KONSENTRASI PENDIDIKAN FISIKA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2010

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

Softskill dan Multiple Intelegence yang dibimbing oleh ibu Prof. Dr Festiyed,

M.Si.

Makalah yang ditulis penulis ini berbicara mengenai Softskill dan Multiple

Intelegence . Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber

baik dari buku maupun dari internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber

yang ada tersebut.

Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu

penulis dalam penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai

dihadapan pembaca pada saat ini.

Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih

banyak kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk

menyampaikan saran atau kritik yang membangun demi tercapainya makalah

yang lebih baik.

Padang, November 2010

Widya Wati

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

BAB II SOFT SKILL DAN MULTIPLE INTELIGENCE .....................................5

A. Soft Skill ................................................................................................................. 5

1. Pengertian Soft Skill ........................................................................................... 5

2. Manfaat Soft Skill ............................................................................................... 7

3. Soft Skill dalam Pembelajaran ............................................................................ 8

B. Multiple Intelegence ............................................................................................. 11

1. Dari kecerdasan tunggal ke kecerdasan majemuk (IQ, EQ, dan SQ) ............... 11

2. Macam-macam Kecerdasan Majemuk .............................................................. 19

BAB III PENUTUP ...............................................................................................25

Kesimpulan ............................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................26

1

BAB I PENDAHULUAN

Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah

mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai

dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa

berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata

kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan

kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri

dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya

ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan

porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih

berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya

muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa

sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft

skillnya.

Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi

kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum

juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan

pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua

pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus

melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja

hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.

2

Perhelatan Ujian Nasional baru saja selesai. Siswa yang lulus bersuka cita

merayakan keberhasilannya, sementara siswa yang tidak lulus tidak sedikit yang

kecewa dan terpuruk meskipun diberi kesempatan mengikuti Ujian Nasional

ulangan. Kelulusan adalah gerbang menuju episode pendidikan berikutnya. Bagi

yang lulus SMA dapat memilih alternatif untuk kuliah di PT, menimba ilmu

agama di pesantren, dan dapat pula kuliah kehidupan dengan terjun langsung di

dunia usaha/industri dan di masyarakat.

Namun tidak semua lulusan mampu memilih langkah pasti yang akan

diambil. Euforia kelulusan hanya sesaat setelah pengumuman kelulusan, episode

berikutnya adalah kegamangan menjalani aktifitas kehidupan. Tidak semua

lulusan mampu secara intelektual mengambil program studi di perguruan tinggi

yang diidam-idamkan. Tidak semua lulusan berasal dari keluarga yang mampu

secara finansial, apalagi di tahun sekarang harga kursi di perguruan tinggi

selangit. Dan tidak semua lulusan memiliki insting untuk berwira usaha,

sementara bekerja sebagai buruh tidak semua lulusan memiliki nyali untuk

menjalaninya.

Fenomena ini memberi gambaran bahwa pendidikan kita tidak

menyiapkan alternatif pilihan pasca kelulusan siswa. Pembelajaran di kelas hanya

berorientasi bagaimana meluluskan siswa. Sekolah seakan-akan tidak bertanggung

jawab atas nasib siswanya pasca kelulusan. Memang ada beberapa sekolah yang

membuka BKK (Bursa Kerja Khusus), namun sepanjang pengetahuan penulis

hanya sedikit yang dapat berjalan dengan efektif.

Dalam dunia pendidikan, ada tiga ranah yang harus dikuasai oleh peserta

didik yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berorientasi

3

pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ranah afektif berkaitan dengan

attitude, moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan

dengan keterampilan yang sifatnya prosedural dan cenderung mekanis.

Dalam realitas pembelajaran usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah

tersebut memang selalu diupayakan, namun pada kenyataannya yang dominan

adalah ranah kognitif dan psikomotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan

kemampuan yang sifatnya hard skills namun miskin soft skills. Gejala ini tampak

pada out put pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pinter,

juara kelas, namun miskin kemampuan membangun relasi, kekurangmampuan

bekerja sama dan cenderung egois, serta cenderung menjadi pribadi yang tertutup.

Penguasaan hard skills yang lebih dominan ini bukanlah kesalahan guru

semata, namun sudah sistemik sehingga membelenggu kreatifitas guru dalam

penanaman soft skills ke peserta didik. Adanya Ujian Nasional yang memforsir

tenaga dan fikiran guru dan siswa, keharusan penguasaan berbagai keterampilan

(dalam ujian praktik berbagai mata pelajaran) merupakan bukti bahwa sistem

pendidikan kita lebih menekankan kemampuan teknik yang bersifat hard skills.

Idealnya pembelajaran menemukan keseimbangan antara hard skills dengan soft

skills sehingga peserta didik menjadi pribadi yang cerdas, pintar, namun terbuka

dan dinamis. Pribadi yang terbuka dan dinamis itu penting karena pribadi yang

demikian cenderung adaptif dan mampu berdialektika dengan perkembangan dan

perubahan zaman.

Lalu apa yang kurang dengan pembelajaran di sekolah?. Ada sisi yang

selama ini kurang diperhatikan yakni soft skills. Soft skills berada diluar ranah

teknis dan akademik, lebih bersifat psikologis sehingga abstrak. Konsep soft skills

4

merupakan istilah sosiologis yang merepresentasikan pengembangan dari

kecerdasan emosional seorang yang merupakan kumpulan karakter kepribadian,

kepekaan sosial, komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan, dan optimism

yang menjadi ciri hubungan dengan orang lain. Soft skills melengkapi hard skills,

dimana hard skills merupakan representasi dari potensi IQ seseorang terkait

dengan persyaratan teknis pekerjaan dan beberapa kegiatan lainnya (Djoko Hari

Nugroho, 2009). Domain hard skills adalah learning to know and learning to do,

sedangkan soft skills domainnya adalah learning to be and learning to life

together.

Meskipun soft skills hanya pelengkap bagi hard skills namun sangat

berperan dalam kesuksesan seseorang. Penelitian di Harvard University

membuktikan bahwa soft skills menyumbang 80% atas kesuksesan seseorang.

Sayangnya sumbangan yang besar atas kesuksesan seseorang ini sering

terlupakan, pendidikan kita justru mengejar kecerdasan intelektual yang sejatinya

hanya berperan 20% dalam menentukan keberhasilan seseorang.

Lalu bagaimana guru meng-include- kan soft skills dalam pembelajaran?. Guru

harus menata ulang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Unsur soft skills

harus dicari dalam materi pelajaran yang diajarkan. Kemudian secara eksplisit

harus ditulis dalam RPP, termasuk di dalamnya bagaiamana mempraktikkan soft

skills tersebut di kelas.

Mengingat pentingnya soft skills dalam membekali siswa menggapai

prestasi hidup maka sudah selayaknya soft skills dalam pembelajaran

dikedepankan.

5

BAB II SOFT SKILL DAN MULTIPLE INTELIGENCE

A. Soft Skill

1. Pengertian Soft Skill

Soft skill adalah istilah sosiologis yang berkaitan dengan seseorang “EQ”

(Emotional Intelligence Quotient), kumpulan karakter kepribadian, rahmat sosial,

komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan, dan optimisme yang menjadi

ciri hubungan dengan orang lain. Soft melengkapi keterampilan keterampilan

keras (bagian dari seseorang IQ), yang merupakan persyaratan teknis pekerjaan

dan banyak kegiatan lainnya.

Soft Skill atau keterampilan lunak menurut Berthhall (Diknas, 2008)

merupakan tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan

dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan, pengembangan kerja

sama tim, inisiatif, pengambilan keputusan lainnya. Keterampilan lunak ini

merupakan modal dasar peserta didik untuk berkembang secara maksimal sesuai

pribadi masing-masing.

Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori

: intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self

awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional

awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness,

time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill

mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging

6

diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence,

communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)

Soft skills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang

lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian

meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap.

Atribut soft skills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda,

dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun,

atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara

berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru.

Apabila dicermati dari kenyataan yang ada, baik dari perbincangan

informal maupun hasil penelusuran atau kajian formal, maka rasio kebutuhan soft

skills dan hard skills di dunia kerja/usaha berbanding terbalik dengan

pengembangannya di perguruan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa yang

membawa atau mempertahankan orang di dalam sebuah kesuksesan di lapangan

kerja yaitu 80% ditentukan oleh mind set yang dimilikinya dan 20% ditentukan

oleh technical skills. Namun, kenyataan di perguruan tinggi atau sistem

pendidikan kita saat ini, soft skills hanya diberikan rata-rata 10% saja dalam

kurikulumnya.

Pengembangan soft skill memiliki 3 hal penting, yaitu:

Pertama, hard work (kerja keras).

Untuk memaksimalkan suatau kerja tentu butuh upaya kerja keras dari diri

sendiri maupun lingkungan. Hanya dengan kerja keras, orang akan mampu

mengubah garis hidupnya sendiri. Melalui pendidikan yang terencana, terarah dan

didukung pengalaman belajar, peserta didik akan memiliki daya tahan dan

7

semangat hidup bekerja keras. Etos kerja keras perlu dikenakan sejak dini di

sekolah melalui berbagai kegiatan intra ataupun ekstrakurikuler di sekolah.

Peserta didik dengan tantangan ke depan yang lebih berat tentu harus

mempersiapkan diri sedini mungkin mellaui pelatihan melakukan kerja praktik

sendiri maupun kelompok.

Kedua, kemandirian

Cirri peserta didik mandiri adalah responsive, percaya diri dan berinisiatif.

Renponsif berarti peserta didik tanggap terhadap persoalan diri dan lingkungan.

Sebagaicontoh bagaimana peserta didik tanggap terhadap krisis global warming

dengan kampanye hijaukan sekolahku dan gerakan bersepeda tanpa motor.

Menjaga kepercayaan diri seorang peserta didik untuk memaksimalkan potensi

peserta didi harus sinergis dengan kerja kerasnya.

Ketiga, kerja sama tim

Keberhasilan adalah buah dari kebersamaan. Keberhasilan menyelesaikan

tugas kelompok adalah pola klasik yang masih relevan untuk menampilkan

karakter ini. Pola pelatihan outbond yang sekarang marak diselenggarakan

merupakan pola peniruan karakter ini

2. Manfaat Soft Skill

Manfaat Soft Skill dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

Berpartisipasi dalam tim

Mengajar orang lain

Memberikan layanan

Memimpin sebuah tim

8

Bernegosiasi

Menyatukan sebuah tim di tengah-tengah perbedaan budaya

Motivasi

Pengambilan keputusan menggunakan keterampilan

Menggunakan kemampuan memecahkan masalah

Amati bentuk etiket

Berhubungan dengan orang lain

Menjaga berarti percakapan (basa-basi)

Menjaga percakapan bermakna (diskusi / perdebatan)

Menetralkan argumen dengan waktu, petunjuk dan sopan, bahasa singkat

Berpura-pura minat dan berbicara dengan cerdas tentang topik apapun

3. Soft Skill dalam Pembelajaran

Guru sebagai salah satu komponen dalam system pembelajaran untuk

meningkatkan kemampuan siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan

arah dan tujuan dari suatu proses pembelajaran. Kemampuan yang dikembangkan

tidak hanya ranah kognitif dan psikomotorik semata yang ditandai dengan

penguasaan materi pelajaran dan ketrampilan , melainkan juga ranah kepribadian

siswa. Pada ranah ini siswa harus menumbuhkan rasa percaya diri sehingga

menjadi manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri yakni manusia yang

berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia utuh yang memiliki

kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang

mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro).

Menurut Howard Gardner dalam bukunya yang bejudul Multiple Inteligences

9

(1993), bahwa ada 2 kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan

mengembangkan kepribadian yaitu :

1. Kecerdasan Interpersonal (interpersonal Intelligence) adalah kemampuan

untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi,

watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara

dan gerak tubuh orang lain (isyarat), dan kemampuan untuk menjali relasi

dan komunikasi dengan berbagai orang lain.

2. Kecerdasan Intrapersonal (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan

memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang

diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi,

inisiatif dan berani.

Soft skill yang diberikan kepada para siswa dapat diintegrasikan dengan

materi pembelajaran. Menurut Saillah (2007), materi soft skill yang perlu

dikembangkan kepada para siswa, tidak lain adalah penanaman sikap jujur,

kemampuan berkomunikasi, dan komitmen. Untuk mengembangkan soft skill

dengan pembelajaran, perlu dilakukan perencanaan yang melibatkan para guru,

siswa, alumni, dan dunia kerja, untuk mengidentifikasi pengembangan soft skill

yang relevan.

Tentu saja pengidentifikasian tersebut bukan sesuatu yang “hitam-putih”,

tetapi lebih merupakan kesepakatan. Dengan asumsi semua guru memahami betul

“isi” pembelajaran yang dibina dan “memahami” konsep soft skill beserta

komponen-komponennya, maka pengisian akan berlangung objektif dan cermat.

Dengan cara itu setiap guru mengetahui komponen soft skill apa yang harus

dikembangkan ketika mengajar.

10

Setiap orang termasuk peserta didik sudah memiliki soft kills walaupun

berbeda-beda. Soft skills ini dapat dikembangkan menjadi lebih baik atau bernilai

(diterapkan dalam kehidupan sehari-hari) melalui proses pembelajaran.

Pendidikan soft skills tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus,

melainkan dintegrasikan melalui mata pelajaran yang sudah ada atau dengan

menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Salah satunya

adalah pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning).

Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu

guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa.

Selain itu, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan

komponen utama pembelajaran. Yaitu, konstruktivisme, menemukan, bertanya,

masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Sebuah

Kelas dikatakan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apabila

menerapakan ketujuh komponen tersebut dalam proses pembelajaran.

Dari ketujuh komponen tersebut, pembelajaran kontekstual merupakan

pembelajaran yang berlandaskan pada dunia kehidupan nyata, berpikir tingkat

tinggi, aktivitas siswa, aplikatif, berbasis masalah nyata, penilaian komprehensif,

dan pembentukan manusia yang memiliki akal sehat. CTL dilaksanakan melalui

beberapa pendekatan pengajaran, antara lain: 1. Belajar berbasis masalah 2.

Pengajaran autentik 3. Pengajaran berbasis Inquiri 4. Belajar berbasis

proyek/tugas terstruktur 5. Belajar berbasis kerja 6. Belajar berbasis layanan 7.

Belajar kooperatif

11

Pendekatan pengajaran dapat di implementasikan melalui strategi

pembelajaran kontekstual yang meliputi: 1. Menekankan pentingnya pemecahan

masalah/problem 2. Perlunya proses pembelajaran dilakukan dalam berbagi

konteks seperti rumah, masyarakat dan tempat kerja 3. Mengontrol dan

mengarahkan pembelajaran, agar siswa dapat belajar mandiri 4. Bermuara pada

keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda 5. Mendorong siswa

belajar dari sesama teman dan belajar bersama, 6. Menggunakan penilaian

autentik

Melalui pendekatan dan strategi diatas dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran kontekstual dapat mengembangkan soft skills siswa. Soft skills yang

akan muncul dalam diri siswa sebagi akibat dari implementasi pembelajaran

kontekstual meliputi: 1. Berpikir kritis 2. Kemauan belajar 3. Motivasi 4.

Berkomunikasi 5. Kreatif 6. Memecahkan masalah 7. Bekerja sama, 8. Mandiri 9.

Berargumentasi logis 10. Memimpin 11. Mengembangkan diri

B. Multiple Intelegence

1. Dari kecerdasan tunggal ke kecerdasan majemuk (IQ, EQ, dan SQ)

Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada

manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan

dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus

mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks,

melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.

Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan

kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk

12

mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara

instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita

mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk

yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar

dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan

kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-

musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan

mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang

dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara

fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya

hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan

peradaban hidupnya.

Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini

para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang

komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975)

memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan

menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu,

Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan

meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan

pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan

dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.

Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan

individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan

Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles

13

Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan

teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan

pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent

Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat

kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age),

merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius

(Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh

Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis

Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang

dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi

sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.

Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar

kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang

serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus

menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan

publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau

prestasi hidup seseorang.

Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis

kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat

mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang

kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman

mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali

perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri

14

dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam

hubungan dengan orang lain.

Penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan

sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang.

Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya.

Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada

hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran

psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).

Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal

yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok

kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-

intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek –

aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi

pencapaian kesuksesan seseorang.

Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat

permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan

dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih

sukses atau prestasi hidup.

Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan

manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan.

Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih

berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan

makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut

fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari

15

pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun

kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi

afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa

keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang

melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah

Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).

Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak

hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-

Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan

alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk

mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk

ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun

dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset

yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang

dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya

God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat

spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu

juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses

syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan

dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara

literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna.

Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari

Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya

16

melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang

berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih

bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)

Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada

tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan

hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia,

yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman

dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya

menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia

dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan

konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap

Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan

tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).

Di Indonesia, ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan

dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H.

Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da‟i kondang dari Pesantren Daarut

Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha

muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia

dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.

Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan

ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary

Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu

usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali

kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental

17

Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan

kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk

pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self

Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal

strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha

untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan

sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total

Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar,

2001).

Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan

kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan

semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan

intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan

bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes

menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam

buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan

penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang

kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence)

(Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .

Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu

menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi

dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin

transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya

yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju

18

kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak

bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan

terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana

Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya.

Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan,

seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan

lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan

perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan

perilaku manipulatif).

Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang

dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun

dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk

menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak

diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya

hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya

maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun

harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?

Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting,

apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual,

ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan

meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur

pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan

intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan

emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ)

19

orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi

maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!

Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah

berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki,

melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ),

dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas

diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh

aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).

Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai

pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha

membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi

(fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses

pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful

Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ),

sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia

Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter

2. Macam-macam Kecerdasan Majemuk

Konsep Multiple Intelegensi (MI), menurut Gardner (1983) dalam

bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple intelegences, ada delapan jenis

kecerdasan yang dimiliki setiap individu yaitu linguistik, matematis-logis, spasial,

kinestetik-jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Melalui

delapan jenis kecerdasan ini, setiap individu mengakses informasi yang akan

masuk ke dalam dirinya. Karena itu Amstrong (2002) menyebutkan, kecerdasan

20

tersebut merupakan modalitas untuk melejitkan kemampuan setiap siswa dan

menjadikan mereka sebagai sang juara, karena pada dasarnya setiap anak cerdas.

Sebelum menerapkan MI sebagai suatu strategi dalam pengembangan potensi

seseorang, perlu kita kenali atau pahami ciri-ciri yang dimiliki seseorang.

1. Kecerdasan Linguistik, umumnya memiliki ciri antara lain (a) suka menulis

kreatif, (b) suka mengarang kisah khayal atau menceritakan lelucon, (c)

sangat hafal nama, tempat, tanggal atau hal-hal kecil, (d) membaca di waktu

senggang, (e) mengeja kata dengan tepat dan mudah, (f) suka mengisi teka-

teki silang, (f) menikmati dengan cara mendengarkan, (g) unggul dalam mata

pelajaran bahasa (membaca, menulis dan berkomunikasi).

2. Kecerdasan Matematika-Logis, cirinya antara lain: (a) menghitung problem

aritmatika dengan cepat di luar kepala, (b) suka mengajukan pertanyaan yang

sifatnya analisis, misalnya mengapa hujan turun?, (c) ahli dalam permainan

catur, halma dsb, (d) mampu menjelaskan masalah secara logis, (d) suka

merancang eksperimen untuk membuktikan sesuatu, (e) menghabiskan waktu

dengan permainan logika seperti teka-teki, berprestasi dalam Matematika dan

IPA.

3. Kecerdasan Spasial dicirikan antara lain: (a) memberikan gambaran visual

yang jelas ketika menjelaskan sesuatu, (b) mudah membaca peta atau

diagram, (c) menggambar sosok orang atau benda persis aslinya, (d) senang

melihat film, slide, foto, atau karya seni lainnya, (e) sangat menikmati

kegiatan visual, seperti teka-teki atau sejenisnya, (f) suka melamun dan

berfantasi, (g) mencoret-coret di atas kertas atau buku tugas sekolah, (h) lebih

21

memahamai informasi lewat gambar daripada kata-kata atau uraian, (i)

menonjol dalam mata pelajaran seni.

4. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani, memiliki ciri: (a) banyak bergerak ketika

duduk atau mendengarkan sesuatu, (b) aktif dalam kegiatan fisik seperti

berenang, bersepeda, hiking atau skateboard, (c) perlu menyentuh sesuatu

yang sedang dipelajarinya, (d) menikmati kegiatan melompat, lari, gulat atau

kegiatan fisik lainnya, (e) memperlihatkan keterampilan dalam bidang

kerajinan tangan seperti mengukir, menjahit, memahat, (f) pandai menirukan

gerakan, kebiasaan atau prilaku orang lain, (g) bereaksi secara fisik terhadap

jawaban masalah yang dihadapinya, (h) suka membongkar berbagai benda

kemudian menyusunnya lagi, (i) berprestasi dalam mata pelajaran olahraga

dan yang bersifat kompetitif.

5. Kecerdasan Musikal memiliki ciri antara lain: (a) suka memainkan alat musik

di rumah atau di sekolah, (b) mudah mengingat melodi suatu lagu, (c) lebih

bisa belajar dengan iringan musik, (d) bernyanyi atau bersenandung untuk diri

sendiri atau orang lain, (e) mudah mengikuti irama musik, (f) mempunyai

suara bagus untuk bernyanyi, (g) berprestasi bagus dalam mata pelajaran

musik.

6. Kecerdasan Interpersonal memiliki ciri antara lain: (a) mempunyai banyak

teman, (b) suka bersosialisasi di sekolah atau di lingkungan tempat

tinggalnya, (c) banyak terlibat dalam kegiatan kelompok di luar jam sekolah,

(d) berperan sebagai penengah ketika terjadi konflik antartemannya, (e)

berempati besar terhadap perasaan atau penderitaan orang lain, (f) sangat

22

menikmati pekerjaan mengajari orang lain, (g) berbakat menjadi pemimpin

dan berperestasi dalam mata pelajaran ilmu sosial.

7. Kecerdasan Intrapersonal memiliki ciri antara lain: (a) memperlihatkan sikap

independen dan kemauan kuat, (b) bekerja atau belajar dengan baik seorang

diri, (c) memiliki rasa percaya diri yang tinggi, (d) banyak belajar dari

kesalahan masa lalu, (e) berpikir fokus dan terarah pada pencapaian tujuan,

(f) banyak terlibat dalam hobi atau proyek yang dikerjakan sendiri.

8. Kecerdasan Naturalis, memiliki ciri antara lain: (a) suka dan akrab pada

berbagai hewan peliharaan, (b) sangat menikmati berjalan-jalan di alam

terbuka, (c) suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara

binatang, (d) menghabiskan waktu di dekat akuarium atau sistem kehidupan

alam, (e) suka membawa pulang serangga, daun bunga atau benda alam

lainnya, (f) berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan

hidup.

Keunikan yang dikemukakan Gardner adalah, setiap kecerdasan dalam

upaya mengelola informasi bekerja secara spasial dalam sistem otak manusia.

Tetapi pada saat mengeluarkannya, ke delapan jenis kecerdasan itu bekerjasama

untuk menghasilkan informasi sesuai yang dibutuhkan.

Konsep Multiple Intelligences juga mengajarkan kepada anak bahwa

mereka bisa belajar apapun yang mereka ingin ketahui. Apapun yang ingin

diktehauinya itu dapat ditemui di dalam kehidupan nyata yang dapat mereka alami

sendiri. Sementara, bagi orangtua maupun guru, yang dibutuhkan hanya kreatifitas

dan kepekaan untuk mengasah kemampuan anak. Baik Mam & Pap maupun guru

juga harus mau berpikir terbuka, keluar dari paradigma tradisional.

23

Soal manfaat lingkungan untuk membantu proses belajar ini, sudah diteliti

lho oleh beberapa orang peneliti kegiatan belajar. Ada Vernon A. Magnesen tahun

1983 dan sekelompok peneliti seperti Bobbi DePorter; Mark Reardon, dan Sarah

tahun 2000. Mereka menjelaskan bahwa kita sebenarnya mendapat pengetahuan

dari apa yang kita baca (10%), dari apa yang kita dengar (20%), dari apa yang kita

lihat (30%), dari apa yang kita lihat dan dengar (50%), dari apa yang kita katakan

(70%) dan dari apa yang kita katakan dan lakukan (90%).

9 Kecerdasan Ganda yang Dimiliki Anak

1. VISUAL/SPATIAL (Cerdas Gambar/Picture Smart)

Anak belajar secara visual dan mengumpulkan ide-ide. Mereka lebih

berpikir secara konsep (holistik) untuk memahami sesuatu. Kemampuan untuk

melihat „sesuatu‟ di dalam kepalanya itu mampu membuat dirinya pandai

memecahkan masalah atau berkreasi.

2. VERBAL/LINGUISTIC (Cerdas Kata/Word Smart)

Anak belajar lewat kata-kata yang terucap atau tertulis. Kecerdasan ini

selalu mendapat tempat (unggul) dalam lingkungan belajar di kelas dan tes-tes

gaya lama.

3. MATHEMATICAL/LOGICAL (CerdasLogika-Mateamatik/Logic Smart)

Anak senang belajar melalui cara argumentasi dan penyelesaian masalah.

Kecerdasan ini juga pas ditampilkan di dalam kelas.

4. BODILY/KINESTHETIC (Cerdas Tubuh/Body Smart)

Anak belajar melalui interaksi dengan satu lingkungan tertentu.

Kecerdasan ini tak sepenuhnya bisa dianggap sebagai cerminan dari anak yang

24

terlihat „sangat aktif‟. Kecerdasan ini lebih senang berada di lingkungan dimana ia

bisa memahamisesuatu lewat pengalaman nyata.

5. MUSICAL/RHYTHMIC (Cerdas Musik/Music Smart)

Anak senang dengan pola-pola, ritmik, dan tentunya musik. Termasuk,

bukan hanya pola belajar auditori tapi juga mempelajari sesuatu lewat indetifikasi

menggunakan panca indera.

6. INTRAPERSONAL (Cerdas Diri/Self Smart)

Anak belajar melalui perasaan, nilai-nilai dan sikap.

7. INTERPERSONAL (Cerdas Bergaul/People Smart)

Anak belajar lewat interaksi dengan orang lain. Kecerdasan ini

mengutamakan kolaborasi dan kerjasama dengan orang lain.

8. NATURALIST (Cerdas Alam/Nature Smart)

Anak senang belajar dengan cara pengklasifikasian, pengkategorian, dan

urutan. Bukan hanya menyenangi sesuatu yang natural, tapi juga senang

menyenangi hal-hal yang rumit.

9. EXISTENTIAL (Cerdas Makna/Existence Smart)

Anak belajar sesuatu dengan melihat „gambaran besar‟, “Mengapa kita di

sini?” “Untuk apa kita di sini?” “Bagaimana posisiku dalam keluarga, sekolah dan

kawan-kawan?”. Kecerdasan ini selalu mencari koneksi-koneksi antar dunia

dengan kebutuhan untuk belajar.

25

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Soft Skill adalah tingkah laku personal dan interpersonal yang dapat

mengembangkan dan memaksimalkan kinerja manusia (melalui pelatihan,

pengembangan kerja sama tim, inisiatif, pengambilan keputusan lainnya

Multiple intelligence ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap individu

yaitu linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetik-jasmani, musikal,

interpersonal, intrapersonal, dan naturalis

26

DAFTAR PUSTAKA

Festiyed. 2010. Pengembangan Soft Skill untuk Meningkatkan Kompetensi

Kepribadian. Seminar nasional: Padang

http://community.um.ac.id/showthread.php?75180-Memahami-Konsep-Multiple-

Intelligences

http://community.um.ac.id/showthread.php?74978-Teori-kecerdasan-majemuk-

howard-gardner-dan-pengembangannya-pada-metode-pembelajaran

http://Science%20for%20all%20%E2%80%A6!!!%20%C2%BB%20Soft%20Skil

ls%20dalam%20Proses%20Pembelajaran.htm