makalah PSIKIATRI

40
TUGAS MAKALAH PSIKIATRI REAKSI STRES AKUT, GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA, DAN GANGGUAN PENYESUAIAN Disusun Oleh: Farida Nur Kusumawati G99122042 Pembimbing: dr. Yusvick M Hadin, Sp. KJ

description

gangguan penyesuan, reaksi stress akut, ptsd

Transcript of makalah PSIKIATRI

Page 1: makalah PSIKIATRI

TUGAS MAKALAH PSIKIATRI

REAKSI STRES AKUT, GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA, DAN

GANGGUAN PENYESUAIAN

Disusun Oleh:

Farida Nur Kusumawati

G99122042

Pembimbing:

dr. Yusvick M Hadin, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWAFAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS JIWA DAERAH SURAKARTA

SURAKARTA 2013

Page 2: makalah PSIKIATRI

REAKSI STRES AKUT

A. PENDAHULUAN

Reaksi stres akut (juga disebut gangguan stres akut, shock psikologis,

mental shock, atau sekedar shock) adalah sebuah kondisi psikologis yang

timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan. "Respons

stres akut" pertama kali dideskripsikan oleh Walter Cannon pada tahun 1920

sebagai sebuah teori bahwa hewan-hewan bereaksi terhadap ancaman

dengan pembuangan umum dari sistem saraf simpatik. Respons ini

kemudian dikenal sebagai tahap pertama dari sindrom adaptasi umum yang

mengatur tanggapan stres di antara vertebrata dan organisme lain.

Gangguan stres akut ditandai dengan perkembangan kecemasan yang

parah, disosiatif, dan gejala lain yang terjadi dalam waktu satu bulan setelah

terkena stresor traumatis yang ekstrem (misalnya, menyaksikan kematian

atau kecelakaan serius). Sebagai tanggapan terhadap peristiwa traumatik,

individu mengembangkan gejala disosiatif. Individu dengan gangguan stres

akut mempunyai penurunan respon emosional, seringkali sulit atau tidak

mungkin untuk mengalami kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan

menyenangkan sebelumnya, dan sering merasa bersalah karena mengejar

tugas-tugas kehidupan biasa. Seseorang dengan gangguan stress akut dapat

mengalami kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka,

pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi, atau mengalami

kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik

(amnesia disosiatif) (Kaplan, Sadock,& Grebb, 2007)

B. DEFINISI

Reaksi Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD) adalah sebuah kondisi

psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang

mengerikan, hasil dari sebuah peristiwa traumatis di mana seseorang

mengalami atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi

untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan

kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam serius,

dirasakan cedera serius (biasanya kepada orang lain), atau kematian. Reaksi

1

Page 3: makalah PSIKIATRI

stres akut adalah variasi dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan

adalah pikiran dan tubuh terhadap perasaan (baik yang dirasakan dan nyata)

yang intens ketidakberdayaan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007).

C. EPIDEMIOLOGI

Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress akut sebesar

8% sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang

pernah mengalami trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita

memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada

kelompok usia dewasa muda.

D. ETIOLOGI

Stresor atau peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau

saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami

ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang

rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam, cedera serius, atau

kematian.

Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk

menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan

adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan

peristiwa yang terjadi setelah trauma. Faktor kerentanan yang merupakan

predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan

apakah gangguan akan berkembang, yaitu :

1. Adanya trauma masa anak-anak

2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti

sosial

3. Sistem pendukung yang tidak adekuat

4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik

5. Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi

6. Persepsi lokus kontrol eksternal

7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf ketergantungan

Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi

penghentian perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa

2

Page 4: makalah PSIKIATRI

dewasa akan terjadi regresi emosional (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007;

Ingram, 1995).

E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala menunjukkan variasi yang besar, tetapi biasanya mereka

menyertakan sebuah keadaan awal dari "linglung", dengan beberapa

penyempitan bidang kesadaran dan penyempitan perhatian,

ketidakmampuan untuk memahami rangsangan, dan disorientasi. Keadaan

ini dapat diikuti baik oleh penarikan lebih lanjut dari situasi sekitarnya, atau

dengan agitasi dan overeaktifitas. Tanda-tanda panik otonom kecemasan

(takikardia, berkeringat, kemerahan) yang umumnya hadir. Gejala biasanya

muncul dalam beberapa menit dari dampak dari stres rangsangan atau

aktivitas, dan menghilang dalam waktu 2-3 hari (seringkali dalam beberapa

jam). Amnesia sebagian atau lengkap untuk episode mungkin ada.

Seseorang dengan Gangguan Stress akut dapat mengalami kesulitan

berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia

sebagai tidak nyata atau mimpi, atau mengalami kenaikan kesulitan

mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif).

Peristiwa traumatik yang dialami kembali terus-menerus dalam setidaknya

salah satu dari cara berikut: berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas

balik, atau rasa menghidupkan kembali pengalaman atau penderitaan

pemaparan pada pengingat dari peristiwa traumatik (Kaplan, Sadock, &

Grebb, 2007).

F. DIAGNOSIS

Kriteria diagnostik untuk reaksi stress akut menurut PPDGJ III adalah

sebagai berikut :

1. Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya

pengalaman stresor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari

gejala, biasanya setelah beberapa menit atau segera setelah kejadian.

2. Selain itu ditemukan gejala-gejala :

a. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah;

selain gejala permulaan berupa keadaan terpaku (daze), semua hal

3

Page 5: makalah PSIKIATRI

berikut dapat terlihat : depresi, ansietas, kemarahan, kecewa,

overaktif, dan penarikan diri.

Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi

gambaran klinisnya untuk waktu yang lama.

b. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya,

gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam

hal di mana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan,

gejala-gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya

hampir menghilang setelah 3 hari.

3. Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan

mendadak dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan

gangguan psikiatrik lainnya.

4. Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang

peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.

Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut DSM IV

adalah sebagai berikut:

1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua

dari berikut ini ditemukan:

a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu

kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian

atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau

ancaman kepada integritas diri atau orang lain.

b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak

berdaya atau horor.

2. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang

menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :

a. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas

emosi

b. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada

dalam keadaan tidak sadar)

c. derealisasi

d. depersonalisasi

4

Page 6: makalah PSIKIATRI

e. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek

penting dari trauma)

3. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu

cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang

rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau

penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatik.

4. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi

trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat,

orang).

5. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit

tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon

kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).

6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain,

menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang

diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan

kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga

tentang pengalaman traumatic.

7. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu

dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik

8. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat

yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih

baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata

suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada

sebelumnya.

Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat

perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau

riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik.

Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah gangguan

stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga

mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.

5

Page 7: makalah PSIKIATRI

G. DIAGNOSIS BANDING

1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional

yang besar yang bersifat traumatik bagi setiap orang. Peristiwa trauma

tersebut termasuk trauma peperangan, bencana alam, penyerangan,

pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari

pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang

membangunkan (waking through), penghindaran yang persisten oleh

penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita

tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Menurut

DSM-IV perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD adalah

lamanya gejala berlangsung yaitu pada gangguan stress akut

berlangsung 2 hari hingga 1 bulan sedangkan pada PTSD berlangsung

lebih dari 1 bulan.

2. Gangguan Panik

Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan

panik yang spontan dan tidak diperkirakan. Gangguan panik ini sering

disertai dengan adanya agoraphobia yaitu ketakutan berada sendirian di

tempat-tempat publik. Pasien ini dibawa berobat ke rumah sakit dengan

keluhan berteriak-teriak ketakutan serta berguling-guling di lantai

tempat kerjanya sehingga hal ini mendukung adanya suatu serangan

panic yang spontan. Selain itu, pasien juga menghindari tempat-tempat

umum atau transportasi umum.

H. PENATALAKSANAAN

Gangguan ini dapat diatasi sendiri dengan waktu atau mungkin

berkembang menjadi gangguan yang lebih berat seperti PTSD. Namun hasil

Creamer, O'Donnell dan Pattison's (2004) penelitian terhadap 363 pasien

menunjukkan bahwa diagnosa Gangguan Stres akut hanya memiliki

validitas prediktif terbatas untuk PTSD. Namun tidak menemukan bahwa

pengalaman kembali peristiwa traumatik dan gairah lebih baik prediktor

PTSD. Obat dapat digunakan untuk jangka waktu yang sangat singkat

(sampai empat minggu)

6

Page 8: makalah PSIKIATRI

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menilai efektivitas

konseling dan psikoterapi bagi orang-orang dengan ASD. Terapi perilaku

kognitif yang mencakup eksposur dan restrukturisasi kognitif ternyata

efektif dalam mencegah PTSD pada pasien yang didiagnosis dengan klinis

ASD dengan hasil yang signifikan pada 6 bulan follow-up. Kombinasi

relaksasi, restrukturisasi kognitif, imaginal eksposur dan vivo eksposur lebih

unggul untuk mendukung konseling

I. PROGNOSIS

Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke

gangguan lain (biasanya PTSD), tingkat keberhasilan dapat bervariasi sesuai

dengan spesifikasi yang terjadi pada gangguan.

7

Page 9: makalah PSIKIATRI

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

(POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER/PTSD)

A. PENDAHULUAN

Gangguan stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)

adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau

menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma,

seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan

yang serius. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan yang muncul

kembali dalam ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan

mengganggu akibat peristiwa tersebut, berusaha menghindari keadaan-

keadaan yang mengingatkan pada peristiwa tersebut, menjadi mati rasa

secara emosional dan suka menyendiri, sulit tidur dan konsentrasi, ketakutan

atas keselamatan pribadi. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma

menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Resiko

akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena

banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh

mana seseorang terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya dia bereaksi.

Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak

diketahui. Seseorang beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma

jika mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi. Kemungkinan

lain adalah dilepaskannya hormon-hormon tertentu oleh otak (misalnya

kortisol) dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut.

Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan membangkitkan kenangan-

kenangan tersebut. Orang-orang dengan ketidakseimbangan zat kimia

tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya gangguan stres pasca

trauma akan meningkat.

B. DEFINISI

Gangguan stress pasca trauma adalah reaksi kuat, memanjang dan

tertunda terhadap suatu peristiwa yang luar biasa sehingga seseorang

menderita stress atau kehilangan yang berat (Hibbert, Godwin & Dear,

2009). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik,

8

Page 10: makalah PSIKIATRI

ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat

pedih itu setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan

orang biasa (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007). National Institute of Mental

Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan

yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam

keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan

kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang

(Anonim, 2005c).

Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama,

pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan

peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa

seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares

(mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi

emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan

peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran dan emosional yang

dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir,

merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu

juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain,

dan emosi yang dangkal. Ketiga, sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan

dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah

berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas

segala sesuatu (Anonim, 2005a; Anonim, 2005b).

C. ETIOLOGI

1. Stresor

Stresor adalah penyebab utama terjadinya PTSD. Stressor berupa

kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang

parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang,

dipenjara Namun tidak semua orang yang mengalami stressor yang berat

mengalami PTSD. Trauma sendiri tidak cukup untuk menyebabkan

PTSD. Respon pasien terhadap trauma haruslah takut yang sangat kuat

bahkan horor. Dokter harus menilai faktor biologis dan psikososial yang

9

Page 11: makalah PSIKIATRI

ada pada orang yang telah mengalami trauma (Kaplan, Sadock, & Grebb,

2007).

2. Faktor resiko

a. Biologis:

- Kerentanan genetik.

- Kepribadian “borderline”, paranoid, dependent atau antisosial.

- Perempuan

b. Psikososial

- Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak).

- Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi.

- Sistem pendukung yang tidak adekuat (Dukungan keluarga atau

kelompok yang kurang).

- Konsumsi alkohol yang berlebihan.

D. MANIFESTASI KLINIS

Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptif

terhadap stres berat atau stres berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian

tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi

sosialnya.Gangguan ini terjadi berminggu-minggu/berbulan-bulan setelah

kejadian, awitan biasanya dalam 6 bulan. Tiga kelompok utama gejala

(tidak ada sebelum pajanan) :

1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan)

a. Ansietas yang menetap

b. Kewaspadaan yang berlebihan

c. Konsentrasi buruk

d. Insomnia

2. Intrusions (pengacauan)

a. Kilasan balik

b. Mimpi buruk

c. Ingatan yang hidup

3. Avoidance (penghindaran)

a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan

b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian

10

Page 12: makalah PSIKIATRI

c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari

E. DIAGNOSIS

Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti

bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang

luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan pabila

tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu

lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapatkan

alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan,

bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi

mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi

penarikan diri secara emosional, penumpulan persaan, dan penghindaran

terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan kembali akan

traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk diagnosis. Gangguan

otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku semuanya,

mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal yang terlalu penting.

Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:

1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun

waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang

berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai

melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan

apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan

melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan

tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan bayang-bayang

atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-

ulang krmbali (flashbacks).

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku

semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

4. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar

biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma,

diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang

berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

11

Page 13: makalah PSIKIATRI

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik (Tabel dari

DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, ed 4) :

1. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic di mana

kedua dari berikut ini terdapat :

a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu

kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian

atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau

ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.

b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak

berdaya atau horor.

2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau

lebih) cara berikut:

a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang

kejadian, termasuk bayangan,pikiran,atau persepsi.

b. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.

c. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi

kembali.

d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda

internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu

aspek kejadian traumatik.

e. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau

eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek

kejadian traumatik.

3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan

trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum

trauma),seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

a. usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang

berhubungan dengan trauma.

b. usaha untuk menghindari aktivitas,tempat,atau orang yang

menyadarkan rekoleksi dengan trauma.

c. tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma

12

Page 14: makalah PSIKIATRI

d. hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang

bermakna.

e. perasaan terlepas atau asing dari orang lain.

f. rentang aspek yang terbatas.

g. perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.

4. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan

sebelum trauma),seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:

a. kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur.

b. iritabilitas atau ledakan kemarahan.

c. sulit berkonsentrasi.

d. kewaspadaan berlebihan.

e. respon kejut yang berlebihan.

5. Lama gangguan (gejala dalam kriteria 2,3,4 ) lebih dari satu bulan.

6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan,atau fungsi penting lain.

(Kaplan,Sadock,& Grebb, 2007)

F. DIAGNOSIS BANDING

Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan

Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan

dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk

membedakan PTSD adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan

gejala, dan terngiang-ngiang akan trauma yang tidak terjadi pada dua

kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan

PTSD. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi PTSD.

G. PROGNOSIS

Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita

gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tidak berubah

atau memburuk. Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih

mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD

muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang

baik, dukungan sosial yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau

penyalahgunaan zat.

13

Page 15: makalah PSIKIATRI

H. PENATALAKSANAAN

1. Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan

penilaian resiko (bunuh diri/pengabaian diri).

2. Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan

medis untuk korban penyiksaan.

3. Psikoterapi

Ada beberapa psikoterapi yang dapat digunakan. Yang pertama

adalah terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada

keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai

desensitisasi. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the

imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita

secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau

exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang

aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat

kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).

Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut

dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai

penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau

yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim,

2005b; Tomb, 2004).

Yang kedua manajemen stress (anxiety management). Tipe yang

kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik

relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapis akan

mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala

PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar

mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan

merelaksasikan kelompok otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu

belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan

menghindari bernafas dengan tergesa -gesa yang menimbulkan perasaan

tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung

berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar

untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran

14

Page 16: makalah PSIKIATRI

positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4)

asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan

harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,

5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika

kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim,

2005b; Tomb, 2004). Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk

merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan

mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan

mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif

terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional,

mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk

melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih

realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang

(Anonim, 2005b).

Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy)

mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi

bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai

permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara

langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam

berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b).

Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik.

Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur

PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan.

Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu

untuk melakukan debriefing pada kasus korban-korban trauma (Rose et

al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan

secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan

Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada

semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika

melahirkan (Boyce & Condon, 2000).

Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara.

Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita

15

Page 17: makalah PSIKIATRI

PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana

tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling

menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka

saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu

dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi

penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita

mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan

berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan ke -jiwaan yang dipendam.

Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih

baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari

trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b).

Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain

untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya

penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan

bermacam terapi dan pengobatan yang cocok untuk PTSD. Walaupun

seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama

yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan

permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk

mengatasinya (Anonim, 2005b).

Di lain pihak, sampai saat ini masih didapatkan pula beberapa tipe

psikoterapi yang lain. Misalnya, eye movement desensitization

reprocessing (EMDR), hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang

seringkali digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu

bagi sebagian penderita (Anonim, 2005b).

Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi

PTSD namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama. Dalam

beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun hal ini dapat menjadi

sangat tidak nyaman bagi pasien. Selain terapi individu, terapi kelompok

dan terapi keluarga juga efektif pada kasus PTSD. Terapi kelompok

sangat baik untuk pasien sehingga mereka dapat membagi pengalaman

mereka satu sama lain. Terapi keluarga penting terutama untuk

mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila gejala

16

Page 18: makalah PSIKIATRI

menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan

rawat inap (Tomb, 2004).

4. Farmakoterapi

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralin

dan paroxetin merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat

ini cukup efektif, tolerable dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala

pada PTSD tidak hanya gejala yang menyerupai kecemasan atau depresi.

Buspirone juga dapat digunakan, beberapa penelitian juga telah

menunjukkan bahwa imipramin dan amitriptilin dapat bermanfaat. Dosis

yang digunakan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obatan lain yang

berguna untuk PTSD adalah monoamine oxidase inhibitors (MAOIs),

trazodone dan antikonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi

agitasi atau psikotik akut (Kaplan, Sadock, &Grebb, 2007).

17

Page 19: makalah PSIKIATRI

GANGGUAN PENYESUAIAN

A. PENDAHULUAN

Gangguan penyesuaian adalah reaksi maladaptif jangka pendek

terhadap apa yang disebut orang awam sebagai nasib malang pribadi atau

apa yang disebut dokter psikiatrik sebagai stresor psikososial (Mansjoer,

2008).

Keadaan-keadaan stres yang subjektif dan gangguan emosional

yang biasanya mengganggu kinerja dan fungsi sosial, dan yang timbul pada

periode adaptasi terhadap suatu perubahan dalam hidup yang bermakna atau

terhadap akibat dari peristiwa kehidupan yang penuh stres (termasuk adanya

atau kemungkinan adanya suatu penyakit fisik berat). Stresor tersebut

mungkin sudah berpengaruh terhadap integritas dari hubungan sosial

individu atau terhadap sistem dukungan dan nilai-nilai sosial yang lebih luas

(migrasi atau status sebagai pengungsi). Stresor mungkin hanya

berpengaruh terhadap individu atau pun juga terhadap kelompoknya dalam

masyarakat (PPDGJ III, 1993).

Gangguan penyesuaian dengan mood depresi terjadi pada individu

yang sebelumnya berfungsi baik, segera setelah mengalami stres yang dapat

diidentifikasi, mengakibatkan gangguan fungsi, dan sembuh setelah stres

hilang (Tomb, 2004).

B. DEFINISI

Gangguan penyesuaian (adjustment disorder/maladjusment) 

merupakan suatu reaksi maladaptif terhadap suatu stresor yang dikenali dan

berkembang beberapa bulan sejak munculnya stresor, yang ditandai dengan

adanya hendaya fungsi atau tanda-tanda distres emosional yang lebih dari

biasa (Nevid, dkk, 2005). Gangguan ini termasuk kelompok gangguan yang

paling ringan yang dapat terjadi pada semua usia. Orang awam

menyebutnya sebagai nasib malang pribadi, sedangkan ahli psikiatrik

menyebut gangguan ini sebagai stresor psikososial (Mansjoer, 2008).

Hendaya yang muncul dari reaksi maladaptif ini adalah hendaya

yang bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademis.

18

Page 20: makalah PSIKIATRI

Diagnosis gangguan penyesuaian bisa ditegakkan bila reaksi terhadap stres

tersebut tidak memenuhi kriteria diagnostik sindrom klinis yang lain seperti

gangguan mood atau gangguan kecemasan (Nevid, dkk, 2005).

Reaksi maladaptif dalam bentuk gangguan penyesuaian ini mungkin

teratasi bila stresor dipindahkan atau individu belajar mengatasi stresor. Bila

reaksi maladaptif ini masih berlangsung lebih dari enam bulan setelah

stresor dialihkan, diagnosis gangguan penyesuaian perlu diubah (Nevid,

dkk, 2005).

C. ETIOLOGI

Gangguan penyesuaian dicetuskan oleh satu atau lebih stresor.

Beratnya stresor tidak selalu meramalkan keparahan gangguan. Stresor pada

masalah penyesuaian atau keadaan stres ini dapat bersumber pada frustasi,

konflik, tekanan, atau krisis (Maramis, 2005).

Frustasi timbul bila ada aral melintang antara kita dan maksud

(tujuan) kita, misalnya bila kita mau berpiknik lantas mendadak hujan turun

atau mobil kita mogok. Frustasi dapat datang dari luar atau pun dari dalam.

Contoh frustasi yang datangnya dari luar antara lain, bencana alam,

kecelakaan, kematian seorang yang tercinta, peperangan, norma-norma,

adat-istiadat, kegoncangan ekonomi, diskriminasi rasial atau agama,

pengangguran dan ketidakpastian sosial. Sedangkan frustasi yang datang

dari dalam dapatberupa cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral

sehingga penilaian diri sendiri menjadi sangat tidak enak dan merupakan

frustasi yangberhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri.

Konflik terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih

macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu berarti frustasi terhadap

yang lain. Umpamanya seorang pemuda ingin menjadi dokter, tetapi

sekaligus takut akan tanggung jawab kelak bila sudah jadi dokter. Atau jika

kita harus memilih antara sekolah terus atau menikah (mengurus rumah

tangga). Contoh lain lagi berupa konflik yang terjadi bila kita harus memilih

antara beberapa hal yang semuanya tidak kita ingini, misalnya pekerjaan

yang tidak menarik atau menganggur.

19

Page 21: makalah PSIKIATRI

Tekanan juga dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan

sehari-hari biarpun kecil, tetapi bila bertumpuk-tumpuk dapat menjadi stres

yang hebat. Tekanan, seperti juga frustasi dapat berasal dari dalam ataupun

dari luar. Tekanan dari dalam datang dari cita-cita atau norma-norma kita

yang kita gantungkan terlalu tinggi dan kita mengejarnya tanpa ampun,

sehingga kita terus menerus berada di bawah tekanan. Contoh tekanan dari

luar misalnya orangtua yang menuntut dari anak angka rapor yang tinggi,

istri tiap hari mengeluh kepada suaminya bahwa uang belanja tidak cukup,

keputusan yang perlu diambil, sedangkan waktu sering mendesak.

Krisis ialah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stres pada seorang

individu ataupun suatu kelompok, umpamanya kematian, kecelakaan,

penyakit yang memerlukan operasi, masuk sekolah untuk pertama kali.

D. MANIFESTASI KLINIS

Sampai tiga bulan mungkin ditemukan stresor dan perkembangan

gejala. Gejala tidak selalu menghilang segera setelah stresor menghilang

dan jika stresor berlanjut, gangguan mungkin akan menjadi kronik.

Gejalanya sangat bervariasi, dengan depresi, kecemasan dan gangguan

campuran adalah yang paling sering pada orang dewasa. Manifestasi juga

termasuk perilaku menyerang dan kebut-kebutan, minum berlebihan,

melarikan diri dari tanggung jawab hukum, dan menarik diri. Presentasi

klinis dapat sangat bervariasi berupa kecemasan, depresi, gangguan tingkah

laku, campuran gangguan emosi dan konduksi, serta campuran kecemasan

dan depresi (Mansjoer, 2008).

Pada remaja, gangguan tingkah laku (misalnya perilaku agresif atau

dissosial) dapat merupakan ciri yang menyertai gangguan ini. Tidak ada

satupun dari gejala tersebut yang cukup parah atau menonjol, sehingga

dapat membenarkan diagnosis yang lebih spesifik. Pada anak-anak,

fenomena regresif seperti kembali ngompol, bicara kekanak-kanakan, atau

menghisap jempol sering kali merupakan bagian dari pola gejalanya

(PPDGJ III, 1993).

Bila sesuatu yang buruk terjadi pada hidup kita, maka wajar bila

kita merasa sedih. Bila ada krisis dalam pekerjaan, saat dituduh melakukan

20

Page 22: makalah PSIKIATRI

kejahatan, mengalami kebanjiran, gempa atau badai, bisa dimengerti bila

kita mengalami kecemasan atau depresi. Sebaliknya, justru apabila kita

tidak bereaksi “maladaptif”, (misalnya cemas), paling tidak secara

temporer, karenaterjadinya peristiwa-peristiwa tersebut dapat menunjukkan

ada yang tidak wajar pada diri kita. Namun, bila reaksi emosional kita

berlebihan, atau kemampuan kita untuk berfungsi mengalami penurunan

atau hendaya, (misalnya menghindari interaksi sosial, sulit bangun tidur,

tertinggal dalam pelajaran sekolah) maka kondisi ini bisa didiagnosis

sebagai gangguan penyesuaian.

Berikut tabel yang menunjukkan beberapa subtipe gangguan

penyesuaian yang reaksi maladaptifnya bervariasi.

Tabel Subtipe Gangguan Penyesuaian

Gangguan Ciri-ciri Utama

Gangguan Penyesuaian dengan mood depresi Kesedihan, menangis, merasa tidak punya harapan

Gangguan Penyesuaian dengan Kecemasan Khawatir, gelisah, dan gugup (atau pada anak takut

berpisah dari figur kelekatan utama)

Gangguan penyesuaian dengan Gejala

Campuran antara Kecemasan dan mood depresi

Kombinasi dari kecemasan dan depresi

Gangguan Penyesuaian dengan Gangguan

Tingkah Laku

Melanggar hak orang lain atau melanggar norma

sosial yang sesuai usianya. Contoh: membolos,

berkelahi, mengebut, dan melalaikan kewajiban

hukum (misal menghentikan pembayaran tunjangan)

Gangguan Penyesuaian Dengan Gejala

Campuran antara Gangguan Emosi dan

Tingkah Laku

Gabungan dari gangguan emosi, seperti depresi atau

kecemasan, dan gangguan tingkah laku.

Gangguan Penyesuaian Tak Tergolongkan Kategori residual yang dapat diterapkan pada kasus-

kasus yang tidak dapat digolongkan dalam salah satu

dari subtipe lainnya.

Sumber: Psikologi Abnormal Edisi 5 (Adaptasi dari DSM-IV-TR)

E. PERJALANAN PENYAKIT DAN DIAGNOSIS

Onset biasanya terjadi dalam satu bulan setelah terjadinya peristiwa

yang merupakan stresor atau perubahan dalam hidup, dan lamanya gejala-

21

Page 23: makalah PSIKIATRI

gejala biasanya tidak melebihi 6 bulan, kecuali dalam kasus reaksi depresif

berkepanjangan. Apabila gejala-gejala tersebut bertahan melampaui periode

ini, maka diagnosis harus disesuaikan dengan gambaran klinis yang masih

ada (PPDGJ III, 1993).

Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III :

1. Diagnosis tergantung pada suatu evaluasi yang teliti terhadap hubungan

antara:

a. Bentuk, isi, dan keparahan gejala

b. Riwayat dan kepribadian sebelumnya, dan

c. Kejadian atau situasi yang penuh stres atau krisis kehidupan

2. Adanya ketiga faktor ini harus ditetapkan dengan jelas dan harus

mempunyai bukti yang kuat bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi

bila tidak mengalami gangguan tersebut.

3. Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif,

ansietas, campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai

adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun

dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis.

4. Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang

stresfull dan gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali

dalam hal reaksi depresif berkepanjangan (F43.21)

F. PROGNOSIS

Gangguan penyesuaian termasuk kelompok gangguan yang paling

ringan sehingga prognosisnya baik dengan pengobatan yang sesuai.

Sebagian besar pasien kembali ke tingkat fungsi sebelumnya dalam tiga

bulan. Akan tetapi, remaja biasanya memerlukan waktu pulih lebih lama

dibandingkan orang dewasa (Mansjoer, 2008).

G. PENATALAKSANAAN

Psikoterapi merupakan pengobatan terpilih untuk gangguan

penyesuaian. Salah satu yang efektif adalah dengan terapi kelompok. Terapi

ini ditujukan untuk membantu orang dengan gangguan penyesuaian

memecahkan situasi dengan cepat dengan teknik suportif, sugesti,

penentraman, modifikasi lingkungan, dan bahkan perawatan di rumah sakit.

22

Page 24: makalah PSIKIATRI

Adanya fleksibilitas sangat penting dalam pendekatan ini. Selain

psikoterapi, pasien mungkin berespon terhadap obat antiansietas atau

antidepresan, tergantung jenis gangguannya. Bila cemas berat mungkin

dapat digunakan dosis kecil medikasi antipsikotik. Pasien dengan

manifestasi menarik diri mungkin dapat diberikan medikasi psikostimulan

singkat (Mansjoer, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder (DSM-IV). 4th ed. Washington,DC:American Psychiatric

Association

Anonim, 2005a, Disaster Rescue and Response Workers,

http://www.ncptsd.va.gov/facts/disasters/fs_rescue_workers. html, diakses

04 Mei.

23

Page 25: makalah PSIKIATRI

Anonim, 2005b, Expert Consensus Treatment Guidelines for Post Traumatic

Stress Disorder: A Guide for Patients and Families, http://www.

psychguides. Com

Anonim, 2005c, Apa itu Gangguan Tekanan Lepas Kejadian Traumatik (PTSD)?

http://www.cgh.com.sg/health_public/pamphlet/Malay/PTSD/PTSD_main1

_new.html

Boyce, P., & J. Condon, 2000. Traumatic Childbirth and the Role of Debriefing.

B Raphael & J.P.Wilson (ed.), Psychological Debriefing: Theory, Practice

and Evidence (New York: Cambridge University Press, 2000).

Departemen Kesehatan R.I. 1993.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal

Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI : Jakarta

Hibbert A,Godwin A & Dear F. 2009. Rujukan Cepat Psikiatri. Alih Bahasa:Rini

Cendika. EGC:Jakarta

Ingram IM. 1995. Catatan Kuliah Psikiatri. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku

kedokteran.

Kaplan H,Sadock B & Grebb J. 2007. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2.Alih

Bahasa:Widjaja Kusuma.Binarupa Aksara: Tangerang

Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius :

Jakarta

Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan.

Airlangga University Press : Surabaya

Maslim Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ

III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Atmajaya.

Nevid, J.S, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Jilid

I. Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta

Rose, S, J. Bisson & S. Wessely. 2002. Psychological Debriefing for Preventing

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review, dalam Cochrane Database

of Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560.

Small, R., J. Lumley, L. Donohue, A. Potter & U. Waldenstrom. 2000.

Randomized Controlled Trial of Midwife Led Debriefing to Reduce

24

Page 26: makalah PSIKIATRI

Maternal Depression after Operative Childbirth, British Medical Journal,

321: 1043-1047.

Swalm, D. 2005. Tabs-Childbirth and Emotional Trauma: Why it’s Important to

Talk Talk Talk. Associate Head of Dept of Psychological Medicine for

Women, King Edward Memorial Hospital, Subiaco 6008, Western

Australia, www.trauma-center.org

Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta

25