Makalah Sosio Antropologi Pendidikan222

download Makalah Sosio Antropologi Pendidikan222

of 18

description

antropologi pendidikan

Transcript of Makalah Sosio Antropologi Pendidikan222

MAKALAH SOSIO ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

KULTUR SEKOLAH YANG KONDUSIF SEBAGAI

PENGEMBANGAN MORAL SISWADisusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sosio Antropologi Pendidikan

Dosen : Y. CH. Nany Sutarini, M. Si

Di susun oleh:

Supriyanto

10505244002

Ahdiat Burhan

10505244006

Taufiq Kurniawan

10505244023

Amanda Olif P

10505244025

Usfatun Nur Fajriyani10505244035

Lilis Trianingsih

10505244037Kelas 4BPENDIDIKAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2012KATA PENGANTAR

Marilah kita bersyukur kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan taufik, hidayah dan inayahNya karena tugas makalah Sosio Antropologi Pendidikan dengan judul Kultur Sekolah yang Kondusif Sebagai Pengembangan Moral Siswa ini dapat tersusun dengan baik untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosio Antropologi Pendidikan.Dalam penyusunan tugas ini,kami tidak bekerja sendiri, tetapi banyak dari pihak lain yang membantu. Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak pihak yang telah bersedia membantu, antara lain :

1) Ibu Y. CH. Nany Sutarini, M. Si selaku dosen mata kuliah Sosio Antropologi Pendidikan yang senantiasa membantu dan membimbing dalam penyusunan tugas ini.

2) Orang Tua yang memberikan dorongan atau motivasi untuk tetap terus berusaha dalam penyusunan tugas ini.

3) Rekan rekan seperjuangan yang memberi bantuan moril maupun spiritual.

Didalam penyusunan tugas ini penyusun telah berusaha semaksimal mungkin, ibarat pepatah Tak ada gading yang tak retak, tiada hidup dalam kesempurnaan. Kami mohon kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tugas ini. Harapan penyusun, tugas ini dapat memenuhi tuntutan dari dosen dan mempunyai amalan serta merupakan sumbangan kepada nusa dan bangsa Indonesia.

Dan jasa budi baik dari Bapak dan Ibunda tercinta serta teman-teman seperjuangan dalam penyusunan tugas ini akan mendapatkan balasan dari Tuhan YME. Hingga semoga dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.

Yogyakarta,

Penulis

BAB 1

PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG

Pendidikan di era globalisasi menghadapi berbagai tantangan yang semakin berat. Cepatnya perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan dimasyarakat, di satu sisi dapat membawa kemajuan, namun juga sekaligus melahirkan kegelisahan pada masyarakat. Salah satu hal yang menggelisahkan adalah persoalan moral. Orang sepertinya tidak lagi memiliki pegangan akan norma-norma kebaikan. Dalam situasi ini, terutama dalam pendidikan, dibutuhkan sikap yang jelas arahnya dan norma-norma kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.Pendidikan tidak hanya dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan sosial yang ada, namun lebih dari itu, pendidikan juga dituntut untuk mampu mengantisipasi perubahan dalam menyiapkan generasi muda untuk mengarungi kehidupannya di masa yang akan datang. Salah satu tantangan pendidikan masa depan adalah tetap berlangsungnya pendidikan nilai, supaya nilai-nilai luhur yang menjadi acuan dalam perilaku, dapat ditransformasikan dari generasi ke generasi, khususnya dalam rangka menepis berbagai dampak negatif dari perubahan sosial. Namun dalam kenyataannya, seperti diungkapkan oleh Sudarminta (Atmadi, 2000:3) sungguhkah kegiatan pendidikan selama ini, baik melalui jalur sekolah maupun luar sekolah sudah kita rancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantangan hidupnya di masa depan.Institusi pendidikan,terutama sekolah, selama ini dianggap sebagai salah satu lembaga sosial yang paling konservatif dan statis dalam masyarakat. Sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sering kurang mampu mengikuti dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi di masyarakat. Supaya kegiatan pendidikan mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidupnya di masa depan, harus diantisipasi (berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada), apa yang menjadi tantangan hidup mereka di masa depan. Persoalan pendidikan tidak hanya menyangkut aspek yang bersifat kuantitatif, akan tetapi hal-hal lain yang bersifat kualitatif masih menjadi pekerjaan rumah, antara lain: persoalan relevansi kurikulum, kualitas pendidik, moralitas pendidik dan peserta didik, desentralisasi pendidikan, rendahnya komitmen anak bangsa, serta alat ukur pendidikan di setiap jenjang pendidikan. Dalam skala mikro, paradigma lama yang dijadikan sebagai dasar praksis pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatian pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang dikembangkan secara sistematis dan pedagogis (Suyanto dalam Sismono, 2006:128). Supaya pendidikan bermakna bagi kehidupan siswa, maka dalam proses pendidikan, guru harus sanggup mengembangkan aspek kognitif siswa (menyangkut knowledge) dan afektif (menyangkut moral and social action) secara simultan.

Pendidikan dinilai merupakan bagian integral kegiatan pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan melibatkan pembentukan sikap, kepribadian, dan watak peserta didik. Pendidikan tidak hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas dan terampil, tetapi juga menghasilkan pribadi yang memiliki nurani dan budi pekerti luhur. Tanpa adanya integritas pribadi, kecerdasan dan ketrampilan bisa saja disalahgunakan untuk hal-hal yang merugikan. Untuk itu, disadari pentingnya pengembangan budi pekerti di pusat-pusat pendidikan, termasuk di sekolah. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan pengajaran, bimbingan, dan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Pendidikan tidak hanya terlaksana di sekolah, namun juga berlangsung dalam keluarga dan masyarakat. Pendidikan merupakan proses pemanusiaan dan menyiapkan manusia untuk menghadapi tantangan hidup. Tanpa bermaksud mengecilkan upaya peningkatan kualitas pendidikan yang telah dilakukan, dalam kenyataannya memang banyak pembenahan yang harus dilakukan. Dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas sekolah misalnya, sekurangnya ada tiga aspek pokok yang perlu diperhatikan, yaitu a: 1) proses belajar mengajar, 2) kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan 3) kultur sekolah (Depdikbud, 1999:10). Dua hal yang disebut pertama sudah banyak menjadi fokus perhatian berbagai pihak yang peduli pada peningkatan kualitas pendidikan. Namun faktor yang ketiga, yaitu kultur sekolah, belum banyak diangkat sebagai salah satu faktor yang menentukan, termasuk dalam upaya pengembangan moral siswa di sekolah. Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan mempunyai budaya (culture) tidak tertulis yang mendefinisikan standar-standar perilaku yang dapat diterima secara baik, yang tersirat dalam budaya dominan sekolah. Setiap sekolah merupakan suatu sistem yang khas, mempunyai kepribadian dan jati diri sendiri, sehinga memiliki kultur atau budaya yang khas pula. Budaya sekolah bisa merupakan bagian atau subkultur dari kuktur masyarakat atau bahkan budaya bangsa dan negara.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu dari hal tersebut adalah membangun kultur sekolah dengan baik. Kultur sekolah merupakan kultur organisasi dalam konteks persekolahan. Kultur sekolah sebagai kualitas kehidupan sekolah yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan nilai yang dianut sekolah, yakni dalam bentuk bagaimana warga sekolah seperti komite sekolah, yayasan (untuk swasta), kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa bekerja, belajar, dan berhubungan satu sama lain. Kultur sekolah merupakan faktor yang esensial dalam membantuk siswa menjadi manusia yang optimis, berani tampil, berprilaku kooperatif serta memiliki kecakapan personal dan akdemikB. Rumusan Masalah1. Pengertian kultur sekolah ?

2. Bagaimana tugas dan tanggung jawab kepala sekolah terhadap pengembangan kultur sekolah ?3. Bagaimana bentuk pegembangan dan peningkatan kinerja sekolah yang efektif melalui pendekatan budaya?4. Apa saja prinsip dan asas-asas dalam pengembangan budaya sekolah ?

5. Bagaimana upaya untuk menghidupkan kultur kelas/sekolah yang kondusif bagi perkembangan moral siswa ?C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui pengertian kultur sekolah.2. Untuk mengetahui tugas dan tanggung jawab kepala sekolah terhadap pengembangan kultur sekolah.

3. Guna mengetahui bentuk pegembangan dan peningkatan kinerja sekolah yang efektif melalui pendekatan budaya.

4. Guna mengetahui prinsip dan asas-asas dalam pengembangan budaya sekolah.

5. Untuk mengetahui upaya untuk menghidupkan kultur kelas/sekolah yang kondusif bagi perkembangan moral siswa.

BAB II

PEMBAHASAN1. Pengertian Kultur Sekolah Kultur sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.

2. Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah Terhadap Pengembangan Kultur SekolahKultur Sekolah adalah tradisi sekolah yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan spirit dan nilai-nilai yang dianut sekolah. Tradisi itu mewarnai kualitas kehidupan sebuah sekolah. Ditunjukkan dari yang paling sederhana, misalnya cara mengatur parkir kendaraan guru, siswa, dan tamu. Cara memasang hiasan di dinding-dinding ruangan, sampai dengan persoalan-persoalan menentukan seperti kebersihan kamar kecil, situasi proses pembelajaran di ruang-ruang kelas, cara kepala sekolah memimpin rapat bersama staf, merupakan bagian integral dari sebuah kultur sekolah (Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, 2004)

Kepada siswa tidak diberikan mata pelajaran kultur sekolah, tetapi secara tak langsung mereka akan memperolehnya melalui tindakan sehari-hari, nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan yang baik atau buruk dari berbagai elemen sekolah, termasuk kepala sekolah, para guru, dan staf lainnya. Inilah yang akan diserap dan diyakini oleh siswa sebagai kultur sekolahnya.

Sekolah juga wajib memperhatikan persepsi setiap orang yang berkunjung ke sekolah tersebut. Sebab, orang itu akan menganggap kesan pertama yang dijumpainya sebagai kultur sekolah. Yaitu, ketika ia melihat guru-guru saling berinteraksi, ketika ia melihat sikap siswa-siswa yang dijumpai di luar kelas, tidak terkecuali bagaimana sikap kepala sekolah dan stafnya saat berdialog dengannya. Kejadiannya mungkin hanya sekilas, tetapi ia dapat menanggapi mendalam ihwal iklim sekolah pada saat itu. Dan tanggapannya terhadap semua itu akan membentuk sikap dan perasaan mengenai kultur sekolah tersebut. Beruntung kalau tanggapan itu bernilai positif, tapi akan berdampak buruk kalau sebaliknya.

Oleh karena, sebagai implementasi dari Permendiknas 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, maka kepala sekolah mempunyai tugas dan tanggungjawab terhadap perkembangan kultur sekolahnya. Ini merupakan penuntasan kompetensi yang berdimensi manajerial dalam Permendiknas 13/2007 tersebut. Ia harus senantiasa mengevaluasi sejauh mana kultur sekolah telah benar-benar kondusif. Maksudnya kultur sekolah yang secara produktif mampu menumbuhkan dan mengembangkan perilaku seluruh elemen sekolah sebagaimana yang diinginkan.

Namun kultur sekolah yang kondusif juga mensyaratkan adanya partisipasi seluruh warga sekolah dan pemangku kepentingan pendidikan. Secara manajerial, kepala sekolah yang bertanggungjawab, tetapi secara operasional menjadi tugas seluruh warga sekolah termasuk pemangku kepentingan pendidikan.

Implikasinya, spirit dan nilai-nilai kebersamaan, keterbukaan, disiplin diri, dan tanggungjawab, harus senantiasa mewarnai pembentukan struktur organisasi sekolah, penyusunan deskripsi tugas, prosedur kerja, kebijakan, aturan-aturan, tata tertib sekolah, hubungan vertikal dan horisontal antar warga sekolah, acara-acara ritual dan seremonial sekolah. Keseluruhannya secara kooperatif akan menentukan bentuk perilaku sistem sekolah, perilaku kelompok atau perorangan warga sekolah, yang meliputi latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim (Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, 2004)

Di samping itu, dalam kegiatan menciptakan kultur sekolah tidak dapat dipisahkan dengan upaya menegakkan budaya mutu. Oleh Depdiknas (MPMBS, 2001) di ungkapkan, bahwa budaya mutu harus memiliki elemen-elemen sebagai berikut :

1. Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, tidak untuk menakut-nakuti, menegur, apalagi mengadili kekurangan atau kelemahan bawahan.

2.Kewenangan seseorang harus sebatas deskripsi tugasnya, sehingga jelas siapa berposisi apa, bertanggungjawab kepada siapa, dan berhak memerintah siapa

3.Hasil kinerja harus diikuti rewards atau punishments, dengan tujuan demi membangun keseimbangan, meskipun tidak akan mudah menetapkannya dengan berkeadilan

4.Kolaborasi dan sinergi bukan kompetisi penuh, harus merupakan basis kebersamaan untuk kinerja.

5.Setiap warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, tidak was-was di-PHK dan sejenisnya.

6.Atmosfer fairness harus dimainkan, imbal jasa sepadan dengan kedudukan, nilai, dan kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok.

7.Setiap warga sekolah merasa memiliki sekolah dengan segenap komponennya.Apabila hal tersebut di atas berhasil diwujudkan oleh kepala sekolah, maka sebagian tugas dan tanggungjawabnya telah terpenuhi. Dan sebagai bukti terciptanya budaya mutu dalam kultur sekolah adalah terbentuknya warga sekolah yang berperilaku profesional, bermartabat, dan merasa puas dengan kesejahteraannya.3. Bentuk Pegembangan dan Peningkatan Kinerja Sekolah yang Efektif MelaluiPendekatan Budaya.Perubahan pesat yang dialami oleh bangsa Indonesai telah membawa kepada semakin kompleksnya masalah yang dihadapi, terutama jika dilihat dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai (Sairin 2003:5). Jika dalam keluarga dan masyarakat terdapat gangguan dalam proses transmisi nilai-nilai tersebut, apakah mungkin sekolah mampu memainkan peran yang lebih besar daripada sebelumnya ? Pendidikan nilai hanya akan berhasil jika di pihak peserta didik ada disposisi batin yang benar, yang antara lain adalah sikap terbuka dan percaya, jujur, rendah hati, bertanggung jawab, berniat baik, setia dan kita melaksanakan nilai-nilai, disertai budi yang cerah. Nilai-nilai itu tidak dapat dipaksakan, melainkan masuk ke dalam hati kita secara lembut ketika hati kita secara bebas membuka diri. Selain factor internal, factor eksternal seperti pengaruh lingkungan sosial juga patut dipertimbangkan. Menurut Djiwandono (Sindhunata, 2000:110), pendidikan nilai ditujukan pertama pada penanaman nilai-nilai untuk menangkis pengaruh nilai-nilai negatif dalam artian moral yang merupakan akibat arus globalisasi. Untuk memerangi kecenderungan materialisme, konsumerisme, dan hedonisme misalnya, kita dapat menanamkan pada generasi muda nilai kesederhanaan dan cinta kasih kepada sesama, sekurang-kurangnya dalam bentuk kepedulian pada orang lain, kepada sesama. Kita juga dapat menanamkan pemahaman dan penghayatan nilai keadilan, karena kecenderungan materialisme, konsumerisme, dan egoisme, karena kecederungan tersebut sebenamya dapat dianggap sebagai cermin egoisme, kurang cinta kasih, dan kurangnya kepedulian pada orang lain. Pendidikan nilai yang dilakukan secara formal hampir pasti tidak akan mengenai sasaran. Karena disposisi murid tidak terbangun dengan baik, sehingga batinnya tidak membuka dan tidak siap untuk menerima nilai-nilai yang ditawarkan. Disposisi ini amat ditentukan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal yang menentukan disposisi adalah : niat-motivasi dan arah konsentrasi perhatian murid. Sedangkan factor-faktor eksternalnya adalah sikap, tata ruang, dan dinamika hubungan antar subjek yang terlibat. Pendekatan budaya untuk mengembangkan atau meningkatkan kinerja sekolah akan lebih efektif jika dibandingkan dengan pendekatan struktural (Sastrapratedja Dinamika Pendidikan, 200I: 1)Pendekatan budaya dengan pusat perhatian pada budaya keunggulan (culture of excellence) menekankan pengubahan pada pikiran, kata-kata, sikap, perbuatan, dan hati setiap warga sekolah. Pendekatan budaya dalam rangka pengembangan budaya sekolah dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan atau orientasi :

1) Pembentukan tim kerja dari berbagai unsur dan jenjang untuk saling

berdialog dan bernegosiasi. Tim ini terdiri dari pimpinan sekolah, guru,konselor, karyawan administrasi.

2) Berorientasi pada pengembangan visi. Pendekatan visioner menekankanpandangan kolektif mengenai yang ideal.3) Hubungan kolegial. Melalui kolegialitas tim, akan muneul bagaimana sikap saling menghargai dan memperkuat identitas kelompok, bersama-sama dansaling mendukung.4) Kepereayaan dan dukungan. Saling pereaya ,(trust) dan dukungan (support) adalah esensial bagi bekerjanya organisasi. Tim dapat bekerja seeara sinergis dan dinamikjika dua unsur tersebut ada.5) Nilai dan kepentingan bersama. Tim harus dapat mendamaikanberbagai kepentingan. Menjadi tugas pimpinan untuk merekonsiliasikan kepentingan.6) Akses pada informasi. Mereka yang bekerja dalam organisasi hanya akan dapat menggunakan kemampuannya seeara efektif jika mereka dapat memperoleh akses pada informasi yang dibutuhkan.7) Pertumbuhan sepanjang hidup. Lifelong learning dibutuhkan dalam dalam dunia yang berubah dengan pesat.

4. Prinsip dan Asas-Asas Dalam Pengembangan Budaya Sekolah Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarampil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.

Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini.

1. Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah.

Pengembangan budaya sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.

2. Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal.

Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.

3. Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko.

Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.

4. Memiliki Strategi yang Jelas.

Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.

5. Berorientasi Kinerja.

Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.

6. Sistem Evaluasi yang Jelas.

Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.

7. Memiliki Komitmen yang Kuat.

Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.

8. Keputusan Berdasarkan Konsensus.

Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.

9. Sistem Imbalan yang Jelas.

Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.

10. Evaluasi Diri.

Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya sekolah.Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah berpegang pada asas-asas berikut ini:

1. Kerjasama tim (team work).

Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah.

2. Kemampuan.

Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.

3. Keinginan.

Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.

4. Kegembiraan (happiness).

Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.

5. Hormat (respect).

Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya.

6. Jujur (honesty).

Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.

7. Disiplin (discipline).

Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.

8. Empati (empathy).

Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami.

9. Pengetahuan dan Kesopanan.

Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.5. Upaya Untuk Menghidupkan Kultur Kelas/Sekolah Yang Kondusif Bagi Perkembangan Moral SiswaBeberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk menghidupkan kultur kelas/sekolah yang kondusif bagi perkembangan moral siswa antara lain :1. Hadap masalah/Problem SolvingMood diajak berdiskusi untuk memecahkan suatu masalah konkrit.2. Reflective Thinking/Critical ThinkingMood secara pribadi atau kelompok diajak untuk membuat catatan refleksi atau tanggapan atas suatu artikel, peristiwa, kasus, gambar, foto, dan lain-lain.3. Dinamika kelompok (Group Dynamic)Murid banyak dilibatkan dalam kerja kelompok seeara kontinyu untuk mengerjakan suatu proyek kelompok.4. Membangun suatu komunitas keeil (Community Building)

Murid satu kelas diajak untuk membangun komunitas atau masyarakat mini dengan tatanan dan tugas-tugas yang mereka putuskan bersama secara demokratis.5. Membangun sikap bertanggung jawab (Responsibility Building)Murid diserahi tugas atau pekerjaan yang konkrit dan diminta untuk membuat laporan yang sejujur-jujumya. Dalam semua kegiatan tersebut, murid dan juga gurunya akan mendapat kesempatan untuk banyak berinteraksi dan mengalami nilai-nilai dalam berbagai bentuknya yang konkrit, kontekstual, dan relevan bagi hidup mereka. Hal itu sekaligus akan membentuk dan mengembangkan kepribadian dalam hidup mereka dari dalam , dari yang rohani. Selain itu yang juga perlu diperhatikan untuk pengembangan nilai dan moral adalah :

1. Para pendidik terlebih dahulu harus tahu dan jelas akan akal budinya, memahami dengan hatinya nilai-nilai apa saja yang akan diajarkan (entah yang tersembunyi di balik setiap bidang studi atau nilai-nilai kemanusiaan lainnya.2. Para pendidik mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik dengan sentuhan hati dan perasaan, melalui contoh-contoh konkrit dan sedapat mungkin teladan si pendidik sehingga peserta didik dapat melihat dengan mata kepala sendiri alangkah baiknya nilai itu, misalnya melalui metode problem solving, value clarification technique, dIl.3. Membentu peserta didik untuk mengintemalisasikan nilai-nilai tersebut tidak hanya dalam akal budinya, tetapi terutama dalam hati sanubari si peserta didik sehingga nilai-nilai yang dipahaminya menjadi bagian dari seluruh hidupnya. Dalam tahap ini diharapkan peserta didik merasa memiliki dan menjadikan nilai tersebut sebagai sifat dan sikap hidupnya.4. Peserta didik yang telah merasa memiliki sifat-sifat dan sikap hidup sesuai dengan nilai-nilai tersebut didorong dan dibantu untuk mewujudkan atau mengungkapkannya dalam tingkah laku hidup sehari-hari. Jika dalam praktik di masyarakat umum sendiri menunjukkan adanya berbagai tindakan yang mencerminkan krisis moral, tentunya sulit bagi para pendidikdi sekolah untuk melakukan penyemaian nilai-nilai moral secara efektif. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai moral telah dilecehkan di masyarakat. Bagaimana mengembangkan kultur sekolah dalam masyarakat seperti

Itu ? Tanpa adanya dukungan dari masyarakat, kultur sekolah yang kondusif bagi penyemaian nilai-nilai moral yang dengan susah payah dikembangkan di sekolah bagaikan angin lalu saja.Namun walaupun begitu, kiranya upaya pengembangan moral melalui kultur sekolah tetap harus diupayakan.

BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANPendidikan tidak hanya dituntut untuk memberikan bekal pengetahuan kepada siswa mengenai apa-apa yang harus diketahui di masa depannya. Akan tetapi, pendidikan mestinya juga dapat memberikan bekal nilai-nilai moral sebagai pegangan hidup generasi muda di masa depan yang berbeda dari kenyataan sekarang. Tanpa bermaksud mengecilkan berbagai pihak yang telah mengupayakan perbaikan pendidikan, kiranya perubahan-perubahan masih perlu terus dilaksanakan. Upaya yang telah dilakukan selama ini, lebih banyak menyangkut pada proses pembelajaran di kelas, kepemimpinan dan manajemen sekolah. Pembenahan pendidikan di sekolah melalui kultur sekolah, belum menjadi fokus. Padahal, pengembangan kultur sekolah tidak saja bermanfaat bagi peningkatan prestasi siswa di bidang akademik dan non akademik, namun juga berpengaruh bagi keberhasilan dalam penyemaian nilai-nilai moral di sekolah. Oleh karena itu komitmen berbagai pihak masih diperlukan demi terwujudnya kultur sekolah yang kondusif bagi pengembangan moral siswa

B. SARANSeyogyanya semua elemen sekolah, dipimpin oleh kepala sekolah mengembangan dan meningkatan kinerja sekolah yang efektif. Keefektifan tersebut akan menghidupkan kultur kelas / sekolah yang kondusif bagi perkembangan moral siswa. Sehingga dapat melahirkan lulusan pesrta didik yang memiliki moral yang benar sesuai dengan nilai-nilai moral di masyarakat. C. DAFTAR PUSTAKA

Atmadi, A. & Setianingsih, Y. (ed). 2000. Transformasi Pendidikan, Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta : Penerbitan Universitas Sanata Dharma.Depdikbud. 1999. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan.

Hadiwardoyo, AL. Puwa. 1990. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta : Kanisius.

Harrison, Lawrence E. & Huntington, Samuel P. 2000. Culture Matters, How Values

Shape Human Progress. New York: Basic Books.

Sairint Sjafri. 2003. Ku/tur Seko/ah da/am Era Mu/tiku/tura/. Makalaah Seminar

Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Pengembangan KUltur Sekolah,

Pascasarjanat UNY, 12Juni.

Sastrapratedjat M. 2001. Budaya Seko/ah. Artikel Majalah Ilmiah Dinamika

Pendidikan No. 21Th.VIII November.

http://umum.kompasiana.com/2009/09/02/tugas-dan-tanggungjawab-kepala-sekolah-terhadap-pengembangan-kultur-sekolah/ 30312

Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Sudrajat, A.2010. Pengembangan Budaya Sekolah

http://www.depdiknas.go.id/

http://samsudinjupri.blogspot.com/2011/08/manajemen-lingkungan-dan-budaya-sekolah.htm