Makalah pancasila
-
Upload
firda-saadah -
Category
Education
-
view
414 -
download
0
Transcript of Makalah pancasila
PERANAN PANCASILA DALAM KEBUDAYAAN
SEKATEN DAN GREBEK MAULUD
Disusun Oleh :
Kelompok : ................................................
Nama / NIM : 1. Firda Sa’adah F. (H1E013045)
SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2013 / 2014
LABORATORIUM FISIKA DASAR PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS
SAINS DAN TEKNIK UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
20131. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
ISI
A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………. 2
C. Pembahasan …………………………………………………………... 2
D. Kesimpulan …………………………………………………………… 2
DAFTAR PUSTAKA
[Type text]
A. LATAR BELAKANG
Indonesia, negara kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku
dan ras dengan lebih dari 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat,
bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda. 1
Budaya sendiri adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan juga
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-
lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat. 2
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-
lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah tradisi
sekaten dan perayaan maulud yang berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah.
Pancasila sebagai dasar falsafah Negara, pandangan hidup dan
moral bangsa Indonesia, yang terdiri dari nilai-nilai yang menjadi norma
atau pedoman tingkah laku manusia dan Negara Indonesia, adalah bagian
inti jiwa kebudayaan nasional Indonesia dan landasan ideal
pengembangannya.3 Namun, bagaimanakah pancasila tersebut dapat
menjadi inti jiwa dalam kebudayaan Indonesia, khususnya pada tradisi
sekaten dan perayaan maulud yang merupakan salah satu kebudayaan dari
kota solo ini. Hal inilah yang mendasari kami untuk membuat makalah
mengenai “PERANAN PANCASILA DALAM KEBUDAYAAN
SEKATEN DAN GREBEK MAULUD”. Tujuannya agar kita sebagai
1. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
bangsa Indonesia benar – benar memahami peranan pancasila tersebut
secara real di dalam kehidupan, khususnya budaya bangsa Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut muncul permasalah diantaranya :
1. Bagaimanakah peran pancasila dalam kebudayaan?
2. Apakah yang dimaksud dengan tradisi sekaten dan perayaan grebek
maulud?
3. Bagaimana pengaruh budaya sekaten dan grebek maulud terhadap
masyarakat kota solo?
C. PEMBAHASAN
1. Peranan Pancasila dalam Kebudayaan
1.1 Pancasila Inti Kebudayaan Indonesia
Dalam artinya yang lengkap kebudayaan adalah keseluruhan
pikiran, karya dan hasil karya manusia sebagai anggota masyarakatnya
yang tidak berakar pada nalurinya dan hanya dapat dikuasai atau
dihasilkannya dalam suatu proses belajar. Dalam arti ini kebudayaan
adalah ungkapan kehidupan manusia dan masyarakatnya yang mengolah
alam lingkungannya untuk mempertahankan dan mengembangkan
eksistensinya dan mencakup segala perbuatan manusia. Dengan demikian
kebudayaan bukanlah semata-mata sekumpulan barang dan karya
kesenian, buku, bangunan dan lain sebagainya, melainkan juga dan
pertama-tama kegiatan manusian membuat alat-alat dan benda-benda
tersebut, adat-istiadat, tata cara, cara mengasuh anak, sistem-sistem sosial,
pranata-pranata sosial dan lain sebagainya. Termasuk pula kegiatan
manusia mengadakan pembaruan-pembaruan di segala bidang guna
meningkatkan mutu hidupnya. Ciri khasnya ialah kemampuan manusia
untuk belajar dan menemukan sesuatu baru demi perbaikan hidupnya.
Oleh sebab itu kebudayaan dapat dibatasi sebagai keseluruhan penemuan
manusia demi perbaikan hidup manusiawi. Kebudayan harus selalu
[Type text]
mempunyai nilai hidup, artinya harus selalu mengabdi kepada kehidupan
manusiawi. Dalam rangka meningkatkan mutu hidup itu, manusia
menciptakan teknik-teknik dan organisasi-organisasi termasuk negara
untuk meningkatkan efisiensi kerja guna mencapai hasil sebanyak
mungkin dengan tenaga yang tersedia. Manusia selalu berusaha
memperbaiki keduanya itu dalam pembaruan-pembaruan dan penemuan-
penemuan baru.
Setiap kebudayaan terdiri atas banyak unsur yang biasa dibagi
dalam tujuh kelompok yang disebut universalia budaya (cultural
universals) karena bersifat universal, yaitu peralatan dan perlengkapan
hidup manusia atau teknologi, mata pencarian dan sistem-sistem
ekonomi,sistem-sistem sosial, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan dan
religi termasuk moralnya. Berkat semuanya itu manusia dapat hidup aman
dan mengembangkan dirinya serta mewujudkan kesejahteraan lahir
batinnya.
Dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 ditandaskan bahwa
“kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budinya rakyat Indonesia seluruhnya.” Dengan perkataan lain, subyek
kebudayaan nasional Indonesia adalah seluruh bangsa Indonesia, bukan
suku bangsa ini atau suku bangsa itu. Secara tersirat itu berarta bahwa
kebudayaan nasional Indonesia baru muncul dengan terbentuknya bangsa
Indonesia. Sebelumnya yang ada ialah kebudayaan-kebudayaan daerah.
Dengan demikian kebudayaan nasional Indonesia masih muda dan sedang
pada tahap penyusunan dan pengembangan, biarpun unsur-unsurnya sudah
tua. “Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai
kebudayaan bangsa,” demikian penjelasan pasal 32 UUD 1945 tersebut
lebih lanjut. Artinya, kebudayaan nasional Indonesia terdiri atas unsur-
unsur kebudayaan daerah yang dapat dinilai sebagai puncak-puncaknya.
Unsur-unsur yang baik diambil alih dan dikembangkan, sedangkan unsur-1. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
unsur yang kurang baik secara berangsur-angsur disingkirkan. Dalam
GBHN 1978 ditetapkan sehubungan dengan Wawasan Nusantara : “
Bahwa Budaya Indonesia pada hakekatnya adalah satu; sedangkan corak
ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan Budaya Bangsa yang
menjadi modal dan landasan pengembangan Budaya Bangsa seluruhnya.”
Dengan demikian kebudayaan nasional Indonesia adalah bhineka tunggal
ika, satu tetapi beraneka ragam.4
Nilai-nilai moral yang tekandung dalam Pancasila adalah bagian
inti kebudayan nasional Indonesia itu. Moral Pancasila bukanlah semata-
mata satu bagian di samping bagian-bagian lain kebudayaan kita,
melainkan bagian inti dan jiwanya. Moral Pancasila mengarahkan
kebudayaan kita pada tujuannya dan memberikan dimensi manusiawi
kepadanya. “Bentuk-bentuk kebudayaan sebagai pengejawantahan Pribadi
Manusia Indonesia harus benar-benar menunjukkan nilai hidup dan makna
kesusilaan yang dijiwai Pancasila,” demikian ditetapkan dalam GBHN
1978 tersebut. Berkat peranan Pancasila itu kebudayaan nasional Indonesia
akan dapat memegang peranan yang diharapkan, yaitu sebagai panglima
kehidupan bangsa Indonesia. Dalam arti ini kebudayaan nasional dapat
berfungsi sebagai strategi kehidupan masyarakat dan negara Indonesia dan
secara demikian menjamin tercapainya tujuan-tujuan nasional kita.
1.2 Pancasila Dasar Pengembangan Kebudayaan
Oleh sebab itu Moral Pancasila adalah juga dasar atau landasan
ideal pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Sesuai dengan itu
dalam GBHN 1978 “Kebudayaan nasional terus dibina atas dasar norma –
norma Pancasila dan diarahkan pada penerapan nilai – nilai yang tetap
mencerminkan kepribadian bangsa dan meningkatkan nilai – nilai luhur”.
Pertama – tama hal itu berarti bahwa Moral Pancasila merupakan
pedoman evaluasi dan seleksi atau penyaringan unsur- unsur budaya yang
digunakan untuk menyusun dan mengembangkan kebudayaan kita. Unsur
– unsur dari kebudayaan daerah yng bertentangan dengan Pancasila harus
[Type text]
ditolak dan disingkirkan secara berangsur – angsur, sedangkan unsur –
unsurnya yang sesuai dengan sila – silanya dipelihara dan dikembangkan.
Oleh sebab itu ditandaskan dalam GBHN bahwa “perlu ditiadakan dan
dicegah nilai – nilai sosial budaya yang bersifat feudal dan kedaerahan
yang sempit”. Hal itu juga berlaku bagi unsur – unsur kebudayaan –
kebudayaan asing. Dalam pembentukan kebudayaan nasional Indonesia
kita harus terbuka. Dalam penjelasan pasa 32 UUD1945 ditandaskan
bahwa usaha kebudayaan kita “tidak menolak bahan – bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia”. Dengan perkataan lain, kita harus menolak unsur –
unsur yang bertentangan dengan Pancasila tetapi bersedia menyerap unsur
– unsur positif yang sesuai dengan sila – silanya. Sehubungan dengan itu
dalam GBHN 1978 ditandaskan “Dengan tumbuhnya kebudayaan nasional
yang berkeribadian dan berkesadaran maka sekaligus dapat ditanggulangi
pengaruh kebudayaan asing yang negatif, sedang di lain pihak
ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk menyaring dan menyerap
nilai – nilai dari luar yang positif dan yang memang diperlukan bagi
pembaharuan dalam proses pembangunan.
Semuanya itu berarti bahwa kita harus terbuka untuk akulturasi.
Dari sejarah kita tahu bahwa kebudayaan yang menutup dirinya dan
menolak pertukaran dengan kebudayaan – kebudayaan lain biasanya macet
dan ketinggalan jaman. Akulturasi adalah perlu bagi setiap kebudayaan,
tidak hany untuk berkembang tetapi juga untuk bertahan. Pancasila adalah
hasil akulturasi serupa itu seperti ditandaskan oleh Presiden Soeharto pada
Hari Ulang Tahun ke-24 Parkindo di Surabaya tanggal 15 Nopember
1969: “Pancasila sebenarnya bukan lahir secara mendadak pada tahun
1945, melainkan telah melalui proses yang panjang, dimatangkan oleh
sejarah perjuangan Bangsa kita sendiri, melihat pengalaman bangsa –
bangsa lain, diilhami oleh ide – ide besar dunia, dengan tetap berakar pada 1. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
kepribadian Bangsa kita sendiri dan ide besar Bangsa kita sendiri”.
Dengan perkataan lain, Pancasila adalah pusaka lama yang tumbuh dari
jiwa dan kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi telah berkembang di bawah
ilham ide – ide besar dunia sehingga dapat menjadi dasar falsafat negara
modern, lagi pula berfungsi sebagai pangkal pembaruan lebih lanjut untuk
membangun masadepan bangsa yang lebih baik. Pancasila menolak
pendirian sempit yang enggan mengambil unsur – unsur asing, tetapi juga
menolak pendirian ekstrem lainnya, yang terlalu bersemangat untuk
meniru segala sesuatu yang datang dari dunia Barat dan mengacaukan
modernisasi dengan westernisasi. Hal ini ditandaskan oleh Presiden
Soeharto pada Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-25 Univesitas
Gajah Mada tanggal 19 Desember 1974 sebagai berikut: “Dan jika
dikatakan bahwa pembangunan memerlukan pembaharuan, maka
pembaharuan”
2. Tradisi Sekaten dan Perayaan Maulud
2.1 Tradisi Sekaten
Kota Solo yang memiliki nama resmi Pemerintahan Kota Surakarta
adalah satu dari dua kota tujuan wisata, Solo dan Jogja, dengan potensi
budaya Jawa terbesar. Di dalam kota yang terletak di dataran rendah
sebelah barat Gunung Lawu itu masih hidup dan lestari berbagai seni,
tradisi, dan budaya masyarakat yang telah berlangsung selama ratusan
tahun.5
Faktor keraton atau kerajaan yang juga masih hidup di dalam
masyarakat Kota Solo adalah pengaruh terbesarnya. Karena bagaimana
pun juga, keraton adalah pusat dari segala ilmu tentang seni, tradisi, dan
budaya Jawa. Karena itu, tidak sedikit wisatawan lokal hingga asing selalu
menjadikan Kota Solo tujuan wisata utama saat ingin menemukan
pemandangan budaya Jawa. Wisata budaya Kota Solo tidak hanya terpatok
[Type text]
pada artefak berupa bangunan atau berbagai benda pusaka yang disimpan
dalam museum saja dengan nilai-nilai sejarahnya.
Wisata budaya Kota Solo juga sangat kental dengan wisata adat
budaya berupa prosesi atau ritual dan juga upacara adat. Sebagaimana
terdapat dua kerajaan di Solo, Keraton Surakarta dan Mangkunegaran,
ritual adat keraton Surakarta juga telah lama menjadi objek wisata budaya
di Kota Solo.6
Pelaksanaa Sekaten Solo diawali bersamaan dengan mulai
ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo,
ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan,
serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari
sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun
sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan
membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki.7 Oleh
karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang
berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid
Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa
conthong (kerucut) dari daun pisang, kini dijual seharga 500 rupiah.
Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya
kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat
hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual
kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid
Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan
dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan
bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya
pedagang kinang, pecut , 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni
cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan
tradisional gangsingan.8
1. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Tabuhan gamelan pusaka menandai dimulainya perayaan maleman
sekaten Solo . Gamelan yang ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai
Guntur Sari dengan gending utama Rambu dan Rangkur. Tabuhan
gamelan sekaten ini konon adalah kreasi wali sanga pada sekitar abad ke
15, untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena
ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman
kerajaan Majapahit ini oleh wali sanga dirombak menjadi lebih besar dari
ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdengar sampai
jauh.9
Maleman Sekaten sendiri oleh wali sanga ditujukan untuk
mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga,
sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam. Sekaten berasal dari kata
Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat
pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu
an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan
kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa
Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai
Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali biasanya memberi
pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Dan
hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan
kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar
tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar
selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan
selama itu.10
Kini, selain tetap memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga
ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual
adat sekaten atau lebih dikenal sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara
dengan baik sebagai tradisi leluhur juga sebagai acara untuk menarik para
wisatawan. Sementara Maleman sekaten diperpanjang menjadi satu bulan
[Type text]
untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para pedagang dan masyarakat
sekitar.
2.2 Perayaan Grebeg Maulud
Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah :
1.Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.
Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo
kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi
Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5
Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang
pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.
2. Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi
Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di
Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta.
Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten.
3. Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton.
Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem
keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung..
Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang
pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka.
Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi
Hajad Dalem Gunungan Sekaten ke Masjid Agung
4. Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung
Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada
rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun
dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan).
Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh
sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari
1. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh
ulama Keraton di masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh
warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa).11
3.Pengaruh Budaya Sekaten dan Grebek Mulud terhadap Masyarakat Kota
Solo
3.1 Pengaruh Budaya Sekaten
Budaya sekaten dan grebeg berpengaruh pada masyarakat baik
secara langsung maupun tidak. Sekaten merupakan pencerminan nilai-nilai
pancasila yakni sila ke-1, ke-3 dan ke-4. Pengaruh secara langsung adalah
masyarakat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar yang berjualan
di daerah sekitar Sekaten di selenggarakan.12 Sedangkan pengaruh tidak
langsungnya adalah merukunkan masyarakat Solo karena masyarakat Solo
bersama-sama berkumpul di dalam acara tahunan tersebut. Selain itu,
Sekaten juga memperkenalkan budaya Solo kepada masyarakat luas.
Selain berpengaruh pada masyarakat Solo, Sekaten juga
mencerminkan beberapa sila Pancasila. Yang paling dominan adalah sila
pertama, ketiga, dan kelima.
Pencerminan sila ke-1
Dengan budaya sekaten, masyarakat Solo memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Selain itu, sekaten merupakan salah
satu wujud rasa syukur masyarakat Solo atas rahmat Allah S.W.T.
Pencerminan sila ke-3
Masyarakat Solo bahu-membahu dalam mendirikan pasar malam
tahunan ini. Pasar malam itu menyatukan masyarakat solo dari berbagai
daerah, hal ini dapat mempererat tali silaturahmi diantara mereka.
Pencerminan sila ke-5
[Type text]
Sekaten merupakan acara yang disengelarakan oleh Kesultanan
Surakarta, dan bersifat terbuka untuk umum dimana semua warga dari
mulai raja, punggawa, dan rakyat biasa hadir dan turut meramaikan acara
tersebut. Hal ini menunjukan pihak Kesultanan berlaku adil bagi seluruh
rakyat Solo.
3.2 Pengaruh grebeg maulud
Grebeg Mulud yang dinilai paling berprospek juga dipercaya akan
kesakralannya. Karena itu tak sedikit dari pengunjung yang datang dalam
puncak perayaan ini untuk ikut berebut sesaji gunungan yang mereka
percaya memiliki tuah atau juga berkah.
D. KESIMPULAN
1. Peran pancasila dalam kebudayaan adalah Pancasila sebagai Inti
Kebudayaan Indonesia dan Dasar Pengembangan Kebudayaan
Indonesia.
2. Tradisi sekaten adalah tradisi mengadakan pasar yang hanya menjual
barang – barang tertentu yang mempunyai landasan filsafat yang
dalam seperti kinang, pecut, cabuk rambak, wedang ronde, telor asin
dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan. Sedangkan
perayaan grebek maulud adalah perayaan puncak dari acara sekaten
dimana sang raja akan berkenan memberikan sedekahnya berupa
gunungan kembar.
3. Pengaruh budaya sekaten dan grebeg maulud terhadap masyarakat
Kota Solo tercermin dalam pancasila terutama lebih condong sila ke-
1, 3, dan 5. Karena pancasila merupakan inti dari seluruh
kebudayaan Indonesia.
1. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
DAFTARA PUSTAKA
Irsyadafrianto. 2011. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunan. Online.
http://wwwirsyadafrianto.blogspot.com/2011/03/tradisi-sekaten-di-keraton-
kasunanan.html
Judhanto, Reni. 2009. Grebeg Maulud Nabi. Online.
http://renijudhanto.blogspot.com/2009/03/grebeg-maulud-nabi.html
Muhtarom. 2011. NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SIMBOL
SEKATEN (di Keraton Surakarta Hadiningrat). Online.
http://muhtaromslo.blogspot.com/2011/01/nilai-nilai-pendidikan-dalam-
simbol.html
Prasojo, Prapto. 2013. Kebudayaan Daerah Solo. Online.
http://praptoprasojo.wordpress.com/2013/07/02/kebudayaan-daerah-solo/
Qurratu, Nadiya A.Z. 2013. Makalah DAMPAK AKULTURASI
BUDAYA ISLAM TERHADAP PERGESERAN NILAI BUDAYA HINDU-
BUDDHA DI INDONESIA. Malang: Universitas Negeri Malang
Rahman,arif . 2013 . Kebudayaan Kota Surakarta . Online.
http://wisatasolo.netne.net/budaya.html
S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI
KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI PENATAAN RUANG. Jakarta:
Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang
dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Surajah, wawan. 2013. Makalah Upacara Adat Di Kota Surakarta. Online.
http://chic-id.com/upacara-adat-di-kota-surakarta/
Sutarso, Joko. 2011. MENGGAGAS PARIWISATA BERBASIS
BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL. SURAKARTA: FKI UMS
[Type text]
Widjaja, H.A.W., Prof. Drs.2000. PENERAPAN NILAI-NILAI
PANCASILA DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA. Jakarta: Rineka
Cipta
Zhaqia, Farah. 2013. Makalah Pancasila sebagai Paradigma
Pengembangan Kebudayaan. Online.
http://farahzhaqia.blogspot.com/2012/10/pancasila-sebagai-paradigma.html
1. (Asian Brain, 2010) dari S. Ernawi, Ir. Imam, MCM., MSc. 2011. Makalah HARMONISASI KEARIFAN LOKAL DALAM REGULASI
PENATAAN RUANG. Jakarta: Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota”
2. Saddhono, Kundharu. 2009. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. UNNES : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan