MAKALAH SOSIOLOGI
-
Upload
yas-rosadi -
Category
Documents
-
view
933 -
download
8
Transcript of MAKALAH SOSIOLOGI
BAB I
KEADAAN SOSIOLOGI
Meskipun Ibn Kholdun telah memperkenalkan sains tentang masyarakat (‘ilm al ‘umran)
sejak sekitar tahun 1377,namun dewasa ini umumnya orang menisbatkan akar-akar sosiologi
modern kepada tulisan-tulisan seorang filosof prancis,\Auguste Comte (1798-1857),yang lahir
hamper 450 tahun setelah Ibn Khaldun. Sosiologi kontemporer merupakan salah satu sjmbangan
mutakhir yang diberikan oleh peradaban barat kepada intelek manusia.
Di satu sisi,mereka memusatkan perhatian kepadahubungan antar pribadi dalam siutasi
kelompok kecil.Di sisi lain,mereka mempelajari proses-proses lebih luas yang dihasilkan mereka
dalam masyrakat-masyarakat manusia.
Persepsi kalangan awam terhadap para sosiologi pun beragam.Sebagian memandang para
sosiologi sebagai para filosof social,ataw sebagian orang-orang yang menciptakan teori-teori
besar yang bersifat menara daging, yang dipetik dari serjarah.Sedangkan orang-orang yang
cenderung memisahkan urusan kemasyaraktan dari urusan politik dan ekonomi, memandang
para sosiolog sssebagai para ahli dalam urusa keluarga.
Kecendrungan-kecendrungan Dominan
Menurut bagi para sosiolog modern, Comte nyaris bukan merupakan suatu sumber yang
memberikan banyak inspirasi, tapi penekenennye pada metodologi positif dalam mempelajari
fenomena manusia –yang berbeda dengan fulsafat-filsafat politik dan social spekulatif di masa
sebelumnya masih menjadi suatu kepercayaan fundamental dalam keyalinan sosiologi
modern.karerna sosiologi adalah suatu ilmu, maka para sosiolog diharapkan mendaaasarkan
pandangan mereka pada,serta mendiskusikan teori-teori dan hipotesis-hipotesis mereka dari
temuan-temuan empiris saja.
Yang pertama adalah pendekatan srtuktural-fungsional.Pendekatan ini, yang menjadi terkenal
pada akhir tahun 1930-an, mengandung pandangan makroskopis terhadap masyarakat.
Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar: |Pertama,masyarakat terbentuk atas
substruktur-substruktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-masing,saling
bergantung,sehingga perubahan yang terjadi dalam struktur atau substruktur,dengan sendirinya
akan tercermin pada perubhan-perubahan yang terjadi dalam substruktur-substruktur lainnya
pula.Kedua,setiap substruktur yang telah mantap berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas
atau substruktur lainnya dalam suatu sistem social.
Beberapa pertimbangan metidologis canggih pendekatan ini belum disadari oleh sebagian
besar penganutnya. Yang kedua adalah pendekatan Marxian atau pendekatan konflik. Dewasa
ini, pendekatan ini merupakan pendekatan alternative paling menonjol terhadap pendekatan
structural-fungsional dalam sosiologi makro. Karl marx (1818-1883) adalah tokohyang sangat
terkenal sebagai pencetusgerakan sosialis internasional.
Sosiologi marx didasarkan atas dua asumsi pokok: |Pertama,ia memandang kegiatan ekonomi
sebagaifaktor penentu utama semua kegiatan kemasyarakata. |Kedua, ia melihat masyasarakat
manusia terutama dari sudut konflik di sepanjang sejarah. Bertolak dari memandang sejarah
manusia dengan cara seperti ini, marx mengajukan hasil sosialismenya, yakni suatu solusi final
agar seluruh sumberdaya dapat dimiliki oleh semua orang.
Di satu pihak,masyarakat manusia dipandang sebagai penuh dengan konflik dan
perselisihan,bukannya consensus dan kerjasama.sedangkannpengeksploitasian dan konflik
dipandang sebagai proses-proses dasar masyarakat manusia.karena itu, model
masyarakatmanusia menurut marx dikenal sebagai model konflik. Di sisi lain,para penganut
model ini nampaknya tak menyembunyikankeyakinan mereka bahwa sosialisme merupakan
satu-satunya obat untuk menghilangkan pengeksploitasain dan konflikabadi dalam masyarakat
ini.
Untuk melihat adanya pengeksploitasian ekonomis di dalam dan di antara masyarakat-
masyarakat, kita tidaklah harus menjadi pengikut Marx Dengan demikian, tekanan ideologis
teori-teori mereka di satu pihak mencerminkan hasrat untuk mengetahui cara memorak-
porandakan masyarakat,dan di pihak lain untuk mengetahui cara mencegah jangan sampai
masyarakat menjadi porak-poranda.
Agaknya sosiologi tidak akan lengkap,kalau tidak ada pendekatan yang melihat dari dekat
interaksi manusia yang merupakan landasan masyarakat manusia. Interaksionisme-simbolis atau
teori diri (self teory) merupakan sebuah perspektif mikro dalam sosiologi,yang barangkali sangat
spekulatif pada tahapananalisis sekarang ini. Sebagaimana dikesankan oleh namanya,
interaksionisme simbolis atau teori diri bertolak dari interaksi social pada tingkat paling
minimal.hanya tindakan-tindakan repfleks atau tindakan kebiasaan saja yang dianggap tak
terkrna kaidah ini.
Akar-akar pendekatan interaksionis tertancap didalam rasionalismenya John Locke dan
epistemology idelisnya Kant. Pendekatan interaksionis ini digambarkan sebagai
nonilmiah(bukannya tak ilmiah),karena ia mengasumsikan tak terduganya tindakan manusia
seraya mencoba mengemukakan suatu pemahaman tentangnya dari perspektif si pelaku.
BAB II
SOSIOLOGI ADALAH APA YANG DILAKUKAN OLEH
PARA SOSIOLOG
Sosiologi kontemporer tidak terbatas pada tiga pendekatan yang dibicarakan dalam bab
terdahulu. Ada cara-cara lain dalam memahami sifat masyarakat,diantaranya adalah teori
pertukaran,etnometedologi,fenomenologi, dan teori kritis.Dapat dakatakan sedikit banyak teori-
toeri ini merupakan sebab atau akibat terus merosotnya,kendati secara perlahan-
lahan,pendekatan structural-fungsional selama dua puluh tahun belakangan ini.
Sosiologi modern masih harus mengatasi dua dilemma utama.yang pertama meperlemah
klaimnya sebagai sains sebagai sains yang dapat diterapkan secara universal.yang kedua
memperlemah kemampuannya untuk melayani umat manusia.
Benarkah universal?
Sebagaimana dikemukakan oleh Marx: ”sosiologi telah dikembanghkan di sebuah sudut kecil
dunia dan,dengan demikian,mat terbatas sebagai suatu skema universal.ini merupakan salah satu
dilemma paling serius dalam sosiologi modern yang akan menimbulkan kesulitan bagi para
sosiolog yang melecehkannya. Tak sedikit contoh tentangkelemahan dalam sosiologi
ini.misalnya teori tentang kejahatan dari pelanggaran serta penyimpangan pada umumnyatidak
menerangkan masalah kejahatan dan penyimpangan di Uni Soviet, Pakistan, Mesir,
Indonesia,dan di masyarakat-masyarakat serupa lainnya.
Memang telah ada upaya-upaya untuk meredakan perbedaan-perbedaan sosiologi antara satu
Negara barat dengan Negara barat lainnya.perbedaan-perbedaan ini bias dihilangkan dengan
interaksi yang lebih akrab antara para sosiolog eropa dan amerika, tetapi kita akan kerap
merasakan adanya kenyataan yang janggal bahwa pendekatan-pendekatan sosiologi barat
didasarkan pada asumsi-asumsi dan penelitian-penelitian asing bagi realitas social di masyarakat
–masyarakat non barat.
Bila kita beralih ke masyarakat muslim,maka akan kita lihat bahwa studi sistematis mengenai
islam ,merupakan suatu bidang yang benar-benar diperdulikan dalam sosiologi. Para sosiolog
barat pada umumnya bukan hanya mengabaikan islam sebagai sebuah unit analisis,melainkan
juga pendekatan mereka tidak konsisten kalaupun mereka sesekali mengkaji islam. Namun
kelemahan-kelemahan kainnya, yang bias dilihat dari pandangan islam merupakan cacat paling
mencolok dalam sosiologi modern,adalah sikapnya terhadap agama secara umum.
Sementara para teoritisi konflik memandang agama sebagai sesuatu yang niscaya akan buruk
atau,seperti ditandaskan oleh karl Marx, sebagai candu bagi massa,maka sebaliknya,
sebagaimana aliran structural-fungsional,teori konflik menganggap agama sebagai satu pranata
masyarakat. Namun karena kebanyakan penganut interaksionis adalah orang amerika,maka
studi-studi mereka terhadap agama sedemikian mirip dengan bagaimana agama dipandang di
amerika yakni sebagai salah satu da banyak pola interaksi dalam masyarakat.
Yang dibutuhkan adalah sustu strategi masyarakat (tentang agama dan masyarakat)yang lebih
bersifat mempersoalkan ketimbang mengikuti asumsi-asumsi yang kini dipegang kuat tentang
agama dan masyarakat ini.
Sosiologi intuk apa?
Dalam sebagian besar ilmu,terdapat ilmu-ilmi social.kontroversi antara yang murni dan yang
terapan dewasa ini kurang akademis,tetapi sosiologi merupakan suatu ilmu yang tetap
menghidupkan perdebatan ini sampai sekarang Yang mengerjakan tugas-tugas lain di samping
mengejar dan meneliti.jadi sosiolog bukan Cuma berperan sebagai analis social,melainkan juga
sebagai perencana dan pemecah masalah.
Tetapi dalam hal ini kita sebaiknya lebih berhati-hati.karena soal penerapan sosiologi niscaya
menimbulkan masalah nilai-nilai,maka para sosiologi barat yang melibatkan masalah harus
menjawab pertanyaan: nilai-nilai yang mana?.tentu saja,kita tidak berharap mereka menjadikan
islam sebagai pedoman.
BAB III
SUMBANGAN KAUM MUSLIM BAGI SOSIOLOGI
Sumbangan Klasik
Jika kita tinjau lebih dalam, banyak cendikiawan-cendikiawan Islam yang hidup di masa
lampau turut memerikan ‘sumbangan’ terhadap ilmu sosiologi. Sebut saja Ibn Khaldun. Ibn
Khaldun agaknya tepat jika disebut sebagai bapak ilmu sosial. Berbeda dengan para
pendahulunya, ia mengemukakan suatu kerangka teoritis yang, di satu sisi, dimaksudkan untuk
menjernihkan sejarah, dan di sisi lain, kerangka ini memberikan suatu pola deduktif bagi
kebiasaan ‘mengumpulkan data’ para ahli etnografi pada masa itu.
Teori yang digagas oleh Ibn Khaldun, menurut Gumplowicz, merupakan teori pertama
mengenai konflik dan perubahan sosial yang diupayakan secara universal. Dalam teorinya, Ibn
Khaldun menjabarkan teori mengenai sifat manusia dan sifat masyarakat manusia. Menurutnya,
manusia itu lemah, pada mulanya bebal, dan pada dasarnya egois. Tapi, di sisi lain, Allah
memberi manusia kekuatan untuk melakukan penalaran dan pemikiran yang abstrak. Bertolak
dari premis ini, Ibn Khaldun melihat masyarakat sebagai suatu alat manusia yang sengaja
diciptakan guna mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk
mempertahankan hidupnya.
Hal tersebut, menurutnya, menggambarkan suatu paradoks. Di satu pihak, manusia didorong
oleh egoismenya untuk berbuat sesuatu dengan caranya sendiri dan sesuka hatinya. Di sisi lain,
peluang-peluangnya untuk mempertahankan hidupnya hanya sedikit sekali jika ia hanya
mementingkan egoismenya sendiri dan tidak mau bekerja sama dengan sesamanya. Lantaran
situasi yang paradoks ini, masyarakat manusia senantiasa mengidap kemungkinan terjadinya
konflik di dalam dan di luar dirinya.
Selain Ibn Khaldun, Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Muslim, juga memberikan sumbangannya
terhadap ilmu sosiologi. Metode mereka dikenal dengan nama tadwin. Tadwin merupakan
metode yang digunakan untuk menilai keshahihan peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan
nabi Muhammad saw. Para pengumpul hadits ini menggunakan metode yang dapat kita sebut
pula dengan metode reputasi, yang dipakai untuk menilai karakter orang-orang yang
menceritakan dan menyebarluaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan nabi pada masa itu.
Monumental lainnya yang mengandung nilai sosiologis yang besar muncul pada masa
pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada masa itu terdapat suatu monumental
yang disebut dengan sosiologi hukum. Di masa itu, para ulama-ulama mampu menetapkan
aturan-aturan yurisprudensi (hukum) Islam dan mengajukan suatu kumpulan hukum yang dapat
diterapkan pada situasi riil dan juga yang diduga akan timbul pada zaman mereka.
Para Sosiolog Muslim Kontemporer
Selama hampir setengah abad belakangan ini, sejumlah mahasiswa Muslim mendapat
pendidikan sosilogis di Barat, atau dididik oleh orang-orang yang memperoleh pendidikan dalam
tradisi sosiologi Barat. Hal ini kemudian, sedikit-banyak, mempengaruhi pola pikir mereka
menjadi pola pikir Barat, dan jauh dari karakter Islam.Perhatian utama mereka kadangkala hanya
berkisar pada penerapan secara membuta.
Berbeda halnya dengan perkembangan sosiologi di negara Islam. Jika diperhatikan, sosiologi
di dunia Muslim menunjukkan bahwa tema-tema yang sering digarap adalah pembangunan
komunitas dan bangsa, sensus dan kependudukan, keluarga berencana, dan dalam beberapa kasus
pengendalian terhadap tingkat kejahatan. Jadi tidak seperti rekan-rekan mereka di Barat, para
sosiolog Muslim tampaknya tidak mengalami krisis identitas sehubungan dengan peranan
sosiologi dalam masyarakat.
Tapi, tentu saja tidak semua mahasiswa Muslim yang belajar di Barat lalu menjadi Barat.
Karena, ada sebagian dari mereka yang mempelajari Islam tatkala belajar di universitas-
universitas Barat. Kalau kaum Khawarij berjuang dengan menghunus senjata melawan
pemerintahan dinasti selama berabad-abad, di zaman modern ini para mahasiswa Muslim
berjuang dengan menggunakan intelektualitasnya.
Semasa menjadi mahasiswa di universitas-universitas Barat, para intelektual Muslim ini sudah
memberontak terhadap klaim-klaim intelektual Barat dan sistem-sistem ekonomi dan politik
yang usang dan rusak yang dibawa masuk ke hampir semua negeri Muslim, sehingga banyak
dari mereka yang menulis sejumlah literatur tentang ekonomi, politik, dan sejarah.
Salah satu tokoh yang produktif dalam membuat literatur adalah Basyarat ‘Ali. Dia menolak
watak sekular dan aneka ragam dari sosiologi Barat umumnya, dan sosiologi Amerika
khususnya. ‘Ali menganggap kebudayaan ideal terkandung dalam Islam. Tanpa Islam,
menurutnya, masyarakat akan membenarkan bahkan mendorong konflik manusia, bukannya
meredamnya.
Seperti halnya Basyarat ‘Ali, ‘Ali Syariati (pemuda Iran berpendidikan Prancis) mungkin
memiliki ambisius yang sama besarnya. Syari’ati bukanlah seorang teoritikus besar seperti ‘Ali
ataupun seorang peneliti lapangan. Dia sesungguhnya adalah sebuah unsur dan sebuah faktor
dalam semangat revolusioner.
Syari’ati melihat dengan sangat jelas dua aspek sosilogi, yaitu aspek murni dan aspek terapan,
sebagai sebuah disiplin ilmiah. Tugas dari sosilogi murni ialah “mengenal dan mengartikan
Islam sebagai sebuah mazhab pemikiran.”. Sedangkan tugas dari sosiologi terapan ialah
menjawab pertanyaan dari “Apa faktor pokok yang menyebabkan suatu masyarakat tiba-tiba
berubah dan berkembang, atau mendadak rusak dan runtuh?”.
BAB IV
TEORITIS
Berikut ini ialah penjabaran dari asumsi-asumsi pokok sosiologi Islam murni atau teoritis.
ASUMSI 1, Sifat Alam: Asumsi ini menjelaskan bahwa Allah merupakan pencipta seluruh
alam semesta termasuk manusia, dan Dia memiliki kekuasaan atas segala yang ada di
dalamnya. Oleh karena itu, asumsi ini menolak nilai sekular dalam sosiologi Barat
kontemporer. Asumsi ini menolak pernyataan-pernyataan yang menggantikan peran Allah
dengan apa yang mereka namakan dengan “alam”, seperti “menurut ketentuan-ketentuan
alam…”, “alam mengharuskan supaya…”, dan pernyataan serupa lainnya yang
menyingkapkan nilai-nilai atheistis maupun agnostisisme. Hal ini dikarenakan “alam” itu
sendiri ialah ciptaan Allah.
ASUMSI 2, Sifat Manusia: Sifat manusia dapat diringkaskan menjadi empat karakteristik
yang digambarkan dalam, dan bisa dijabarkan langsung dari, Al-Qur’an.
Pertama, manusia terbuat dari unsur-unsur yang berlawanan. Dalam wujudnya, Allah
mencampurkan keburukan dan kebaikan. Ada beberapa perujukan ke sumber penciptaan
manusia, yaitu: lempung keras (shalshal kal-fakhkhar), lumpur hitam atau tanah busuk
(hamain masnun), tanah biasa (thin), dan debu (turab), yang tercantum dalam Q.S 55:14,
15:26, 6:2, 23:12, 17:61, 22:5. Sesudah itu, Allah membentuk tubuhnya, Dia menghembuskan
dari Ruh-Nya ke dalamnya, lalu jadilah manusia utuh. Lumpur atau tanah busuk dianggap
sebagai sumber dari segala sesuatu yang mendorong manusia menuju ke hal-hal yang duniawi
dan temporal, dan Ruh Illahi dianggap sebagai sumber segala yang mendorong ke arah
kebaikan.
Kedua, manusia memiliki kehendak bebas di dalm dirinya, yakni kemampuan untuk membuat
keputusan-keputusan. Dalam pengertian luasnya, asumsi ini berarti bahwa eksistensi manusia
dapat digambarkan sebagai suatu proses terus-menerus di antara dilema-dilema tanpa akhir.
Ketiga, manusia telah diberikan kemampuan untuk belajar dan memperoleh pengetahuan.
Pada Q.S 2:31 tertulis bahwasannya “Dan Allah mengajarkan kepada Adam ‘semua nama’”.
‘Semua nama’ yang tercantum pada ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh sebagian besar
pengkaji Islam sebagai hakikat-hakikat dari segala makhluk, dan dengan demikian menunjuk
kepada pengetahuan mengenai seluruh makhluk.
Keempat, dengan memberi manusia kualitas-kualitas unik ini, Allah menjadikannya makhluk
terbaik di antara semua makhluk, bahkan lebih unggul daripada malaikat.
ASUMSI 3, Sifat Tata Sosial: Masyarakat manusia dapat didefinisikan dari segi dua unsur
pokok, yaitu pluralitas manusia, dan hukum-hukum yang mengajut mereka bersama serta
yang dianggap patuh oleh mereka.
ASUMSI 4, Sifat Sejarah Manusia: Manusia tidak hanya terhimpit dalam dilema di dalam
dirinya, melainkan juga seluruh sejarah manusia menggambarkan gerak maju dan pilihan-
pilihan dialektis antara tata sosial yang adil dan tidak adil dalam sejarah manusia.
Menuju Teori Islam tentang Masyarakat
Dengan mengikuti asumsi-asumsi yang telah dijabarkan sebelumnya, kita dapat menarik
kesimpulan yang mencirikannya, yaitu:
Pertama, Teori Islam memperhatikan eksistensi material dan juga spiritual manusia, terutama
asal-usul penciptaan manusia berikut sifat gandanya.
Kedua, Teori ini memusatkan perhatian kepada proses penalaran dan pengambilan keputusan,
dengan memilih di antara alternatif-alternatif yang merupakan landasan-landasan pokok
interaksi sosial pada tingkat minimum.
Ketiga, Teori ini mampu berkembang hingga mencakup proses-proses yang lebih besar,
seperti proses konsensus dan kerjasama di satu sisi dengan konflik dan kompetisi di sisi lain.
Keempat, Teori ini memiliki kemampuan untuk menjelaskan perubahan pola-pola perilaku
individual dan juga tata sosial dari segi proses-proses internal (misalnya evolusi dan revolusi)
maupun faktor-faktor eksternal (misalnya asimilasi dan invasi).
Kelima, Teori ini harus bisa mencakup proses-proses manusiawi yang mencerminkan kubu-
kubu saling berlawanan di dalam lingkup hubungn antar manusia.
BAB V
KRITIS
Teori islam haruslah mengikuti jalan tengah, maksudnya untuk mencakup ekstrem-ekstrem
dalam proses-proses manusiawi, ia harus menghindari sikap-sikap ekstrem. Sebelum membahas
hal-hal spesifik tentang apa yang dilakukan sosiolog untuk membantu memajukan islam,
alangkah baiknya terlebih dahulu menjelaskan gambaran tentang suatu masyarakat ideal islam
dalam zaman modern agar gambaran ini digunakan seperti apa yang dinamakan para sosiolog
yaitu “tipe ideal”, yang selanjutnya dapat dipakai untuk mengukur tingkat penyimpangan
praktek-praktek kaum muslim dari islam. Gambaran ini berfungsi sebagai sebuah model, guna
menilai sejarah kaum muslim di masa lalu dan masa kini.
Islam Sebagai Ideologi
Menganggap seluruh dunia hanya memiliki dua posisi ideologis yaitu: demokrasi kapitalis
dan sosialisme adalah terlalu sederhana. Seharusnya jauh lebih logis memandang system-sistem
yang ada sebagai suatu rangkaian kesatuan, dengan demokrasi kapitalis di satu ujung, dan
sosialisme di ujung lainnya. Diantara keduanya, masing-masing memiliki corak yang berbeda.
Islam bertujuan menciptakan sebuah system yang terletak di tengah rangkaian kesatuan ini.
Tetapi sebenarnya system islam bukan campuran dari keduannya. Ia sendiri memang asli, dengan
wawasannya sendiri tentang kehidupan dan alam semesta, selain itu islam sudah dikenal jauh
sebelum demokrasi kapitalis dan sosialisme ada sebagai ideology-ideologi yang dikenal, islam
sudah tampil sebagai jalan tengah. Karena terletak di tengah antara kedua posisi ideologis
tersebut, islam menghindari ekstrem-ekstrem keduanya, sekaligus mempunyai beberapa
persamaan dengan keduanya.
Islam Sebagai Sikap Hidup
Islam bukanlah sekedar suatu formula ritual. Ia adalah proses ketaatan terhadap aturan yang
telah ditetapkan oleh Allah berkenaan dengan hubungan antara manusia dengan Dia dan
hubungan antar sesama manusia, baik urusan keluarga, politik, ekonomi, pendidikan, rekreasi
dan semua bidang yang secara bersama-sama menopang sepenuhnya kehidupan kemasyarakatan
dan interaksional di muka bumi. Jadi jika suatu masyarakat memilih jalan yang bertentangan
dengan islam, maka ia akan menuju kerusakan dan keruntuhan, walaupun masyarakat itu
masyarakat muslim. Sebaliknya jika suatu masyarakat mengatur dirinya dengan mengikuti
hukum ini, ia akan berhasil mencapai kebaikan, walaupun masyarakat itu masyarakat non
muslim. Asumsi ini meletakkan manusia ditengah antara kebebasan penuh dan keterbatasan
total. Tak seperti benda-benda lain, manusia diberi kemampuan untuk memilih, tapi potensi ini
dibatasi dan disalurkan melalui islam. Masyarakat islam ideal terletak ditengah antara system
yang mendukung dan mengklaim tingkat kebebasan berbuat dan berekspresi yang tinggi. Berikut
ini contoh kasus dalam bidang pernikahan dan keluarga untuk menjelaskan maksud dari posisi
tengah antara kebebasan penuh dan keterbatasan total.
Pernikahan dalam islam hakikatnya adalah sebuah kontrak sosial antara mempelai pria dan
mempelai wanita. Kontrak ini harus diselenggarakan dengan penerapan penuh kebebasan
memilih. Tetapi dipihak lain, segala praktek pernikahan yang didahului dengan kebebasan
melakukan hubungan seks pranikah, kencan, pacaran ataupun sebagaimana yang umum terjadi
dalam masyarakat-masyarakat tertentu dilarang tegas. Maka dari itu, anggota keluarga harus
berperan sebagai perantara. Dengan demikian, secara ideal islam memberikan kebebasan
memilih dalam pernikahan, namun pilihan ini hampir tidak mungkin ada tanpa bantuan orang-
orang disekitarnya. Tetapi dalam islam, para kerabat yang mempunyai peranan dalam pernikahan
tersebut harus menghormati hak-hak kedua mempelai.
Masalah lain contoh mengenai “jalan tengah” dalam islam, di bidang ekonomi: Masyarakat
islam didasarkan pada ekonomi pasar bebas dan menghormati hak milik pribadi. Tapi dipihak
lain, islam bertujuan mengurangi deskriminasi antara si kaya dan si miskin dalam masyarakat.
Tujuan ini dapat dicapai dengan memeratakan sumber-sumber daya. Sebagaimana etika kerja
protestan, etika kerja islam mendorong dan memajukan dedikasi dalam kerja untuk memperoleh
penghidupan, tetapi tak seperti etika protestan, islam memandang keberhasilan dalam
mengumpulkan kekayaan belum tentu sebagai petunjuk mendapatkan rahmat Allah. Dalam
alqur’an mengajarkan mengejar dunia material secara membabi-buta adalah hal yang sia-sia,
karena kebaikan sejati terdapat di akhirat nanti.
Contoh lainnya, bidang politik. Islam mengajarkan sebuah system yang terletak di tengah-
tengah antara otoritarianisme dan demokrasi. Jadi, dalam hubungan-hubungan kekusaannya,
islam bukanlah otoritarian dan bukan juga demokrasi meskipun ia mengandung unsur-unsur
kedua system ini. Islam bersifat otoritas maksudnya otoritas tertinggi dalam Negara islam
terletak di tangan Yang Mahakuasa sendiri, hukumNyalah yang harus ditegakkan. Orang-orang
yang bertanggung jawab menyelenggarakan Negara islam adalah wakil-wakilNya, yang wajib
dipatuhi selama mereka menaati aturan Allah dan RasulNya. Hal ini lazim dipahami berdasarkan
ayat “”taatilah Allah, dan Rasul serta orang-yang memegang otoritas di antara kalian.” (QS.
24:54).
Sebagai amir dalam menjalankan tugas-tugasnya, ia memperoleh banyak petunjuk dari tradisi
nabi. Namun, penerapan hukum-hukum Al-qur’an yang sangat tegas pun mungkin tidak cocok
untuk situasi-situasi tertentu dan tradisi nabi juga tidak memberikan contoh cukup, maka
ditempuhlah suatu proses yang menunjukkan betapa Negara islam, yang diselenggarakan dalam
batas-batas otoritas Allah, mementingkan keikutsertaan rakyat. Berbagai pedoman diberikan
untuk mengatasi situasi-situasi probematis semacam itu, misalnya: ijma, ijtihad dan qiyas atau
pemikiran kita sendiri dengan mempertimbangkan Alqur’an dan sunnah, jika solusi-solusi yang
diperlukan tidak terdapat secara jelas dalam al-qur’an dan sunnah.
Harus diingat, bahwa proses-proses ini berkaitan langsung dengan perintah Al-qur’an: “dan
syura merupakan otoritas di antara mereka” (QS. 42:38). Ayat ini sekaligus menjawab
permasalahan, yaitu mengenai siapa orang yang memiliki otoritas sebagai wakil Allah atas kaum
muslim, dan bagaimana proses munculnya otoritas ini. Permasalahan ini telah terjawab dengan
sendirinya, orang yang memiliki otoritas dalam masyarakat islam harus muncul melalui proses
syuro. Ayat diatas dalam pengertiannya memberikan cara pemecahan masalah, baik masalah
individu maupun masalah yang berkaitan dengan proses-proses dalam masyarakat sebagai suatu
keseluruhan.
Pendekatan sosiologis apa pun terhadap islam, hendaknya tidak boleh mengabaikan makna syuro
(musyawarah). Syuro bukanlah suatu lembaga konsultasi. Ia merupakan suatu proses dinamis
dengan tujuan menemukan solusi atas masalah-masalah yang muncul dalam kancah kehidupan
bersama sebagai anggota suatu masyarakat. Dalam bidang politik, syuro tidak hanya
mencerminkan suatu proses yang melaluinya otoritas tertinggi dimunculkan, melainkan juga
menetapkan mekanisme yang mengatur cara dilahirkan dan dijalankan otoritas tersebut, dan
suatu problem tidak akan dapat diselesaikan tanpa mempertimbangkan semua orang yang terlibat
dalam masalah itu. Syuro dalam aspek-aspek politiknya, merupakan sebuah system yang berasal
dari kehendak Allah, demi Allah, dan melalui otoritas Allah.
Syuro merupakan prinsip organisasi islam. Tanpa adanya syuro tidak akan muncul organisasi
di kalangan kaum muslim, baik itu di lembaga kemahasiswaan, perusahaan, kelompok kerja
social, ataupun pemerintahan. Tetapi yang mengherankan, syuro hanya mendapat perhatian
sedikit dalam praktek dan literature islam. syuro adalah proses ketakwaan, maksudnya proses
yang tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulNya, yang meliputi:
1. Masalah
2. semua orang yang terlibat dalam masalah tersebut
3. perbedaan pendapat diantara orang-orang tersebut
4. pengambilan keputusan oleh orang-orang tersebut
5. ketaatan kepada keputusan itu.
Dengan contoh ketiga kasus tersebut, masyarakat islam dapat menempuh suatu jalan tengah
yang menghindari kebebasan maupun pembatasan yang berlebihan. Ini merupakan satu-satunya
cara memahami makna ayat: “Allah tidak pernah membebani setiap jiwa lebih daripada yang
mampu dipikulnya” (QS 2:286).
BAB VI
STRATEGIS
Seperti sudah disebutkan, nestapa terbesar yang menimpa masyarakat-masyarakat
muslim kontemporer adalah keterbelakangan ekonomi. Di beberapa negara, jumlah uang yang di
investasikan bagi pertumbuhan industri adalah kecil. Sedang dinegara-negara lainnya, kekayaan
yang baru diperoleh belum dimanfaatkan untuk memproduksi hal-hal yang bermanfaat. Dan
upaya mereka membangun perekonomian masing-masing, negeri-negeri muslim ini mengikuti
pedoman-pedoman kapitalisme atau sosialisme, meskipun kenyataannya upaya pembangunan ini
telah berlangsung lebih dari seperempat abad, dan problem keterbelakangan tetap saja bercokol
kuat.
Masyarakat muslim yang mengenut sistem pembangunan kapitalis barat ternyata merupakan
masyarakat-masyarakat yang paling ketrat dililit utang dunia. Di pihak lain, masyrakat-
masyrakat muslim yang mengikuti sosialisme mengalami otoritarianisme dan ketidakefesienan
birokrasi, yang telah menyebabkan terjadinya pemborosan besar atas sumber-sumber daya
nasional, sementara kaum buruhnya mengalami alienasi yang sangat akut. Akibatnya,
kemerdekaan politik yang diperoleh negeri-negeri ini dengan perjuangan berat, menjadi hilang
karena ketergantungan ekonomi, sebab mereka masih harus membayarkan semua dividen.
Bersama intelektual-intelektual lainnya para sosiolog telah memainkan peranan penting dalam
usaha-usaha pembangunan ini dinegeri mereka masing-masing. Para ahli sosiologi pembangunan
dinegeri muslim memang telah menyarankan cara-cara dan sarana-sarana untuk mengubah sikap
penduduk tradisional supaya menerima, misalnya keluarga berencana atau teknik pertanian.
Tetapi mereka hampir tidak memperdulikan dampak negatif yang mungkin menimpa massa
dan keluarga diperkotaan. Masyarakat-masyarakat muslim memperlihatkan tingkat pertumbuhan
spektrum tingkat pertumbuhan penduduk yang berbeda-beda. Dalam sebuah karya tentang Asia
yang cukup sering dikutip oleh Marydal, menunjukkan unsur korupsi dan birokrasi dubeberapa
negara berkembang ini. Dia menyebut negara-negara ang dililit korupsi dengan istilah “negara
lunak”. Di sejumlah negeri penyuapan, penggelapan, dan penyalahgunaan dana-dana pemerintah
menggejal sedemikian rupa, sehingga dengan mudah hukum dilanggar dan dikesampingkan oleh
para pejabat.
Tetapi ada bentuk lain korupsi yang masih belum dibahas oleh para ahli ilmu sosial. Lantaran
tidak ada istilah yang tepat kami menyebutnya “pita merah penekan”. Pita merah penekan
merupakan fenomena dimana sang birokrat tak berfungsi sebagai orang yang menjalankan
kewajiban, tidak pula menuntut imbalan apa-apa.
Dalam dua kasus tersebut terlihat kurangnya komitmen pribadi terhadap proses
pembangunan-pembangunan yang lebih luas. Dari pandangan orang-orang yang berada
diambang kelaparan seluruh argumen ini seakan terdengan tak relevan, atau bahkan
memedihkan. Ia akan lebih memilih sistem lainyang bisa membebaskannya dari penderitaan.
Masyarakat-masyarakat muslim yang mengikuti sistem-sistem initidak akan mampu mengatasi
problem rillnya, karena problem tresebut bukanlah semata-mata bersifat ekonomi tapi bersifat
manusia. Jiwa manusia yang terdapat dalam tubuh material yang fana, merupakan unsur paling
murni yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia.
Yang dibutuhkan dan perlu ditampilkan masyarakat muslim muslim kepada dunia adalah
model pembangunan Islam. Model pembangunan Islam bertujuan untuk membentuk suatu
masyarakat Islam yang ideal berdasarkan lingkungan politik dan sosial ekonomi yang memenuhi
kebutuhan material dan spritual manusia. Perubahan sosial Islam mempunyai dua aspek utama:
yang pertama “Orientasi Internal” dan “Orientasi Eksternal”.
Orientasi Internal
Sejak kekhalifahan Islam terhapus, selalu ada gerakan-gerakan dalam setiap dunia muslim
untuk membangun kembali sistem tersebut. Tetapi pendekatan yang lebih digunakan oleh Islam
kontemporer ini sangat beragam. Sebagian memilih Evolusioner, dan sebagian yang lain tetap
bersikeras dengan gagasan revolusi. Karen itu tugas sosiolog Islam adalah menjelaskan kapan
revolusi merupakan suatu hal yang bukan hanya diidamkan tapi juga sesuatu yang mungkin.
Demikian pula mereka harus menunjukkan kapan dan dalam keadaan apa suatu aktifitas
evolusioner baik yang disulut oleh rakyat maupun pemerintah mempunyai peluang yang besar
untuk berhasil.
Orientasi Eksternal
Pada saat ini sukar menemukan kaum muslim yang mengupayakan kegiatan dakwah secara
serius dan sistematis. Dakwah merupakan hal yang fundamental dalam Islam. Kegiatan inilah
yang akhirnya menyebabkan Islam, pada awalnya tersebar diarabia dan tempat-tempat lain. Para
sosiolog dapat memberikan sumbangan dan tekhnik-tekhnik dakwah sebagaimana yang
digunakan oleh praktisi kegiatan ini yang palin sukses dalam Islam, yaitu Nabi SAW sendiri.
Ada dua jenis penduduk yang harus menjadi sasaran dakwah Islam:
Minoritas non-muslim diwilayah-wilayah mayoritas muslim.
Mayoritas non muslim hidup bersama minoritas muslim.
SOSIOLOGI AGAMA
KELOMPOK 9
Adysha Citra R
Ilyas Rosadi
Meiliani Sujati
Siti Zuhriyah
JURUSAN ILMU AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA