makalah phb.docx

41
BAB I I.1 Latar Belakang Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum terdapat suatu kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah-masalah dan sengketa-sengketa yang timbul diantara mereka dengan cara litigasi maupun non litigasi dimana cara ini seperti ini dirasa lebih arif dan bijaksana demi menjunjung suatu keadilan dan kebenaran daripada mereka bertindak dengan cara main hakim sendiri dimana cara semacam ini tidaklah mencerminkan sikap yang baik. Sengketa adalah suatu hal yang tidak terhindarkan di dalam dunia bisnis. Sengketa seringkali timbul dan harus dihadapi oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui pengadilan. Jika perselisihan yang ada tetap dapat dibicarakan dan diselesaikan secara baik, penyelesaian secara kekeluargaan merupakan jalur yang sangat wajar dan efisien. Waktu yang terbuang tidak banyak dan biaya yang dikeluarkan tidak besar. Membiarkan sengketa bisnis atau dagang terlambat diselesaikan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efisien. Kegiatan produktivitas menurun, dunia bisnis akan mengalami kemandulan biaya produksi akan mengikat. Pihak konsumen adalah contoh pihak yang paling dirugikan dalam 1

Transcript of makalah phb.docx

BAB I

I.1 Latar Belakang

Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum terdapat suatu kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah-masalah dan sengketa-sengketa yang timbul diantara mereka dengan cara litigasi maupun non litigasi dimana cara ini seperti ini dirasa lebih arif dan bijaksana demi menjunjung suatu keadilan dan kebenaran daripada mereka bertindak dengan cara main hakim sendiri dimana cara semacam ini tidaklah mencerminkan sikap yang baik. Sengketa adalah suatu hal yang tidak terhindarkan di dalam dunia bisnis. Sengketa seringkali timbul dan harus dihadapi oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui pengadilan. Jika perselisihan yang ada tetap dapat dibicarakan dan diselesaikan secara baik, penyelesaian secara kekeluargaan merupakan jalur yang sangat wajar dan efisien. Waktu yang terbuang tidak banyak dan biaya yang dikeluarkan tidak besar. Membiarkan sengketa bisnis atau dagang terlambat diselesaikan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efisien. Kegiatan produktivitas menurun, dunia bisnis akan mengalami kemandulan biaya produksi akan mengikat. Pihak konsumen adalah contoh pihak yang paling dirugikan dalam hal ini, sekaligus menghambat peningkatan kesejahteraan dan kemajuan kaum sosial pekerja. Sehubungan dengan itu, maka mendesak dan perlu dipikirkan sistem penyelesaian yang cepat, efektif, efesien, sederhana dan biaya murah.Penyelesaian sengketa juga sering dilakukan melalui pengadilan. Dalam hal ini, waktu yang terpakai akan banyak dan harus melalui tahap-tahapan peradilan yang ada, yang tentunya juga melibatkan biaya yang tidak sedikit. Secara fakta, masih banyak pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan karena pihak-pihak yang bersengketa ingin memperoleh kepastian dan kejelasan secara hukum melalui putusan pengadilan tentang obyek sengketa yang ada. Tentunya, putusan pengadilan secara umum bersifat menang-kalah (win-lose).Para subjek hukum seperti orang dan badan hukum yang bergerak di bidang bisnis atau perdagangan biasanya lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui suatu lembaga non litigasi seperti Lembaga Arbitrase. Dimana menyelesaikan suatu sengketa dengan cara ini dirasa lebih baik untuk menjamin dan melindungi kredibelitas dari suatu usaha yang jalankan dimana dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini akan menhasilkan win-win solution diantara para pihak yang bersengketa.Daripada menggunakan penyelesaian melalui peradilan dimana tidak selalu menguntungkan bagi kepentingan para pihak yang bersengketa bahkan lembaga peradilan yang secara konkret ketika mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.Arbitrase sendiri merupakan lembaga penyelesaian sengketa bisnis sudah lama dikenal dalam praktek perdagangan maupun penanaman modal di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama diatur didalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, dengan lahirnya Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan perkembangan penting bagi hukum nasional, sekaligus memantapkan eksistensi lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dalam dunia usaha termasuk memperlancar upaya menciptakan perdagangan bebas dan kompetisi yang sehat. Hadirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini telah memberikan jaminan kepastian hukum bagi cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam setiap perjanjian di bidang perdagangan nasional maupun internasional.Tidak hanya itu saja upaya penyelesaian sengketa melalu arbitrase ini merupakan upaya yang baik untuk mendengarkan pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hukum yang menjatuhkan putusan terhadap suatu sengketa yang di adili nantinya. Apabila ditemukan titik temu dari sengketa yang dipermasalahkan, maka hal ini terasa lebih baik dalam mengakhiri suatu sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak. Usaha mendamaikan para pihak-pihak yang bersengketa merupakan prioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat mewujudkan rasa kekeluargaan dan kerukunan tetapi bila menemukan kendala dalam menyelesaikan sengketa di arbitrase maka arbiter dapat mengambil suatu keputusan atau jalan tengah untuk memecahkan suatu sengketa yang terjadi. Selain itu juga lembaga arbitrase merupakan suatu lembaga penyelesaian sengketa yang cukup luwes dimana lembaga ini tidak terikat akan suatu hukum acara dan prosedur serta formalitas-formalitas yang harus dipenuhi seperti lazimnya pada pengadilan negeri yang sangat terikat pada ketentuan yang sudah baku sehingga wajib untuk diikuti. Pada hakikatnya pula penyelesaian melalui arbitrase ini hampir sama dengan penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dengan adanya penyelesaian sengketa melalui arbitrase hal ini merupakan salah satu cara yang sampai sekarang banyak mendatangkan keuntungan bagi para pihak yang bersengketa. Dimana dalam hal penyelesaian arbitrase akan mempercepat penyelesaiannya dan menghindari suasana yang panas karena akan dapat menyulut api permusuhan diantara pihak-pihak yang bersengketa nantinya. Apabila penyelesaian sengketa ini tercapai suatu keputusan yang adil dan bijaksana maka hal ini merupakan nilai yang positif sekali dimana hubungan yang sudah retak dikarenakan satu dan lain hal dapat terjalin kembali seperti sediakala dan akan terasa lebih harmonis bahkan mungkin akan bertambah akrab persaudarannya serta menjalankan usaha bisnisnya dengan lancar kembali seperti sediakala dimana tidak ada pihak yang di kalahkan dalam hal ini (win win solution) tetapi selain nilai keuntungan yang ada pastilah ada kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

I.2 Pengaturan Arbitrase Sebelum UU No. 30/1999

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 s.d. Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum acaranya Rv.Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW dan WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J. Burns (di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional antara Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji. Menurutnya telah terjadi ironi dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri. Identitas tersebut (termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan. Walaupun aturan-aturan hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia kemudian menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata setelah Indonesia merdeka. Ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg disebutkan bahwa: Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.

Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:a. Para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau arbitraseb. Juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbulc. Arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa

Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab I (dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).

Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv mengatur hal-hal sebagai berikut:1. Pasal 615 s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.2. Pasal 624 s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.3. Pasal 631 s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.4. Pasal 641 s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.5. Pasal 648 s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.

Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi. Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan sehari-hari dalam kegiatan bisnis internasional. Masalah-masalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv contohnya adalah perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3), diizinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1), larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua itu bertentangan dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini. Dengan demikian, perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu conditio sine qua non. Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dibandingkan dengan pengaturan Ketentuan-ketentuan Arbitrase Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Perdagangan Internasional (The United Nations Commission on International Trade Law) atau lebih dikenal Arbitrase Model Law UNCITRAL 1985 yang terdiri dari 36 pasal, UU No. 30/1999 yang terdiri dari 82 pasal tersebut telah secara luas mengatur berbagai hal terkait dengan arbitrase. Banyaknya pasal tersebut tampaknya agar UU No. 30/1999 mampu mengakomodasikan banyak hal dengan mengaturnya secara mendetail (meskipun seharusnya hal itu bukan muatan suatu undang-undang), misalnya, keharusan bagi sekretaris untuk membuat notulen rapat sehubungan dengan kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase. (Lihat Pasal 51 UU No. 30/1999.)

Selain itu, UU No. 30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional. Upaya memasukkan semua aspek arbitrase ke dalam satu undang-undang arbitrase nasional dapat mendatangkan banyak persoalan dan membingungkan, baik mengenai letak pengaturannya maupun materinya.

Tentang letak pengaturan seperti prinsip pembatasan intervensi pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu: Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Ayat (2) tersebut tidak berhubungan dengan ayat lainnya, yaitu Pasal 11 ayat (1) yang mengatur mengenai perjanjian arbitrase, serta diletakkan pada bab yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III tentang syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model Law, prinsip ini (limited court involvement) diletakkan pada bagian Ketentuan Umum (General Provisions). Materi UU No. 30/1999 juga menimbulkan persoalan, misalnya tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu bagi pendaftaran putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengaturan mengenai periode waktu itu sangat penting karena putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia setelah didaftarkan.

I.3 Keuntungan Arbitrase Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut:1. Kecepatan dalam prosesSuatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.)

Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta dan penerapan hukumnya. Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung). Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award, irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as binding and, shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun ia dijatuhkan.2. Pemeriksaan ahli di bidangnyaUntuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan lain-lain.

Sebagaimana diketahui dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan ada kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya sangat teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar belakang yang sama, yakni berasal dari bidang hukum, sehingga mereka hanya memiliki pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) di bidang lainnya dan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit lainnya.

3. Sifat konfidensialitasPemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.

Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.

I.4 Kelemahan Arbitrase

Beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut:1. Hanya untuk para pihak bona fideArbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.

Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase...)

2. Ketergantungan mutlak pada arbiterPutusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).

Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan. Artinya, itu merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter (yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka.

3. Tidak ada preseden putusan terdahuluPutusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.

Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama.

4. Masalah putusan arbitrase asingPenyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan. BAB II

II.1 Pengertian ArbitraseIstilah arbitrase berasal dari Bahasa Belanda: arbitrate dan Bahasa Inggris: arbitration, dalam Bahasa Latin: arbitrare, yang berarti penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. Dengan demikian arbitrase merupakan suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak yang bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang adil yaitu tidak memihak kepada salah satu pihak yang berselisih tersebut. Keputusan yang telah diambil mengikat bagi kedua belah pihak. Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketaSelain itu juga banyak penulis yang mencoba untuk mendefinisikan arbitrase dari sudut pandangnya masing-masing tetapi jika diperhatikan secara ensensinya pendapat para penulis tersebut tidak berbeda secara signifikan, karena mengacu pada pilihan penyelesaian sengketa komersial berdasarkan kesepakatan. Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. ( Subekti, R. ) Arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. (Abdurrasyid, H. Priyatna) Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan. ( Soemartono, Gatot ) Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa kepada seorang wasit atau arbiter. ( Mertokusumo, Sudikno ) Blacks Law Dictionary juga memberikan definisi arbitrase sebagai berikut a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah upaya menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang didasarkan atas perjanjian yang telah di sepakati oleh para pihak dalam hal ini melalui arbiter, dimana penyelesaian melalui arbitrase ini dilakukan secara tertutup atau rahasia. II.2 Pengertian Arbiter

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan, arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Arbiter dapat ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbitrase dimana memiliki kemampuan pada bidang tertentu untuk menyelesaikan suatu sengketa tertentu. Yang dapat dipilih oleh para pihak sebagai arbiter hanyalah mereka yang diakui termasuk dalam daftar arbiter yang disediakan oleh BANI dan/atau memiliki sertifikat ADR/Arbitrase yang diakui oleh BANI dapat bertindak selaku arbiter berdasarkan peraturan prosedur BANI yang dapat dipilih oleh para pihak.Arbiter harus sekurang-kurangnya terdiri dari seorang arbiter (arbiter tunggal) atau tiga orang arbiter tergantung pada kesepakatan para pihak yang diatur sebelumnya dalam perjanjian antara mereka. Sehingga dalam hal ini arbiter hampir sama dengan hakim, yang mana arbiter mempunyai wewenang untuk memutuskan suatu sengketa secara langsung bila mengalami suatu kendala sehingga dengan ini arbiter dengan sigapnya akan mengambil suatu jalan tengah yang baik bagi para pihak yang bersengketa dalam hal ini. II.3 Syarat Arbiter Seperti telah dijelaskan di atas penyelesaian sengketa melalui arbitrase di bantu oleh arbiter atau wasit. Dimana setiap orang dapat dikatakan untuk menjadi seorang arbiter asalkan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang tidak hanya itu saja menjadi seorang arbiter tidak harus berlatar belakang ahli hukum tetapi ahli di tertentu seperti bidang minyak, lingkungan, perdagangan dan lain sebagainya dapat menjadi arbiter, kecuali hakim, jaksa dan pejabat peradilan lainnya dilarang untuk menjadi seorang arbiter.Sehubungan dengan itu, siapa yang dapat bertindak sebagai arbiter di atur dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenai syarat pengangkatan arbiter harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:1. Cakap melakukan tindakan hukum.2. Berumur paling rendah 35 tahun.3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase.5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bindangnya paling sedikit 15 tahun.

Dari ketentuan tersebut di atas seorang arbiter atau wasit sebagai pihak yang merancang, memimpin dan menyelesaikan suatu sengketa dengan cara arbitrase harus bersikap netral atau tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain itu pula syarat yang telah di tentukan tersebut di atas dapat ditafsirkan memberikan keleluasaan kepada pihak asing untuk menjadi arbiter guna menyelesaikan suatu sengketa.

II.4 Pengertian Lembaga Arbitrase

Dalam menyelesaikan suatu sengketa melalui arbitrase memiliki suatu lembaga yang berwenang untuk menangani dan menyelesaikan suatu persengketaan yang telah terjadi diantara pihak dimana para pihak telah menyepakatinya dengan dituangkan dalam suatu perjanjian. Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan, lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.Sehingga lembaga arbitrase ini hampir mirip dengan lembaga peradilan dimana lembaga ini dapat pula memutuskan suatu sengketa tidak hanya itu saja keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini memiliki kekuatan yang sama pula seperti lembaga peradilan dimana keputusan tersebut bersifat final dan mengikat (final and binding). 2.5 Ruang Lingkup Arbitrase

Arbitrase yang merupakan salah satu penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang di dasarkan oleh perjanjian arbitrase yang telah di sepakati oleh para pihak bila mengalami suatu sengketa, sehingga perkara yang di tangani dengan menggunakan penyelesaian arbitrase ini lebih cenderung bersifat privat maupun publik tetapi dalam hal permasalahan yang berkaitan dengan pidana penyelesaian melalui arbitrase tidak dapat dilakukan karena hal ini merupakan kewenangan absolut dari lembaga peradilan.

Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). ( Kantaatmadja, Komar )

Sementara sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:a. Ouality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualitikasi teknis yang tinggi;b. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak;c. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law). Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini meliputi beda pendapat dan sengketa di bidang perdaganganan, industri, keuangan, korporasi, asuransi, lembaga keuangan, hak kekayaan intelektual, lisensi dan hakyang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, sehingga penyelesaian ini lebih cenderung diminati oleh kalangan pengusaha pada khususnya karena cara ini lebih serasi dengan kebutuhan dunia bisnis yang cenderung bergerak pada bidang perdata. 2.6 Syarat Arbitrase Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam hal ini, dimana syarat ini merupakan hal yang paling penting yang mana persetujuan di antara pihak di buat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Setiap lembaga arbitrase, baik domestik maupun internasional dalam menyelesaikan sengketa harus memiliki klausul yang telah disepakati dengan bentuk klausul arbitrase. Di Indonesia sendiri menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menuangkan klausul arbitrase dalam bentuk tertulis.Penyelesaian sengketa secara arbitrase harus diperjanjikan (clausula arbitrase):1. Factum de compromitendo, merupakan suatu ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut akan diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.2. Acta compromis, adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang telah terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa mereka agar diputuskan oleh arbitrase (pada umumnya arbitrase ad- hoc).Sedangkan dalam lembaga arbitrase Indonesia seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menyarankan kepada para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa melalui arbitrase perlu membuat suatu perjanjian yang isi perjanjiannya sebagai berikut: Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.Sementara Perjanjian/klausula arbitrase bersifat accessoir, tetapi tidak menjadi batal karena batalnya perjanjian pokok. Tetapi tidak hanya itu saja penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak dalam bentuk tertulis untuk suatu perjanjian, sehingga klausul arbitrase pun dapat dilakukan secara lisan apabila perjanjian pokoknya sudah diadakan secara lisan oleh para pihak dalam hal ini. Perjanjian tertulis harus memuat sebagai berikut:a) Masalah yang dipersengketakan,b) Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak,c) Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase,d) Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan,e) Nama lengkap sekretaris,f) Jangka waktu penyelesaian sengketa,g) Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan h) Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan bagi penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal-hal tersebut di atas batal demi hukum. Perjanjian untuk berarbitrase harus jelas dan tegas (unequivocal) serta tertulis. Sementara klausula arbitrase mempunyai empat fungsi yang esensial, yakni:1) Untuk menghasilkan konsekuensi yang diperintahkan (mandatory consequences) bagi para pihak;2) Untuk mencegah intervensi dari Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa para pihak (sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan);3) Untuk memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa; dan4) Untuk menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa

II.7 Pengertian Arbitrase Internasional

Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan memilih lembaga arbitrase yang dikehendaki oleh para pihak dari berbagai badan arbitrase yang ada saat ini baik nasional maupun internasional. Sehingga dalam hal ini penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional pun diakui dan dianggap sah.Syarat dapat dikatakan sebagai arbitrase Internasional jika sudah memenuhi salah satu atau lebih syarat sebagai berikut: 1) Keorganisasiannya, yaitu suatu organisasi yang para anggotanya adalah negara-negara, sehingga bersifat internasional.2) Proses beracaranya, yaitu tata cara atau prosedur persidangannya dilaksanakan menurut ketentuan atau peraturan, yang bebas dari sistem hukum negara di tempat keberadaan arbitrase tersebut.3) Tempatnya, yaitu dalam kenyataanya apakah tempat arbitrase tersebut berhubungan dengan lebih satu yurisdiksi atau apakah terdapat unsur yurisdiksi atau apakah terdapat unsur yurisdiksi asing di dalamnya

II.8 Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase Dengan menyelesaikan perkara melalui Lembaga Arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berarti para pihak telah sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara melalui pengadilan negeri sehubungan dengan adanya perjanjian di antara para pihak, yang mana para pihak akan melaksanakan setiap keputusan yang di ambil oleh arbiter.Sementara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang harus dilalui sebagai berikut

1. Permohonan ArbitraseProsedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase pada Sekretariat BANI. Di dalam permohonan tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal tentang kedudukan pemohon dikaitkan dengan perjanjian arbitrase, kewenangan arbitrase (dalam hal ini BANI) untuk memeriksa perkara, hingga prosedur yang sudah ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam penyelesaian melalui forum arbitrase.

Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul sengketa (Pactum De Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase (akta van compromis).

Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu memberitahukan kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanya sengketa antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan sengketa melalui BANI.

Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30/1999, pemberitahuan sebagaimana dimaksud di atas harus memuat dengan jelas:a. Nama dan alamat para pihak;b. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;c. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;d. Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;e. Cara penyelesaian yang dikehendaki; danf. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam register BANI. Badan Pengurus BANI juga akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut. 2. Penunjukan ArbiterPada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan dipimpin oleh arbiter tunggal atau oleh Majelis.

Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal pemohon secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 (empat belas) hari sejak termohon menerima usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal maka dengan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak maka Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter tunggal.

Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka Para Pihak akan mengangkat masing-masing 1 (satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter yang telah diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga (yang kemudian akan menjadi ketua majelis arbitrase). Apabila dalam waktu 14 (empat) belas hari setelah pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat kata sepakat maka atas permohonan salah satu pihak maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.

Apabila setelah 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohondan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

3. Tanggapan TermohonApabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.

Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.

4. Tuntutan BalikApabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagai-mana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama.

Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan.

Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan balik atau upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.

Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda kelanjutan penyelenggaraan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tuntutan.

Jawaban Tuntutan BalikDalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak dalam jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut.

5. Sidang PemeriksaanDalam sidang pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.

Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.

Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan.

Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.

Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :1. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu;2. Sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau3. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.

Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.

Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.

Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.

Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya. Selain menetapkan Putusan akhir, Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau Putusan-putusan parsial.

6. Biaya-biayaPermohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya Sekretaris Majelis.

Mengenai biaya ini didasarkan juga pada besarnya nilai tuntutan yang dicantumkan dalam permohonan arbitrase, baik materiil juga imateriil. Oleh karena itu, pemohon arbitrase hendaknya lebih bijak dalam menetapkan nilai tuntutannya. Satu dan lain hal, karena pendaftaran biaya arbitrase dihitung berdasarkan prosentase nilai tuntutan dan majelis arbitrer hanya akan mengabulkan nilai tuntutan yang dapat dibuktikan oleh pemohon.

Apabila terdapat pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh pasal 30 Undang-undang No. 30/1999, maka pihak ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut.

Dalam hal Termohon tidak memberikan tanggapan atau diam saja, maka Pemohon arbitrase berkewajiban untuk membayar beban biaya perkara Termohon. Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi oleh kedua belah pihak.

BAB IIIIII.1. Kesimpulan

Arbitrase dapat diajukan pada saat para pihak terjadi beda pendapat atau sengketa yang mana penyelesaian melalui arbitrase harus didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase memilki tiga tahapan dimulai dari tahapan persiapan, tahap pemeriksaan dan tahap pelaksanaan.Dari beberapa tahapan arbitrase di atas, ternyata arbitrase mempunyai peran sebagai salah satu bentuk penyelesaian suatu beda pendapat atau sengketa yang adil, bijaksana, memuaskan para pihak, cepat, tuntas, efisien. Arbitrase adalah wadah untuk membangun solusi yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak yang bersengketa, yaitu membangun kepuasaan bersama dengan win-win solution dan mendorong hubungan yang harmonis dan hubungan sosial yang lebih kuat.Keuntungan yang didapat bila menyelesaiakan sengketa dengan cara arbitrase yaitu:a. Kecepatan dalam prosesb. Pemeriksaan ahli di bidangnyac. Sifat konfidensialitas

Tetapi tidak hanya keuntunganya saja melaikan kelemahan dalam penyelesaian sengeketa melalui arbitrase juga dapat ditemukan yaitu:a. Hanya untuk para pihak bona fide.b. Keuntungan mutlak pada arbiter.c. Tidak ada presenden putusan terdahulu. d. Masalah putusan arbitrase asing.

DAFTAR PUSTAKA

http://jefridayakk.blogspot.com/2014/02/proses-penyelesaian-sengketa-melalui.htmlhttp://strategihukum.net/prosedur-penyelesaian-sengketa-melalui-arbitrasehttp://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Arbitrase_Nasional_Indonesiahttp://gatot-arbitrase.blogspot.com/

1