Makalah p Baf

download Makalah p Baf

of 20

description

BAF

Transcript of Makalah p Baf

PROPOSAL

FORMULASI SEDIAAN KAPSUL ANTITUSIF DARI EKSTRAK DAUN SAGA (Abrus precatorius L)Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktikum Bahan Alam Farmasi

Disusun oleh :

Hilmi Nurhidayat

(31112022)Irma Nurlistiawati

(31112024)Novy Novyawati

(31112034)Reki Senja Trinanda

(31112041)Tubagus Fadli Nurahman

(31112051)Yayu Tresnasari

(31112055)SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

STIKES BHAKTI TUNAS HUSADA

TASIKMALAYA

2015KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi karena berkat karunia dan Hidayah-Nyalah, kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas kuliah Praktikum Bahan Alam Farmasi .

Dalam penyelesaian makalah ini, kami mencari bahan informasi dari situs Internet dan berbagai pustaka lainnya. Yang akhirnya Kami dapat menyelesaikan tugas ini sesuai dengan waktunya.

Akhirnya dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan serta bimbingannya, terutama kepada teman teman kelompok yang sudah mau bekerja sama dalam menyelesaikan tugas ini.

Tentunya dalam penyelesaian tugas ini banyak kekurangannya, maka dari itu kami mengharapkan tegur sapa dan kritik yang sifatnya membangun demi tersusunnya tugas yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Tasikmalaya, 30 Agustus 2015 PenyusunDAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................iDAFTAR ISI ....................................................................................................... iiBAB I

PENDAHULUAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKABAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, yaitu sekitar 40.000 jenis tumbuhan, dari jumlah tersebut sekitar 1300 diantaranya digunakan sebagai obat tradisional. Salah satu jenis tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat trandisional adalah Daun Saga (Abrus precatorius L).

Daun saga, bagi masyarakat Indonesia, dikenal dengan banyak nama. Masyarakat Jawa menyebutnya saga telik/manis, di Aceh dinamakan thaga, saga areuy. Disebut juga saga leutik (Sunda), walipopo (Gorontalo), piling-piling (Bali), seugeu (Gayo), ailalu pacar (Ambon), saga buncik, saga ketek (Minangkabau), dan kaca (Bugis).

Kandungan kimia dari daun saga yaitu saponin dan flavonoid, dimana salah satu fungsi dari saponin dan flavonoid adalah kerjanya sebagai antibakteri. Selain sebagai anti bakteri atau obat sariawan, daun saga juga dapat dimanfaatkan sebagai antiparasit, antiradang, meredakan batuk, amandel dan panas dalam, serta berguna pula untuk melancarkan peredaran darah. Dari sejumlah penelitian yang dilakukan, daun saga mengandung abruslactone A, methyl abrusgenate, abrusgenic acid, vitamin A, vitamin C, Kalsium oksalat. Selain itu, tanaman ini mengandung kadar glycyrhizin (glisirisin) yang dapat digunakan sebagai antitusif atau obat batuk.

Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk busa yang mantap jika dikocok dan tidak hilang dengan penambahan asam (Harbrone,1996). Saponin merupakan golongan senyawa alam yang rumit, yang mempunyai massa dan molekul besar, dengan kegunaan luas (Burger et.al,1998) Saponin diberi nama demikian karena sifatnya menyerupai sabun Sapo berarti sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Dikenal juga jenis saponin yaitu glikosida triterpenoid dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai spirotekal. Kedua saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonya disebut sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis memakai enzim (Robinson,1995).

Glycyrrhizin (glycyrrhizic acid) termasuk kedalam glikosida saponin yang berasa manis 50 kali lipat sukrosa. Bila dihidrolisis senyawa tersebut akan terurai menjadi asam glisirisat dan 2 molekul asam glukuronat yang tidak berasa manis lagi. Asam glisirisat merupakan triterpen pentasiklik merupakan turunan tipe (-amyrin. Kandungan Iainnya glikosida flavonoid (antara lain likuiritin, isolikuiritin, likuiritosida, isolikuiritosida, ramnoli- kuiritin, dan ramnoisolikuiritin), turunan kumarin (herniarin dan ubeliferon), asparagine, 22,23-dihidrostigmasterol, glukosa, manitol, dan amilum 20%.

Jenis ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi secara dingin dengan metode maserasi. Maserasi adalah mencari zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai.

Berdasarkan uraian dari penelitian bahwa daun saga memiliki khasiat sebagai antitusif, maka perlu dibuat ekstrak daun saga untuk memudahkan masyarakat dalam mengkonsumsi ekstrak daun saga sebagai obat batuk dalam bentuk kapsul.

Kapsul dapat berisi campuran serbuk atau serbuk yang digranulasi. Granulasi artinya partikel-partikel serbuk diubah menjadi butiran granulat, dimana partikel- partikel serbuknya memiliki daya lekat, dan sifat alirnya lebih baik. Dengan daya alir lebih baik, pengisian ke ruang kapsul dapat berlangsung secara kontinu serta homogen sehingga akan dihasilkan bobot kapsul yang konstan dan ketetapan dosis yang baik (Voigt, 1995).

Bahan tambahan memegang peranan yang sangat penting pada pengisian kapsul dan juga merupakan faktor yang sangat menentukan hasil akhir dari kapsul. Bahan tambahan dapat berupa pengisi, pelincir, penghancur, dan bahan tambahan lain. Bahan pengisi umum digunakan untuk memenuhi bobot sediaan kapsul. Bahan pengikat menyebabkan terbentuknya ikatan antar partikel yang akan menentukan kuat tidaknya granul yang terbentuk, dan jumlah bahan pengikat yang digunakan sangat mempengaruhi pelepasan bahan berkhasiat.1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

Bagaimana cara membuat sediaan obat kapsul antitusif dari senyawa glycyrhizin (glisirisin) yang terdapat di dalam daun saga (Abrus precatorius L)?

1.3 Tujuan Masalah Adapun tujuan penelitian ini adalah:Mengetahui cara membuat sediaan obat kapsul antitusif dari senyawa glycyrhizin (glisirisin) yang terdapat di dalam daun saga (Abrus precatorius L)1.4 Manfaat

Manfaat yang di dapatkan yaitu dapat membuat sediaan obat kapsul antitusif dengan zat aktif glycyrhizin (glisirisin) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L).1.5 Lokasi dan Waktu

Penelitian di lakukan di Laboratorium Bahan Alam Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bakti Tunas Husada Tasikmalaya.

Waktu penelitiaan berlangsung pada saat praktikum mata kuliah Bahan Alam Farmasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Daun SagaDaun saga (Abrus precatorius L.) merupakan tanaman yang banyak digunakan secara tradisional sebagai obat di banyak negara, diantaranya untuk mengobati epilepsi, batuk dan sariawan. Tanaman ini merupakan tanaman merambat yang biasa tumbuh liar di hutan, ladang, halaman dan tempat lain pada ketinggian 300 sampai 1000 m dari permukaan laut2.1.1 Klasifikasi Daun SagaKedudukan tanaman saga dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut:Divisi

: SpermatophytaSub divisi : AngiosperrnaeKelas

: DicotyledonaeBangsa : ResalesSuku

: LeguminosaeMarga

:AbrusJenis

:Abrus precatoriusLinn(Inventaris Tanaman Obat Indonesia, 1994).

2.1.2 Morfologi Daun SagaDaunnya majemuk, berbentuk bulat telur serta berukuran kecil-kecil. Daun Saga bersirip ganjil dan memiliki rasa agak manis. Saga mempunyai buah polong berisi biji-biji yang berwarna merah dengan titik hitam mengkilat dan licin. Bunganya berwarna ungu muda dengan bentuk menyerupai kupu-kupu, dalam tandan bunga2.1.3 Kandungan Daun SagaTanaman saga mempunyai kandungan kimia saponin dan flavonoid pada daun, batang dan biji. Batangnya mengandung polifenol dan bijinya juga mengandung tanin, akarnya mengandung alkaloida dan polifenol (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). 2.1.4 Khasiat Daun SagaDaun saga mempunyai khasiat untuk mengobati sariawan, obat batuk dan antiradang tenggorokan sedangkan, akar, batang dan daun dari daun saga ini bersifat manis dan netral berguna untuk menurunkan panas,antiradang, serta melancarkan pengeluaran nanah. 2.2 Batuk Batuk merupakan ekspirasi eksplosif yang menyediakan mekanisme protektif normal untuk membersihkan cabang trakeobronkial dari sekret dan zat-zat asing. Masyarakat lebih cenderung untuk mencari pengobatan apabila batuknya berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas seharian atau mencurigai kanker. 2.2.1 Penyebab Batuk

Batuk secara garis besarnya dapat disebabkan oleh rangsang sebagai berikut: Rangsang inflamasi seperti edema mukosa dengan sekret trakeobronkial yang banyak. Rangsang mekanik seperti benda asing pada saluran nafas seperti benda asing dalam saluran nafas, post nasal drip, retensi sekret bronkopulmoner. Rangsang suhu seperti asap rokok ( merupakan oksidan ), udara panas/ dingin, inhalasi gas.2.2.2 Obat Batuk

2.2.2.1 Antitusif

Antitusif atau cough suppressant merupakan obat batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan opioid lemah. Terdapat juga analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.(Martin,2007)2.3 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa kekurangan, seperti mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab atau bila disimpan dalam larutan berair (Ansel, 2005).

Selain mempunyai kelebihan - kelebihan seperti keindahan, kemudahan pemakaian dan kemudahan dibawa, kapsul telah menjadi bentuk takaran obat yang popular karena memberikan penyalutan obat yang halus, licin, mudah ditelan dan tidak memiliki rasa, terutama menguntungkan untuk obat - obat yang mempunyai rasa dan bau yang tidak enak. Kapsul secara ekonomis diproduksi dalam jumlah besar dengan aneka warna, dan biasanya memudahkan penyiapan obat didalamnya, karena hanya sedikit bahan pengisi dan tekanan yang diperlukan untuk pemampatan bahan, seperti pada tablet (Lachman, dkk., 1994).

Biasanya kapsul tidak digunakan untuk bahan - bahan yang sangat mudah larut seperti kalium bromide, kalium klorida, atau ammonium klorida, karena kelarutan mendadak senyawa - senyawa seperti itu didalam lambung dapat mengakibatkan konsentrasi yang menimbulkan iritasi. Kapsul tidak boleh di gunakan untuk bahan - bahan yang sangat mudah mencair dan sangat mudah menguap. Bahan yang mudah mencair dapat memperlunak kapsul, sedangkan yang mudah menguap akan mengeringkan kapsul dan menyebabkan kerapuhan (Lachman, dkk.,1994). Ukuran cangkang kapsul keras bervariasi dari nomor paling kecil (5) sampai nomor paling besar (000), kecuali ukuran cangkang untuk hewan. Umumnya ukuran (00) adalah ukuran terbesar yang dapat diberikan kepada pasien ( Ditjen POM, 1995).

Kapsul gelatin keras dibuat melalui suatu proses dengan cara mencelupkan pin kedalam larutan gelatin kemudian lapisan gelatin dikeringkan, dirapikan dan dilepaskan dari pin tersebut, kemudian bagian induk dan tutup dilekatkan. Kedua bagian saling menutupi bila dipertemukan, bagian tutup akan menyelubungi bagian tubuh dengan secara tepat dan ketat seperti terlihat pada gambar 1. Digunakan cetakan terpisah untuk bagian tutup dan induk kapsul dan kedua bagian ini dibuat secara terpisah. Kapsul gelatin keras yang diisi dipabrik dapat ditutup secara sempurna dengan cara dilekatkan, suatu proses dimana lapisan gelatin dioleskan satu kali atau lebih diseluruh bagian pelekatan bagian tutup dan induk; atau dengan proses pelekatan menggunakan cairan, yaitu kapsul yang telah diisi dibasahi dengan campuran air - alkohol yang akan merembes kedalam rongga bagian kapsul tutup dan induk yang saling tumpang tindih, kemudian dikeringkan. (Ditjen POM, 1995). Pengaturan yang teliti pada kondisi pengeringan adalah penting untuk mendapatkan kualitas maksimum yang dihasilkan. Kekentalan larutan, kecepatan dan waktu pencelupan akan menentukan ketebalan kapsul yang dihasilkan (Lachman, dkk., 1994)2.4 Ekstraksi Ekstraksi adalah penyarian zat - zat berkhasiat atau zat - zat aktif dari bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat - zat aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam mengekstraksinya. Pemabagian metode ekstraksi menurut DitJen POM (2000) yaitu :

2.4.1 Cara dingin

2.4.1.1 Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak keluar. 2.4.1.2 Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus - menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:a. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.b. Ruangan diantara butir - butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.

2.4.2 Cara Panas

2.4.2.1 Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, Selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.2.4.2.2 Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik

2.4.2.3 Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C.

2.4.2.4 Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 900C selama 15 menit.

2.4.2.5 Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000C.BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat

Alat yang digunakan adalah statif, klem, maserator, kain flanel, batang pengaduk, rotary evaporator, alumunium foil, tabung reaksi, gelas kimia, gelas ukur, pipet.3.2 Bahan

Bahan ekstrak adalah simplisia daun saga (Abrus precatorius Linn.) yang sudah dikeringkan dan dihaluskan, etanol 70%, Ferric chloride (FeCl3), gelatin 10%, n-butanol, gelatin 10%, asam asetat, air, n-heksan, amil alkohol, etil asetat, asam klorida, natrium hidroksida, amilum jagung, aerosol, talk, mg stearate, laktosa. 3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Penyiapan Sampel

Daun saga yang akan digunakan dicuci dengan air sampai bersih, kemudian dikeringkan dengan dijemur dibawah sinar matahari atau dalam oven sampai kering. Kemudian daun saga yang telah kering dipotong tipis kecil-kecil. Potongan daun saga lalu diblender sampai membentuk serbuk kasar. Tujuan penghalusan daun saga adalah agar zat-zat yang terkandung di dalam daun saga mudah melarut dalam pelarut yang digunakan.

3.3.2 Skrining Fitokimia

3.3.2.1 Skrinning Senyawa Alkaloid

Simplisia dibasakan dengan amonia encer, digerus dalam mortar, kemudian ditambahkan beberapa mililiter kloroform sambil terus digerus. Setelah disaring, filtrat dikocok dengan asam klorida 2 N. Lapisan asam dipisahkan, kemudian dibagi menjadi 3 bagian dan diperlukan sebagai berikut:a. Bagian pertama digunakan sebagai blanko.

b. Bagaian kedua ditetesi dengan larutan pereaksi mayer, kemudian diamati ada atau tidaknya endapan berwarna putih.

c. Bagian ketiga ditetesi dengan larutan pereaksi dragendorff, kemudian diamati ada tau tidaknya endapan berwarna jinggan coklat.

3.3.2.2 Skrinning Senyawa Flavonoid

Simplisia dipanaskan dengan campuran logam magnesium dan asam klorida 5 N, kemudian disaring. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. Untuk lebih memudahkan pengamatan, sebaiknya dilakukan percobaan blanko.

3.3.2.3 Skrinning Senyawa Tanin dan Polifenol

Pemeriksaan Tanin dilakukan dengan cara simplisia diekstraksi dengan etanol panas, selanjutnya dipanaskan dengan air diatas tangas air, kemudian disaring panas-panas. Sebagian kecil filtrat diuji ulang dengan penambahan larutan gelatin 10%. Terbentuknya endapan putih menunjukan bahwa dalam simplisia terdapat tanin. Selain itu dapat diuji dengan menambahkan FeCl3 sehingga terbentuk warna hijau-hitam yang menunjukan adanya fenolat (tanin).

3.3.2.4 Skrinning Senyawa Saponin

Diatas tangas air, dalam tabung reaksi, simplisia dicampur dengan air dan dipanaskan beberapa saat, kemudian disaring. Setelah dingin filtrat dalam tabung dikocok kuat kuat selama lebih kurang 30 detik. Pembentukan busa sekurang kurangnya 1 cm tinggi dan persisten selama beberapa menit serta tidak hilang pada penambahan 1 tetes asam klorida encer menunjukan bahwa dalam simplisia terdapat saponin.3.3.2.5 Skrinning Senyawa Steroid dan Triterpenoid

Metode simplisia disari dengan eter, kemudian sari eter diuapkan hingga kering. Pada residu diteteskan pereaksi Lieberman Burchard. Terbentuknya warna ungu menunjukan bahwa simplisia terkandung senyawa kelompok triterpenoid, sedangkan bila terbentuk warna hijau-biru menunjukan adanya senyawa kelompok steroid. 3.3.2.6Skrinning Senyawa Kuinon

Simplisia digerus dan dipanaskan dengan air, kemudian saring. Filtart ditetesi larutan NaOH. Terbentuknya warna kuning hingga merah menunjukan adanya senyawa kelompok kuinon.

3.3.3 Ekstraksi Sampel

Metode: Maserasi

Pelarut

: Etanol 96%

Waktu

: 24 jam sebanyak 3x pengulangan

Proses ekstraksi digunakan metode maserasi dengan cara serbuk daun saga dimasukan ke dalam maserator kemudian dilarutkan dengan bantuan pelarut etanol 96%, alasannya selain etanol 96% sebagai pelarut yang cocok untuk melarutkan senyawa senyawa bahan alam termasuk saponin, etanol juga merupakan pelarut universal yang banyak digunakan pada proses ekstraksi, etanol 96% juga digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri selama proses maserasi, dan kenapa digunakan yang 96% agar kandungan air nya sedikit, karena air merupakan media pertumbuhan bakteri. Setelah dilarutkan dengan etanol 96% kemudian direndam selama 6 jam sambil diaduk-aduk dan di diamkan selama 24 jam. Selanjutnya, maserat dipisahkan, dan proses diulangi 2 kali (remaserasi) dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Setelah didapat ekstrak etanol kemudian di saring dan diuapkan dengan menggunakan evaporator sampai pekat, untuk menghilangkan pelarut etanolnya.

3.3.4 Standarisasi Ekstrak Daun Saga 3.3.4.1 Penetapan Kadar Abu Total

Lebih kurang 2 3 gr ekstrak yang telah di gerus dan di timbang seksama, dimasukan kedalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan lahan hingga arang habis, dinginkan, timbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

3.3.4.2 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut Asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total, di didihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, kemudian bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, dipijrkan dan timbang hingga bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara.

3.3.4.3 Penetapan Kadar Sari Larut Air

20 ml filtrate diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdaar rata yang telah ditara, residu dipanaskan sisa pada suhu 105o C dan hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah di keringkan diudara. (Departemen Keehatan Republik Indonesia, 1997)

3.3.4.4 Penetapan Kadar Sari Larut Etnol

Serbuk simplisia sebanyak 5 gram dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudiaan dibiarkan 18 jam. Kemudian disaring dan telah ditara, residu dipanaskan sisa pada suhu 105o C dan hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol (95%) dihitung terhadap bahan yang telah di keringkan diudara dalam persen. (Departemen Keehatan Republik Indonesia, 1997)

3.3.4.5 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan cara destilasi toluena. Toluena yang digunakan dijenuhkan dengan air terlebih dahulu, setelah dikocok didiamkan, kedua lapisan air dan toluena akan memisah, lapisan air dibuang.

Sebanyak 10 g ekstrak yang ditimbang dengan seksama dimasukkan kedalam labu alas bulat dan ditambahkan toluena yang telah dijenuhkan dengan air. Labu dipanaskan hati-hati selama 100 menit, setelah toluena mulai mendidih, penyulingan diatur 2 tetes /detik, lalu 4 tetes / detik.Setelah semua toluena mendidih,dilanjutkan pemanasan selama 5 menit. Kemudian, dibiarkan tabung menerima dingin sampai temperatur kamar. Setelah lapisan air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dan dihitung kadar air dalam persen terhadap berat ekstrak semula. Pekerjaan diulang tiga kali.(Saifudin, Rahayu, &Teruna, 2011).

3.3.4.6 Penetapan Bobot Jenis Ekstrak

Gunakan piknometer bersih, kering dan telah dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer dan bobot air yang baru didihkan pada suhu 25o C, masukan ke dalam piknometer. Atur suhu pinkometer yang telah di isi hingga suhu 25o C, buang kelebihan ekstrak cair dan timbang. Kurangkan boobt piknometer kosong dari bobot piknometer yang telah di isi. Bobot jenis ekstrak cair adalah hasil yang di peroleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25o C.3.3.5 Formulasi

3.3.6.1 Pembuatan Serbuk Ekstra k

Ekstrak kental ditimbang 5 gram dan aerosil sebanyak 5 gram. Ekstrak kental digerus dengan cara ditekan-tekan dan dibuka ekstraknya yang kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit adsorben aerosil dan digerus hingga ekstrak dan aerosil bercampur homogen. Pengerjaan ini dilakukan sampai dengan aerosil habis dicampurkan dengan ekstrak kental. Lalu dioven pada suhu 50C selama sejam. Kemudian ekstrak kering dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit. 3.3.6.2 Formula Kapsul Ekstrak Daun Saga

Formulasi kapsul ekstrak daun saga sebagai obat batuk yaitu sebagai berikut:

KomponenFormula

Serbuk ekstrak daun saga

(ekstak kental aerosil 1:1)514,52 mg

Amilum Jagung44,6 mg

Aerosil3%

Talk2%

Mg stearate1%

Formula (untuk tiap kapsul @300 mg = 0,3 g)

R/ Serbuk Ekstrak daun saga

0,15 g

Laktosa

0,1 g

Magnesiaum Stearat

0,0015 g

Aerosil

0,03 g3.3.6.3 Pembuatan Kapsul Ekstrak Daun Saga

Timbang masing-masing serbuk kering ekstrak daun saga sebanyak 1,8 gram. Kemudiaan aerosil ditimbang sebanyak 0,36 gram, Laktosa 1,2 gram, magnesium stearat 0,018 gram. Lalu masukan magnesium stearat, aerosil, Laktosa dan serbuk kering ekstrak daun saga kemudian dicampur homogen. Setelah homogen dimasukan kedalam cangkang kapsul berukuran no 1.3.3.6 Evaluasi Sediaan Kapsul3.3.6.1 Uji Keseragaman Bobot (Depkes RI, 1995)

Timbang saksama 10 kapsul, satu per satu, beri identitas tiap kapsul, keluarkan isi tiap kapsul dengan cara yang sesuai. Timbang saksama tiap cangkang kapsul kosong dan hitung bobot netto dari isi tiap kapsul dengan cara mengurangkan bobot cangkang kapsul dari masing-masing bobot kapsul. Dari hasil penetapan kadar, seperti tertera pada masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dalam tiap kapsul, dengan anggapan bahwa zat aktif terdistribusi secara homogen.

Untuk kriterianya kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan keseragaman bobot dipenuhi jika tidak kurang dari 9 dari 10 satuan sediaan seperti ditetapkan dari cara keseragaman bobot terletak dalam rentang 85,0% hingga 115% dari yang tertera pada etiket dan tidak ada satuan terletak diluar rentang 75,0% hingga 125,0% yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif dari 10 satuan sediaan kurang dari atau sama dengan 6,0%.

3.3.6.2 Uji Waktu Hancur (Depkes RI, 1995)

Sejumlah 6 kapsul, dimasukan pada masing-masing tabung pada keranjang, yang dibawahnya terdapat kasa baja berukuran 10 mesh. Digunakan media air bersuhu 37 2C. Dilakukan pengamatan terhadap kapsul, semua kapsul harus hancur, kecuali bagian dari cangkang kapsul. Bila 1 atau 2 kapsul tidak hancur sempurna, pengujian diulangi dengan 12 kapsul lainnya, tidak kurang dari 16 dari 18 kapsul yang diuji hancur sempurna. Dicatat waktu yang diperlukan kapsul untuk hancur sempurna.

3.3.6.3 Uji Higroskopisitas (Augsburger, 2000)

Merupakan cara menguji kemampuan bahan obat untuk menyerap uap dari udara setelah dibiarkan dalam kondisi tertentu selama beberapa waktu yang diamati. Sejumlah 3 kapsul ditempatkan pada botol coklat disimpan dalam desikator. Masing-masing perlakuan diamati setiap hari selama tujuh hari dan setiap minggu selama sebulan. Pengamatan dilakukan terhadap perubahan bobot kapsul, bentuk kapsul, dan isi kapsul.DAFTAR PUSTAKA

Maryani, H. dan L. Kristiana, 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. AgroMedia Pustaka, Jakarta

Mardiah, Arifah R., Reki W.A., dan Sawarni., 2005. Budidaya dan Penggolahan Rosela Si Merah Segudang Manfaat. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Gunawan, Didik, Drs. Apt. Su. Dra. Sri Mulyani, Apt. SU. Ilmu obat alam (Farmakognosi) jilid I. 2004. Jakarta: Penebar Swadaya

Tolbert, Pamela S. and Zucker Lynne G. 1983. lnstitutional Sources of Change In The Formal Structure of Organizations: The Diffusion of Civil Service Reforms. 1880-1 935.

Hagerman, A.E. 2002. Condensed Tannin Structural Chemistry. Department of Chemistry and Biochemistry, Miami University, Oxford

Harborne,J.B. 1994. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. ITB. Bandung. Diterjemahkan oleh Padmawinata, K. & Soediro, I.