Makalah PBL Blok 22

33
Pendahuluan Meningitis tuberkulosis termasuk salah satu tuberkulosis ekstrapulmoner dan merupakan penyakit infeksi susunan saraf pusat (SSP) subakut dan fokus primer paru, yang biasanya terjadi dalam 12 bulan infeksi dan paling sering mengenai anak berusia di bawah 5 tahun, 1 Menurut WHO (2003) diperkirakan 8 juta orang terjangkit TBC setiap tahun dan 2 juta meninggal. Pada tahun 1997 diperkirakan TBC menyebabkan kematian lebih dari 1 juta penduduk di negara- negara Asia. Riggs (1956) menyatakan bahwa antara 5-10% penderita TBC akan meninggal, dan 25% akan berlanjut menjadi infeksi. 2 Meningitis TBC lebih sering pada anak terutama anak usia 0- 4 tahun di daerah dengan prevalensi TBC tinggi. Sebaliknya di daerah dengan prevalensi TBC rendah, meningitis TBC lebih sering dijumpai pada orang dewasa. 2 Di Amerika Serikat meningitis TBC ditemukan pada 32% kasus meningitis dan menurun drastis kurang dari 8% dalam 25 tahun kemudian. Sedangkan di India pada tahun yang sama 60% kasus terjadi pada anak usia 9 bulan – 5 tahun. 2 Berdasarkan data di Departemen Neurologi RS Cipto Msngunkusumo, pasien yang dirawat di IRNA B, tahun 1996 terdapat 15 penderita dengan kasus meningitis dengan kematian 40%, tahun 1997, 13 kasus dengan kematian 50,85% dan tahun 1998 dengan kematian 46, 15% dari 13 penderita. Di Bagian Ilmu Penyakit Saraf 1

description

Blok 22Bell's palsy

Transcript of Makalah PBL Blok 22

Pendahuluan

Meningitis tuberkulosis termasuk salah satu tuberkulosis ekstrapulmoner dan merupakan

penyakit infeksi susunan saraf pusat (SSP) subakut dan fokus primer paru, yang biasanya terjadi

dalam 12 bulan infeksi dan paling sering mengenai anak berusia di bawah 5 tahun,1

Menurut WHO (2003) diperkirakan 8 juta orang terjangkit TBC setiap tahun dan 2 juta

meninggal. Pada tahun 1997 diperkirakan TBC menyebabkan kematian lebih dari 1 juta

penduduk di negara-negara Asia. Riggs (1956) menyatakan bahwa antara 5-10% penderita TBC

akan meninggal, dan 25% akan berlanjut menjadi infeksi.2

Meningitis TBC lebih sering pada anak terutama anak usia 0-4 tahun di daerah dengan

prevalensi TBC tinggi. Sebaliknya di daerah dengan prevalensi TBC rendah, meningitis TBC

lebih sering dijumpai pada orang dewasa.2

Di Amerika Serikat meningitis TBC ditemukan pada 32% kasus meningitis dan menurun

drastis kurang dari 8% dalam 25 tahun kemudian. Sedangkan di India pada tahun yang sama

60% kasus terjadi pada anak usia 9 bulan – 5 tahun.2

Berdasarkan data di Departemen Neurologi RS Cipto Msngunkusumo, pasien yang

dirawat di IRNA B, tahun 1996 terdapat 15 penderita dengan kasus meningitis dengan kematian

40%, tahun 1997, 13 kasus dengan kematian 50,85% dan tahun 1998 dengan kematian 46, 15%

dari 13 penderita. Di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit DR. M. Djamil Padang, selama

tahun 2007 didapatkan kasus meningitis TBC sebanyak 9 penderita dan tahun 2008 dengan 7

orang penderita.2

Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak menyebabkan

kematian dan kecacatan. Dibandingkan dengan meningitis bakterialis akut, perjalanan penyakit

meningitis TBC lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam cairan serebro spinalis (CSS)

tidak begitu hebat.2

Dewasa ini terutama di negara-negara maju, penderita meningitis TBC merupakan

komplikasi HIV dengan gejala yang lebih kompleks, seperti infiltrat pulmoner difus dengan

limfadenopati torakal.2

1

Anamnesis

Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara, baik langsung

kepada pasien (autoanamnesis) maupun kepada orang tua atau sumber lain (alloanamnesis)

misalnya pada wali atau pengantar. Pada seorang pasien, terutama pasien anak, sebagian besar

data (diperkirakan sampai 80%) yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis diperoleh dari

anamnesis.3

Riwayat penyakit sekarang

- Identitas pasien (Nama, umur, alamat, dll)

- Keluhan utama dan sejak kapan

- Frekuensi serta lama kejang?

- Kapan terjadi kejang, apakah baru pertama kali atau sudah sebelumnya? (Jika sudah,

tanyakan berapa kali dan waktu anak berumur berapa.)

- Bagaimana sifat kejang? (Bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal)

- Berapa lama terjadi serangan? Interval antar dua serangan? Kesadaran pada waktu

kejang? Keadaan setelah kejang?

- Apakah kejang disertai demam?

- Adakah gejala lain (misalnya panas, muntah, adanya kelumpuhan, penurunan

kesadaran, dan apakah terdapat kemunduran kepandaian anak)?

Riwayat penyakit dahulu

- Adakah riwayat penyakit serius lain?

- Apakah pernah sakit campak?

- Apakah pernah mengalami alergi akibat mengkonsumsi obat tertentu?

- Apakah kejang nya sudah pernah diobati? (Jika sudah, obat apa yang dikonsumsi, dan

apakah ada perubahan sesudahnya, bertambah baik atau buruk).

Riwayat keluarga

- Adakah di keluarga ada yang pernah mengalami kejang yang sama?

2

- Apakah terdapat penyakit tertentu antara ayah atau ibu? (Misalnya DM, hipertensi,

penyakit keganasan, epilepsi, dll)

- Berapa umur ibu waktu hamil? Jarak kelahiran? (Jika mempunyai anak lebih dari 1)

- Bagaimana keadaan sosial, ekonomi, dan budaya?

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

- Penilaian kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan terhadap umur, dapat

diperoleh dari Kartu Menuju Sehat

- Bagaimana riwayat makan pasien?

- Bagaimana perkembangan motor kasar, motor halus, sosial-personal, dan bahasa?

Riwayat imunisasi

- Status imunisasi ditanyakan, khususnya imunisasi BCG, DPT, Polio, dan campak.

- Imunisasi lain seperti Tipa, rubela, gondongan dan hepatitis juga ditanyakan.

Pada skenario 11 didapatkan hasil anamnesis yaitu pasien adalah seorang anak laki-laki

berusia 5 tahun menderita kejang kaku diseluruh tubuhnya dan berulang sejak 1 hari yang lalu.

Pasien juga menderita demam subfebris sejak 2 bulan yang lalu. Dalam 24 jam terdapat 3 kali

serangan kejang. Tiap episode kejang terjadi selama 5 menit. Riwayat imunisasi lengkap, kecuali

BCG.

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan inspeksi lokal. Pada inspeksi umum

dilihat perubahan yang terjadi secara umum sehingga dapat diperoleh kesan keadaan umum

anak. Sedangkan pada inspeksi lokal, yang dilakukan pada saat dilakukan pemeriksaan setempat,

dilihat perubahan-perubahan lokal sampai yang sekecil-kecilnya. Seringkali diperlukan

perbandingan dengan sisi lainnya.3

3

Palpasi

Palpasi dilakukan dengan meraba, mempergunakan telapak tangan dan memanfaatkan

alat peraba yang terdapat padatelapak tangan dan jari-jari tangan. Dengan palpasi dapat

ditentukan bentuk, besar, tepi, permukaan serta konsistensi suatu organ. Palpasi dilakukan

dengan menggunakan jari II, III, IV. Bila ada bagian yang sakit, perabaan selalu dimulai dari

bagian yang tidak sakit, baru kemudian ke bagian yang sakit.3

Perkusi

Tujuan perkusi ialah mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batas-

batas suatu organ. Perkusi dapat dilakukan dengan cara langsung dengan mengetukkan ujung jari

II atau III langsung pada daerah yang diperkusi. Cara ini dapat dilakukan misalnya pada waktu

melakukan perkusi pada kepala. Cara yang lain adalah perkusi tidak langsung. Pada cara ini jari

II atau III diletakkan lurus pada bagian tubuh yang akan diperiksa, sedangkan jari-jari lainnya

tidak menyentuh tubuh. Jari ini dipakai sebagai landasan untuk mengetuk. Ketuklah jari ini pada

falang bagian distal, proksimal dari kuku, dengan jari II atau III tangan kanan yang

membengkok. Suara perkusi dibagi 3 macam, sonor (suara yang terdengan pada perkusi paru

normal), pekak (suara yang terdengar pada perkusi otot, misalnya paha atau bahu), dan timpani

(suara yang terdengar pada perkusi abdomen bagian lambung). Tentu saja ada suara yang

terdapat di antara suara tersebut, misalnya redup (antara sonor dan pekak) dan hipersonor (antara

sonor dan timpani).3

Auskultasi

Auskultasi adalah pemeriksaan dengan mempergunakan stetoskop. Dengan auskultasi

dapat didengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus, dan aliran darah

dalam pembuluh darah. Terdapat 3 macam ukuran stetoskop yang sesuai untuk neonatus, anak,

dan dewasa. Pada anak, yang dipakai adalah stetoskop binaural.3

4

Refleks Patologik

♯ Refleks Babinski adalah salah satu refleks patologis yang dilakukan dengan menggores

permukaan plantar kaki dengan alat yang sedikit runcing. Bila positif akan terjadi reaksi

berupa ekstensi ibu jari kaki disertai dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain. Refleks

ini normal pada bayi sampai umur 18 bulan; bila masih terdapat pada umur 2-2½ tahun,

mungkin terdapat lesi piramidal.3

♯ Refleks Oppenheim dilakukan dengan menekan sisi medial pergelangan kaki; reaksi yang

terjadi adalah seperti refleks babinski.3

♯ Refleks Hoffmann dilakukan dengan cara mengetuk falang terakhir jari kedua. Bila positif

akan terjadi fleksi jari pertama dan ketiga. Tanda Hoffmann juga menunjukkan terjadinya

lesi piramidal (upper motor neuron), tetapi tanda ini juga terdapat pada pasien tetani.3

♯ Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki pasien dengan

cepat dan kuat sementara sendi lutut diluruskan dengan tangan lain pemeriksa yang

diletakkan pada fosa poplitea. Bila klonus positif akan terjadi gerakan fleksi dan ejstensi

kaki secara terus menerus dan cepat.3

♯ Klonus patela adalah gerakan patela naik turun dengan cepat, timbul bila patela ditekan

kuat-kuat dan cepat, sementara tungkai dalam keadaan ekstensi dan lemas. Klonus sering

menyertai setiap keadaan dengan hiper-refleksi dan refleks patologis.3

Tanda-tanda Rangsang Meningeal

Ω Kaku Kuduk (Nuchal rigidity)3

Bila leher ditekuk secara pasif terhadap tahanan, sehingga dagu tidak dapat

menempel pada dada, maka dikatakan kaku kuduk positif. Tahanan juga dapat terasa bila

leher dibuat hiperekstensi, diputar atau digerakkan ke samping. Kadang-kadang kaku

kuduk disertai dengan hiperekstensi tulang belakang; keadaan ini disebut opistotonus.

Di samping menunjukan adanya rangsang meningeal (meningitis), kaku kuduk

juga terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses peritonsilar, ensefalitis virus,

keracunan timbal, dan artritis reumatoid.

Ω Brudzinski3

Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di

dada pasien untuk mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien

5

difleksikan ke dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila tedapat rangsang meningeal maka

kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.

Ω Kernig3

Pemeriksaan tanda Kernig ini ada bermacam-macam cara, tetapi yang biasa

dipergunakan ialah pada penderita dalam posisi telentang dilakukan fleksi tungkai atas

tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Dalam

keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135° terhadap tungkai

atas. Pada iritasi meningeal ekstensi lutut secara pasif ini akan menyebabkan rasa sakit

dan terdapat hambatan. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di bawah umur 6

bulan.

Pemeriksaan Saraf Otak III, IV, VI (Nn. okulomotorius, troklearis, dan abdusen)

Uji yang sederhana dan mudah dilakukan ialah uji gerakan kedua mata, uji akomodasi

dan refleks cahaya. Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan mainan, baterai atau alat

pengukur lingkaran kepala yang digoyang-goyangkan ke samping, ke atas dan ke bawah di garis

tengah, kemudian juga diagonal. Hal ini dilakukan pada masing-massing mata dengan menutup

mata yang lain.3

Uji akomodasidilakukan dengan menyuruh pasien melihat benda yang digerakkan

mendekat dan manjauh; diperhatikan pupil penderita apakah mengecil bila melihat dekat serta

membesar bila melihat jauh. Uji diplopia dilakukan dengan menanyakan kepada pasien apakah

melihat satu atau lebih mainan yang digerakkan di depan pasien ke atas kiri, atas kanan, bawah

kiri dan bawah kanan.3

Paralisis saraf otak IIIakan menyebabkan mata yang terkena akan deviasi ke lateral

bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta hilangnya refleks cahaya dan akomodasi.

Paralisis saraf otak IV jarang terjadi; pada keadaan ini waktu melihat ke bawah terjadi sedikit

strabismus konvergens dan diplopia. Pasien tidak mampu melihat ke bawah sehingga mengalami

kesukaran pada waktu menuruni tangga. Paralisis saraf otak VI paling sering terjadi, ditandai

oleh strabismus konvergens dan diplopia.3

6

Pada skenario 11, didapatkan hasil pemeriksaan fisik yaitu, pada sela-sela periode kejang

pasien tampak lemah dan sering tidur, Kaku kuduk (+), Babinski (+), Brudzinski (+), berat badan

15 kg, pungsi lumbal berwarna kuning jernih, prodormal limfosit 30µl, glukosa 20mg/dl, protein

150mg/dl, fungsi N. III, IV dan VI abnormal.

Pemeriksaan Penunjang

1) Laboratorium rutin pada meningitis tuberkulosis jarang yang khas, bisa ditemui leukosit

meningkat, normal atau rendah dan diff. count bergeser ke kiri kadang-kadang ditemukan

hiponatremia akibat SIADH.2

2) Pemeriksaan CSS

Terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi 40-75% pada anak. Warna jernih atau

xantokhorm terdapat peningkatan protein dari 150-200 mg/dl dan penurunan glukosa

pada cairan serebrospinal. Terdapat penurunan klorida, ditemukan pleiositosis, jumlah sel

meningkat biasanya tidak melebihi 300 cel/mm2,4

3) Mikrobiologi

Ditemukan Mycobacterium tuberculosis pada kultur cairan serebrospinal merupakan baku

emas tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya negatif.2

4) PCR (Polymerase chain reaction) spesifitas tinggi tetapi sensitivitas moderat.2

5) Pada pemeriksaan foto rontgen toraks ditemukan tuberkulosis aktif pada paru dan dapat

sembuh sampai 90% pada anak.2,4

6) Hasil tes PPD tuberkulin negatif pada 10-15% anak-anak.2,4

7) CT Scan dan MRI

Pemeriksaan CT scan dengan kontras ditemukan penebalan meningen di daerah basal,

imfark, hidrosefalus, lesi granulomatosa. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dari CT Scan ,

tetapi spesifitas juga masih terbatas.2

Working Diagnose

Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis

primer. Secara histologis meningitis tuberkulosis merupakan meningoensefalitis (tuberkulosis)

dengan invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat.2

7

Differential Diagnose

Meningitis Purulenta

Meningitis purulenta ialah radang selaput otak (araknoidea dan piamater) yang

menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman nonspesifik dan nonvirus. Sebagai

kuman penyebab ialah jenis Pneumococcus, Haemophilus influenza, Staphylococcus,

Streptococcus, E.coli, Meningococcus, dan Salmonella. Di Jakarta penyebab terbanyak ialah

Pneumococcus dan Haemophilus influenza. Angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan –

2 tahun. Meningitis purulenta pada umunya sebagai akibat komplikasi penyakit lain. Kuman

secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringotonsilitis, pneumonia,

bronkopneumonia, endokarditis dan lain-lain.4

Gejala klinis terbagi dalam 3 tahap. (1) Gejala infeksi akut; anak menjadi lesu, mudah

terangsang, panas, muntah, anoreksia, pada anak yang beasr mungkin didapatkan sakit kepala.

(2) Gejala tekanan intrakranial meninggi; anak sering muntah, nyeri kepala (pada anak besar),

moaningncry (pada neonatus) yaitu yangis yang merintih. Kesadaran bayi/anak menurun dari

apatis sampai koma. Kejang yang terjadi dapat bersifat umum, fokal, atau twitching. Ubun-ubun

besar menonjol dan tegang, terdapat gejala kelainan serebral lainnya seperti paresis atau

paralisis, strabismus. “Crack pot sign” dan pernafasan Cheyne Stokes. Kadang-kadang pada anak

besar terdapat hipertensi dan “Chocked disc” dari papila nervus optikus. (3) Gejala rangsangan

meningeal; terdapat kaku kuduk, Kernig, Brudzinski (+). Bila terdapat gejala diatas, selanjtunya

dilakukan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal. Umumnya cairan

serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh. Kadar protein dalam likuor meninggi. Kadar gula

menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang

merendah. Komplikasi yang mungkin timbul ialah efusi subdural, empiema subdural,

ventrikulitis, abses serebri, sekuele neurologis berupa paresis atau paralisis sampai deserebrasi,

hidrosefalus akibat sumbatan pada jalannya atau resorbsi atau produksi likuor serebrospinalis

yang berlebihan.4

Penatalaksanaan pada penderita meningitis purulenta, yang pertama adalah koreksi cairan

dan elektrolit. Bila anak masuk dalam status konvulsiv, berikan diazepam 0,5 mg/kgbb/kali.

8

Setelah kejang diatasi, berikan fenobarbital dosis awal untuk neonatus 30 mg, anak kurang dari 1

tahun 50 mg, dan di atas 1 tahun 75 mg. Berikan ampisilin intravena sebanyak 400 mg/kgbb/hari

dibagi dalam 6 dosis ditambah kloramfenikol 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

untuk Haemophilus influenza dan Pneumococcus. Mortalitas tergantung pada virulensi kuman

penyebab, daya tahan tubuh penderita, terlambat atau cepatnya mendapat pengobatan yang tepat

dan pada cara pengobatan dan perawatan yang diberikan.4

Epilepsi

Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di

sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter,

fenomena sensorik abnormal, serta kenaikan aktivitas otonom.5

Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber listrik di otak yang dinamakan fokus

epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuron-

neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat

mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang

yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain

pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami

depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang

selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian

akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. Selain itu, epilepsi

juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami

pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang

seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga

menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan elektrolit, yang

mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.

Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik

atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.5

Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi

pada:Trauma lahir, Asphyxia neonatorum, Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf, intoksikasi

obat/alkohol, tumor, dan kelainan vaskular.

9

Epilepsi secara umum diklasifikasikan menurut bentuk kejangnya, yaitu: kejang parsial,

kejang umum, dan kejang tidak terklasifikasi. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran pasien

tidak terganggu. Terjadi gerakan otomatis sederhana seperti hanya jari atau tangan yang bergetar;

atau mulut yang bergerak tak terkontrol; bicara tidak dapat dimengerti. Pada kejang parsial

kompleks, terjadi gerakan secara otomatis dan berulang-ulang tapi tidak bertujuan seperti

mengunyah, menggigit bibir atau bergumam. Terjadi gangguan kesadaran sehingga pasien tidak

mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.Pada kejang umum (grand mal) biasanya

melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan terjadinya kekauan intens pada seluruh

tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot

(Klonik) serta disertai dengan penurunan kesadaran.5

Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis tunggal anti konvulsan termasuk

karbamazepin, primidon, fenitoin, fenobarbital, etosuksimidin, dan valproate.Cegah terjadinya

hiperplasi gingival dengan hygiene oral yang menyeluruh, perawatan gigi teratur, dan masase

gusi teratur untuk pasien yang mendapatkan fenitoin (Dilantin).Pembedahan diindikasikan bila

epilepsy diakibatkan oleh tumor intrakranial, abses, kista, atau kelainan vaskuler.Pengangkatan

secara pembedahan pada focus epileptogenik dilakukan untuk kejang yang berasal dari area otak

yang terkelilingi dengan baik yang dapat dieksisi tanpa menghasilkan kelainan neurologis yang

signifikan.5

Kejang Demam

Kejang demam kompleks

Kejang tidak umum tetapi hanya mengenai sebagian tubuh mis. tangan saja.

Kejang berlangsung > 15 menit

Kejang berulang dalam 24 jam

Kejang berualang > 4 kali setahun

Kejang demam kompleks menunjukkan ada kelainan di sistem saraf, keadaan ini kelak

berpotensi berkembang jadi epilepsi sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut.

Etiologi

Penyebab utama dari meningitis Tb adalah Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis

adalah bakteri batang gram (+) yang memberikan hasil kurang baik bila diwarnai dengan

10

pewarnaan HE karena dinding selnya sangat tebal dan mengandung lipid, peptidoglycan, dan

aribomannan. Tetapi bakteri ini dapat diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen atau yang

disebut juga pewarnaan tahan asam yang menghasilkan warna merah terang dengan latar

berwarna kebiruan.6

Epidemiologi

Pada tahun 2010, meningitis Tb merupakan 2,1% dari total kasus pediatri di rumah sakit

dan 9,1% dari kasus Tb ekstrapulmonar. Tiap tahunnya pada negara berkembang, dilaporkan

adanya 1,3 juta kasus Tb baru pada anak-anak dan 40.000 kematian pada anak di bawah 15 tahun

yang disebabkan oleh Tb. 1 dari 300 kasus Tb pada anak yang tidak ditangani dapat

berkomplikasi menjadi meningitis Tb.

Meningitis Tb lebih sering menyerang kelompok anak usia di bawah 5 tahun dan

perbandingan kasus antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1.7

Patofisiologi

Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar

otak. Focus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang,

sinus nasalis, traktus gastro-intestinalis, atau ginjal. Terjadinya meningitis dimulai dari terjadinya

bakteremia yang menyebabkan basil Tb mencapai meninges atau parenkim otak. Selanjutnya

akan terbentuk tuberkel-tuberkel kecil (beberapa mm sampai 1 cm). Tuberkel tadi kemudian

melunak, pecah dan masuk ke ruang subarachnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan

yang difus. Secara mikroskopik tuberkel-tuberkel ini sama dengan tuberkel pada umumnya

dimana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel plasma dan

dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.

Eksudat dari tuberkel yang pecah tadi akan menyumbat pembuluh darah meningeal dan

kortikal sehingga terjadi peradangan, obstruksi atau infark. Eksudat tersebut juga dapat

menyumbat akuaduktus Sylvii, foramen Magendi, foramen Luschka dan mengakibatkan

terjadinya hidrosefalus, edema papil dan peningkatan tekanan intrakranial.1,6,7

11

Gejala Klinis

Meningitis Tb timbul bertahap sehingga biasanya terdapat panas yang tidak terlalu tinggi,

nyeri kepala dan nyeri kuduk. Disamping itu juga terdapat riwayat penurunan berat badan, nyeri

otot, nyeri punggung, dan anoreksia. Setelah beberapa hari, bukti adanya keterlibatan meningen

ditandai dengan adanya letargi, iritabilitas, dan pada pemeriksaan akan dijumpai tanda-tanda

rangsangan selaput otak seperti kaku kuduk, tanda Kernig dan tanda Brudzinsky. Jika diagnosis

tidak ditegakkan pada tahap ini akan terjadi kejang, tanda fokal dan gangguan kesadaran.

Terdapat peningkatan jumlah limfosit dengan peningkatan protein dan glukosa yang rendah pada

LCS.7

Meningitis Tb di bagi dalam 3 stadium:

1. Stadium pertama (prodromal)

Stadium prodromal berlangsung antara 2 minggu – 3 bulan. Pada anak yang masih kecil

awal penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanya kenaikan suhu yang ringan

atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tidak ada nafsu makan,

murung, berat badan turun, lemas, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan

gangguan kesadaran berupa apatis. Anak yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, tidak

ada nafsu makan, muntah-muntah, pola tidur terganggu. Pada orang dewasa terdapat

panas yang hilang timbul, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri

punggung, dan mudah tersinggung.6,7

2. Stadium kedua

Gejala terlihat lebih berat. Pada anak kecil dan bayi terdapat kejang umum atau fokal.

Tanda-tanda rangsang meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan

terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah

lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif menyebabkan anak

berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran makin

menurun. Refleks tendon meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela

dan pergelangan kaki. Terdapat gangguan saraf kranial antara lain N.III, IV, VI, dan VII.

Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologik fokal seperti hemiparesis, hemiplegia,

afasia dan tetraparesis.6,7

3. Stadium ketiga

12

Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh

terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernapasan dan nadi juga tak teratur dan

terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul serta spasme

klonik. Gangguan miksi berupa retensi atau inkotinensia urin. Didapatkan pula adanya

penurunan kesadaran yang makin parah sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat

meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan yang

adekuat.6,7

Penatalaksanaan Medika Mentosa

1. Isolasi :

Anak ditempatkan dalam ruang isolasi sedikitnya selama 24-48 jam setelah mendapatkan

antibiotik IV yang sensitif terhadap organisme penyebab.

2. Terapi antimikroba

Terapi anti mikroba pada meningitis bakteri terdiri dari ampisilin dan sefotaksim atau ampisilin

dan gentamisin. antibiotik yang diberikan didasarkan pada hasil kultur dan diberikan dengan

dosis tinggi.

3. Mempertahankan hidrasi optimum

mengatasi kekurangan cairan dan mencegah kelebihan cairan yang dapat menyebabkan edema

serebral (pembengkakan otak). Pemberian plasma perinfus mungkin diperlukan untuk rejatan

dan untuk memperbaiki hidrasinya

4. Mencegah dan mengobati komplikasi.

aspirasi efusi subdural dan terapi heparin

5. Mengontrol kejang

pemberian anti epilepsy atau anti konvulsan untuk anak yang kejang-kejang.

13

Diazepam = 0,5 mg/kg BB/ iv

Fenobarbital = 5-6 mg/kg BB/hari secara oral

Difenilhidantoin = 5-9 mg/kgBB/hari secara oral

6. Pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk menjamin

kesembuhan serta mengurangi atau menghindari resiko komplikasi.

Pada bakteri Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis antara lain Cephalosporin

(ceftriaxone atau cefotaxime) Sefalosporin (iv) : 2 gr tiap 4 jam dan bakteri Listeria

monocytogenes akan diberikan Ampisilin (iv) : 8-12 gr/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian,

Vancomycin dan Carbapenem (meropenem), Chloramphenicol (iv) : 4-8 gr/ hari

7. Bila gelisah diberi sedativ seperti fenobarbital (penenang)

8. Nyeri kepala diatasi dengan analgetik dan Fisioterapi diberikan untuk mencegah dan

mengurangi cacat.

9. Panas diturunkan dengan: Kompres, parasetamol, asam salisilat, pada anak dosisnya 10 mg/kg

BB tiap 4 jam secara oral

10. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan:

Manitol = Dosisnya 1-1,5 mg/kgBB/iv. Kortikosteroid Biasanya dipakai dexametason secara iv

dengan dosis 10 mg.

11.Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau (shunting)

12. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25-30 cc setiap hari selama 2-3 minggu, bila gagal

dilakukan operasi.

Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis

tuberkulosis

14

Terapi diberikan sesuai dengan tuberkulosis yakni:

· Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid,

rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

· Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12

bulan.

Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan pada terapi

meningitis tuberkulosis:

· Isoniazid

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan ekstrasel, dapat

berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis, cairan

pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid

diberikan secara oral.

Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari

Dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.

Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam

bentuk sirup 100 mg / 5 ml.

Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2

jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang

mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek

toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak,

biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan

bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin

dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid

· Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan

15

dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin

diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum

makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.

Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari

Dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari.

Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB /

hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan

dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor

cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan

daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,

keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah

mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk

kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg .

· Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan

tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan

suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna.

Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari

Dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2

jam.

Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat

suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping

pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada

anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg

· Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan

16

basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini

streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting

pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-

tuberculosis).

Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari,

Maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati

selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan

pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat

kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat.

Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan

dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin

dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita

hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

· Etambutol

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika diberikan dengan

dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat

mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.

Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari

Maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu

24 jam.

Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.

Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis

satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan

meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna

merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat

diperiksa tajam penglihatannya.Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan

17

tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25

mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB

resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai terapi ajuvan.

Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial

dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB /

hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off)

selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. Pada bulan pertama pengobatan,

pasien harus tirah baring total.

Non Medika Mentosa

Penanganan / Perawatan pada saat anak demam (rumah)

1. Beri kompres hangat

2. Berikan banyak minum air putih

3. Gunakan pakaian tipis

4. Jangan di kerumuni banyak orang

5. Buka jendela untuk memudahkan udara masuk ke ruangan

6. Berikan obat penurun panas sesuai program terapi dokter.

Penanganan / Perawatan pada saat anak kejang (rumah)

1. Baringkan anak pada tempat yang rata, kepala di miringkan dan pasangkan gagang

sendok yang dibungkus kain atau sapu tangan bersih dalam mulutnya. Dengan tujuan

untuk mencegah lidah tergigit.

2. Buka baju anak, longarkan pakaian yang mengganggu pernapasan.

3. Singkirkan benda-benda di sekitar anak.

4. Jangan memberi minuman atau makanan apapun pada anak saat kejang.

5. Bila badan panas berikan kompres hangat.

6. Bila dengan tindakan ini kejang belum berhenti atau kondisi nya semakin parah, segera

bawa anak ke dokter atau rumah sakit.

18

Pencegahan

Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor

predisposisi (pendukung) seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana

dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan

tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.

Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk

mengidentifikasi faktor atau jenis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi

sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius. Beberapa upaya

preventif pada anak yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Melaksanakan imunisasi tepat waktu.

b. Pada usia bayi 0-1tahun usahakan membatasi diri untuk keluar rumah atau jalan-jalan

ketempat-tempat ramai seperti mall, pasar, dan rumah sakit.

c. Menjauhkan anak dari orang yang sakit.

d. Usahakan anak tetap berada pada lingkungan dengan temperatur yang nyaman.

Komplikasi

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa

neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan

sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,

gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi

optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat

streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien

yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan

kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi

pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan

kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan

defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.

19

Faktor Resiko

Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah

1. Umur

a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.

b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi pada

anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.

c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan

bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin

Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan

2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan

dibandingkan pada laki-laki.

3. Suhu badan

Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada

saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap

anak, berkisar antara 38,3°C – 41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan

mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi

sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu

tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih

sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.

4. Faktor keturunan

Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis

mendapatkan bahwa 25 – 50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga (

orang tua, saudara kandung ) yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

20

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang demam cenderung

timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu demam tinggi.7

Faktor –faktor lain diantaranya:

· riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,

· perkembangan terlambat,

· problem pada masa neonatus,

· anak dalam perawatan khusus, dan

· kadar natrium rendah

Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau

lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi meningkat

dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah

saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan

diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak diobati

sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung

pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih

buruk daripada pasien yang lebih tua usianya

Kesimpulan

Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-

negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Meningitis adalah infeksi cairan otak

disertai radang yang mengenai piamater, arakhnoid, dan dalam derajat yang lebih ringan

mengenai jaringan otak dan medulla spinalis yang superfisial. Dibandingkan dengan jenis-jenis

tuberkulosa lain, meningitis tuberkulosa paling banyak menyebabkan kematian. Jumlah

penderita meningitis tuberkulosa kurang lebih sebanding dengan prevalensi infeksi oleh

21

mikobakterium tuberkulosa pada umumnya. Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut

maka perjalanan penyakit lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.

Daftar Pustaka

1. Wahab AS, Trastotenojo M, Pendit BU, Prasetyo A, Sugiarto. Buku ajar pediatri rudolph.

Jakarta: EGC.2006.h.692-4.

2. Sudewi RAA. Infeksi pada sistem saraf. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan

Unair.2011.h.14-9.

3. Wahidiyat HI, Matondang CS, Sastroasmoro HS. Diagnosis fisis pada anak. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI.2011.h.3-25, 144-52.

4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku

kuliah ilmu kesehatan anak 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2010.h.558-64.

5. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Ed.3. Jakarta: EGC.2008.h.277-80.

6. Ramachandran TS. Tuberculous meningitis. Edisi April 2013. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a0104, 13 Desember 2013.

7. Prober CG. Central nervous system infections. In: Kliegman RM et all. Nelson textbook

of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders.2011.p.872-8.

22