KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
-
Upload
fenny-yulia -
Category
Documents
-
view
407 -
download
0
description
Transcript of KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
ABSTRAK
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi
darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti percobaan bunuh diri,
penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial.
Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di
seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien
kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat
keadaan mental pasien mereka.
Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas
kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi
psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa
meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan akut perilaku, pikiran atau suasana hati
pasien yang jika tidak diobati dengan segera dapat merugikan, baik untuk dirinya atau
orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter
sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik
yang terintegrasi.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui kegawatdaruratan psikiatri.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang termasuk dalam kedaruratan psikiatri.
3. Dapat mengetahui cara penanganan kedaruratan pasien psikiatri, pengobatan dan
perawatannya
1.3 Manfaat
Dapat menegakan diagnosis pasien psikiatri yang mengalami keadaan gawat darurat
sehingga bisa menanganinya dengan segera.
2
BAB II
PEMBAHASAN
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran
Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi
psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah
sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran,
perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: 4
a. Kondisi gaduh gelisah
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium
Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan
utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik. Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara
umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit
gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau
polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,
negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap
informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan
3
observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak
dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan
penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika
perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan
oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien.
Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan
informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi,
demam, frekuensi nadi 120 per-menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan
besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal
yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien. Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat
memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman
bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu
dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik? Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya
medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh
berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan
demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali
menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik
umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan
penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis. Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat
mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta
kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus
dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak
kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri. Sebelum memulangkan pasien, harus
dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu
menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau
keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu indikasi
rawat inap.
4
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
1. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
2. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
3. Perlu observasi lebih lanjut.
Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi
1. Diagnosis. Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data ,
misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan
radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik
sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai
tindakan.
2. Terapi. Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat
efektif.
1. Keadaan Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya
menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu.
Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran
psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).
Etiologi : Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis
(Maramis dan Maramis, 2009):
5
1. Delirium
2. Skizofrenia katatonik
3. Gangguan skizotipal
4. Gangguan psikotik akut dan sementara
5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
6. Amok
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma
otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan
delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi
otak karena suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009). Penyakit
badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak
sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya
meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan
sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan
sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi
sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun
biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun
(misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat
saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk
mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal
dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
6
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat
inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas
maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga
tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses
berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-
belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),yaitu yang satu meningkat, tetapi yang
lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan
Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-
gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik.
Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-
emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan
Maramis, 2009).
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang
dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau
konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya
dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan
bencana. Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah
adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).
4. Psikosis Bipolar.
Psikosis bipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah
itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada
skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun,
maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata
yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat
atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal
dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara
5. Amok
7
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok
“Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia”
(“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang
peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan
destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian
terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya.
Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan trance).
Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir karena
individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena
ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya (Maramis dan
Maramis, 2009).
Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan.
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu
Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):
- Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
- Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15–24tahun, status
sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
8
- Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat
psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis
- Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)
Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita
harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-
kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah
dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara
dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun
pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik.
Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi
(misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untuk mengendalikan
psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang
mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok
dosis terapeutik tinggi.
Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam
(5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu
antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang,
anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf
vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop,
maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu
kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-
9
barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis,
2009).
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi,
kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah
terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).
2. Tindak kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau
tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai
gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi
tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
10
Gambaran klinis dan diagnosis : Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan
tindak kekerasan adalah:
- Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan
mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),
- Intoksikasi alkohol atau zat lain,
- Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
- Katatonik furor
- Depresi agitatif
- Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian
impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),
- Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis
otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
- Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,
- Adanya rencana spesifik,
- Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
- Laki-laki,
- Usia muda (15-24 tahun),
- Status sosioekonomi rendah,
- Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
- Tindakan antisosial lainnya
- Riwayat percobaan bunuh diri.
- Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasan
adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss
sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan Psikoterapi
- Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas
bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu
dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan
menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”
11
- Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,
- Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan
penuh kontrol.
- Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata,
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang
diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti
kalung atau dasi,
- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada
anggota staf yang terlatih.
- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang mungkin merasa
bahwa anda mengancamnya
- Waspadalah terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Selalu persiapkan
rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang anda. Jangan pernah
membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,
gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
- Ancaman verbal,
- Agitasi psikomotor,
- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
- Waham kejar, dan
- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti garpu,
asbak).
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara
aman.
12
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk
menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan
wawancara pskiatrik.
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan
obat antipsikotik atau benzodiazepin:
Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per
hari 13-14mg,
Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama.
Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia
epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan
benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan
respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan
Gitayanti Hadisukanto, 2010).
3. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan
dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009). Ada macam-macam pembagian
bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai
karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistic
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah
tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan
13
mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan
mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga
angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistic
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh
diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa
kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang,
“puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat
primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti
misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang
tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya
tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan
pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa
percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka
yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi
yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:
Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan
kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat
mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed
murder”). Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat
mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini
cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai
pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.
14
Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”). Kematian dapat
mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali
dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada
wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum
dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan
menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena
kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi,
tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
1) Jenis kelamin. Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding
laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan
gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih
banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
2) Usia. Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih
jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
3) Ras. Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding
ras kulit hitam.
4) Status perkawinan. Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat
anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh
diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya
telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
5) Pekerjaan. Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter
memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri
memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain
yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi,
15
polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko
lebih tinggi untuk bunuh diri.
6) Kesehatan fisik. Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat
yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
7) Gangguan mental. Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan
bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi
80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien
dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
8) Kecanduan alcohol. Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri.
Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50%
dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota
keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
9) Gangguan kepribadian. Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan
kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan
depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol.
Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang
lain.
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah dengan
mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi
tadi.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri. Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila
(Tomb, 2004):
a. Pasien pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa
ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering dikatakan pada
keluarga)
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan
lain-lain)
16
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan
serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang
miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh
diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh
dirinya? - Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat kejadian)
dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau bedah.
Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka
sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya
gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk
menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan
psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan
dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri,
buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.
17
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh
saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di rumah.
Ide bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan
pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila
mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah dengancara
rasional dan bertanggung jawab. Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang
cendrung dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides
yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-
ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi
lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat
pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2
minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan
sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.
4. Sindroma Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme
dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata
sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang
labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan
rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa
tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama
pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama
pengobatan antipsikotik.
Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan
antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat. Menurut
18
DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat demam dan
kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:
Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Autism
Takikardia
Tekanan darah yang meningkat atau labil
Leukositosis
Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya
sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan
hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala
klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan
kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas.
Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan
pelepasan panas. Hiperpireksia
terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot.
Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan,
injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan
antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula
terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik
seperti carbidopa,
levodopa, amantadine dan bromocriptine.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
19
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat
di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan teman-
temannya.
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang
mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.
Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila
demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik
maligna.
Hentikna pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
Lakukan pmeriksaan laboratorium
Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sembuh, masalah
kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas
yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.
Terapi Psikofarmaka
Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dalam infus terus-menerus
20
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh
diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan,
serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa
kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatrik umum.
Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini.
Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah
penting.
2. Saran
Jika menemukan anggota keluarga yang memiliki tanda prilaku percobaan
bunuh diri atau prilaku menyerang sebaiknya segera bawa orang tersebut ke psikiatri
atau bawa ke rumah sakit agar dapat ditangani lebih lanjut dan tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
2. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
3. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott
Williams & Wilkins.
4. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
22