Format Penulisan Abstrak & Makalah Pemaparan Makalah Formulir ...
Makalah lingbis
description
Transcript of Makalah lingbis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun makhluk hidup lain,
dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen juga mempunyai perlindungan yang
sering disebut perlindungan konsumen, pengertian perlindungan konsumen adalah
jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan
makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha.
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis
yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan
hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adana perlindungan yang seimbang
menyebabkan konsumen pada posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami
oleh konsumen dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian
antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh produsen.
Saat ini ada saja para produsen yang tidak mementingkan kesehatan dan
keselamatan konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.
Undang-undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di
terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang-undang itu
1
sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang
undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan
pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan
dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap
membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud konsumen ?
2. Apa Hak dan Kewajiban konsumen ?
3. Apa Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ?
4. Apa sajakah Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ?
5. Apa sajakah Prinsip Konsumsi dalam Islam ?
6. Apa sajakah Gerakan Konsumen ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian konsumen dan perlindungan konsumen.
2. Untuk mengetahui aplikasi hukum perlindungan konsumen.
3. Untuk mengetahui karakteristik dari hokum perlindungan konsumen.
4. Untuk mengetahui perbuatan yang dilarang pada produsen.
5. Untuk mengetahui Prinsip Konsumsi dalam Islam.
6. Untuk mengetahui maksud pada Gerakan Konsumen.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000) dalam bukunya principles
of marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau
memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi. Konsumen itu sendiri
dibedakan menjadi dua :
a. Konsumen Akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk
yang diperolehnya.
Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :“Pemakai akhir dari
barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak
diperjualbelikan”.
Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia): “Pemakai Barang
atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau
keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.
Menurut KUH Perdata Baru Belanda : “orang alamiah yang mengadakan
perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan”.
b. Konsumen Antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk
memproduksi produk lainnya. Contoh: distributor, agen dan pengecer.
Ada dua cara untuk memperoleh barang, yakni :
3
1. Membeli, bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu
ia terlbiat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen
memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
2. Cara lain selain membeli, yakni adalah hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara
yang kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan
pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari
suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk
peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU PK.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Konsumen didefinisikan sebagai “Setiap orang pemakai
barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal yang tidak
tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi, seperti baan
hukum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat dan adanya
batasan-batasan yang samar. Jika sekiranya badan usaha yang memperdagangkan
sebuah produk tidak masuk ke dalam kategori pengertian konsumen rasanya kurang
tepat, karena bagaimananapun badan ini adalah ‘konsumen antara’ yang
menjembatani antara produsen dengan masyarakat selaku konsumen akhir. Justru
karena itu agar badan usaha tidak terjebak dari perilaku produsen yang melawan
4
hokum, seyogianya dimasukkan pula ke dalam lingkup pengertian konsumen,
sehingga mereka juga patut mendapat perlindungan hukum.
Pendapat lain merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap individu atau
kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikan khusus,
produk, atau pelayanan dan kegiatan, tanpa memperhatikan apabila ia berasal dari
pedagang, pemasok, produsen pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri
ataukah secara kolektif.
Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan secara definitive, siapakah
sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara sempit
menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun secara
ketat dengan sederatan larangan (yakni: makan daging babi, minum minuman keras,
mengenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk pria, dan seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah rumusan
pengertian dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi hanya menggambarkan secara
sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh seorang Konsumen Muslim.
Oleh karena itu sebagian gambaran, yang dimaksud Konsumen menurut penulis
adalah “setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa
dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.” Bagi Konsumen
Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus yang halal, baik,
dan aman. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan
5
konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama yang mereka
anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang berlaku.
2.2 Pencantuman Klausa Baku Dalam Perjanjian
Saat ini, hamper disetiap perjanjian seorang konsumen dihadapkan pada
kenyataan hadirnya “standard constacts” yaitu suatu perjanjian yang telah dibuat
secara sepihak sebelum ditandatangani perjanjian. Biasanya hal tersebut dilakukan
oleh pihak penjual atau pemberi jasa. Syarat-syarat tersebut berlaku bagi siapapun
yang mengikat diri dalam perjanjan atas prinsip “take it or leave it”, tanpa suatu
perundingan sebelumnya.
Dengan demikian, isis atau kaluasa perjanjian telah dibakukan atau dituangkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam bentuk
formulir (blanko). Konsumen tinggal membubuhkan tandatangan saja, apabila
bersedia menerima aturan atau ketentuan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha, tidak memberikan
kesempatan kepada konsumen untuk membicarakan lebih lanjut klausa yang
dimajukan pihak penguasa. Klausa baku tersebut mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan
kolektif.
Saat seperti ini, kedudukan konsumen sangat lemah, sehingga menerima saja
aturan dan syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak pengusaha, karena jika tidak
demikian tidak akan memperoleh barang/jasa dari pengusahanya. Ini menunjukan
ketidak seimbangan antara pengusaha dan konsumen di dalam membuat perjanjian.
6
Padahal menurut Pasal 1338 KUH Perdata, setiap orang diberi kebebasan untuk
membuat perjanjian dengan siapapun juga. Asas tersebut tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya dengan adanya perjanjian klausa baku.
Asas kebebasan berkontrak ini tidak lagi tampil dalam bentuk seutuhnya. Di
negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, banyak dilakukan
intervensi terhadap asas kebebasan berkontrak, baik melalui perundang-undangan
maupun putusan-putusan hakim. Kecenderungan untuk melakukan intervensi dan
rektrisi makin lama makin menguat. Sedangkan negara yang menganut sistem Civil
Law, perudang-undangan di bidang customer;s protection justru tidak begitu banyak
jumlahnya.
Saat ini dengan lahirnya UU No 8 Tahun 1999, pencantuman klausa baku
dalam dokumen atau perjanjian dibatasi guna menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pasal 18 UU
No 8 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan
barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencanumkan klausa baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila :
a. Letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
b. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen.
7
d. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak pembayaran kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
e. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pihak pelaku usaha secara
langsung atau tidak langsung untuk melakukan segala tindakan hukum sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
f. Mengatur periha pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen.
g. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi yang manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
h. Menyatakan tunduknya konsumen terhadap aturan baru, tambahan, lanjutan dan
atau pengubahan lanjutan yang dibuat oleh pelaku usaha.
i. Menyatakan bahwa konsumen member kuasa kepada pelaku usaha untuk
membebankan hak tangguhan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh kosumen secara angsuran.
Sebagai konsekuensinya setiap klausa baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud
Diatas dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu pelaku usaha diwaibkan untuk
menyesuaikan kalusa baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-
undang.
Dengan demikian sejak adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka
tidak boleh ada lagi klausa baku dalam perjanjian yang merugikan konsumen. Bagi
8
para hakim yang sudah selayaknya membatalkan perjanjian yang memuat klausa
baku yang merugikan konsumennya, konsumen terpaksa menyerujui klausa
perjanjian yang telah ditetapkan sepihak oleh penguasa. Saat itu konsumen dalam
kedudukan posisi yang lemah dibandingkan dengan pengusaha.
2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak
kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakin penting.
Untuk pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini ada
dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu yang mengatur hak-hak konsumen,
disamping kewajiban yang harus dilakukan.
A. Hak Konsumen Menurut (Pasal 4) yaitu :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang, atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina
barang atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang
digunakan.
9
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelasain
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila
barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
B. Kewajiban Konsumen menurut (Pasal 5) yaitu :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakain atau
pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.
3. Membayar sesuia dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen.
Dengan terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku
bisnis untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa
dirugikan. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar
memberikan hak-hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar
juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan
agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing.
10
Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya
apa yang menjadi kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling
menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan
terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana yang di ajarkan dalam ekonomi
islam. Dengan prinsip keseimbangan akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis
agar segala aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus
memperhatikan kepentingan orang lain.
Salah satu wujud perlindungan pada orang lain, kepada produsen dituntut agar
setiap produk yang akan dihasilkan aman bahan bakunya, benar prosesnya dan halal
zatnya sehingga dengan demikian bisa menjawab pertanyaan Mannan sebagaimana
dikutip sebelum ini, yakni untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang dan jasa
apa yang akan dihasilkan, dan bagaimana cara menghasilkannya ?. Mampu menjawab
dan mempraktikkan pertyaan-pertayaan ini maka berarti para pelaku bisnis
(produsen) telah melindungi kepentingan konsumen sesuai yang di inginkan dalam
syariat Islam.
Hak untuk memilih barang yang didalam Islam dikenal dengan istilah khiyar,
disini dimaksudkan agar konsumen diberi kebebesan mendapatkan barang atau jasa
sesuai dengan selera (keinginannya). Selain itu juga perlu mendapat kualitas barang
sesuai dengan harga yang ditetapkan dan disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan
oleh pelaku bisnis terhadap konsumen Karena bisa jadi barang yang telah diperoleh
tidak sesuai dengan harga yang dibayar. Contoh misalnya dalam hal timbangan
11
(ukuran), Islam melarang dengan ancaman keras sebagaimana firman Allah swt:
kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
2.4 Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh
para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau
pelaku usaha.
2.4.1 Azas Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen :
“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan
dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Azas Perlindungan Konsumen:
1. Asas Manfaat
Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
12
Partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum.
2.4.2 Tujuan Perlindungan Konsumen
Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
13
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusah;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
2.5 Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Menurut Pasal 8
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Tidak sesuai dengan :
1. Standar yang dipersyaratkan;
2. Peraturan yang berlaku;
3. Ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya
Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain
mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut :
1. Berat bersih;
2. Isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
3. Kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
14
4. Mutu, tingkatan, komposisi;
5. Proses pengolahan;
6. Gaya, mode atau penggunaan tertentu;
7. Janji yang diberikan;
Tidak mencantumkan :
1. Tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas
barang tertentu;
2. Informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label.
Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
1. Nama barang;
2. Ukuran, berat/isi bersih, komposisi
3. Tanggal pembuatan;
4. Aturan pakai;
5. Akibat sampingan;
6. Nama dan alamat pelaku usaha;
7. Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau
dibuat
Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan
Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
15
b. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa
Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
1. Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus,
gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
2. Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu,
merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
Secara tidak benar dan selah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
1. Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
2. Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
3. Telah tersedia bagi konsumen.
Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika
bermaksud tidak dilaksanakan.
Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan
kesehatan.
16
c. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang
mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau
menyesatkan mengenai :
1. Harga/tariff dan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
2. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
3. Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
d. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan
memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
1. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
2. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
3. Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah
yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
e. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan
atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara
fisik maupun psikis.
f. Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan
mengelabui konsumen dengan :
1. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu
tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
2. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang
lain.
17
3. Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan
maksud menjual barang lain.
4. Menaikkan harga sebelum melakukan obral.
Di samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga dengan jalan
menaikkannya (mark up) dari harga normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon
pembeli, berapakah harga yang sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada
prinsipnya merupakan bagian dari permainan penjual yang memanfaatkan keawaman
calon pembeli tentang harga barang yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam
sebuah haditsnya secara umum telah melarang mempermainkan harga:
“Barang siapa yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga
barang kaum Muslimin dengan tujuan untuk menikkan harga tersebut, maka sudah
menjai hak Allah untuk menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada
hari kiamat (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) ”.
Factor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat,
diantaranya:
a. Permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat (al ikhtikar),
b. Penyalahgunaan kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-istirsal¸karena
tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang sedang terdesak untuk
memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c. Karena penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-ghurur.
18
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fikih
Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi,
larangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (fixing price),
pemberlakuan khiyar al-ghubn al-fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok),
pemberlakuan khiyar al-mustarsil (karena tidak tau harga sehingga ia membeli atas
kepercayaan pada pedagang), larangan jual beli an-najasy. Larangan jual beli talaqi
rukban dan jual beli al-hadhir li bad.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sanksi yang dikenakan pada
pelaku usaha secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.
2.4.1 Sanksi Administratif (pasal 60)
1. Badan Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26;
2. Sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3. Tata cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.4.2 Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana menegaskan bahwa penuntututan
pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Selanjutnya
dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
19
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
hruf c, huruf e, ayat (2), Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,
atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berikut pasal 63, dikatakan :
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat
dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a. Perampasan barang tertentu
b. Pengumuman keputusan hakim
c. Pembayaran ganti rugi
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f. Pencabutan izin usaha
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik hokum syariah
maupun hokum positif (perundangan nasional), pada dasarnya sama-sama
20
berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen. Perlakuan
perlindungan terhadap konsumen tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha,
namun yang menjadi tujuan poko adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua
belah pihak dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan
perundangan yang ingin mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan, keamanan,
dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian
hokum bagi masyarakat dalam kehidupan.
2.5 Prinsip Konsumsi dalam Islam
Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan M.
Abdul Mannan sebagai berikut:
a. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang maksudnya, dalam
mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang halal dan tidak dilarang hokum,
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Kata “Halal” dimaksudkan bahwa cara perolehannya harus sah secara hukum,
memperhatikan prinsip keadilan, dalam arti tidak menipu dan merampas hak orang
lain, karena apabila tidak, maka harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih dari
bangkai yang diharamkan.
21
b. Prinsip Kebersihan
Kata “bersih” disini dimaksudkan dalam arti lahir (fisik). Factor kebersihan
memang sangat di utamakan dalam ajaran Islam. Sedemikian pentingnya, sampai-
sampai kita di ingatkan bahwa memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin
kualitas keimanan seorang hamba. Oleh karena itu arahan al-Qur’an dan Sunnah yang
berkaitan dengan makanan, hendaknya makanan itu harus yang baik dan layak untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Secara tegas Nabi
saw menyatakan bahwa kebersihan dalam segala hal adalah sebagian dari iman.
Selain itu Rasullah saw mengatakan “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan
sebelum dan sudah memakannya” (HR. Tirmizi). Namun demikian sisi lain yang
perlu disadari bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah keniscayaan sebagai
prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat dianjurkan
dalam ilmu medis.
c. Prinsip kesederhanaan
Menekankan agar dalam mengkonsumsi makanan dan
minuman tidak berlebih-lebihan, sesuai dengan firman-Nya: Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.
22
“Israf” yang berarti berlebihan, merupakan symbol keserakahan dalam segala
hal di dunia ini. Berlebihan dalam hal apapun, berarti seseorang berada dalam titik
ekstrem yang seringkali menimbulkan kesenjangan di tengah kehidupan.
d. Prinsip Kemurahan hati
Dengan mentaati perintah Islam, maka tidak aka nada bahaya maupun dosa
dalam mengonsumsi makanan dan minuman halal yang dikaruniakan Tuhan karena
kemurahan-Nya. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa diluar batas kemampuan
manusia (darurat-emergency) ketentuan itu bisa saja disimpangi sesuai dengan
firman-Nya:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
e. Prinsip moralitas
Berakhlak dalam Islam tidak hanya di alamatkan pada sesama
manusia, tetapi juga kepada diri sendiri, lingkungan (alam) sekitar,
dan bahkan terhadap Tuhan sekalipun.
23
Bagi para pelaku bisnis yang berpegang teguh pada prinsip
moralitas merupakan prakondisi ketaatan mereka pada hukum
yang berlaku. Sebagai konsekuensinya, mereka akan selalu
melisendungi segala hak konsumen sebagai bagian dari ajaran
hukum apapun secara universal.
2.6 Gerakan Konsumen
Latar belakang lahirnya gerakan konsumen sebagaimana
dikemukakan A. Sonny Keraf sebagai berikut :
a. Banyaknya produsen berhati emas dan punya kesadaran moral
yang tinggi, namun hati dan kesadaran moralnya itu sering
dibungkam oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau
uang dalam waktu singkat dari pada mempedulikan hak
konsumen.
b. Di banyak Negara sedang berkembang, termasuk Indonesia,
para produsen lebih dilindungi oleh pemerintah karena mereka
di anggap punya jasa besar dalam menopang perekonomian
Negara tersebut. Akibatnya, kepentingan mereka lebih
diamankan pemerintah dari pada kepentingan konsumen.
24
c. Dalam system social politik dimana kepastian hokum tidak jalan,
pihak produsen akan dengan mudah membeli kekuasaan untuk
melindungi kepentingannya terhadap tuntutan konsumen.
Kalaupun konsumen menuntut, pihak prosusen selalu merasa diri
di atas angin.
d. Konsumen, (individual khususnya) merasa rugi kalau harus
menuntut produsen dank arena itu ia selalu berada dalam posisi
yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa benar-
benar digunakan sebagai kekuatan konsumen dimana keluhan
mereka melalui rubric surat pembaca punya dampak efektif
mempengaruhi produsen.
Menurut Keraf, salah satu syarat bagi terpenuhi dan
terjaminnya hak-hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka dan
dibebaskan bagi semua pelaku ekonomi, termasuk produsen dan
konsumen.
Selanjutnya, gerakan konsumen di Barat lahir karena berbagai
tertimbang, yaitu:
a. Kebutuhan akan informasi dan pedoman yang akurat tentang
berbagai produk yang beredar di masyarakat.
25
b. Kebutuhan akan informasi dari produk jasa yang semakin
terspesialisasi untuk membantu konsumen agar bisa mengambil
keputusan mana yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.
c. Adanya pengaruh iklan yang seringkali membuat konsumen
kebingungan dan tidak jarang menipu atau merugikan mereka.
d. Kurang perhatiannya keamanan produk secara serius oleh
produsen.
e. Kebutuhan konsumen akan wadah konsultasi, advokasi, dan
perlindungan untuk menuntut hak dan kepentingannya sesuai
dengan prinsip kontrak jual beli yang adil.
Dari kenyataan di atas dapat dipahami bagaimanapun
kehadiran sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini tetap
dibutuhkan guna melindungi pihak yang selalu diposisikan ditempat
marjinal. Kehadiran institusi ini antara lain untuk menyeimbangkan
antara hak dan kewajiban produsen dan konsumen. Jika sekiranya
keseimbangan itu mulai terwujud maka dapat dikatakan bahwa
supremasi hukum
sudah mulai terbangun ditengah maraknya distorsi hukum yang
semakin memprihatinkan di era globalisasi seperti sekarang ini.
BAB III
KESIMPULAN
26
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka kami menyimpulkan bahwa hingga saat
ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen
sering kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual.
Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala
kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya
pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera
menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung
kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan
konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
27
Elsi, Advendi, HUKUM DALAM EKONOMI, PT GRASINDO.Jakarta,2007.
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2012.
Junaidi Abdullah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Nora Media Enterprise, Kudus, 2010.
Nina, Nurani. Hukum Bisnis Suatu Pengantar.Cv Insan Mandiri.2009
28