Makalah Pancasila Kel.2
-
Upload
harvey-alvin-hartono -
Category
Documents
-
view
7 -
download
1
description
Transcript of Makalah Pancasila Kel.2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara yang plural. Pluralitas negara kesatuan
republik Indonesia (NKRI) bisa dilihat dari keanekaragaman ras, suku, bahasa
(daerah), adat istiadat dan agama bangsa Indonesia. Bisa jadi keanekaragaman ini
menjadi sebuah kekayaan. Namun, kekayaan ini jika tidak dikelola dengan baik
dapat menjadi ancaman yang berakibat fatal. Berbagai keberagaman yang ada di
NKRI pun dapat menjadi ancaman bagi keutuhan dan kelangsungan NKRI, karena
kelangsungan dan keutuhan suatu negara bergantung pada stabilitas negara yang
bersangkutan. Keberagaman dapat dijadikan amunisi untuk memecah persatuan
yang bisa berakhir pada hancurnya stabilitas negara. Munculnya usaha untuk
disintegrasi diberbagai wilayah RI menjadi bukti konkrit dari problem ini.
Beberapa tahun lalu bahkakn sampai saat ini, di Indonesia banyak kejadian
yang salah satu pemicunya disebabkan kasus SARA. Peristiwa Ambon, Poso,
Sampit, Aceh sampai kasus dukun santet di Jawa Timur, semua diisukan
bersumber dari SARA, lenih khusus masalah agama. Agama adalah objek yang
paling gampang untuk dijadikan kambing hitam. Bentrok antar pendukung partai
berbasis agama yang pernah terjadi dibeberapa daerah, agama pun dianggap
sebagai biang keroknya. Perkara kriminalitas yang dengan jelas disebabkan murni
politik, namun agama dijadikan sasaran pengkambinghitaman.
Indonesia bukan negara agama atau mazhab, namun Indonesia adalah
negara agamis. Dalam arti, tatanan kenegaraan NKRI tidak didasari oleh idelogi
agama atau mazhab tertentu, namun negara dan bangsa Indonesia sangat
menjunjung tinggi norma-norma keagamaan. Sehingga, segala pemikiran dan
usaha untuk menggeser norma-norma agama akan tersingkir dari lubuk bangsa.
Disisi lain, bangsa Indonesia memilki corak dan watak masyarakat Timur yang
kental dengan toleransi, teposeliro (tenggang rasa) dan gotong royong antar
sesama. Oleh karenanya, segala bentuk kriminal, kekerasan dan arogansi baik
dengan kemasan premanisme, intelektualisme, maupun spiritualisme agama
sekalipun akan mendapat reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat. Dapat
1
kita saksikan, betapa keras reaksi masyarakat Indonensia terhadap munculnya
berbagai aliran pemikiran liberal berkedok agama yang dalam banyak hal tiada
lagi mengindahkan batas-batas norma dan sakralitas keagamaan. Sebagaimana
dapat disaksikan reaksi keras masyarakat atas tindak kekerasan dan prilaku
arogansi atas kasus-kasus tertentu, terkhusus dengan mengatasnamakan agama.
Disisi lain, usaha-usaha pihak tertentu dalam memunculkan bentrok antar
masyarakat dengan isu SARA sering dijumpai dalam banyak kasus ditanah air.
Baik dari luar, maupun dari dalam negeri yang mendapat dukungan luar. Mereka
beruasaha untuk memecah belah persatuan dan kesatuan RI dengan menggoyah
stabilitas nasional, dengan alasan apapun. Gerakan reformasi pun dijadikan alasan
dan sarana untuk itu. Perbedaan agama adalah obyek menarik buat kalangan itu
untuk membikin keonaran di Nusantara.
Melihat fenomena-fenomena diatas tadi, banyak para pakar menawarkan
wacana pluralisme agama dan mazhab sebagai alternatif dan solusi untuk
mengatasi problem diatas. Namun, hal ini bukan berarti permasalahan bisa
selesai. kaitannya dengan hal tersebut, penulis menawarkan makalah yang
memberikan pengetahuan mengenai hal-hal tersebut diatas.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka identifikasi masalah dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Indonesia merupakan negara plural yang memiliki keanekaragaman ras, suku,
bahasa (daerah), adat istiadat dan agama.
2. Banyaknya konflik yang terjadi di tanah air yang salah satu pemicunya adalah
kasus SARA
3. Pluralisme agama dijadikan sebagai obyek yang akan menjadi pemecah
persatuan dan kesatuan RI
2
C. Perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah tersebut diatas, maka perumusan masalah adalah
bagaimana seharusnya pluralisme agama dalam bingkai negara kesatuan republik
Indonesia.
3
LANDASAN TEORI
A. Pluralisme dan kaitannya dengan pluralisme agama
1. Pengertian
Konsep pluralisme awalnya dikemukakan oleh Christian wolf dan
Immanuel Kant sebagai filosof pencerahan yang menekankan pada doktrin
tentang adanya kemungkinan pandangan-pandangan dunia di kombinasikan
dengan kebutuhan untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk
dunia. Berikut ini beberapa sketsa definisi pluralisme.
a. Menurut etika dan sosiologi normatif, konsep pluralisme berarti
problem dimana masyarakat modern tidak lebih berdasarkan pada
seperangkat norma otoritatif sehingga semua persoalan etika, meminjam
istilah Jurgen Habernas tunduk pada wacana yang rasional dan terbuka.
b. Menurut sosiologi dan dan etnologi budaya, pluralisme berarti
fragmentasi bahasa, agama, atau batasan-batasan lainnya.
c. Menurut sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi masyarakat
yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi peran, pada
level organisasional sebagai kompetisi organnisasi-organisai formal, dan
pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi
institusi.
d. Dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap
keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan
kebebasab individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan :
1. Pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi,
negara absolut, monopoli, masyarakat total, kesadaran terasing, dan
kebudayaan monolitik.
2. Pluralisme mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi.
Dimana pluralisme dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu
tanpa bentuk seperti anarki, anomie dalam arti kognitif maupun
normatif, relativisme epistemologis, dan posmodernisme yang tidak
koheren.
4
2. Pembahasan
Sketsa definisi pluralisme diatas digunakan dalam pengertian deskriptif dan
evaluatif. Di satu sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya sub
entitas, sebaliknya disisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap
pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme diatas, adapun yang
dimaksud dengan pluralisme agama adalah adanya pengakuan bahwa manusia di
bumi ini tidak hanya menganut satu agamma tapi menganut banyak agama.
Pluralisme agama, dalam tiga dasawarsa terakhir ini sudah dirintis dialog-
dialog antar umat beragama yang makin dirasakan perlunya setelah dalam
dasawarsa terakhir abad ke-XX pertentangan SARA makin menjadi sengit.
Karena itu, pembahasan menganai soal “Pluralisme Agama dan Dialog” mekin
dirasakan perlu demi kerukunan kehidupan beragama di Indonesia. Era industri
mulai mulai mengangkat masalah pluralisme ke permukaan, lebih-lebih dengan
masuknya dunia ke dalam Era informasi dimana batas-batas antar negara dan
bangsa sudah sulit ditentukan maka Pluralisme menjadi situasi riel sebagai
masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Sebagai reaksi terhadap pluralisme
yang menekan, ada beberapa macam reaksi yang timbul, yaitu: 1.
Fundamentalisme, yaitu reaksi menolak pluralisme dan memperkukuh posisi
sendiri; 2. Proselitisme, yaitu usaha mentobatkan pengikut agama lain agar masuk
agama sendiri dengan cara-cara yang tidak wajar; 3. Sinkretisme, yaitu reaksi
kompromis dengan cara mencampuradukkan kedua keyakinan agama yang
bertemu. Munculnya fenomena pluralisme agama dapat ditelusuri dari tiga
mazhab teori besar dalam sosiologi agama diantaranya teori fungsionalisme
(Emile Durkheim), kognitivisme (Max Weber) dan teori kritis (Karl Marx).
Pandangan tiga mazhab teori itu tentang agama misalnya fungsionalisme melihat
bahwa agama sebagai institusi yang dibangun demi integrasi sosial. Kognitivisme
memandang agama sebagai pandangan dunia yang memberi makna bagi individu
dan kelompok. Sementara teori kritis menginterpretasikan agama sebagai ideologi
yang melegitimasi struktur kekuasaan masyarakat.
5
Fenomena pluralisme seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parson (1967
dan 1995) adalah sebagai pembedaan sistematik pada semua level, baik itu level
pembedaan peran maupun level pembedaan sosial dan budaya. Bagi kaum
kognitivis, seperti yang diwakili oleh Peter L. Berger mengemukakan fenomena
pluralisme sebagai gejala sosial-struktural yang paralel dengan sekularisasi
kesadaran (Berger, 1967:127). Menurut Berger, sekularisasi membawa pada
demonopolisasi tradisi-tradisi agama dan pada peningkatan peran rakyat jelata.
Sementara dikalangan teoritisi kritis seperti yang diwakili oleh Houtart, Habermas
atau Bourdieu menganalisis pluralisme agama bukan suatu tema yang menarik
perhatian, karena dalam tradisi Marxis, agama bukanlah penyebab penting bagi
perubahan struktural dan emansipasi manusia (Backford: 1989)
Seperti yang dikemukakan diatas, pemahaman pluralisme dalam bingkai
“Bhineka Tunggal Ika” dapat menjadi asset yang sangat menguntungkan bagi
proses pembelajaran dan pemahaman bahwa kita berbeda-beda tetapi hidup dalam
kesatuan sosial. Dalam arti belajar dari perbedaan yang ada akan memunculkan
pemahaman bahwa kita hidup dalam komunitas yang berbeda-beda tanpa harus
melihat perbedaan yang menjadi penghalang bagi suatu persahabatan dan
kerjasama. Tapi, pluralisme akan menjadi bencana, kalau masyarakat kita tidak
belajar dan berusaha memahami perbedaan yang ada. Akibatnya pluralisme akan
berubbah menjadi ‘bom waktu’ yang akan meledak kapan dan dimana saja. Inilah
dilema dari suatu pluralisme kalau tidak dikelola dan dipelihara dengan baik.
Pluralisme agama yang terungkap dalam kebebasan beragama berdasarkan
pada konsep individualistik tentang hak-hak universal dan persamaan prinsip
formal. Pluralisme agama diartikulasikan dalam hak-hak kolektif denominasi
dibangun atas d asar gagasan tentang hak-hak parsial dan hak-hak khusus
kelompok, dan mengandaikan ketidaksamaan formal (Baidhawy, 2002:23). Posisi
yang bertentangan ini mewakili kepentingan kelompok-kelompok sosial yang
berbeda, dan pertentangan ini menjadi dilema bagi pluralisme agama. Pluralisme
agama pada tingkat sosial tidak perlu memberi kebebasan beragama yang lebih
besar pada tingkat individu. Kebijakan mengenai toleransi dapat
menginstitusionalisasi organisasi-organisasi totaliter yang membatasi pilihan
6
individu. Dalam suatu agama, memperselisihkan perbedaan nilai-nilai yang ada
akan membatasi pluralisme internal agama-agama. Memperbedakan nilai-nilai
yang bertentangan dan kebenaran tunggal akan melahirkan konflik terbuka
dikalangan penganut agama-agama. Untuk itu, kedepan para penganut agama-
agama harus menyadari bahwa memperdebatkan nilai-nilai yang berbeda tidak
akan menciftakan ko-eksistensi dan perdamaian. Justru, yang harus dilakukan
adalah bagaimana mnegelola perbedaan dari nilai-nilai yang ada tidak sampai
merusak hubungan antar umat beragama, dengan begitu pluralisme agama tetap
terjaga dan tidak menjadi bencana bagi kelangsungan keberadaan pluralisme
agama.
Saat ini pluralisme yang difahami dan dipraktekkan oleh pemerintah dan
sebagian pemuka agama adalah “pluralisme semu”. Dimana pluralisme hanya
sebatas wacana dan belum sepenuhnya menjadi suatu entitas yang harus disadari
dan diakui sebagai keknyataan sosial dalam masyayrakat. Pluralisme semu adalah
bentuk pengakuan terhadap keragaman masyarakat yang terdiri dari budaya, suku,
dan agama yang berbeda-beda, namun tidak bersedia menyikapi dan menerima
suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah dan kenyataan sosio-kultural.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pluralisme semu
merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang, namun penerimaan akan
adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya nampak dari sebagian sikap para elit
agama maupun elit pemerintah. Sikap mendua atau standar ganda seperti yang
dikemukakan oleh Hugh Goddard (2000:3) dapat berimplikasi pada keretakan
hubungan antar umat beragama, yang lambat laun berpotensi melahirkan konflik
agama. Seyogyanya pluralisme harus difahami sebagai bentuk kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu kesatuan. Dengan kata lain,
adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang
terpennting adalah bahwa komunitas-komunitas iitu harus diperlakukan sama oleh
negara. Disinilah konsep pluralisme memberikan konstribusi nyata terhadap
agenda demokrasi dan anti diskriminasi. Perhatian yang besar terhadap persamaan
dan anti diskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan pluralisme dengan
demokrasi.
7
Dalam konteks wacana ilmu sosial, pluralisme difahami sebagai pengakuan
terhadap keragaman dalam masyarakat dan sebagai prasyarat bagi pilihan dan
kebebasan individu. Dengan demikian pluralisme adalah gejala sosio-kultural
yang harus ditata dan dipelihara agar tidak menjadi potensi yang dapat merusak
suatu tatanan kehidupan masyarakat.
Pluralisme sekarang berbeda dengan pluralisme jaman dulu. Di mana
pluralisme saat ini bersifat aktif, dan membutuhkan perhatian yang serius
memahami dan mereponnya. Dengan kata lain, bahwa pluralisme saat ini, kalau
diabaikan maka akan memunculkan kerawanan-kerawanan sosial yang akan
mengarah pada konflik sosial.
Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan
(suku/etnik, bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda.
Tapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala
keperbedayaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Dengan kata
lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda-beda saja tidak cukup, sebab
yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama
oleh negara (pemerintah).
8
PEMBAHASAN
Berangakat dari hal-hal yang telah dikemukakan diatas dalam bentuk
landasan teori yang berisi tentang pengertian pluralisme serta beberapa pendapat
ahli mengenai pluralisme, terutama pluralisme agama yang ternyata banyak
menimbulkan konflik. Dan dari konflik-konflik tersebut dapat dikembangkan
menjadi suatu kenyataan bagaimana pengaruh pluralisme dalam menjaga
persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Misalnya saja konflik yang disebabkan oleh
pluralisme ini, terutama pluralisme agama adalah dapat dilihat dari peristiwa
Ambon, poso, Sampit, Aceh, kalimantan dst.
Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak bisa hidup tanpa bermasyarakat.
Bermasyarakat merupakan salah satu kebutuhan hiidup. Sedang masyarakat
tersusun dari individu-individu yang kemudian berkomunitas. Suatu komunitas
akan mendapatkan bentuk kehidupan yang bagus jika setiap individu tidak
bermasalah, adanya persesuain. Persesuain tidak mesti berartikan kesamaan. Hal
itu dikarenakan kesamaan secara mutlak dalam bermasyarakat mustahil terwujud.
Setiap pribadi dalam masyarakat musti memiliki perbedaan. Perbedaan alami dan
wajar bersifat positif. Akan tetapi individu yang bermasalah akan menjadi kendala
bagi masyarakat sekitarnya, perbedaan non-alami yang negatif. Semakin minim
keberadaan individu bermasalah dalam sebuah komunitas akan semakin stabil
pula komunitas tersebut.
Kaitannya dengan hal tersebut diatas, dapat kita kaitkan dengan pluralisme
yang tidak lepas dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat untuk
menjadi masyarakat yang pluralis. Masyarakat pluralis adalah suatu masyarakat
yang terdiri atas berbagai unsur dengan subkulturnya masing-masing lalu
menjalin kesepakatan menampilkan diri sebagai suatu komunitas yang utuh.
Berbeda dengan masyarakat yang heterogen yang unsur-unsurnya tidak memiliki
komitmen ideologis yang kuat. Masyarakat pluralis tidak hanya sebatas mengakui
dan menerima kenyataan kemajmukan masyarakat, tetapi pluralisme harus
difahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana disimbolkan dalam
Bhineka Tunggal Ika (bercerai-cerai tetapi tetap satu). Pluralisme juga harus
disertai dengan sikap yang tutlus menerima kenyataan kemajmukan itu sebagai
9
hikmah yang positif. Dalam sebuah masyarakat yang pluralis, yang dipadti oleh
multi etnik, bahasa, dan agama, apalagi terpisah-pisah oleh kepulauan seperti
Indonesia, maka disadari betul betapa perlunya menampilkan agama sebagai
faktor kekuatan daya penyatu (centripetal) bukan sebagai faktor kekuatan daya
pemecah belah (centrifugal). Sudah terbukti di dalam sejarah bahwa kekuatan ini
pernah menghimpun daya yang luar biasa untuk membangkitkan semangat juang
dan jihad warga bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajah.
Diawal orde baru, membicarakan masalah masyarakat madani bagaikan
penuh dengan ranjau. Orang-orang harus ekstra hati-hati karena salah sedikit
terjebak dalam perangkap SARA. Bayang subversif, fundamentalisme, komando
jihad, ekstrem kanan, black list, merupakan akronim yang menkautkan di masa itu
karena berpotensi untuk mematikan karier, bahkan mencelakakan seseorang.
Pusat pemerintahan (central power) yang begitu kuat selam masa orde baru
memang berhasil meredam konflik-kkonflik horizontal yang bertema SARA,
sehingga seolah-olah tercifta stabilitas dan kerukunan nasional. Akan tetapi,
ternyata stabilitas dan kerukunan yang terjadi adalah semu dan begitu central
power melemah mamka satu persatu ketegangan primordial bermunculan di
permukaan. Masa yang cukup panjang selama 32 tahun ternyata mengendapkan
akumulasi kekecewaan, bukannya digunakan untuk menuntaskan persoalan-
persoalan konseptual dalam kehidupan berbangsa.
Konflik yang sedang terjadi di dalam masyarakat kita, seperti kasus Ambon,
Poso, Kalimantan, dan Aceh sesungguhnya sebagai akibat langsung atau tidak
langsung dari sebuah konsep persatuan yang dipaksakan dari atas, bukaknnya
dibangun melalui proses dialogis dengan memperhatikan kondisi obyektif bangsa
Indonesia yang bukan saja puralistik tetapi juga heterogen. Konsep persatuan dan
kesatuan yang diterapkan selam ini penuh dengan rekayasa yang menguntungkan
kelompok-kelompok tertentu dan merugikan kelompok-kelompok lain.
Membangun visi yang sama di dalam masyarakat pluralisme bukan sesuatu yang
mudah, apalagi jika agama menjadi unsur terkuat didalam masyarakat pluralisme
tersebut. Indonesia adalah suatu bangsa yang dipadati oleh berbagai-bagai ikatan
10
primordial sebagai konsekuensi wilayahnya yang luas dan terdiri atas berbagai
pulau besar dan kecil, dengan keunikan bahasa dan budayanya masing-masing.
Dalam kondisi obyetif seperti ini, semua unsur sebaiknya terlibat secara
aktif mewujudkan visi itu. Persoalan yang sering muncul dalam pembentukan visi
bangsa yang pluralistik ialah masalah representasi. Biasanya kekuatan mayoritas
memperjuangkan value-nya lebih besar di dalm visi kebangsaan, sementara
kelompok-kelompok minoritas memperjuangkan unsur kebersamaan tanpa harus
menonjolkan faktor representasi. Di negara-negara barat misalnya, value Kristen
dan Yahudi muncul sebagai alternatif dominan di dalam masyarakat civil society
mereka. Value Islam di dalam masyarakat mayoritas muslim juga diperjuangkan
oleh kaum intelektual komunitas tersebut.
11
KESIMPULAN
Meskipun Indonesia bukan sebagai negara agama dan mazhab namun
Indonesia berdasarkan Undang-Undang dasar 1945 dan pancasila adalah negara
yang menjunjung tinggi norma-norma agama. Ini merupakan modal dasar untuk
penerapan konsep masyarakat religius pada bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
semua gerakan dan pemikiran yang mengarah kepada agama-setisme tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa dan negara Indonesia.
Indonesia bukanlah negara agama dan menjunjung tinggi nilai-nilai
keberagamaan. Namun, bukan berarti berbagai bentuk agama, sekte, mazhab,
ataupun aliran kepercayaan bisa masuk dengan mudah ke wilayah Indonesia. Hal
itu dikarenakan tidak semua golongan pemikiran agama atau sekte memuat
kebenaran dan sesuai dengan semangat keberagamaan bangsa.
12