Makalah Seminar Diagnosis H5N1
-
Upload
fitri-fadhilah -
Category
Documents
-
view
37 -
download
0
description
Transcript of Makalah Seminar Diagnosis H5N1
BAB I
PENDAHULUAN
Avian Influenza merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Influenza
tipe A, termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus Influenza tipe A adalah suatu virus
RNA beruntai tunggal yang mempunyai envelope dengan delapan segmen, berpolaritas
negatif dan berbentuk bulat atau filamen dengan diameter 50 – 120 nm x 200 – 300 nm.
Virus Influenza tipe A ditemukan pada unggas, manusia, babi, kuda dan kadang-
kadang pada mamalia seperti cerpelai dan ikan paus. Virus ini dibedakan menjadi
beberapa subtipe berdasarkan protein antigen yang melapisi permukaan virus yaitu
Haemaglutinin (HA) dan Neuraminidase NA) sehingga penamaan subtipe berdasarkan
HA dan NA yaitu HxNx, sebagai contoh H5N1,H9N2 dan lain-lain.1
Menurut patogenitasnya dapat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI).
Penularan virus Avian Influenza telah terjadi di benua Amerika, Eropa, Afrika dan Asia.
Wabah Avian Influenza ini menyebabkan angka kematian yang tinggi pada unggas
peliharaan dan juga telah dilaporkan adanya kasus kematian pada manusia yang
disebabkan oleh virus Avian Influenza subtipe H5N1. Untuk mengantisipasi kondisi
seperti ini, perlu adanya suatu usaha pencegahan terhadap penyebaran Avian Influenza.
Diagnosa laboratorium berperan penting terhadap keberhasilan program pencegahan,
pengendalian dan pemberantasan Avian Influenza.1
Hingga saat ini terdapat dua macam metode diagnostik untuk mendeteksi virus
Avian Influenza yaitu metode konvensional dan metode molekuler. Metode
konvensional biasanya digunakan untuk diagnosis awal infeksi virus Avian Influenza.
Metode konvensional biasanya membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya. Oleh
karena itu, sekarang telah dikembangkan metode molekuler yang lebih efektif
dibandingkan metode konvensional. Berdasarkan teknik diagnostik yang ada, pada
prinsipnya diagnosis virus Avian Influenza dilakukan dengan uji serologi, isolasi dan
identifikasi virus serta uji patogenitas.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Virus Influenza
Virus influenza beredar sangat luas di seluruh dunia dan mengakibatkan
terjadinya epidemi penyakit saluran napas pada manusia setiap tahun. Virus influenza
juga menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas dengan implikasi sosial ekonomi
yang besar di seluruh dunia. Pada epidemi antara tahun 1975-1976 dan antara tahun
1989-1990 diperkirakan sebanyak 6.200-29.600 orang meninggal dunia akibat
penyakit influenza. Selama periode tahun 1976-1999 tingkat kematian tahunan akibat
pneumonia dan influenza di Amerika Serikat sebanyak 8.097 orang. Sekitar 90%
kematian yang disebabkan influenza terjadi pada orang yang berumur 65 tahun atau
lebih. Selain itu, tingkat kematian yang tinggi juga ditemukan pada anak yang berumur
kurang dari 1 tahun.3,4
Virus influenza termasuk ke dalam family Orthomyxoviridae. Memiliki
envelope dengan material genetik negative ssRNA. Virus influenza memiliki 4 jenis
antigen, yaitu protein nukleokapsid (NP), hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA),
dan protein matriks (MP)5,. Berdasarkan antigen nucleoprotein (NP) dan matrix (M1)
protein, virus influenza dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A
ditemukan di manusia dan berbagai hewan seperti kuda, babi, anjing laut, burung liar,
dan di peternakan, sedangkan tipe B hanya ditemukan manusia, dan tipe C meskipun
dapat menyerang manusia, tetapi jarang ditemukan. Tipe A merupakan tipe influenza
yang paling virulent dan dapat menyebabkan pandemik, sedangkan tipe B dan C hanya
menyebabkan epidemik local6,7.
2.2 Virus Influenza H5N1
Virus Influenza A dengan subtipe H5N1 (flu burung) pertama kali menyebar
di Hongkong pada tahun 1997 yang menyebabkan keparahan penyakit pada
manusia. Semenjak tahun 2003, kasus flu burung menyebar luas di berbagai negara
di Asia, Eropa, dan Afrika dan menyebabkan infeksi pandemik yang mematikan.
Virus influenza H5N1 ini merupakan bentuk genetic reassortment yang
mempunyai kemampuan beradaptasi pada host manusia.8 Perubahan dan variasi
2
antigen permukaan virus (HA dan NA) menjadi dasar penentu subtipe virus
influenza tipe A. Fenomena ini disebut ‘antigenic drift’ dan ‘antigenic shift’.
Antigenic drift merupakan perubahan kecil pada antigen HA atau NA. Antigenic
drift terjadi akibat akumulasi mutasi titik pada viral genome, sehingga terjadi
substitusi asam amino pada tempat antigenik. Mutasi ini dihasilkan sebagai salah
satu respon virus dalam menghindari sistem imun tubuh. Antigenic shift merupakan
perubahan yang besar pada antigen HA atau NA dan dapat menghasilkan subtipe
virus baru dengan antigen HA atau NA yang berbeda (terjadi genetic
reassortment). Fenomena antigenic shift ini dapat menyebabkan terjadinya
epidemic dan hanya terjadi pada influenza tipe A. Hingga tahun 2007, telah
ditemukan 16 subtipe HA [H1-H16] dan 9 tipe NA [N1-N9]. Pada manusia,
ditemukan subtipe HA [H1-H3] dan subtype NA [N1, N2]9,10.
Transmisi dari virus influenza sangat dipengaruhi oleh virus dan faktor host.
Virus H5N1 dapat mengenali reseptor α2,3 yang terdapat pada unggas dan pada
manusia, reseptor α 2,6 terdapat pada saluran pernapasan bagian atas. Beberapa
penelitian menujukkan virus H5N1 sulit mengenali reseptor pada manusia sehingga
H5N1 ini perlu mengalami mutasi untuk dapat menginfeksi dan bereplikasi pada
tubuh manusia.8
Awalnya virus influenza di manusia hanya H1N1, H2N2, H3N2. Sejauh ini
juga disebabkan oleh virus H5N1, H9N2 dan H7N7. Subtipe yang sangat virulen
ialah H5N1, virus tersebut dapat hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22° C dan
lebih dari 30 hari pada 0°C di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit, virus
dapat bertahan lebih lama, virus akan mati dengan pemanasan 60° C selama
30 menit atau 56° C selama 3 jam, detergen, desinfektan misalnya formalin atau
iodine.
Penularan AI (H5N1) terjadi karena droplet infection (infeksi akibat
percikan cairan hidung/ mulut) baik akibat kontak langsung maupun tidak
langsung. Transmisi langsung dapat melalui sentuhan unggas/manusia yang
terinfeksi, melalui udara jarak pendek seperti bersin, melalui kontak sosial
yang intensif (ciuman). Transmisi tidak langsung dapat melalui perantaraan
benda lain yang telah tercemar, melalui serangga (lalat Musca domestica)
tetapi masih dugaan, dan melalui udara jarak jauh.8
3
Menurut WHO, infeksi AI (H5N1) lebih mudah menular dari unggas ke
manusia dibandingkan dengan dari manusia ke manusia. Sampai saat ini belum
terbukti penularan dari manusia ke manusia atau penularan manusia lewat daging yang
dikonsumsi. Satu-satunya cara virus influenza A (H5N1) dapat menyebar dengan
mudah dari manusia ke manusia ialah jika virus influenza A (H5N1) tersebut
bermutasi dan bercampur dengan virus influenza manusia.
Penyebaran rute virus influenza. H5N1. Virus influenza menyebar antara
spesies melalui kontak dari unggas, terutama di peternakan unggas.
Adanya kontak dengan peternakan unggas (ayam, bebek,dll) menyebabkan
terjadinya transmisi H5N1 terhadap host non unggas.
Walaupun tidak dilaporkan, transmisi influenza subtipe H1N1, H2N2, dan
H3N2 dari babi kepada manusia dapat terjadi di alam.
2.3 Genom Virus Influenza H5N1
Terdiri dari 8 segment pada (-)ssRNA yang mengkode 10 protein yaitu
hemagglutinin (HA), neuraminidase (NA), matrix proteins M2 dan M1, protein
nonstructural (NS) NS1 dan NS2, the nucleocapsid, dan tiga polymerases yaitu
protein PB1, PB2, dan PA (polymerase)6,9,10.
4
Gambar 2: Struktur virion influenza tipe A9
Gambar 3 : genome virus influenza tipe A9
2.3.1 Haemagglutinin (HA)
HA dikode oleh RNA segment 4. Berfungsi dalam pengenalan sel inang,
penempelan, dan fusi selubung viral dengan sel inang. Virus akan berikatan
dengan reseptor asam sialat-galaktosa pada permukaan sel epitel pernafasan. HA
disintesis sebagai precursor poliprotein (HA0). Saat proses post-translasi, sisi
pemutusan HA, yang hanya terdiri dari residu arginine, akan dipotong oleh enzim
trypsin-like protease menghasilkan dua subunit yaitu HA1 dan HA2. Enzim
trypsin-like protease ini dimiliki oleh sel inang dan terbatas hanya ada di saluran
pernafasan. Setelah dipotong, HA1 terdiri dari 324 asam amino dengan gugus
5
karbohidrat yang bervariasi dan mengandung antigen, sedangkan HA2 terdiri dari
222 asam amino dengan karbohidrat yang bervariasi dan 3 residu palmitat6.
Dikarenakan aktivitas error-prone RNA polimerasi, tingkat mutasi HA sangat
tinggi. Lima sisi antigenic pada molekul HA rentan mengalami mutasi (gambar 3)
karena terletak di permukaan struktur. Akan tetapi, bagian lain dari molekul HA
yang bersifat lestari untuk menjaga fungsi dan strukturnya6,10..
Gambar 4 : struktur molekul HA10
Gambar 5 : struktur primer polipeptida HA10
Glikoprotein H merupakan dasar perbedaan subtipe dan menentukan virulensi
subtipe virus influenza A. Penelitian Kobasa et al pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa glikoprotein H menentukan virulensi strain virus influenza A. Dalam
penelitian tersebut digunakan glikoprotein H dan N yang mempunyai genetik
yang mirip dengan strain penyebab pandemi Spanish Influenza tahun 1918–1919
yang diberikan pada hewan percobaan tikus.
6
2.3.2 Neuraminidase (NA)
NA dikode oleh RNA segment 6. NA merupakan enzim sialidase yang
menghilangkan asam sialat dari glikokonjugat (glikoprotein dan glikolipid). NA
juga memfasilitasi virus keluar dari sel inang dan membantu mencegah
terbentuknya agregasi virion dengan menghilangkan residu asam sialat dari
glikoprotein viral. Selain itu, NA membantu virus melewati lapisan mucus pada
saluran pernafasan untuk mencapai sel target, yaitu sel epitel6.
Tingkat mutasi pada neuraminidase cukup tinggi seperti pada protein HA6.
Gambar 6 : struktur primer polipeptida NA6
2.3.3 Protein M (M1 dan M2)
Gen M mengkode dua protein yang tumpang tindih, yaitu protein M1 yang
sangat lestari yang dikode oleh 252 asam amino dan protein M2 yang terdiri dari
97 asam amino. Protein M1 membentuk selubung menutupi komplek
nucleocapsid. Pada sel yang terinfeksi, protein terdistribusi baik pada sitoplasma
dan di dalam nucleus6.
Protein M2 secara khusus diperoleh setelah pemotongan dari transkrip
precursor M1. M2 bersama dengan glikoprotein HA dan NA membentuk kanal ion
yang berfungsi menjaga pH, mencegah pemaparan viral HA terhadap pH
intraselular yang rendah. M2 protein berperan dalam pelepasan viral nucleoprotein
selama replikasi dalam sel inang6,7,.
2.3.4 Nucleoprotein (NP)
Dikode oleh RNA segmen 5. Gen NP bersifat lestari. Berfungsi sebagai
protein structural. NP membentuk asosiasi yang longgar dengan RNA virion dan
menyelubungi genom virus untuk membentuk partikel RNP (RNA-NP dan
polimerasi PB1, PB2, dan PA) untuk menjaga stablilitas genom dalam sel.
Kompleks RNP ini berfungsi sebagai template untuk replikasi RNA viral dan
7
transkripsi. Keberadaan NP bebas penting untuk replikasi viral RNA karena NP
mencegah degradasi cRNA dan dikarenakan NP selalu berinteraksi dengan
polymerase. Selain itu, NP ikut berperan juga dalam perubahan aktivitas viral
polimerase RNA dari sintesis mRNA menjadi sintesis cRNA (replicative
intermediate RNA) dan vRNA7.
2.3.5 Polimerase (PB1,PB2, dan PA)
Ketiga RNA polymerase ini merupakan RNA-dependent. PB1 dikode oleh
RNA segmen 2. Terletak di nucleus sel yang terinfeksi. Fungsi dari PB1 adalah
dalam proses pemanjangan viral primer mRNA dan untuk sintesis vRNA6.
PB2 dikode oleh RNA segmen 1. Berfungsi dalam pengenalan 5’mRNA cap
dari inangnya untuk digunakan sebagai primer transkripsi mRNA viral dan
pemutusan struktur cap membentuk primer untuk transkripsi mRNA viral6.
PA dikode oleh RNA segmen 3. Terletak juga di nucleus sel yang terinfeksi.
Fungsinya terlibat dalam replikasi RNA viral6,10.
2.3.6 Protein Nonstruktural (NS1 dan NS2)
NS1 dan NS2 dikode oleh RNA segmen 8. NS2 diperoleh dari pemutusan
precursor NS1. Pada sel yang terinfeksi, NS1 ada dalam jumlah yang banyak
terletak baik di sitoplasma dan di nucleus, sedangkan NS2 terletak di sitoplasma.
Pada bentuk virion, juga terdapat NS2 yang berinteraksi dengan protein matriks
(M1. Selama proses replikasi virus, NS2 ikut berperan dalam pelepasan RNP
komplek dari nucleus melalui interaksi dengan protein M1 sehingga disebut juga
sebagai NEP (nuclear export protein). Selain itu, NS1 mencegah mRNA sel inang
keluar dari nucleus dan membantu proses pembentukan mRNA viral dan proses
translasi membentuk protein-protein viral6
2.4 Replikasi Virus Influenza
2.4.1 Penempelan Virus pada Sel Inang (Virus Attachment)
Pengenalan virus ke sel inangnya diperantarai oleh protein permukaan virus,
yaitu protein HA. HA akan berikatan dengan residu asam sialat di glikoprotein
atau glikolipid pada permukaan sel epitel di saluran pernafasan.7.
8
Protein HA (HA0) yang juga akan mengalami pemutusan menjadi HA1 dan
HA2 oleh enzim proteolitik (tripsin-like protease) yang disekresikan atau berada
di permukaan membran sel epitel saluran pernafasan. HA1 berfungsi membantu
penempelan virus ke reseptor asam sialat dan menginisiasi endositosis, sedangkan
HA2 akan mengontrol fusi antara membrane viral dan membrane endosomal7.
2.4.2 Masuknya Virus pada Sel Inang (Virus Entry)
Terjadi proses endositosis di mana partikel virus masuk sel dengan cara
‘ditelan’ oleh membrane plasma sel inang membentuk vesikel endositik. Proses
endositosis ini akan diikuti dengan asidifikasi yang memicu perubahan struktur
HA. Perubahan struktur HA ini akan menyebabkan terjadinya fusi antara
membrane viral dengan membran endosome. Fusi ini menyebabkan pelepasan
viral RNP ke sitoplasma sel inang11,12.
Gambar 7 : hipotesis mekanisme antara membrane virus influenza dan membrane endosom12
(a) Pada pH yang rendah, terjadi perubahan pada struktur HA. (b) Perubahan bentuk
ini menghasilkan pergerakan peptide fusi HA2 yang sebelumnya tersembunyi di
9
dalam HA trimer ke permukaan ujung HA dan kemudian menempel pada
membrane endosome. (c) terjadi pembentukan struktur seperti α-heliks yang
memiliki 7 bagian. (d,e) penyatuan kedua membrane melibatkan terbentuknya
hemifusion. (f) terbentuk pori fusi (fusion pore) di mana genetic viral (RNP)
memiliki akses untuk keluar ke sitosol sel. Pelepasan viral RNP dari endosome
ke sitoplasma difasilitasi oleh proses asidifikasi yang dimediasi oleh kanal
proton M2 di selubung viral. pH yang rendah 5-6 dalam endosome membuat
proton mengalir masuk ke dalam viral sehingga melemahkan interaksi antara
lapisan protein M1 dengan selubung viral dan RNP.
2.4.3 Replikasi Virus
Komplek RNP yang dilepaskan ke dalam sitosol sel inang kemudian
ditransportasikan ke dalam nucleus. Dalam nucleus, vRNP ditranskripsikan
menjadi mRNA oleh enzim transcriptase (PB1, PB2, dan PA) yang dibawa oleh
RNP. Proses transcriptase ini memerlukan fragment RNA capped yang berfungsi
sebagai primer untuk sintesis mRNA virus. Fragmen RNA capped ini dibentuk
dari mRNA sel inang dengan bantuan viral polymerase sehingga setiap mRNA
viral mengandung 12 basa dari sekuens inangnya pada ujung 5’. mRNA viral
mengalami modifikasi pasca translasi, di mana bagian ujung 5’ di‘capped’ dan
ujung 3’ memiliki rantai poly(A). Bagian ‘capped’ diperlukan untuk pengikatan
mRNA ke ribosom di sitosol sehingga translasi dapat terjadi11,12.
Setelah proses transkripsi, vRNP berperan sebagai template untuk sintesis
RNA viral. Replikasi genom viral ini tidak memerlukan primer. vRNP langsung
menjadi template untuk produksi cRNA (complementary RNA, positive-sense
RNA) di mana ujung 5’ tidak di‘capped’ dan ujung 3’ tidak memiliki rantai
poly(A). cRNA akan langsung berinteraksi dengan NP membentuk cRNP
intermediate yang kemudian akan menjadi template untuk membuat lebih banyak
vRNA (negative ssRNA). vRNA memiliki ikatan yang spesifik pada ujung 5’ nya
dengan polimerase viral, hal ini membantu menarik NP untuk berinteraksi dengan
vRNA membentuk vRNP. vRNP ditransportasikan kembali ke dalam sitosol untuk
pembentukan partikel virus yang baru dengan bantuan protein M1 dan NS2
(NEP)11,12..
10
Selama sintesis protein selubung viral (HA,NA, dan M2), rantai polipeptida
yang sedang terbentuk langsung ditransportasikan ke reticulum endoplasmic di
mana protein diglikosilasi dan dibentuk struktur trimer dan tetramer. Setelah itu,
protein ditransportasi melewati badan Golgi ke membrane plasma sel. Selama
melewati badan Golgi, protein mengalami beberapa modifikasi juga seperti
pembentukan ikatan disulfide dan rantai oligosakarida. Dikarenakan pH dalam
trans-Golgi bersifat asam, kemungkinan terjadinya perubahan bentuk struktur HA
dapat terjadi. Keberadaan protein M2 membantu menetralisis pH di trans-Golgi
sehingga HA dapat sampai ke permukaan sel tanpa mengalami perubahan struktur.
2.4.4 Pemasangan & Pelepasan Virus (Virus Assembly & Release)
NP dan RNA polimerasi virus yang telah dibentuk di sitosol akan
berinteraksi dengan vRNA membentuk komplek RNP. Komplek RNP
selanjutnya akan berinteraksi dengan protein M1, di mana protein M1 akan
berinteraksi dengan domain C-terminal HA dan NA di membrane plasma sel.
Interaksi RNP dengan protein M1 ini mencegah RNP kembali masuk ke dalam
nucleus sekaligus menandakan akhir dari tahap pengemasan partikel virus yang
baru11,12.
Partikel virus yang baru tidak akan langsung lepas dari sel, tetapi masih
menempel pada permukaan sel melalui interaksi antara HA dengan asam sialat.
NA viral akan memutus asam sialat sehingga melepaskan virion dari permukaan
sel dan membuat virion dapat menyebar di saluran pernafasan11,12
3. Metode Diagnosis Virus Avian Influenza H5N1
3.1 Uji serologi
Uji serologi digunakan untuk mendeteksi titer antibodi terhadap virus Avian
Influenza. Uji ini menggunakan sampel serum dari hewan yang diduga terinfeksi virus
Avian Influenza. Sampel serum yang telah diperoleh dapat diuji dengan uji
Hemaglutinasi (HA) dan Hambatan Hemaglutinasi (HI), Neuraminidase Inhibition
(NI), Agar Gel Immunodiffusion (AGID), Viral Neutralization Test (VNT) dan
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dalam makalah ini hanya dibahas
tentang uji HA, HI, NI, VNT dan ELISA berdasarkan standar referensi OIE.
11
3.1.1. Uji Hemaglutinasi dan Uji Hambatan Hemaglutinasi
Uji hemaglutinasi (HA) dan hambatan hemaglutinasi (HI) dilakukan berdasarkan
sifat virus Avian Influenza yang dapat mengaglutinasi sel darah merah (RBC) dan
kemampuan antibodi spesifik untuk menghambat aglutinasi tersebut. Hemaglutinasi
merupakan proses penggumpalan sel darah merah yang terlihat seperti butir-butir pasir.
Uji ini merupakan salah satu uji serologi standar yang direkomendasikan OIE untuk
mendeteksi keberadaan antibodi yang terdapat pada serum yang diperiksa. Pada
prinsipnya uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi yang terkandung dalam serum
yang diperiksa dan jumlah antigen hemaglutinin Avian Influenza yang digunakan
sebanyak 4 HAU (Haemagglutination Unit). Umumnya uji ini cukup sensitif dan
mampu memberikan hasil yang spesifik terhadap subtipe antigen virus Avian Influenza.
Reaksi silang heterolog kemungkinan bisa terjadi antara subtipe-subtipe virus Influenza
tipe A. Namun demikian, reaksi homolog akan selalu menunjukkan hasil yang lebih
sering terjadi daripada reaksi heterolog.
Disamping yang telah disebutkan di atas, uji HA dan HI juga masih mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan lainnya. Kelebihan dari uji ini adalah relatif simpel,
murah serta reagen dan RBC yang diperlukan untuk pengujian dapat dipersiapkan
dengan mudah oleh masing-masing laboratorium. Sedangkan kekurangan-kekurangan
yang dimiliki uji ini diantaranya titrasi antigen harus dilakukan setiap pengujian,
interpretasi hasil uji memerlukan keahlian khusus serta adanya prosedur yang berbeda
dari masing-masing laboratorium dapat memberikan hasil yang berbeda13.
Prosedur standar dalam uji HI menggunakan microtiter plate V dengan ukuran
0,075 ml. Reagen yang diperlukan dalam uji ini adalah PBS 0,1 M dalam kondisi pH
7,0 – 7,2. RBC dapat diambil dari minimal 3 ayam Specific Pathogen Free (SPF).
Tetapi apabila tidak tersedia ayam SPF, maka RBC dapat diperoleh dari ayam Specific
Antibody Neutralisation (SAN). Kemudian RBC yang telah diperoleh dilarutkan dalam
larutan Alsever dengan perbandingan volume sama. Selanjutnya RBC harus dicuci
dengan PBS sebanyak 3 kali sebelum digunakan sebagai suspensi RBC 1%. Untuk
mengidentifikasi antigen Avian Infuenza maka diperlukan panel antigen AI subtipe H1-
H16, apabila uji HI yang dilakukan menggunakan salah satu subtipe antigen AI serta
mampu menginhibisi terjadinya aglutinasi maka positif terhadap subtipe tersebut. Setiap
12
melakukan pengujian HI harus selalu menggunakan kontrol positif dan negatif terhadap
antigen dan antisera1.
Hasil uji HI dapat diintepretasikan sebagai antibodi negatif terhadap subtipe
antigen AI apabila telur dan serum berkisar 4 – 8 log2. Perbedaan ini mungkin
disebabkan kandungan antibodi yang diturunkan oleh induk dalam kuning telur
mempunyai titer antibodi lebih rendah dari kandungan titer antibodi yang terdapat di
dalam serum induk. BECK et al.(2003) menyatakan juga bahwa antibodi AI dapat
dideteksi lebih awal dari ayam yang terinfeksi virus hidup daripada ayam yang
divaksinasi AI adjuvan serum kontrol menunjukkan aglutinasi serta serum yang diuji
tidak mengalami inhibisi. Serum yang menunjukkan inhibisi pada pengenceran 1 : 16
atau lebih besar dari 4HAU maka antigen dinyatakan positif mengandung antibodi yang
memadai. Namun demikian, ada beberapa laboratorium yang lebih memilih
menggunakan 8HAU dalam melakukan uji HI1.
3.1.2 Neuraminidase Inhibition (NI)
Neuraminidase Inhibition merupakan suatu uji serologi untuk mengetahui titer antibodi
dari hewan yang terinfeksi virus Avian Influenzaserta untuk mengidentifikasi subtipe
Neuraminidasedari isolat virus Avian Influenza. Prinsip dasar dari uji ini adalah adanya
suatu ikatan antara antibodi dalam serum yang diperiksa dan subtipe antigen
Neuraminidasetertentu. Reaksi silang heterolog antara subtipe-subtipe virus Influenza A
tidak ditemukan dalam uji ini. Uji Neuraminidase ini biasanya dilakukan sebagai
Differentiating Infected from Vaccinated Animal (DIVA) untuk mendeteksi spesifik
antibodi anti-N1. Pada pengujian ini, enzim virus Neuraminidase bereaksi dengan
substrat (fetuin) dan melepaskan sialic acid. Adanya sialic acid ditentukan secara
chemis dan oleh thiobarbituric acid yaitu dihasilkan warna merah muda. Chromiphor
warna merah muda ini dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 549
nm14.
Uji Neuraminidase ini tidak umum dilakukan oleh laboratorium-laboratorium
diagnostik dikarenakan lebih sulit, lebih lama dan diperlukan suatu keahlian khusus
untuk interpretasi hasil serta membutuhkan microtiter plate tertentu. Gambar 8
menunjukkan visualisasi hasil uji Neuraminidase. Timbulnya warna merah muda
13
menunjukkan hasil negatif sedangkan tidak berwarna menunjukkan hasil positif.
Kontrol fetuin harus menunjukkan warna merah muda.
3.1.3 Viral Neutralization Test (VNT)
Uji dengan menggunakan teknik netralisasi virus ini tergolong sangat sensitif
dan spesifik dalam mendeteksi antibodi anti-H5N1. Uji ini juga mampu mendeteksi titer
antibodi dengan kadar sedikit yang mungkin tidak bisa dideteksi dengan uji HI
biasa15.Namun sayangnya, uji netralisasi virus ini hanya bisa dikerjakan pada
laboratorium dengan fasilitas laboratorium Biosafety level-3 (BSL-3) karena untuk
proses produksi virus menggunakan telur ayam berembrio sebagai media pertumbuhan
virus dan virus Avian Influenza ini mudah menyebar cepat secara aerosol. Berbeda
dengan uji HI yang bisa dikerjakan pada laboratorium Biosafety level-2 (BSL-2).
Prinsip dari uji netralisasi virus ini yaitu kultur sel diinfeksi oleh virus sehingga
diperoleh konsentrasi virus yang dapat diujikan pada serum pasien.
Pada penelitian yang dilakukan Setiawaty et al (2010) dari Litbangkes, untuk uji
VNT digunakan sel MDCK pasase ke-5 yang dibiakkan di laboratorium NIID, Tokyo.
Jumlah sel yang dimasukkan ke dalam microplate 96 well yaitu 1.5x104 sel per well dan
dikultur dalam waktu 3 hari pada inkubator CO2 5% pada 37°C. Media pertumbuhan
kultur sel yaitu Minimum Essential Medium (MEM) dengan penambahan 10% Fetal
Calf Serum (FCS), dan 100 unit/ml Penicilin-Streptomycin kemudian 50% tissue
14
culture infectious dose (TCID50) ditentukan dengan penambahan ½ log virus pada sel
MDCK untuk menemukan konsentrasi virus yang dibutuhkan untuk uji NT. Secara
garis besar, uji VNT ini yaitu dilakukan dengan menambahkan 100TCID50/50µl virus
pada serum pasien yang ditempatkan pada microplate 96 well. Pada plate yang sama 4
well digunakan sebagai kontrol untuk virus sementara 4 well lainnya digunakan kontrol
untuk sel. Plate kemudian diinkubasi 30 menit pada inkubator CO2 5%, 37°C.
Kemudian campuran serum dan virus diinokulasikan pada microplate 96 well yang
mengandung sel MDCK. Plate diinkubasi selama 3 hari pada inkubator CO2 5%, 37°C.
Pada hari ke-4, plate dicuci dan virus dinaktivasi, sel kemudian diwarnai dengan
Naphtalene Blue Black dan diukur Optical Density (OD) dengan menggunakan plate
reader dengan panjang gelombang ƛ 630 nm. Keberadaan Cythopatic Effect (CPE)
ditentukan dengan hasil postif dengan nilai OD sama atau kurang dari nilai rata-rata
kontrol untuk virus. Mengacu pada standar cut-off point WHO, uji NT dipertimbangkan
positif jika titer antibodi anti-H5N1 sama atau lebih dari 8016.
3.1.4 Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Prinsip metode immunoassay adalah reaksi antara antigen dan antibodi spesifik
dimana hasil reaksi dapat diamati dengan menggunakan suatu label atau marker. ELISA
merupakan salah satu metode immunoassay yang paling banyak digunakan. Pada uji ini
reaksi terjadi dengan mengabsorbsikan antigen atau antibodi pada suatu fase solid serta
dengan memberi label suatu enzim. Enzim yang paling banyak digunakan adalah
Horseradish peroxidase (HRP) dan Alkaline phosphatase. Enzim ini dapat dilabel baik
pada antibodi maupun antigen yang akan membentuk warna dengan penambahan suatu
substrat. Pengujian secara kuantitatif dapat dilakukan dengan mengamati intensitas
warna yang terbentuk17.
Saat ini ELISA sudah tersedia dalam bentuk kit komersial sehingga mudah
diaplikasikan. Uji ini juga sesuai untuk pengujian dalam jumlah banyak dikarenakan
satu kit ELISA dapat digunakan untuk menguji sebanyak 48 sampel dalam satu kali
pengujian. Spesifisitas dan sensitivitas dari uji ini dapat ditingkatkan sehingga dapat
digunakan untuk mendeteksi antigen atau antibodi yang lebih spesifik. Akan tetapi uji
ini membutuhkan biaya dan peralatan yang mahal13.
15
Teknik pengujian dengan metode ELISA dapat dilakukan dalam beberapa
format, pemilihan format tergantung dari besar molekul yang akan dideteksi serta
tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang dikehendaki. Terdapat dua teknik dalam
metode ELISA yaitu Competitive ELISA dan Non Competitive ELISA. Competitive
ELISA merupakan teknik yang banyak dipakai untuk pengujian antigen, toksin serta
senyawa dengan molekul kecil. Avian Influenza competitive ELISA (AIVc-ELISA)
dikembangkan untuk menggantikan Agar Gel Immunodiffusion Assay (AGID) sebagai
uji untuk mendeteksi antibodi terhadap kelompok Influenza tipe A. AIVc-ELISA dapat
diterapkan pada serum ayam, babi, kuda dan manusia. Uji AIVc-ELISA lebih sensitif
dibandingkan dengan uji AGID dan HI18.
Antigen dan antibodi monoklonal yang akan digunakan harus distandardisasi
terlebih dahulu untuk menentukan pengenceran yang tepat. Antigen distandardisasi pada
pengenceran 1 : 200, 1 : 400, 1 : 800, 1 : 1600, 1 : 3200, 1 : 6400 dan 1 : 12800
sedangkan standardisasi antibodi monoklonal dilakukan pada pengenceran 1 : 200, 1 :
400, 1 : 800, 1 : 1600 dan 1 : 3200. Pengenceran yang paling tepat untuk digunakan
dalam pengujian ini dilihat berdasarkan nilai tertinggi dari Optical Density (OD) dan
Percentage Inhibition (PI). Hasil titer antibodi dari serum yang diuji dengan AIVc-
ELISA dihitung berdasarkan PI. PI merupakan persentase penghambatan dari antibodi
monoklonal (yang secara normal tidak berada dalam serum) oleh antibodi yang ada
dalam serum.
3.2 Metode Molekuler
Kualitas sampel adalah faktor penting dalam isolasi dan identifikasi virus
Influenza. Jaringan yang sudah mengalami autolisis atau swab yang terkontaminasi
dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas pada isolasi dan identifikasi virus
Influenza sehingga diperlukan uji yang lebih sensitif dan spesifik. Karena alasan inilah,
teknik-teknik yang berkembang saat ini seperti Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR) banyak digunakan untuk mendeteksi virus Influenza1. Waktu
yang dibutuhkan juga lebih cepat apabila dibandingkan dengan isolasi dan identifikasi
dengan kultur pada jaringan atau telur SPF. Hal ini dikarenakan teknik RTPCR
langsung dapat mendeteksi Avian Influenza dari swab kloaka atau swab trakea dalam
16
media transpor. Selain itu, isolat virus Avian Influenzadari cairan allantois telur SPF
juga dapat digunakan sebagai sampel untuk RT-PCR.19
Avian Influenza adalah virus single-stranded RNA sehingga pada reaksi PCR
diperlukan suatu tahap sintesa copi DNA (cDNA). Tahap ini membutuhkan suatu
enzim transcriptase balik (reverse transcriptase). Beberapa enzim transcriptase balik
yang dapat digunakan antara lain Taq DNA Polymerase, mesophilic viral reverse
transcriptase (RTase) danTth DNA Polymerase. Taq DNA Polymerase adalah enzim
yang tahan pada suhu tinggi serta mempunyai laju polimerase yang tinggi dan
kemampuan yang tinggi untuk menggabungkan nukleotida dengan suatu primer secara
terus menerus tanpa terdisosiasi dari komplek primer-DNA cetakan (prosesivitas).
RTase yang dikode oleh virus avian mycoblastosis (AMV) atau M-MuLV bersifat
sangat prosesif dan mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth
DNA Polymerase mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 1-2 kb. Berdasarkan
alasan di atas, maka uji ini disebut sebagai Reverse Transcriptase.
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Teknik ini digunakan untuk menemukan genome virus influenza. Kebanyakan
genom virus adalah single stranded RNA (ribonucleicacid), dan kopi/ tiruan deoxy-
ribonucleicacid(cDNA) harus disintesis dulu menggunakan RT polymerase. Dalam
tes ini diperlukan oligonucleotide primers A/H5 dan N1 yang sudah tersedia secara
komersial (Hexaplex assay, prodesse. Inc). Beberapa penelitian menunjukkan
sensitivitas dan spesifisitas 95–100% dan 93–98%. Tes ini tampaknya lebih
tersedia secara luas guna mendiagnosis virus influenza.
Bahan yang dibutuhkan:
• QIAamp viral RNA mini kit,
• QIAGEN Onestep RT-PCR kit
• RNA ase inhibitor(ABI) 20U/µl
• tabung microcentrifugesteril, 0,5 dan
1,5 ml,
• Sepasang primer:
HA primer gen untuk amplifikasi H5
(modifikasi Yuen et al. 1998 )
H5-1: GCC ATT CCA CAA CAT ACA
CCC
H5-2: TAA ATT CTC TAT CCT TTC
CAA
Ukuran produk amplifikasi: 358 bp
NA primer gen untuk amplifikasi
N1(modifikasi Wright et al. 1995)
17
NI-1: TTG CTT GGT CGG CAA GTG
C
NI-2: CCA GTA CAC CCA TTT GGA
TCC
Ukuran produk amplifikasi: 615 bp
• kontrol positif (WHO H5 reference
laboratory),
• Bufer PCR,
• pipet 10, 20, 100 ul,
• microcentrifuge 13000 rpm,
• vortex mixer,
• thermocycler,
• Nampan agarose gel,
• perangkat elektroforesis dan power
supply,
• TransilluminatorUV (ultraviolet) atau
UV lampu dengan panjang gelombang
302 nm.
Prinsip RT-PCR:
1. Tahap ekstraksi RNA: 140ul spesimen ditambah QIAamp viral RNA,
menggunakan random hexamers(konsentrasi akhir 2,5 uM). Penambahan reverse
transcriptase,kemudian diperam (inkubasi) 10 menit pada suhu ruangan lalu 42° C
selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan pemanasan 95° C selama 5 menit lalu
didinginkan dengan es. Dalam proses ini didapatkan cDNA yang akan diperbanyak
sebagai template (cetakan) pada proses penggandaan atau amplifikasi selanjutnya.
2. Tahap amplifikasi DNA: persiapan PCR master mixture diperlukan reagen 10×
bufer PCR sebanyak 5 ul, air 25 ul, enzim polimerase/taq polymerase(5 U/ul)
sebanyak 0,25 ul. Primer dan enzym polimerase tersedia berlebihan, maka produk
siklus pertama dapat berfungsi sebagai cetakan untuk siklus berikutnya, begitu
seterusnya. Kemudian dimasukkan 45 ul master mix ke dalam tiap tabung PCR 0,2 ml,
tiap tabung ditambahkan 5 ul cDNA. Pengaturan kondisi PCR selanjutnya dalam 40
siklus dengan kondisi 94° C 3 menit; suhu 94° C selama 30 detik (denaturasi yaitu
pemisahan untai DNA), 45° C 30 detik (annealing yaitu penempelan primer dengan
untai DNA), 72° C 1 menit; 72° C 7 menit (extension yaitu sintesis materi DNA baru)
dan proses ini menggunakan alat thermocycler(Amershan Pharmacia Biotech
System).
3. Tahap analisa produk PCR: hasil amplifikasi DNA yang berupa jutaan DNA dapat
diperlihatkan di elektroforesis agarose gel 1,5–2% menggunakan pewarnaan ethidium
bromide, diamati secara penglihatan tanda berat molekul dan pita PCR di bawah sinar
UV.
18
Interpretasi hasil: pemeriksaan selesai dalam waktu 4 jam. Pada gambar 9.
hasil tampak sebagai pita DNA dengan panjang base pair(bp) tertentu yang telah
diketahui. Ukuran produk PCR yang diharapkan untuk influenza A/H5 adalah 358 bp
dan untuk N1 adalah 615 bp. DEPKES RI menyarankan penggunaan 3 macam
genom primer guna meningkatkan spesifisitas pemeriksaan RT-PCR.
Kesimpulan
1. Terdapat dua macam metode karakterisasi dan identifikasi Avian Influenzasecara
laboratorium yaitu metode konvensional (aspek virologi) dan metode molekuler.
2. Metode konvensional (aspek virologi) biasanya digunakan untuk diagnosis awal
Avian Influenza. Metode ini membutuhkan lebih banyak waktu dan biaya.
3. Metode molekuler merupakan metode yang lebih efektif daripada metode
konvensional sehingga metode ini sekarang lebih sering diaplikasikan di
laboratorium diagnostik.
19