MAKALAH OEDEM.docx

25
BAB I PENDAHULUAN Oedem merupakan suatu kondisi yang diawali oleh peningkatan tekanan hidrostatik vena, peningkatan permeabilitas kapiler, atau peningkatam tekanan osmotik interstisial, obstruksi saluran limfe, dan menurunnya kadar protein plasma. Oedem ditandai dengan adanya pengumpulan cairan dalam ruang interstisial dan rongga serosa tubuh. Oedem dibagi menurut lokasi pengumpulan cairan, yakni oedem anasarca (di seluruh tubuh), hydrothorax (di rongga pleura), hidropericardium (di pericardium), dan ascites (di peritoneum). Dilihat dari kadar protein dalam ruang interstisial, oedem dibedakan menjadi transudat dan eksudat. Sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis dengan ditandai proteinuria (paling khas), hipoalbuminemia, oedem, dan hiperlipidemia. Terjadi pengeluaran protein >3,5 gram atau lebih melalui urine per hari, di mana seharusnya hampir tidak ada protein yang ditemukan dalam urine pada kondisi normal. Akibat pengeluaran protein, kadar protein plasma menurun sehingga menyebabkan oedem anasarca. Sindroma nefrotik ini secara perlahan dapat berkembang menjadi gagal ginjal. 1

Transcript of MAKALAH OEDEM.docx

Page 1: MAKALAH OEDEM.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Oedem merupakan suatu kondisi yang diawali oleh peningkatan tekanan

hidrostatik vena, peningkatan permeabilitas kapiler, atau peningkatam tekanan osmotik

interstisial, obstruksi saluran limfe, dan menurunnya kadar protein plasma. Oedem

ditandai dengan adanya pengumpulan cairan dalam ruang interstisial dan rongga serosa

tubuh. Oedem dibagi menurut lokasi pengumpulan cairan, yakni oedem anasarca (di

seluruh tubuh), hydrothorax (di rongga pleura), hidropericardium (di pericardium), dan

ascites (di peritoneum). Dilihat dari kadar protein dalam ruang interstisial, oedem

dibedakan menjadi transudat dan eksudat.

Sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis

dengan ditandai proteinuria (paling khas), hipoalbuminemia, oedem, dan

hiperlipidemia. Terjadi pengeluaran protein >3,5 gram atau lebih melalui urine per

hari, di mana seharusnya hampir tidak ada protein yang ditemukan dalam urine pada

kondisi normal. Akibat pengeluaran protein, kadar protein plasma menurun sehingga

menyebabkan oedem anasarca. Sindroma nefrotik ini secara perlahan dapat

berkembang menjadi gagal ginjal.

1

Page 2: MAKALAH OEDEM.docx

BAB II

LAPORAN KASUS

Pasien diantar anak lelakinya menuju ke bagian penyakit dalam Unit Gawat Darurat

RS Trisakti Idaman.

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Usia : 46 tahun

Alamat :-

Pekerjaan :-

Agama :-

Status perkawinan : -

Tanggal masuk : -

Tanggal keluar : -

II. Anamnesa

Keluhan utama : bengkak seluruh tubuh

Riwayat penyakit sekarang : -

Riwayat penyakit dahulu : -

Riwayat penyakit keluarga : -

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

Kesadaran : somnolen

Kesan : tampak sakit berat, posisi duduk

Tekanan darah : 120/80 mmHg (normal)

Respirasi : 40 x/menit, sesak nafas dan dangkal

Status Generalis

Kepala : inspeksi : kelopak mata bengkak

Paru : perkusi : redup

auskultasi : ronchi basah menyeluruh

Jantung : auskultasi : tidak jelas terdengar

2

Page 3: MAKALAH OEDEM.docx

Abdomen : inspeksi : perut membuncit

palpasi : hepar dan limpa tidak teraba

Ekstremitas : inspeksi : seluruh kaki bengkak

palpasi : pitting oedem +/+

IV. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang

Pemeriksaan Darah

Hb : 8 g%

Leukosit : 8.000/µl

Hitung jenis : -/3/8/45/40/4

LED : 120 mm/jam (N < 10mm/jam)

Trombosit : 200.000/µl (N 150.000 – 450.000/µl)

Pemeriksaan Urinalisa

Albumin : +++ (N= negatif)

Glukosa : -

Tes Esbach : 12 g/l urine 24 jam (normal < 0,5 g/l urin 24 jam)

Sedimen : eritrosit 1/lpb, leukosit 8-10/lpb, silinder granula

kasar. Banyak ditemukan (per LPK)

Gambar sedimen urine

3

Page 4: MAKALAH OEDEM.docx

Hasil foto thorax

Deskripsi : Tampak bercak di

paracardial dan parahiler, simetris

membentuk gambaran batwing

Kesimpulan : Pembendungan di paru

( Edema paru )

Kimia Klinik

Gula darah puasa : 80 mg% (N: 70 – 110 mg%)

Total protein : 4 g/dl (N: 6-8 g/dk)

Albumin : 1,2 g/dl (3,5 – 5 g/dl)

Cholesterol : 400 mg/dl (N < 200 mg/dl)

HDL : 20 mg/dl (N 30-50 mg/dl)

LDL :180 mg/dl (< 150 mg/dl)

Trigliserida : 200 mg/dl (N< 150 mg/dl)

Ureum : 20 mg/dl (N: 20 – 40 mg/dl)

Kreatinin : 1 mg/dl (N 0,6 - 1,2mg/dl)

Asam urat : 5,6 g/dl (N: 3,5 – 7 g/dl)

4

Page 5: MAKALAH OEDEM.docx

BAB III

PEMBAHASAN

A. Anamnesis

Dokter perlu menambahkan beberapa anamnesa, antara lain:

1. Apa keluhan pasien pertama kali?

2. Bagian tubuh mana yang pertama kali mengalami pembengkakan?

3. Berapa banyak frekuensi berkemih pasien dalam sehari? Bagaimana

konstituennya?

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, sesak nafas, pernapasan 40/menit (N: 12-20x/menit),

dangkal, perkusi paru-paru redup dan auskultasi paru-paru ronchi basah menyeluruh,

serta jantung tidak jelas terdengar merupakan tanda-tanda dari pleural effusion. Pleural

effusion merupakan penumpukan cairan diantara lapisan jaringan yang memenuhi

rongga paru dan dada. Penumpukan cairan ini dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:

transudative pleural effusion dan exudative pleural effusion. Transudative pleural

effusion disebabkan oleh kebocoran cairan ke dalam rongga pleura. Sedangkan

exudative pleural effusion disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah atau

pembuluh limfe, inflamasi, luka pada paru, dan tumor. Hubungan antara pleural

effusion dan hasil pemeriksaan fisik dapat dijelaskan sebagai berikut.

Sesak nafas yang dialami pasien disebabkan oleh karena paru-paru terisi oleh

cairan sehingga pernapasan menjadi terganggu dan paru-paru tidak dapat bekerja

maksimal. Pernapasan 40/menit disebabkan karena paru-paru pasien terjepit cairan,

yang menyebabkan paru-paru bekerja ekstra sehingga pernapasan menjadi lebih cepat

(normal 12 – 20x/menit). Kemudian napas yang dangkal disebabkan oleh paru-paru

terisi cairan sehingga tidak dapat mengembang dengan sempurna.

Pada pemeriksaan auskultasi di dapatkan ronchi basah menyeluruh

karena cairan yang terdapat di sekitar paru. Se dangkan pada pemeriksaan

jantung tidak terdengar dengan jelas karena jantung tertutup oleh paru-paru yang berisi

cairan, sehingga suara jantung tidak dapat terdengar dengan jelas. Namun, disamping

5

Page 6: MAKALAH OEDEM.docx

itu pasien tidak mengeluhkan adanya kelainan pada jantungnya. Hal ini

menandakan bahwa jantung pasien dalam keadaan normal.

Selanjutnya, posisi duduk pada saat pemeriksaan fisik memiliki maksud yang

cukup berarti karena pada pasien penderita oedem anasarka akan merasa tidak nyaman

jika pemeriksaan dilakukan dengan berbaring dikarenakan oleh cairan yang menumpuk

pada jaringan tubuhnya. Kemudian, kelopak mata yang bengkak dikarenakan pasien

sebelumnya berada dalam posisi berbaring cukup lama, misalnya pada saat tidur di

malam hari sehingga terjadi penumpukan cairan dalam kelopak mata di pagi hari.

Selain itu, perut yang membuncit juga dikarenakan perut berisi cairan. Begitu pula

dengan seluruh kaki yang bengkak karena pasien sedang dalam keadaan berdiri

ataupun duduk sehingga terjadi penumpukan cairan di bagian kaki.

Kesadaran somnolen adalah tingkat kesadaran yang keinginannya

tidur saja. Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi kemudian

jatuh tertidur lagi. Pada pemeriksaan abdomen, hepar/limpa tidak teraba

dikarenakan perut pasien yang membuncit oleh cairan. Edema khusus di

daerah peritoneum disebut ascites. Pada skrotum(genital) dan

ekstremitas pasien ini juga terdapat pitting oedem. Pitting oedem dapat

didemonstrasikan dengan menekan bagian yang membengkak karena

cairan. Jika bekas tekanan menimbulkan cekungan yang membutuhkan

waktu untuk kembali seperti semula, maka dapat dipastikan daerah

tersebut terkena pitting oedem.

C. Pemeriksaan Laboratorium

6

Page 7: MAKALAH OEDEM.docx

1. Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan Nilai Normal Pasien KeteranganHb 13-18 g/dl 8 g/dl Di bawah normalLeukosit 5000-10.000 8000 NormalTrombosit 150.000-450.000 200.000 NormalLED <10 mm/jam 120 mm/jam Di atas normalHitung jenis Basofil : 0-1 %

Eosinofil: 1-3 %Batang: 2-6 %Segmen: 50-70 %Limfosit: 20-40 %Monosit : 2 – 8 %

0/3/8/45/40/4 Neutrofil batang di atas normalNeutrofil segmen di bawah normal

2. Pemeriksaan Urinalisa

Pemeriksaan Nilai Normal Pasien KeteranganAlbumin <1,0 gram/hari +++ Di atas normalGlukosa 0 0 NormalSedimen

a. Leukosit

b. Eritrosit

c. Silinder

bergranula

kasar

0-5/LPB

0-1/LPB

0/LPK

8-10/LPB

1/LPB

Banyak

ditemukan

Di atas normal

Normal

Tidak normal

3. Pemeriksaan Kimia Klinik

Pemeriksaan Nilai Normal Pasien KeteranganGula darah puasa 10-110 mg% 80 mg% NormalProtein 6-8 g/dl 4 g/dl Di bawah normalAlbumin 3,5-5 g/dl 1,2 g/dl Di bawah normalHDL 30-50 20 Di atas normalTrigliserida <150 mg/dl 200 mg/dl Di atas normalLDL <150 mg/dl 180 mg/dl Di bawah normalKolesterol <200 mg/dl 400 mg/dl Di atas normalAsam Urat 3,5-7 g/dl 5.6 mg/dl NormalUreum 20-40 mg/dl 20 mg/dl NormalKreatinin 0,6 – 1,2 mg/dl 1 mg/dl Normal

Pada pemeriksaan darah, pasien mengalami kekurangan Hb dan laju endap

darah tinggi. Pada pemeriksaan urinalisa diperoleh pasien mengalami albuminuria,

yakni ditemukannya albumin dalam urine. Albuminuria menandai sindrom nefrotik

atau gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik terjadi akibat kebocoran membran

7

Page 8: MAKALAH OEDEM.docx

filtrasi glomerulus. Protein albumin seharusnya tidak dapat melewati membran filtrasi

karena ukuran molekul yang besar. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya silinder

bergranula kasar pada urine pasien yang seharusnya tidak ada dalam kondisi normal.

4. Tes Esbach

Uji Esbach merupakan pemeriksaan untuk menilai kadar protein dalam urin.

Pengukuran protein penting dilakukan dalam mendiagnosis kelainan ginjal maupun

untuk mengetahui respon pengobatan. Tes Esbach yang disebut juga dengan metode dipstik

ini merupakan pemeriksaan kuantitatif dengan nilai 0-4 (+). Pemeriksaan ini sensitif terhadap

60mg/l albumin, tetapi kurang sensitif terhadap protein Bence Jones dan protein lain yang

berat molekulnya rendah misal β2-mikroglobulin

Uji ini dilakukan dengan menggunakan sampel urine 24 jam, di mana pasien

diharuskan menampung semua urinnya selama 24 jam mulai dari setelah berkemih

pertama kali di pagi hari sampai pasien berkemih pertama kali pada pagi hari

berikutnya. Pengumpulan urine dengan cara ini tidak praktis sebab pasien diharuskan

membawa tempat penampung urine ke mana-mana dan tidak jarang pasien lupa harus

menampung urine. Untuk itu digunakan metode pengumpulan urine semalam yang

akurasinya sama.

Pemeriksaan kuantitatif albumin dalam urine menggunakan campuran urine

dengan larutan asam pikrat 1 % dalam air dan larutan asam sitrat 2% dalam air. Asam

sitrat ini hanya bertujuan menjaga keasaman cairan. Isi tabung Esbach dengan urine

sampai garis betanda U. Tambahkan reagent Esbach pada sampel tersebut hingga garis

bertanda R. Tutup lalu bolak-balikan tabung 12 kali (jangan dikocok). Letakkan tabung

pada rak dalam posisi tegak dan biarkan selama 18-24 jam. Tinggi kekeruhan dibaca

dan menunjukkan banyaknya gram protein per liter urine. Hasil ini dibagi dengan

sepuluh untuk menghasilkan presentase seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah.

Interpretasi Hasil Tes Esbach

Samar 10-30 mg%+1 30 mg%+2 100 mg%+3 500mg%+4 >2000 mg%

8

Page 9: MAKALAH OEDEM.docx

Pada tes esbach false positif dapat terjadi bila urin sampel sifatnya terlalu basa atau terlalu

encer. Selain itu bila dari hasil pemeriksaan didapatkan positif harus diperiksa dengan asam

salisilsulfonat atau dengan tes pendidihan karena mungkin positif palsu yang dihasilkan oleh urin

alkali yang berbufer kuat.

Salah satu kelemahan uji esbach ini sulit dilakukan pada anak-anak yang tidak

bisa mengendalikan buang air kecil karena hal ini dapat mempersulit pengumpulan

urine 24 jam atau pun urine semalam, sehingga sering terjadi kesalahan dalam

perhitungan waktu dan saat mengakomodasi urine, hasil yang diperoleh menjadi tidak

akurat.

Cara Esbach sebagai penetapan kuantitatif protein dalam urine sudah amat tua

dan sebenarnya tidak sesuai, baik ketelitian maupun ketepatannya sangat rendah,

sehingga hasilnya merupakan pendekatan belaka. Jika menghendaki pendekatan yang

lebih baik, dipakai cara pengendapan protein secara sempurna misalnya dengan

menggunakan asam triklorasetat kemudian direaksikan dengan reagent biuret dan

mengukur absorbansi larutan dengan spektrofotometer.

D. Patofisiologi Oedem

Oedem ditandai dengan adanya pengumpulan cairan dalam ruang interstisial

dan rongga serosa tubuh. Oedem dibagi menurut lokasi pengumpulan cairan, yakni

oedem anasarca (di seluruh tubuh), hydrothorax (di rongga pleura), hidropericardium

(di pericardium), dan ascites (di peritoneum). Dilihat dari kadar protein dalam ruang

interstisial, oedem dibedakan menjadi transudat (kadar protein rendah) dan eksudat

(kadar protein tinggi).

1. Penyebab Umum Oedem

a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler

Ini memungkinkan lebih banyak air dan protein yang keluar dari

plasma ke cairan interstisial. Sebagai contoh: melalui pelebaran kapiler

yang dipicu oleh histamin waktu cedera jaringan atau reaksi alergik.

Penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang terjadi menurunkan

tekanan masuk efektif, sementara peningkatan tekana koloid cairan

interstisium yang terjadi akibat peningkatan protein di cairan

9

Page 10: MAKALAH OEDEM.docx

interstisium meningkatkan gaya keluar efektif. Penurunan tekanan

masuk utama ini menyebabkan kelebihan cairan yang keluar sementara

cairan yang direabsobsi lebih sedikit daripada normal, karena itu

kelebihan cairan tersebut tetap berada di ruang interstisium. Edema

dapat disebabkan oleh penurunan kensentrasi protein plasma melalui

beberapa cara berbeda, (1) pengeluaran berlebihan protein plasma

melalui urin akibat penyakit ginjal, (2) penurunan sintesis protein

plasma, akibat penyakit hati, (3) makanan yang kurang mengandung

protein, atau (4) pengeluaran bermakna protein plasma akibat luka

bakar yang luas.

b. Meningkatnya tekanan hidrostatik vena

Ketika darah terbendung di vena terjadi peningkatan tekanan

darah kapiler karena kapiler mengalirkan isinya ke vena. Peningkatan

tekanan keluar kapiler ini berperan besar menyebabkan edema pada

gagal jantung kongesif. Edema regional juga dapat terjadi akibat

restriksi lokal aliran balik vena. Contonya adalah pembengkakan yang

sering terjadi di tungkai dan kaki selam kehamilan. Uterus yang

membesar menekan vena-vena besar yang menyalurkan darah dari

ekstremitas bawah sewaktu pembuluh-pembuluh tersebut masuk ke

rongga abdomen. Bendungan darah di vena ini mengakibatkan tekanan

darah di kapiler tungkai dan kaki, mendorong edema regional tungkai

bawah.

c. Sumbatan pembuluh limfe

Filtrasi tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat

dikembalikan ke darah melalui pembuluh limfe. Akumulasi cairan

protein di cairan interstisium memperparah masalah melalui efek

osmotiknya. Sumbatan pembuluh limfe lokal dapat terjadi, sebagai

10

Page 11: MAKALAH OEDEM.docx

contoh di lengan wanita yang saluran-saluran drainase limfe utamanya

di lengan telah tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe pada

pembedahan karena kanker payudara. Penyumbatan pembuluh limfe

yang lebih luas terjadi pada filariasis, suatu penyakit parasit yang di

tularkan melalui nyamuk yang terutama ditemukan di daerah pantai

tropis. Pada penyakit ini, cacing filaria yang halus mirip benang

menginfeksi pembuluh limfe dan menyumbat drainase limfe. Bagian

tubuh yag terkena, terutama skrotum dan ekstremitas, mengalami edema

berat. Penyakit ini sering dinamai elephantiasis karena kaki yang

bengkak tampak seperti kaki gajah.

2. Patofisiologi Penyakit yang Mendasari Oedem Anasarca

a. Sindrom Nefrotik

Kelainan glomerulus dengan karakteristik albuminuria,

hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrom

nefrotik juga mengalami volume plasma yang meningkat

sehubungan dengan defek intrinsik ekskresi natrium dan air.

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan

kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik

menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke interstitium dan

memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,

kehilangan protein dan hipoalbuminemia sangat berat sehingga

volume plasma menjadi berkurang dan menyebabkan penurunan

perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air.

b. Sirosis Hati

Pada penderita sirosis hati sintesis protein akan terganggu,

tekanan hidrostatik vena meningkat, serta jumlah hormon aldosteron

bertambah. Sintesis protein yang terganggu mengakibatkan kadar

11

Page 12: MAKALAH OEDEM.docx

protein plasma menjadi berkurang. Terjadi ketidakseimbangan

antara protein plasma dengan protein jaringan. Tekanan osmotik

koloid dalam darah menurun sehingga terjadi perpindahan air dari

pembuluh darah menuju ruang interstitiel yang kemudian dapat

menyebabkan terjadinya edema. Biasanya edema akan timbul

apabila kadar albumin lebih rendah dari 2,5 gram/100 ml. Kemudian

tekanan hidrostatik dalam vena porta yang meningkat melebihi

tekanan osmotiknya juga mengakibatkan pertambahan cairan dalam

rongga peritoneum (ascites). Bertambahnya hormon aldosteron

dapat menyebabkan retensi natrium sehingga konsentrasi natrium

meninggi dan akan mengakibatkan terjadinya hipertoni. Hipertoni

menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah air ekstraseluler baik

yang intravaskuler maupun yang interstitiel bertambah sehingga

terjadi edema.

12

Page 13: MAKALAH OEDEM.docx

c. Gagal Jantung Kongesif

Saat jantung mulai gagal memompa darah, darah akan

terbendung pada sistem vena. Pada saat yang bersamaan volume darah

pada arteri berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini akan direspon

oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi

sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha

untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Akibat

vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah

otak, jantung dan paru, sementara ginjal dan organ lain akan

kekurangan aliran darah. Akibatnya VDAE akan berkurang, ginjal akan

menahan natrium dan air.

Pada kondisi gagal jantung yang sangat berat juga akan terjadi

hiponatremi, ini terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air

dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat

dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat

oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium secara

berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang. Di lain pihak,

ADH juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan

masukan air.

13

Page 14: MAKALAH OEDEM.docx

3. Diagnosis

Pasien ini mengalami sindrom nefrotik primer, di mana etiologi tidak

diketahui dan secara primer terjadi akibat kelainan glomerulus itu sendiri.

Penyakit ini ditandai dengan serangkaian gejala trias sindrom nefrotik, yakni:

a. Albuminuria

Albuminuria merupakan penyebab utama sindrom nefrotik yang

dapat diidentifikasi dari uji urinalisa, di mana ditemukan protein

albumin di dalam urine pasien. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan

permeabilitas membran kapiler glomerulus yang menyebabkan

gangguan filtrasi sehingga protein yang seharusnya diserap akan

dikeluarkan bersama urine.

b. Hipoalbuminemia

Plasma terutama terdiri dari protein jenis albumin dengan berat

molekul 69.000. Dalam kondisi albuminuria, kadar protein plasma

akan menurun. Pada gangguan renal maupun non renal yang

menyebabkan tubuh kehilangan banyak protein, hepar bisa

mengkompensasi dengan meningkatkan sintesis protein. Namun

apabila kompensasi tersebut tidak adekuat, di samping cukup

banyak protein yang dikeluarkan dan konsumsi protein kurang,

protein plasma akan menurun dan terjadi hipoalbuminemia.

c. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia muncul sebagai akibat penurunan tekanan onkotik

disertai penurunan aktivitas degradasi lemak karena penurunan

kadar protein yang merangsang enzim lipase.

4. Pemeriksaan Anjuran

a. Tes fungsi hati

Bilirubin: jika kadar naik berarti ada kelainan karena sumbatan saluran

empedu

14

Page 15: MAKALAH OEDEM.docx

SGPT & SGOT: kalau kadar naik berarti ada kelainan, karena enzim

baru keluar jika hati dalam keadaan rusak

AVP: memeriksa keganasan hati

b. Tes fungsi ginjal

c. BUN (Blood Urea Nitrogen): Untuk melihat fungsi ginjal dan

mengukur kadar nitrogen yang disaring oleh ginjal yang dibuang oleh

urin

d. Biopsi ginjal: dilakukan sebagai pilihan terakhir (mahal, diagnose pasti,

biasanya untuk anak umur 5-6 tahun)

e. MRI: menggambarkan pembuluh darah ginjal

f. USG: struktur anatomi ginjal

5. Penatalaksanaan

a. Diet tinggi protein 3-5 g/kg BB/hari, diet rendah lemak dan garam

b. Bila perlu lakukan transfusi plasma atau albumin untuk meningkatkan

kadar albumin dalam tubuh

c. Atasi infeksi

d. Berikan terapi suportif: tirah baring, diuretik intra vena flurosemid (40-

80 mg) dapat diulangi atau dosis ditinggikan setelah 4 jam, obat

penurun lemak golongan statin seperti simvastatin; pravastatin; dan

novastatin

e. Lakukan work up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi

f. Terapi prednisone

6. Prognosis

Prognosis untuk kehidupan (quo ad Vitam): dubia ad bonam, karena tidak

adanya kegawatan selama pasien berada di Rumah Sakit. Prognosis terhadap

kesembuhan (quo ad sanationam) dan fungsi tubuh (quo ad fungsionam) adalah

dubia ad bonam.

15

Page 16: MAKALAH OEDEM.docx

BAB IV

KESIMPULAN

Pasien ini mengalami gejala edema anasarca dari penyakit sindrom nefrotik

yang dideritanya. Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium penunjang dan

hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pasien mengalami trias sindrom nefrotik.

Beberapa hal yang harus diperhatikan yakni perbaikan konsumsi pasien dan terapi

menggunakan prednison. Prognosis untuk kehidupan (quo ad Vitam) adalah ad bonam,

karena tidak adanya kegawatan selama pasien berada di Rumah Sakit. Prognosis

terhadap kesembuhan (quo ad sanam) dan fungsi tubuh (quo ad fungsionam) adalah ad

bonam.

16

Page 17: MAKALAH OEDEM.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, S.A. dan Wilson, L.M., 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2. Mubin, A.H., 2006. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan

Terapi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Sutedjo, A.Y., 2012. Buku Saku: Mengenali Penyakit Melalui Hasil

Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Penerbit Amara Books.

4. Dugdale, David. 2012. Pleural Effusion. Available:

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001150 (diakses tanggal 21 Maret

2013)

5. Braunwald, Eugene, Kurt J. Isselbacher, Robert G. Petersdorf (Ed.). 1987.

Harrison's Principles of Internal Medicine. 11th ed. USA: McGraw-Hill.

6.

7. Editor Sudoyo,W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.—Ed.5—Jakarta;

Internal Publishing. 2009

8. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia. alih bahasa indonesia, Brahmn U.

Pendit; editor edisi bahasa indonesia. Nella Yesdelita.—Ed.6.—Jakarta;

EGC,2011.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006

10. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan Pelayanan

Medik. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006

17