KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

32
ABSTRAK Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut. 1

description

tugas referat kegawatdaruratan psikiatrik

Transcript of KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Page 1: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

ABSTRAK

Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi

darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti percobaan bunuh diri,

penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada

perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang

kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial.

Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di

seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien

kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan

kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat

keadaan mental pasien mereka.

Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas

kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi

psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa

meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.

1

Page 2: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan akut perilaku, pikiran atau suasana hati

pasien yang jika tidak diobati dengan segera dapat merugikan, baik untuk dirinya atau

orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter

sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik

yang terintegrasi.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui kegawatdaruratan psikiatri.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang termasuk dalam kedaruratan psikiatri.

3. Dapat mengetahui cara penanganan kedaruratan pasien psikiatri, pengobatan dan

perawatannya

1.3 Manfaat

Dapat menegakan diagnosis pasien psikiatri yang mengalami keadaan gawat darurat

sehingga bisa menanganinya dengan segera.

2

Page 3: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

BAB II

PEMBAHASAN

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran

Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi

psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah

sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran,

perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: 4

a. Kondisi gaduh gelisah

b. Tindak kekerasan (violence)

c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri

d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat

e. Delirium

Evaluasi

Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat adalah tujuan

utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus

dilakukan secara tepat adalah:

a. Menentukan diagnosis awal

b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien

c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dalam proses evaluasi, dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik. Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara

umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit

gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau

polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,

negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap

informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan

3

Page 4: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak

dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.

2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan

penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika

perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan

oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien.

Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan

informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi,

demam, frekuensi nadi 120 per-menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan

besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal

yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:

a. Keamanan pasien. Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat

memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman

bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu

dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.

b. Medik atau psikiatrik? Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya

medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh

berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan

demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali

menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik

umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan

penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.

c. Psikosis. Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh

ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat

mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta

kepatuhannya dalam berobat.

d. Suicidal atau homicidal. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus

dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak

kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.

e. Kemampuan merawat diri sendiri. Sebelum memulangkan pasien, harus

dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu

menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau

keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu indikasi

rawat inap.

4

Page 5: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:

1. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,

2. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan

3. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi

1. Diagnosis. Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada

beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data ,

misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan

radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik

sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai

tindakan.

2. Terapi. Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi

Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:

a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali

b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya

c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir

Obat-obatan yang sering digunakan adalah:

a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,

perphenazine dsb

b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.

c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat

efektif.

1. Keadaan Gaduh Gelisah

Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya

menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu.

Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran

psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).

Etiologi : Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis

(Maramis dan Maramis, 2009):

5

Page 6: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

1. Delirium

2. Skizofrenia katatonik

3. Gangguan skizotipal

4. Gangguan psikotik akut dan sementara

5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

6. Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium

Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma

otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan

delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi

otak karena suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009). Penyakit

badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak

sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya

meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan

sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,

pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan

sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi

sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan

patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut

biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun

biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun

(misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat

saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk

mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal

dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal

Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu

merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak

berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan

dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.

6

Page 7: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.

Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat

inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas

maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga

tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses

berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-

belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),yaitu yang satu meningkat, tetapi yang

lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan

Maramis, 2009).

Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-

gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik.

Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-

emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan

Maramis, 2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara

Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang

dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau

konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya

dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan

bencana. Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah

adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).

4. Psikosis Bipolar.

Psikosis bipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok

gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang

menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang

dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah

itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada

skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun,

maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).

Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata

yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat

atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal

dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara

5. Amok

7

Page 8: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi

oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan

Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok

“Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia”

(“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang

peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan

ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan

destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian

terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya.

Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan trance).

Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir karena

individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena

ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya (Maramis dan

Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan

Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):

a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu

b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan

c. Membawa benda-benda tajam atau senjata

d. Adanya perilaku agitatif

e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat

f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid

g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan.

h. Kegelisahan katatonik

i. Episode manik

j. Episode depresi agitatif

k. Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):

- Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan

- Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15–24tahun, status

sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah

8

Page 9: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

- Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat

psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis

- Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana

Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita

harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-

kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah

dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).

Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara

dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun

pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik.

Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan

mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).

Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi

(misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untuk mengendalikan

psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang

mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau

fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok

dosis terapeutik tinggi.

Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam

(5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu

antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang,

anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).

Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis

terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf

vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop,

maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu

kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).

Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan

mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-

9

Page 10: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan

neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian

makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila

belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila

ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis,

2009).

Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi,

kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah

terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan

pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).

2. Tindak kekerasan (violence)

Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang

terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau

tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai

gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi

tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.

10

Page 11: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Gambaran klinis dan diagnosis : Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan

tindak kekerasan adalah:

- Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan

mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),

- Intoksikasi alkohol atau zat lain,

- Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif

- Katatonik furor

- Depresi agitatif

- Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian

impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),

- Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis

otak.

Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :

- Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,

- Adanya rencana spesifik,

- Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,

- Laki-laki,

- Usia muda (15-24 tahun),

- Status sosioekonomi rendah,

- Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,

- Tindakan antisosial lainnya

- Riwayat percobaan bunuh diri.

- Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasan

adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss

sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil

kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

Panduan wawancara dan Psikoterapi

- Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas

bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu

dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan

menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”

11

Page 12: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

- Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,

- Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan

penuh kontrol.

- Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

Evaluasi dan penatalaksanaan

1) Lindungi diri anda

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata,

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang

diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti

kalung atau dasi,

- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada

anggota staf yang terlatih.

- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan

- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.

- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang mungkin merasa

bahwa anda mengancamnya

- Waspadalah terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Selalu persiapkan

rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang anda. Jangan pernah

membelakangi pasien

2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:

- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,

gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,

- Ancaman verbal,

- Agitasi psikomotor,

- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,

- Waham kejar, dan

- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti garpu,

asbak).

3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara

aman.

12

Page 13: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya

setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk

menenangkan pasien.

5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan

wawancara pskiatrik.

Terapi Psikofarmaka

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan

obat antipsikotik atau benzodiazepin:

Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,

Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per

hari 13-14mg,

Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).

Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama.

Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia

epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan

benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan

respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan

Gitayanti Hadisukanto, 2010).

3. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum

Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan

dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti

Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya

sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009). Ada macam-macam pembagian

bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai

karena praktis, yaitu:

1. Bunuh diri egoistic

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh

kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah

tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan

13

Page 14: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri

dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan

mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga

angka suiside juga lebih sedikit.

2. Bunuh diri altruistic

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh

diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa

kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang,

“puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat

primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti

misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang

tenggelam.

3. Bunuh diri anomik

Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan

masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang

biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya

tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan

pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa

percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka

yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi

yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:

Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).

Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan

kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat

mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.

Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed

murder”). Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat

mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini

cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai

pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.

14

Page 15: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”). Kematian dapat

mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali

dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).

Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada

wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum

dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan

menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena

kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi,

tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.

Faktor Risiko

Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):

1) Jenis kelamin. Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding

laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini

berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan

gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih

banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.

2) Usia. Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,

angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan

angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih

jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.

3) Ras. Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding

ras kulit hitam.

4) Status perkawinan. Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat

anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh

diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya

telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.

5) Pekerjaan. Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status

sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter

memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri

memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain

yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi,

15

Page 16: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko

lebih tinggi untuk bunuh diri.

6) Kesehatan fisik. Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah

kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat

yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.

7) Gangguan mental. Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan

bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi

80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien

dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.

8) Kecanduan alcohol. Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri.

Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50%

dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota

keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.

9) Gangguan kepribadian. Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan

kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan

depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol.

Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang

lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,

keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah dengan

mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi

tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri. Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila

(Tomb, 2004):

a. Pasien pernah mencoba bunuh diri

b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa

ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering dikatakan pada

keluarga)

c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan

lain-lain)

16

Page 17: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan

serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang

miliknya.

f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh

diri. Bila tidak, tanyakan langsung.

Mulailah dengan menanyakan:

- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?

- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

Tanyakan isi pikiran pasien:

- Berapa sering pikiran ini muncul?

- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

Selidiki :

- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh

dirinya? - Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?

- Seberapa pesimiskah mereka?

- Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat kejadian)

dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau bedah.

Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka

sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya

gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk

menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan

psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).

Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan

tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan

dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri,

buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.

17

Page 18: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh

saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di rumah.

Ide bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan

pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila

mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah dengancara

rasional dan bertanggung jawab. Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang

cendrung dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides

yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-

ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

Terapi psikofarmaka

Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi

lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat

pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2

minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan

sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.

4. Sindroma Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan

penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme

dan agitasi.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata

sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang

labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan

rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa

tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama

pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama

pengobatan antipsikotik.

Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan

antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat. Menurut

18

Page 19: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat demam dan

kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:

Diaforesis

Disfagia

Tremor

Inkontinensia

Penurunan kesadaran

Autism

Takikardia

Tekanan darah yang meningkat atau labil

Leukositosis

Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

Patofisiologi

Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya

sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan

hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala

klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan

kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas.

Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan

pelepasan panas. Hiperpireksia

terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot.

Faktor resiko

Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor

predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan,

injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan

antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula

terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik

seperti carbidopa,

levodopa, amantadine dan bromocriptine.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

19

Page 20: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat

di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan teman-

temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang

mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.

Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila

demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik

maligna.

Hentikna pemberian antipsikotik segera.

Monitor tanda-tanda vital secara berkala.

Lakukan pmeriksaan laboratorium

Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan

kemungkinan terjadiny agagal ginjal.

Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sembuh, masalah

kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas

yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka

Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari

Levodopa 50-100 mg/hari IV dalam infus terus-menerus

20

Page 21: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh

diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan,

serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa

kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatrik umum.

Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini.

Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah

penting.

2. Saran

Jika menemukan anggota keluarga  yang memiliki tanda prilaku percobaan

bunuh diri atau prilaku menyerang sebaiknya segera bawa orang tersebut ke psikiatri

atau bawa ke rumah sakit agar dapat ditangani lebih lanjut dan tidak terjadi hal-hal

yang tidak diinginkan.

21

Page 22: KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI

2. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.

Surabaya: Airlangga University Press.

3. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:

Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott

Williams & Wilkins.

4. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

22