Makalah Rahmat (Kelompok)

22

Click here to load reader

Transcript of Makalah Rahmat (Kelompok)

Page 1: Makalah Rahmat (Kelompok)

MAKALAH FIQH SIYASAH

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

DISUSUN OLEH:

NOVIZA DARTIWI (06 17 032)

RAHMATURROZIKIN (06 17 033)

RANI ANGGRAINI (06 17 034)

RENI APRILIA (06 17 035)

DOSEN PEMBIMBING

DR. H. IDZAN FAUTANU, MA

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2008-2009

Page 2: Makalah Rahmat (Kelompok)

DAFTAR ISI

Daftar Isi...........................................................................................................

Pedahuluan........................................................................................................

Pembahasan.......................................................................................................

Pemikiran Politik Sunni

Pemikiran Politik Syiah

Pemikiran Politik Khawarij

Pemikiran Politik Mu’tazilah

Kesimpulan.......................................................................................................

Daftar Pustaka...................................................................................................

Page 3: Makalah Rahmat (Kelompok)

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

A. PENDAHULUAN

Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad

SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara

Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah

penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di

era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.

Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita

dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga

dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.

B. PEMBAHASAN

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI

Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro

kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni

cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik

dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang

memerintahkan 1, namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi

ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal

yang darurat.

Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh

tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa

pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan

pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan

tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan

yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga

1 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001), hal.106.

Page 4: Makalah Rahmat (Kelompok)

pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci,

tidak dapat diganggu gugat. 2Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan

hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia

meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk

mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat

cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.

(QS.Al – An’am, 6:165).

Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil

amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar –

benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu)

dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).

Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia

telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan

memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan

kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah

mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan

adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah

berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya,

mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak

mendukung, sedang pendukungnya adalah negara. 3

2 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (UI – Press, 1990), hal.108.3 Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.107.

Page 5: Makalah Rahmat (Kelompok)

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat

Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk

menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala

negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk

melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih

menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. 4

Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan

perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat

Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak

yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi

yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.

Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada

pemimpin yang jahat.

Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka

terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak

menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran

Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku

Quraisy di dalam pemikiran politiknya.

Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu

Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.

PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH

Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa

tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai

kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh

Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas

kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam

percaturan politik Islam5, selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari

lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan

4 Ibid, hal.109.5 Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.112.

Page 6: Makalah Rahmat (Kelompok)

berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali6, para ahli penulis sejarah

sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir

setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara

golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah7, yang

diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah8,

dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir

khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan

dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang

paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak

pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai

peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini

dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam

Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada

akhir masa Ali. 9

Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang

atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka

mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti

imam.

Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam: 10

1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.

2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.

3. Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan

dengan syari’at.

4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar

terhindar dari penyelewengan.

6 Munawir Sjadzali, Op, Cit., hal.211.7 Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), Cetakan keenam, hal.5.8 Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,Januari 1999), Cetakan kedua, hal.385.9 Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al – Madzahib al - Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan

Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cetkakan kesatu, hal.34.10 Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1997), cet ketiga, hal.207.

Page 7: Makalah Rahmat (Kelompok)

Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan

teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari

keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah

menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat –

sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya

pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti

merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa

tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka

anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk

menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum,

dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk

pengganti Nabi. 11

Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi

oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak

pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang

memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis

dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas

politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka

mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang

ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma

dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni

mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah

satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan

Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman

pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi

berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari

penderitaan.

Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini

menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa,

dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali

11 Ibid, hal.208.

Page 8: Makalah Rahmat (Kelompok)

sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang

mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali

sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah

merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama

dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.

Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab

Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’

Asy’ariyah). 12

Sebelum membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam

dalam tubuh Syi’ah:

1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin,

Zaid ibn Ali.

2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali

Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.

3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn

Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al –

Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari,

Muhammad al – Mahdi.

Untuk memperjelas paham syi’ah ini perlu dikethui ad beberapa paham yang

berkembang diklangan mereka dan mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk

mempermudah alam permahaman kelompok atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita

lihat di bagan berikut:

Skema Perpecahan dalam tubuh Syi’ah

1. Ali

2. Hasan

12 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.24.

Page 9: Makalah Rahmat (Kelompok)

5. Zaid (Sekte Zaidiyah)

4. Muhammad bin Hanafiyyah (Mukhtar bin Ubaid al – Tsqifi), (sekte Kaisaniyah)

8. Ali al - Ridho

7. Isma’il(Sekte Isma’iliyyah/Bathiniyyah)

6. Ja’far ash - Shadiq

7. Musa al - Kadzim

4. Ali Zaenal Abidin

5. Abu Ja’farMuhammad al – Baqir(Sekte Imamaiyah)

11. Hasan al - Askari

12. Muhammad al – Mahdi(sekte Imamiyyah Itsna Asyariyah)

10. Ali al - Hadi

9. Muhammad al – Taqi’

3. Husein

Perbandingan paham dalam mazhab Syi’ah

Sekte

Kualifikasi Imam

Jumlah Imam Dasar pengangkatan Harus ‘Ali Ismah Ghabiah intizhar

Zaidiyah 5 Orang

‘Ali bin Abi

Thalib. Husen

Isyarat sifat-sifat imam

oleh Nabi Saw.

Tidak Tidak Tidak

Page 10: Makalah Rahmat (Kelompok)

Ibn ‘Ali. ‘Ali

Zainal

al-‘Abidin Zaid

ibn Ali

Isma’iyah

tsabiyah

5 Orang

‘Ali bin Abi

Thalib. Husen

Ibn ‘Ali. ‘Ali

Zainal

al-‘Abidin

Muhammad al-

Baqir. Ja’far al-

shadiq. Isma’il

ibn Jafar

Ya Ya (tidak

pernah)

Ya Ya

Imamiyah (Isna

‘Asy Anyah

12 Orang

‘Ali bin Abi

Thalib. Husen

Ibn ‘Ali. ‘Ali

Zainal

al-‘Abidin

Muhammad al-

Baqir. Ja’far al-

shadiq. Musa al-

Kharim, ‘Ali al-

Ridha.

Muhammad al-

Taqi’. ‘Ali

al-‘Aska

Muhammad al-

Mahdi

Ya Ya (tidak

pernah)

Ya Ya

PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing

muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada

awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran

kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah. 13

13 Ibid, hal.63.

Page 11: Makalah Rahmat (Kelompok)

Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah

arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan

Mu’awiyah di Siffin. 14 Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan

sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang

menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat

Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya

mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai

kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim

dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah

bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara

berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan

pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok

Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan

berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah

– pecah menjadi beberapa kelompok. 15

Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau

kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua

manusia. 16 Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan

sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang

lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu

Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase

dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.

Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan

Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk

menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy

sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al –

Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan

Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, 17 juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum 14 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.120.15 Harun Nasution,Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analis Perbandingan, (UI; Press, 1986), Cet.Kelima, hal.13.16 Abu Zahroh,Op. Cit. hal.68.17 Munawir Sjazdali,Op. Cit. hal.217.

Page 12: Makalah Rahmat (Kelompok)

Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang

disepakati oleh aliran – aliran Khawarij. 18

Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang

benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang

khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh

dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang

berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.

Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli

suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan

menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij

bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya,

apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah

untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan

keluarga yang akan mewariskannya.

Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan

jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan

seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi

hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban

berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.

Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu

dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika

pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan

Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu

berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.

Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan

khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran

diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara

adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara

sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan

18 Abu Zahroh,Op. Cit. hal.69 - 70.

Page 13: Makalah Rahmat (Kelompok)

mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini

menujukkan kedemokrasian klompok ini. 19

PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH

Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik

beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa

pemerintahan Ali. 20 Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai

pengangkatannya khalifah yang keempat.

Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya

perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada

abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa21dalam referensi lain

disebutkan orang yang berbuat dosa besar.22Namun Harun Nasution sendiri menjelskan

banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat

mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.

Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi

rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran –

pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh

mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa

pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak

tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam

karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. 23

Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat

Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana

pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk

menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal

negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan

pemilihan umat Islam sendiri.

19 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.121.20 Ibid, hal.24.21 Munawir Sjadzali,Op. Cit. hal.218.22 Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.122., Harun Nasution, Op.cit., hal.38.23 Suyuti Pulungan,Op. Cit. hal.209.

Page 14: Makalah Rahmat (Kelompok)

C. PENUTUP

Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran

politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili

oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah

Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.

Page 15: Makalah Rahmat (Kelompok)

Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita

paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa

pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya

Media Persada, 2001.

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:

UI Press, 1986.

Page 16: Makalah Rahmat (Kelompok)

Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja

Grafindo Persada, 1997.

Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja

Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.

Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan

kedua.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI

Press, 1990.

Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan

Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam,

Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s